BAB VII ANALISA DAN DISKUSI
Paparan pada Bab VII ini sebenarnya terdiri dari 3 poin utama yang dibagi sesuai dengan rumusan masalah yang peneliti ajukan. Poin pertama berisi paparan yang menjelaskan bagaimana makna dakwah yang dibangun dalam gerakan dakwah dan tabligh. Poin ini peneliti beri judul “Makna Menentukan Tindakan.” Pada poin kedua peneliti menjelaskan bagaimana makna tersebut terbangun melalui proses interaksi, maka poin ini peneliti beri judul “Interaksi Memproduksi Makna”. Selanjutnya poin ketiga dengan judul “Makna Berubah Melalui Interpretasi,” menjelaskan bahwa melalui proses interpretasi makna tersebut mengalami modifikasi. Paparan pada ketiga poin tersebut merupakan analisa terhadap konsep dakwah Jamaah Tabligh. Kemudian penulis menambahkan poin ke empat dengan judul “Interaksi Simbolik Jamaah Tabligh Surakarta.” Pada poin ini tiga premis Interaksionisme Simbolik Blumer digunakan untuk menganalisa fakta empiris dakwah Jamaah Tabligh Surakarta. Pada bagian ini penulis menyampaikan bagaimana Jamaah Tabligh Surakarta memaknai dan mempraktekkan konsep dakwah Jamaah Tabligh yang sudah terbangun sejak awal gerakan ini muncul.
A. Makna Menentukan Tindakan Para pendukung Interaksionisme Simbolik meyakini bahwa realitas tertinggi tidak berada di luar sana, di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak di dalam dan terhadap dunia (Ritzer dan Goodman, 2004: 374). Pemikiran yang berasal dari filsafat pragmatisme ini kemudian diadopsi oleh interaksionisme simbolik. Herbert Mead tidak sepakat dengan pemikiran yang menyatakan bahwa realita berada di luar diri manusia. Realita justru ada karena pemaknaan yang diberikan manusia, sebagaimana pernyataan Mead: Once people define a situation as real, it’s very real in the consequences (Griffin, 2000: 54). Pernyataan Mead ini menegaskan bahwa makna sesuatu bergantung pada bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya. Sehingga sangat memungkinkan suatu objek atau realitas sosial memiliki lebih dari satu makna, sesuai dengan makna
161
162
yang dilekatkan orang-orang terhadapnya. Untuk menjelaskan gagasan ini Poloma (2007: 259) mengilustrasikan dengan sebuah ular. Bagi sebagian orang, ular merupakan binatang melata yang menjijikkan, binatang beracun yang bisa mematikan. Sementara bagi sebagian orang yang lain, mereka melihat ular sebagai binatang yang indah. Pemaknaan yang berbeda ini tentu akan memunculkan sikap dan tindakan yang berbeda pula terhadap ular. Sesuai premis Blumer yang pertama yaitu: Human beings act toward things on the basis of meanings that the things have for them (Blumer, 1984: 2). Orang pertama cenderung akan bereaksi negatif ketika bertemu ular. Mungkin dia bergerak menjauh, selalu waspada atau bahkan membunuhnya untuk memastikan keselamatan dirinya tidak terancam. Sementara orang lain yang melihat ular sebagai binatang yang indah, cenderung akan memberikan reaksi positif, memperlakukannya dengan lembut dan menjaganya. Dengan demikian, tindakan manusia merupakan tindakan interpretif yang dibangunnya sendiri. Dengan pemahaman ini maka sebenarnya manusia membuat realitasnya sendiri. Manusia tidak serta-merta bertindak terhadap suatu objek atau realitas sosial. Manusia bertindak didahului dengan menafsirkan dan mendefinisikan objek atau realitas sosial yang ditemuinya. Objek yang dimaksud bisa berupa: objek fisik, objek sosial atau objek abstrak (Poloma, 2007: 264). Dari proses menafsirkan dan mendefinisikan akan menghasilkan makna. Dengan makna yang diberikannya terhadap objek atau realitas sosial tersebut kemudian menjadi dasar dalam menentukan tindakan. Sangat mirip dengan ilustrasi yang disajikan Poloma di atas, Cipta Lesmana meneliti kasus konflik antara TEMPO dengan pemerintah Orde Baru. Konflik yang dipicu oleh sejumlah pemberitaan majalah TEMPO yang membuat merah telinga pemerintah waktu itu. Ada 5 berita yang dipermasalahkan pemerintah. Awalnya pemerintah, melalui Departemen Penerangan, hanya memberikan peringatan kepada TEMPO. Namun konflik semakin menegang sampai berujung dengan tindakan pembredelan majalah TEMPO. Menggunakan perspektif Interaksionisme Simbolik, penelitian Cipta Lesmana ini memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana ketiga premis Blumer bekerja. Sebelum melakukan tindakan, objek atau realitas sosial didefinisikan dan ditafsirkan (meaning). Setiap wartawan TEMPO dibekali kemampuan menganalisa suatu objek atau realitas sosial yang ditemui apakah memiliki cukup nilai berita (news value)
163
sehingga layak diberitakan. Untuk kepentingan ini TEMPO merumuskan “tiga belas kriteria berita layak TEMPO” yang selalu digunakan sebagai tolok ukur menilai suatu realitas sosial. Berbekal rumusan ini TEMPO meyakini setiap berita yang mereka muat sudah memenuhi kriteria berita layak TEMPO. Termasuk lima berita yang dipermasalahkan pemerintah. Sebagaimana
TEMPO,
tindakan
pemerintah
juga
didahului
dengan
mendefinisikan dan menafsirkan (meaning) objek atau realitas sosial. Objek atau realitas sosial yang dimaksud adalah kelima berita yang dimuat majalah TEMPO. Namun akibat definisi yang berbeda sehingga menghasilkan tindakan yang juga berbeda. Dalam pandangan pemerintah Orde Baru kelima berita yang dimuat majalah TEMPO dapat menimbulkan reaksi negatif pada masyarakat. Selain itu kelima berita tersebut juga dinilai dapat merendahkan wibawa pemerintahan Presiden Soeharto. Maka dengan dasar menjaga “stabilitas negara” melalui Departemen Penerangan pemerintah memperingatkan TEMPO yang akhirnya berujung dengan tindakan pembredelan. Keputusan Departemen Penerangan mencabut SIUPP majalah TEMPO juga didasarkan pada definisi situasi. Pertama yaitu melihat tingkat kesalahan yang dilakukan majalah TEMPO. Kedua, melakukan analisa dampak sosial-politik yang mungkin timbul setelah keputusan bredel terhadap majalah TEMPO dikeluarkan. Sampai di sini, temuan Cipta Lesmana sangat bersesuaian dengan gagasan Interaksionisme Simbolik, bahwa objek atau realitas sosial didefinisikan dan ditafsirkan, sebelum orang melakukan tindakan. Inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Binatang melakukan tindakan bersifat spontan tanpa melalui pikiran. Sedangkan tindakan manusia adalah tindakan simbolis, tindakan yang melalui pikiran sehingga memiliki makna. Meskipun terkadang tindakan manusia juga bersifat spontan, sehingga tidak memiliki makna, seperti gerakan petinju atau atlet anggar saat bertanding (Zeitlin, 1995: 339). Aktivitas dakwah yang dilakukan Jamaah Tabligh juga merupakan tindakan simbolis, tindakan yang melalui pikiran (mind) dan memiliki makna (meaning). Sebagaimana telah disebutkan di atas dan juga pada Bab II, perspektif interaksionisme simbolik meyakini bahwa makna tidak melekat pada objek atau realitas sosial melainkan manusia yang membangunnya. Meanings Rest in People, Not Words (Adler dan Rodman, 2006: 26). Konsekuensi dari gagasan ini maka suatu objek atau realitas
164
sosial sangat memungkinkan memiliki sejumlah makna. Konsekuensi selanjutnya adalah makna yang berlainan akan menghasilkan tindakan yang juga berlainan. Mengutip Barbara Ballis Lall, Littlejohn (2005: 154) menulis bahwa tindakan manusia didasarkan pada persepsi mereka. Manusia membuat keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan pengetahuan subjektif mereka mengenai situasi di mana mereka menemukan diri mereka sendiri. Hasil penelitian menunjukkan metode dakwah Jamaah Tabligh yang tampak unik bagi masyarakat, yaitu berupa khuruj dan jaulah, didasarkan pada suatu pemahaman (meaning) yang sangat kuat. Jamaah Tabligh memiliki pemahaman yang unik terhadap konsep dakwah. Pemahaman mengenai konsep dakwah yang berbeda dengan gerakan Islam secara umum sehingga menghasilkan tindakan yang juga berbeda yaitu berupa khuruj dan jaulah. Fenomena ini membuktikan premis yang telah disebutkan di atas, bahwa Meanings Rest in People, Not Words (Adler dan Rodman, 2006: 26). Sebagaimana sudah dijelaskan pada Bab V, bagi Jamaah Tabligh tugas dakwah sudah menjadi keniscayaan setiap umat Islam. Apabila aktifitas dakwah dijalankan maka akan mendapatkan sekian banyak keuntungan. Keuntungan apabila dakwah dijalankan (Shahab, 2007: 72-73): 1. Menjadi asbab hidayah di seluruh alam. 2. Orang-orang akan mengamalkan agama dan sunah-sunah tidak dianggap asing 3. Allah akan mengeluarkan keberkahan dari langit dan dari dalam bumi 4. Di mana saja, orang-orang senantiasa membicarakan kebesaran Allah sehingga orang-orang berhukum dengan hukum Allah dan dengan cara Rasulullah 5. Umat manusia akan mampu mengucapkan kalimat thayibah ketika meninggal dunia 6. Orang-orang akan terbebas dari adzab Allah 7. Orang-orang akan masuk jannah secara berjamah lebih awal dari umat terdahulu 8. Manusia akan dibangkitkan dengan wajah bercahaya sebagaimana wajah para Nabi 9. Rasulullah akan memberi minum dari telaga kautsar langsung dengan tangan beliau. Sementara itu sebaliknya, apabila aktifitas dakwah tidak dijalankan maka berbagai masalah akan menimpa umat Islam. Kerugian apabila dakwah ditinggalkan (Shahab, 2007: 73):
165
1. Tertangguhnya hidayah. 2. Orang-orang akan meninggalkan agama, sehingga amal-amal sunnah menjadi asing. 3. Laknat Allah turun sehingga muamalah, mu’asyaroh dan akhlak menjadi rusak 4. Yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf. 5. Orang-orang tidak lagi mengenal Allah dan alam akhirat 6. Orang-orang yang kuat imannya menjadi lemah, dan yang lemah iman akan menjadi murtad. 7. Orang-orang non muslim enggan masuk Islam. 8. Muncul Nabi-nabi palsu yang banyak sekali pengikutnya, sebagaimana para artis, olahragawan, politikus, dan lain sebagainya. 9. Orang-orang kafir atau negara kafir menyerang umat Islam dalam bidang ideologi, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Bahkan jauh lebih mendasar dari konsep dakwah, aktivitas khuruj dan jaulah berakar dari pemaknaan Jamaah Tabligh mengenai kehidupan. Dalam keyakinan Jamah Tabligh fungsi kehidupan manusia di alam dunia ini adalah untuk menyiapkan bekal yang digunakan di alam berikutnya yaitu alam akhirat. Jamaah Tabligh meyakini bahwa sesungguhnya Allah swt menciptakan manusia bukan untuk bersenang-senang di dunia tapi untuk hidup di akhirat. Bekal yang harus disiapkan untuk alam akhirat adalah iman dan amal sholeh. Orang yang memiliki iman dan amal sholeh maka akan hidup bahagia selamanya di dalam surga. Sedangkan orang yang tidak memiliki iman dan amal sholeh maka di akhirat akan masuk neraka. Mereka mendapatkan siksaan yang sangat mengerikan dan kekal di dalamnya. Oleh karena itu iman dan amal sholeh menjadi perkara penting yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh agar di akhirat mendapatkan kehidupan yang baik. Dalam ceramah, mudzakaroh ataupun obrolan para pekerja agama kerap disampaikan bahwa semua orang sesungguhnya adalah manusia akhirat. Maksudnya, bahwa tempat hidup manusia sesungguhnya adalah di akhirat, bukan di dunia. Setiap manusia hakekatnya sedang melakukan perjalanan. Di dunia saat ini, manusia hanya singgah yang keperluannya mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal. Nilai iman, ibadah, dakwah, pahala, dosa, kehidupan akhirat, kenikmatan surga, dan siksaan neraka adalah hal yang nyata. Keyakinan ini ditanamkan sangat kuat dalam Jamaah Tabligh. Orang yang memiliki iman dan beramal sholeh akan mendapatkan pahala dan sebagai balasannya di akhirat akan dimasukkan ke dalam surga sehingga
166
hidup bahagia selamanya. Sebaliknya orang yang beramal buruk bahkan tidak memiliki iman maka akan mendapatkan dosa dan sebagai balasannya di akhirat akan dimasukkan dalam neraka sehingga merasakan penderitaan yang tidak pernah berhenti. Peneliti kerap mendengar kata-kata yang disampaikan para pekerja agama bahwa akhirat itu pasti sementara dunia itu justru tidak pasti. Begitu kuat keyakinan yang ditanamkan Jamaah Tabligh pada nilai iman, ibadah, dakwah, pahala, dosa, kehidupan akhirat, kenikmatan surga, dan siksaan neraka sampai-sampai banyak para pekerja agama yang memilih hidup sangat sederhana. Mereka lebih mendahulukan kepentingan perjuangan agama daripada memenuhi keinginan duniawi. Fenomena yang ada pada Jamaah Tabligh ini sesuai dengan pernyataan Mead: Once people define a situation as real, it’s very real in the consequences (Griffin, 2000: 54). Realita ada karena pemaknaan yang diberikan manusia. Karena nilai iman, ibadah, dakwah, pahala, dosa, kehidupan akhirat, kenikmatan surga, dan siksaan neraka sangat nyata bagi Jamaah Tabligh maka mereka sangat bersemangat dan siap mengorbankan kepentingan yang lain selain untuk perjuangan agama.
B. Interaksi Memproduksi Makna Pada Bab IV sudah dijelaskan bahwa gerakan dakwah dan tabligh dipelopori oleh Maulana Ilyas. Ia memulai gerakan dakwah dan tabligh di Mewat, suatu daerah terpencil di dataran tinggi India Utara (Esposito, 2002: 36). Penduduk Mewat dikenal memiliki perilaku brutal, ganas, dan sering berbuat keji terhadap orang lain. Namun demikian mereka memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Maulana Muhammad Ilyas. Hubungan ini sudah terjalin lama sejak Maulana Muhammad Ismail, ayah Maulana Muhammad Ilyas, masih hidup. Selama hidupnya, Maulana Muhammad Ismail senantiasa membimbing penduduk Mewat dengan penuh kelembutan. Anak-anak dan pemuda Mewat diajak ke madrasahnya di Nizamuddin untuk belajar Islam. Selama di madrasah mereka diajari Al Quran dan hukum-hukum Islam. Untuk kepentingan ini mereka tidak dimintai biaya sama sekali. Semua keperluan hidup mereka sehari-hari ditanggung oleh Maulana Muhammad Ismail. Setelah memiliki cukup ilmu tentang agama, maka mereka akan disuruh pulang ke Mewat untuk mengajari agama pada penduduk di sana.
167
Ketika Maulana Muhammad Ismail sudah meninggal, usaha tersebut dilanjutkan oleh Maulana Ilyas. Berbeda dengan ayahnya, Maulana Ilyas bermaksud membimbing agama orang-orang Mewat dengan mendirikan madrasah-madrasah di lingkungan mereka sendiri. Sehingga mereka tidak perlu datang ke Nizamuddin atau daerah lain untuk belajar agama. Maka mulai didirikanlah madrasah-madrasah di Mewat sebagai upaya Maulana Muhammad Ilyas dalam memperbaiki jalan hidup orang-orang Mewat. Penduduk Mewat tidak perlu menyediakan gedung atau membangun gedung baru sebagai madrasah. Mereka cukup memanfaatkan masjid yang sudah ada sebagai madrasah. Sejumlah masjid menyambut baik program ini. Masjid-masjid tersebut kemudian dihubungkan satu dengan yang lain, sehingga terbangun suatu jaringan madrasah berbasis masjid. Melalui madrasah-madrasah ini masyarakat Muslim yang ada di sekitarnya dididik tentang keimanan dan praktek ajaran Islam yang benar (Esposito, 2002: 36). Dalam waktu singkat banyak madrasah berbasis masjid berdiri. Program ini berhasil meningkatkan pemahaman pada para muridnya tentang Islam yang benar. Secara kuantitatif ini menunjukkan keberhasilan pendekatan dakwah yang dilakukan Maulana Muhammad Ilyas. Namun ternyata hasil ini bukanlah sebagaimana yang diharapkan Maulana Ilyas. Pengalaman keluarga Maulana Ilyas dalam membimbing penduduk Mewat bisa dikatakan sebagai interaksi sosial Maulana Ilyas sebelum memulai gerakan dakwah dan tabligh. Pengalaman yang akhirnya membawa Maulana Ilyas pada kesimpulan bahwa madrasah bukanlah solusi yang tepat dalam memperbaiki masyarakat secara menyeluruh. Maulana Muhammad Ilyas melihat pendekatan dakwah dengan cara mendirikan madrasah hanya mampu memberikan perbaikan pada sebagian kecil aspek kehidupan. Sementara masih banyak aspek kehidupan masyarakat yang tidak tersentuh dengan mendirikan madrasah-madrasah. Blumer mengatakan, ”The Meaning of the such things is derived from, or arises out of, the social interaction that one has with ones’s fellows.” Makna muncul dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Awalnya Maulana Ilyas menaruh harapan besar pada madrasah bisa untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Harapan ini bisa dipahami mengingat Maulana Ilyas lahir dan besar di lingkungan madrasah.
168
Ayahnya, yaitu Maulana Muhammad Ismail, termasuk ulama berpengaruh di India dan memiliki madrasah di Nizamuddin. Sedangkan kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, merupakan guru Madrasah Mazhahir Al Ulum di Saharanpur. Sejak kecil Maulana Ilyas belajar agama di Mazhahir Al Ulum di Saharanpur. Pada usia 10 tahun Maulana Ilyas berguru langsung kepada Maulana Rasyid Ahmad Al Gangohi, salah satu ulama besar di wilayah Gangoh. Kemudian pada usia 23 tahun Maulana Ilyas berguru pada Maulana Hindi Mahmudul Hasan di Darul Ulum Deoband. Menurut Maulana Muhammad Ilyas kerusakan yang ada pada orang Mewat adalah karena mereka tidak mengenal hukum-hukum Islam. Maka menurutnya cara untuk membimbing orang-orang Mewat adalah dengan membangkitkan pendidikan agama bagi mereka yaitu melalui madrasah. Dengan belajar di madrasah mereka akan paham hukum-hukum Islam. Setelah selesai belajar di madrasah maka mereka akan disuruh pulang ke Mewat untuk mengajari agama pada penduduk. Namun setelah metode ini dijalankan dan dalam waktu relatif singkat mendapat sambutan dari masyarakat, Maulana Ilyas justru kecewa dengan pesantren. Maulana Muhammad Ilyas melihat pendidikan melalui madrasah hanya menghasilkan orangorang penceramah dan ahli agama. Sementara orang-orang Mewat secara umum, yang tidak belajar di madrasah, masih tetap dalam kondisi mereka seperti semula. Mereka masih tetap jauh dari ajaran-ajaran Islam, tidak berbeda dengan kondisi sebelum berdiri madrasah di Mewat. Mayoritas dari mereka bahkan tetap keberatan untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar di madrasah. Mereka juga tidak menghargai dan menghormati para lulusan madrasah di antara mereka. Melihat kondisi demikian akhirnya Maulana Muhammad Ilyas menyadari bahwa mendirikan madrasah bukanlah solusi yang tepat. Banyaknya jumlah madrasah tidak akan mungkin mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Mustahil juga memasukkan seluruh anak-anak Mewat ke madrasah-madrasah, dimana mereka harus belajar setiap hari dan meninggalkan semua aktivitas mereka termasuk membantu orang tua dalam mencari uang. Di sini dalam diri Maulana Ilyas terdapat proses berpikir (mind) yaitu membandingkan antara harapannya pada madrasah dengan realitas yang ditemuinya. Dewey mengatakan pikiran bukanlah suatu benda (the thing) atau suatu struktur, melainkan suatu proses yang melibatkan sejumlah tahap (Ritzer dan Goodman, 2004:
169
374). Dalam proses berpikir maka aktor memilih, memeriksa, mengelompokkan, dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya (Poloma, 2007: 259). Blumer menyebut proses seperti ini sebagai self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberikan makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Poloma, 2007: 261). Dari pengalaman, evaluasi yang dilakukan terus-menerus dan kesimpulan yang ia peroleh, akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk tidak melanjutkan metode perbaikan masyarakat melalui madrasah. Madrasah-madrasah yang sudah berdiri tetap dipertahankan namun Maulana Ilyas sudah tidak berharap banyak bisa menjadi solusi memperbaiki masyarakat. Kondisi ini kembali membuat Maulana Muhammad Ilyas merasakan kegelisahan yang serius. Sampai ketika Maulana Muhammad Ilyas melaksanakan ibadah hajinya yang kedua, pada tahun 1927, ia mendapat semacam ilham dari Tuhan. Suatu kepahaman mengenai metode dakwah sebagaimana yang dijalankan nabi dan para sahabat. Setelah pulang dari ibadah haji, sampai di India Maulana Muhammad Ilyas memulai gerakan dakwah dan tabligh. Maulana Muhammad Ilyas berkeliling
di
wilayah Mewat menemui orang-orang secara langsung untuk diajak taat pada ajaran agama. Setiap orang yang ditemui diajari tentang kalimat sahadat, sholat dan sebagainya. Tentu saja gerakan dakwah dan tabligh yang dilakukannya ini tidak lazim, bukan hanya bagi orang-orang Mewat yang awam tapi juga bagi ulama-ulama secara umum. Awalnya Maulana Muhammad Ilyas melakukan gerakan dakwah dan tabligh ini sendiri. Dalam perkembangannya Maulana Muhammad Ilyas mulai mengajak orang lain untuk melakukan gerakan dakwah dan tabligh sebagaimana yang dilakukannya. Caranya adalah dengan mengorganisir beberapa orang sampai terbentuk jamaah atau rombongan. Satu jamaah biasanya terdiri dari sekitar sepuluh orang, namun jumlah ini bersifat fleksibel. Rombongan yang telah terbentuk kemudian dikirim ke kampung atau daerah lain untuk melakukan aktivitas dakwah dan tabligh. Metode dakwah dan tabligh Maulana Muhammad Ilyas menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Metode dakwah dan tabligh berupa jaulah dan khuruj ini bukan hanya menghasilkan orang-orang ahli agama. Tapi lebih utama yaitu membentuk
170
orang-orang yang siap menyebarkan agama langsung ke rumah-rumah dan orang per orang. Melalui metode dakwah dan tabligh Maulana Muhammad Ilyas para Muslim Mewat mulai kembali mengamalkan ajaran Islam secara benar. Mereka kembali melaksanakan sholat wajib, puasa di Bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya. Ritual-ritual Hindu juga mulai mereka tinggalkan. Tradisi-tradisi yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian mulai dilakukan dengan tradisi Islam. Banyak orang Mewat yang bersimpati dengan metode dakwah dan tabligh Maulana Muhammad Ilyas. Dalam waktu relatif singkat, rombongan-rombongan yang dibentuk Maulana Muhammad Ilyas semakin bertambah. Pada waktu Maulana Muhammad Ilyas meninggal, metode dakwah dan tabligh yang dijalankannya dipandang telah berhasil membangkitkan Islam di Mewat. Dibandingkan berbagai gerakan Islam lainnya, Jamaah Tabligh tidak pernah menunjukkan memiliki agenda politik apalagi afiliasi politik. Jamaah Tabligh merupakan gerakan Islam puritan. Misi rombongan-rombongan Jamaah Tabligh yang berdakwah dimanapun semuanya sama yaitu untuk menyempurnakan iman tanpa tercampuri kepentingan politik apa pun. Metcalf menulis dalam artikelnya yang berjudul Aktivisme Islam Tradisionalis: Deoband, Tabligh dan Talib: “Jamaah Tabligh adalah sebuah cabang dari gerakan Deoband. Dalam beberapa hal, Jamaah Tabligh merupakan sebuah penguatan komitmen awal Deobandi terhadap pembaharuan jiwa individu terlepas dari setiap program politik yang nyata.” (Metcalf, 2003: 146) Setiap program Jamaah Tabligh bebas dari kepentingan politik memang benar. Tapi pernyataan Metcalf bahwa Jamaah Tabligh merupakan cabang dari gerakan Deoband menurut peneliti tidak tepat. Deoband adalah sebuah madrasah terbesar bagi para pengikut Imam Hanafi di wilayah India dan sekitarnya. Sementara Jamaah Tabligh merupakan gerakan Islam transnasional yang tidak mengusung madzhab tertentu. Memang benar pelopor dan ulama-ulama Jamaah Tabligh di India, Pakistan dan sekitarnya adalah lulusan Deoband. Barangkali dengan alasan ini kemudian Metcalf mengambil kesimpulan seperti di atas. Terlepas dari perdebatan ini tampaknya sikap Jamaah Tabligh yang menjauhi politik praktis secara langsung atau tidak terpengaruh oleh sikap Deoband yang juga tidak terlibat dalam politik praktis. Dengan kata lain sikap non politik Jamaah Tabligh
171
sedikit atau banyak merupakan hasil interaksi Maulana Ilyas ketika belajar di madrasah Deoband. Dengan demikian Maulana Ismail, Maulana Muhammad Yahya, Maulana Rasyid Ahmad Al Gangohi, Maulana Hindi Mahmudul Hasan dan madrasah-madrasah berbasis masjid yang telah didirikan bisa dikatakan sebagai significant others bagi Maulana Ilyas sebelum memulai gerakan dakwah dan tabligh.
C. Makna Berubah Melalui Interpretasi “These meanings are handled in, and modified through, an interpretive process used by the person in dealing with the things he encounter.” (Blumer, 1984: 2) Demikian bunyi premis Blumer yang ketiga. Makna sesuatu dipertahankan dan dimodifikasi melalui proses interpretif. Selanjutnya Blumer menyatakan bahwa proses manusia dalam menginterpretasi sesuatu melalui dua langkah (West dan Turner, 2008: 100; Riyadi Soeprapto, 2002: 142), yaitu: a. Langkah pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang memunyai makna. b. Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi di dalam konteks di mana mereka berada.
Pada poin B di atas telah dijelaskan bahwa pada awalnya Maulana Ilyas menaruh harapan besar pada madrasah dapat memperbaiki masyarakat secara menyeluruh. Dengan kata lain madrasah memiliki makna sangat signifikan bagi Maulana Ilyas dalam kaitannya dengan usaha memperbaiki masyarakat. Ini merupakan meaning construction madrasah pada Maulana Ilyas. Meaning construction ini dimiliki Maulana Ilyas tidak serta merta sudah jadi melainkan terbangun melalui proses interaksi sosialnya dengan madrasah sejak kecil. Melalui proses interaksi juga meaning construction Maulana Ilyas mengenai madrasah berubah 180 derajat. Melalui pengalaman dan evaluasi, Maulana Ilyas melihat ternyata madrasah tidak mampu memperbaiki masyarakat secara menyeluruh. Maulana Muhammad Ilyas melihat pendidikan melalui madrasah hanya menghasilkan orangorang penceramah dan ahli agama. Sementara masyarakat secara umum, yang tidak
172
belajar di madrasah, masih tetap dalam kondisi mereka seperti semula yang jauh dari nilai-nilai agama. Di sini terjadi proses interpretif. Dalam proses interpretif pelaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun kembali, dan mengubah makna untuk mengetahui situasi di mana ia ditempatkan dan arah dari tindakan-tindakannya (Littlejohn dan Foss, 2005: 155; Poloma, 2007: 259). Awalnya Maulana Ilyas memilih madrasah sebagai metode memperbaiki masyarakat, kemudian ia mengevaluasi, mempertahankan sambil terus melakukan evaluasi sampai pada kesimpulan bahwa madrasah bukan solusi yang tepat untuk memperbaiki masyarakat. Blumer menyebut proses ini sebagai self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberikan makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Poloma, 2007: 261). Tindakan yang dilakukan Maulana Ilyas adalah menghentikan usahanya mendirikan madrasah-madrasah berbasis masjid. Setelah mendapati bahwa madrasah tidak mampu memperbaiki masyarakat secara menyeluruh, Maulana Ilyas menerapkan metode yang lain yaitu dakwah dan tabligh. Metode yang diperolehnya bukan dari proses interaksi sosial, melainkan diperolehnya dari ilham yang diberikan Tuhan. Dakwah yang dipahami Maulana Ilyas bukanlah ceramah tapi dakwah sebagaimana yang dilakukan Nabi yaitu terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat. Misi yang dibawa bukan diajak pada golongan atau organisasi tapi dakwah dalam Jamaah Tabligh ialah mengajak manusia yakin dari tiga perkara kepada tiga perkara, yaitu: 1. Dari yakin kepada makhluq (ciptaan) menjadi yakin kepada kholiq (pencipta, yaitu Allah swt) 2. Dari yakin kepada maal (harta benda) menjadi yakin kepada ‘amal (amal ibadah) 3. Dari yakin kepada kehidupan dunia yang fana menjadi yakin kepada kehidupan akhirat yang kekal selama-lamanya
Dalam pemahaman Jamaah Tabligh maksud utama melakukan dakwah adalah memperbaiki diri atau yang disebut dengan istilah ishlahun nafs bukan untuk memperbaiki orang lain. Memperbaiki diri yang dimaksud oleh Jamaah Tabligh
173
terutama adalah memperbaiki iman. Menurut pemahaman Jamaah Tabligh kebutuhan yang paling penting bagi setiap orang adalah iman. Oleh karena itu memperbaiki iman sampai pada tingkat iman yang sempurna menjadi kebutuhan setiap orang. Berdasarkan pemahaman ini maka dakwah menjadi kebutuhan wajib bagi setiap muslim. Meaning construction dakwah yang ada pada Jamaah Tabligh ini tampak sangat berbeda dengan pemahaman yang rata-rata berkembang di masyarakat. Kebanyakan masyarakat memahami dakwah adalah ceramah yang tujuannya untuk memperbaiki orang lain terutama para pendengar. Kebanyakan masyarakat juga memaknai dakwah bukan kewajiban setiap pribadi orang Islam, melainkan kewajiban para ulama, ustad, kiyai atau santri. Jadi interpretasi bukanlah proses memahami makna-makna yang sudah ada untuk kemudian bertindak menurut makna tersebut. Poloma (2007: 260) mengatakan bahwa interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan di mana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan.
D. Interaksi Simbolik Jamaah Tabligh Surakarta Pada tiga sub bab di atas (sub bab A-C) peneliti menggunakan tiga premis Interaksionisme Simbolik Blumer untuk menganalisa dakwah Jamaah Tabligh pada tataran konseptual. Oleh karena konsep dakwah Jamaah Tabligh terbangun sejak masa awal gerakan ini dimulai maka analisa yang berjalan cenderung bersifat kajian historis. Sebagai hasilnya, dua premis Blumer yang pertama bekerja sangat baik untuk menganalisa konstruksi makna dakwah Jamaah Tabligh. Sementara premis Blumer yang ketiga tidak sepenuhnya mampu untuk menganalisa konstruksi makna dakwah Jamaah Tabligh. Pada sub bab D ini penulis menggunakan tiga premis Interaksionisme Simbolik Blumer untuk menganalisa fakta empiris dakwah Jamaah Tabligh di Surakarta. Pada bagian ini penulis menyampaikan bagaimana konsep dakwah Jamaah Tabligh yang sudah terbangun lama dimaknai dan dipraktekkan oleh Jamaah Tabligh Surakarta. Jadi analisa pada bagian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah sama atau ada pemaknaan ulang oleh Jamaah Tabligh di Surakarta terhadap konsep dakwah.
174
Sejauh observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dengan para pekerja dakwah di Surakarta rata-rata menunjukkan pemahaman yang sama pada makna dakwah. Rata-rata pekerja dakwah di Surakarta memahami bahwa dakwah merupakan kewajiban setiap umat Islam baik kiyai, ustadz, santri maupun orang awam. Mereka juga memahami bahwa tujuan utama melakukan dakwah adalah untuk memperbaiki diri pelaku dakwah bukan objek yang didakwahi. Perbaikan yang dimaksud adalah dalam hal iman, karena mereka sangat meyakini iman merupakan perkara yang paling penting bagi setiap orang sejak hidup di dunia sampai akhirat. Meskipun kebanyakan para pekerja dakwah di Surakarta tidak menguasai dalil atau dasar hukum melakukan khuruj dan jaulah, namun mereka memiliki keyakinan yang kuat. Mereka sangat yakin bahwa khuruj dan jaulah adalah metode dakwah yang asli sebagaimana dikerjakan Nabi Muhammad saw dan para Sahabat. Mereka juga yakin metode dakwah khuruj dan jaulah selalu up to date, sesuai untuk setiap zaman. Pada level ini menunjukkan premis pertama Blumer bekerja cukup baik untuk menganalisa konstruksi makna dakwah pada Jamaah Tabligh di Surakarta. Premis Blumer yang kedua juga sangat sesuai dengan fenomena Jamaah Tabligh di Surakarta. Pemaknaan yang dimiliki para pekerja dakwah di Surakarta mengenai konsep dakwah diperoleh melalui interaksi sosial mereka dengan sesama pekerja dakwah. Dengan metode mudzakaroh maka transfer of meaning sangat cepat berlangsung. Ketika khuruj setiap hari para pekerja dakwah melakukan mudzakaroh minimal 4 kali. Untuk pemula materi yang disampaikan dalam mudzakaroh biasanya adalah adab-adab dan pemahaman mengenai dakwah. Dengan cara seperti ini tidak mengherankan dengan mengikuti khuruj hanya 3 hari tapi sudah mampu mentransfer konstruksi makna dakwah yang dimiliki Jamaah Tabligh. Selanjutnya, dalam riset ini peneliti menemukan ada beberapa fenomena menarik pada Jamaah Tabligh di Surakarta.
1. Pakaian Cukup mudah untuk mengidentifikasi seorang karkun atau pekerja dakwah, salah satunya dari pakaian. Kebanyakan pekerja dakwah biasanya memakai pakaian berupa gamis atau jubah dan memakai penutup kepala peci atau sorban. Gamis adalah pakaian dengan panjang mencapai sekitar betis. Jubah
175
lebih panjang sedikit dari gamis. Jubah panjangnya hampir mencapai mata kaki. Kedua pakaian ini berasal dari tradisi Timur Tengah dan Asia Selatan. Hanya saja gamis yang biasa dipakai para pekerja agama berbeda dengan gamis model Timur Tengah. Gamis yang biasa mereka pakai adalah model Asia Selatan yaitu gamis dengan belahan di sebelah kanan dan kiri bawah. Baik jubah maupun gamis yang biasa dipakai para pekerja agama biasanya memiliki model dan motif yang cenderung sederhana dengan warna polos. Mereka biasa memadukan gamis atau jubah dengan celana panjang atau sarung. Di Surakarta, para pekerja dakwah lebih banyak memakai baju koko daripada yang memakai gamis atau jubah. Ada juga yang kadang memakai kemeja lengan panjang. Beberapa orang dengan jumlah yang sedikit kadang memakai kemeja batik lengan panjang. Tapi yang jelas, apapun model dan motif pakaian para pekerja dakwah mereka tidak lupa memakai penutup kepala. Bagi Jamaah Tabligh memakai penutup kepala sangat penting, karena merupakan cara berpakaian yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Berbeda lagi dengan kelompok yang dikordinir Ustadz Ali Joko Wasono, pakaian yang mereka kenakan ketika khuruj disesuaikan dengan daerah yang dituju. Ketika melakukan khuruj ke daerah santri, seperti Madura misalnya, pakaiannya adalah baju koko atau gamis dan mengenakan sarung bukan celana panjang. Di daerah santri memakai celana panjang dianggap kurang sopan. Apalagi ketika sholat, mengisi ceramah dan menghadap kiyai dianggap sangat tidak sopan apabila mengenakan celana panjang. Demikian juga baju yang mereka kenakan ketika khuruj di daerah santri adalah baju dengan motif sederhana bahkan cenderung polos. Mereka menghindari baju dengan motif yang ramai dan warna yang mencolok. Khusus di Madura sarung yang dipakai tidak boleh bermotif batik, karena sarung batik dalam tradisi Madura adalah sarung untuk kaum perempuan. Demikian juga ketika khuruj di Madura mereka menghindari pakaian serba putih da surban. Di Madura yang berpakain serba putih apalagi memakai surban biasanya adalah kiyai atau ulama. Penutup kepala yang dikenakan biasanya adalah peci yang biasa dipakai santri, bukan peci hitam nasional. Di daerah pesantren di Madura memakai peci hitam nasional akan dianggap mantan orang
176
tidak baik, seperti: mantan pencuri, perampok, bandar narkoba, pembunuh dan sebagainya. Berbeda ketika keluar di daerah Demak, Jawa Tengah, yang juga merupakan daerah santri. Ketika melakukan khuruj ke daerah Demak mereka justru mengenakan kemeja batik dan peci hitam nasional. Sebagaimana di daerah santri lainnya, memakai celana panjang dianggap kurang sopan sehingga memakai sarung. Berbeda dengan di Madura, di daerah Demak sarung dengan motif apa saja boleh dipakai kaum pria. Apabila keluar di daerah perumahan mereka memakai pakaian yang lebih rapi. Secara umum khuruj di daerah perumahan tidak ada masalah dengan model dan motif pakaian. Namun begitu biasanya mereka lebih memilih memakai baju koko dengan bawahan sarung atau celana panjang. Memakai jubah atau gamis biasanya mereka lakukan ketika acara ijtima atau khuruj di daerah yang sudah familiar dengan Jamaah Tabligh.
2. Jamaah Gemuk Satu rombongan khuruj biasanya terdiri dari 8-12 orang. Jumah tersebut dianggap ideal terutama untuk pembagian tugas-tugas selama khuruj. Apabila pesertanya terlalu banyak atau terlalu sedikit maka pembagian tugas menjadi tidak merata. Apabila terlalu banyak orang maka ada yang tidak mendapat tugas. Sementara apabila orangnya terlalu sedikit maka akan ada peserta yang mendapat dua tugas atau lebih sehingga menjadi berat. Beberapa rombongan Jamaah Tabligh di Surakarta ternyata ada yang anggotanya jauh melebihi jumlah standar. Rombongan tersebut berasal dari daerah Bekonang, Kabupaten Sukoharjo. Setiap bulan mereka melakukan khuruj 3 hari dengan jumlah peserta lebih dari 30 orang. Rombongan yang lain berasal dari Pasar Kliwon, Surakarta dengan jumlah peserta lebih dari 20 orang. Dengan jumlah peserta sebanyak itu maka otomatis memerlukan masjid yang besar. Apabila mengikuti kaedah umum di Jamaah Tabligh maka orang sejumlah itu sudah bisa dibentuk menjadi 3 atau 4 rombongan. Namun mereka tetap menjadikan dalam satu rombongan dengan pertimbangan mayoritas adalah peserta baru. Rata-rata para peserta pemula belum siap apabila diberi tugas.
177
Sehingga apabila dipecah menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil dikhawatirkan justru mereka merasa berat sehingga tidak mau lagi mengikuti khuruj.
3. Kas Jamaah Pada Bab IV telah disebutkan bahwa Jamaah Tabligh bukanlah kelompok, golongan alih-alih organisasi. Jamaah Tabligh merupakan suatu asosiasi informal tanpa pernah berpikir tentang catatan keanggotaan, rekruitmen anggota, konstitusi tertulis, berbagai aturan keorganisasian maupun struktur kepengurusan. Alih-alih berbentuk organisasi, bahkan gerakan ini tidak memiliki format layaknya sebuah gerakan atau komunitas yang besar. Gerakan ini hanya merupakan kumpulan dari orang-orang yang melakukan aktivitas yang sama. Oleh karena itu sangat susah untuk mengetahui secara pasti statistik pekerja dakwah. Jamaah Tabligh tidak pernah membuat data orang-orang yang telah bergabung dalam aktivitas dakwah dan tabligh. Ini karena Jamaah Tabligh tidak mengenal sistem keanggotaan. Siapa pun yang tergabung dalam Jamaah Tabligh tidak pernah melalui proses pendaftaran apalagi kemudian memiliki kartu anggota. Setiap orang terlibat dalam aktivitas dakwah dan tabligh secara kultural. Karakter lainnya sebagai konsekuensi gerakan tanpa bentuk, sangat susah mengidentifikasi aset yang dimiliki Jamaah Tabligh. Gerakan Islam yang lain, seperti Muhammadiyah, NU, MTA dan sebagainya, bisa diketahui jumlah aset yang dimiliki. Sementara Jamaah Tabligh tidak diketahui jumlah kepemilikan aset, karena memang Jamaah Tabligh tidak memiliki aset. Masjidmasjid yang mereka tempati bukan milik Jamaah Tabligh tapi milik masyarakat. Tanah luas yang digunakan untuk ijtima juga bukan milik Jamaah Tabligh tapi milik orang atau perusahaan yang simpati pada Jamaah Tabligh. Lebih jelas lagi Jamaah Tabligh tidak mengenal sistem kas. Jamaah Tabligh tidak pernah melakukan penggalangan dana untuk mengisi kas. Para pengikut Jamaah Tabligh tidak pernah melakukan iuran yang disetorkan secara rutin untuk mengisi kas Jamaah Tabligh. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab
178
IV setiap para pekerja dakwah melakukan khuruj biaya berasal dari kantong masing-masing bukan dibiayai jamaah atau sponsor. Hal demikian berlaku sama pada semua Jamaah Tabligh di seluruh dunia. Dalam riset ini peneliti mendapatkan temuan menarik ketika melakukan observasi pada Jamaah Tabligh di Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Di Tasikmadu, para pekerja dakwah membentuk pengurus zakat dan sedekah. Pengurus ini bertugas mengelola, yaitu menerima, mencatat, menyimpan dan menyalurkan uang zakat dan sedekah para pekerja dakwah di Tasikmadu. Dengan dibentuknya pengurus zakat dan sedekah ini, maka ada kas yang dimiliki Jamaah Tabligh Tasikmadu. Ini jelas berbeda dengan keumuman Jamaah Tabligh sebagai gerakan tanpa bentuk. Ketika peneliti konfirmasi kepada pengurus zakat dan sedekah di Tasikmadu, dijelaskan bahwa pembentukan pengurus ini tujuannya untuk mengelola zakat dan sedekah para pekerja dakwah di Tasikmadu. Dengan dibentuk pengurus maka kemanfaatan zakat dan sedekah para pekerja dakwah di Tasikmadu bisa lebih optimal.
4. Keluar Daftari Pada Bab IV sudah dijelaskan bahwa khuruj berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah ‘keluar’. Sehingga para pekerja agama di Indonesia sering menggunakan kata ‘keluar’ untuk menggantikan kata khuruj. Khuruj, sebagai metode dakwah Jamah Tabligh, dilakukan dengan keluar atau pergi dari lingkungan tempat tinggal para pekerja agama. Mereka pergi meninggalkan keluarga dan pekerjaan pindah ke daerah lain dengan membawa peralatan masak dan peralatan pribadi. Di Surakarta peneliti mendapati beberapa pekerja dakwah mengikuti khuruj tapi juga tetap bekerja. Caranya yaitu, pagi hari atau ketika jam kerja mereka tetap berangkat ke tempat pekerjaan kemudian setelah selesai tidak pulang ke rumah tapi langsung ke masjid tempat mereka melakukan khuruj. Besok harinya berangkat lagi ke tempat pekerjaan dari masjid. Jadi berangkat dari masjid dan pulang kerja langsung ke masjid tidak mampir ke rumah. Para pekerja dakwah yang keluar dengan cara seperti ini biasanya adalah mereka yang memiliki pekerjaan yang mengikat seperti PNS, karyawan swasta,
179
atau buruh pabrik. Khuruj dengan cara seperti ini biasa disebut daftari. Namun keluar daftari ini merupakan pilihan terakhir setelah meminta ijin kepada atasan namun tidak diijinkan.
Empat fenomena yang peneliti temui ini menunjukkan bahwa Jamaah Tabligh Surakarta melakukan pemaknaan ulang atau memodifikasi makna pada keempat hal tersebut. Dengan demikian premis Blumer yang ketia bahwa “these meanings are handled in, and modified through, an interpretive process used by the person in dealing with the things he encounter” juga bekerja sangat baik pada fenomena Jamaah Tabligh Surakarta.