PENGARUH PENAMBAHAN MOLASE DAN LAMA WAKTU FERMENTASI PADA KUALITAS TEH KOMPOS SEBAGAI BIOBAKTERISIDA TERHADAP PENGENDALIAN BAKTERI RALSTONIA SOLANCEARUM (THE EFFECT OF THE ADDITION OF MOLASSES AND DURATION OF FERMENTATION TO THE QUALITY OF COMPOST TEA AS A BIOPESTICIDES TOWARDS THE RESTRAINT OF BACTERIA RALSTONIA SOLANCEARUM) Yogi Damanik1*, Nur Hidayat 2, Sakunda Anggarini 2 Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP-UB 2 Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP-UB Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Brawijaya Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Brawijaya Jl. Veteran – Malang 65145 *Email Penulis:
[email protected] 1
Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh faktor penambahan molase dan lama waktu fermentasi terhadap kualitas teh kompos yang dihasilkan. Pembuatan teh kompos dilakukan secara aerobik dengan menggunakan bahan kompos, air dan molase serta diberikan aerasi selama proses fermentasi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor yaitu penambahan molase (M) yang terdiri 3 level, yaitu ; M1 = 5 ml ; M2 = 10 ml ; dan M3 = 15 ml dan lama fermentasi (T) yang terdiri dari 3 level, yaitu ; T1 = 24 Jam; M2 = 48 Jam; dan M3 = 72 Jam, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian pembuatan teh kompos, penambahan nutrisi (molase) dan lama waktu fermentasi berpengaruh pada kualitas kompos. Kualitas teh kompos terbaik diperoleh dengan penambahan molase 10 ml dan lama fermentasi 48 jam dengan luasan zona bening 75,16 mm2, pH = 7,78, total bakteri 1,28 x 108 CFU/ml, dan total jamur 2,45 x 103 CFU/ml. Keefektifan teh kompos yang disemprotkan sebanyak 15 ml mencapai penurunan jumlah Ralstonia solancearum sebanyak 56%. Kata Kunci : Antimikrobia, Layu bakteri, Fermentasi Aerobik, Zona Bening, Total Bakteri. Abstract The purpose of this study is to determine the effect of the addition of molasses and duration of fermentation on the quality of the resulting compost tea. The making of the compost tea is done in aerobic way using materials such as compost, water and molasses and given aeration during the fermentation process. The experimental design used is Randomized block design with 2 factors, the adding of molasses (M) which consists of 3 levels: M1 = 5 ml ; M2 = 10 ml ; and M3 = 15 ml and the duration of fermentation (T) which also consists of 3 levels : T1 = 24 hours; M2 = 48 hours; and M3 = 72 hours, each treatment was repeated 3 times. Based on the results, nutrition (molasses) additional and fermentation time effect on quality of compost tea. The highest quality of compost tea was obtained by 10 ml molasses addition in 48 h. Clear zone was obtained in the area of 75.16 mm2, pH was 7.78, total bacteria count was 1.28 x 108 CFU/ml, and total fungal count was 2.45 x 103 CFU/ml. The effectiveness of compost tea was sprayed as much as 15 ml could reach up to 56% drecreasing of Ralstonia solancearum. Keywords : Antimicrobial, bacterial wilt desease, clear zone area, total bacteria count.
1
PENDAHULUAN Teh kompos adalah cairan ekstrak kompos atau kompos yang telah ‘matang’ diproses menjadi teh kompos dengan cara memberi air dan nutrisi untuk pertumbuhan mikrobia kemudian diaerasi selama waktu tertentu (Nasir, 2007). Metode aerasi lebih unggul karena proses ektraksi dan fermentasinya lebih cepat sehingga lebih efisien dalam waktu pembuatan. Komponen aktif dalam teh kompos yang telah dikenali termasuk mikrobia Actinomycetes, Pseudomonas sp., Sporobolmyces, Cryptococcus dan jamur. Teh kompos mengandung bahan kimia bersifat antagonis seperti phenol dan asam amino. Senyawa kimia (antimikroba) yang dihasilkan oleh mikroba pada umumnya merupakan metabolit sekunder yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan. Kandungan antimikroba dalam teh kompos dapat dimanfaatkan sebagai biobakterisida (Kouyoumjian, 2007). Penggunaan bakterisida alami (biobakterisida) sebagai alternatif pengganti bakterisida kimiawi, dilakukan karena mempunyai banyak kelebihan yaitu residu relatif mudah terdegradasi sehingga tidak mencemari tanah dan relatif mudah didapatkan. Selain itu, teh kompos juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Teh kompos dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit pada beberapa tanaman (Ingham, 2005). Ralstonia solanacearum mendominasi sebagai salah satu bakteri patogenik yang menyerang tanaman pertanian yang mampu menurunkan produksi 75% dan lebih parahnya lagi, bakteri ini ternyata dapat menyerang semua jenis tanaman. Namun yang paling banyak diperbincangkan adalah serangan pada tanaman kentang, pisang, kacang tanah, cabe, tembakau dan tomat. Penyebarannya sangat luas mencakup daerah tropik dan subtropik di seluruh dunia (Sastra, 2005). Agar Upaya pengendalian Ralstonia solanacearum dapat efektif maka harus
didukung kualitas teh kompos yang baik. Teh kompos mengandung mikroba. Untuk mengasilkan kualitas teh kompos yang baik maka harus didukung dengan pertumbuhan mikroba yang baik juga. Dalam pembuatan teh kompos diperlukan suatu substrat yang dapat menstimulasi mikroba, untuk menghasilkan suatu metabolit yang nantinya akan berperan sebagai penghambat dan pembunuh bakteri patogen. Salah satu substrat yang biasanya digunakan untuk pertumbuhan mikroba yaitu molase (Murdiyatmo, 2003). Molase dapat digunakan sebagai alternatif substrat karena mengandung nutrisi komplek yang dibutuhkan mikroba dalam metabolismenya. Selain substrat, lama fermentasi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Menurut Ingham (2005), semakin lama waktu fermentasi dalam larutan air, maka semakin besar jumlah nurtrisi terlarut dari kompos dan berpengaruh terhadap jumlah mikroba. Lamanya waktu fermentasi juga dapat meningkatkan kadar antimikrobia dalam teh kompos yang diduga dapat merespon ketahanan alami tanaman yang dapat membantu menekan penyakit tanaman (Scheuerell dan Mahaffee, 2002). Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penambahan molase serta lama waktu fermentasi terhadap kualitas teh kompos yang dihasilkan dan mengetahui keefektifan teh kompos dengan kualitas terbaik sebagai penghambat pertumbuhan bakteri Ralstonia solancearum. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam pembuatan teh kompos, yaitu wadah plastik, pengaduk kayu, timbangan, saringan dan pompa udara aquarium. Bahan yang digunakan adalah kompos UPT Brawijaya, molase dan aquades. Alat yang digunakan dalam analisa antimikrobia, yaitu pH meter, mikro pipet, cawan petri, jarum ose,
gelas ukur bunsen, pengaduk kaca, autoklaf, microtube, pinset, L glass, kertas saring, inkubator, gelas ukur, tabung reaksi, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan isolat Ralstonia solancearum, Natrium Agar (NA) aquades, alkohol 70%, Tetrazolium Chloride (TZC), dan Potato Dextrose Agar (PDA) Metode Penelitian Rancangan penelitian menggunakan analisis ragam (ANOVA) metode RAK (Rancangan Acak Kelompok) Faktorial. Apabila dari hasil uji menunjukkan ada pengaruh maka dilanjutkan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) 5%. Ada 2 faktor dalam penelitian ini yaitu faktor banyaknya molase terdiri dari 3 level dan lama fermentasi terdiri dari 3 level, dengan 3 kali pengulangan. Variasi perlakuan pertama adalah variasi Penambahan Molase (M) yang terdiri 3 level, yaitu ; M1 = 5 ml, G2 = 10 ml, dan G3 = 15 ml. Faktor kedua adalah variasi lama waktu fermentasi (T) yang terdiri dari 3 level, yaitu, T1 = 24 Jam, T2 = 48 Jam; dan T3 = 72 Jam. Pembuatan Teh Kompos Teh kompos (compost tea) merupakan ekstrak air dari bahan kompos yang mengandung nutrisi terlarut, kaya akan berbagai organisme seperti bakteri, cendawan, protozoa dan nematoda (Anonim, 2007). Bahan yang digunakan dalam teh kompos aerobik pada penelitian ini diambil dari kompos UPT brawijaya, molase dan air. Kompos yang didapatkan biasanya masih terdapat beberapa batang atau akar tumbuhan yang belum terdegradasi secara sempurna, untuk itu dilakukan pengayakan dengan saringan 5 mm. Tujuan dari pengayakan ini agar didapatkan kompos yang benar-benar halus sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan baik. Air yang dipakai, sebelumnya diberikan proses aerasi selama 24 jam agar kondisi menjadi aerobik. Kecepatan aerasi diatur agar
setiap perlakuan mendapatkan perlakuan yang sama yaitu sebesar 0,4 vvm . Setelah persiapan bahan selesai maka tahap berikutnya adalah melakukan pencampuran ketiga bahan yang terdiri kompos UPT, molase dan air. Ketiga bahan tersebut diaduk selama 5 menit agar merata dengan kondisi aerator menyala. Setelah waktu fermentasi tercapai, maka dilakukan pengambilan ekstrak teh kompos dengan cara menyaring dengan kain saring, sehingga kompos terpisah dari ekstrak yang nantinya bisa menyumbat nozzel pada alat penyemprotan ketika akan diaplikasikan. Teh kompos yang sudah matang dicirikan tidak berbau (Ingham,2005). HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Teh Kompos Dalam pembuatan teh kompos faktor yang paling berpengaruh meliputi (Scheuerell dan Mahaffee, 2002; Ingham, 2005) : Kualitas kompos, rasio air dan kompos, aerasi, nutrisi fermentasi, ekstraksi dan pencampuran, lama waktu fermentasi, faktor abiotik dan penyaringan. Untuk menghasilkan kualitas kompos yang baik maka perlu dilakukan kontrol terhadap faktor-faktor diatas. Pada penelitian ini menggunakan rasio 1 kg kompos : 5 liter air karena mengacu pada penelitian pendahuluan yang menunjukan hasil yang baik. Aerasi pada setiap proses fermentasi diatur secara merata pada 0,4 vvm untuk menciptakan suasana aerobik dalam fermentor. Untuk penambahan nutrisi pada pembuatan teh kompos ditambahkan sumber karbon dari molase. Adapun latar belakang penggunaan molase karena banyak ditemukan dan harganya yang murah. Molase dapat digunakan sebagai alternatif substrat karena mengandung sumber karbon yang dibutuhkan mikrooganisme dalam metabolismenya. Lama waktu yang diperlukan untuk fermentasi yang baik menurut Ingham (2005), mulai dari 24 jam hingga 72 jam, maka dari itu lama waktu
fermentasi ini dijadikan dasar penelitian. Pada akhir proses dilakukan penyaringan untuk memisahkan larutan dan kompos. pH Teh Kompos Pada proses pembuatan teh kompos diketahui pH awal (0 Jam) 7,1, dimana menurut Radovich dan Arancon (2011), derajat keasaman yang baik
dalam pembuatan teh kompos adalah 6,5-7,5. Pada perlakuan dengan penambahan molase 5 ml terjadi kenaikan pH setiap jamnya. Ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh lama fermentasi terhadap perubahan pH. Dari Tabel 1 diketahui bahwa kenaikan pH pada setiap perlakuan waktu yang disebabkan terjadinya proses fermentasi oleh pertumbuhan mikroorganisme.
Tabel 1. Rerata pH teh kompos pada berbagai lama fermentasi dan penambahan molase Lama Fermentasi Penambahan Molase Simbol pH Notasi (Jam) (ml) T1M1 5 7,42 d T1M2
10
7,55
c
T1M3
15
7,53
cd
T2M1
5
7,56
c
10
7,78
a
T2M3
15
7,63
bc
T3M1
5
7,77
a
10
7,86
a
T2M2
T3M2
24
48
72
T3M3 15 7,73 ab Keterangan : Angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak bebeda nyata pada uji DMRT 5% Bakteri yang ada dalam teh kompos menurut Hidayati dkk. (2012), berperan menaikan pH yang disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2 dan sumbangan kationkation basa hasil mineralisasi bahan kompos. Hal pH tertinggi terjadi pada penambahan molase sebanyak 10 ml dan kemudian pH turun pada penambahan molase sebanyak 15 ml. Molase yang digunakan memiliki nilai pH 4,7 sehingga pH kompos menjadi turun. Hal ini sama dengan penelitian Masuda, dkk. (2000), dan Hernaman, dkk. (2005), yang mengatakan terjadi penurunan pH saat penambahan molase. Menurut Naidu, dkk. (2010), di dalam teh kompos terdapat bakteri asam laktat. Menurut Kusmiati dan Malik (2002), glukosa merupakan gula yang disukai oleh bakteri sebagai sumber karbon. Bakteri asam laktat umumnya akan
memecah glukosa untuk menghasilkan asam laktat. Hal ini menyebabkan pH media menjadi rendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Populasi Jamur Teh Kompos Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi puncak peningkatan jumlah jamur pada 48 jam dan terjadi penurunan pada 72 jam. Lama fermentasi 24 jam dan 48 jam diduga berada dalam fase log, sedangkan pada saat lama fermentasi 72 jam terjadi penurunan populasi jamur. Hal ini diduga, menurut Sari (2013), akibat jumlah molase dalam teh kompos semakin sedikit. Menurut Darwis, dkk. (1995), beberapa jamur dapat mensintesis protein dengan mengambil sumber karbon dari karbohidrat, sumber nitrogen dan mineral dari substrat bahan organik atau anorganik.
Gambar 1. Grafik rerata pertumbuhan jamur dalam teh kompos terhadap lama fermentasi dan penambahan molase Populasi Bakteri Teh Kompos Masuda, dkk. (2000), menyatakan bahwa penambahan bahan yang kaya akan karbohidrat merupakan energi bagi pertumbuhan bakteri. Adanya peningkatan bakteri (Gambar 2) menunjukan terjadinya proses fermentasi. Peningkatan jumlah bakteri
mulai 24 jam hingga 72 jam dapat diduga bakteri berada dalam fase log dimana menurut Pratiwi (2008), populasi bakteri meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.
Gambar 2. Grafik rerata pertumbuhan bakteri dalam teh kompos terhadap lama fermentasi dan penambahan molase Waktu inkubasi teh kompos antara lain; kalsium, magnesium, berpengaruh terhadap jumlah koloni potasium, dan besi. bakteri yang dihasilkan, karena semakin lama waktu fermentasi semakin Uji Efektivitas Teh Kompos pada bertambah jumlah bakteri. Pertumbuhan Media NA bakteri dipengaruhi oleh penambahan molase, hal disebabkan oleh glukosa dan Pengujian efektivitas teh kompos fruktosa yang ada didalamnya. Molase dilakukan untuk mengetahui pengaruh juga memiliki kandungan zat yang luasan zona bening terhadap lama berguna untuk pertumbuhan bakteri, fermentasi dan penambahan molase teh kompos yang paling baik dalam
menghambat pertumbuhan Ralstonia solancearum. Menurut Cappucino dan Sherman (2001), adanya zona bening disekitar cakram kertas menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri akibat dari senyawa antibakteri. Pada penelitian dilakukan pengujian dengan difusi cakram atau lebih sering disebut dengan metode Kirby-Bauer (Tortora dkk., 2001). Tujuan dilakukannya pengujian ini sebagai petunjuk adanya respon penghambatan bakteri dalam teh kompos terhadap Ralstonia solancearum. Pada tahap penelitian pendahuluan yang mengacu kepada Sari (2013), digunakan metode overlay (lapisan tambahan) yang mengaplikasikan 2 lapisan media yang berbeda, yaitu PDA dan NA. Menurut
Ingham (2005), di dalam teh kompos terkandung jamur dan bakteri, sehingga kedua mikroba dapat tumbuh dan melawan bakteri penyebab penyakit tumbuhan. Namun demikian, hasil penelitian pendahuluan menunjukkan tidak munculnya zona bening. Menurut Ingham (2005), teh kompos didominasi oleh bakteri, maka peneliti mencoba menggunakan 1 media saja yaitu NA yang diharapkan akan timbul zona bening. Menurut Aulia (2012), NA merupakan media pertumbuhan yang baik untuk bakteri. NA diharapkan menjadi media yang baik untuk bakteri dalam teh kompos dan Ralstonia solancearum yang juga merupakan golongan dari bakteri.
Tabel 2. Rerata luas zona bening penghambatan mikrobia teh kompos terhadap perkembangan Ralstonia solanacearum pada media NA Simbol Lama Notasi Penambahan Luas Zona Fermentasi Molase (ml) Bening (mm2) (Jam) T1MI 5 26,56 b T1M2 24 10 23,06 b T1M3 15 13,77 b T2M1 5 35,12 b T2M2 48 10 75,16 a T2M3 15 64,96 a T3M1 5 23,20 b T3M2 72 10 9,10 b T3M3 15 22,57 b Keterangan : Angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak bebeda nyata pada uji DMRT 5% Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan nilai antar perlakuan terhadap luas zona bening. Hasil penelitian diketahui rerata zona bening terluas terjadi pada lama fermentasi 48 jam dengan penambahan molase 10 ml yaitu seluas 75,16 mm2 dan terkecil pada lama fermentasi 72 jam dengan penambahan molase 10 ml, seluas 9,10 mm2. Setiap perlakuan ditemukan zona bening, yang merupakan hasil aktivitas mikrobia yang telah tumbuh selama 24 jam sampai 72 jam. Hal ini sesuai dengan Ingham (2005), bahwa waktu yang efektif dalam pembuatan teh
kompos mulai dari 20 jam hingga 72 jam. Pada Tabel 2 setiap perlakuan memiliki luasan zona bening yang berbeda-beda. Faktor penambahan molase tidak berpengaruh terhadap luasan zona bening. Hasil uji statistik menunjukan kesembilan faktor terdiri dari 2 notasi (a dan b) yang menandakan tidak semua perlakuan berbeda nyata. Pengaruh penambahan molase hanya terjadi pada lama fermentasi 48 jam dimana 5 ml berbeda dengan 10 ml dan 15 ml. Zona bening menunjukkan bahwa teh kompos memiliki daya hambat yang
beragam terhadap pertumbuhan Ralstonia solancearum. Dilihat dari zona penghambatan paling luas terhadap Ralstonia solanacearum maka dipilih perlakuan T2M2 (Gambar 3) sebagai perlakuan terbaik. Hal ini juga didukung oleh penambahan molase yang lebih sedikit dari T2M3, sehingga dianggap lebih ekonomis. Ini menunjukan bahwa waktu yang optimal untuk pemakaian teh kompos adalah pada 48 jam (hari kedua). Sari (2013), juga menunjukkan bahwa kemampuan teh kompos memiliki daya hambat paling tinggi pada waktu 48 jam. Menurut Naidu, dkk. (2010), teh kompos mengandung banyak a
b
mikroorganisme antara lain Pseudomonas sp., bakteri asam laktat sp., actinomycetes, Trichoderma sp. dan jamur lainnya. Ragam bakteri dalam teh kompos diduga menghasilkan senyawa antimikrobia yang dapat menghambat pertumbuhan penyakit layu bakteri pada tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Bakteri asam laktat menghasilkan zat yang bersifat racun bagi mikroba lain yang disebut bakteriosin. Menurut Kusmiati (2002), bakteriosin merupakan senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri, dan senyawa tersebut bersifat menghambat pertumbuhan bakteri lain.
c
Keterangan : a = Pengulangan pertama, b = Pengulangan kedua, c = Pengulangan ketiga Gambar 3. Luas zona bening perlakuan terbaik penghambatan mikrobia teh kompos terhadap perkembangan Ralstonia solanacearum pada media NA Luas zona bening mencapai puncaknya pada pengamatan 48 jam. Namun, setelah inkubasi 72 jam diameter zona bening menjadi lebih kecil. Hal ini diduga karena inkubasi yang dilakukan lebih dari waktu optimum produksi senyawa antimikroba dalam media. Tagg, dkk. (1969), melaporkan inkubasi terlalu lama menyebabkan aktivitas bakteriosin menurun. Umumnya ini disebabkan oleh diproduksinya inaktivator dan adanya reabsorbsi terhadap senyawa antimikroba yang diproduksi sel. Selain itu, menurut Joe, dkk. (1996), jika waktu inkubasi diperpanjang maka aktivitas bakteriosin akan menurun karena terbebasnya protease dari sel autolisis. Penggunaan teh kompos pada tanaman sebaiknya dibuat saat akan digunakan
dan langsung diaplikasikan ke tanaman begitu waktu fermentasi tercapai. Bakteriosin merupakan molekul protein sehingga mudah terdegradasi oleh protease. Diduga bakteriosin yang hasilkan dari teh kompos pada penelitian ini terjadi pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner. Menurut Jimenez (1993), produksi bakteriosin terbaik pada saat mencapai akhir fase eksponesial atau fase awal stasioner. Pada penelitan Sari (2013), populasi bakteri diatas 72 jam sampai 168 jam tidak menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri. Penurunan kemampuan teh kompos terhadap Ralstonia solanacearum terjadi pada 72 jam. Berbanding lurus dengan penurunan populasi jamur. Dimana hasil terbaik
dan populasi jamur tertinggi pada lama waktu fermentasi 48 jam. Sehingga diduga jamur juga berpengaruh terhadap luasan zona bening yang dihasilkan. Ini mengindikasikan bahwa jamur diduga ikut serta dalam menghasilkan senyawa mikotoksin/antimikroba dalam teh kompos. Dalam Ingham (2005), kandungan jamur yang ada pada teh kompos turut mempengaruhi kualitas teh kompos dalam melawan bakteri penyebab penyakit tanaman. Selain jamur dan bakteri asam laktat (Bacillus sp) dalam teh kompos juga mengandung Actinomycetes dan Pseudomonas yang berperan sebagai bioprotektan, yaitu melindungi tanaman dari serangan patogen (Sari, 2013). Dalam penelitian Susilowati dkk., (2007), Actinomycetes memiliki senyawa antimikrobia yang paling baik pada 24 jam sampai 72 jam. Diduga Actinomycetes dalam penelitian ini juga berperan dalam luasan zona bening yang dihasilkan. Pengaplikasian Teh Kompos pada Media Tanah Aplikasi penggunaan teh kompos bisa dilakukan dengan cara penyemprotan ke tanah dan langsung ke tanaman. Untuk penyemprotan ke daun sebanyak 50 liter/ha dan ketanah 150 liter/ha. Pada saat penyemprotan teh kompos ke tanah, volume teh kompos harus mencukupi sehingga sampai kepada akar tanaman. Penyemprotan dilakukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Pada penelitian ini dilakukan penyemprotan langsung ke tanah karena Ralstonia solancearum menginfeksi tanaman melalui akar. Penyemprotan pada tanah biasanya dilakukan pada saat pembibitan, pertumbuhan tanaman dan tingginya serangan. Pada penelitian ini penyemprotan teh kompos dilakukan pada sore hari pada pukul 16.00 untuk meminimalkan penguapan dan sinar ultraviolet yang dapat menurunkan keefektifan teh kompos (Grobe, 2003). Teh kompos yang dihasilkan sebaiknya digunakan sesegera mungkin karena menurut Anonim (2007), kualitas teh
kompos dapat menurun seiring bertambahnya waktu. Untuk melihat efektifitas teh kompos maka dilakukan penyemprotan teh kompos sebanyak 3 kali, masingmasing tanah disemprotkan sebanyak 5 ml, 10 ml dan 15 ml tanpa penambahan air. Sebelumnya, diketahui data awal total bakteri Ralstonia solanacearum dalam di tanah pada inkubasi 48 jam sebanyak 1,03 x 1010 CFU/ml dan pada 96 jam jumlah Ralstonia solanacearum menjadi 4,21 x 108 CFU/ml. Tabel 3. Persentase efektivitas penurunan populasi Ralstonia solanacearum pada media tanah Teh Kompos Penurunan (ml) Populasi (%) 5 36 10 54 15 56 Pada Tabel 3 diketahui bahwa banyaknya jumlah teh kompos yang disemprotkan berpengaruh terhadap intensitas serangan Ralstonia solanacearum pada tanah. Semakin banyak teh kompos digunakan maka semakin sedikit populasi Ralstonia solanacearum. Perencanaan Produksi Teh Kompos Perlakuan terbaik T2M2 menjadi dasar untuk perencanaan produksi pembuatan teh kompos. Ketersediaan bahan baku untuk kompos cukup banyak tersedia. Selain kompos, molase yang merupakan limbah dari pabrik gula banyak ditemukan. Untuk penggunaan molase, jumlah yang digunakan berdasarkan banyaknya volume air dan kompos yang digunakan. Untuk menjaga kualitas teh kompos tetap sama, perlu dilakukan pengontrolan terhadap bahan baku yaitu kompos. Komposisi bahan baku untuk membuat kompos hendaknya selalu sama sehingga diharapkan dalam pembuatan teh kompos memiliki kualitas yang sama dalam setiap proses produksinya. Untuk menentukan proses produksi industri skala kecil dibutuhkan
asumsi peningkatan kapasitas produksi dengan penambahan bahan baku. Peningkatan bahan baku untuk pembuatan industri biopestisida adalah 140 liter/hari. Hal ini disesuaikan dengan perhitungan, untuk setiap kali produksi UPT kompos dapat menghasilkan kompos sebanyak 39 kg kompos setiap harinya, dimana diasumsikan 75 % dari produksi akan dipakai untuk membuat teh kompos. Proses produksi berlangsung 12 kali dalam satu bulan (1 bulan = 30 hari, dimana dalam 1 minggu ada 5 hari kerja), dan dalam setiap minggu menghasilkan teh kompos sebanyak 420 liter. Setiap kemasan memiliki isi sebanyak 5 liter, maka dalam seminggu produksi dapat dihasilkan 84 kemasan (5 liter) teh kompos. Proses pembuatan teh kompos dilakukan selama tiga hari yaitu senin hingga rabu dan pemanenan/pengemasan dilakuan pada hari rabu hingga jumat. Untuk mendapatkan 140 liter teh kompos dibutuhkan bahan baku 29 kg kompos, air 145 liter dan molase sebanyak 290 ml (0,2 % dari banyak air). Berdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan mikroorganisme teh kompos dalam fermentor memerlukan laju aerasi dan pengadukan yang optimum, sehingga disarankan perlunya modifikasi dan desain fermentor yang lebih baik sehingga pengadukan dan transfer oksigen dapat lebih merata untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme dalam memproduksi biopestisida. Mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan teh kompos dalam industri skala kecil tidak terlalu banyak, yaitu fermentor dengan volume 140 liter, aerator dengan kekuatan 58 liter/menit dan saringan. Fermentor dibuat dalam keadaan tertutup untuk menghindari sinar matahari dan selalu terjaga diatas suhu 25 oC. Kedepannya perlu dilakukan penelitian lanjutan agar teh kompos dapat digunakan langsung tanpa harus dilakukan aerasi selama 48 jam terlebih
dahulu. Adapun caranya adalah dengan melakukan pemekatan sehingga pada saat akan diaplikasikan/digunakan teh kompos hanya perlu dilakukan penambahan air saja. Menurut Anonim (2007), teh kompos yang diproduksi dapat disimpan pada tangki penyimpanan. Namun penyimpanan dapat menurunkan kualitas teh kompos. Untuk mempertahankan kualitasnya bisa ditambahkan beberapa hari saja yaitu dengan melakukan aerasi dan menambahkan nutrisi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Teh kompos hasil fermentasi selama 48 jam dan penambahan molase sebanyak 10 ml diambil sebagai perlakuan terbaik karena menghasilkan zona bening terluas yaitu 75,16 mm2 yang diduga memiliki respon penghambatan terbaik. Kondisi optimum pembuatan teh kompos yang memiliki daya hambat paling baik adalah pH 7,78, total bakteri 1,28 x 108 CFU/ml , dan total jamur 2,45 x 103 CFU/ml. Banyaknya teh kompos yang diaplikasikan terbukti semakin menurunkan populasi Ralstonia solanacearum dengan jumlah persentase mencapai 56% dengan banyaknya jumlah teh kompos diaplikasikan sebanyak 15 ml. Saran Perlu dilakuan penelitian lanjutan tentang identifikasi secara pasti jenis mikroba dalam teh kompos yang dapat mengendalikan Ralstonia solanacearum yang bekerja paling efektif. Perlu dilakuan penelitian lanjutan agar teh kompos dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama tanpa mengalami penurunan kualitas secara signifikan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Overview of Compost Tea Use in New South Wales. University New South Wales. Sydney Aulia F. 2012. Media NA, NB dan PDA; pemanfaatan di
Laboratorium Lingkungan. Bapelkes Cikarang. Dilihat 9 Oktober 2013
Cappucino, JG. dan Sherman N. 2001. Microbiology: A Laboratory Manual. Benjamin Cummings Publishing. San Francisco Dearborn, Y. 2011. Compost Tea. EnviroSurvey, Inc. San Francisco Department of Environment. San Francisco Grobe, K. 2003a. California Landscape Contractor Calls It Compost Tea Time. BioCycle 44 (2) pp 26-27 Hidayati, YA, Harlia, A, Benito, TB dan Kurmani, A. 2012. Indentifikasi Jamur dan Bakteri pada Proses pengomposan Kotoran Domba sebagai Penunjang Sanitasi Lingkungan. Lokarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Universitas Padjajaran. Bandung Ingham, ER. 2005. The Compost Tea Brewing Manual. Edisi ke-5. Printings, Soil Foodweb Incorporated. Oregon Jimenez, DR. 1993. Plantaricins and two new bacteriocins produced by Lactobacillus plantarum LPC010 isolated from a green olive fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 59: 14161429 Joe, YB, Kwung BM., Koo SK. dan Hong JK. 1996. Evaliation of Optimum Production for Bacteriocin from Lactobacillus Sp. JB 42 Isolation from
Kimichi. J. Microbiol. Biotech. 6 : 63-67 Kouyoumjian RE, 2007. Comparison Of Compost Tea And Biological Fungicides For Control Of Early Blight In Organic Heirloom Tomato Production. Tesis. Clemson University. Clemson Kusmiati, dan Malik A. 2002. AKtivitas Bakteriosin dari Bakteri Leuconostoc Mesenteroides Pbac1 pada Berbagai Media. Makara Kesehatan 6 (1) : 1-7 Masuda, Y., Junus, M., Onba, N., Shimojo, M., dan Furuse, M. 2000. Effect of Urea Molases on Napiergrass Silage Quality. Asian Aust. J. Anim. Sci. 13 (11) : 1542-1547. Naidu, Y.,Meon, Kadir,J., dan Siddiqui Y., 2010. Microbial Starter for the Enhancement of Biological activity of compost tea. Int.J.Agric.Biol., 12:51–5 Nasir. 2007. Pengaruh Penggunaan Pupuk Bokasi Pada Pertumbuhan dan Produksi Padi Palawija dan Sayuran. Dilihat pada 7 Maret 2013. http://dispertanak. Pandeglang. go. id./artikel-13.htm. Radovich T dan Arancon N, 2011. Tea Time In the Tropics. College of Tropical Agriculture and Human Resources University of Hawaii. Honolulu Sari, S. 2013. Pengaruh Penggunaan Teh Kompos untuk Menekan Perkembangan Penyakit Hawar Daun (pantoea sp.) pada Tanaman Jagung (Zea mays L.). Disertasi Doktor. Universitas Brawijaya. Malang Scheuerell, SJ. dan Mahaffee, WF., 2002. Principle And Prospect
For Plant Disease Control. Compost Science & Utilization 10 (4): 313-338 Scheuerell, SJ. dan Mahaffee, WF., 2004. Compost Tea As A Container Medium Drench For Suppressing Seedling DampingOff Caused by Pythium Ultimum. Phytopathology. 94 (11) 11561163 Susilowati, DN., Hastuti RD., dan Yuniarti, E. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Aktinomisetes Penghasil Antibakteri Enteropatogen Escherichia coli K1.1, Pseudomonas pseudomallei 02 05, dan Listeria
monocytogenes AgroBiogen 3(1):15-23
5407.
Tagg, JR. dajani, AS dan wannamaker, LW. 1976. Bacteriocins of GramPositive Bacteria. Bacteriol. Rev. 40: 722 – 756 Tortora, GJ., Funke BR., dan Case CL. 2001. Microbiology : An Introduction. 7th. Pearson Education. New York. Dilihat 22 Juli 2013 http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Ars ip/ Departemen/Mikrobiologi/inp.pdf Touart, A.P. 2000. Time for (compost) tea in the northwest. BioCycle 41(10) pp 74-77