BAB IV IV.1
Analisa dan Diskusi
Neraca gas bumi
Kajian tentang permintaan dan penyediaan gas bumi memperlihatkan bahwa terjadi kekurangan gas. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan yang tidak mampu diimbangi oleh pembangunan infrastruktur. Pada Bab 3 diperlihatkan bahwa pada semua region kecuali region X dan XI akan terjadi kekurangan pasokan gas, terutama untuk memenuhi permintaan potensial. Secara nasional masih banyak cadangan gas yang belum termanfaatkan terutama di East Natuna, Masela, Donggi, dan Tangguh. Kurangnya infastruktur menjadi penyebab cadangan gas yang ada tidak mampu di manfaatkan oleh pusat-pusat permintaan terutama di Jawa Kurangnya pasokan gas bumi menyebabkan terjadinya beberapa industri terpaksa menghentikan operasinya. Industri yang masih berjalan terkadang berproduksi lebih kecil dari kapasitas yang dimilikinya disebabkan oleh pasokan gas yang tidak mencukupi. Kondisi tersebut menyebabkan gas bumi yang tersedia harus optimalisasi agar menghasilkan output terbesar bagi perekonomian nasional. Optimalisasi
pemanfatan
gas
bumi
secara
nasional
diakukan
dengan
memperhitungkan multipliernya sehingga setiap pasokan gas yang ada dapat menghasilkan output maksimal. Dalam bab sebelumnya telah disusun matriks input multiplier antar sektor. Matriks tersebut berguna dalam menentukan alokasi gas yang paling menguntungkan secara nasional. Sebagai ilustrasi, jika pada suatu ketika terjadi permintaan gas sebesar 100 bcf secara bersamaan antara sektor pupuk dan ekspor LNG. Gas tersedia hanya 100 bcf, yang akan dialokasikan secara ekslusif ke salah satu sektor maka dapat kita hitung output gas tersebut sebagai berikut
58
Tabel IV.1
Perbandingan Output LNG dan Pupuk (ilustrasi) Sektor LNG Pupuk
Multiplier Harga Gas 1.04 3 3.51 3
Output 3.12 10.53
Nilai mutiplier kita dapatkan dari hasil perhitungan di bab sebelumnya yaitu 1.04 untuk LNG dan 3.51 untuk industri pupuk. Dengan harga gas yang sama yaitu US$ 3 /mmbtu maka di dapatkan output sebesar US$ 3.12 /mmbtu untuk LNG dan US$ 10.53 /mmbtu untuk industri pupuk. Nilai output merupakan hasil perkalian antara harga gas dengan multipliernya. Pada kenyataannya harga beli gas untuk ekspor LNG hampir selalu lebih tinggi dari harga beli gas untuk sektor lainnya di dalam negeri. Matriks multiplier dapat menntukan alokasi gas dengan harga yang berbeda. Jika harga gas untuk LNG berkisar US$ 9 / mmbtu dan harga jual gas untuk industri pupuk tetap US$ 3 /mmbtu, dengan mengambil ilustrasi diatas dan harga gas yang berbeda maka didapatkan hasil sebagai berikut seperti tabel di bawah ini. Tabel IV.2
Perbandingan Output LNG dan Pupuk (ilustrasi) Sektor LNG Pupuk
Multiplier Harga Gas 1.04 9 3.51 3
Output 9.36 10.53
Dari tabel diatas didapatkan bahwa pada harga gas US$ 9/mmbtu untuk LNG dan US$ 3/mmbtu untuk pupuk, output nasional yang dapat tetap lebih besar jka gas tersebut di salurkan untuk sektor pupuk. Pada bab sebelumnya telah disusun matriks perbandingan multiplier yang dapat digunakan untuk mementukan harga jual gas jika salah satu harga telah diketahui.
59
Sebagai contoh, perbandingan multiplier untuk LNG dan pupuk adalah 3,37 yang merupakan pembagian antara 3,51 dan 1,03. Dengan kata lain jika harga jual gas untuk pupuk sebesar US$ 1/mmbtu maka harga jual gas untuk ekspor LNG sebesar 3,37 /mmbtu untuk menghasilkan output yang sama. Atau jika harga jual gas untuk LNG sebesar US$ 3.37 /mmbtu, maka harga jual minimum untuk pupuk adalah US$ 1/mmbtu. Saat ini kisaran harga jual gas untuk LNG adalah sebesar US$ 10 /mmbtu sehingga harga jual gas minimum untuk pupuk adalah US$ 2.96/mmbtu untuk mendapatkan output yang sama. Jika industri pupuk (atau industri domestik lainnya) tidak mampu membeli gas dengan harga US$ 2.96/mmbtu maka sebaiknya gas tersebut dialokasikan untuk ekspor. Harga jual gas untuk industri pupuk dapat di berikan subsidi sehingga lebih rendah dari harga ekspor namun produsen gas tetap mendapatkan keuntungan yang sama. Subsidi tersebut dapat diberikan dengan skema penurunan harga jual gas bagian pemerintah. Dalam kontrak PSC gas, bagi hasil antara pemerintah dan Kontraktor umumnya adalah 70:30 dengan bagian terbesar untuk pemerintah. Bagian bersih pemerintah setelah pembayaran cost recovery adalah sekitar 60%. Jika bagian pemerintah dapat dijual dengan harga lebih murah maka harga jual untuk industri dalam negeri akan lebih rendah dari harga ekspor gas dengan catatan Kontraktor tetap memiliki keuntungan yang sama jika gas itu diekspor. Dengan harga gas ekspor US$ 10 /mmbtu maka harga jual domestik minimum adalah ketika harga gas bagian pemerintah adalah US$ 0 /mmbtu. Harga ini merupakan harga jual gas domestik minimum dengan skema subsidi pengurangan harga jual gas bagian pemerintah, dalam kasus ini adalah US$ 4 /mmbtu. Pada ilustrasi diatas, harga jual minimum gas domestik bukanlah US$ 2.96 /mmbtu melainkan US$ 4 /mmbtu, yaitu dibatasi oleh skema pemberian subsidi dengan asumsi Kontraktor tetap menjual gas bagiannya dengan harga gas ekspor.
60
Penjualan gas dengan harga ekspor tentu saja bukan satu-satunya acuan walaupun pada umumnya harga jual gas ekspor akan mengikuti harga jual crude. Produsen gas dapat saja menjual gas dengan harga yang disepakati dengan pembeli walaupun lebih rendah dari harga jual gas untuk ekspor jika harga tersebut telah menghasilkan rate of return yang lebih besar dari MARR. Penjualan gas dengan harga lebih murah tetapi dengan waktu yang lebih cepat, akan mampu menekan resiko investasi dan tetap menjaga rate of return yang lebih tinggi. Input multiplier juga mencermintan total forward linkage dari sektor tersebut. Total forward linkage merupakan penjumlahan direct dan indirect forward linkage yang mencerminkan pengaruh sektor tersebut sebagai input sektor lainnya. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa LNG memiliki total forward linkage terkecil, hal tersebut disebabkan belum termanfaatkanya LNG oleh sektor domestik lainnya. Total backward linkage terbesar berada di sektor listrik dan yang terkecil berada disektor LNG. Perbedaan total backward linkage dari keempat sektor tersebut tidak terlalu besar. Backward
linkage menjelaskan ketika suatu sektor meningkatkan
outputnya, maka akan ada peningkatan demand dari sektor tersebut. IV.2
Optimalisasi pemanfaatan gas bumi
Hasil perhitungan dan analisis cost-benefit pemanfaatan gas bumi di sektor-pengguna gas bumi diberikan dalam 2 indikator, yaitu Output Multiplier, dan Input Multiplier. Masing-masing indikator mewakili tujuan kebijakan publik yang ingin dicapai Pemerintah. Dalam pemanfaatan gas bumi, tentu saja Pemerintah menginginkan agar gas bumi dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tersurat dalam UUD 1945. Tetapi kenyataan dalam pelaksanaannya Pemerintah menghadapi multiple objectives yang seringkali satu sama lain saling bertentangan. Kedua indikator yang dibahas adalah tujuan ekonomi publik yang merepresentasikan keuntungan nasional jangka panjang. Pemerintah seringkali harus menghadapi tekanan-tekanan ekonomi dan politik yang bersifat jangka pendek sehingga harus
61
mengorbankan, atau paling tidak melakukan kompromi yang merugikan, tujuan jangka panjang. Hasil perhitungan di Bab III, setelah disusun menurut besarnya, diperoleh Output Multiplier dan Input Multiplier pemanfaatan gas bumi untuk masing-masing sektor sebagai berikut. Sektor
Output Multiplier
Listrik
2,08
Pupuk
1,87
Kimia Dasar
1,85
LNG
1,52
Sektor
Input Multiplier
Kimia Dasar
5,63
Pupuk
3,51
Listrik
2,41
LNG
1,04
Output multiplier menunjukkan mutiplikasi dari permintaan nilai produk suatu sektor menjadi output total ekonomi yang ditimbulkan oleh industri pendukung baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan Input Multiplier menunjukkan mutiplikasi dari input gas bumi ke suatu sektor menjadi output total ekonomi yang ditimbulkan oleh industri yang memanfaatkan produknya baik langsung maupun tidak langsung. Kediua multiplier ini berkorelasi secara linier dengan pembentukan nilai tambah dan penciptaan lapangan pekerjaan.
62
IV.3
Penggunaan Multiplier dalam Kebijakan Pemanfaatan Gas Bumi
Dalam menghadapi pilihan pemanfaatan gas bumi di sektor mana yang lebih menuntungkan secara nasional, Input Multiplier lebih sesuai digunakan untuk menjadi pertimbangan kebijakan. Sebagai ilustrasi, apabila di suatu wilayah ditemukan sumber gas bumi baru dan terdapat permintaan oleh pabrik Pupuk dan kilang LNG untuk ekspor yang masing-masing mengajukan penawaran harga yang berbeda, misalnya pabrik Pupuk mengajukan harga US$ 3,5/MMBTU dan kilang LNG US$ 10/MMBTU. Apabila gas bumi dijual ke pabrik Pupuk (dengan Input Multiplier 3,51), maka setiap dolar nilai gas bumi yang dipakai akan digandakan menjadi US$ 3,51, sehingga setiap MMBTU gas akan memberikan nilai tambah nasional sebesar US$ 12,28. Apabila dimanfaatkan untuk LNG (dengan Input Multiplier 1,04), maka setiap MMBTU gas bumi akan memberikan nilai tambah secara nasional sebesar US$ 10,40. Dari sini tampak bahwa pemanfaatan gas bumi lebih menguntungkan untuk penggunaan di industri Kimia Dasar dibandingkan dengan kilang LNG untuk ekspor. Perbandingan Input Multiplier dapat dipakai sebagai alat pengambil keputusan dalam menghadapi harga penawaran yang berbeda. Dengan perbandingan Input Multiplier industri Kimia Dasar dan kilang LNG sebesar 5,63 : 1,04 maka pemakaian gas bumi di industri Kimia Dasar dapat dibenarkan apabila harga penawaran dari industri Pupuk lebih besar dari (1,04 / 3,51) atau 0,296 dari harga yang ditawarkan kilang LNG. Jadi apabila kilang LNG berani membeli gas dengan harga US$ 10/MMBTU maka harga beli yang ditawarkan industri Kimia Dasar paling rendah adalah US$ 2,96/MMBTU. Harga di atas tentunya menggunakan sales point yang sama yaitu di kepala sumur. Faktor lokasi akan mempengaruhi harga di konsumen. Apabila kilang LNG dan pabrik Kimia Dasar menawarkan harga beli gas c.i.f., dan biaya transpor dari lapangan ke kilang LNG dan ke pabrik Kimia Dasar masing-masing US$ 1 per MSCF, berarti harga gas di kepada sumur yang ditawarkan masing-masing adalah US$ 9 dan US$ 2,5 per MMBTU. Apabila demikian, maka pemanfaatan setiap
63
MMBTU gas di kilang LNG akan memberikan nilai tambah US$ 9,36 sedangkan di pabrik Pupuk hanya memberikan US$ 8,77. Jadi gas sebaiknya dijual kepada kilang LNG untuk ekspor. IV.4
Insentif bagi produsen gas bumi
Keuntungan nasional tidak selalu sejalan dengan keuntungan finansial Kontraktor produksi gas bumi. Kontraktor akan berusaha mendapatkan harga tertinggi atau opportunity-cost (harga penawaran tertinggi yang ada) bagi lifting gasnya. Menjual gas bumi di bawah opportunity cost adalah memberi subsidi. Apabila Pemerintah menginginkan gas dijual kepada konsumen tertentu di bawah opportunity cost-nya, Pemerintahlah yang seharusnya seharusnya memberikan subsidi dan bukannya Kontraktor. Perolehan harga jual pada opportunity cost ini dan tidak diikutkannya beban subsidi ini bagi Kontraktor merupakan insentif yang sangat menarik. Seandainya Pemerintah ingin menjual gas kepada suatu pabrik Pupuk yang hanya mampu membeli dengan harga US$ 3,0 sementara ada industri lain yang menawar dengan harga US$ 5 per MMBTU di kepala sumur, maka perhitungan penerimaan Pemerintah dan Kontraktor dapat dilakukan sebagai berikut. Apabila dari penjualan gas bagian Kontraktor adalah 45% (bagi hasil dan cost recovery) dan Pemerintah 55%, Kontraktor tetap akan menerima bagiannya dengan harga US$ 5. Agar pabrik Pupuk membeli dengan harga US$ 3, Pemerintah harus menjual gasnya dengan harga US$ 1,36 per MMBTU. Dengan demikian Kontraktor tidak dirugikan dan Pemerintah yang wajib memberikan subsidi sebesar US$ 3,64. Perlu disadari bahwa Pemerintah sebenarnya mendapatkan penerimaan pajak lebih besar dengan adanya multiplier kegiatan ekonomi di sektor lain. Dengan demikian subsidi yang diberikan akan terkompensasi oleh pendapatan lain. Disamping itu untuk KKS (kontrak kerjasama) baru, apabila ketentuan DMO gas telah diberlakukan, maka gas DMO dapat menjadi pilihan instrumen kebijakan untuk membantu industri pengguna gas bumi strategis.
64