PROLOG Pernahkah terbesit di dalam pikiranmu kalau kau bisa dikatakan seorang pecundang jika kau menolak untuk bergabung di dalam konflik yang tengah kau buat bersama orang yang benar-benar kau benci? Kebencian yang benar-benar hadir di saat bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Dan itulah Kevin Pavidus Wealthson. Seorang laki-laki bertubuh besar, bebal, suka menang sendiri, dan kau juga pasti tahu betapa menyebalkannya bermusuhan dengan seseorang yang sok jagoan, dan aku bersumpah, kau pasti sama berangnya denganku jika kau bertemu secara langsung dengannya. Jadi, kusarankan padamu agar kau harus bersumpah pada dirimu sendiri untuk tidak akan pernah mengusik sekolahku, mengorek segala apa pun tentangnya, ataupun melemparkan dirimu untuk pindah ke sekolahku. Tapi, sejujurnya aku tidak bisa mematahkan semangatmu untuk mengenal lebih jauh tentang sekolahku, atau yang lebih parahnya, itu terserahmu jika kau mau menjadi salah satu siswa sekolahku. Dan sebelum hal buruk itu terjadi, sebelum kau masuk ke sekolahku, Private School, kau harus mempersiapkan mentalmu sendiri karena setiap harinya Kevin akan mengurasmu, tak peduli kau itu siapa.
Baiklah, bisa dibilang aku termasuk ke dalam daftar orang yang sangat menyebalkan karena suka menggerutu, menggumamkan sesuatu dengan kesal, atau melontarkan segala celotehan kepada apa pun yang ada di sekitaranku, meski itu tidak menggangguku atau sebaliknya. Tapi Kevin memiliki jeruji besi yang kukhususkan baginya di dalam kehidupanku. Dan apa pun itu, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, setiap gerakan dari tubuhnya yang besar, setiap lirikan matanya menjadi candu buatku, membuatku menjadi seorang pecandu kebencian, membencinya. Dan perasaan antipati itu semakin menggelora di dalam dadaku, di setiap aliran darahku, membakarku dengan api murka luar biasa. Kevin, dan lagi-lagi Kevin. Aku ingat semua kejadian itu sebelum aku tersungkur jatuh, ambruk di atas rerumputan taman yang mengering pilu, rapuh dengan segala warna kecoklatannya. Aku bersumpah bukan aku yang melakukannya, aku bersumpah kalau aku bisa mengendalikan diriku sendiri, aku bersumpah tidak pernah terbesit di dalam pikiranku sendiri untuk membalas perbuatannya lagi, karena aku tahu, aku masih dikuntit oleh bayang-bayang hukuman berat jika aku dan Kevin kembali membuat gempar sekolah. 2
Tapi ini benar-benar bukan aku. Siang itu, tepat pada jam makan siang, waktu dimana kami bisa keluar dari jeruji besi kelas, meninggalkan segala kepenatan pelajaran yang sangat menjepit kepala. Aku menikmati makan siangku di taman sekolah, taman yang berisikan banyak bangku-bangku dan meja-meja taman, beberapa pepohonan berdaun lebat. Ketika itu, seperti biasanya, Kevin memalak siapapun yang ada di dalam taman, tidak peduli jika itu teman sebayanya, teman di atasnya, ataupun anakanak kecil yang masih memiliki muka polos yang menyebalkan. Dan tak peduli juga walaupun itu aku. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga aku tak benar-benar yakin kalau di hari itu, kejadian aneh itu menimpaku. Aku yang pada saat itu sedang menikmati santapanku, tiba-tiba diusik Kevin. Dia, dengan tangan bergumpalnya itu menarik kerah seragamku, sehingga aku tercekik karena dia nyaris mengacungkanku ke udara, menghardikku dengan segala kalimat maksiat, makian, umpatan yang dia kenal betul. Dan hal itulah yang membuat semua yang ada di taman terbirit-birit meninggalkan taman. Aku bersumpah kalau aku masih bisa mengendalikan diriku sendiri untuk tidak membalas tingkah laki-laki gila ini. Tapi aku tidak bisa lagi melawan desakan untuk meninjunya, pertahanan itu 3
mendadak dilumat habis ketika dia memuntahkan sebuah kata yang nyaris membuatku membelalak menatapnya, kata petato aneh itu membuat jantungku menggebu-gebu. Mungkin, menjelekkan sebuah goresan tanda lahir yang kupunya di atas kulit kelopak mataku adalah sesuatu yang sangat tidak kusuka. Dan memang, bisa kuakui kalau goresan yang mirip tato itu hanya aku saja yang punya, karena selama tujuhbelas tahun aku hidup di dalam dunia ini, aku tak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan siapapun yang memiliki goresan yang sama denganku. Goresan sebuah lingkaran sempurna, dengan sebuah segitiga terbalik tepat di tengahtengahnya. Dan seketika itu pula aku sudah dijajah oleh energi lain yang hidup di dalam diriku, sebuah energi yang mirip seperti sengatan listrik sakitnya, merambat dari dadaku yang menggelora, lalu menjalar ke seluruh tubuhku. Hingga akhirnya rasa sakit di mataku membutakanku, tapi itu bukan aku, aku hanya seperti boneka yang sedang dimainkan. Dengan terperangah, dia melepaskan cekikan yang telah lama dia hadiahkan padaku. Dia melangkah mundur dengan sejuta air muka ketakutan yang teramat sangat, aku tak tahu energi apa yang sedang menguasaiku kali ini. Pada saat itu, tanganku tiba-tiba terangkat begitu saja, terarah pada sosoknya yang sedang 4
membelakangiku, berlari dengan tungkai gemetar. Tapi, semuanya sudah terlambat. Kekuatan itu sudah menguasaiku, aku bisa merasakan ada sebuah dorongan yang sedang dikeluarkan tubuhku, dan seketika itu pula, muncullah sebuah cahaya merah benderang dari sana, menghunjam Kevin, sehingga dia tercampak begitu keras di udara, menubruk batang pohon tua dengan suara gedebuk yang memekikkan telinga. Aku ingat pada saat detik-detik sebelum aku terkapar. Pohon tua itu diselubungi asap tipis dan memuntahkan seorang wanita tua bermuka simetris dengan pakaian hitam compang-camping, dia kelihatan kumuh. Dan seketika itu pula aku ambruk, terkapar di atas rerumputan yang tadinya menghijau, tepat pada saat wanita itu mengeluarkan sebuah tongkat kayu yang mirip seperti ranting, lalu dia mengucapkan suatu kata yang tak kutahu, dan sekejap aku langsung diselubungi rasa kantuk yang teramat sangat. Hingga akhirnya aku sepakat pada diriku sendiri kalau wanita itu melakukan sesuatu yang dinamai sihir.
5
1 Mungkin, tidak ada yang lebih parah selain harus terbaring lemah di salah satu kamar rumah sakit yang entah aku tak tahu di mana. Dan mungkin, aku tak tahu harus dari mana aku mengingat semua kejadian yang telah lama berkelebat di dalam kepalaku. Apa pun itu, tentunya siapapun akan mencoba mencari-cari alasan satusatunya yang bisa membuat dirinya sendiri seperti ini. Kaki dan tanganku kebas, begitu pun dengan mataku yang nyaris buta karena cahaya lampu yang menggantung di langit-langit yang sangat menyilaukan bagiku, pandanganku awalnya memudar. Sambil menikmati bunyi lantunan cardiograph yang begitu memekakkan telinga dan bau menyengat rumah sakit yang luar biasa, aku kembali mengingat kejadian apa pun yang masih membekas di pikiranku. Satu-satunya alasan yang membuatku masih bergeming adalah Kevin, dimana dia ingin menonjokku dengan tangan bergumpalnya, dan lalu, semuanya menjadi bencana ketika seorang wanita berpakaian kumuh muncul.
6
“Baiklah, aku akan menemuinya nanti. Tapi, aku ingin melihat keadaan anakku dulu,” suara itu terdengar jelas, dan kurasakan mungkin sedang berdiri di ambang pintu yang baru dibuka. “Rico,” gumamnya, nyaris tidak terkatakan. Mungkin dia lebih mirip terperanjat karena menemukanku sudah terbangun dari tidur panjang tersialku. Wanita yang penuh kerut kekhawatiran itu mencondongkan kepalanya tepat di atasku, lalu dia membelai kepalaku dengan gerakan tangan gemetar dan penuh kasih, dia nyaris bersuara purau. Suaraku serak. “Hei, Mom.” Dan sebelum Mom menjawab, aku menyempatkan diriku untuk memandang berkeliling. Dan kudapati dengan jelas kalau kamar ini sangatlah luas, ada dua buah almari di sudut kamar, dan di sana ada empat buah sofa dan sebuah meja kayu jati dengan segala ukiran. Aku melongok ke arah jendela, di sana gelap, dan bisa kupastikan kalau sekarang sudah malam. Dan ketika kejadian di taman itu kembali berkelebat di dalam kepalaku, aku sontak bangun dan berkata, “Mom, Kevin. Di mana dia? Apakah dia baik-baik saja?” Dia mendesah, sambil merebahkan tangannya di atas pelipisku, dia berkata, “Dia tak apa. Dia baikbaik saja, Nak.” “Tapi, Mom. Tadi itu ada...” tepisku, tapi Mom memotongku. 7
Tangan satunya mencengkram belakangku, lalu dengan segala kehangatannya, dia kembali membaringkanku ke atas tempat tidur. “Mom sudah tahu.” Matanya berbinar. “Tapi Mom sampai saat ini tidak habis pikir mengapa kamu masih bertengkar dengannya, dan memukulnya.” Aku mengerutkan kening. “Aku benar-benar tidak menyerangnya, itu toh dia yang mengganggu duluan. Jadi, bisa dibilang itu hanyalah sebuah perlawanan.” Tapi Mom melemparkan tatapannya ke arah yang lain, bukan padaku lagi. Matanya berair dan kukira dia hampir terisak. Dia menarik selimutku sampai ke dada, dan berkata, “Kita bicarakan saja nanti, ya? Jika kau tak keberatan, aku ingin menemui dokter, untuk memberitahukan mereka bagaimana keadaanmu sekarang.” Ada seberkas senyuman samar di bibirnya. *** Yang membuatku terheran-heran adalah, bagaimana bisa diriku berkeringat di dalam ruangan yang nyaris seperti zaman es. Tubuhku mendadak seperti ditarik oleh sesuatu, sehingga dengan sekali sentakan, aku bangun dan duduk di atas tempat tidur, dan berjengit kemudian.
8
Bunyi naik-turun yang memekikkan dari cardiograph di dekatku semakin menulikanku. Air mukaku datar tapi aku merasa berjengit, bahkan ada rasa darah mengering yang menghiasi mukaku. Aku, tidak mengerti dengan apa yang kurasakan sekarang. Bulir-bulir keringat semakin bebas mengaliri setiap inci dari kulit kepalaku. Ada bayang hitam seorang wanita yang sedang berdiri dekat ambang pintu di sebelah kananku. Tapi, setelah aku menyerukan namanya karena kukira itu Mom, semuanya mendadak terjadi begitu cepat. Kamar ini perlahan meredup, bahkan seperti ada suatu kekuatan yang memakan cahaya yang menggantung di dalam kamar ini. Lalu, suara dari cardiograph semakin menjadi-jadi, lalu melengking hebat tepat sebelum benda itu meledak. “Siapa kau?” tanyaku pada sosok bayangan yang memunggungiku. Dan barulah aku merasa benar-benar pucat pasi tepat pada saat wanita itu berputar dan mengatakan, “Masih mengingatku Oddity De Rico?” “Kau?” tuntutku, terperangah. Wanita berwajah simeteris itu kemudian duduk di atas tempat tidurku, dan dengan tatapan seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Tenanglah. Yang terpenting, kau dan anak laki-laki gendut itu, Kevin, sudah berpisah.”
9
Aku melesak di atas tempat tidur, dan berusaha menghindar darinya, tapi aku tak bergerak sedikit pun. “Memangnya kau apakan dia?” Kekehan melengking menguasai ruang yang hanya berisi cahaya rembulan yang menembus jendela kamar. “Kuapakan dia? Apa urusanmu, sayang? Kau bahkan tak tahu apa yang sudah kamu lakukan pada saat itu. Dan benar saja, aku tak akan pernah mencoba untuk melukai anak itu, hanya saja, aku memberikannya sebuah sensasi yang teramat sangat memilukan di kepalanya.” Tanganku nyaris membentuk sebuah kepalan meninju. “Apa pun itu.” Dia kembali tertawa, namun lebih singkat. “Baiklah, kukira aku tak bisa berlama-lama lagi membiarkan seorang keturunan terakhir untuk tetap hidup. Dan itu kau!” Lalu semuanya terjadi begitu cepat, dia segera menyentakkan tangannya tepat ke mukaku, dan seketika itu pula tangannya berisikan sebuah kepulan asap tipis, dan menghadiahkannya sebuah tongkat kayu. Aku segera bangkit berdiri dengan segala perasaan kebas yang mengikatku, cahaya merah dari tongkat itu menghancurkan tembok yang kupunggungi. Punggungku terasa begitu menyakitkan ketika membentur tembok dengan begitu keras, aku tersungkur di atas lantai kayu yang mengilap, dan memantulkan sinar-sinar aneh yang entah dari mana. 10
Ketika dia mengangkat tempat tidur besar dengan tongkatnya, aku merundukkan kepala, dan gemetar pada saat aku mendengar bunyi gedebuk keras di sampingku. “Apa maumu?” “Untuk membunuhmu!” desisnya singkat, lalu melayangkan tongkatnya lagi ke mukaku.
11