an tersebut untuk melancarkan serangan dengan sisa tabung jarum yang kau miliki?" Ki sianseng menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, peluh dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. "Darimana kau bisa tahu kalau aku masih mempunyai tiga buah tabung jarum? Agaknya berapa banyak tabung yang kumiliki telah kau ketahui dengan jelas." "Aku rasa semua persoalan tentang dirimu cukup kuketahui, bahkan jauh lebih banyak daripada apa yang kau bayangkan sekarang." Untuk kesekian kalinya Ki sianseng menghela napas panjang. "Cho sianseng, kau memang jauh lebih tangguh daripada semua orang, jauh lebih tangguh daripada diriku, kau memang sepantasnya akan berhasil," katanya sedih, "mulai saat ini, aku tak akan mengkhianatimu lagi." "Mulai saat ini?" Cho tang-lay seolah-olah keheranan, "apakah kau benar-benar mengira kau masih ada kesempatan di kemudian hari.....?" Paras muka Ki sianseng sama sekali tidak berubah, wajah yang telah dirubah sedemikian rupa dengan obat-obatan memang tidak mudah berubah. Tapi seluruh tubuhnya justru mengalami perubahan yang sangat besar, seperti seekor ular berbisa yang berhadapan dengan seekor bangau sakti, berubah menjadi tegang dan mengejang keras. "Kau menginginkan aku berbuat apa?" dia bertanya kepada Cho Tang-lay, "terserah apapun permintaanmu, pasti akan kulaksanakan......." Cho Tang-lay manggut-manggut. "Aku sendiripun tidak mengharapkan kau berbuat apaapa, aku hanya berharap kau suka melakukan suatu pekerjaan yang amat sederhana, perbuatan yang bisa dilakukan oleh setiap orang." Ternyata Ki sianseng tidak melihat kalau mata orang ini kembali berkerut kencang, dia malah bertanya lagi: "Kau suruh aku melakukan pekerjaan apa?" "Aku minta kau pergi mati!" sepatah demi sepatah kata Cho Tang-lay berkata. ooo)O(ooo Mati, kadangkala memang merupakan suatu perbuatan yang sederhana. Ki sianseng mati dengan amat cepat. Di saat cahaya pedang di tangan Cho Tang-lay kembali mulai berkelebat, ia telah tewas. Cahaya pedang hanya berkelebat lewat, tahu-tahu tenggorokannya sudah tertusuk. Untuk kesekian kalinya kembali Siau-ko memuji: "Ilmu pedang bagus, betul-betul cepat gerak serangan pedangmu itu......" Cho Tang-lay tersenyum. "Pedangmu juga termasuk pedang bagus, jauh lebih bagus daripada apa yang kubayangkan, aku seperti mulai merasa berat untuk mengembalikannya kepadamu." ooo)O(ooo Selama ini Cu Bong sama sekali tidak bergerak, lagi pula selalu tenang. Sebetulnya dia bukan termasuk manusia seperti ini, kematian dari Suma Cau-kun sebenarnya bisa mengobarkan darahnya, membuatnya jadi bersemangat. Tapi dia sama sekali tidak bergerak, karena kematian dari Suma Cau-kun tiba-tiba saja mengingatkannya akan banyak persoalan dan setiap persoalan tersebut seakan-akan sebuah tombak yang menusuk ke dalam ulu hatinya. Mengapa Go Wan berbuat demikian? Demi membalas dendam? Ataukah demi melindungi diri sendiri? Seseorang telah melakukan suatu kesalahan, tapi melimpahkan kesalahannya tersebut ke dada orang lain, bukan saja di hati kecilnya tidak merasa menyesal, dia malah berusaha membalas dendam kepada orang lain. Tingkah laku semacam ini sebenarnya merupakan salah satu titik kelemahan dari umat manusia semenjak dahulu kala. Seseorang pergi mencelakai jiwa orang lain demi melindungi diri, karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan, jalan pemikiran tersebut rasanya memang tak jauh berbeda. Rasa serakah dan egois, memang merupakan titik kelemahan manusia yang tak mungkin bisa di atasi oleh setiap orang. Tapi berbeda sekali dengan jalan pemikiran Cu Bong. Tiba-tiba saja dia mendapat gambaran bahwa Go Wan sampai berbuat demikian bisa jadi hal ini dikarenakan perasaan cintanya yang begitu dalam terhadap Suma Cau-kun. Cinta yang begitu mendalam sehingga ia menjadi sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Bila cintanya telah mencapai taraf seperti ini, apalagi cinta dengan cara demikian, akhirnya hanya kepunahan yang akan diperoleh. Itulah sebabnya diapun menghancurkan diri sendiri, bukan cuma menghancurkan diri sendiri, juga menghancurkan segenap cintanya. Suma Cau-kun dapat memahami hal tersebut, itulah sebabnya sampai ajalnya tiba, dia sama sekali tidak mendendam. Bagaimana dengan Tiap-wu? Di saat Cho Tang-lay menurunkan perintah kepada anak buahnya untuk menyerang Hiong- say-tong, mengapa Tiap-wu melarikan diri? Mengapa ia lebih suka melarikan diri sekalipun harus diperalat oleh Cho Tang-lay? Demi 'cinta' kah dia pergi....? Atau kepergiannya karena 'tidak cinta'.....? Bila diapun seperti Go Wan mencintai Suma Cau-kun, begitu mencintai Cu Bong, tentu saja dia akan pergi bila dianggapnya Cu Bong sama sekali tidak mengacuhkan dirinya. Bila dia sama sekali tidak mencintai Cu Bong, tentu saja dia lebihlebih akan pergi. Tapi jika dia memang sama sekali tidak berubah, mengapa ia begitu memperhatikan Cu Bong? Mengapa ingin mati? Tidak cinta akan timbul benci, cinta yang mendalampun bisa berubah menjadi benci, cinta dan benci
memang hanya dipisahkan oleh sebuah garis tipis saja. Sebenarnya cinta atau benci? Siapa yang bisa membedakan secara jelas? Dan siapa pula yang bisa memahami hal-hal seperti itu? Mendadak Cu Bong tertawa seram. "Suma Cau-kun, kematianmu memang amat tepat, kematian yang bagus sekali," gelak tertawanya makin keras seperti pekikan monyet, "sebenarnya kau memang pantas mati, sebab sebetulnya kau memang seorang manusia dungu yang tak ada obatnya bisa disembuhkan lagi." Menanti ia sudah berhenti tertawa, Cho Tang-lay baru bertanya lagi dengan suara dingin: "Bagaimana dengan kau sendiri?" "Aku lebih pantas mati lagi ketimbang dia," kata Cu Bong, "sudah sejak lama ingin kuhadiahkan batok kepalaku ini untuk orang lain, sayang tiada orang yang mau, namun bila aku harus mati di tanganmu, akupun mati dengan perasaan tak rela." "Kau tidak bakal mati!" tiba-tiba Siau-ko berteriak keras. Dengan cepat ia melompat ke muka dan berdiri berjajar di samping Cu Bong, kemudian digenggamnya lengan Cu Bong erat-erat sambil berseru: "Siapa berani mengusikmu, aku akan membunuhnya lebih dulu." Cho Tang-lay memandang ke arah Siau-ko, dia seakan-akan sedang mengawasi seorang bocah yang sudah terlalu dimanja, meski agak marah namun toh masih terselip perasaan sayang dan kasihan. "Terlepas bagaimanakah sikapmu kepadaku, aku tak pernah mengusikmu, bahkan sewaktu kau menghendaki kematianku pun aku juga tidak menganggumu," kata Cho Tang-lay, "aku percaya kau sudah seharusnya memahami maksud hatiku." Mau tak mau Siau-ko memang harus mengakui hal ini. "Tentu saja aku mengerti," katanya, "kau ingin menciptakan diriku sebagai Suma Cau-kun ke dua." Cho Tanglay menghela napas sedih. "Dia adalah satu-satunya sahabatku selama hidupku ini, entah bagaimanapun sikapnya kepadaku, akupun tak pernah berubah sikap kepadanya." "Aku percaya!" "Percayakah kau setiap saat akupun dapat membunuhmu?" "Aku memang tak bisa melebihi kelihaian ilmu pedangmu, siapa pula manusia di kolong langit yang mampu menandingi kecerdasan otakmu?" ucap Siau-ko, "tadi kau mengatakan Ki sianseng adalah seorang manusia berbakat yang luar biasa, padahal yang betul-betul luar biasa bukanlah dia, melainkan kau, siapa saja saja mau tak mau pasti akan merasa kagum." Ditatapnya Cho Tang-lay lekat-lekat, kemudian dengan menirukan nada yang khas dari Cho Tang-lay, sepatah demi sepatah kata dia melanjutkan: "Tapi sayang, sekalipun kau telah membunuh dirikupun percuma, karena biarpun kau mengusik Cu Bong, dan apalagi aku masih mempunyai sebuah ambisi, selama aku masih mempunyai ambisi tersebut, kau belum tentu bisa mengungguli diriku....." Kelopak mata Cho Tang-lay mulai berkerut kencang. "Memang harus kuakui bahwa kau memang masih memiliki semacam semangat, semacam ambisi," katanya kepada Siau-ko, "tapi dimanakah pedangmu sekarang?" "Berada di tanganmu!" "Berada di tanganku berarti milikku, apakah kau masih mempunyai pedang lain?" "Aku tak punya." Cho Tang-lay segera tertawa. "Kau tak punya, tapi aku punya!" ooo)O(ooo Cho Tang-lay memang membawa pedang dan pedang tersebut sudah diloloskan dari sarungnya. Itulah sebilah pedang yang sangat tajam dan mampu memapas rambut, sepasang tangannya juga merupakan sepasang tangan yang menakutkan, bahkan jauh lebih menakutkan daripada pedangnya. Bila sepasang tangan itu telah membunuh orang, bukan saja tak kelihatan darah, tetesan air matapun tak akan nampak. "Bila kau bersikeras hendak berbuat demikian, berbuat saja secara demikian," kata Cho Tang- lay, "mungkin inilah nasibmu, nasib seseorang memang tak mungkin bisa dirubah oleh siapa saja." Orang ini dengan sepasang tangannya dan pedangnya memang bisa menetapkan nasib dan mati hidup seseorang di dalam waktu yang amat singkat. Tiba-tiba Cu Bong mendongakkan kepalanya, lalu tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh...... haahhh..... haahhh, seorang lelaki sejati yang tak takut hidup, mengapa harus takut menghadapi kematian? Baru hari ini aku Cu Bong memahami arti dari perkataan tersebut." Kemudian makin merendahkan suara tertawanya dia melanjutkan: "Ko Cian-hui, aku Cu Bong bisa mendapatkan seorang teman seperti kau, biar matipun tak akan menyesal, tapi kau masih begitu muda, mengapa kau harus beradu jiwa dengan percuma?" Ketika berbicara sampai di situ, tiba-tiba dia mencukil pedang dari Kongsun Po-kiam yang tergeletak di tanah itu dengan ujung kakinya, lalu setelah menyambarnya, pedang tadi segera ditempelkan di atas lehernya siap memenggal batok kepala sendiri. Namun tangannya segera digenggam Siau-ko kencang-kencang, sedang tangan Siau-ko yang lain memegang mata pedang tersebut erat-erat dan.....'Triiiing!' pedang tersebut tahu-tahu sudah patah menjadi dua bagian. Cu Bong segera melotot ke arahnya sambil membentak: "Mengapa kau tidak membiarkan aku mati saja?" "Mengapa kau harus mati?" "Sebab aku menginginkan kau tetap hidup," kata Cu Bong, "aku sendiri memang sudah
seharusnya mati sejak lama, bila aku telah mati, kaupun tak usah beradu jiwa lagi dengan Cho Tang-lay, akupun bisa mati tanpa menyesal, sebab kehidupanku inipun tidak hidup yang sia-sia belaka." "Kau keliru!", ucap Siau-ko, "mati hidupmu sekarang sudah tiada sangkut pautnya sama sekali dengan pertarungan kami hari ini, entah kau hidup atau mati, pertarungan ini tetap akan berlangsung sebagaimana mestinya." "Mengapa?" "Sebab Cho Tang-lay sudah tak akan melepaskan diriku lagi sekarang, bila aku tidak mati, dia akan mati di tanganku, bila sekarang juga aku bisa membunuhnya, tak akan kubiarkan dia hidup sampai fajar menyingsing esok hari." Ia menggenggam tangan Cu Bong erat-erat, kemudian melanjutkan: "Perkataanmu tadi pun keliru besar, seorang lelaki sejati bila ingin tetap hidup di dunia ini, maka dia harus hidup dengan senang dan riang gembira, bila dia ingin mati, diapun harus mati dengan berharga, sekarang bila kau ingin mati, hal tersebut tak lebih hanya akan mengantarkan selembar jiwamu kepada orang lain secara percuma, kematianmu sama sekali tak ada harganya." Mendadak Cho Tang-lay tertawa tergelak-gelak. "Perkataanmu memang betul, bila ia sudah mati, belum terlambat bagimu bila ingin mampus pula, mengapa kau harus menghadiahkan selembar jiwamu secara terburuburu? Apakah kau anggap aku akan berterima kasih kepadamu?" Cu Bong segera mengendorkan tangannya, tapi Siau-ko masih mengenggam tangannya erat- erat. "Bila aku tidak mati hari ini, bukan saja kubantu kau untuk membangun kembali Hiong-say- tong, bahkan akan kukuasai pula seluruh Toa Piau-kiok," kata Siau-ko, "masa depan kita masih cukup cemerlang, itulah sebabnya selama kita masih ada kemungkinan untuk hidup janganlah membicarakan soal 'kematian' dengan begitu saja." Sekali lagi Cho Tang-lay menghela napas panjang. "Perkataan seperti inipun betul juga, hidup di dunia mengapa harus mencari mati?. Mengapa harus memandang begitu rendah atas nyawa sendiri?" Kemudian setelah menghela napas, terusnya: "Sayang sekali bila seseorang sudah berada dalam keadaan harus mati, tak seorangpun bisa lolos dari kematian dengan begitu saja, entah siapapun itu orangnya, semua tidak terkecuali." Ia memandang wajah Siau-ko, kelopak matanya kembali berkerut kencang. "Sekarang, kau sudah tiba dalam keadaan harus mati!" kata Cho Tang-lay lebih jauh, "karena kau telah melakukan sesuatu kesalahan lagi." "Kesalahan apa?" "Barusan kau tidak seharusnya mematahkan pedang tersebut, bila kau masih membawa pedang, mungkin kau masih mampu bertahan selama tiga puluh gebrakan, tapi sekarang, hanya sepuluh gebrakan saja aku sudah mampu merenggut selembar jiwamu." Baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, terdengar seseorang telah berkata pula dengan suara yang dingin kaku dan tinggi hati. "Kali ini, mungkin yang keliru adalah kau sendiri." ooo)O(ooo Fajar baru saja menyingsing, cahaya lentera masih kelihatan amat redup, kabut putih yang lembut menyelimuti seluruh permukaan tanah. Dari balik kabut pagi inilah muncul seseorang yang sukar diketahui siapa orangnya, dengan membawa sebuah peti yang lebih, lebih misterius rasanya. "Siau Lay-hiat, kau rupanya!" "Ya, memang aku," Siau Lay-hiat menjawab dingin, "mungkin kau mengira aku sudah tak bisa kemari lagi, karena kau pasti mempercayai penuh akan kemampuan dari Kun-cu-hiang mu, padahal kau seharusnya tahu, Kun-cu semacam ini biasanya tak bisa dipercayai seratus persen....." Cho Tang-lay menghela napas panjang. "Aaaaiii.... Siau Lay-hiat, Siau sianseng, mengapa kau selalu menampakkan diri pada saat tidak seharusnya kau menampakkan diri." "Mungkin aku memang manusia seperti itu." "Aku tidak menyukai manusia seperti itu, sangat tidak suka!" nada suara Cho Tang-lay pulih kembali dalam ketenangan, "dahulu akupun pernah berjumpa manusia semacam itu." "Apakah mereka sudah mampus semua di tanganmu?" "Benar!" "Apakah kau ingin memanasi hatiku dengan perkataanmu itu....?" "Benar!" Ternyata Cho Tang-lay sama sekali tidak menaruh jeri atau takut terhadap bayangan manusia yang berada dibalik kabut pagi itu. "Sudah kukatakan, bila seseorang sudah berada dalam keadaan harus mati, siapapun tak akan bisa lolos dengan begitu saja," nada suara pembicaraannya kedengaran seperti suara Siau Lay-hiat, sama dinginnya dan sama angkuhnya, "tapi akupun percaya, mungkin kau sendiri belum dapat memastikan secara pasti, siapa yang bakal mati di tangan siapa pada hari ini." Cu Bong memandang terkejut ke arahnya, seakan-akan belum pernah dia saksikan manusia macam begini. Sebab dia belum pernah menyangka kalau Cho Tang-lay adalah seorang manusia seperti ini, seorang manusia yang begitu sombong dan tekebur. Sebab dia tidak tahu, bila dalam hati kecil seseorang sudah dipenuhi rasa rendah diri, sering kali dia akan berubah pula menjadi seseorang yang paling sombong. Apalagi di tangan Cho Tang-lay sekarang masih menggenggam pedang tetesan air mata. Ada orang percaya dengan nasib, ada pula yang tidak.
Tapi sebagian besar orang percaya dan mengakui di tengah jagad yang begitu luas memang terdapat semacam kekuatan yang mengatur segala sesuatunya, banyak masalah di dunia ini yang tak terpecahkan oleh pikiran manusia, karena hal tersebut timbul karena kekuatan Thian. Semenjak pedang itu selesai dibuat, senjata itu telah dikenai kutukan, harus menggunakan nyawa dari seorang keturunan si penempa pedang itu sebagai korbannya, harus mempergunakan darah segar orang itu untuk melenyapkan noda tetesan air mata di atas pedang tersebut dan untuk menghilangkan hawa jahat dari pedang itu. Tak bisa disangkal lagi Siau Tay-su, si pembuat pedang itu merupakan seseorang yang percaya pada nasib, itulah sebabnya dia baru melelehkan air mata di atas pedangnya. Bagaimana dengan Siau Lay-hiat? Percayakah dia? Orang dibalik kabut itu masih seperti kabut, sukar diraba dan sukar diketahui suara hatinya. Namun secara tiba-tiba saja dia bertanya kepada Siau-ko: "Ko Cian-hui, masih adakah pedangmu?" "Tidak ada! Aku sudah tidak berpedang lagi, aku tak punya, tapi dia punya." "Itulah kecerdikanmu," ucap Siau Lay-hiat, "kau kehilangan pedangmu karena itu merupakan nasib baikmu, kau mematahkan pedang tersebut, hal inipun karena kau amat cerdik." "Cerdik? Mengapa bisa merupakan kecerdikanku? Aku tidak mengerti!" seru Siau-ko. "Sebab aku hanya bersedia mewariskan ilmu mematahkan pedang kepada mereka yang tak berpedang, jika tanganmu masih membawa pedang, bila kau tidak mematahkan pedang tersebut, tak nanti aku bersedia mewariskan kepandaian tersebut kepadamu." "Kau hendak mewariskan apa kepadaku? Ilmu mematahkan pedang? Apakah ilmu mematahkan pedang itu?" "Tiada ilmu pedang yang tak dapat dipatahkan di dunia ini, juga tiada pedang yang tak bisa dipatahkan, apalagi jago pedang yang tak terkalahkan," kata Siau Lay-hiat, "bila kau mempergunakan senjata dan jurus yang sesuai, asal kau bertemu dengan orang yang menggunakan pedang, kau pasti bisa mematahkan jurus serangannya, menghancurkan pedangnya serta membunuh orangnya, kepandaian seperti inilah yang dinamakan ilmu mematahkan pedang." Nada suaranya seolah-olah penuh diliputi semacam kekuatan yang sangat misterius. "Dua puluh tahun berselang, ku anggap semua jago pedang di dunia ini sebagai ular berbisa yang berbahaya sekali, tapi sekarang, kupandang mereka bagaikan tahi kerbau. Sekarang, dalam pandanganku, mereka hanya manusia-manusia yang tak akan mampu menahan diri dalam satu serangan saja." Tiba-tiba ia bertanya lagi kepada Siau-ko: "Ko Cian-hui, masih kau miliki kecerdikanmu?" "Agaknya masih!" "Kalau begitu kemarilah." "Bagaimana dengan Cho Tang-lay?" "Dia boleh saja menunggu, aku pasti tak akan menyuruh dia menunggu terlalu lama." Cho Tang-lay memperhatikan Siau-ko berjalan ke situ, bukan saja tidak menghalangi, bahkan reaksi barang sedikitpun tidak, seolaholah dia amat rela untuk menunggu, menunggu sampai Siau-ko berhasil menguasai ilmu mematahkan pedang tersebut. Sayang sekali, dia tak bakal akan berhasil, sebab Cho Tang-lay telah memberitahukan kepada diri sendiri: 'Sekalipun Siau Lay-hiat benar-benar memiliki ilmu mematahkan pedang, mustahil dia akan berhasil menguasainya dalam waktu singkat' Tapi diantara mereka berdua mungkin memang terdapat semacam hubungan yang misterius dan sukar dijelaskan, yang bisa menjalin hubungan batin di antara mereka. Mungkin juga Siau-ko benar-benar bisa mempergunakan kecerdasan otaknya untuk menguasai rahasia dari ilmu mematahkan pedang tersebut. Sekalipun Cho Tang-lay selalu berusaha menghibur diri, namun dia toh masih tetap merasakan semacam daya tekanan yang besar sekali. Karena terhadap manusia yang bernama Siau Lay-hiat tersebut, dia selalu menaruh semacam perasaan ngeri yang sukar dijelaskan, seakan-akan orang itu memiliki semacam daya kemampuan yang bisa mengendalikan dirinya..... semacam kemampuan aneh yang memiliki kekuatan luar biasa. Siau Layhiat sudah membuka petinya. ooo)O(ooo Waktu itu langit sudah terang, matahari baru saja muncul di ufuk timur, sinar keemas-emasan memancar ke empat penjuru. Di dalam waktu yang amat singkat itulah terdengar empat kali suara gemerincingan nyaring, tahu-tahu dalam genggaman Siau Lay-hiat telah muncul semacam senjata yang aneh sekali. Ketika cahaya matahari pertama memancar masuk dan tetap mencorong di atas senjata tersebut, terbiaslah semacam cahaya sesat yang aneh sekali. Tiada orang yang pernah menyaksikan senjata semacam ini, juga tiada orang yang tahu apakah kegunaannya. Tapi setiap orang yang melihat senjata tersebut, segera dapat merasakan semacam kekuatan yang sangat aneh dan sesat. Tiba-tiba sepasang mata Cho Tang-lay memancarkan cahaya berkilat. Dalam sekejap mata itulah, suatu titik terang melintas lewat di dalam benaknya, mendadak ia mendapatkan sebuah cara yang sangat sempurna dan meyakinkan, yang dalam waktu amat singkat bisa membinasakan Ko Cian-hui. Dalam waktu singkat dalam hatinya
telah dipenuhi rasa percaya pada diri sendiri serta kekuatan. Semacam kekuatan besar yang tak pernah dijumpai sebelumnya, sehingga dia sendiripun sampai turut digetarkan rasanya. Perasaan tersebut seakan-akan munculnya suatu mantera jahat yang membawa semacam kekuatan luar biasa. Sesungguhnya peti itu memang dirasakan seperti setan jahat penggaet nyawa, asal peti itu terbuka, pasti ada selembar jiwa manusia yang akan dilarikan, sekalipun orang itu berusaha menghindar dengan sepenuh tenaga. Selama ini Cho Tang-lay tak pernah percaya dengan segala macam setan iblis, tapi dia percaya akan kejadian ini, seperti juga dia percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat semacam kekuatan yang tak akan bisa dijelaskan oleh manusia. Karena sekarang, dia sendiripun sudah dapat merasakan kekuatan tersebut. Siau Lay-hiat telah menyerahkan senjatanya kepada Siau-ko. "Sekarang kau boleh maju ke depan dan bawa kemari selembar nyawa Cho sianseng," ia berkata, "hingga kini senjata tersebut belum pernah muncul di dalam dunia persilatan dan di kemudian hari pun tak bakal akan muncul kembali." Suara Siau Lay-hiat seperti suara kutukan iblis dari neraka. "Sebab Thian telah menurunkan ilham kepadaku untuk menciptakan senjata tersebut guna menghadapi Cho sianseng, di saat benda tersebut munculkan diri, maka saat itu pula kematian Cho sianseng akan tiba, entah benda itu berada di tangan siapa saja, sama saja keadaannya, karena jiwanya tak bakal tertolong." ooo)O(ooo Kabut yang tebal kembali menutupi cahaya matahari, bahkan cahaya lenterapun telah padam, suasana menjadi dingin menyeramkan, hawa nafsu membunuh telah menguasai jagad, sehingga tak seorangpun yang bisa menolong keadaan tersebut. Siau-ko telah meluncur ke depan seperti seekor burung. Sepasang mata Cho Tang-lay mengawasi senjata di tangannya seperti sepasang jarum. Tiba-tiba saja dia berteriak keras sambil melemparkan pedang tetesan air mata kepada Siau- ko. "Pedang ini milikmu, nah terimalah kembali!" Tiada orang yang bisa menduga akan perbuatannya itu, Siau-ko sendiripun sama sekali tak mengira. Pedang tersebut sudah banyak tahun mengikutinya, selalu berada di sisi tubuhnya dan kini sudah berubah menjadi salah satu bagian yang terpenting dari kehidupannya, bahkan boleh dibilang sudah berubah menjadi salah satu bagian dari tubuhnya, sudah bersatu padu dengan darah dan dagingnya. Itulah sebabnya tanpa berpikir panjang lagi, ia sambut pedang tersebut, menerima pedang itu dengan tangannya sehingga seakan-akan dia lupa kalau di tangannya itu sebetulnya masih tergenggam sebilah senjata pematah pedang. Dalam waktu yang amat singkat itu, dia seakan-akan sudah tidak berpikiran lagi, sama sekali tak mampu mengendalikan diri. Karena selama seseorang masih mempunyai pikiran, dalam keadaan seperti ini, tiada mungkin dia akan melakukan perbuatan yang begitu bodoh. Cho Tang-lay tertawa. Sekarang Siau-ko sudah mempunyai pedang, tapi senjata pematah pedang tersebut sudah berhasil direbut oleh Cho Tang-lay. Cho Tang-lay memang seseorang yang memiliki kecerdasan luar biasa, ketajaman matanya juga lebih hebat daripada orang lain, justru karena Siau Lay-hiat berbicara terlalu banyak, maka ia memperoleh waktu yang cukup banyak untuk melihat dan memahami senjata dan keistimewaannya dengan lebih dalam. Bahkan dia sudah dapat melihat bahwa senjata tersebut memang terdapat banyak bagian yang bisa digunakan untuk mengendalikan pedang lawan, bahkan diapun sudah dapat menyaksikan bagaimana cara penggunaannya. Siapapun lawannya, hal tersebut sama saja baginya. Hanya manusia seperti Siau Lay-hiat yang bisa menciptakan senjata seperti ini, hanya manusia seperti Cho Tang-lay yang bisa melakukan setiap perbuatan dengan tegas. Dua orang manusia yang nampaknya berbeda satu sama lainnya ini justru memiliki banyak kemiripan dalam bidang lain, bahkan jalan pemikiran merekapun seolah-olah saling berkaitan. Paras muka Cu Bong berubah hebat. Mimpipun dia tak menyangka kalau Siau-ko bakal melakukan perbuatan sebodoh itu, tapi perubahan selanjutnya lebih-lebih membuatnya tertegun. Tiba-tiba Siau-ko meluncur ke depan seperti seekor burung terbang, pedangnya diputar membentuk segumpal bunga pedang dan langsung menusuk ke tubuh Cho Tang-lay. Sebetulnya dia tidak seharusnya turun tangan lebih dahulu, tapi dia harus berhasil memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini sebelum Cho Tang-lay berhasil meraba dengan jelas bentuk serta manfaat dari senjata tersebut. Tak disangkal lagi, dia sudah memandang kelewat rendah kecerdasan serta ketajaman mata Cho Tang-lay. Dalam waktu singkat cahaya pedang berkilauan seolah-olah terdapat beberapa buah bayangan pedang yang bergerak, meski dalam kenyataan cuma sebilah. Di antara beberapa bayangan pedang tersebut tentu saja hanya terdapat satu jurus yang merupakan jurus sesungguhnya. Dalam sekejap pandangan saja Cho Tang-lay sudah melihat jurus manakah yang merupakan jurus sesungguhnya, menghadapi teknik penyerangan yang merupakan gabungan antara
tipuan dan kenyataan tersebut, boleh dibilang dia jauh lebih memahami ketimbang kebanyakan orang lainnya. Diapun dapat melihat bahwa di atas senjata tersebut paling tidak terdapat empat-lima macam bagian peralatan yang semuanya bisa dipergunakan untuk mengunci gerak pedang lawan, bahkan bisa pula memanfaatkan kesempatan yang ada untuk merebut pedang musuh, kemudian baru melepaskan sebuah serangan lagi yang mematikan. Tapi dia tidak ingin berbuat sekeji itu. Ia belum terlalu menguasai teknik penggunaan senjata tersebut, lalu terlintas ingatan dalam benaknya, mengapa tidak mempergunakan serangan pedang dari Siau-ko untuk melatih penggunaan senjata tersebut? Sekarang ia sudah mempunyai keyakinan, bahkan setiap saat bisa merenggut nyawa Siau-ko. Oleh sebab itu ia tidak merasa gelisah barang sedikitpun jua...... Ketika tusukan pedang Siau-ko meluncur tiba, dia menyongsong datangnya ancaman tersebut dengan senjata yang berada di tangannya, dia hendak mencoba untuk mengunci pedang dari Siau-ko itu dengan gelang berkaitnya. "Triiiiing...!" Ketika pedang dan kaitan itu saling membentur, tiba-tiba saja senjata tersebut mengeluarkan suatu kegunaan yang sama sekali di luar dugaan siapapun, tiba-tiba muncul semacam peralatan lain yang bekerja sama dengan gelang berkait itu, kemudian bagaikan sebuah jepitan menjepit pedang Siau-ko. Kejut dan girang menyelimuti perasaan Cho Tang-lay, dia benar-benar tidak menyangka kalau senjata tersebut memiliki daya kemampuan yang begitu besar. Yang paling membuatnya tercengang adalah pedang Siau-ko ternyata berhasil pula menembus masuk di antara senjata tersebut. Sebenarnya hal semacam ini tidak mungkin terjadi. Senjata yang dibentuk dengan cara yang begitu rumit, bagaimana mungkin bisa ditembusi oleh pedang lawan dari bagian tengah? Apakah senjata tersebut memang dibentuk dengan dibukanya sebuah lubang secara sengaja di bagian tengah sehingga tusukan pedang bisa menembusi secara telak? Apakah Siau-ko memang sengaja membiarkan pedang sendiri terbelenggu agar dia bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melepaskan tusukan yang mematikan? Cho Tang-lay sudah tak bisa memikirkan persoalan itu lagi. Dalam waktu yang amat singkat itulah pedang Siau-ko telah menembusi ulu hatinya, langsung tembus sedalam satu inci lebih tujuh bagian, karena pedang tersebut memang sepanjang itu. Sekalipun panjangnya hanya sekian, hal tersebut sudah lebih dari cukup, satu koma tujuh inci sudah cukup mencapai titik maksimum untuk merenggut nyawa seseorang, persis menusuk jantung Cho Tanglay. Senjata tersebut agaknya memang khusus diciptakan untuk menghadapi Cho Tang-lay. Sebab hanya Cho Tang-lay yang dapat mengetahui keistimewaan serta kelihayan dari senjata tersebut, hanya Cho Tang-lay yang bersedia mempergunakan pedang di tangannya untuk ditukar dengan senjata tersebut, orang lain bukan saja tak dapat melakukannya, membayangkanpun tidak. Yang tidak beruntung adalah apa yang bisa Cho Tang-lay bayangkan, ternyata dapat dipikirkan juga oleh Siau Layhiat, bahkan ia telah memperhitungkan secara tepat bahwa dia bakal berbuat demikian. Senjata tersebut pada hakekatnya memang merupakan sebuah perangkap yang sengaja dipersiapkan Siau Lay-hiat untuk menunggu Cho Tang-lay melangkah maju dan menjerumuskan diri. Sekarang Cho Tang-lay baru menyadari semuanya. "Siau Lay-hiat, Siau sianseng, ternyata aku memang tidak salah melihat, ternyata kau memang pembawa bencana bagiku, aku sudah merasa cepat atau lambat bakal tewas di tanganmu," ucapannya pedih, "kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa tertipu oleh siasatmu itu?" Siau Lay-hiat memandang ke arahnya dengan dingin, lalu menjawab: "Pernahkah kau ingat dengan perkataanku, entah senjata macam apapun dan berada di tangan siapapun, semuanya bisa dipakai untuk membunuhmu, sekalipun berada di tanganmu sendiri, juga sama!" Lalu dengan suara yang lebih dingin, ia melanjutkan: "Kau seharusnya tahu, setiap perkataan yang kuucapkan semuanya adalah kata-kata yang sejujurnya." Cho Tang-lay tertawa pedih. Gelak tertawanya segera menggetarkan jantungnya, juga menggetarkan mata pedangnya. Tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya kesakitan luar biasa, karena mata pedang itu menusuk seinci lebih dalam, berarti kematiannya juga setapak lebih dekat. Pelanpelan Siau-ko mencabut keluar pedang itu, darahpun pelan-pelan menggelincir jatuh dari atas pedang. Tiba-tiba lapisan awan bergerak lewat, cahaya matahari bersinar kembali dan persis menyoroti di atas pedangnya. Ketika Cho Tang-lay memandang ke atas pedang itu, tiba-tiba saja wajahnya memperlihatkan rasa seram dan ketakutan. "Hei, mana noda tetesan air matanya?" dia berseru, "mengapa noda tetesan air mata di atas pedang itu bisa lenyap? Jangan-jangan aku adalah........." Ia tidak mengucapkan persoalan yang sampai matipun tak bisa membuatnya memejamkan mata ini. Jangan-jangan diapun keturunan Siau Tay-su? Mungkinkah ayahnya yang belum pernah dijumpai itu adalah Siau Tay-su? Oleh sebab
itu dengan kematiannya di ujung pedang tersebut, noda tetesan air matapun turut lenyap. Atau ramalan semacam itu memang tak bisa dipercaya, sebab lenyapnya noda tetesan air mata itu disebabkan memang sudah saatnya noda itu harus hilang? Tiada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini, mungkin si kakek dalam gardu sebetulnya bisa menjawab, sayang sekali kakek itupun tewas di tangan Cho Tanglay. Persoalan yang hendak ditanyakan Siau Lay-hiat terhadap si kakek itu mungkin juga masalah tadi, bila si kakek itu menjawab pertanyaannya, mungkin juga dia tak akan menghukum mati Cho Tang-lay. Sayang sekali segala sesuatunya sudah terlalu terlambat. Denyut jantung Cho Tang-lay telah putus, hingga ajalnya tiba, ia masih belum mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Bukankah akhir seperti ini merupakan pula hasil dari perbuatannya sendiri? ooo)O(ooo EPILOG Di bawah cahaya matahari, warna pedang itu kelihatan amat bening seperti air, noda air mata di atas pedang tersebut betul-betul sudah hilang, lenyap tak berbekas. Siau-ko mengawasi pedang tersebut dengan termangu, dalam hati kecilnya diapun sedang memikirkan persoalan itu. Dia sendiripun tidak habis mengerti. Entah berapa saat kemudian, dia baru teringat untuk menanyakan persoalan ini kepada Siau Lay-hiat. Tapi ia tidak menjumpai Siau Lay-hiat, mayat Cho Tang-lay serta senjata tersebut juga hilang tak berbekas. Cu Bong hanya memberitahukan begini kepada Siau-ko. "Siau sianseng sudah pergi, pergi dengan membawa serta Cho Tang-lay." Tak disangkal lagi hati kecilnya juga dipenuhi rasa kaget dan curiga. 'Sesungguhnya apa yang telah terjadi?' Siau-ko memandang ke tempat kejauhan sana, memandang langit nan cerah. "Entah apa gerangan yang terjadi, sekarang semuanya sudah tiada hubungan lagi dengan kita," ucap Siau-ko pelan, "mulai hari ini, mungkin kita tak akan berjumpa lagi dengan Siau sianseng." ooo)O(ooo Cahaya lentera telah padam, pembawa lentera telah bubar, tinggal si nona buta itu masih berdiri di situ sambil memeluk alat pie-pa nya. Walaupun cahaya matahari telah memancarkan sinarnya ke seluruh jagad, namun sepasang matanya masih tetap melihat kegelapan yang mencekam. Tiba-tiba saja Siau-ko merasakan suatu kepedihan hati yang tak terlukiskan dengan kata-kata, tak tahan lagi dia menghampiri gadis cilik itu dan bertanya: "Di mana yayamu? Apakah yaya-mu masih ada?" "Aku tidak tahu!" Paras mukanya pucat pias seperti mayat, pikirannya seperti kosong melompong, tiada segala sesuatunya, bahkan sedihpun tidak.... Tapi setiap orang yang melihat keadaannya tersebut pasti akan merasakan kepedihan hati yang luar biasa. "Kau berdiam di mana?" kembali Siau-ko bertanya dengan perasaan tak tahan, "kau punya rumah? Di rumahmu apakah masih mempunyai sanak keluarga yang lain?" Gadis cilik itu tidak berkata apa-apa, dia hanya memeluk alat pie-pa nya kencang-kencang, seperti seorang yang tenggelam di air dan memeluk sebatang kayu erat-erat. Mungkinkah satu-satunya barang yang dimilikinya hanya alat pie-pa tersebut? "Sekarang kau hendak kemana?" tanya Siau-ko, "di kemudian hari apa pula yang hendak kau kerjakan?" Setelah mengajukan pertanyaan ini dia mulai merasa menyesal. Sesungguhnya pertanyaan semacam ini tidak pantas ditanyakan, bagaimana mungkin seorang anak gadis yatim piatu tanpa sanak tanpa keluarga bisa memikirkan masalah di hari depan? Bagaimana mungkin ia bisa memikirkannya? Mana berani untuk memikirkannya? Apa yang harus ia jawab? Siapa tahu gadis cilik yang selama hidup hanya bisa hidup dalam kegelapan ini tiba-tiba menjawab dengan semacam suara yang amat nyaring: "Selanjutnya aku masih tetap akan menyanyi, aku akan menyanyi terus, menyanyi sampai ajalku tiba." ooo)O(ooo Memandang gadis cilik yang mereka hantar pulang memasuki rumah makan Tiang-ankit, entah bagaimanakah perasaan Siau-ko dan Cu Bong. "Aku percaya dia pasti akan menyanyi terus," kata Cu Bong, "selama dia belum mati, dia pasti akan menyanyi terus." "Akupun percaya." "Akupun percaya bila ada orang melarangnya menyanyi terus, dia tentu akan mati." Ya, sebab dia adalah seorang penyanyi, maka dia harus menyanyi, menyanyi untuk orang lain. Sekalipun nyanyiannya selalu memilukan hati, selalu membuat air mata orang bercucuran, tapi bila seseorang tidak memahami bagaimana rasanya sedih, bagaimana mungkin ia bisa memahami arti dari kesedihan tersebut? Oleh sebab itu walaupun ia tidak memiliki apa-apa, namun dia masih tetap akan hidup terus. Bila ia tak bisa menyanyi lagi, hidupnya akan berubah menjadi tanpa arti. "Bagaimana dengan kita?" tiba-tiba Cu Bong bertanya, "selanjutnya apa pula yang harus kita lakukan?" Siau-ko tidak menjawab pertanyaan itu, karena dia belum mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut. Tiba-tiba saja dia melihat cahaya matahari memancarkan sinarnya menerangi seluruh jagad. "Tentu saja kitapun harus menyanyi lebih jauh," tibatiba Siau-ko berseru sambil membusungkan dada, "walaupun nyanyian kita berbeda
dengan gadis itu, tapi kitapun harus menyanyi terus, menyanyi sampai mati." Nyanyian dari penyanyi, tarian dari penari, pedang dari jago pedang dan tulisan dari sastrawan, akan selalu hidup terus. Selama mereka masih hidup, tak akan mereka lepaskan semuanya dengan begitu saja. ooo)O(ooo Matahari fajar baru muncul. Tumpukan salju telah melumer. Seorang lelaki membawa sebuah peti kecil diam-diam meninggalkan kota Tiang-an. Dia hanya seorang manusia yang amat sederhana dengan sebuah peti yang sederhana pula. Dan sampai di sini pula kisah Pedang Tetesan Air Mata ini. Sampai jumpa dalam cerita lain. TAMAT