1
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam
Penanggung jawab: Ketua STIT PGRI Pasuruan Ketua Penyunting: Mohammad Aufin, M.M. Wakil Ketua Penyunting: Dra. Ayu Maya Damayanti, S.H., M.Pd Penyunting Ahli: Ninik Suryatiningsih, M.Pd. Drs. Supriyo, M.Pd. Dr. H. Sugeng Pradikto, M.Pd. Penyunting Pelaksana: Miftakhul Munir, M.Pd.I. Nur Hasan, M.Pd.I. M. Sodikin, M.Pd.I. Pelaksana Tata Usaha: Siti Halimah, M.Pd.I. M. Ma‘ruf, M.Pd.I. Jakaria Umro, M.Pd.I. Mitra Bestari: Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. Prof. H. Fauzan Saleh, M.A., Ph.D. Dr. Hj. Meinarni Susilowati, M.Ed. Dr. Hj. Dies Nurhayati, M.Pd. Dr. Khoirul Huda, S.H., M.Hum.
2
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam PENDIDIKAN MADRASAH ERA DIGITAL
Sulaiman ~
1
SEJARAH LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA (Surau, Meunasah, Pesantren dan Madrasah) Abdul Mukhlis ~ 18 KEHIDUPAN HARMONIS DALAM MASYARAKAT MAJEMUK (Pentingnya Pendekatan Multikultur Dalam Pendidikan Di Indonesia) Fitrotin Jamilah ~ 36 KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IMAM AL-GHAZALI Jiddy Masyfu’ ~ 48 IS COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING (CLT) APPROPRIATE TO THE INDONESIAN CONTEXT Syarifuddin ~ 62
Eksplikasi Tesis-Tesis Hubungan Antara Agama dan IlmuPengetahuan Muhammad Alwi
~
70
TASAWUF UNTUK MASYARAKAT MODERN Siti Halimah ~ 88 PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM ( Kajian Penerapan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga ) Jakaria Umro ~ 103 KONSEP KOMPETENSI GURU PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Qalam Ayat 1 – 4) M. Ma’ruf ~ 122 PENERAPAN MULTIPLE INTELLIGENCES GUNA MENUMBUH KEMBANGKAN KREATIFITAS SISWA-SISWI DI SMK KARTIKA GRATI KABUPATEN PASURUAN Nurhasan ~ 142
3
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
PENDIDIKAN MADRASAH ERA DIGITAL
Sulaiman, M.Pd.I Dosen STAI Panca Wahana Pasuruan
ABSTRAK Masyarakat global menilai pendidikan madrasah sebagai investasi manusia untuk mempersiapkan masa depan yang lebih sukses di dunia dan akhirat. Sedangkan perkembangan teknologi diharapkan dapat menciptakan suasana segar yang mampu membawa prubahan pendidikan islam serta tidak menghilangkan harapan masyrakat banyak bahwa madrasah mampu berdampingan dengan teknologi informasi dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Disisi lain perkembangan pesat TI yang secara instan dapat dikonsumsi secara cepat dan mudah memunculkan alternative pendidikan madrasah pada masyarakat global dengan konsep pendidikan alternative. Saat pendidikan Islam di madrasah tidak terlepas dari arus globalisasi maka persiapan menemukan peluangnya dan tantangan. Oleh karena itu, pendidikan Islam di madrasah dituntut berperan dalam penyelesaian masalah moral, etika serta ilmu pengetahuan modern. Perlu adanya pembaharuan pendidikan di madrasah untuk dapat menghadapi tantangan global yang makin kuat. Dalam hal ini peranan steakholder setempat dalam pertumbuhannya, madrasah era digital perlu merubah paradigma tentang pendidikan islam. Kesiapan madrasah mulai dari guru, sarana, sumber daya manusianya mulai sekarang harus dipersiapkan agara dapat menciptakan suasana dan lingkungan pendidikan yang dapat bersanding dengan teknologi digital, yang kelak harpannya adalah lulusan madrasah dapat bersaing dengan semua elemen dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan industri dan bidang-bidang lainnya dalam hal urusan dunia, yang pada hakikatnya lulusan sebenarnya adalah mampu merealisasikan nilai budaya dan kearifan lolak tentang nilai dan norma, yang semuanya melekat pada madrasah Kata Kunci: Madrasah, Digital.
4
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
A. Pendahuluan Era digital merupakan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan hususnya madrasah yang tentunnya masih menjadi second choice dalam hal pilihan jenjang pendidikan. Madrasah di era globalisasi ini menghadapi suatu masalah yang begitu signifikan. Maka dalam implementasinya pendidikan Madrasah dihadapkan pada perkembangan zaman dan teknologi seperti: televisi, handphone, komputer dan lain-lain. Madrasah yang berbasis teknologi diharapkan lebih memberikan dampak positif bagi peserta pendidikan Islam hususnya madrasah di pelosok negeri. Madrasah merupakan satu faktor yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh dengan tantangan. Apalagi secara umum pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur‘an dan sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu al-Qur‘an dan Hadits. Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur‘an dan Hadits.1 Maka besar harapan pendidikan yang berbasis madrasah dapat menjadi icon dalam dunai pendidikan secara umum dari semua jenjang. Bukan lah hal mudah dalam mempersiapkan manusia yang sesuai dengan ajaran agama Islam, akan tetapi minimal madrasah dalam menghadapi tantangan telah memiliki persiapan husus dalam menghadapi dunia digital. Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama.2 Madrasah juga merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional di Indonesia. Perannya begitu besar dalam menghasilkan output-output generasi penerus bangsa. Perjuangan madrasah untuk mendapatkan pengakuan ini tidak didapatkan dengan mudah. Karena sebelumnya eksistensi lembaga ini kurang diperhatikan bila dibandingkan 1
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006 2 Arief Subhan Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20.Jakarta: Kencana, 2012:184
5
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sekarang Departemen Pendidikan Nasional. Yang ada justru sebaliknya, madrasah seolah hanya menjadi pelengkap keberadaan lembaga pendidikan nasional 1. Madrasah di Pada Era Perkembangan 2. Menerima tantangan global 3. Membangu karakter pendidikan dan peserta didik 4. Menyiapkan instrumen dan arah tujuan pendidikan Minat ummat Islam terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi. Di beberapa daerah, jumlah siswa madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah siswa Sekolah Dasar atau SLTP. Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah, terutama yang ada di dalam pondok pesantren, memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat kepada siswanya. Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan, apabila mereka menjadi pemimpin di kemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil. Sayang, kualitas lembaga yang mengemban misi penting ini, menurut banyak pengamat, amat memprihatinkan. Kualitas pendidikan di madrasah yang ada di luar pondok, terutama yang yayasannya kurang kuat, sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi pendidikan agama maupun dari segi pendidikan umum. Di bidang pendidikan agama madrasah ini kalah dari madrasah yang ada di dalam pondok dan, di bidang pendidikan umum ia kalah dari sekolah umum yang ada di sekitarnya. Madrasah yang ada di dalam pondok masih agak lumayan, walaupun kualitas pendidikan umumnya mungkin kalah jika dibandingkan dengan standar sekolah umum tetapi di bidang pendidikan agama kebanyakan dari mereka memiliki kualitas di atas standar.
Tentu saja, kekecualian-kekecualian juga ada.
Madrasah yang kualitas
pendidikan umumnya lebih tinggi dari sekolah umum, seperti MIN Malang I, juga ada, walau sedikit sekali. Dalam hal misi jika dibandingkan dengan pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini
6
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)iv. Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh kebahagiaan di akhirat). Persoalan ini menjadi makin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini, yakni globalisasi. Kalau banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk memasuki era globalisasi, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi menghadapi era globalisasi ini. Kaitan antara globalisasi dan kesiapan madrasah menghadapinya itulah yang akan menjadi pokok bahasan makalah ini.
B. Globalisasi dan Madrasah Di Indonesia, permulaan munculnya madrasah baru terjadi sekitar abad ke-20. Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah.3 Dalam kenyataannya, madrasah yang dulunya hanya sebagai second choice dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, kini perlahan-lahan dan pasti telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat. Apresiasi ini adalah modal besar bagi madrasah untuk memberikan nilai yang terbaik bagi bangsa dalam sumbangsihnya di dunia pendidikan. Dengan konteks kekinian, sekarang ini banyak sekali madrasah-madrasah yang menawarkan konsep pendidikan modern. Konsep ini tidak hanya menawarkan dan memberikan pelajaran atau pendidikan agama. Akan tetapi mengadaptasi mata pelajaran umum yang diterapkan di berbagai sekolah umum. Kemajuan madrasah tidak hanya terletak pada SDM-nya saja, namun juga desain kurikulum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, dan sistem manajerial yang modern. Selain itu, perkembangan kemajuan madrasah kini juga didukung dengan sarana infrastruktur dan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajarmengajar di madrasah. 3
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta1999;82
7
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Di sisi lain, perkembangan era globalisasi digital cenderung mengkhawatirkan kehidupan bangsa. Apalagi dengan pesatnya pertumbuhan budaya baru pada era digital yang heterogen dari Sabang sampai Merauke. Hal itu dikarenakan semakin derasnya arus informasi komunikasi yang cenderung negatif dan massif. Sementara itu, ‗‘globalisasi‘‘ adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada ‗‘bersatunya‘‘ berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Berdasarkan istilah ‗‘globalisasi‘‘ berarti ‗‘perubahanperubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antarmanusia, organisasi-orgaisasi sosial, dan pandang-pandangan dunia.4 Maka dari itu negara-negara Muslim dan pemerintah Muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa globalisasi tidak akan mengakibatkan marginalisasi negara mereka seperti yang terjadi dengan Revolusi Industri dan Era Industri. Saat ini kita tidak bisa membelinya lagi. Jika sekali lagi kita kehilangan kesempatan untuk mengimbangi kemajuan yang radikal dan cepat, yang sedang dilakukan oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dan termasuk dampak dari perkembangan tersebut berupa ide-ide baru dan konsep-konsep dalam hubungan manusia dan internasional, jika kita tertinggal dan gagal untuk menangani mereka, maka kita tidak hanya akan terpinggirkan, tetapi akan berada di bawah dominasi dan hegemoni pihak lain permanen.5 Beredar isu penting yang akan dihadapi oleh madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu harus menyadari ketika menghadapi globalisasi. Beberapa di antaranya. 1. Pesatnya perkembangan dunia teknologi dan gadget, khususnya teknologi informasi dan komunikasi. 2. Banyaknya budaya barat yang dominan dan menantang identitas Islam serta dapat merusak nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. 3. Terintegrasinya masyarakat dunia dengan tiap individu. 4. Besarnya harapan terjadinya perubahan sosial terhadap institusi pendidikan baik yang swasta atau yang negeri. 5. Kesenjangan sosial antara masyarakat bawah dan atas dari segala aspek dan elemen.
4
Azra, Azyumardi dan JamhariPendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio-Historis .Jakarta: Rajawali Pers. 2006:6 5 Mohd Abbas Abdul Razak (2011) ‘Globalization and its impact on education and culture‘ in world Journal of Islamic History and Civilization. 2011:59-69,.
8
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Sedikit kita bahas tentang pesatnya perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (IT). TI adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap globalisasi. Hal ini, seperti Catherine L. Mann menjelaskan, "sektor pertumbuhan yang paling kuat dalam ekonomi global, dengan permintaan di pasar yang melebihi kecepatan investasi dan pertumbuhan perdagangan untuk produk lainnya."6 Pertumbuhan TI telah mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Mann lebih lanjut menjelaskan, "TI adalah jenis khusus dari tujuan umum teknologi dengan efek jaringan yang signifikan dan tingkat pengembalian tinggi diukur ekonomi yang luas dari investasi. Hal ini tidak mengherankan karena permintaan untuk TI sangat kuat. Tapi TI juga menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya lebih banyak globalisasi pada industri non-teknologi. "7 Dengan semakin cepatnya perkembangan TI maka aa konsekwensinya yang harus kita hadapi pertama pertumbuhannya yang sangat cepat, sifat TI juga ditunjukkan oleh dinamikanya. Oleh karena itu, begitu melibatkan TI ke dalam urusan kita, jangan lupa dan harus ingat untuk terus memperbaharui komponen kepribadian kita. Jika tidak, maka sama halnya dengan sistem TI yang tertinggal, maka dunia kita juga akan tertinggal. Ini adalah tantangan utama yang harus dihadapi madrasah ketika berhadapan dengan TI. kedua globalisasi, yang adalah adanya budaya yang dominan, mengingatkan lembaga pendidikan Islam pada dampak sosial dari globalisasi, khususnya TI. Kehadiran TI menantang budaya dan nilai-nilai yang telah ada dengan dua jenis budaya baru. Pertama adalah budaya yang dominan dari mana TI berasal, dan yang kedua adalah budaya baru yang diciptakan oleh pengguna TI. Masyarakat Muslim di seluruh dunia memiliki campuran unik nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Oleh karena itu, sementara dasar dari nilai-nilai yang sama, budaya yang berbeda Globalisasi TI memperkenalkan para penggunanya untuk mengakses film-film baru, lagu, desain fashion, makanan dan simbol gaya hidup lainnya yang berasal dari negaranegara maju. Akses yang tak terbatas ini tentu tidak bebas nilai dan norma. Setelah penggunanya akrab dan menikmati produk-produk tersebut, mereka akan segera mengadopsi budaya baru dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, tidak mengejutkan
6
Catherine L. Mann Accelerating the Globalization of America: the role for information technology. Washington DC: Institute fo International Economics, 2006:1. 7 Ibid 21
9
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
untuk melihat bahwa generasi muda di negara-negara berkembang lebih akrab dengan budaya Barat dari budaya mereka sendiri. Selain itu, mereka juga akan menciptakan budaya mereka sendiri sebagai dampak dari penggunaan TI. Salah satu budaya baru dipengaruhi oleh TI adalah kurangnya interaksi sosial.8 Orang menemukan diri mereka sibuk dengan teknologi yang bisa memberikan mereka banyak hal lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan interaksi sosial. Secara umum kesadaran masyarakat kita dengan adanya akses yang tak terbatas denga dunia internasional dan juga perkembangan TI, seperti yang berlaku di seluruh aspek kehidupan manusia, telah menyebabkan orang Muslim untuk menetapkan harapan yang tinggi kepada lembaga pendidikan mereka hususnya Madrasah. Di beberapa daerah meningkatnya jumlah kelas menengah Muslim mewakili era baru masyarakat. Berkat perkembangan ekonomi, negara ini memiliki jumlah kelas menengah Muslim yang meningkat secara significant, pada umumnya berpendidikan dan berkecukupan secara finansial. Perubahan kondisi sosial masyarakat Muslim juga telah merubah harapan sosial untuk pendidikan Islam. Orang tua tidak lagi senang dengan sekolah yang minim fasilitas dan guru yang kurang kreatif. Mereka menuntut sekolah berkualitas dengan guru yang berkualitas untuk memastikan anak-anak mereka bisa mendapatkan akses ke dunia global dengan kepercayaan diri yang tinggi. Maka dalam menjawab tantangan di atas, madrasah harus mampu mengidentifikasi kelemahan diri dan menemukan peluang untuk meningkatkan kapasitasnya dalam rangka menyiapkan generasi madrasah yang mampu menjawa[ tantangan global. Tentu saja banyak rintanga besar yang dihadapi madrasah untuk memasuki dunia global. Tetapi tidak ada pilihan lain untuk menghindari tantangan, karena globalisasi menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Diharapkan madrasah untuk tidak hanya bias bertahan di era globalisasi, tetapi juga untuk memberikan kontribusi yang signifikan. "Satu hal yang jelas," sebagaimana Lukensbull mengingatkan, "ketika sekolah madrasah memenuhi tujuan pendidikan mereka, apa pun alasannya, ada implikasi serius bagi masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat dari ketidakseimbangan yang dihasilkannya." 9 8
Mohd Abbas Abdul Razak Globalization and its impact on education, 2011:63. Ronald A. Lukens-Bull Teaching morality: Javanese Islamic Education in a globalizing era,‘ in Journal of Islamic and Arabi Studies, 2000:43 9
10
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Lukens-Bull mengamati dilema globalisasi yang menjadi perhatian banyak pemimpin Muslim Indonesia. Dia menyebutkan bahwa "ada kekhawatiran bahwa tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam akan miskin. Perhatian yang lebih besar, bagaimanapun, adalah bahwa dalam mengejar hal-hal ini, masyarakat Islam Indonesia akan kehilangan fondasi moralnya, dan terjebak pada keinginan yang tidak dibenarkan, dan lebih memilih menjadi menjadi budak materialisme daripada hamba Allah." 10
C. Tantangan Madrasah Tantangan global dan globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak akhir milenium lalu, yang dikemukakan secara singkat di atas, jelas jauh lebih kompleks daripada tantangan-tantangan yang pernah dihadapi lembaga pendidikan Islam di masa silam. Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui, bahwa secara internal lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya masih menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang ini. Di sisi lain, Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. Secara lebih terperinci beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah :11 1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat. 2. Dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya. 3. Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku. 4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat. (Rafiq, 2010)12
10
Ronald A. Lukens-Bull ‗Teaching morality: Javanese Islamic Education, 2000;38. Marzuki Wahid ―Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan‖, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah 2011:60) 12 Rafiq, Mohd. ―Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi‖, idb2.wikispaces.com/file/view/ok2015.pdf 11
11
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Sebagai indicator nilai mutu yang menempel terhadap madrasah adalah gambaran lulusan dalam mengamalkan kompetensinya baik di realitas kerja maupun pengabdian agama di lingkungan masyarakatnya. Semakin tinggi kontribusi lulusan madrasah terhadap masyarakat, akan menjadi tolak ukur dan bagian subuah penilaian masyarakat terhadap madrasah tersebut. Lulusan sebuah pendidikan menjadi ujung tombak baik-buruknmya mutu suatu madrasah. hal ini tidak lain adalah sebagai penilaian awal masyarakat, sehingga madrasah akan berusaha keras untuk memperhatikan dengan serius akan outputnya. tinggirendahnya nilai madrasah terhadap lulusan akan menjadi cermin nilai mutu suatu madrasah. Selain itu peran madrasah dalam era globalisasi semakin dibutuhkan, bangsa Indonesia secara moral akan menghadapi bahaya besar, yaitu telah semakin menipisnya penjunjungan aspek moralitas, atau masalah moral dijadikan sebagai utusan kedua. Sistem madrasah dalam menatap era modern ini haruslah mampu mengantarkan lulusannya meraih kemenangan didunia dan akhirat serta tidak antipati terhadap hal-hal yang berasal dari pihak asing selama itu tidak negative pengaruhnya. Mampu memberikan kontribusi bagi peibadinya dan tidak lupa pula mendarmabaktikan kepada masyarakat. Madrasah memiliki tantangan besar dalam membina peserta didiknya. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan, memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi era global13 1. Tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development). 2. Tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisionalagraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM. 3. Tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas
13
Kherudin kurniawan, Paradigma Baru Pendidikan Moral, suara pembaharuan,1999
12
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 4. Tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi. Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan kemampuan para pendidik di madrasah harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Lembaga pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan standar kompetensi global paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya siap bersaing dengan para tenaga kerja lulusan SMK atau bahkan tenaga kerja asing.
D. Solusi Menghadapi Globalisasi Banyak dari pemerhati dan praktisi pendidikan mencoba menawarkan berbagai konsep dan teori untuk mengatasi kelemahan-kelemahan madrasah dalam persiapannya menghadapi tantangan globalisasi. Tawaran konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan meningkatkan mutu madrasah menjadi lembaga yang maju dan unggul, mulai dari konsep pembenahan pada aspek menajemen yang dipandang sebagai faktor penentu terhadap komponen madrasah sampai materi ajar dan lain sebgainya yang di anggap dapat meningkatkan mutu madrasah. Muzammil Qomar menegaskan bahwa lembaga madrasah pertama-mata dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen14 Berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, kondisi kultur masyarakat, kebijakan politik Negara terutama yang menyangkut keuangan/pendanaan, beban pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana dan prasarana, alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang professional, maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah. Akan tetapi, jika para pengelola madrasah memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengelola, maka persoalan-persoalan seharusnya dapat diatasi dengan baik. Karena para pengelola, sebagai pihak yang memegang kendali, memiliki kekuatan eksekutif atau 14
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007; 81
13
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
politik yang dapat dijadikan sarana atau media dalam mengkondisikan komponenkomponen lainnya. Dalam kasus ini ranah pembahasannya adalah pendidikan madrasah, maka kepala sekolah memiliki peranan penting dan harus mampu membangun citra madrasah sebagai pendidikan keagamaan yang mampu menjawab tantangan kemajuan ilmu dan teknologi dan informasi di era globalisasi, bagaimana seharusnya madrasah tetap survive sepanjang waktu sehinnga mampu berdiri tegak dalam melawan arus perubahan zaman. Menurut Muhaimin, sedikitnya ada dua tugas penting yang harus diemban kepala madrasah. Yakni sebagai berikut15 1. Tugas di bidang manajerial. Yaitu, seorang kepala madrasah dituntut untuk mampu
menyelesaikan
tugas-tugas
administrasi
dan
supervisi.
Tugas
administrasi ini meliputi kegiatan menyediakan, mengatur, memelihara, dan melengkapi fasilitas material dan tenaga-tenaga personal sekolah. Sedang tugas supervisi meliputi kegiatan untuk memberikan bimbingan, bantuan, pengawasan, dan penilaian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran untuk dapat menciptakan situasi belajar-mengajar yang lebih baik. 2. Tugas di bidang spiritual. Yaitu seorang kepala sekolah dituntut untuk mampu menjadikan madrasah sebagai suasana religius Islam yang mampu mengantarkan para anak didiknya menjadi ulul al-albab, suatu pribadi yang memiliki kekokohan spiritual, moral, dan intelektual serta professional. Di era global ini peluang madrasah untuk tampil sebagai lembaga pendidikan pilihan masyarakat sangat mungkin diwujudkan melalui upaya perbaikan mulai dari tingkatan bawah sampai atas yaitu mulai dari wali murid sampi steakholder yang berkepntingan dalam dunia pendidikan. Namun, tentunya madrasah dituntut mampu menunjukkan keunggulan kepribadian, intelektual, dan keterampilan. Ketiga-tiganya saling menopang satu sama lain untuk membentuk integritas kepribadian siswa. Masingmasing keunggulan itu menjadi kebutuhan riil masyarakat sekarang ini. Di era global ini peluang madrasah untuk tampil sebagai lembaga pendidikan pilihan masyarakat sangat mungkin diwujudkan melalui upaya perbaikan mulai dari tingkatan bawah sampai atas yaitu mulai dari wali murid sampi steakholder yang 15
Imam Tholhah. Dkk, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004; 192
14
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
berkepntingan dalam dunia pendidikan. Namun, tentunya madrasah dituntut mampu menunjukkan keunggulan kepribadian, intelektual, dan keterampilan. Ketiga-tiganya saling menopang satu sama lain untuk membentuk integritas kepribadian siswa. Masingmasing keunggulan itu menjadi kebutuhan riil masyarakat sekarang ini. Maka dalam menjawab tantangan dan kebuthan tersebut hendaknya lembaga menyiapkan pendidik yang professional, menguasai penerapan teknologi informasi dalam proses pemebelajaran dan mengubah suasana belajar yang kaku dan membosankan menjadi suasana yang menyenangkan dan menggairahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya. Berkaitan dengan era globalisasi, maka untuk menyelenggarakan madrasah di era globalisasi disamping hal yang telah disebutkan di atas perlu adanya hal-hal yang harus diaplikasikan, hal-hal tersebut ialah: 1. Madrasah harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sungguh dan terencana, sehingga output dari madrasah layak bersaing dalam pergaulan global. 2. Madrasah harus membuka jurusan yang bervariasi mengingat luasnya lapangan kerja di era pasar bebas 3. Madrasah harus tetap memepertahankan identitasnya dan tidak boleh meninggalkan nilai-nilai dasarnya 4. Madrasah harus melaksanakan evaluasi secara terus-menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, harus ada tekad bulat dari seluruh jajaran, baik kepala madrasah, guru, karyawan, siswa, komite madrasah dan masyarakat untuk menyukseskan lembaga madrasah menjadi lembaga yang benar-benar memiliki keunggulan riil yang bisa disaksikan dan dirasakan bahkan dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain yang ada disekitarnya.
E. Peluang-Peluang Di Era Digital Besarnya
tantangan
yang
di
hadapi
institusi
madrasah
dan
dengan
mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam diatas, memunculkan berbagai inspirasi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan global merupakan tugas pendidikan Islam. Semuanya tidak terlepas dari berbagai peluang yang
15
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dapat dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta didik untuk lebih dapat bersaing dan berkiprah di desa global yang tanpa batas. Berangkat dari perspektif tersebut, peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat diperincikan sebagai berikut: 1. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan. 2. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil. 3. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan
yang
lebih
bermutu,
relevan
dan
hasilnya
pun
dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik. 4. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adlah pendidikan yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill.16 Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar madrasah dapat menghadapi tantangan di atas antara lain; Pertama, madrasah harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan aktif dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan. Kedua, madrasah hendaknya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya TI yang telah menjadi media utama transformasi informasi. Dengan mengembangkannya dalam berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan e-learning, e-book, tafsir digital dan lain sebagainya.
16
Marzuki Wahid ―Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan‖, dalam Marzuki Wahid, (Bandung: Pustaka Hidayah 2011:63
16
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
F. Kesiapan Madrasah Meghadapi Globalisasi Menurut Malik Fadjar bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro.17 Menurutnya, kini, masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya.18 Pergeseran tersebut menurut Ahmad watik (dalam Fadjar) dalam Pratiknya perubahan tersebut mengarah pada; 1. Terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata, 3. Masyarakat padat informasi, dan 4. Kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka 19 Jika ditinjau dari kecenderungan atau gejala sosial yang terjadi saat ini pada masyarakat desa apalgi kota yang akhir-akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa depan. Dengan mempersiapkan segala aspek kebutuhan antara lain sebagai berikut; 1. lembaga pendidikan harus mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini. 2. kesadaran masyarakat untuk menciptakan dan berispirasi aktif dalam pembangunan pendidikan ragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-
17
Malik Fadjar, Tantangan dan peran umat Islam dalam menyonsong abad xxi, Surabaya 1997:76 Ibid 87 19 Ibid 90 18
17
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. 3. Menyikapi arus globalisasi dan modernisasi dengan secara arif dan ikut partisipasi dalam menciptakan pendidikan yang bersanding dengan IT yaitu menciptakan guru yang professional dalam menggunakan TI. 4. Penguatan kembali manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ). 5. Madrasah harus mampu bersanding dengan TI untuk dapat menciptakan output atau lulusan yang sesuai dengan harapan. Memperbanyak menyiapkan guru professional Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global. Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global? Madrasah juga harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.
G. Kesimpulan Dari serangkaian pembahasan mengenai metode keteladanan di atas dapat disimpulkan bahwa: Masalah tantangan globalisasi yang dihadapkan kepada lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah, sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan generasi muda ummat Islam untuk masa depan, madrasah diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang akan mampu memainkan peran penting di semua sektor kehidupan bangsa, baik itu sektor agama, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Madrasah diunggulkan daripada sekolah umum karena madrasah memberikan pendidikan agama (yang lebih baik daripada sekolah umum) di samping pendidikan umum (yang sama dengan sekolah umum). Persoalan yang masih dihadapi madrasah saat ini adalah masifh rendahnya standar kualitas pendidikan umum yang diberikannya di madrasah, selain permasalahan yang timbul dari lingkungan internal lembaga masingmasing.
18
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kurang disadarinya peran penting masingmasing individu dalam pembangunan nasional. Juga karena kekurang sadaran akan peran penting pendidikan umum, terutama di bidang teknologi dan ilmu eksakta, ini akan menyebabkan sektor-sektor ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat menentukan arah pembangunan nasional terpaksa diserahkan kepada lulusan nonmadrasah. Sebelum terlambat, madrasah disarankan untuk lebih memperhatikan masalah kualitas pendidikan umum ini bagi para santrinya.
19
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi dan Jamhari, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio-Historis .Jakarta: Rajawali Pers. 2006 Fadjar, Malik, Tantangan dan peran umat Islam dalam menyonsong abad xxi, Surabaya 1997: kurniawan, Kherudin, Paradigma Baru Pendidikan Moral, suara pembaharuan,1999 Mann, Catherine L. Accelerating the Globalization of America: the role for information technology. Washington DC: Institute fo International Economics, (2006) Muhaimin, Nuansa
Baru
Pendidikan
Islam:
mengurai
benang
kusut
dunia
pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007 Rafiq, Mohd. ―Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi‖, idb2.wikispaces.com/file/view/ok2015.pdf Razak, Mohd Abbas Abdul, Globalization and its impact on education and culture‟ in world Journal of Islamic History and Civilization. 2011. Subhan, Arief Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Kencana, 2012 Tholhah, Imam Dkk, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Wahid,
Marzuki,
―Pesantren
di
Lautan
Pembangunanisme:
Mencari
Kinerja
Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Bandung: Pustaka Hidayah 2011
20
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
SEJARAH LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA (Surau, Meunasah, Pesantren dan Madrasah)
Abdul Mukhlis, M.Pd.I Dosen STAI Pancawana Pasuruan
ABSTRAK Lembaga-lembaga pendidikan islam ada seiring dengan penyebaran Islam itu sendiri, lembaga semisal Pondok Pesantren di Jawa, Surau di Sumatera
(
Minangkabau ), Meunasah di Aceh dan Madrasah Islam modern yang menyebar di seluruh nusantara merupakan suatu fenomena-fenomena yang meniscayakan adanya dinamika lembaga-lembaga pendidikan Islam yang pada suatu kurun waktu tertentu menjadi suatu lembaga pendidikan yang menjadi menjadi primadona di masanya, akankah lembaga-lembaga Islam semisal Pondok Pesantren dan Madrasah menjadi lembaga pendidikan Islam yang tetap bereksistensi ataukah ada model lembaga pendidikan lain yang lebih mengakomodasi peradaban dan kebudayaan dunia Islam. Kata Kunci: Pesantren, Surau, Meunasah dan Madrasah
A. PENDAHULUAN Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntntan masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konfrehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu
21
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal.
B. SEJARAH
DAN
DINAMIKA
LEMBAGA-LEMBAGA
PENDIDIKAN
DI
NUSANTARA 1. Surau Pembahasan tentang surau sebagai lembaga Pendidikan Islam di Minang-kabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan surau sampai dengan meredupnya pamor surau. Kondisi ini dilatarbelakangi dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif. Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu. berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. 20 Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal, 21 menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis22 lainnya. Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk) 23. Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajarannya yang menekankan kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Muridnya tidak hanya berasal 20
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), h. 130. 21 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005). h. 70. 22 Surau sangat kental dengan pengajaran agamanya. Di samping itu, hampir setiap surau di Minangkabau selain mengajarkan agama, juga identik dengan mengajarkan silat yangberguna untuk mempertahankan diri dan mengajarkan adat-istiadat khususnya pepatah petitih serta tradisi anak nagari lainnya. 23 Ibid, h. 71.
22
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dari Ulakan-Pariaman saja melainkan juga berasal dari daerah-daerah lain di Minangkabau, seperti Tuanku Mansiang Nan Tuo yang mendirikan surau Paninjauan dan Tuanku Nan Kaciak yang mendirikan surau di Koto Gadang. 24 Sehingga pada akhirnya, murid-murid Syekh Burhanuddin tersebut memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi selanjutnya. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqak Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiah dan membaca Al-Quran, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Secara bertahap, eksisitensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu: a. Pengajaran Al-Qur‘an. Untuk mempelajari Al-Qur‘an ada dua macam tingkatan 1) Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Qur‘an dan membaca Al-Qur‘an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya. 2) Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur‘an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid dan kitab parukunan. Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materi-materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-Qur‘an dua atau tiga kali baru berhenti dari pengajaran Al-Quran. b. Pengajian Kitab Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi
24
Ibid, h. 72.
23
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada siang maupun malam hari. Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing-masing materi pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah ulama Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber yang digimakan mulai mengalami pergeseran. Kitab yang digimakan pada setiap materi pendidikan sudah bermacammacam. Terjadinya pencerahan semacam ini disebabkan karena ulama-ulama yang pulang tersebut tidak dengan tangan hampa melainkan juga dengan membawa sumbersumber (kitab) yang banyak sekali. Metode pendidikan yang digimakan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu25. Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi surau yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di Minangkabau. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau tersebut lebih banyak muatan mistisnya ketimbang syariat. Gejala ini dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat masih dilakukan terutama para penguasa (kaum adat). Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh Abdurrahman, salah seorang ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun berhasil. Keberhasilannya ini tidak serta-merta menghilangkan praktik bid‘ah dan khurafat di sebagian daerah lain. Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal dengan ―Surau Dagang‖.26 Di surau
25 26
Ibid., h. 73-74 Azyumardi Azra, Op. cit., h. 133.
24
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
inilah Syekh Abdurrahman mengajarkan Al-Qur‘an dengan berbagai macam irama dan ilmuilmu keislaman lainnya. Keadaan yang demikian itu membuat suasana semakin memanas dan membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu pertama yang menolak pem-baruan yang dimotori oleh kaum adat yang dibantu kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktik kehidupan yang sudah jauh dari nilai-nilai agama. Dengan momentum kepulangan ―tiga serangkai‖ H. Miskin dari Pandai Sikek, H. Piobang dari Agam dan H. Sumanik dari Batusangkar dari Mekkah, maka dilakukan pembaruan tetapi dengan pendekatan yang keras dan radikal. Ulama-ulama ini juga dibantu oleh ulama-ulama yang lain seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku di Agam yang bergelar ―Harimau Nan Salapan.‖ Usaha yang dilakukan kaum Padri, sekurang-kurangnya telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam dalam menentang penjajah. Meskipun pada akhirnya gerakan ini gagal membumikan ide pembaruannya. 27 Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang musnah terbakar dan Syekh banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid‘ah dan takhayul. Ekspansi yang dilakukan kaum intelektual muda dengan mendirikan madrasah telah mengancam keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan. Untuk menjaga eksistensinya, Ulama Tradisional mengadakan rapat besar yang diselenggarakan di Bukittinggi tanggal 5 Mei 1930 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Persatuan Tarbiyah Islamiah (PTI). Keputusan lain dari rapat itu adalah bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung ke dalam PTI hams dimodernisasi mengikuti pola yang dikembangkan Kaum Intelektual Muda. Dengan demikian, Ulama Tradisional tidak punya alternatif untuk menyelamatkan sistem pendidikan surau kecuali merombaknya seperti yang dilakukan oleh Kaum Intelektual Muda.28
27 28
Ibid, h. 76-85. Ibid., h. 146.
25
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam, bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara paru alumni Pendidikan Surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka 29. 2. Meunasah Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampung, desa). Bangunan ini sepert: rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagianbagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh. meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong.30 Meunasah secara fisik, adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh keucik. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan WC yang terletak berjarak dengan meunasah. Biasanya meunasah terletak di pinggir jalan. Di antara fungsi meunasah itu adalah: a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu. b. Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Al-Qur‘an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat berjamaah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.31 Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barang-barang yang tak bergerak. Yang belajar di
29
Samsur Nizar. Op. cit, h. 86. Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 42. 31 Ibid., h. 42. 30
26
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru. Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan yang disebut Tengku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, Tengku Meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang lebih cerdas yang disebut sida. Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Umumnya, pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun. Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca Al-Qur‘an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf Hijaiah, seperti yang terdapat dalam buku Qaidah Baghdadiyali, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz ammo, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Setelah nitu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Qur‘an besar dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-pokok agama seperti rukun iman, rukun Islam dan sifat-sifat tuhan. Selain itu, juga diajarkan rukun sembahyang, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau selawat). Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab parukunan dan Risalah Masail al-Muhtadin.32 Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para Tengku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya Teungku mendapatkan hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Qur‘an sampai juz ke-15 atau pada saat khatam Al-Qur‘an. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu upacara-upacara akad nikah, sunat rasul, pembagian harta warisan, perkara perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-nasihat dan juga dari zakat. Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. 33
32 33
Ibid, h. 43 Ibid., h. 44-45.
27
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
3. Pesantren Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko prasodjo, ―pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama. umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.‖34 Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang di sebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kiai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran. Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat ―asli‖ atau ―indigenos‖ Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.35 Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi.36 Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai Dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler37. Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern. Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara 34
Sudjoko Prasodjo, et al. ―Profit Pesantren‖, dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 104. 35 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 103. 36 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) h.157. 37 Azyumardi Azra, Op. cit., h. 95.
28
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki kateristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi; a. Materi pelajaran dan metode pengajaran Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur‘an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa‘id dan ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf. Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah; 1) Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktuwaktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqah. 2) Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri mengahadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung. 3) Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.38 b. Jenjang Pendidikan Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalas. lembagalembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya. kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. 38
Abudin Nata, Op. cit., h. 105-106.
29
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
c. Fungsi Pesantren Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membedabedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah. Di samping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam merespons ekspansi politik imperialis Belanda39 dalam bentuk menolak segala sesuatu yang ―berbau‖ barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga terhadap unsur-unsur asing.40 Dan lebih dari itu, pesantren sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dari tanah air. d. Kehidupan Kiai dan Santri Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.41 Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, ―kiai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam‖42 Tegasnya, kiai adalah tempat
39
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet. IV; h. 130. 40 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Kittab 26. (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 41. 41 Muhammad Daud Ali. Lembaga-lemhaga Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persacla, 1995), h. 149. 42 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP.3ES, 1985), cot. V. h. 56.
30
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
bertanya atau sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.43 Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidaktidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut. 1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya 2) Adanya kepatuhan santri kepada kiai. 3) hidup hemat dan penuh kesederhanaan 4) kemandirian 5) jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan 6) kedisiplinan 7) berani menderita untuk mencapai suatu tujuan 8) pemberian ijazah.44 Perlu dicatat bahwa ciri-ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda. Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam memper-tahankan tradisi-tradisi keislaman.45 Kedua, pesantren tradisional, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab 43
Abuddin Nata, Op. cit. h. 140. Ibid, h. 118-119. 45 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h. 13. 44
31
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cendrung melanjutkan pendidikannya ke sekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan. 4. Madrasah Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu: a. Periode Sebelum Kemerdekaan Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Quran dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembagalembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.46 Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat di kembalikan pada dua situasi yaitu47; 1) Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan 46 47
Muhammad Daud Ali. Op. cit., h. 49 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 82.
32
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
oleh Karel A Steenbrink dengan mengindentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain: a) Keinginan untuk kembali kepada Al-qur‘an dan Hadis b) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah c) Memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan polotik d) Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam. 2) Respons Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda. Pertama kali bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia)48. Dalam menyebarkan misi-misinya itu, Belanda (VOC) mendirikan sekolahsekolah kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30 sekolah.49 Dengan demikian, untuk daerah Batavia saja, sekolah kristen sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilah Belanda menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya. Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah. 48
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 94. 49 Ibid.
33
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolahsekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam, ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengeyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain.50 a) Madrasah (Adabiyah Schoob. Madrasah ini didirikan oleh Syikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah ini mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi Hollands Inlandsche School (HIS). b) Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh Syekh M. Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup dengan alasan kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai kelanjut-an dari Madras School. c) Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainuddin Labai El Yunusiy di padang Panjang. Madrasah ini merupakan madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi juga pelajaran umum. d) Madrasah Muhammadiyah. Madrasah Muhammadiyah tidak diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918. yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah. e) Arabiyah School. Arabiyah School didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas. 50
Informasi lebih lanjut lihat! SamsulNizar; Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam; Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
34
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
1. Sumatera Thawalib Didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921 di Padang Panjang. Sumatera Thawalib ini tidak hanya berdiri di Padang Panjang tetapi juga di Bukittinggi, Padang Japang, Sungayang/ Batusangkar, dan Maninjau. 2. Madrasah Diniyah Putri Didirikan di Padang Panjang pada tahun 1923 oleh Rangkayo Rahmah El Yunusia. Madrasah ini merupakan madrasah putri yang pertama di Indonesia. 3. Madrasah Salafiyah Didirikan oleh KH. Hasyim Asy‘ari pada tahun 1916 di Tebu Ireng, Jombang-Jawa Timur. Madrasah ini berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Madrasah-madrasah di atas merupakan pionir dalam pendirian madra-sah-madrasah lain di berbagai daerah lainnya untuk melakukkan pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. b. Periode Sesudah Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan51. Sungguh pun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah panjang.52 Namun dirasakan, pendidikan Islam masih tersisih dari sistem Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 Maret 1975 yang tersohor itu, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. 53 Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua,
51
Maksum, Ibid. 132. Malik fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1998) h. xi. 53 H.A.R. Tilaai; Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.147. 52
35
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat. 54 Terbitnya SKB 3 Menteri itu bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang nonagama. Di dalam usaha peningkatan komponen pendidikan non-agama perlu dicermati agar tidak jatuh dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri khas pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta oleh perubahan zaman.55 Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh defenisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah Departemen Agama. Namun pada perkembangan selanjutnya, akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam semakin mendapatkan tempatnya. Tetapi ini menjadi kendala seperti yang dikhawatirkan Malik Fadjar ―ketika format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan.‖56
C. PENUTUP 1. Surau bagi masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat, tempat tidur tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang terbuka artinya masyarakat yang tidak menutup diri untuk menerima perubahan. Sehingga pada akhirnya perubahan yang terjadi menjadi sebuah ancaman bagi kelangsungan institusi surau sebagai sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di balik itu, surau telah mampu melahirkan ulama-ulama besar yang disegani baik di Minang-kabau maupun di luar Minangkabau bahkan Internasional.
54
Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Mm, dan Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 114. 36 Ibid, h. 155. 55 Ibid, h. 155. 56 Malik Fadjar, Op. cit, h. 23.
36
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
2. Meunasah merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di Aceh. Fungsinya hampir sama dengan surau yang ada di Minangkabau. Sebagai lembaga pendidikan Islam tingkat rendah, mated pengajaran yang diberikan pun masih seputar pengetahuan tentang bagaimana cara membaca Al-Qjur‘an yang baik dan benar, kemudian baru diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak dan ibadah. Lama pendidikannya pun tidak ditentukan berkisar antara dua sampai sepuluh tahun, tidak dipungut bayaran, lembaga pendidikan ini telah mampu mencetak masyarakat Aceh punya fanatisme agama yang tinggi. 3. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di pulau jawa dan sampai sekarang tetap survive. Untuk bisa dikatakan sebuah pesantren sekurang-kurangnya harus memiliki: Kiai, santri, masjid, dan pemondokan (asrama). 4. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia karena disebabkan oleh dua hal, yaitu karena adanya gerakan pembaruan di Indonesia dan sebagai respons Pendidikan Islam terhadap kebijakan Pendidikan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan pemerintah terhadap madrasah masih belum jelas, madrasah masih tersisih atau belum masuk ke dalam sistem Pendidikan nasional. Baru setelah keluarnya SKB 3 Menteri tahun 1975 dan UUSPN tahun 1989, madrasah mendapatkan tempatnya dalam sistem Pendidikan Nasional.
37
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Ciputat: Logos, 1999. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985. Fadjar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1998. HA. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. Madjid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 26, Jakarta: Erlangga, 1992. Nata, Abuddin (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001. Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam; Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Saleh, Abdurrahman, Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000. Suryanegara, Ahmad Mansyur, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Tilaar, H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
38
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
KEHIDUPAN HARMONIS DALAM MASYARAKAT MAJEMUK (Pentingnya Pendekatan Multikultur Dalam Pendidikan Di Indonesia)
Fitrotin Jamilah, M.Hi Dosen STAI Pancawahana Abstrak Kemajemukan dan heterogenitas wilayah nusantara ini menjadikan kehidupan selalu dinamis dan selalu mengalami perubahan-perubahan diberbagai sector, tidak terkecuali pendidikan. Pendidikan yang merupakan pengelolaan manusia memiliki tingkat dinamisasi yang cukup signifikan, hal ini terjadi sebab perbedaan latar belakang manusia, perbedaan suku, ras dan agama yang ada. Hal inilah yang menjadi sebuah tantangan pelaku pendidikan untuk selalu merespon dan selalu kreatif dalam menghadapai persoalan pendidikan. Kehidupan yang harmonis ditengah-tengah kemajemukan masyarakat mustahil akan bisa terwujud jika tidak berkualitasnya para pelaku pendidikan, khususnya pemegang kekuasaan. Pendidikan Berbasis Masyarakat yang merupakan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat adalah wujud dari kemajemukan tersebut di wilayah nusantara ini. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang SISDIKNAS diuraikan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dalam ayat berikutnya bahwa Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Tidak heran jika pendidikan di Indonesia hingga saat ini nampaknya belum menemukan system yang baku dan baik, selalu mengalami perubahan baik di kurikulum, maupun di sektor yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa ada dilema antara penyelenggaraan model pendidikan berbasis masyarakat dengan pendidika multikultural, dimana tujuan awal dari keduanya berbeda. Oleh karena itu Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, diperlukan perubahan paradigma pendidikan, dan karenanya diperlukan peningkatan kompetensi pendidik
untuk mewujudkannya, reformasi kurikulum yang mengarah pada
pengakuan dan pengejawantahan kemajemukan masyarakat, serta penyusunan kembali teks books. Kata kunci : kehidupan, harmonisasi, masyarakat majemuk.
39
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
ABSTRACT Plurality and heterogeneity archipelago makes life always and always changes the dynamicchanges in various sectors, education is no exception. Education is a human management has a significant level of dynamism, this happens because of differences in background humans, differences in ethnicity, race and religions. This has become a challenge for the education actors always responds and always creative in facing problems of education. A harmonious life in the midst of social plurality unlikely to be realized without berkualitasnya the perpetrators of education, particularly of power. Community-based education is an education based on the peculiarities of religious, social, cultural, aspirations and potential educational community as a manifestation of, by and for the people is a manifestation of plurality in this archipelago. Further in the article 4 of the National Education Act outlined that education held in a democratic and fair and not discriminatory to uphold human rights, religious values, cultural values and diversity of the nation. In the next verse that education held sebgai a unit sitemik with an open system and the systemic. No wonder if the education in Indonesia until now seems to have not found a system that is standardized and well, always changes both in the curriculum, as well as in other sectors. It can be said that there is a dilemma between the implementation of community-based education model with pendidika multicultural, where the original purpose of the two are different. Therefore, in the context of the implementation of multicultural education, education paradigm changes required, and hence the need to increase the competence of teachers to make it happen, reform of the curriculum leading to the recognition and embodiment of the plurality of society, as well as the realignment of text books. Keywords: life, harmonization, pluralistic society.
A. Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial Sebuah masyarakat yang majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat
40
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) : 1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok –kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. 3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar. 4. Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. 5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi 6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan, masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif. Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase
terjadinya konflik kekerasan
adalah sebagai berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) : Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini, faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami secara sadar keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal
41
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
ditanggulangi maka realitas sosial memasuki fase kedua. Tahap kedua adalah tahap titik didih. Pada tahap ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis secara terbuka… Akhirnya sampai ke tahap atau faase keempat, yaitu tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini mungkin. Mencermati apa yang telah diuraikan tentang fase-fase konflik terlihat bahwa pada setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang fase ini juga menunjukkan bahwa konflik etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat fase tersebut.
Yang penting dari itu semua adalah bagaimana
mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang agama, etnis, politik maupun ekonomi. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi konflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah). Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang
mengembangkan konsep toleransi, saling
menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral, agama dan sosial.
42
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
B. Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah: Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan: 1. Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. 2. Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan 3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah
dan/atau
pemerintah Daerah 5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah. Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan menajamkan
friksi
kemajemukan
masyarakat
berbasis masyarakat ini justru akan bangsa
Indonesia,
karena
dengan
penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin tinggi dan ini sangat berbahaya. Namun bila pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara
43
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
untuk menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi adalah kemungkinann adanya keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan karakter manusia Indonesia. Lain dari itu terlihat juga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, perubahan keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN dan APBD). Seperti terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang antara lain (Soedijarto, 2003, hal 2): ―Mewajibkan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib belajar (pasal 31 ayat (2))‖, ―mewajibkan negara menyediakan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat (4)).‖ Dugaan itu ternyata memang tidak
salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan
pendidikan berbasis masyarakat adalah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77) Sementara pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa : ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Kalimat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa:
44
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional. Apa itu pendidikan multikultural (multicultural education) ?Ada banyak pengertian tentang ini, diantaranya adalah: 1. Multicultural education is a process through which individuals‟ development ways of perceiving, evaluation in behaving within cultural systems, are different from their own (Gibson 1984, in Hernadez, 2001 in Semiawan 2003, pp 6) 2. We may define multicultural education as the process whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing ―(Saifuddin based on Goodenough definition, 2003, pp. 4) 3. Muticultural education is a progresseve approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating educational experiences in which all students reach their full potential as learners and as socially aware and active beings, locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society and the elimination off oppression and justice. (Budianta, 2003, pp. 8) 4. Multicultural education as „a philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical program.‖ (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8) Dari beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa education
multi cultural
sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana
adanya pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.
45
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimana pengelolaannya? Pendidikan salah satu jawaban utamanya. Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan
jenjang pendidikan. Guru,
kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Mengapa negara? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Untuk
membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia. Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat
karena yang ditonjolkan justru ciri
kedaerahan yang justru berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga
akan banyak
menimbulkan masalah ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta sarana dan prasanan pembelajaran sendiri dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial dan politik Indonesia. Ini tantangan bagi dunia pendidikan dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
46
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
C. Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu : 1. Learning to know (belajar untuk mengetahui) 2. Learning to do (belajar untuk berbuat) 3. Learning to live togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama) 4. Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang) Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan bahwa : Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat. Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja. Learning to live together, learning to live with others, dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian. Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi. Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to
47
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together,
masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasional dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya
sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah,
(pemerintahan daerah). Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara lainnya.
PENUTUP Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Kemajemukan harus dipandang sebagai suatu anugrah untuk pencapaian kualitas hidup masyarakat Bangsa Indonesia 2. Bahwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan multikulur untuk mencapai keharmonisan dalam kemajemukan serta untuk mencapai kehidupan Indonesia yang demokratis. 3. Bahwa ada dilema antara penyelenggaraan model pendidikan berbasis masyarakat dengan pendidikan multikultural, dimana tujuan awal dari keduanya berbeda. Namun begitu
untuk mengoptimalkan potensi daerah terutama dalam hal pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan konteks otonomi daerah, pendidikan berbasis masyarakat perlu dipikirkan formatnya, supaya penyelenggaraannya tidak semata-mata untuk menyelesaikan kekurangan dana dari negara, tetapi untuk mendukung terlaksananya pendidikan multikultur yang
ditujukan agar tercapai
kehidupan Indonesia yang harmonis dan berkualitas dengan karakter Indonesia. 4. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, diperlukan perubahan paradigma pendidikan, dan karenanya diperlukan peningkatan kompetensi pendidik untuk mewujudkannya, reformasi kurikulum yang mengarah pada pengakuan dan pengejawantahan kemajemukan masyarakat, serta penyusunan kembali teks books. 5. Pendidikan adalah investasi oleh karena itu, penyediaan dana yang cukup, paling tidak sesuai dengan ketentuaan dalam Undang-undang Dasar 1945 penyempurnaan yang keempat, yaitu sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD, dapat segera
48
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
terwujud. Tentunya dengan catatan dana tersebut tidak digerogoti oleh para koruptor yang bekerja di bidang pendidikan. 6. Kita ini orang Indonesia, maka pendidikan kita juga harus pendidikan yang sesuai dengan kepentingan Indonesia, tertutama kepentingan untuk mewujudkan karater Indonesia dengan kemajemukannya.
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi, ―From Civic Education to Multicultural Education: With Reference to the Indonesian Experience,” Paper presented at Workshop” Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 Juni 2003. Buadianta, Melani, ― Multiculturalism: In Search of a Framework For Managing Diversity in Indonesia,” Paper presented at Workshop Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 Juni 2003. Delors, Jacques, et.al., Learning : The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commissions on Education for the Twenty-fisrt Century, France: UNESCO Publishing, 1996. McNeil, John D., Curriculum: A Comprehensive Introduction, Boston/Toronto: Little Brown and Company, 1977. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1984. Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman, Paradoks Konflik dan Otonomi Daerah: Sketsa Bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Maasa depan Otonomi Daerah, Jakarta: Peradaban, 2002. Saifuddin, Achmad Fedyani, ―Multicultural Education: Putting School First (A Lesson from the Education Autonomy Policy Implementation in Indonesia),‖ Paper presented at Workshop‖ Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 Juni 2003. Semiawan, Conny, ―Toward Multicultural Education,” Paper presented at Workshop” Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 Juni 2003.
49
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAPS, 2000. Soedijarto, ―Pendidikan Nasional Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Mmemajukan Kebudayaan Nasional Melalui Sekolah Sebagain Pusat Pembudayaan,‖ Disajikan dalam Pra Kongres Kebudayaan V Th. 2003, di Denpasar, Bali, April 2003. Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi: Pendidikan di Indonesia memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zastrow,
Charles,
Social
Problems:
Australia/Canada/Denmark/Japan/Mexico/New
Issues
and
Solution,
Zealand/Philipines/Puerto
Rico/Singapore/Spain/United Kingdom/United States: Wadsworth, 2000.
50
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IMAM AL-GHAZALI Jiddy Masyfu’ Dosen Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari sebuah keprihatinan dan sekaligus harapan. Mengapa di era globalisasi ini masalah akhlak semakin tidak jelas mulai dari adanya dekadensi moral yang semakin meningkat, sehingga para orang tua semakin khawatir terhadap pengaruh negatif dari
globalisasi, yaitu semakin mudahnya nilai-nilai moral yang negatif
mempengaruhi anak-anak didik baik melalui media cetak maupun elektronik, dan juga media online, bahkan kita saksikan langsung dalam kehidupan nyata sekitar kehidupan kita seperti tawuran antar geng, tawuran antar sekolah, mengonsumsi miras atau narkoba, pemerkosaan, seks bebas, pencabulan, pencurian, dll. Dari beberapa contoh-contoh itu membuat kita sebagai insan pendidikan perihatin dengan masalah ini. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkaji serta menjelaskan tentang konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali. Dari latar belakang diatas, maka muncul sebuah rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali. Sebagai upaya eksplorasi terhadap hasil pemikirannya, maka penelitian ini dilakukan dengan menjadikan kitab Ihya‟ Ulumuddin sebagai sumber utamanya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang konsep pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh al-Ghazali dalam kitab tersebut serta relevansinya dengan pembinaan akhlak di sekolah. Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) yang bersifat kualitatif. Dalam hal ini, teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis (analisa isi), sedangkan metode penyajian datanya adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa seseorang bisa dikatakan berakhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, Perbuatan itu harus konstan. Kedua, Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran dan bukan karena adanya tekanan-tekanan atau paksaan
51
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dan pengaruh dari orang lain. Selanjutnya Imam al Ghazali membagi akhlak menjadi dua yaitu Akhlak yang baik yang disebut dengan al khuluq al hasan dan Akhlak yang buruk yang disebut dengan al khuluq as sayyi‘. Lebih lanjut Imam al Ghazali berpendapat, di dalam mencapai kesempurnaan berakhlak maka seseorang harus memenuhi empat rukun jiwa yaitu: Pertama, Al hikmah (kebijaksanaan) atau quwwah ilm, Kedua, Asy syaja‟ah (keberanian) atau quwwah ghada, Ketiga, Al iffah (penjagaan diri) atau quwwah as-syahwah dan Keempat, Al „adl (keadilan). Kata Kunci: Konsep Pendidikan Akhlak, Imam Al-Ghazali.
52
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
PENDAHULUAN Manusia adalah mahluk Allah yang memilki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Hanya manusialah yang mendapatkan legitimasi keistimewaan dari Allah. Diantara keistemewaan manusia adalah: Pertama, Allah memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Nabi Adam. Kedua, malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan Allah tentang al-asma (nama-nama ilmu pengetahuan), sedangkan Nabi Adam mampu karena memang diberi ilmu oleh Allah. Ketiga, kepatuhan malaikat kepada Allah karena sudah tabiatnya sedangkan kepatuhan manusia kepada Allah melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan. Keempat, manusia diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi. 57 Dalam hal ini, Al Qur‘an secara tegas menjelaskan tentang keistimewaan manusia dari pada makhluk lainnya. Hal ini seperti yang termaktub di dalam Q.S At Tiin ayat 4: Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S At Tiin: 4).58 Kendatipun demikian, masih sering kita temukan kasus-kasus yang sangat bertolak belakang dengan beberapa keistimewaan manusia seperti halnya masalah dekadensi moral, pembunuhan, perampokan, mengkonsumsi minuman keras atau narkoba, pemerkosaan, seks bebas, pencurian bahkan yang lebih mencengangkan adanya kasus komplotan begal yang licik dan sadis yang tidak segan untuk membunuh korban perampokan.59 Dari beberapa contohcontoh itu membuat kita sebagai insan muslim gelisah dengan masalah ini. Bonger berpendapat bahwa kejahatan manusia seperti contoh di atas merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.60 Kejahatan seperti ini merupakan kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi hal ini berkaitan dengan problem sosial, ekonomi, politik dan budaya. Hal ini sebagaimana fenomena yang muncul dan saling mempengaruhi satu sama yang lain. 61Oleh karena itu, agar manusia tidak menyimpang dari kodratnya maka perlu adanya formulasi solusi untuk menangani hal ini. 57
Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 46-47. Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahannya (Surabaya: CV. Duta Surya, 2012), 1076. 59 Harian Kompas, Komplotan Begal yang Disebut Licik dan Sadis Ditembak Polisi, Jumat, 27 April 58
2017. 60 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981), 21. 61
Arif Gostivo, Masalah Korban Kejahatan ( Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), 2.
53
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Salah satunya melalui pendidikan yang berorintasikan pada akhlak. Hal ini dikarenakan bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui proses pendidikan tersebut tidak hanya bertujuan untuk mencapai kemajuan material (yang berorientasi dunawi) semata, lebih dari itu juga untuk mencapai kemajuan mental-spiritual (yang berorientasi ukhrawi).
METODE PENELITIAN Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali. Kegunaan dan manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat dalam memperluas wawasan keislaman umat terutama yang terkait dengan penanaman nilainilai akhlak bagi generasi muslim, dengan menyadari bahwa perubahan zaman semakin mencolok, penyimpangan nilai moralitas dan akhlak semakin memprihatinkan, dan tuntutan penanganan terhadap persoalan tersebut semakin mendesak. Selain itu, penelitian ini juga berguna untuk memberikan apresiasi yang tinggi terhadap khazanah keilmuan Islam termasuk hasil pemikiran tokoh muslim seperti al-Ghazali ini sebagai pencerahan bagi umat dalam menghadapi berbagai persoalan termasuk tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Islam saat ini. Sedangkan kegunaan dan manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi bagi setiap lembaga pendidikan, para pendidik dan peneliti sendiri dalam upaya menanamkan nilai-nilai akhlak bagi para generasi muslim, mulai dari pendidikan lingkup keluarga hingga lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat, guna melahirkan generasi ulu al-albab sebagai langkah untuk mewujudkan Khairu Ummah sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam. Dalam kajian ini peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan library reseach yakni memanfatkan sumber-sumber kepustakaan untuk memperoleh data dalam kajian penelitian yang dilakukan. Riset dengan metode kajian pustaka ini hanya membatasi kegiatan penelitiannya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja. Sumber-sumber tersebut baik berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini ialah kitab lhya „Ulum al-Din. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kitabul „Ain, Lisnul Arab, , Abd. Hamid Yunus, Dairah al-Ma‟arif, al-Mu‟jam al-Wasit, „Ilmun Nafs wal Hayat : Madkhal ila „Ilmin Nafsi wa Tathbiqatihi fil Hayat, Tahdzibul Akhlak, Falsafatul Akhlaq Inda Ibn Miskawaih, Khazanah Pendidikan Agama Islam, Pengantar Tentang Kriminologi, Masalah Korban
54
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Kejahatan, Akhlak Tasawuf, Membina Moral dan Akhlak, Pengantar Studi Akhlak, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna), Pendidikan Islam Dalam Keluarga
dan Sekolah Pendidikan
Dalam Perspektif Hadis, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bulughul Maram dan Terjemahnya. Penelitian ini menggunakan content analysis (analisis isi) yakni sebuah penelitian yang lebih menekankan pada isi teks atau informasi yang tertulis. Keabsahan data dalam penelitian ini dengan menggunakan trianggulasi sumber yang berarti bahwa peneliti mengecek keabsahan data dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa sumber.
PEMBAHASAAN Konsep Akhlak Menurut Islam Akhlak tidak hanya bisa dimaknai sebagai gaya kehidupan yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh kebahagiaan tetapi juga merupakan tingkah laku62, perilaku, sifat, hal-ihwal dan juga merupakan attitude yang harus dipraktekkan oleh umat manusia yang sudah tertanam didalam jiwa manusia, bahkan ia menjadi bukti atas kualitas imannya seseorang. Bila dilihat definisi akhlak dari segi etimologi, kata “al Akhlak” yang merupakan jama‘ dari bahasa Arab ―akhlaq dari bentuk mufradnya “al Khuluq” memiliki banyak makna, yaitu muru‟ah (budi)63, ath Thabi‟ah64 atau ath Thab‟u (tabiat), ad Din (agama) dan as Sajiyyah (perangai).65 Menurut bahasa, kata akhlak ada juga yang mengatakan bahwa berasal dari bahasa arab yang merupakan jama‘ dari bentuk tunggal خهكyang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat yang lahir dari perbuatan yang diulang-ulang hingga menjadi kebiasaan.66 Kata tersebut memiliki kaitan erat dengan kata khalqu ) (خهكyang berarti kejadian, demikian juga dengan kata khaliq ) (خبنكyang berarti pencipta; dan makhluq ()مخهُق yang berarti yang diciptakan. Dalam bahasa Indonesia istilah tersebut populer dengan kesusilaan dan sopan santun, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah moral dan ethic.
62
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), 11. Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak (Jakarta: Rineka Cipta), 1. 64 Abu Abdirrahman al Khalil bin Ahmad al Farahidi, Kitabul „Ain (Tahqiq: Mahdi al Makhzumi dan Ibrahim as Samira‘i, Dar dan Maktabah al Hilal), 151. 65 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al Afriqi al Mishri, Lisnul Arab (Beirut: Daru Shadir), 85. 66 Zahrudin dan Hasanuddin S, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2004), 23. 63
55
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Sedangkan definisi akhlak secara istilah adalah seperti yang dikemukan oleh beberapa tokoh Islam. Para tokoh-tokoh Islam itu secara tegas membicarakan masalah akhlak. Tokohtokoh Islam itu antara lain: a.
Imam al-Ghazali Menurut Imam Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah: عببسة عه ٌٕئت فّ انىَفس سا سخت عىٍب حصذس األفعب ل بسٍُنت َٔسش مه غٕش حب جت انّ فكش َسَ َٔت Artinya:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah dengan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan.67 Definisi yang digagas oleh Imam al-Ghazali ini, menunjukkan, bahwa akhlak sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan terpatri dalam hati, akhlak itu suatu kebiasaan, kesadaran, mudah melakukan tidak ada unsur pemaksaan dan faktor ekstern. Misalnya, seseorang yang mendermakan hartanya dengan jarang dilakukan, maka seseorang itu tidak disebut dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Suatu perbuatan dapat dinilai baik, jika munculnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya, atau memaksa batinnya sehingga terpaksa untuk berderma, maka orang yang semacam ini tidak dapat disebut sebagai dermawan. Pendek kata, seseorang yang berakhlak baik atau buruk tidak dengan pemikiran dan pertimbangan, akan tetapi ia melakukan dengan kesadaran jiwa yang terpatri dalam hatinya lalu ia melakukannya, sehingga perilaku akhlaknya disebut sifat kepribadian yang berakhlak. Yang dimaksud tidak dengan pemikiran, bukan berarti bahwa segala perbuatan dilakukan seenaknya saja oleh pelakunya, melainkan hal ini justru perbuatan tersebut berawal dari pertimbangan akal dan rasa. Setelah berulang kali dilakukan akhirnya menjadi kebiasaan dan menyatu dalam jiwa pribadinya atau seseorang sehingga menjadi akhlaknya. Artinya, seseorang yang melakukan akhlak mesti dengan gampang dan mudah, tidak perlu berfikir dan pertimbangan, melakukan dengan spontan dan sengaja tanpa lalai dan diluar kesadaran. Seseorang yang tidak ada unsur kesengajaan, kesungguhan atau terpaksa melakukan sesuatu, hal itu belum disebut akhlak. Oleh Karena itu, suatu sifat yang sudah menjadi akhlak seseorang, suka memberi misalnya, akan mendorongnya untuk memberi kepada siapa saja, baik diminta maupun 67
Imam al-Ghazali, lhya „Ulum al-Din Juz III (Beirut: Darul Kutubul Ilmiah, tt), 48.
56
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
tidak, tanpa banyak pikir. Misalnya lagi ialah tentang seorang bintang film melakukan yang baik, misalnya membaca al-Qur‘an tetapi membacanya tidak dengan dorongan jiwanya, maka bintang film itu belum disebut melakukan akhlak baik, demikian pula sebaliknya.68 b.
Menurut Abd. Hamid Yunus Menurut Abd. Hamid Yunus mengatakan bahwa akhlak ialah: األخال ق ٌٓ صفب ث األد ب َٕت Artinya: Sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa pemikiran dan pertimbangan.69
c.
Ibrahim Anis Menurut Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah: شش مه غٕش حب جت انّ فكش َسَ َٔت َ َحب ل نهىَفس ساسخت عىٍب حصذس األفعب ل مه خٕش ا Artinya: Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahir berbagai macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.70 Definsi yang dikemukakan oleh Ibrahim Anis ini mengindikasikan bahwa, akhlak merupakan dorongan kejiwaan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika sesuatu yang dilakukan baik menurut syariat dan akal, maka akhlak seseorang itu disebut berprilaku akhlak baik. Jika seseorang melakukan yang buruk menurut syariat atau menurut akalnya, maka seseorang itu disebut berprilaku akhlak buruk. Dengan kata lain, Apabila kondisi jiwanya menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji, baik secara akal dan syariat, maka kondisi itu disebut sebagai akhlak yang baik, dan apabila yang bersumber darinya adalah perbuatan-perbuatan yang jelek, maka kondisi itu disebut sebagai akhlak yang buruk.71
68
Nashruddin, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna) (Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, 2015), 208. Abd. Hamid Yunus, Dairah al-Ma‟arif (Cairo: al-Shab, t.th.), 436. 70 Ibrahim Anis, al-Mu‟jam al-Wasit (Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1972), 202. 71 Muhammad Utsman Najati, „Ilmun Nafs wal Hayat : Madkhal ila „Ilmin Nafsi wa Tathbiqatihi fil Hayat (Kuwait: Darul Qalam, 1991), 367-368. 69
57
d.
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Ibnu Maskawaih Menurut ibnu maskawaih akhlak merupakan suatu hal atau situasi kejiwaan yang mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan dengan senang, tanpa berfikir dan perencanaan.72 Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku / perbuatan manusia. Akhlak juga memiliki 3 ciri, yaitu; pertama, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga sudah menjadi karakternya; kedua, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran; ini tidak berarti bahwa saat melakukan sebuah perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila; ketiga, akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Keempat, perbuatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kelima, perbuatan akhlak (yang baik) adalah perbuatan yang lahir atas dorongan ikhlas semata-mata karena Allah.73 Karena pembahasan akhlak ini sangatlah penting, agar tidak terjadi pembiasan dan tidak terjadi tumpang tindih maka peneliti memfokuskan tulisannya pada filosof muslim yaitu Imam al Ghazali. Meskipun tidak menutup kemungkinan pembahasannya tidak luput dari pengaruh Ibnu Miskawaih. Menurut Imam al-Ghazali akhlak, seseorang bisa dikatakan berakhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali (continue) dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang meresap dalam jiwa. Kedua, Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran dan bukan karena adanya tekanan-tekanan atau paksaan dan pengaruh dari orang lain.74 Imam al Ghazali membagi akhlak menjadi dua yaitu Akhlak yang baik yang disebut dengan al khuluq al hasan dan Akhlak yang buruk yang disebut dengan al khuluq as sayyi‟. Menurut al-Ghazali jika sifat yang menjadi kebiasaan yang melekat dalam diri seseorang itu melahirkan perbuatan terpuji menurut ketentuan akal dan norma Agama,
72
Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak (Beirut: American University Of Beirut, 1966), 21. Lihat juga: Thâha Abdussalam Khudhair, Falsafatul Akhlaq Inda Ibn Miskawaih, 26 73 Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta : CV. Ruhama, 1994), 110. Baca juga: Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 274. 74 Imam al-Ghazali, lhya Ulum al-Din ………………………….Op.Cit, 47.
58
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
maka ia disebut sebagai akhlak yang baik yakni al khuluq al hasan dan sebaliknya apabila melahirkan perbuatan yang buruk, maka dinamakan akhlak yang tercela yakni al khuluq as sayyi‟.75 Yang dimaksud dengan al khuluq al hasan adalah terbukanya pintu hati kepada hal-hal yang hanya untuk mendapat nikmat surga dan mengharap sifat rahmannya Allah kepada kita. Sedangkan akhlak al khuluq as sayyi‟ atau al khuluq khabisat adalah sakitnya jiwa atau hati yang bisa merusak kehidupan selamanya. 76Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk taat beribadah dituntut untuk selalu memiliki akhlak yang baik sebab hanya dengan akhlak yang baik manusia akan selamat dan menjadi berbeda dengan makhluk Allah yang lain dan atas hal inilah nabi Muhammad SAW diutus oleh allah SWT. Hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abi Darda‘. Rasulullah SAW bersabda: lebih beratnya perkara yang diletakkan dalam timbangan di hari kiamat adalah takwa kepada Allah dan bagusnya akhlak. (H.R Abi Darda‘). Makna al khuluq al hasan adalah akhlak yang baik atau terpuji yang mesti harus dilakukan oleh seseorang. Sebab, berakhlak merupakan jati diri agama Islam, tidak berakhlak dapat dikatakan tidak ber-Islam.77 Menurut Imam al-Ghazali seseorang dikatakan berakhlak baik berarti ia berakhlak baik secara dhahir maupun batin. Akhlak baik yang dhahir adalah baik dalam perilaku, sedangkan akhlak yang batin adalah bila sifat-sifat terpuji dapat mengalahkan atau mendominasi sifat-sifat yang tercela. Perilaku secara dhahir adalah unsur tanah manusia, sedangkan yang batin terbentuk dari alam ruh ciptaan Allah SWT. Perilaku baik yang dilakukan manusia secara lahir belum mencerminkan akhlak baik yang utuh selama tidak ada ketulusan dari hati. Maka selama ada keinginan untuk mengikis sifat-sifat yang tercela, dan menggantikannya dengan sifatsifat yang terpuji, kemudian mengaplikasikannya dalam perilaku nyata, maka itulah yang disebut dengan manusia berakhlak baik lahir maupun batin. Menurut Imam Al Ghazali untuk mendapatkan al khuluq al hasan maka harus memadukan anatara dua unsur manusia yakni unsur dhahir dan unsur batin. Sebagai contoh seseorang belum bisa dikatakan bagus (ahsanul taqwim) secara dhahir kecuali dia memiliki dua mata, hidung, mulut dan pipi, dll. kesemuanya ini harus ada agar kebagusan dhahir menjadi sempurna. Begitu pula dengan bagusnya batin seseorang. Seseorang baru 75
Ibid. 47. Ibid.47 77 Nashruddin, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna)…………..Op.Cit, 381. 76
59
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
bisa dikatakan bagus secara batin apabila sudah memadukan antara kekuatan ilmu, kekuatan emosi, kekuatan syahwat dan kekuatan adil di antara tiga kekuatan tersebut. 78 Menurut Imam al-Ghazali seorang yang sudah memilki kebagusan dalam kekuatan maka setidaknya dia bisa mudah mengenali perbedaan antara perkataan yang benar dan perkataan yang dusta, antara keyakinan yang hak dan keyakinan yang batil, dan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang jelek. Jika kekuatan ilmu ini baik, maka akan membuahkan hikmah, dan hikmah adalah puncak akhlak yang baik, dimana Allah berfirman: Artinya : ―Barangsiapa dikaruniai hikmah, maka sungguh dia telah dikarunia kebaikan yang banyak.‖ (QS. al Baqarah ayat 269).79 Begitupun kebagusan dan kebaikan dari kekuatan emosi adalah bisa mencegah seseorang dan mengendalikan emosi di atas batasan yang dituntut oleh al hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan kekuatan syahwat bisa bagus dan baik bila tunduk dibawah kendali akal dan syariat, begitu pula dengan kekuatan adil bisa bagus dan baik dengan menekan syahwat dan emosi dibawah kendali akal dan syariat. Pendapat diatas berarti bahwa berakhlak baik menurutnya adalah nilai-nilai moral yang diaplikasikan secara sinergis antara lahir (perilaku) dan batin (hati) melalui proses yang disebutkan di atas. Hal Ini berarti bahwa akhlak adalah sebuah pencapaian, tidak muncul secara instan, dan merupakan sebuah proses yang membutuhkan latihan dan pembiasaan diri secara terus-menerus atau secara berkesinambungan. Seorang filosof muslim yakni Ibn Miskawaih menambahkan satu tipe lagi yaitu akhlak normal ( ٓ)انخهك انطبٕع. Selain menyebutkan tipe akhlak yang terbentuk dari riyadhoh (latihan) dan pembiasaan meski pada awalnya diawali dengan pikiran dan kognisi, namun konsistensinya kemudian akan menjadi akhlak. Ibn Miskawaih juga mengatakan bahwa akhlak adalah perilaku yang muncul dalam keadaan normal atau alamiah yang bersumber dari prinsip fisik, seperti menolehkan kepala ketika mendengar suara. Hal ini tidak bisa dikatakan akhlak karena lebih mengarah kepada unsur refleks 78 79
Imam al-Ghazali, lhya Ulum al-Din…………………..Op.Cit, 48. Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahannya, 35.
60
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
emosional, yang berangkat dari potensi yang memang sudah dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir.80 Sedangkan makna akhlak yang tercela yakni al khuluq as sayyi‟ adalah segala perbuatan yang dilarang syariat dilakukan dengan terencana dan dengan kesadaran. Didalam al-Qur‘an sangat banyak sekali ayat-ayat yang mencontohkan tentang al khuluq as sayyi‟ seperti syirik, berbuat aniaya, membunuh, dan lain sebagainya. 81 Begitupun didalam beberapa hadits. Hal ini karena sesungguhnya agama Islam adalah kebaikan budi pekerti. Akhlak yang tercela yakni al khuluq as sayyi‟ ini merupakan kebalikan dari al khuluq al hasan. Artinya bahwa apabila dari keempat kekuatan-kekuatan itu tidak seimbang maka hal itu disebut al khuluq as sayyi‟. Sebagai contoh, jika kekuatan emosi terlalu berlebihan maka itu disebut sembrono, jika terlalu lemah dan kurang maka itu disebut pengecut. Bila kekuatan syahwat terlalu berlebihan maka itu disebut rakus (syarah), dan bila cenderung kurang maka itu disebut impoten (jumud). Oleh karena itu, didalam standarisasi yang merupakan karakteristik akhlak yang baik adalah titik tengah antara sesuatu yang terlalu berlebihan (radikal kanan) dan sesuatu yang terlalu kurang (radikal kiri). Misalnya, kedermawanan merupakan akhlak yang terpuji, dan akhlak ini berada di tengah-tengah antara sifat kikir dan mubadzir. Selain Imam al-Ghazali memberikan gambaran tentang empat kekuatan seperti yang peneliti kemukakan diatas, Imam al-Ghazali juga berpendapat tentang proses pembentukan al khuluq al hasan (akhlak yang baik). Menurutnya, didalam mecapai kesempurnaan berakhlak maka seseorang harus memenuhi empat rukun jiwa yaitu: 1) Al hikmah (kebijaksanaan) atau quwwah ilm Yang dimaksud dengan al hikmah (kebijaksanaan) adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat ikhtiar (pilihan). 2) Asy syaja‟ah (keberanian) atau quwwah ghadab Yang dimaksud dengan Asy syaja‟ah (keberanian) adalah kondisi jiwa untuk mengontrol rasa amarah seseorang. 3) Al iffah (penjagaan diri) atau quwwah as-syahwah
80 81
Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak…………..Op.Cit, 23. Nashruddin, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna)…………..Op.Cit, 381-382.
61
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Yang dimaksud dengan penjagaan diri („iffah) adalah terdidiknya daya syahwat dengan pendidikan akal dan syariat. 4) Al „adl (keadilan) Yang dimaksud dengan al „adl (keadilan) adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menghadapi emosi dan syahwat serta menguasainya atas dasar kebijaksanaan. Juga mengendalikannya melalui proses penyaluran dan penahanan sesuai dengan kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekad atau menahan diri.82 Al „adl (keadilan) yaitu pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia yaitu aql (akal atau pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah, yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat.83 Al „adl (keadilan) ini menurut imam al-ghazali sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam sebab ada banyak sekali ayat-ayat al-Qur‘an ataupun beberapa hadits nabi Muhammad SAW yang membicarakan akan hal ini. Diantaranya hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad. Rasullullah SAW bersabda: Makanlah dan minumlah dan pakailah dan bershadaqahlah
dengan tidak berlebih-
lebihan. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad).84
PENUTUP Berdasarkan pemaparan hasil analisis dan pembahasan penelitian tentang konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali, maka dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk Allah yang memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Hanya manusialah yang mendapatkan legitimasi keistimewaan dari Allah. Kendatipun demikian, masih sering kita temukan kasus-kasus yang sangat bertolak belakang
82
Imam al-Ghazali, lhya Ulum al-Din…………………..Op.Cit. 48. Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: PT. Ghalia Indonesia,2005), 155. 84 A. Hasan, Bulughul Maram dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 1999), 665. 83
62
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dengan beberapa keistimewaan manusia. Oleh karena itu, untuk membentuk manusia sesuai dengan karakteristik manusia maka perlu adanya akhlak. Berkaitan dengan akhlak ini, Imam al-Ghazali akhlak berpendapat seseorang bisa dikatakan berakhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, Perbuatan itu harus konstan. Kedua, Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran dan bukan karena adanya tekanantekanan atau paksaan dan pengaruh dari orang lain. Selanjutnya Imam al Ghazali membagi akhlak menjadi dua yaitu Akhlak yang baik yang disebut dengan al khuluq al hasan dan Akhlak yang buruk yang disebut dengan al khuluq as sayyi‟. Lebih lanjut Imam al Ghazali berpendapat, didalam mecapai kesempurnaan berakhlak maka seseorang harus memenuhi empat rukun jiwa yaitu: 1. Al hikmah (kebijaksanaan) atau quwwah ilm 2. Asy syaja‟ah (keberanian) atau quwwah ghadab 3. Al iffah (penjagaan diri) atau quwwah as-syahwah 4. Al „adl (keadilan)
63
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA A. Hasan. Bulughul Maram dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 1999. A. Mustofa. Akhlak Tasawuf , Jakarta: Pustaka Setia, 1999. al Khalil, Abu, Abdirrahman, bin al Farahidi, Ahmad. Kitabul „Ain, Tahqiq: Mahdi al Makhzumi dan Ibrahim as Samira‘i, Dar dan Maktabah al Hilal. al-Ghazali,Imam. lhya „Ulum al-Din Juz III, Beirut: Darul Kutubul Ilmiah, tt. Aminuddin. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bogor: PT. Ghalia Indonesia,2005. Anis, Ibrahim. al-Mu‟jam al-Wasit, Mesir: Dar al-Ma‘arif. Bonger,W.A. Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981. Darajat, Zakiyah. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta : CV. Ruhama, 1994. Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Surabaya: CV. Duta Surya, 2012. Gostivo,Arif. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004. Harian Kompas. Komplotan Begal yang Disebut Licik dan Sadis Ditembak Polisi, Jumat, 27 April 2017. Khozin. Khazanah Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013. Maskawaih,Ibn. Tahdzibul Akhlak, Beirut: American University Of Beirut, 1966. Masyhur,Kahar. Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, bin Mukarram bin al Afriqi, Manzhur, al Mishri. Lisnul Arab, Beirut: Darul Shadir. Najati, Muhammad, Utsman. „Ilmun Nafs wal Hayat : Madkhal ila „Ilmin Nafsi wa Tathbiqatihi fil Hayat, Kuwait: Darul Qalam, 1991. Nashruddin. AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna), Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, 2015. Nata, Abuddin dan Fauzan. Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Yunus, Hamid, Abd. Dairah al-Ma‟arif, Cairo: al-Shab. Zahrudin dan Hasanuddin S. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2004.
64
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Is Communicative Language Teaching (CLT) Appropriate to the Indonesian Context
Syarifuddin (Universitas Yudharta Pasuruan)
Abstract There has developed an assumption that communicative language teaching (CLT) is the best approach for teaching foreign languages. However, in some cases, CLT may not be appropriate for learners in some countries including in Indonesia. This essay will discuss four principles of CLT that are likely to meet the needs of Indonesian students but those principles need to be adapted to the Indonesian context. Those principles are individuality, learnercenteredness, communicative competence and authentic materials. Teachers can still implement CLT in their classrooms, but teachers should adopt CLT to the Indonesian context. Keywords: Language teaching approach; Communicative Language Teaching (CLT)
Introduction Much research has been done to develop the techniques, methods and approaches of foreign language teaching. From these different methods, there has developed an assumption that communicative language teaching (CLT) is the best approach for teaching foreign languages (Thompson, 1996; Prapphal, 2004). However, many critics of CLT argue that, in some cases, CLT may not be appropriate for learners in some countries (see, for example, Al-Humaidi, n.d.; Ghosn 2004; Jarvis and Atsilarat, 2004; Kolaric, 2004; Tan, 2004; Tan, 2005; Hiep, 2007). From the above comments and based on my teaching experience, this essay will discuss four principles of CLT that are likely to meet the needs of Indonesian students but those principles need to be adapted to the Indonesian context. This essay will then put forward reasons why some principles or features of CLT may not be appropriate in the Indonesian context, and then lastly, it is followed by recommendation.
Individuality versus collectivism Firstly, it is widely known that CLT is based on individualistic values, which means CLT focuses on individual initiative, activities and interests. According to Snow (1992), individuality is encouraged in CLT. This means learners are expected to have an opinion
65
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
about every topic based on their own individual judgment. In addition, it is also often assumed that learning English means learning the English-speaking culture and that because individualism is central to an English speaking culture; therefore, it should be part of language teaching (Kramsch, 2003, cited in Sowden, 2007). However, I question whether individualism is in harmony with Indonesian cultural values. This is because most Indonesian teachers and students argue that Indonesian culture emphasizes an opposing cultural value, namely collectivism. That means Indonesian students emphasize the group rather than the individual. Littlewood (1998, cited in Xu, 2001) reports that many Southeast Asian students tend to have collectivism as their primary value rather than individualism. Sampson (1984, cited in Larsen-Freeman, 1999) states that not everything that comes from developed countries may be appropriate for developing countries, and CLT is an example. In addition, English is now an international language. It does not belong to one culture anymore, so, it is not necessary to adopt individualist values, as Sowden (2007) says that learners do not necessarily have to take on the whole of the target language‘s culture.
Learner-centeredness versus teachers seniority Secondly, another well-known feature of the CLT is learner-centeredness. In CLT, teachers are facilitators and students are communicators. CLT emphases and focuses on learners (Richards & Rodgers, 1990; Snow, 1992; Beale, 2002; Rowe, n.d.). This learner-centered approach aims to make students interested in their subject or target language. Snow (1992) argues that CLT gives students a chance to choose what, and how, they want to say. It should also be noted that CLT is needed in order to make students confident in using the target language (Deckert, n.d.). In fact, I see that most Indonesian students, however, feel difficulty in implementing ‗learnercenteredness‘. This is because most Indonesian students often look to their teachers as their learning ‗managers‘. They expect the teacher to play a proactive role. As a result, they depend on their teachers. Also, they tend to respect their teachers seniority as ‗the experts‘. Tan (2005, p. 24) says that Asian students tend to respect their teachers as ―the repositories of knowledge‖ and see themselves as ―the recipients‖. They also tend to just learn from their teachers rather than asking questions, challenging, and making demands of their teachers. In addition, Jarvis and Atsilarat (2004, p. 11) report in their study in Thailand that many students do not understand the role of the teacher as ―facilitator‖ and the students as the ―generator of
66
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
knowledge‖. Furthermore, Cortazzi (2000, cited in Tan 2005, p. 25) agrees that students of an East Asian background are ―shy, passive and non-participating‖ students.
Between communicative competence and grammar Thirdly, many experts agree that the goal of CLT is developing the learners‘ communicative competence. CLT emphasizes that the learners are able to make communicatively competent sentences and are able to use language in appropriate social contexts (Richards & Rodgers, 1990; Snow, 1992; Sierra, 1995; Rodger, 2001; Beale, 2002; Liu & Shi, 2007; Harmer, 2007; Rowe, n.d.). Furthermore, Canale and Swain (1980, cited in Mangubhai et al., 1998) say that learners should communicate in classroom activities as in daily communication including interaction within society, and unpredictable and creative conversation. Also, Erton (2006, p. 80) says ―Favorite activities (of CLT) are; social interaction activities; conversation and discussion sessions, dialogues, pair and group discussions and role-plays‖. In addition, Jarvis and Atsilarat (2004) claim that language now is viewed in terms of its application in a social context such as functions and notions; language, therefore, is not simply about grammar anymore. However, in my view, most Indonesian teachers and students have difficulty implementing a curriculum that focuses only on communicative competence because most students prefer to study grammar rather than language for communicating. This is because they do not want to fail in their exams, particularly in national final exams. Kirkpatrick (2000) and Collins (1999) (Both cited in Tan, 2005) say that because of the exam-oriented curriculum or the university entrance exams, for example in Japan, the dominant method to prepare students to enter universities is the grammar-translation method. Hynes (2002, cited in Kolarik, 2004) states that because of the exam driven environment, Asian students want their teachers to use the traditional grammar-translation method. Also, Tan (2004, p. 19) says, ―Being exam oriented, most students here see traditional methods of teaching where they are being spoon-fed by the teacher as the safer way to arrive at the correct answers in exams.‖
Authentic materials or confusing materials Lastly, it is argued that the use of authentic materials is another feature that has to be fulfilled for CLT (Beale, 2002; Mangubhai, 1998; Rowe n.d.; Snow, 1992). According to Erton (2006), authentic materials play an important role in CLT. Also, Richards and Rodgers (1990)
67
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
say this is because authentic materials can encourage students to communicate, and those authentic materials also can influence the quality of interaction and language use among learners. I think the authentic materials are actually interesting for teachers and students. However, some teachers and I think that the use of authentic materials may be inappropriate for Indonesian students because they are rarely appropriate to the Indonesian context. Hiep (2007, p. 196) says “the use of authentic materials, meaning authentic to native speakers of English, can be problematic in the Vietnamese or Chinese classroom‖. This problem also happens in Lebanese schools (Ghosn, 2004). The same applies in Indonesian classrooms also. This is due to the fact that authentic materials may not reflect the learners‘ social reality. Those materials can even cause students to become confused, because most students will probably never see the context of these authentic materials throughout their life except if they go to a native speakers‘ country.
Recommendation Regarding those problems above, there is recommendation from Jarvis and Atsilarat (2004), they (2004, pp. 13-4) propose using a context-based approach (C-bA) that means is ―teaching methods, materials and learning styles [that] stem from and are specific [to the] local and national context‖ (see diagram 1). This study suggests that the recognition of the problems of CLT is very important especially the relationship between teachers and learners including learners‘ expectations. Also, Jarvis and Atsilarat (2004) suggest that government should understand that the goal of education has to reflect learners‘ culture; the government cannot just implement and adopt any methods or approaches.
68
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Diagram 1. ―The replacement of CLT with a C-bA‖ (taken from Jarvis & Atsilarat 2004, p. 14) There are particular recommendations that may help. In terms of cultural values, teachers and learners can negotiate their cultural values in their own classes. According to Kramsch (cited in Sowden, 2007), if teachers and learners can negotiate about the culture of the classroom, the process of learning will be more effective. Canagarajah (cited in Sowden, 2007) argues that teachers and learners can negotiate and then agree to make their own identity and to choose their learning goals together. In addition, in a country that has collectivist values, CLT can be implemented by introducing it gradually to students (Nolasco & Arthur, cited in Tan 2005). Relating to the teacher-centeredness, the background of students and their experiences relating to CLT have to be closely examined before CLT is implemented. This is important because teachers need to know students‘ way of learning (Kolaric, 2004). Tan (2004) argues that teachers should know students‘ specific learning styles, because by that, teachers can plan lessons effectively before teaching, including knowing students who do not prefer group activities. This does not mean that role-play is not implemented, but teachers can modify the lessons after understanding students‘ characteristics. Nolasco and Arthur (cited in Tan, 2004, p. 21) suggest ―teachers should move from the ‗known‘ to the ‗unknown‘ by starting from teacher-centered activities such as question-and-answer exercises before leading to more student-centered activities such as role-play.‖ Relating to grammar exam-oriented, Tan (2005, p. 28) argues that grammar can be taught step-by-step in ―pre-communicative or communicative‖ classroom activities based on
69
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
students‘ needs. Moreover, teachers should integrate both grammar rules and the use of those in communication. This is because students should be able to understand the grammar and also how to implement it in communication (Belchamber, 2007; Prapphal, 2004). Lastly, teachers should create materials appropriate to Indonesian students. Erton (2006) suggests that teachers should make materials from students‘ local context. Alternatively, Beale (2002) suggests that in order to be relevant, CLT needs to collaborate or combine both ‗the experiential level‘ and ‗the reflective level‘. In addition, Prapphal (2004) says that teachers cannot just teach and give lectures in class but teachers should take other responsibilities including being ‗materials adaptors.‘
Conclusion It is clear that although CLT is the most appropriate approach in Indonesia, it still has a number of weaknesses in the Indonesian context due to several principles inherent in CLT. Therefore, CLT needs to be adapted to the Indonesian context. This does not mean that teachers cannot implement CLT at all in their classrooms. Teachers can adopt CLT as their approach but they need to adapt it to the Indonesian context. Finally, further research is needed to overcome the inappropriateness of some principles of CLT in Indonesian context or alternative methods need to be developed to counter the inappropriateness of some aspects of CLT.
References Al-Humaidi, M. (n.d.). Communicative Language Teaching. Retrieved April 25, 2009, from http://docs.ksu.edu.sa/PDF/Articles06/Article060241.pdf. Beale, J. (2002). Is Communicative Language Teaching a thing of the past? Babel, 37(1), Winter, 12-16. Retrieved April 25, 2009, from http://www.jasonbeale.com/essaypages/clt_essay.html. Deckert, G. (n.d.). The Communicative Approach: addressing frequent failure. English Teaching Forum on Line Bureau of Educational and Cultural Affairs, Office of English Language Programs. Retrieved April 28, 2009, from http://exchanges.state.gov/forum/vols/vol42/no1/p12.htm. Erton, I. (2006). Semiotic nature of language teaching methods in foreign language learning and teaching. Journal of Language and Linguistic Studies, 2(1). Retrieved April 25, 2009, from http://www.eserp.com/art/Methodologies%20of%20teaching%20a%20foreign%20language.p df
70
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Ghosn, I. K. (2004). Story as culturally appropriate content and social context for young English language learners: a look at Lebanese Primary school classes. Language, Culture and Curriculum, 17(2). Retrieved April 26, 2009, http://www.multilingual-matters.net/lcc/017/0109/lcc0170109.pdf. Harmer, J. (2008). The practice of English language teaching (4th Ed.). London: Longman. Hiep, N. P. (2007). Communicative Language Teaching; unity within diversity. ELT Journal, 61 (3), 193-201. Jarvis, H., & Atsilarat, S. (2004). Shifting paradigms: from a Communicative to a Contextbased Approach. Asian EFL Journal, 6(4). Retrieved April 28, 2009, from http://www.asian-efl-journal.com/Dec_04_HJ&SA.pdf. Kolarik, K. (2004). Loosening the grip on the communicative ideal-a cultural perspective. 17th Educational Conference Adelaide. Retrieved April 29, 2009, from http://www.elicos.edu.au/index.cgi?E=hcatfuncs&PT=sl&X=getdoc&Lev1=pub_c05_07&Le v2=c04_kolar. Larsen-Freeman, D. (1999). On the appropriateness of language teaching methods in language and development. The Fourth International Conference on Language and Development, October 13-15. Retrieved April 25, 2009, from http://www.languages.ait.ac.th/hanoi_proceedings/larsen-freeman.htm#top. Liu, Q., & Shi, J. (2007). An analysis of language teaching approaches and methodseffectiveness and weakness. US China Education Review, USA, 4(1). Retrieved April 26, 2009, from http://www.teacher.org.cn/doc/ucedu200701/ucedu20070113.pdf. Mangubhai, F., Dashwood, A., Berthold, M., Flores, M., & Dale, J. (1998). Primary LOTE teachers‘ understanding and beliefs about Communicative Language Teaching: report on the first phase of the project. Center for research into language teaching methodologies, Toowomba. Retrieved April, 26 2009, from http://eprints.usq.edu.au/890/1/Mangubhai_et_al_CLTREP97.pdf. Prapphal, K. (2004) A reflection of English teaching. Journal of Humanities, special issue (7), Retrieved April 25, 2009, from http://pioneer.chula.ac.th/~pkanchan/pdf/ReflectionofEnglishTeaching.pdf. Richards, J. C., & Rodgers, T. S., (1990). Approaches and Methods in Language Teaching: A Description and Analysis. Cambridge: CUP. Rodger, T. S. (2001). Language teaching methodology. Online Resources: Digests. Retrieved April 27, 2009, from http://www.cal.org/resources/digest/rodgers.html. Rowe, A. (n.d.). An overview of Communicative Language Teaching (CLT). CLT Overview. Retrieved April 24, 2009, from http://fc.epi.sc.edu/~alexandra_rowe/00013F0C-80000003/S0017DD4D.
71
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Sierra, F. C. (1995). Foreign language teaching methods: some issues and new moves. Encuentro, 8. Retrieved April 25, 2009, from http://dspace.uah.es/dspace/bitstream/10017/895/1/Foreign+Language+Teaching+Methods.+ Some+Issues+and+New+Moves.pdf. Snow, D. (1992). Eight approaches to language teaching. Online resources: Digests. Retrieved April 29, 2009, from http://www.cal.org/resources/digest/eightapproaches.html. Sowden, C. (2007). Culture and the ‗good teacher‘ in the English language classroom. ELT Journal, 61(4), 304-310. Tan, C. (2004). An evaluation of the Communicative Approach for the teaching of the general paper in Singapore. Journal of Language and Learning, 2(1). Retrieved April 26, 2009, from http://www.readingmatrix.com/articles/tan/article.pdf. Tan, C. (2005). How culturally appropriate is the Communicative Approach for primary school children in Singapore? The Reading Matrix, 5(1). Retrieved April 28, 2009, from http://www.readingmatrix.com/articles/tan/article.pdf. Thompson, G. (1996). Some misconceptions about Communicative Language Teaching. ELT Journal, 50(1), 9-15. Retrieved April 29, 2009, from http://www.liv.ac.uk/~geoff9/eltjpap.html. Xu, Z. (2001). Problems and strategies of teaching English in large classes in the People‘s Republic of China. Teaching and Learning Forum 2001, Proceedings Contents. Retrieved May 2, 2009, from http://lsn.curtin.edu.au/tlf/tlf2001/xu.html.
72
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Eksplikasi Tesis-Tesis Hubungan Antara Agama dan Ilmu-Pengetahuan
Muhammad Alwi Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) Malang
Abstract The early history shows that many things have been explained based on religion‘s point of view, yet after Renaissance, the scientific revolution, there comes opposition between science and religion. The relation between them are like tides, there are ups and downs, or flat. There are four variants of science and religion‘s relationship, namely: conflict, independence, dialogue, and integration. In conflict, science negates the existence of religion and religion negates science; each of them acknowledges its own existence. On the other hand, in the independence, both religion and science accept both the existences since they believe that religion and science are two different aspects with no meeting point. In the dialogue, the religion and science support each other. While in integration, there are two variants of integration which combine religion and science: natural theology and theology of nature. According to Barbour, natural theology is looking for supports from scientific discovery, in contrast to theology of nature believes that theology‘s view on nature must be changed and adapted to the latest nature‘s discoveries. Keywords: knowledge, religion, science, science and religion‘s relationship
73
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
PENDAHULUAN Beberapa waktu lalu ramai dikritik bahkan dicemooh sebuah pendapat yang dikeluarkan oleh seorang ulama muda Saudi, tentang Matahari itu mengelilingi Bumi, bukan sebaliknya. Pendapat ini dilansir dalam al Arabiiyah, dikemukakan oleh Syech Bandar al Khaibari. Demikian juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ulama saudi lainnya Ibn Baz serta Ibn Utsaimin (Salafi). Bahkan al Khaibari menyangkal adanya manusia ke Bulan. Itu hanyalah efek hollywood katanya.85 Pendapatnya menggunakan dalil-dalil Nash (al Qur‘an dan Hadist).Saat mencoba memberikan argumentasi rasional, tampak sekali lemahnyapengetahuan tentang fisika dan grafitasi. Lepas mana yang benar dan salah, inilah contoh salah satu hubungan antara Sains dan Agama. Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah menjadi pembahasan dan subjek penelitian sejak lama. Hubungan ini naik turun, kadang friksi, lalu meningkat konflik, kadang harmoni dan biasa-biasa saja. Ilmu mengakui argumentasi, empirisme dan bukti-bukti, sementara agama mengakui itu, filsafat, metafisika, tetapi juga menerima wahyu, iman dan kesucian sebagai landasannya. Dahulu sebelum revolusi ilmiah banyak hal yang dicapai oleh masyarakat itu diselenggarakan dan diinspirasi oleh tradisi agama. Banyak dari metode ilmiah dirintis pertama kali oleh ulama Islam, dan kemudian oleh orang-orang Kristen, dst. Karena peristiwa Galileo, yang terkait dengan revolusi ilmiah dan Abad Pencerahan, John William Draper percaya dengan Tesis konflik. Ia Percaya bahwa sejarah agama dan sains memiliki konflik dalam metodologis, faktual dan politik. Tesis ini dipegang oleh beberapa ilmuwan kontemporer seperti Richard Dawkins, Steven Weinberg dan Carl Sagan, dan beberapa kreasionis. Walaupun tesis konflik tetap populer bagi publik, tetapi telah kehilangan dukungan di kalangan sebagian besar sejarawan kontemporer ilmu dan mayoritas ilmuwan di universitas elit di AS tidak memegang pandangan konflik ini. Banyak ilmuwan, filsuf, dan teolog sepanjang sejarah telah melihat kompatibilitas atau kemerdekaan antara agama dan ilmu pengetahuan seperti Francisco 85
Hani Nur Fajarina, ―Ulama Saudi Sebut Matahari Kelilingi Bumi,‖ CNN Indonesia, 24 Februari 2015, sec. Teknologi, http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150224143116-199-34447/ulama-saudibantah-teori-bumi-kelilingi-matahari/.
74
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Ayala, Kenneth R. Miller dan Francis Collins. Biolog Stephen Jay Gould, ilmuwan lain, dan beberapa teolog kontemporer berpendapat bahwa agama dan sains adalah magisteria tidak tumpang tindih, menangani bentuk dasaryang terpisah dari pengetahuan dan aspek kehidupan. Beberapa teolog atau sejarawan sains, termasuk John Lennox, Thomas Berry, Brian Swimme dan Ken Wilber mengusulkan interkoneksi antara ilmu pengetahuan dan agama, sementara yang lain seperti Ian Barbour percaya ada hubungan bahkan paralel. Sains cenderung menjadi otonom sehingga karenanya ia lebihsering dipandang sebagi satu-satunya jalan menuju kebenaran, sehinggasebagai akibatnya kita sering menghadapi benturan antara sains danagama. Persoalannya sains sebenarnya hanya berbicara tentang realitasobyktif tentang alam dan manusia, padahal sesungguhnya agama berbicaratentang manusia seutuhnya yaitu tubuh, ruh dan alam seluasnya (alam nyata dan alam gaib).Sebenarnya terdapat titik temu antara keduanya. Namun dalam perjalanan sejarahnya beberapa abad setelah renaisans,revolusi sains diikuti revolusi industri dan revolusi informasi, pengetahuanilmiah kita tentang diri dan alam lingkungan kita telah berubah secaratajam, sayangnya gambaran yang baru itu untuk banyak orang cenderungmenegasikan gambaran yang diberikan oleh agama-agama dunia yangmanapun, karena itulah agama makin ditinggalkan. Hal ini terjadi jika kitahanya melihat pada tataran permukaan saja, padahal seharusnya kita melihatbahwa sebenarnya teologi hanyalah merupakan konstruksi intelektual manusia yang mencoba memahami pesan-pesan religius para nabi. Dengan demikian, kita harus berani menghadapkan teologi dengan sains dan membuat keduanya berkembang secara dialektis dan komplementer untuk memecahkan permasalahan umat manusia yang ditimbulkan oleh penerapan sains yang semakin maju itu.Dari latar belakang itu, dalam tulisan ini, kami mencoba untuk mencari tahu, apa itu Agama?, Apa itu Sain?, Bagaimana hubungan antara keduanya?, dan mengapa hubungan itu terjadi?
PEMBAHASAN Definisi Agama Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari
75
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
kehidupan. Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.86 Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". 87 Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewadewa, merenungkan dengan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan". Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti hukum. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh 86 87
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 12. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 307.
76
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama. Montgomery Watt mengatakan; Bagi orang yang memandang agama mengandung suatu makna dan bukan sekedar ketaatan terhadap namanya semata, terdapat dua point yang dapat ditegaskaskan; Pertama, gagasan keagamaannya membangun kerangka intelektual dirinya darimana dia memandang segenap aktivitasnya berlangsung. Dari keterikatan ini, aktivitasnya dalam konteks yang lebih luas memperoleh arti penting, dan pertimbangan atas keterikatannya ini dapat mempengaruhi perencanaan umum terhadap kehidupannya secara lebih khusus.Kedua, karena agama membawa suatu kesadaran terhadap konteks aktivitasnya yang lebih luas seperti disebutkan diatas, dimana tujuan-tujuan yang mungkin bagi kehidupan manusia sudah ditentukan, maka hal itu kerap kali bisa membangkitkan motif yang melandasi aktivitas yang tentu saja tanpa motif yang diberikan oleh agama beberapa aktifitas tidak bisa dilaksanakan.88. Definisi Sain Kata Science dari bahasa Latin scientia, "pengetahuan, cara mengetahui, keahlian," dari sciens (scientis genitive) "cerdas, terampil," mungkin awalnya "untuk memisahkan satu hal dari yang lain, untuk membedakan , "terkait dengan scindere" untuk memotong, membagi.89 Science/Ilmu secara definisi adalah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk diuji penjelasan dan prediksi tentang alam semesta. Dalam dunia modern "ilmu" yang paling sering, mengacu pada cara mengejar pengetahuan, tidak hanya pengetahuan itu sendiri. Selama abad ke-19, kata "ilmu" menjadi semakin terkait dengan metode ilmiah, sebagai cara disiplin untuk mempelajari alam, termasuk fisika, kimia, geologi dan biologi. Pada abad 19, istilah ilmuwan mulai diterapkan kepada mereka yang mencari pengetahuan dan pemahaman tentang alam. Ilmu pengetahuan modern biasanya dibagi ke dalam ilmuilmu alam (Eksak), dan ilmu-ilmu sosial (IPS) yang mempelajari orang-orang dan masyarakat, dan ilmu-ilmu yang formal seperti matematika. Ilmu-ilmu formal sering dikecualikan karena mereka tidak tergantung pada data empiris/pengamatan, bahkan 88
Andrew Newberg dan Mark Waldman, Born to Believe: God, Scinece, and the Origin of Ordinary and Extraordinary Beliefs¸ terj. Eva Y. Nukman (Bandung: Mizan Pusta Utama, 2013), 60.
77
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
terkadang dianggap bukan Ilmu. Disinilah seringkali dalam masa renaisance, pencerahan, upaya science menjadi sciencism (dari sain menjadi saintism). Definisi Kepercayaan/Iman dan Bukti (Proof) Apa itu Keyakinan (Belief)? Belief menurut The Oxford English Dictionary, adalah a) Suatu perasaan bahwa sesuatu itu ada atau benar, terutama hal-hal yang tidak memiliki bukti. b) Pendapat yang dipegang teguh, c) Sesuatu yang dipercaya, d) Keimanan. Apabila kita berbicara tentang keyakinan, maka kita tidak akan lepas dari Bukti (proof). Bukti (proof) menurut kamus Webster, adalah rangkaian langkah, pernyataan, atau demontrasi yang mengarahkan kepada kesimpulan yang sah. Walaupun kita tahu, penegakan, methode, standart-standart sah tidaknya sebuah bukti, itu ada perbedaan antara satu kajian dengan kajian lain, antara agama dan ilmu pengetahuan. 90 Disini timbul pertanyaan, Bagaimana sebuah keyakinan (yang merupakan intisari dari agama) masuk dalam diri manusia? Siapakah sebenarnya yang berkeyakinan itu? Bagaimana keyakinan itu diproses, dipertahankan, bahkan diganti serta mengalami perkembangan? Inilah pertanyaan-pertanyaan menarik yang perlu didiskusikan, dan inilah penyebab diskusi
yang tidak akan selesai antara
Ilmuwan/Saintis dan Agamawan (Antara Sain dan Agama). Hubungan antara Sain dan Agama mengalami pasang naik dan surut. Paling tidak ada beberapa hubungan antara Ilmu dan agama. Ada hubungan konflik diantara keduanya, ada Interdependensi, dialog dan Pararellitas. Karena Agama selalu mengklaim memberikan panduan pada manusia secara menyeluruh, mulai dari A sampai Z kehidupan, sementara dalam perkembangannya banyak hal-hal yang dulunya diterangkan oleh Agama ditantang kebenarannya oleh Akal-Rasional dan Ilmu Pengetahuan. Dengan perkembangan Akal-Rasional dan Ilmu Pengetahuan, Kepercayaan (Agama) diharapkan memberikan Proof (pembuktian) klaim kebenarannya. Sain makin lama makin otonom, sehingga sain menjadi bersaing dalam memberikan proof akan solusi yang diberikan pada manusia. Disinilah relasi agama dan sain berkembang.
89
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 307. Andrew Newberg dan Mark Waldman, Born to Believe: God, Scinece, and the Origin of Ordinary and Extraordinary Beliefs¸ terj. Eva Y. Nukman (Bandung: Mizan Pusta Utama, 2013), 60. 90
78
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Berbagai Hubungan antara Ilmu/Sain dan Agama Ian
G
Barbourimencoba
memetakan
hubungan
sains
dan
agama.
Menurutnyaantar sains dan agama terdapat empat varian hubungan yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi.Dalam hubungan konflik, sains menegasikan eksistensi agama dan agama menagasikan sains, masing-masing hanya mengakui keabsahan eksistensi dirinya. Sementara itu dalam hubungan independensi, masing masing mengakui keabsahan eksistensi yang lain dan menyatakan bahwa antra sains dan agama tidak ada titik temu satu sama lainnya. Sedangkandalam hubungan diolog diakui bahwa antara sains dan agama terdapatkesamaan yang bisa didalogkan antara para ilmuan dan agamawan, bahkanbisa saling mendukung. Sedangkan yang keempat adalah integrasi,
disini
menyatakan
bahwa
ada
dua
varian
integrasi
yang
menggabungkanagama dan sains. Yang pertama disebutnya sebagai teologi natural danyang kedua teologi alam. Pada varian teologi natural menurut Barbourteologi mencari dukungan pada penemuan-penemuan ilmiah, sedangkan pada varian teologi alam pandangan teologis tentang alam justru harus diubah dan disesuaikan dengan penemuan-penemuan yang mutakhir tentang alam. Tesis-Konflik Berbagai sejarah, argumen filosofis, dan ilmiah telah dikemukakan dalam mendukung gagasan bahwa sains dan agama berada dalam konflik. Banyak contoh individu, agama atau lembaga mempromosikan klaim yang bertentangan tentang konsensus ilmiah modern, termasuk Kreasionisme (lihat tingkat dukungan untuk evolusi), sikap oposisi Gereja Katolik Roma untuk Heliocentrism, termasuk urusan Galileo. Selain itu, klaim agama yang telah lama dipegang telah ditantang oleh penelitian ilmiah seperti STEP, yang meneliti kemanjuran doa. Sejumlah ilmuwan termasuk Jerry Coyne telah membuat argumen untuk ketidakcocokan filosofis antara agama dan ilmu pengetahuan. Sebuah Argumen terhadap konflik antara agama dan ilmu pengetahuan dengan menggabungkan pendekatan historis dan filosofis telah disajikan oleh Neil Degrasse Tyson. Tyson berpendapat bahwa para ilmuwan agama,seharusnya bisa mencapai lebih –dari Newton –seandainyamereka tidak menerima jawabanjawaban keagamaan terhadap isu-isu ilmiah yang belum terselesaikan. Tesis konflik, yang menyatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan telah dalam konflik terus-menerus sepanjang sejarah, dipopulerkan di abad ke-19 oleh John
79
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
William Draper dan Andrew Dickson White. Tetapi Kebanyakan sejarawan kontemporer ilmu pengetahuan sekarang menolak tesis konflik dalam bentuk aslinya, dengan alasan bahwa hal tersebut telah digantikan oleh penelitian sejarah berikutnya yang menunjukkan pemahaman yang lebih bernuansa /jelas. Meskipun gambaran populer tentang kontroversi permusuhan kekristenan terhadap teori-teori ilmiah baru berlanjut, penelitian telah menunjukkan bahwa kekristenan sering dipelihara dan didorong usaha ilmiah, sementara di lain waktu, keduanya secara bersama-ada tanpa ketegangan atau dalam upaya yang harmonis. Jika Galileo dan pengadilan Scopes datang ke pikiran sebagai contoh konflik, mereka adalah pengecualian dan bukan aturan. Saat ini, banyak pengetahuandi mana tesis konflik dasar awalnya, dianggap tidak akurat. Misalnya, klaim bahwa orang-orang di Abad Pertengahan yang banyak percaya bahwa Bumi itu datar pertama disebarkan pada periode yang sama yang berasal thesiskonflik dan masih sangat umum dalam budaya populer. Sarjana modern menyatakan bahwa klaim tersebut sebagai keliru, sebagai sejarawan kontemporer ilmu pengetahuan David C. Lindberg dan Ronald L. Numbers menulis: "hampir tidak ada seorang sarjana Kristen Abad Pertengahan yang tidak mengakui kebulatan [bumi] dan bahkan tahu lingkar perkiraan nya. Kesalahpahaman lain seperti: "Gereja melarang otopsi dan pembedahan selama Abad Pertengahan," "kebangkitan Kristen membunuh ilmu kuno," dan "Gereja Kristen abad pertengahanmenekan pertumbuhan ilmu pengetahuan alam"
adalah merupakan
Angka-angka laporan sebagai contoh dari banyaknya mitos populer yang masih ada sebagai kebenaran sejarah, meskipun mereka tidak didukung oleh penelitian sejarah saat ini. Mereka membantu menjaga citra populer." Peperangan antara ilmu pengetahuan dan agama‖. Sementara H. Floris Cohen menyatakan bahwa kebanyakan sarjana menolak mentah artikulasi dari tesis konflik, seperti Andrew D. White, ia juga menyatakan bahwa versi lebih ringan dari tesis ini masih cukup kuat. Cohen menganggap hal ini sebuah Paradoks karena ia beranggapan "bahwa bangkitnya sains modern awal disebabkan setidaknya sebagian dengan perkembangan pemikiran Kristen-khususnya, untuk aspek-aspek tertentu dari Protestantisme" (Sebuah tesis pertama kali dikembangkan sebagai apa yang sekarang disebut tesis Merton). Dalam beberapa tahun
80
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
terakhir, sejarawan Oxford Peter Harrison telah mengembangkan lebih lanjut ide bahwa Reformasi Protestan memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sebuah tinjauan alternatif untuk tesis konflik White/Draper telah disusun oleh Ian G. Barbour Kemerdekaan Sebuah pandangan modern, yang dijelaskan oleh Stephen Jay Gould sebagai "non-overlapping magisteria" (NOMA), adalah bahwa sains dan agama memiliki kesepakatan dengan aspek fundamental terpisah dari pengalaman manusia dan sebagainya, ketika masing-masing tetap berada dalam domain sendiri, mereka hidup berdampingan dengan damai. Disini teolog Karl Barth (Gereja Dogmatics), Emil Brunner dan Hans Kung (dalam Teologi untuk Milenium Ketiga (1988). Sementara Gould berbicara tentang kemerdekaan dari perspektif ilmu, W.T.Stace melihat kemerdekaan dari perspektif filsafat agama. Stace merasa bahwa ilmu pengetahuan dan agama, ketika masing-masing dilihat di domain sendiri, keduanya konsisten dan lengkap. Baik sains dan agama menunjukkan
cara yang berbeda dari pengalaman
pendekatan dan perbedaan-perbedaan tersebut adalah merupakan sumber perdebatan. Sains adalah terkait erat dengan matematika-sebuah pengalaman yang sangat abstrak, sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman kehidupan biasa sehari-hari. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu adalah deskriptif(bersifat menggambarkan) dan agama adalah preskriptif (bersifat menentukan). Ilmu pengetahuan berbicara pembuktian dan empiris/real, sementara agama murni deduksi dengan premis-premis kepercayaan/Iman. Kasus Al Khaibari diatas adalah contoh Iman/Agama yang terlalu masuk diluar dunianya, sementara kasus Saintisme (Positivisme Logik) adalah kasus dimana IlmuPengetahuan keluar melebihi klaim-klaimnya. Metode Parallel (Kemerdekaan II) Banyak Filsuf bahasa (misalnya, Ludwig Wittgenstein) dan eksistensialis religius (misalnya, mereka yang menerima terhadap neo-ortodoksi) diterima oleh Ian Barbour dan John Polkinghorne dalam kategorisasi Type II Kemerdekaan. Di sisi lain, banyak filsuf ilmu, berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, yang mirip dengan perspektif sekuler
81
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
pada agama (religi). Michael Polanyi menegaskan bahwa itu hanyalah sebuah komitmen untuk menjadikannya universalitas yang melindungi subjektivitas dan tidak ada kaitannya dengan semua yang dilakukan dengan sikap pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya mengikuti intuisi "keindahan intelektual, kesimetrian dan "kesepakatan empiris." Polanyi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan membutuhkan komitmen moral yang sama dengan yang ditemukan dalam agama. Dua fisikawan, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan" Schilling menegaskan bahwa kedua bidang-sains dan agamamemiliki" tiga lapisan struktur : pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis. Coulson menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, seperti agama, "Maju dengan imajinasi kreatif" dan bukan oleh
hanya "mengumpulkan fakta-fakta belaka‖, sementara
dinyatakan bahwa agama harus dan dapat" melibatkan refleksi kritis atas pengalaman yang tidak sama dengan yang terjadi di dalam ilmu pengetahuan. Bahasa agama dan bahasa ilmiah juga menunjukkan kesejajaran. Dialog Sebuah taraf persesuaian antara sains dan agama dapat dilihat dalam keyakinan agama dan ilmu pengetahuan empiris. Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia dan karena itu manusia, dapat menuntun pada pandangan bahwa Manusia diatur untuk memahami dunia. Hal ini digarisbawahi dengan sebuah doktrin Imago Dei. Dalam katakata Thomas Aquinas, "Karena manusia dikatakan berada dalam citra Allah, dalam kebajikan, memiliki sifat Tuhan yang mencakup intelek, sifat ini adalah sifat yang paling penting dalam citra Allah dalam kebajikan yang paling mampu ditiru. Banyak tokoh terkenal sejarah yang mempengaruhi ilmu pengetahuan Barat menganggap diri mereka Kristen seperti Copernicus, Galileo, Kepler dan Boyle. Kekhawatiran atas Sifat Realitas Ilmu pengetahuan di era Pencerahan dipahami sebagai penyelidikan/investigasi ontologis dimana 'fakta' tentang alam fisik dibongkar. Hal ini sering secara eksplisit menentang Teologi Kristen dan pernyataan yang terakhir tentang kebenaran didasarkan pada doktrin. Perspektif ilmu pengetahuan ini memudar di awal abad 20 dengan penurunan logika-empirisme dan munculnya pemahaman linguistik dan sosiologis ilmu pengetahuan. Ilmuwan modern kurang peduli dengan penetapan kebenaran universal
82
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
atau kebenaran ontologis, dan lebih cenderung ke arah penciptaan yang pragmatis dari model fungsional dari sistem fisik. Teologi Kristen-tidak termasuk gereja-gereja fundamentalis yang bertujuan untuk menegaskan kembali ajaran kebenaran – juga banyak telah melunak dalamklaim ontologis, karena meningkatnya paparan baik wawasan ilmiah dan teologis kontras dengn klaim agama lainnya. Perspektif ilmiah dan teologis sering hidup berdampingan secara damai. Agama non-Kristen secara historis terintegrasi dengan baik dengan gagasan ilmiah, seperti dalam penguasaan teknologi Mesir kuno diterapkan untuk tujuan monoteistik, berkembangnya Logika dan matematika di bawah Hindu dan Buddha, dan kemajuan ilmiah yang dibuat oleh para sarjana Muslim selama imperium Utsmani. Bahkan banyak masyarakat abad ke-19 Kristen menyambut ilmuwan yang mengklaim bahwa ilmu pengetahuan sama sekali tidak peduli dengan penemuan hakikat terdalam dari realitas. Integrasi Islam Dari sudut pandang Islam, ilmu pengetahuan, penelitian alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang lain dari ilmu pengetahuan. Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam tentang Tuhan, manusia, dan dunia. Berbeda dengan agama-agama Ibrahim lainnya monoteistik, Yudaisme dan Kristen, pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan dan alam terus menerus berhubungan dengan agama dan Allah. Banyak tulisan menyiratkan aspek suci untuk mengejar pengetahuan ilmiah oleh kaum Muslim, seperti alam itu sendiri dilihat dalam Al-Qur'an sebagai kompilasi dari tanda-tanda yang menunjuk ke Ilahi. Ini adalah pemahaman ilmu pengetahuan yang dipelajari dan dipahami dalam peradaban Islam, khususnya selama abad keenam belas delapan, sebelum kolonisasi dunia Muslim. Menurut sebagian besar sejarawan, metode ilmiah modern pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan Islam yang dipelopori oleh Ibn al-Haytham, yang dikenal barat sebagai "Alhazen‖. Robert Briffault, dalam The Making of Humanity, menegaskan bahwa keberadaan ilmu yang sangat, seperti yang dipahami dalam pengertian modern, berakar dalam pemikiran ilmiah dan pengetahuan yang muncul dalam peradaban Islam selama waktu ini. Namun, kekuatan kolonial dari dunia barat dan kehancuran tradisi ilmiah Islam memaksa wacana Islam dan Science kedalam sebuah periode baru. Hal ini secara drastis
83
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
mengubah praktek ilmu pengetahuan di dunia Islam, ilmuwan Islam harus berinteraksi dengan pendekatan barat untuk belajar ilmiah, yang didasarkan pada filosofi alam yang benar-benar asing bagi mereka.Sehingga hasil-hasil penyelidikan itu, tidak ada yang secara universal diterima atau dipraktekkan. Namun, Pandangan bahwa perolehan pengetahuan dan pengejaran ilmiah pada umumnya tidak dalam perselisihan dengan pemikiran Islam dan keyakinan agama tetap mereka terima dan pertahankan. Agama Islam memiliki sistem sendiri.Sistem pandangan termasuk keyakinan tentang "realitas tertinggi‖, epistemology, ontologi, etika, tujuan, dll. Kristen Sains dan Agama digambarkan berada dalam harmoni di jendela Pendidikan Tiffany (1890).Sebelumnya upaya rekonsiliasi Kristen dengan mekanika Newtonian tampil cukup berbeda dari usaha berikutnya dari rekonsiliasi dengan ide-ide baru ilmiah tentang evolusi atau relativity. Banyak interpretasi awal evolusi menjadikan diri mereka terpolarisasi di sekitar perjuangan akan sebuah keberadaan. Ide-ide ini secara signifikan dimentahkan oleh temuan kemudian tentang pola universal kerjasama biologis. Menurut John Habgood, semua orang benar-benar tahu bahwa alam semesta tampaknya menjadi campuran baik dan jahat, keindahan dan rasa sakit, dan penderitaan yang entah bagaimana dapat menjadi bagian dari proses penciptaan. Habgood menyatakan bahwa orang Kristen tidak perlu heran bahwa penderitaan dapat digunakan secara kreatif oleh Allah, diberikan iman mereka dalam simbol Salib. Habgood menyatakan bahwa orang Kristen selama dua milenium percaya pada kasih Allah karena ia mengungkapkan "diriNya sebagai Cinta dalam Yesus Kristus." bukan karena adanya alam semesta secara fisik atau tidak menunjuk ke Nilai cinta. "" Rekonsiliasi di Inggris pada awal abad 20 Di Inggris Abad 20, Agama dan Sain mengalami upaya rekonsiliasi, yang diperjuangkan oleh para ilmuwan intelektual konservatif, didukung oleh teolog liberal namun ditentang oleh para ilmuwan muda dan sekularis dan Kristen konservatif. Upaya-upaya rekonsiliasi runtuh pada 1930-an akibat ketegangan sosial meningkat, bergerak ke arah neo-ortodoks teologi dan penerimaan synthesis evolusi modern Pandangan Baha'i Suatu prinsip dasar Iman Baha'i adalah keselarasan agama dan sains. Kitab Suci Baha‘I menegaskan bahwa ilmu sejati dan agama sejati tidak pernah berada dalam
84
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
konflik. 'Abdu'l-Baha, putra pendiri agama, menyatakan bahwa agama tanpa ilmu adalah takhayul dan ilmu tanpa agama adalah materialisme. Dia juga mengingatkan bahwa agama yang benar harus sesuai dengan kesimpulan ilmu. Kajian Sarjana Saat ini Dialog modern antara agama dan ilmu pengetahuan berakar dalambuku Ian Barbour ―Isu Sains dan Agama‖tahun 1966. Sejak saat itu telah berkembang ke bidang akademik yang serius, ada dua jurnal akademik khusus : Zygon (Jurnal Agama dan Sains)dan Journal Teologi dan Sains. Artikel itu juga kadang-kadang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmu pengetahuan seperti Journal Fisika America dan Sains. Baru-baru ini filsuf Alvin Plantinga berpendapat bahwa ada konflik superfisial tetapi kerukunan yang mendalam antara ilmu pengetahuan dan agama, dan bahwa ada kerukunan yang dangkal tetapi konflik mendalam antara ilmu pengetahuan dan naturalisme. H. Floris Cohen berpendapat dengan berbagai argumentasi, tentang gagasan bahwa bangkitnya sains modern awal adalah karena kombinasi unik dari kesimpulan pemikiran Yunani dan Alkitab. Sejarawan dan Professor Agama dari Oxford Peter Harrison berpendapat bahwa pandangan dunia alkitabiah (Khususnya pendekatan Protestan) signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Sejarawan dan profesor agama Eugene M. Klaaren menyatakan bahwa "kepercayaan dalam penciptaan ilahi" adalah pusat munculnya ilmu pengetahuan di abad ketujuh belas di Inggris. Filsuf Michael Foster telah menerbitkan filsafat analitis yang menghubungkan doktrin Kristen penciptaan dengan empirisme. Dst. Dalam abad pertengahan beberapa pemikir terkemuka dalam Yudaisme, Kristen dan Islam, melakukan sebuah proyek sintesis antara agama, filsafat, dan ilmu alam. Sebagai contoh, Filsuf Islam Averroes, 1681: Filsuf Yahudi Maimonides, dan Filsuf Kristen Agustinus dari Hippo; berpendapat bahwa jika ajaran-ajaran agama ditemukan bertentangan pengamatan langsung tertentu tentang dunia alam, maka akan wajib untuk mengevaluasi kembali baik interpretasi fakta-fakta ilmiah atau pemahaman dari tulisan suci. Konflik dan diskusi serius antara Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam Islam tidak seperti sejarah di Kristen. Era modern beberapa pendekatan agama mengakui
85
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
hubungan historis antara sains modern dan doktrin-doktrin kuno. Misalnya, Yohanes Paulus II, pemimpin Gereja Katolik Roma, pada tahun 1981 berbicara tentang hubungan dengan cara ini: "Alkitab itu sendiri berbicara kepada kita tentang asal-usul alam semesta dan penyusunannya, bukan untuk memberi kita sebuah risalah ilmiah, tetapi untuk membentuk hubungan yang benar manusia dengan Allah dan dengan alam semesta. Sebuah contoh lain tentang evolusi teistik. Pemahaman tentang peran Kitab Suci dalam hubungannya dengan ilmu ditangkap oleh frase: "Tujuan Roh Kudus adalah mengajarkan kita bagaimana untuk pergi ke surga, bukan bagaimana langit pergi." Thomas Jay Oord mengatakan: "Alkitab memberitahu kita bagaimana menemukan kehidupan yang berkelimpahan, bukan rincian bagaimana hidup menjadi berlimpah. " Albert Einstein salah seorang yang mendukung kompatibilitas dari beberapa interpretasi agama dengan ilmu pengetahuan. Dalam sebuah artikel yang awalnya muncul di Majalah New York Times pada tahun 1930, ia menulis: Dengan demikian, orang yang taat agama dalam arti bahwa ia tidak meragukan arti dan keagungan dari objek-objek superpersonal dan tujuan yang tidak membutuhkan kemampuan pondasi rasional. ... Untuk ilmu pengetahuan hanya dapat memastikan apa yang ada, tetapi tidak apa yang harus, dan di luar penilaian domain penuh nilai dari semua jenis tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia: tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta dan hubungan antara fakta. Menurut interpretasi konflik yang terkenal antara agama dan ilmu pengetahuan di masa lalu semuanya harus dikaitkan dengan kesalahpahaman situasi telah dijelaskan. Banyak penelitian telah dilakukan di Amerika Serikat dan umumnya menemukan bahwa para ilmuwan cenderung lebih sedikit yang percaya pada Tuhan daripada seluruh populasi. Definisi yang tepat dan statistik bervariasi, tetapi umumnya sekitar 1/3 adalah ateis, 1/3 agnostik, dan 1/3 percaya pada Tuhan.Orang yang percaya Tuhan juga bervariasi dengan bidang: psikolog, fisikawan dan insinyur cenderung kurang percaya pada Tuhan dibandingkan ahli Mathematika, ahli biologi dan ahli kimia. Dokter di Amerika Serikat jauh lebih mungkin untuk percaya pada Tuhan (76%).
86
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Beberapa penelitian terbaru terhadap Laporan pribadi para ilmuwan, melaporkan bahwa kepercayaan pada Allah dibahas oleh Profesor Howard Ecklund Elaine. Beberapa temuan yang paling menarik lainnya adalah bahwa ilmuwan-orang yang beriman umumnya me/dianggap diri mereka adalah penganut "liberal agama" (bukan fundamentalis), dan bahwa agama mereka tidak mengubah cara mereka melihat ilmu pengetahuan, melainkan cara mereka tercermin pada implikasinya. Ecklund juga membahas bagaimana ada stigma terhadap kepercayaan kepada Tuhan dalam komunitas ilmiah profesional, yang mungkin telah berkontribusi untuk Rendahnya representasi dari suara-suara agama di lapangan. Studi Ilmiah Agama Banyak studi ilmiah telah dilakukan pada religiusitas sebagai sebuah fenomena sosial atau psikologis. Ini termasuk studi tentang korelasi antara religiusitas dan kecerdasan, religiusitas dengan tingkat stres dan kebahagiaan dst. Studi oleh Keith Ward menunjukkan bahwa agama secara keseluruhan merupakan kontributor positif untuk kesehatan mental. Michael Argyle dan lainnya mengklaim bahwa ada bukti yang sedikit atau tidak bahwa agama pernah menyebabkan gangguan mental. Penelitian lain menunjukkan bahwa gangguan mental tertentu, seperti skizofrenia dan gangguan obsesif-kompulsif, juga terkait dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Selain itu, Obat anti-psikotik, yang terutama ditujukan untuk memblokir reseptor dopamin, biasanya mengurangi perilaku agama dan delusi keagamaan. Buku Newberg (2013) banyak menceritakan jenis penelitian-penelitian ini.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Diawali oleh klaim menyelesikan permasalah manusia, agama dan sain saling bersaing. Dalam memberikan penyelesaian itu,keduanya merasa independen, sehingga ada semacam persaingan diantara mereka. Disinilah tesis konflik diantara agam dan sain terjadi. Tetapi tesis itu sebenarnya tidak cukup besar kecuali dibesar-besarkan. Utamanya oleh media atau kelompok tertentu. Lalu ada tesis Independensi, dimana mereka mengatakan, agama dengan wilayahnya dan ilmu pengetahuan dalam wilayahnya. Seperti yang dikemukakan oleh Einstein diatas. Agama jangan mencoba
87
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
memberikan penjelasan hubungan antara fakta, biarlah itu dilakukan oleh sain, demikian sebaliknya. Ilmu jangan berbicara diluar bagiannya. Tetapi tesis kedua masih belum memberikan kepuasan pada sebagian kelompok sebab mereka mengatakan bahwa ada kesamaan antara sain dan agama dalam banyak hal. Sebab agama dan sain sama-sama berhubungan dengan pengalaman dan interpretasi. Yang keempat, Integrasi, dimana satu dengan yang lain saling memberikan tambahan proof (bukti, rasionalisasi) pada upaya penyelesaian masalah pada manusia. Saran Saran yang kami bisa berikan agar Agama dan Sain bisa saling beriringan antara lain, 1) Pahamilah Ilmu dengan baik dan Agama dengan baik. Bila sang ilmuwan sedikit memahami kaidah yang benar tentang agama dan sang agamawan/teolog mampu memahami kaidah sain, maka kebijaksanaan sikap tidak saling menyalahkan akan terjadi. Disini akan menjadi masalah bila agamawan menjadi fundamentalis dan Saintis menjadi Konservative. 2) Kita semestinya memahami bahwa realitas itu banyak, ada yang real, ada eksistensi, essensi, aksiden dan ada yang supra-natural. Akal hanya mampu kepada hal-hal yang kulliyah (umum) dan real, sementara diluar itu, semestinya ―mengikuti‖ (untuk sementara)penjelasan-penjelasan Iman (Agama). 3) Kalaupun sudah banyak yang kita ketahui, pahami dan banyak manfaat darinya (Sain), tidak berarti itulah segala-galanya. Banyak penelitian neurosain, fisika quantum makin memberikan bukti akan hal ini. Maka tidak bisa dibenarkan dari sain menjadi saintisme. Karena realita-nya banyak hasil sain yang masih pada dugaan, yang belum jelas dst, dan manusia hasil evolusinya menunjukkan akan kesukaan padadugaan/ramalan/gaib. 4) Apabila seakan terjadi perbedaan antara iman dan sain, maka kita semestinya tidak dengan serta-merta menyalahkan satu dengan yang lain. Ilmu adalah dugaan sementara walaupun telah dibuktikan dengan eksperimental, sementara iman/wahyu juga hanyalah pemahaman/interpretasi kita akan teks. Bisa jadi bukan wahyunya/iman yang salah, tetapi interpretasi tentang sebuah teks yang salah, demikian sebaliknya.
88
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR RUJUKAN Barbour, Ian. 2000. When Science Meets Religion. SanFrancisco: Harper. Barbour, Ian. 1997.Religion and Science: Historical and Contemporary Issues. SanFrancisco: Harper. Barbour, Ian. 2002.Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad. Bandung: Mizan. Barbour, Ian. 2005.Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer dan Agama,terj. Franciskus borgias M. Bandung: Mizan. Bruno Guiderdoni. 2004.Membaca Alam Membaca Ayat, terj. Anton Kurnia dan Andar Nubowo. Bandung Mizan. Drummond, Henry. 1890. Natural Law in the Spiritual World. London: Hodder & Stoughton Ltd, 29th Edition. Fritjof Capra. 2002.Jaring-Jaring Kehidupan, Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Fajar. Frithjof Schuon. 1995.The Transfiguration of Man, Blooming ton: World Wisdom Books. Haught, John F. 1995. Science & Religion: From Conflict to Conversation. Paulist Press, Larson, Edward J. and Larry Witham. "Scientists are still keeping the faith"Nature Vol. 386, pp. 435 – 436 (3 April 1997) Larson, Edward J. and Larry Witham. "Leading scientists still reject God," Nature, Vol. 394, No. 6691 (1998), p. 313. online version. Newberg, Andrew & Robert Waldman, 2006.God, Science, and the Original of Ordinary and Extraordinary Belief, TerjBorn to Believe: Gen Dalam Otak,Bandung: Mizan. ________. 1954. Einstein on Religion and Science from Ideas and Opinions. Crown Publishers. Soetopo, Hendyat. 2004. Kompilasi Filsafat Ilmu, Modul Kuliah S3, Universitas Negeri Malang. Bahan Ajar Tidak diterbitkan. The Oxford Handbook of Religion and Science Philip Clayton(ed.), Zachary Simpson(associate-ed.)—Hardcover 2006, paperback July 2008-Oxford University Press.
89
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
http://www.skanaa.com/en/news/detail/ulama-saudi-sebut-matahari-kelilingibumi/infospesial. Diakses, 9 September, 2015. https://en.wikipedia.org/wiki/Relationship_between_religion_and_scienceDiakses, September, 2015.
9
http://bagusmakalah.blogspot.co.id/2014/04/relasi-sains-dan-agamavalues-menurut.html Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Barbour, Ian. When Science Meets Religion. Bandung: Mizan, 2000. Fajarina, Hani Nur. ―Ulama Saudi Sebut Matahari Kelilingi Bumi.‖ CNN Indonesia, 24 Februari 2015, sec. Teknologi. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150224143116-199-34447/ulamasaudi-bantah-teori-bumi-kelilingi-matahari/. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. I. Jakarta: UI Press, 1985. Newberg, Andrew, dan Mark Waldman. Born to Believe: God, Scinece, and the Origin of Ordinary and Extraordinary Beliefs¸ terj. Eva Y. Nukman. Bandung: Mizan Pusta Utama, 2013. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Watt, Montgomery. Islamic Political Thought. edinburg: Edinburg University Press, 1980.
90
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
TASAWUF UNTUK MASYARAKAT MODERN Siti Halimah Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Salah satu fenomena menggembirakan yang terjadi pada masyarakat industri adalah kecenderungan akan hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas. Fenomena spiritualitas yang terjadi akhir akhir ini barangkali telah menggugurkan hipotesis Emile Durkheim yang menyatakan bahwa sikap dan perilaku spiritual mustahil muncul pada masyarakat modern. Karena menurut Durkheim masyarakat modern sangat individualis, memiliki pembagian kerja yang tinggi, perbedaan kepentingan dan keyakinan serta memiliki solideritas yang rendah. Rumusan yang mengatakan bahwa spiritualitas berbanding lurus dengan modernitas suatu masyarakat agaknya tidak selalu benar. Karena pada mayarakat modern seperti saat ini spiritualitas sudah menjadi trend tersendiri. Dikatakan Jung, Manusia, merasa membutuhkan sesuatu yang disebut nonmaterial (daya aktual dan potensial dari energi psikis), setelah segala kebutuhan material telah dicapai namun tak pernah memberikan kepu-asan. Kebutuhan imaterial pada masyarakat modern telah beralih fungsi, tidak hanya sebagai pelengkap melainkan telah diletakkan jauh lebih tinggi daripada kebutuhan material. Taswuf adalah kepasrahan mutlak pada kekuasaan al-Haqq dan berusaha mengidentikkan dirinya dengan al-Haqq untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan mencapai tingkat kesempurnaan manusia serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran islam. masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana fenomena Dzikir Jama‟i yang di imami oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham, telah menyedot jamaah dari berbagai kalangan dan penjuru negeri, mereka
91
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
datang dari tempat yang jauh yang tentunya untuk hadir dalam acara membutuhkan biaya yang sangat besar. Pada sebagian kalangan nominal biaya yang dikeluarkan dianggap tidak seberapa dibandingkan dengan efek yang diperoleh setelah mengikuti aktivitas dzikir jama‟i.
A. Pendahuluan Salah satu fenomena menggembirakan yang terjadi pada masyarakat industri adalah kecenderungan akan hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas. Fenomena spiritualitas yang terjadi akhir akhir ini barangkali telah menggugurkan hipotesis Emile Durkheim yang menyatakan bahwa sikap dan perilaku spiritual mustahil muncul pada masyarakat modern. Karena menurut Durkheim masyarakat modern sangat individualis, memiliki pembagian kerja yang tinggi, perbedaan kepentingan dan keyakinan serta memiliki solideritas yang rendah. Rumusan yang mengatakan bahwa spiritualitas berbanding lurus dengan modernitas suatu masyarakat agaknya tidak selalu benar. Karena pada mayarakat modern seperti saat ini spiritualitas sudah menjadi trend tersendiri.91 Dikatakan Jung, Manusia, merasa membutuhkan sesuatu yang disebut nonmaterial (daya aktual dan potensial dari energi psikis), setelah segala kebutuhan material telah dicapai namun tak pernah memberikan kepu-asan. Kebutuhan imaterial pada masyarakat modern telah beralih fungsi, tidak hanya sebagai pelengkap melainkan telah diletakkan jauh lebih tinggi daripada kebutuhan material.92 Sebagaimana fenomena Dzikir Jama‟i yang di imami oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham, telah menyedot jamaah dari berbagai kalangan dan penjuru negeri, mereka datang dari tempat yang jauh yang tentunya untuk hadir dalam acara membutuhkan biaya yang sangat besar. Pada sebagian kalangan nominal biaya yang dikeluarkan dianggap tidak seberapa dibandingkan dengan efek yang diperoleh setelah mengikuti aktivitas dzikir jama‟i.93
91
G. Ritzer,& D.J. Goodman, Modern Sociology Theory, 6 th Edition, (New York: McGraw Hill, 2003). Hlm. 132 92 C.S. Hall dan G. Lindzey, Theories of Personality, (New York: John Wiley & Sons, 1978), Hlm. 199
92
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
B. Konsep Tasawuf Tasawuf adalah satu cabang keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat. Annemarie Schimmel menjelaskan bahwa istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson dalam bukunya the Mystics of Islam, Pada pertengahan abad ketiga hijriyah.94 Dapat dikatakan bahwa taswuf adalah kepasrahan mutlak pada kekuasaan al-Haqq dan berusaha mengidentikkan dirinya dengan al-Haqq untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan mencapai tingkat kesempurnaan manusia serta berpegang teguh pada prinsipprinsip ajaran Islam.95 Tasawuf ialah perwujudan spiritualitas Islam, yang mengambil bentuk sebagai ilmu falsafah, gerakan sastra dan estetik, ajaran tentang jalan kerohanian atau tarekat. Sebagai pengetahuan kerohanian, tasawuf membicarakan masalah tatanan rohani kehidupan, mencakup kewujudan Yang Satu keesaan-Nya dan hubungan Tuhan dengan dunia ciptaan. Walaupun tasawuf tertuju pada alam kerohanian, namun sebagai ilmu ia tidak hanya membicarakan masalah rohani dan jiwa manusia, tetapi juga tatanan yang berbeda-beda di alam benda dan dunia. Rumi mengatakan bahwa tujuan tasawuf ialah untuk memperteguh jiwa manusia. Caranya ialah dengan meningkatkan cinta dan keimanan, moral dan pengetahuan rohani, memperbanyak ibadah dan amal saleh. Cinta yang dimaksud ialah cinta ilahi atau gairah ketuhanan. Ia harus dihidupkan dalam diri manusia. Adapun moral yang dimaksud ialah moral yang benar kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Secara umum tujuan tasawuf yang terpenting adalah agar berada sedekat mungkin dengan al-Haqq. Namun apabila diperhatikan karakteristik taswuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran yaitu:96Pertama, tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana yang dikehendaki oleh rasul. Sebagaimana contoh bagaimana seseorang ketika mendapatkan musibah dia bisa sabar dan bahkan dia bisa 93 Taufik, Fenomena Dzikir Sebagai Eskapisme Spiritual Masyarakat Modern, dalam Jurnal SUHUF Vol XVII No. 2, 2005, (Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), hlm. 132 94 Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN-Malang Press, 2010), hlm. 3 95 Ibid, hlm. 6
93
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
bersyukur terhadap musibah yang menimpanya, karena ternyata yang diterimanya adalah musibah yang kecil karena masih ada musibah yang lebih besar. Kedua, taswuf irfani yakni tasawuf yang bertujuan agar bisa ma‘rifat kepada Allah melalui penyingkapan langsung yang sering disebut dengan Kasf al-Hijab. Tasawuf ini bersifat teoritis dengan seperangkat pengetahuan secara khusus yang diformulasikan secara sistematis anlitis. Sebagai contoh, seorang yang shalat supaya bisa liqa ila Allah dia harus bisa khusyu melalui mujahadah dan akhirnya bisa musyahadah ila Allah dengan penglihatan spiritual. Ketiga tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistim pengenalan dan pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungan itu. Sebagai contoh tentang hamba bisa menyatu (ial-Ittihad) dengan al-Haqq apabila dia sudah menghilangkan sifat kemanusiaan dan muncul sifat ketuhanan demikian pemikiran Syuhrawardi.
C. Masyarakat Modern Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).97 Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir.98 Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Menurut Deliar Noer, ciri-ciri masyarakat modern adalah: 1. Bersifat Rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran daripada emosi.
Sebelum
melakukan
pekerjaan,
masyarakat
modern
selalu
mempertimbangkan terlebih dahulu untung ruginya. 2. Berfikir Obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut pandang fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat. 96
Ibid, hlm 26-27 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet XII, hlm. 636 98 Ibid, hlm. 635 97
94
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
3. Menghargai Waktu, yakni selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin. 4. Berfikir jauh ke depan dan tidak berfikir untuk kepentingan sesaat, sehingga selalu melihat dampak sosialnya secara lebih jauh. 5. Bersikap Terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan, baik berupa kritik, gagasan, dan perbaikan diri dari manapun datangnya. 99 Atho‘ Muzhar mengemukakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh 5 hal: 1. Berkembangnya mass culture. 2. Tumbuhnya sikap menghargai kebebasan. 3. Tumbuhnya berpikir rasional. 4. Tumbuhnya sikap materialistis. 5. Meningkatnya laju Urbanisasi.100 Setidaknya, ada beberapa problematika masyarakat modern:101 1. Ada spesialisasi di bidang keilmuan di satu sisi, dan terjadi disintegrasi ilmu pengethaun di sisi yang lain. disini ilmu pengetahuan terpisah atau dipisahkan sama sekali dengan unsur spiritual. Ilmu pengetahun mempunyai paradigma sendiri-sendiri yang kadang saling bertolak belakang sehingga membingungkan manusia pada umumnya. Hal ini diakui oleh Max Scheler. Menurut Sayyed Hossein Nasr, manusia modern berada pada tepi kehncuran karena tidak lagi memiliki etika dan estetika yang bersumber dari spiritualitas ilahiah. Di era modern, ilmu pengetahuan dan teknologi dipisahkan dari unsur spiritual. Alihalih menjawab problem kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi pun justru menindas manusia dan mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Manusia modern mengalami apa yang disebut sebagai gejala Split Personality, yaitu pribadi yang terpecah dan terbelah. 2. Akibat terpisahnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual, maka ilmu pengetahun dan teknologi sangat potensial untuk disalahgunakan sesuai kepentingan pragmatis para penguasanya. Ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dibarengi dimensi spiritual justru bisa merusak dan menghancurkan manusia dan kehidupan, baik secara fisik maupun moral. 99
Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hlm 24. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 177
100
95
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
3. Permisahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual tentunya akan mengandalkan nilai keimanan seseorang dan akan membentuk pola hidup materialisme ynag tidak sehat. Disini, individu menjalin hubungan hanya berdasarkan kalkulasi keuntungan keuntungan material yang akan diperoleh, tidak memakai pertimbangan akal sehat, hati nurani, rasa kemanusiaan, dan keimanan. Manusia modern pun lalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. 4. Akibat kehidupan modern yang demikian kompetitif, maka manusia harus bekerja keras dengan cara mengerhakan seluruh tenaga, pikiran, dan kemapuan tanpa mengenal batas dan kepuasan. Manusia modern sangat ambisius, mereka selalu kekurangan, dna tidak pernah mau mensyukuri nikmat Tuhan. Manusia modern pun banyak mengalami stres, frustasi, depresi berat dan kegilaan. 5. Manusia modern yang sangat ambisius, tidak mau bersyukur, dan kerasukan ideologi materialisme lalu mempergunakan aji mumpung. Sewaktu masih muda, mereka bersenang-senang, berfoya-foya, dan menuruti hawa nafsunya. Saat tubuh telah digrogoti usia dan terus menua, mereka baru menyesal dan terhenyak. Segala yang telah mereka dapatkan dan kumpulkan ternyata tidak mempunyai arti apa-apa. Manusia modern lalu merasakan bahwa dirinya tidak berharga, tidak mempunyai masa depan, merasakan kekosongan batin, dan kehampaan spiritual. Disinilah kehadiran Tasawuf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena Tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan bagi realisasi kerohaniaan yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor syari‘ah. Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari‘ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektuil melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka‘bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT. 101
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 289-300
96
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
D. Fungsi Tasawuf Bagi Masyarakat Modern Masyarakat modern memiliki sikap hidup materialistik (mengutamakan materi), hedonistik (memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat), totaliteristik (ingin menguasai semua aspek kehidupan) dan hanya percaya kepada rumus-rumus pengetahuan empiris saja serta sikap hidup positivistis yang berdasarkan kemampuan akal pikiran manusia tampak jelas menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada diri orang-orang yang berjiwa dan bermental seperti ini, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan, karena mereka yang akan menjadi penyebab kerusakan di atas permukaan bumi, sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Surat Ar-Rum ayat 41:102 Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs)103. Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah104. Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari 102
Artinya: ―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)‖ QS. Ar-Rum: 41 103
Artinya: ―Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku‖. QS Al-Fajr:28-30
97
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
cara hidup seorang sufi. Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.
E. Metode Pembinaan Tasawuf di Zaman Modern 1.
Metode ESQ (Emosional Spiritual Quotient) Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju dan
modern ternyata di sisi lain membawa kerusakan pada kehidupan manusia itu sendiri. Manusia harus menghadapi permasalahan hidup yang semakin kompleks, persaingan yang amat ketat dan pertarungan yang amat tajam. Tidak jarang dalam menghadapi situasi tersebut mereka menghalalkan segala cara, dan tidak peduli dengan efek buruk dan kerusakan yang ditimbulkannya. Contoh, maraknya tindakan korupsi oleh sebagian pejabat pemerintah, yang tentu merugikan negara. Maka agar manusia modern bersih dari perbuatan yang mengarah pada kerusakan, mereka perlu membersihkan jiwa. Mereka perlu penyadaran akan hakikat kebahagiaan yang bukan sekedar materi dunia yang fana, demikian juga hakikat kehidupan dan tanggung jawabnya pada sang Pencipta. Maka disinilah diperlukan tasawuf. Namun sayangnya di era modern, yang segalanya dinilai secara rasional ini, tasawuf dinilai sulit dikembangkan, khususnya sufi klasik, yang ekstrim hanya berusaha mendekatkan diri pada Tuhan namun mengabaikan sisi rasionalitas. Untuk menjawab masalah ini maka disusunlah sebuah model ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian, yang di dalamnya mengandung esensi kesufian, Artinya: ―Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam‖. QS AL-An‘am: 162
98
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dengan kolaborasi ilmu pengetahuan (science) dan dibahas secara rasional, sehingga sesuai dengan situasi masyarakat modern.105 Dengan adanya fenomena kebuntuan dan kegersangan hidup ini pada akhirnya masyarakat modern menemukan adanya eksistensi kecerdasan emosional (EQ) yang dulu belum mampu dilihat oleh kebanyakan orang, kini dinilai patut disejajarkan bahkan berada di atas IQ (Kecerdasan Otak). Para eksekutif, manajer dan wiraswastawan
berhasil
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
dari
mereka
menggantungkan diri pada dorongan suara hati sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya.106 Kesalahan yang terjadi, sehingga terbentuknya masyarakat modern yang hanya mengandalkan IQ tersebut karena memang sejak dari sistem pendidikan selama ini terlalu menekankan pentingnya nilai akademik atau kecerdasan otak (IQ) saja, jarang dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi (EQ) yang mengajarkan : intregitas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi.107 Dengan adanya fenomena kebuntuan dan kegersangan hidup yang terjadi dalam masyarakat modern, maka mendorong sebagian kalangan, yang bahkan menolaknya jauh-jauh dengan masuk ke dalam wacana tasawuf. Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang ‗Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi.108 Melalui Sufisme ini memungkinkan manusia untuk dapat meraih penglihatan dan pemahaman batin, sehingga merasakan kebahagiaan dalam segala situasi yang ia hadapi. Interaksi seseorang Sufi dalam segala lingkungan selalu dalam keharmonisan dan kesatuan sejati dengan seluruh lingkugan alam, yaitu bahwa dalam seluruh keadaan, 105
Basyir Baick, Model ESQ Ari Ginanjar Menjawab Ketimpangan Masyarakat Modern, http://www.basyirbaick.com/model-esq-ary-ginanjar-menjawab-ketimpangan-masyarakat-modern.html. Diakses 12 Juni 2013 106 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): The ESQ way 165: 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2007), 37-38. 107 Ibid, 38-39 108 Mohammad Soleh dan Imam Musbikin, Agama Sebagai Terapi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 35.
99
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
perbuatannya selalu muncul sebagai manifestasi dari cinta kasih dan kebahagiaan hati.109 Namun demikian, tidak sedikit pula mereka yang masuk ke dalam dunia sufi ini yang meresapi secara mendalam, berzikir mendekatkan diri pada Tuhan, namun dan pada akhirnya terlena sehingga mengabaikan urusan keduaniaan. Pada gilirannya kehidupan mereka terasingkan dari masyarakat pada umumnya. Mereka ini secara umum adalah dari kalangan sufi klasik, meskipun sebenarnya tidak semuanya pengikut sufi klasik mengalami hal demikian ini. Pengikut sufi klasik yang ekstrim semacam ini hanya memaksimalkan kecerdasanspiritual (SQ) saja namun mengabaikan kecerdasan yang lain. Hal ini sangat kontras dan bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat modern ekstrim, yang hanya mengandalkan kecerdasan intelektual (IQ) saja. Maka tidak jarang sebagian masyarakat muslim modern, yang tidak memahami dunia sufi, mengatakan bahwa sufi adalah sesat. Mereka berpendapat demikian salah satunya dengan alasan bahwa ajaran Islam
datang
untuk
menjaga
akal,
sementara
ajaran
sufi
datang
untuk
110
menghilangkan akal.
Terjadinya konflik antara kaum sufi dengan kaum modern tersebut dikarenakan mereka sama-sama hanya menerapkan kecerdasan dari aspek tertentu saja dan mengabaikan kecerdasan pada aspek yang lain. Perlu diingat bahwa dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga bentuk kecerdasan, yang antara lain yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Antara IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang seharusnya mampu bersinergi secara proporsional, sehingga menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Sebenarnya langkah masyarakat modern dengan menambahkan penekanan pada aspek EQ untuk lebih diperdalam, telah sedikit berhasil membantu dalam usaha melepaskan kegalauan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Namun demikian, Ketakjuban akan EQ (Kecerdasan Emosi) tidak terlalu lama berlangsung, karena muncul pendapat baru bahwa EQ dan IQ hanya berorientasi pada materi semata-mata. Maka untuk untuk kemudian ditemukanlah aspek lain yang sangat penting yaitu berupa kecerdasan spiritual (SQ). SQ ini merupakan temuan ilmiah yang pertama kali digagas oleh Danah Johar dan Ian Marshall dengan pembuktian ilmiah tentang kecerdasan 109 110
Syekh Fadhilla, Dasar-dasar Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka sufi, 2003), 134. Ibid
100
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
spiritual. Adapun yang di paparkan oleh kedua ahli ini antara lain adalah: pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michel Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran yang menemukan eksistensi GodSpot dalam otak manusia, ini sebagai pusat spiritual yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak.111 Untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat modern, yang hingga sekarang masih banyak yang tetap hanya menekankan aspek IQ saja, maka saat ini muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan aspek EQ dan SQ pada mereka sebagai penyeimbang. Adapun salah satu usaha penekanan aspek EQ dan SQ pada masyarakat yang hanya menekankan IQ tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah model yang diberi nama ESQ. Dalam model ESQ tersebut manusia diarahkan menuju pada sebuah keseimbangan antara Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual). Meskipun model ESQ yang di gagas oleh Ary Ginanjar ini tidak menyebutkan diri sebagai aliran sufi, namun dengan jelas bahwa arah pembahasannya sejalan dengan tasawuf, yang pada garis besarnya mengarahkan kita pada pendekatan diri pada Tuhan dengan kesadaran cinta yang mendalam. Adapun perbedaan yang cukup signifikan antara model ESQ ini dengan aliran sufi secara umum, bahwa ESQ ini menyatukan antara kesadaran keilahian dengan aspek ilmu pengethuan (science) yang dibahas secara rasional, dan dikemas secara modern. Disamping itu zikir yang dipakai dalam ESQ ini bersifat lebih umum, seperti Asma‘ul Husnah, tidak seperti pada tarekat, kelompok-kelompok sufi pada umumnya, yang memiliki model zikir secara khusus. 112 Apa bila kita memahami buku-buku ESQ yang di tulis Ary Ginanjar, yang sebagian diantaranya yaitu, ―Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam‖, juga buku yang lain, ―Spiritual Company: Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampium Bisnis Dunia‖, maka secara global kita akan mendapati bahwa model ESQ ini banyak sisi kesamaan dengan ajaran tasawuf yang di ajarkan dalam tarekat-tarekat. Adapun kesamaan tersebut antara lain, muhasabah (melakukan perhitungan atau intropeksi diri), sabar dalam pengaturan diri dan hubungan dengan orang lain, raja' (optimisme), itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), 111 112
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses…, 44. Basyir Baick, Model ESQ Ari Ginanjar Menjawab….http
101
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
syaja'ah (ketrampilan sosial dan beraninya dalam menjalani kehidupan untuk berjuang bersama orang lain), dermawan berarti ada konsep untuk mempunyai harta terlebih dahulu.113 Apabila model ESQ dari Ary Ginanjar, dengan aspek sufistik ini diterapkan pada masyarakat modern dan di praktekkan dengan sungguh-sungguh, tentunya masyarakat modern akan terhindar dari efek buruk dan kerusakan yang ditimbulkan oleh laju kemodernan itu sendiri. Dan dengan ini diharapkan akan tercipta kehidupan yang aman, tentram dan damai di dunia, dengan kebahagiaan yang hakiki hingga di akhirat kelak. 2. Majlis Dzikrullah Dzikir merupakan upaya mengingat Allah dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang berdasarkan kemauan orang yang berdzikir. Proses semacam inilah yang harus dilalui seorang sufi dalam mencapai maqamat (jenjang spiritual, seperti: tobat, warak, zuhud, dll) serta mendapatkan ahwal (kondisi atau perasaan yang datang secara tak sengaja dari Allah, seperti khauf, raja‟ dll).114 Zikir merupakan sunnatullah. Tuhan menciptakan semua makhluk-Nya dalam ikatan zikir kepada-Nya. Begitu pun manusia. Sejak ruh ditiupkan pertama kali ke dalam diri manusia, sudah berlangsung perjanjian antara manusia dengan Allah. Sebuah perjanjian ketuhanan di mana manusia mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya. Dalam kehidupan sehari-hari, pengakuan tersebut termanifestasi dalam bentuk ibadah (zikir) kepada-Nya. Zikir bisa berwujud dalam beragam bentuk. Ia bisa berupa lantunan katakata (zikir lisan), bisa juga dalam bentuk mengingat dengan hati (zikir kalbu), juga bisa dalam bentuk perilaku yang baik (zikir amal). Masing-masing saling terkait dan saling melengkapi. Salah satu Majlis Dzikir yang didirikan oleh Ustad Arifin Ilham di Depok Jawa Barat. Salah satu fenomena sufisme perkotaan yakni ada dan berkembangnya majelismajelis keagamaan dan spiritual di perkotaan. Dan keberadaannya bukan sekadar ritual semata, namun menjadi tren yang digandrungi dan berpengaruh bagi masyarakat perkotaan. Salah satu majelis besar di Jakarta dipimpin oleh salah seorang ustad yang sangat populer di negeri ini, yakni Ustad Arifin Ilham. Namanya Majelis Zikir Az Zikra. Majelis ini pertama kali didirikan di Depok sekitar 15 tahun lalu. Salah satu ciri 113
Ibid
102
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
yang menjadikan majelis ini mendapat sambutan besar dari masyarakat Jakarta yakni zikir-zikirnya dilantunkan dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami dan diikuti oleh jamaah majelis. Selain itu, ustad juga selalu menyampaikan arti zikir yang dilantunkannya, sehingga zikir-zikir itu dapat dipahami arti dan maknanya oleh jamaahnya. Dengan begitu diharapkan zikir-zikir itu dapat meresap hingga ke dalam hati setiap pembacanya. Majelis yang berbasis di kawasan Sentul, Bogor ini memiliki misi untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia yang memiliki pribadi berzikir. Mereka diharapkan bisa membawa kedamaian dan keselamatan bagi dunia dan akhirat. Minimal, untuk diri sendiri. Pribadi berzikir maksudnya sebuah pribadi yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan di dunia. Berbicara dengan santun, gemar berzikir, penuh kasih sayang, dan melakukan tindakan yang baik sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan hadis.Untuk mencapai misi tersebut, majelis ini memiliki banyak kegiatan yang dilakukan secara rutin. Di antaranya adalah pengajian, kajian Muslimah, qiyamul lail bersama, hingga zikir akbar. Semua kegiatan majelis ini berpusat di masjid yang terletak di kawasan Sentul, yang masih satu komplek dengan perumahan islami yang juga dikelola oleh majelis ini. Zikir akbar yang biasa dilaksanakan setiap hari Ahad pertama di setiap bulan itu dihadiri oleh sekitar sepuluh ribu jamaah yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Selain sebagai ritual yang berpahala, zikir bersama yang diselenggarakan oleh Majelis Az Zikra ini juga bertujuan untuk memberikan ketenangan dan kedamaian jiwa bagi para jamaahnya, sekaligus pelepas dahaga rohani yang kerap melanda masyarakat Ibu Kota. Dari Sentul, telah lama Ustad Arifin Ilham menanam benih sufisme di Ibu Kota Jakarta. Dan kini, gema, pengaruh, dan manfaatnya sangat terasa di masyarakat perkotaan Jakarta dan sekitarnya. Ia bagai oase di tengah gersang-nya Ibu Kota dari nilai-nilai spiritual.115
F. KESIMPULAN Dapat dikatakan bahwa taswuf adalah kepasrahan mutlak pada kekuasaan al-Haqq dan berusaha mengidentikkan dirinya dengan al-Haqq untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan mencapai tingkat kesempurnaan manusia serta berpegang teguh pada prinsip114
Said Aqiel Siradj, Zikir Sufi: Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, Qamaruddin (Ed), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 165-166
103
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
prinsip ajaran islam. masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Model pembinaan tasawuf untuk masyarakat modern salah satunya Model ESQ. model ini Untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat modern, yang hingga sekarang masih banyak yang tetap hanya menekankan aspek IQ saja, maka saat ini muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan aspek EQ dan SQ pada mereka sebagai penyeimbang. Adapun salah satu usaha penekanan aspek EQ dan SQ pada masyarakat yang hanya menekankan IQ tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah model yang diberi nama ESQ. Dan model yang lain adalah model Majelis Dzikrullah yaitu Namanya Majelis Zikir Az Zikra. Majelis ini pertama kali didirikan oleh Ustad Arifin Ilham di Depok. Salah satu ciri yang menjadikan majelis ini mendapat sambutan besar dari masyarakat Jakarta yakni zikir-zikirnya dilantunkan dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami dan diikuti oleh jamaah majelis. Selain itu, ustad juga selalu menyampaikan arti zikir yang dilantunkannya, sehingga zikir-zikir itu dapat dipahami arti dan maknanya oleh jamaahnya.
115
Ibid
104
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar. 2007. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): The ESQ way 165: 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Fadhilla, Syekh. 2003. Dasar-dasar Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka sufi Hall, C.S. dan Lindzey, G. 1978. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Noer, Deliar. 1987. Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet XII. Jakarta: Balai Pustaka. Ritzer, G. & Goodman, D.J. 2003. Modern Sociology Theory, 6 th Edition. New York: McGraw Hill Siradj, Said Aqiel. 2002. Zikir Sufi: Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, Qamaruddin (Ed). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Soleh, Mohammad dan Musbikin, Imam. 2005. Agama Sebagai Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Syukur, Amin. 2000. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN-Malang Press Taufik. 2005. Fenomena Dzikir Sebagai Eskapisme Spiritual Masyarakat Modern, dalam Jurnal SUHUF Vol XVII No. 2. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
105
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam ( Kajian Penerapan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga )
Jakaria Umro Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Anak merupakan amanah Allah SWT kepada orang tua yang harus dididik menjadi manusia yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Dalam posisi ini, orang tua mempunyai kedudukan penting dalam membentuk karakter anak. Namun, pada era saat ini semakin banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh anak. Hal ini salah satunya menandakan ada sesuatu yang kurang dalam pendidikan yang dilakukan oleh orang tua di dalam keluarga. Yang menjadi permasalahan ini adalah bagaimana konsep pendidikan karakter anak dalam keluarga, materi apa saja yang harus diberikan dalam pendidikan karakter anak dalam keluarga, dan bagaiman penerapan yang digunakan dalam pendidikan karakter anak. Dalam penerapan pendidikan karakter anak yang diterapkan dalam keluarga sangatlah komplit, tidak hanya pada kejujuran saja, akan tetapi juga terkait dengan bagaimana mereka manjadi anak yang selalu terbiasa hidup disiplin mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan dalam keluarga, mandiri, hemat, sopan santun, tanggungjawab, amanah, toleran, peduli, demokratis, percaya diri, kreatif dan cinta damai. Kata kunci : Penerapan, Pendidikan Karakter, Perspektif Islam, Keluarga
Pendahuluan Memasuki abad ke-21 ini dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah memasuki abad ke-21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru,
106
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dunia terbuka sehingga orang bebas mengakses informasi maupun membandingkan kehidupan dengan negara lain. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, era globalisasi saat ini merupakan tantangan besar bagi orang tua dalam upaya mendidik anak. Teknologi yang semakin canggih dan akses informasi yang semakin mudah sedikit banyak mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Akibatnya, fenomena di masyarakat kita saat ini terhiasi dengan kian maraknya tawuran antar pelajar, perilaku remaja yang menyimpang, seks bebas dan masih banyak lagi kejadian yang jauh dari nilai-nilai karakter Islami. Orang tua pun banyak mengeluh atas kenakalan anak-anak mereka yang sukar dikendalikan, keras kepala, tidak mau menurut perintah orang tua, sering berkelahi, tidak mau belajar, merusak milik orang lain, merampok, menipu dan suka berbohong serta kerendahan moral lainnya.116 Jika kondisi ini dibiarkan, kasus-kasus seperti ini nampaknya akan terus meluas seiring perkembangan kemajuan zaman. Dan jika hal ini terus berlanjut maka anak sebagai generasi Islam tidak mempunyai dasar karakter yang kuat dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam kondisi ini banyak orang tua yang kurang menyadari apa penyebab dari tingkah laku anak mereka. Orang tua lebih melempar tanggungjawab pembinaan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah. Padahal penanaman karakter pada diri anak bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, artinya tidak harus melalui jalur pendidikan formal. Namun orang tua sebagai pemilik anak yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang sangat besar dan utama dalam hal ini. Maka hal yang perlu ditinjau ulang terlebih dulu adalah bagaimana pendidikan yang telah dilakukan oleh orang tua. Banyak kasus kenakalan yang dilakukan oleh anak lebih banyak disebabkan karena kondisi orang tua sendiri, seperti kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua, kurangnya pendidikan yang diberikan kepada anak di rumah, kondisi keluarga yang tidak harmonis dan lain sebagainya. Dalam keluarga tidak berlangsung proses penanaman karakter pada diri anak. Melihat adanya kenyataan tersebut mengindikasikan perlunya pengembangan pendidikan karakter pada anak, pendidikan yang tidak sekedar pengetahuan atau kecerdasan intelektual semata, tetapi juga menjangkau dalam wilayah moral atau kepribadian sesuai ajaran Islam. Pendidikan karakter memiliki sifat bidireksional (dua 116
Sofyan Sori, Kesalehan Anak Terdidik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006), 34.
107
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
arah) dimana arahannya adalah anak mampu memiliki ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. 117 Hal ini senada seperti yang diungkapkan Thomas Lickona ada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yang harus terintegrasi dalam pembentukan karakter, yaitu: knowing the good (moral knowing), feelling the good (moral feeling), dan acting the good (moral action).118 Akan tetapi, proses pendidikan yang telah berjalan selama ini menemui banyak kendala, terutama dalam hal kurangnya penerapan metode maupun pemahaman aspekaspek yang tepat khususnya dalam pola pendidikan karakter anak yang bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim. Oleh karena itu, peran orang tua sebagai pendidik dalam keluarga harus mampu memberikan metode dan aspek materi pendidikan karakter yang sesuai dengan perkembangan anak-anaknya. Salah satu tuntunan Rasulullah SAW tentang metode pendidikan pada anak, dengan langkah mengajarkan ibadah sholat kepada anak, sebagaimana sabda beliau yang artinya, "Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak mengerjakannya) ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidut mereka" (HR. Abu Daud) Dalam hal ini Rasulullah SAW mengajarkan pada kita tentang implikasi penerapan yang sangat berperan penting dalam menanamkan karakter anak. Maka dari itu, kita perlu menggali lebih dalam bagaimana penerapan dan panduan Rasulullah dalam hal mendidik anak, karena sesungguhnya setiap apa yang Rasulullah ajarkan adalah sebagai solusi dalam setiap problem yang kita temui di kehidupan kita. Dengan penjelasan tersebut diatas, maka penulisan tentang pendidikan karakter dalam pandangan islam sangatlah urgen dalam keluarga. Bagaimana konsep tentang pendidikan karakter? Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam perspektif islam dan Bagaimana penerapan pendidikan karakter anak dalam keluarga? Dengan beberapa permasalahan ini, maka penulis akan menyajikan yang berkaitan dengan problematika pendidikan yang terjadi di lingkungan keluarga. Sehingga dengan tulisan inilah akan 117
Dony Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), 112. 118 Moh. Tolchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis), (Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia, Cet. Pertama, 2000), 98.
108
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
membantu dalam pengembangan pendidikan islam ke depannya khususnya dalam pendidikan keluarga.
Konsep Tentang Pendidikan Karakter 1.
Pengertian Pendidikan Karakter Secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa lattin kharakter, kharassein,
dan kharax yang maknanya ―tools for marking‖, ―to engrave‖, dan ―pointed stake‖. Kata ini dimulai banyak digunakan pada abad ke-14 dalam bahasa Perancis caractere, kemudian masuk dalam bahasa inggris menjadi character dan akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter.119 Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. 120 Menurut Wayne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Menurutnya ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, menunjuk pada bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila berperilaku tidak jujur, kejam tentu orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personaliti. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.121 Dalam hal ini karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilainilai kebaikan dalam bentuk tingkah laku. Walaupun istilah karakter dapat menunjuk kepada karakter baik atau karakter buruk, namun dalam aplikasinya orang dikatakan berkarakter jika mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam perilakunya. 122 Orang yang disebut berkarakter ialah orang yang dapat merespon segala situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa karakter merupakan nilai-nilai 119
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), 102. Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan, 2003), 300. 121 Ratna Megawangi, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com dalam google.2008. diakses 20 Pebruari 2017 122 Euis Sunarti, Menggali Kekuatan Cerita, (Jakarta: PT Elex Media komputindo, 2005), hal 1. 120
109
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan dan pengalaman yang menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilakunya. Ada lima kriteria ciri orang yang memiliki karakter, yakni:123 a. Apabila orang tersebut memegang teguh nilai-nilai kehidupan yang berlaku universal. b. Memiliki komitmen kuat dengan memegang prinsip kebenaran hakiki. c. Harus mandiri meski menerima masukan dari luar. d. Teguh akan pendirian yang benar. e. Memiliki kesetiaan yang solid. Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap tiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya. 124 Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang memiliki karakter berarti memiliki kepribadian. Keduanya diartikan sebagai totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak, budi pekerti dan sifat-sifat kejiawaan lainya.125 Hal senada disampaikan oleh Shimon Philips, bahwa karakter diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan.126 Perilaku tertentu seseorang, sikap atau pikirannya yang dilandasi oleh nilai tertentu akan menunjukkan karakter yang dimilikinya. Pengertian karakter di atas menunjukkan dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Dimana prilaku tersebut merupakan manifestasi dari karakter. Orang yang berprilaku tidak jujur, rakus dan kejam, tentulah ia memanifestasikan perilaku/karakter buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku jujur, suka menolong tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter berkaitan dengan dengan personality. Seseorang baru bisa 123
Adrinus, Memimpikan Manusia Indonesia Berkarakter, www.equator-news.com dalam google.com. 2010. diakses 20 Pebruari 2017 124 Fathul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011), 162. 125 Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 11.
110
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.127 Pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistic yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan daam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain
kejujuran,
kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial,
kecerdasan berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tertentu. penenaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik, baik lingkungan sekolah, kelarga maupun masyarakat termasuk lingkungan exposure media massa. Pendidikan karakter dari sisi substansi dan tujuannnya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar atas individu. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Secara hakiki, budi pekerti berisi nilainilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata kerama, sopan santun dan norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti ini akan mengidentifikasi perilaku positif yang 126
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidika anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 80. 127 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2011), 15.
111
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasan, dan kepribadian manusia. Istilah karakter juga memiliki kedekatan dengan etika. Karena umumnya orang dianggap memiliki karakter yang baik jika mampu bertindak berdasarkan etika yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. 128 Penyebutan etika dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethos atau ethikos (etika) yang mengandung arti usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau menjadi baik. Etika dalam arti etimologi diidentikan dengan moral yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun etika dan moral ini sinonim, namun focus kajian keduanya dibedakan. 129 Pendidikan
karakter
secara
terperinci
memiliki
lima
tujuan.
Pertama,
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan prilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kratif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatn, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan karakter yang harus lampaui, yaitu:130 a. Moral Knowing, tahap ini adalah langka pertama dalam pendidika karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin. 128 129
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Pusat Filosof, 1987), 4. Maftukhin, ― Etika Imperatif Kategoris‖ dalam Filsafat Barat, (Yogyakarta: Arruz Media,
2007), 194. 130
Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 113.
112
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
b. Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal. c. Moral Doing/Acting, merupaka outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari. Ketiga tahapan di atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter topeng. 2.
Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang
menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).131 Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates, Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Nabi Muhammad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran Nabi Muhammad SAW tersebut dengan menyatakan ―Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.132 Selain itu, pendidikan karakter mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. b. Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur. c. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. 131
Abdul Majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), 29. 132 Abdul Majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), 29.
113
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter atau akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah ―membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.‖ Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya
sudah
tentu
untuk
memperoleh
yang
baik,
seseorang
harus
membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.133 Meskipun dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri dapat dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan setidaknya melalui berbagai media, yang di antarnya mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa. Manusia secara natural memang memiliki potensi didalam dirinya. Untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan manusia dan keterbatasan budayanya. Di pihak lain
manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan
sekitarnya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin menjadi manuusiawi berarti 133
Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008), 25.
114
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
membuat ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya, sehingga ia menjadi manusia yang bertanggungjawab. Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Peranan nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan kedua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan.134 3.
Pendekatan dalam Pendidikan Karakter Superka dengan lebih detail memberikan 5 pendekatan yang dapat digunakan
dalam pendidikan nilai dan karakter. Pendekatan tersebut adalah pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan
klarifikasi
nilai
(values
clarification approach),
pembelajaran berbuat (action learning approach).
dan pendekatan
135
Ada lima tipologi pendekatan yang sering digunakan oleh pakar pendidikan, yaitu:136 a. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai social dalam diri siswa. Menurut pendekatan ini, tujuan pendidikan nilai adalah diterimanya nilai-nilai social tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai social yang diinginkan. Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negative, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. b. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) Dikatakan
pendekatan
perkembangan
kognitif
karena
karakteristiknya
memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan 134
Doni Koesoema A., Pendidiakn Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 134 Douglas P. Superka, dkk, Values Education Sourcebook, Conceptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography, Colorado: Social Science Eucation Consortium Inc., 1976, 7. 135
115
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
ini mendorong siswa untuk berfikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam
membuat
keputusa-keputusan
moral.
Menurut
pendekatan
ini,
perkembangan moral dilihat sebagai perkembangan tingkat berfikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. c. Pendekatan analisis nilai (Values analysis approach) Pendekatan analisis nilai
memberikan penekanan pada
perkembangan
kemampuan siswa untuk berfikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai social. Pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai social. d. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) Pendekatan klarifikasi nilai member penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Menurut pendekatan ini, tujuan pendidikan karakter ada tiga; membantu siswa agar menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain, membantu siswa agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, dan membantu siswa agar mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berfikir rasional dan kesadaran emosional, mampu memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. e. Pendekatan pembelajaran berbuat (Action learning approach) Pendekatan pembelajaran berbuat menekankan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Pendidikan Karakter Anak dalam Islam dan Implementasinya 1.
Karakter Perspektif Islam Setelah mengetahui tentang konsepsi pendidikan karakter yang telah dijelaskan di
atas, maka dalam kali ini pandangan Islam terhadap pendidikan karakter seperti apa? Apakah sama dengan akhlak? Ataukah sebaliknya?. Sebagaimana yang diungkap oleh 136
http://lili-fadliah.blogspot.co.id/2013/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses tanggal 20 Pebruari 2017
116
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Ahmad Tafsir bahwa karakter adalah sama dengan akhlak. Sehingga dengan demikian, bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak. Sebagaimana penulis identifikasi bahwa kata akhlak dalam bahasa Indonesia, biasanya diterjemahkan dengan budi pekerti atau sopan santun atau kesusilaan.137 Dalam bahasa Inggris, kata akhlak disamakan dengan ―moral‖ atau ―ethic‖, yang sama-sama berasal dari bahasa Yunani, ―mores‖ dan ―ethicos‖ yang berarti kebiasaan.138 Secara etimologi akhlak mempunyai beberapa pengertian, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa tokoh diantaranya adalah: Pertama, Ibn Maskawaih bahwa khuluq atau akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa memerlukan pemikiran.139 Kedua, al-Ghazali bahwa khuluk atau akhlak adalah keadaan jiwa yang menumbuhkan perbuatan dengan mudah tanpa perlu berfikir terlebih dahulu.140 Ketiga, Ahmad Amin bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Maksudnya, jika kehendak tersebut membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu tersebut akhlak.141 Keempat, Rahmad Djatnika bahwa akhlak, „adat atau kebiasaaan adalah perbuatan yang diulang-ulang.142Dengan penjelasan tersebut dapat dikonklusikan bahwa pengertian akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, sehingga mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak atau karakter sangat penting, karena akhlak adalah kepribadian yang mempunyai tiga komponen, yaitu tahu (pengetahuan), sikap, dan perilaku. Hal tersebut menjadi penanda bahwa seseorang layak atau tidak layak disebut manusia. Karakter adalah watak, sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-hal yang sangat abstrak yang ada pada diri seseorang. Sering orang menyebutnya dengan tabiat atau perangai. Dalam pandangan Islam bahwa pendidikan karakter dalam Islam yang memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Perbedaanperbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang 137
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Sulusi bagi Kesrusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 39. 138 Ismail Thalib, Risalah Akhlak, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), 4. 139 Ibn Maskawaih, Tahdib al-Akhlaq wa Tathir al-„Araq, Mesir: tp., 25. 140 Al-Ghazali. Ihya‟ „Ulum Al-Din, III, Beirut: Dar Al-Fikr, 48. 141 Ahmad Amin, Al-Akhlaq,(Kairo: Al-Amiriyah, 1945), 3.
117
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral, yang sebagaimana diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya surat al-Baqarah. Yang artinya: ―Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah maha pema'af lagi maha kuasa‖. Dengan ayat tersebut, maka akhlak dalam Islam sangat mulya dan agung bagi orang mampu melakukannya. Dengan hadits Nabi Muhammad SAW. tersebut di atas, jelas bahwa akhlak menjadi persoalan yang sangat penting dalam kehidupan di muka bumi ini. Sebagaimana dalam hadits yang juga disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda-Nya yang artinya: dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah! Siapa dari keluargaku yang berhak atas kebaktianku yang terbaik! Beliau menjawab, ―Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian baru bapakmu, kemudian yang terdekat denganmu, yang terdekat!‖. 143 Dengan berbagai penjelasan di atas, yang berkaitan dengan pendidikan karakter dalam perspektif Islam, maka dapat dijelaskan bahwa pendidikan karakter dalam Islam sama halnya dengan ―akhlak‖. Sehingga pendidikan karakter dalam pespektif Islam lebih menitikberatkan pada sikap peserta didik, yang hal tersebut pada kehendak positif yang dibiasakan, sehingga dia mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran lebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari. 2.
Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Islam untuk Anak Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‗ali, dan nasb. Keluarga
dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.144 Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam disyaratkan dalam al-Qur‘an yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Q.S. al-Tahrim : 6) Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhaan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah 142
Rahmad Djatnika, Sistem Etika Islam Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), 27. Fatihuddin dan Abul Yasin, Himpunan Hadist Teladan Sohih Muslim, Surabaya: Terbit Terang, 133. 143
118
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
SWT di muka bumi (QS. Al-Jumu‘ah: 10) dan selanjutnya dinafkahkan pada anak istrinya (QS. al-Baqarah: 228, 233). Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi SAW. dinyatakan: ―Dan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyai dari pimpinannya itu‖ (HR. Bukhari-Muslim). Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dalam lembagalembaga
berikutnya,
sehingga
wewenang
lembaga-lembaga
tersebut
tidak
diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara pendidikan yang diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.145 Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah sebagai berikut:146 1. Mendo‘akan anak-anaknya dengan do‘a yang baik. (QS. al-Furqan: 74) 2. Memelihara anak dari api neraka. (QS. at-Tahrim: 6) 3. Menyerukan shalat pada anaknya. (QS. Thaha: 132) 4. Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga. (QS. an-Nisa‘: 128) 5. Mencintai dan menyayangi anak-anaknya. (QS. ali Imran: 140) 6. Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya. (QS. al-Taghabun: 14) 7. Mencari nafkah yang halal. (QS. al-Baqarah: 233) 8. Mendidik anak agar berbakti pada bapak-ibu (QS. an-Nisa‘: 36, al-An‘am: 151, al-Isra‘: 23) dengan cara mendo‘akannya yang baik. 9. Memberi air susu sampai 2 tahun. (QS. al-Baqarah: 233) Peranan para orang tua sebagai pendidik adalah:147 1. Korektor, yaitu bagi perbuatan yang baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan memilih yang terbaik bagi kehidupannya; 2. Inspirator, yaitu yang memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak; 144
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke
2, 226. 145
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, 227. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, 228. 147 Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 216. 146
119
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
3. Informator, yaitu memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu pengetahuan anak didik semakin luas dan mendalam; 4. Organisator, yaitu memiliki keampuan mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik dan benar; 5. Motivator, yaitu mendorong anak semakin aktif dan kreatif dalam belajar; 6. Inisiator, yaitu memiliki pencetus gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan anak; 7. Fasilitator, yaitu menyediakan fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak; 8. Pembimbing, yaitu membimbing dan membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional, dan berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma yang berlaku di masyarakat. 3.
Penerapan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga Pada lingkungan keluarga, orang tua/wali mengupayakan pendidikan karakter
melalui kegiatan keseharian di rumah, untuk memperkuat hasil pendidikan karakter yang di lakukan sekolah. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat atau pemerintah. Sekolah sebagai pembentuk kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak adalah dalam keluarga. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib (RA), seorang sahabat utama Rasulullah Muhammad (SAW) menganjurkan: Ajaklah anak pada usia sejak lahir sampai tujuh tahun bermain, ajarkan anak peraturan atau adab ketika mereka berusia tujuh sampai empat belas tahun, pada usia empat belas sampai dua puluh satu tahun jadikanlah anak sebagai mitra orang tuanya. Ketika anak masuk ke sekolah mengikuti pendidikan formal, dasar-dasar karakter ini sudah terbentuk. Anak yang sudah memiliki watak yang baik biasanya memiliki achievement motivation yang lebih tinggi karena perpaduan antara intelligence quotient, emosional quotient dan spiritual quotient sudah terformat dengan baik. Peran orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain: 1) Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anakanaknya. 2) Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ktenangan jiwa anakanak. 3) Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. 4) Mewujudkan kepercayaan. 5) Mengadakan kumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak).
120
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satusatunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak yang secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sisni berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataean teoritis maupun praktis. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa lingkungan rumah dan keluarga memiliki andil yang sangat besar dalam pembentukan perilaku anak. Untuk itu pastilah ada usaha yang harus dilakukan terutama oleh pihakpihak yang terkait didalamnya sehingga mereka akan memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Beberapa contoh penerapan yang dapat dilakukan di lingkungan keluarga: 1) Membiasakan anak bangun pagi, mengatur tempat tidur dan berolahraga. 2) Membiasakan anak mandi dan berpakaian bersih. 3) Membiasakan anak turut membantu mengerjakan tugas-tugas rumah. 4) Membiasakan anak mengatur dan memelihara barang–barang yang dimilikinya. 5) Membiasakan dan mendampingi anak belajar/mengulang pelajaran/ mengerjakan tugas sekolahnya. 6) Membiasakan anak pamit jika keluar rumah. 7) Membiasakan anak mengucap salam saat keluar dari dan pulang ke rumah. 8) Menerapkan pelaksanaan ibadah shalat sendiri dan berjamaah. 9) Mengadakan pengajian Al-Qur‘an dan ceramah agama dalam keluarga. 10) Menerapkan musyawarah dan mufakat dalam keluarga sehingga dalam diri anak akan tumbuh jiwa demokratis. 11) Membiasakan anak bersikap sopan santun kepada orang tua dan tamu. 12) Membiasakan anak menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Menurut Ratna Megawangi, sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yaitu: 1) Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty); 2) Tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); 3) Amanah (trustworthiness, reliability, honesty); 4) Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience); 5) Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, emphaty, generousity, moderation, cooperation); 6) Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasim); 7) Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership); 8) Baik dan rendah
121
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
hati (kindness, friendliness, humility, modesty); 9) Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).148 Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi ―school of love‖, sekolah untuk kasih sayang. Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai ―school of love‖ dapat disebut sebagai ―madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari(ummah) bangsa; dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan (ummah wahidah) bangsa yang satu dan (ummah wasath) bangsa yang moderat, sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah warahmah.
PENUTUP Dengan beberapa paparan yang telah disebutkan di atas, maka jelas bahwa pendidikan karakter dalam perspektif Islam adalah ―karakter‖ sama halnya dengan ―akhlak‖. Sehingga pendidikan karakter dalam perspektif Islam lebih menitikberatkan pada sikap peserta didik, yang hal tersebut pada kehendak positif yang selalu dibiasakan, sehingga mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran terlebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari. Kedudukan akhlak sangatlah urgen dalam kehidupan manusia, sehingga Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. ke muka bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak adalah corak seseorang atau penentu bahwa orang tersebut baik ataupun buruk, sehingga dengan inilah akhlak selalu dijadikan penentu paling terdepan dalam setiap persoalan, termasuk dalam membangun bangsa Indonesia. Penerapan pendidikan karakter anak yang diterapkan dalam keluarga sangatlah komplit, tidak hanya pada kejujuran saja, akan tetapi juga terkait dengan bagaimana mereka manjadi anak yang selalu terbiasa hidup disiplin mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan dalam keluarga diantaranya bersikap hemat, sopan santun, berperilaku 148
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), 110-111
122
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
qana‘ah, toleran, peduli terhadap lingkungan atau orang lain, memiliki jiwa demokratis, optimis, terbiasa berperilaku ridha, produktif dan obyektif. Disamping itu juga anak akan terbiasa untuk menerapkan perilaku Cinta kepada Allah dan kebenaran, Tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian, Amanah, Hormat dan santun, Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah hati, Toleransi dan cinta damai.
DAFTAR PUSTAKA Adrinus, Memimpikan Manusia Indonesia Berkarakter, www.equator-news.com dalam google.com. 2010. diakses 20 Pebruari 2017 Al-Ghazali. Ihya‟ „Ulum Al-Din, III, Beirut: Dar Al-Fikr. Aman, Saifuddin. 2008. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta: Al-Mawardi Prima. Amin, Ahmad. 1945. Al-Akhlaq. Kairo: Al-Amiriyah. Burhanudin, Tamyiz. 2001. Akhlak Pesantren: Sulusi bagi Kesrusakan Akhlak. Yogyakarta: Ittaqa Press. Djatnika, Rahmad. 1992. Sistem Etika Islam Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Panjimas. Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: CV. Alfabeta. Fadliah, Uswatun. 2013. Pendidikan Karakter : Pendekatan Dan Implementasi. http://lili-fadliah.blogspot.co.id/2013/04/normal-0-false-false-false-en-us-xnone.html. Fatihuddin dan Yasin, Abul.
Himpunan Hadist Teladan Sohih Muslim, Surabaya:
Terbit Terang. Hasan, Moh. Tolchah. 2000. Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis), Cet. Pertama. Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia. Koesoema A., Dony. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Grasindo. Koesuma A., Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi mendidik anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Madjid, Abdul. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya. Majid, Abdul dan Andayani, Dian. 2010. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama.
123
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Magnis S., Franz. 1987. Etika Dasar. Jakarta: Pusat Filosof. Maftukhin. 2007. “Etika Imperatif Kategoris” dalam Filsafat Barat. Yogyakarta: Arruz Media. Maskawaih, Ibn, Tahdib al-Akhlaq wa Tathir al-„Araq, Mesir: tp. Megawangi, Ratna, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com dalam google.2008. diakses 20 Pebruari 2017 Muin, Fathul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik. Jogjakarta: Ar Ruzz. Mujib, Abdul dan Mudzakkir, Jusuf. 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. ke-2. Jakarta: Kencana. Salahudin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Sori, Sofyan. 2006. Kesalehan Anak Terdidik. Yogyakarta: Fajar Pustaka. Sunarti, Euis. 2005. Menggali Kekuatan Cerita. Jakarta: PT. Elex Media komputindo. Superka, Douglas P., dkk. 1976. Values Education Sourcebook, Conceptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography. Colorado: Social Science Eucation Consortium Inc. Thalib, Ismail. 1984. Risalah Akhlak. Yogyakarta: Bina Usaha. Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan. 2003. Kamus Cerdas Bahasa Indonesia Terbaru. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan. Zaim, Elmubarok. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV. Alfabeta. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.
124
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
KONSEP KOMPETENSI GURU PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Qalam Ayat 1 – 4) M. Ma’ruf, S.S, M.Pd.I Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Guru adalah orang yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pendidikan muridnya. Ini berarti guru harus memiliki dasar-dasar kompetensi sebagai wewenang dan kemampuan dalam menjalankan tugasnya.Oleh karena itu kompetensi harus mutlak dimiliki guru sebagai kemampuan, kecakapan dan ketrampilan mengelola pendidikan. Dalam al-Qur‘an Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan (ulama‟/Guru) beberapa derajat. Sehingga, guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan di bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Maka para guru dan calon guru harus dapat mengembangkan potensi, sehingga dapat menjadi guru yang berkompeten sesuai yang telah diajarkan dalam kitab suci al-Qur‘an. Diantara kompetensi guru dalam surah al-Qalam ayat 1-4 yaitu; (1) Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasidan komunikasi untuk pengembangan diri maupun kepentingan pembelajaran, (2) Harus memiliki kualitas kesabaran, rasa percaya diri, berani, semangat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, (3) Bertanggung jawab secara penuh serta memiliki etos kerja yang tinggi dengan tugasnya sebagai pendidik, (4) Memiliki kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kata kunci: Kompetensi guru, al-Qur‘an
A. Pendahuluan Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan di bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Karena tingginya kedudukan tenaga profesional di bidang pendidikan,
125
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
maka seorang guru disamping harus memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konseptual, harus pula mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis.149 Kitab suci umat Islam, al-Qur‘an juga memberikan pandangan khusus terhadap kedudukan guru. Karena pada dasarnya, tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran dari Islam itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam alQur‘an surat al-Mujadalah ayat 11; Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.150 Selain ayat di atas, Rasulullah SAW.juga secara tegas menjelaskan akan kedudukan guru dalam sebuah hadits, yakni : صههّ ه َّللا ََ َمب ُ عه أبّ ٌ َُشٔ َْشة َ َٔمُُ ُل َس ِم ْعجُ َس ِ َّللاُ َعهَ ْٕ ًِ ََ َسهه َم َٔمُُ ُل أَالَ ِإ هن انذُّ ْو َٕب َم ْهعُُوَتٌ َم ْهعُُ ٌن َمب فِٕ ٍَب ِإاله ِر ْك ُش ه ِ سُ َل ه َ َّللا (ِ (سَاي انخشمز.ََاالَيُ ََ َعب ِن ٌم أ َ َْ ُمخ َ َع ِ ّه ٌم Artinya: Abu
Hurairah
meriwayatkan
bahwa
dia
mendengar
Rasulullah
SAW.bersabda: “Ketahuilah! bahwa sesungguhnya dunia dan segala isinya terkutuk kecuali zikir kepada Allah dan apa yang terlibat dengannya, orang yang tahu (guru) atau orang yang belajar.(H.R Tirmidzi) Dari ayat dan hadits di atas telah jelas bahwa Islam memuliakan pengetahuan dan sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan (Guru/Ulama).Sebagaimana diketahui bahwa tugas profesi guru adalah; mengajar, mendidik, melatih, dan menilai/mengevaluasi proses dan hasil belajar mengajar. Sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dan berisi inspirasi edukatif adalah al-Qur‘an yang mana juga berisi ayat-ayat yang berkaitan dengan kompetensi guru. Untuk mengetahui secara jelas apa 149
Sardiman A.M., Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2001), hal. 161. 150 Q.S. Al-Mujadalah (58): 11
126
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
saja kompetensi yang terkandung, maka ayat-ayat tersebut perlu ditafsirkan kemudian dianalisis. Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang konsep kompetensi guru dalam surat al-qolam ayat 1 – 4 .
B. Pengertian Kompetensi Guru Kompetensi guru merupakan kemampuan guru untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilannya dalam melaksanakan kewajiban pembelajaran secara profesional dan bertanggungjawab.151 Kompetensi Guru (teacher competency) the ability of a teacher to responsibility perform his or her duties appropriately. Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.152 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa kompetensi guru adalah Seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.153 Menurut Akmad Sudrajat, ―Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaanya, baik yang berupa kegiatan dalam berperilaku maupun hasil yang ditujukan‖ 154 Selanjutnya jika kita mencoba mengikuti petunjuk al-Qur‘an, maka kompetensi yang harus dimiliki guru tentu erat kaitannya dengan orang yang berhak menjadi guru menurut kitab suci tersebut. Pertama, Allah yang memiliki pengetahuan yang sangat luas (al-Alim) dan juga pencipta, sehingga ini menjadi isyarat bahwa guru haruslah sebagai peneliti yang menemukan temuan baru. Sifat lainnya adalah mengetahui kesungguhan manusia yang beribadah kepada-Nya, mengetahui siapa yang baik dan yang buruk dan mengusai metode-metode dalam membina umat-Nya. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam QS.al-Alaq, al-Muzzammil dan al-Muddatstsir. Kedua, sebagai guru menurut al-Qur‘an adalah Nabi Muhammad SAW.Allah juga meminta beliau agar membina masyarakat dengan perintah untuk berdakwah 151
Sardiman A.M., Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, hal. 2. Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 14 153 Tim Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Guru dan Dosen, hal. 4. 154 (http://akmadsudrajat.wordpress.com). 2007 152
127
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
sebagaimana tercantum dalam QS.al-Muddatstsir dan berhasil dengan menguasai berbagai metode, antara lain: menyayangi, memberi keteladanan yang baik dan mengatasi masalah yang dihadapi umat. Ketiga, Orang tua dengan menasehati anaknya untuk tidak menyekutukan Allah, takut kepada-Nya di mana saja berada, mendirikan shalat, amar ma‟ruf nahi munkar, sabar dalam menghadapi penderitaan dan pendidikan akhlak dengan sesama manusia seperti tergambar dalam surah Luqman (31) ayat 12-19.
Artinya: Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
128
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun155. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus156 lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan157 dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.158 Keempat, orang lain, yakni adanya Nabi Khidir yang menduga Nabi Musa tidak mampu bersabar, karena memiliki ilmu. Oleh karenanya Nabi Musa diminta untuk bersabar dan agar tidak bertanya sebelum dijelaskan.159 Semuanya telah dijelaskan dalam surah Al-Kahfi (18) ayat 60-82. 155
Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun. 156 Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimana kecilnya. 157 Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat. 158 Q.S. Luqman (31): 12-19 159 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 117-119
129
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya 160: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena 160
Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya 'bin Nun.
130
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami161. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai 161Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan
131
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatanperbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".162 Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kompetensi guru merupakan seperangkat penguasaan kemampuan yang harus dimiliki guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.
C. Konsep Kompetensi guru yang terkandung dalam Surat al-Qalam ayat 1-4. Surah ini populer dengan nama Surah al-Qalam atau Surah Nun ada juga yang menggabung kedua kata itu yaitu Surah Nun Wal Qalam. Mayoritas ulama menyatakan bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah Makkiyah, diturunkan sebelum Nabi SAW. berhijrah ke Madinah. Sebagian ulama dengan mengutip Riwayat Ibn ‗Abbas r.a menyatakan bahwa awal surah ini sampai ayat 16 adalah Makkiyah, lalu ayat 17 sampai ayat 33 adalah Madaniyyah, selanjutnya ayat 34 sampai 47 adalah Makkiyah lagi, dan diterangkan dengan ayat-ayat berikut. 162 Q.S. Al-Kahfi (18): 60-82
132
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
selebihnya ayat 48 sampai 50 adalah Madaniyyah lagi. Jumlah ayat surah ini menurut perhitungan semua ulama ada 52 ayat.163 Sahabat Nabi SAW., Jabir Ibn Abdillah ra. menyatakan bahwa surah al-Qalam adalah surah kedua yang diterima Nabi SAW., setelahnya surah al-Muzzammil baru alMuddatstsir. Sayyid Quthub berpendapat lain. Menurutnya, tidak dapat ditentukan kapan persisnya surah ini turun. Menurutnya, banyak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa surah ini adalah surah kedua turun setelah surah Iqra‘, tetapi tema surah dan uslub (gaya) bahasa yang digunakan dalam surah tersebut membuat beliau berpandangan lain, bahkan menurutnya, hampir dapat dikatakan bahwa surah ini turun setelah kurang lebih 3 tahun dakwah Nabi SAW. yang diarahkan kepada perorangan. Ia turun pada saat kaum musyrikin Mekkah menolak dan memerangi dakwah Nabi itu, sehingga menuduh Nabi dengan tuduhan orang gila, maka al-Qur‘an membantah dan menafikan serta mengancam mereka yang menghalangi dakwah sebagaimana diungkap pada awal surah.Sayyid Quthub juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa sebagian surah ini Makkiyah dan sebagiannya lagi Madaniyyah. Beliau menegaskan bahwa semua ayat-ayatnya adalah Makkiyyah, dengan alasan bahwa ciri uraian ayatayatnya adalah ciri Makkiyyah yang sangat menonjol.164 Banyak riwayat yang menyatakan surah ini merupakan surah kedua sebagaimana diakui juga oleh Sayyid Quthub, membuat sebagian ulama mengesampingkan pendapat Sayyid Quthub di atas, tetapi argumentasi Sayyid Quthub pun sungguh sangat logis sehingga bertawaqquf (tidak menerima atau menolak salah satu dari pendapat yang berbeda) adalah salah satu cara yang ditempuh.165 Dalam analis kandungan surah al-Qalam ayat 1-4 penulis mendapatkan kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru diantaranya adalah: 1.
Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasidan komunikasi untuk pengembangan diri maupun kepentingan pembelajaran. Kompetensi di atas tergambar pada ayat ke 1 Surah al-Qalam
163
Widya Suhartini, Al-Qur‘an Dan Ayat-Ayat. (Jakarta: Referensi, 2012), hal 56 164 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid II, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hal. 382-383 165 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, hal. 385
133
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Artinya: Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis.166 Huruf ‖ ‖نketika difahami, tidak ada yang tahu kecuali Allah, seperti halnya huruf-huruf lain yang dibuat sebagai fawatihus suwar. Namun terdapat beberapa pendapat Mufassir yang menjelaskan makna ayat ini. Imam Alusi mengatakan bahwa Nun adalah Tinta.Pendapat ini mengutip dari riwayat Imam Mujahid, Ibnu Abbas, Hasan, Qatadah dan Dlahhak.167 Hamka pun menyebutkan riwayat lain dari Ibnu Abbas, arti Nuun ialah dawat atau tinta.Sedangkan kata al-Qalam( ) انمهمberarti, sejenis pena yang digunakan untuk menulis. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-‗Alaq ayat 4 yang artinya: “Dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam”168 Menurut Ibnu Katsir, kata “wal qolami‖ (demi kalam), secara lahiriyah berarti demi pena yang digunakan untuk menulis. Seperti firman Allah Ta‘ala "Dia yang mengajarkan dengan qalam" (QS. Al-Qalam Ayat 4). Wa al-qalam (demi pena) adalah sumpah Tuhan (qasm) pertama dalam Al-Qur‘anyang turun tidak lama setelah lima ayat pertama: Iqra‟ bi ismi Rabbikalladzi khalaq, khalaqa al-insana min alaq, iqra‟ warabbuka al-akram, alladzi „allama bi alqalam, „allama al-insana maa lam ya‟lam.169 Dalam Tafsir al-Misbah, al-Qalam bisa berarti pena tertentu atau alat tulis apa pun termasuk komputer. Ada yang berpendapat bahwa al-Qalam bermakna pena tertentu seperti pena yang digunakan oleh para malaikat untuk menulis takdir baik dan buruk manusia serta segala kejadian yang tercatat dalam Lauh Mahfuz atau pena yang digunakan oleh para sahabat untuk menuliskan alQur‘an dan pena yang digunakan untuk menuliskan amal baik dan amal buruk yang dilakukan manusia.170 Namun, pendapat ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pena adalah alat tulis apa pun termasuk komputer adalah pendapat yang lebih tepat karena sejalan dengan kata perintah iqra‟ (bacalah). Allah seakan 166 Q.S. Al-Qalam (68): 1 167 Al-Alusi, Ruh al-Ma‘ani Jilid 15, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1971), hal. 27 168 HAMKA, Tafsir al- Azhar Juz 29, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2002), hal. 40-41 169 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1-7. (Bogor: Pustaka Imam Syafi‘i , 2003), hal 298
134
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
bersumpah dengan manfaat dan kebaikan yang diperoleh dari pena. Hal ini mengisyaratkan anjuran untuk membaca karena banyak manfaat yang diperoleh dengan membaca dengan syarat membacanya disertai dengan nama Tuhan (bismirabbik) dan mencapai keridaan Allah.171 Suatu sumpah dilakukan adalah untuk meyakinkan pendengar atau yang diajak berbicara bahwa ucapan atau perkataan yang disampaikan itu adalah benar, tidak diragukan sedikit pun.Akan tetapi, sumpah itu kadang-kadang mempunyai arti yang lain, yaitu untuk mengingatkan kepada orang yang diajak berbicara atau pendengar bahwa yang dipakai untuk bersumpah itu adalah suatu yang mulia, bernilai, bermanfaat, dan berharga. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan direnungkan agar dapat menjadi iktibar dan pengajaran dalam kehidupan. Dalam hal ini, Allah seakan memberitahukan bahwa betapa mulianya dan pentingnya pena itu, sampai-sampai Allah bersumpah dengannya.Sumpah dalam arti kedua adalah Allah bersumpah dengan Qalam (pena) dan segala yang dituliskannya untuk menyatakan bahwa Qalam itu termasuk nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada manusia, disamping nikmat pandai berbicara dan menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Dengan Qalam, orang dapat mencatat ajaran Agama dari Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya, dan mencatat semua
pengetahuan Allah yang baru ditemukan. Dengan surat yang ditulis
dengan qalam, orang dapat menyampaikan berita gembira dan berita duka kepada keluarga dan teman akrabnya. Dengan qalam, orang dapat mencerdaskan dan mendidik bangsanya.172 Sedangkan yang dimaksud firman-Nya: dan apa yang mereka tulis, ―Ibnu Abbas dan yang lainnya mengatakan adalah malaikat. Sebagian lagi ada yang menafsirkan para penulis wahyu atau manusia pada umumnya. Siapapun yang dimaksud dalam ayat di atas, yang jelas adalah suatu tulisan atau catatan. Dengan ayat di atas Allah SWT bersumpah dengan manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh dari tulisan. Ini secara tidak langsung merupakan anjuran tntuk membaca karena dengan membaca seseorang dapat memperoleh manfaat yang 170 Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Vol. 14, (Jakarta: LenteraHati.2007). 171 M. Quraish Shihab, al-Misbah, hal 379 172 As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat at-Tafasir Juz 3, (Libanon : Dar al-Fikr ) hal. 401
135
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
banyak selama itu dilakukan bismi rabbika yakni demi karena Allah dan guna mencapai ridha-Nya.173 Dengan demikian, bisa kita fahami bahwa ―al-Qalam‖ adalah media bagi manusia untuk dapat memahami sesuatu dan dengannya mereka memiliki pengetahuan, sehingga menjadi orang yang sempurna. Jadi, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi dan pengembangan diri maupun materi yang diampu serta kepentingan pembelajaran merupakan bagian dari komponen kemampuan yang harus dimiliki guru. 2. Harus memiliki kualitas kesabaran, rasa percaya diri, berani, semangat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Kompetensi di atas tergambar pada ayat ke 2 Surat al-Qalam Artinya: Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.174 Ayat ini diturunkan adalah untuk menghibur Nabi Muhammad SAW., setelah beliau dicerca oleh kaum musyrikin. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum kafir Quraisy menuduh Nabi SAW. sebagai orang gila, bahkan sebagai setan. Maka turunlah ayat kedua dari surat ini sebagai bantahan atas ucapan mereka itu (Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, yang bersumber dari Ibnu Juraij)175 Kalimat bi ni‟mati rabbika dapat dipahami dalam arti berkat nikmat Tuhanmu engkau bukanlah orang yang gila. Kaum musyrikin menuduh Nabi Muhammad SAW. gila karena menyampaikan ayat-ayat al-Qur‘an yang antara lain mengandung kecaman terhadap kepercayaan mereka. Ada juga yang memahaminya dalam arti: engkau bukan seorang yang gila disebabkan karena 173As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat at-Tafasir, hal. 404 174 Q.S. Al-Qalam (68): 1 175 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Bahrun Abubakar. Lc, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), cet. 2, hal. 591
136
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
menerima wahyu al-Qur‘an itu. Ini karena kaum musyrikin ada yang menduga Nabi terganggu oleh setan atau jin sehingga menjadi gila karena jin itulah, menurut dugaan mereka.176 Hamka memahami sebagai satu bujukan atau hiburan yang amat halus dan penuh kasih sayang dari Allah kepada Nabi Muhammad setelah beliau menyampaikan dakwahnya dengan mengajarkan tauhid dan ma‟rifat kepada Allah dan mencela segala perbuatan jahiliyah, terutama mempersekutukan yang lain dengan Allah, sangatlah besar reaksi dari pada umatnya. Macam-macam tuduhan yang dilontarkan kepada beliau dan diantaranya ialah bahwa Dia gila.177 Dalam ayat pendek ini, Sayyid Quthub juga mengatakan bahwa Allah menetapkan nikmat-Nya atas nabi-Nya, yang diungkapkan dengan kalimat yang mengesankan adanya kedekatan dan kecintaan, ketika Dia menisbatkan beliau dengan diri-Nya dengan kata-kata rabbika (tuhanmu). Dan meniadakan-Nya sifat yang diungkapkan orang-orang musyrik yang tidak sinkron dengan nikmatNya yang diterima Nabi. Yang mengherankan menurut Sayyid Quthub, setiap orang yang mempelajari riwayat hidup Rasulullah di kalangan kaum-Nya, menerima siapa saja yang mengatakan tentang beliau, sehingga mereka menjadikan beliau sebagai hakim di antara mereka dalam masalah peletakan Hajar Aswad beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi, begitu juga mereka memberikan gelar al-Amin, karena beliau dapat dipercaya dengan mereka biasa menitipkan amanat-amanat mereka saat beliau hijrah, sesudah memusuhi beliau dengan sengit.178 Kemudian
kata
“ni‟mah”
dipahami
oleh
beliau
dengan
“rahmah”.Sedangkan ar-Razi mengatakan bahwa Nikmat Allah tampak sekali pada diri Nabi dengan contoh bahasa yang fasih, akal yang sempurna, kehidupan yang bahagia, selamat dari segala cobaan dan perangai yang mulia, sehingga wujud dari tamtsil di atas dapat menghilangkan sifat gila pada diri beliau.179 Sebagaimana yang kita ketahui, Muhammad SAW selain sebagai Rasulullah, beliau juga menyatakan bahwa dirinya adalah sebagai guru bagi 176 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, hal. 382-383 177 HAMKA, al- Azhar, hal. 44 178 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, hal. 382-383 179Ar-Razi, at-Tafsir, hal. 70
137
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
umatnya. Oleh sebab itu, beliau diingatkan bahwa dalam proses mendidik umat, pasti akan dihadapkan dengan orang-orang membangkang kepada-Nya, sehingga Dia harus siap dengan semua caci maki seraya meyakini bahwa dirinya sebagai manusia sadar. Dengan demikian, barang siapa yang sudah siap atau bercita-cita menjadi guru, dia harus berani menanggung segala resiko yang akan dihadapinya, termasuk umpatan dan celaan yang dilontarkan kepada, baik dari murid atau pihak lain. Dengan menjaga akhlaknya, dia berhak menjadi panutan bagi muridmuridnya.180 3. Bertanggung jawab secara penuh serta memiliki etos kerja yang tinggi dengan tugasnya sebagai pendidik. Kompetensi ini tergambar dalam ayat 3 Surat al-Qalam Artinya: Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.181 Beberapa Mufassir telah mengkaji dan memaknai ayat ini hingga muncullah beberapa penafsiran, yakni; ّ manna yang berarti putus. Allah Kata mamnun berasal dari kata مه menganugerahkan pahala kepada Nabi SAW. terus menerus tidak terputus. Siapa yang mengajarkan suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahalanya, dan pahala orang yang dia ajar itu hingga hari Kiamat, tanpa berkurang pahala orang yang diajarnya itu. Kita dapat membayangkan betapa banyak sudah orang yang diajar oleh Nabi SAW., dan demikian seterusnya. 182 Al-Jaza‘iri berpendapat bahwa bagi Nabi Muhammad SAW. pahala yang tidak putus selamanya, sebab beliau telah mewariskan amal-amal yang shaleh dan perilaku yang baik pula, karena barang siapa yang malakukan pekerjaan 180 Ahmad, Nurwadjah E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Bandung : MARJA 2007), hal. 39 181 Q.S. al-Qalam (68): 3 182 As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat, hal. 401
138
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
baik, maka baginya pahala dari pekerjaan tersebut dan juga pahala dari orangorang yang melaksanakan hal sama sampai hari kiamat183 Adapun hadits yang memperkuat penafsiran ayat 3 Surat al-Qalam, yakni: َ َبث ا ِال ْو َسب ُن ا ْوم صههّ ه صذَلَ ٍت َ َّللاُ َعهَ ْٕ ًِ ََ َسهه َم لَب َل ِإرَا َم ُ َع ْه أ َ ِبٓ ٌ َُشٔ َْشة َ أ َ هن َس ِ سُ َل ه َ ط َع َع َمهًُُ ِإاله ِم ْه ثَالَث َ ٍت ِم ْه َ َّللا (ّ ) سَاي مسهم َأحمذ انىسبئٓ َانخشمزِ َانبٍٕم.ًَُعُ ن ُ ْصب ِن ٍ َٔذ َ بس َٔ ٍت ََ ِع ْه ٍم ُٔ ْىخَفَ ُع ِبً ِ ََ ََنَ ٍذ ِ َج Artinya: Abu Hurairah meriwatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya. (HR. Muslim, Ahmad An-Nasa‘i, Tirmidzi, Baihaqi) Dari paparan data ayat di atas menjelaskan, bahwa pahala besar yang dimaksud adalah apabila seorang guru mengamalkan ilmunya dengan mengajar. Sebagaimana kandungan ayat di atas yang mengisahkan tentang Allah yang menganugerahkan pahala kepada Nabi SAW. terus menerus tidak terputus. Kita dapat membayangkan betapa banyak sudah orang yang diajar oleh Nabi SAW., dan demikian seterusnya. Jadi, siapa yang mengajarkan suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahalanya, dan pahala orang yang dia ajar itu hingga hari kiamat, tanpa berkurang pahala orang yang diajarnya itu. Hal ini merupakan kabar gembira bagi para guru agar senantiasa meningkatkan kompetensi yang berkaitan dengan etos kerja serta rasa tanggung jawab terhadap status dan perannya. 4. Memiliki kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kompetensi di atas tergambar pada ayat ke 4 Surat al-Qalam. Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.184 183 Al-Jaza‘iri, Abi Bakar Jabir, Aisaru at-Tafasir Jilid V, ( Madinah : al-Ulum Wa al-Hikam), hal. 406 184 Q.S. al-Qalam (68): 4
139
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Dalam riwayat lain dikemukakan pula bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki akhlak yang mulia daripada akhlak Rasulullah SAW. Apabila seseorang memanggil beliau, baik sahabat, keluarga, atau penghuni rumahnya, beliau selalu menjawab:”Labbaik (saya penuhi panggilanmu)‖. Ayat keempat surat ini diturunkan sebagai penegasan bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang sangat terpuji. (Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim di dalam kitab ad-Dalaail dan alWahidi, dengan sanad yang bersumber dari ‗Aisyah). 185 Kata khuluq artinya budi pekerti luhur, tingkah laku atau watak terpuji. Keluhuran budi pekerti Nabi SAW. Yang mencapai puncaknya itu bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan kata innaka/ sesungguhnya engkau tetapi juga dengan tanwin (bunyi dengung) pada kata (khuluqin) dan hurup lam yang digunakan untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasai kata „ala disamping kata ‗ala itu sendiri, sehingga berbunyi la‟ala, dan yang terakhir pada ayat ini adalah penyifatan khuluq oleh Allah yang maha besar dengan kata a„dzim/agung. Jika Allah mensifati sesuatu dengan kata agung maka tidak dapat dibayangkan bagaimana keagungan akhlak Nabi SAW. 186 Ibnu katsir menjelaskan keagungan akhlak Nabi SAW. Dengan mengutip riwayat dari Qatadah, ―Dia pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah maka ia menjawab, ‗Akhlak beliau adalah al-Qur‘an, ― Yaitu sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur‘an.187 Seseorang dari Bani Suwad mengatakan, ―Aku bertanya kepada Aisyah, ‗Beritahukanlah kepadaku wahai Ummul Mukminin, tentang akhlak Rasulullah SAW.!‖ Lalu dia menjawab, ―Tidakkah kamu baca al-Qur‘an, ‗Dan sesngguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung?‘ ‗Dia bertanya lagi, ‗Ceritakanlah kepadaku tentang keagungan akhlaknya itu!. Dia menjawab, ‗Pada suatu hari aku pernah membuatkan makanan untuknya. Ternyata Hafsah pun membuatkan makanan untuknya. Aku pun berkata kepada budakku, ‗Pergilah, jika
Hafsah
datang
membawa
makanan
sebelum
makananku,
maka
lemparkanlah makanan itu. ‗Maka, Hafsah pun datang dengan membawa makanan dan budak itu pun melemparkan makanan tadi, sehingga piringnya 185 Nanang Gojali, Manusia, Pendidikan dan Sains, hal. 161 186Al-Qurtubi, al-Jami‘ Li Ahkami al-Qur‘an Juz 14, (Libanon: Dar al-Fikr, 1967) hal. 213.
140
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
terjatuh dan pecah. Rasulullah SAW. Ketika itu sudah kenyang, lalu Rasulullah SAW. mengumpulkan dan mengatakan, ‗Mintalah pengganti piring itu kepada Bani Aswad dengan piring lain.‖ Aisyah berkata, ‗Dan Rasulullah SAW. Sedikitpun tidak mengomentari sedikitpun hal itu.‖188 Arti pernyataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah SAW. Adalah alQur‘an ialah bahwa Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan alQur‘an sebagai tabiat dan karakternya. Setiap kali al-Qur‘an memerintahkan sesuatu maka beliau akan melaksanakannya. Dan, kapan saja al-Qur‘an melarang sesuatu maka beliau akan meninggalkannya. Disamping semua yang telah Allah nyatakan berupa akhlak-akhlak yang agung, seperti rasa malu yang sangat tinggi, murah hati, pemberani, suka memaafkan, lemah lembut, dan semua akhlak mulia lainnya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ―Aku telah menjadi pembantu Rasulullah selama 10 tahun, namun tidak pernah mengatakan, ‗Cis, ‗walaupun satu kali saja. Dan belum pernah mengomentari perbuatanku dengan mengatakan, ‗Mengapa kamu lakukan itu?‖ Dan tidak pernah mengomentari apa yang belum aku kerjakan, ―Mengapa kamu belum mengerjakannya juga? Beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Beliau tidak pernah memakai pakaian dari sutra. Tidak ada sesuatupun yang lebih lembut daripada telapak tangan Rasulullah SAW. Dan, aku tidak pernah mencium wangi-wangian yang lebih wangi daripada keringat Rasulullah SAW. 189 Selain itu, ada pula hadits yang menerangkan tentang akhlak Rasulullah SAW sebagai pendidik. ِ ٔش ُ َعه ا َ ِبئ ُبسشبُُن فَبَلَمىَب ِعىذَي ِ َص ّم هللاُ َعهَٕ ًِ ََ َسهّ َم ََوَحهُ َش َب َبًٌ ُمخَم َ ٓ ِ َُ به ان ُح ّ د لَب َل اَح َٕىَب انىّ ِب ِ س َهٕ َمبنَ َمب ِن ِك َ َششٔهَ نَٕهَتً ف ّاسجعُُا ان َ َظ ّه اَوَب اشخ َمىَب اٌَهَىَب ََ َسبنىَب َع ّمه ح ََشكىَب فِٓ اٌَ ِهىَب فَبخبَشوَبيُ ََ َكبنَ َسفِٕمًب َس ِحٕ ًمب فَم ِ بل ِ ِع صالَ ة ُ فَهُٕؤرّن نَ ُكم ا َ َحذ ُكم ث ُ ّم ِنَٕؤُ ّم ُكم ِ ض َش ّ ث ان َ صهّٓ ََارَا َح َ ُ صهُّا َك َمب َسأْخ ُ ُمُوِّ ا َ ََ اٌَ ِهٕ ُكم فَعَهّ ُمٌُُم ََ ُمشٌَُم )ْ(سَاي انبخبس.اَكبَ ُشكم Artinya: Abu Sulaiman Malik bin Al-Huwairis berkata, “Kami, beberapa orang pemuda sebaya mengunjungi Nabi SAW, lalu kami menginap bersama beliau 187 Ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir Jilid 15, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t), hal. 72. 188 Ar-Razi, at-Tafsir, hal. 73.
141
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang. Nabi bersabda, „kembalilah kepada keluarga kalian. Ajarilah mereka, suruhlah mereka, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. Apabila waktu shalat telah masuk, hendaklah salah seorang antara kalian mengumandangkan adzan dan yang lebih tua hendaklah menjadi imam. “(HR.Al-Bukhari). Diantara informasi yang didapat dari hadits diatas adalah (a) ada sekelompok pemuda sebaya datang dan menginap di rumah Rasulullah SAW, (b) para pemuda itu belajar masalah agama (ibadah) kepada beliau, (c) beliau memperlakukan mereka dengan santun dan kepada keluarga masing-masing seperti beliau mengajar mereka. Diantara informasi tersebut, yang berkaitan erat adalah beliau memperlakukan para sahabat dengan santun dan kasih sayang. ٕشوَب َََٔآ ُمش ُ َعه اِب ُه َعبّبس لب َل َس َ ِٕشوَب ََٔ َُُلّش َكب َ ص ِغ َ ٕس ِمىّب َمه نَم َٔش َحم َ َسُل هللا صهّّ َعهًَٕ ََ َسهّم ن )ْ(سَاي انخشمٕز.َو َََٔىًَ َعه ان ُمىك َِش ِ عش ُ ِببن َم Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyuruh berbuat ma‟ruf dan tidak mencegah perbuatan yang mungkar.”(HR.At-Tirmidzi). Kandungan hadis ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh umat Nabi Muhammad SAW. Guru harus memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Ayat 4 surah al-Qalam merupakan gambaran bahwa nabi Muhammad SAWadalah teladan bagi umat. Memiliki akhlak yang luhur sesuai dengan berbagai pendapat yang menyebutkan. Apabila dikaitkan dengan konsep kompetensi, maka seorang guru harus memiliki dan menerapkan akhlak/budi pekerti yang luhur sebagaimana Nabi Muhammad SAW.Seorang guru harus memiliki kepribadian dan tutur bahasayang baik agar tercipta komunikasi 189
HAMKA, al-Azhar, hal. 47.
142
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
seimbang antara guru dengan peserta didik, dengan guru-guru yang lain, tenaga kependidikan, orang tua, serta masyarakat.
D. KESIMPULAN Guru adalah orang yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pendidikan muridnya. Ini berarti guru harus memiliki dasar-dasar kompetensi sebagai wewenang dan kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu kompetensi harus mutlak dimiliki guru sebagai kemampuan, kecakapan dan keterampilan mengelola pendidikan. Diantara kompetensi yang harus dimiliki guru dalam al-Qur‘an surah al-Qalam ayat 1-4 yaitu; (1) Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasidan komunikasi untuk pengembangan diri maupun kepentingan pembelajaran, (2) Harus memiliki kualitas kesabaran, rasa percaya diri, berani, semangat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, (3) Bertanggung jawab secara penuh serta memiliki etos kerja yang tinggi dengan tugasnya sebagai pendidik, (4) Memiliki kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
143
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Bahrun Abubakar. Lc, Cet. Ke-2. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993). Ahmad, Nurwadjah E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Bandung : MARJA, 2007). Al-Alusi, Ruh al-Ma‘ani Jilid 15, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1971). Al-Jaza‘iri, Abi Bakar Jabir, Aisaru at-Tafasir Jilid V, ( Madinah : al-Ulum Wa alHikam, 2003). Al-Qurtubi, al-Jami‘ Li Ahkami al-Qur‘an Juz 14, (Libanon: Dar al-Fikr, 1967) Ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir Jilid 15, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t) As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat at-Tafasir Juz 3, (Libanon : Dar al-Fikr, 2001 ) HAMKA, Tafsir al- Azhar Juz 29, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2002) Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1-7. (Bogor: Pustaka Imam Syafi‘i , 2003) Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Vol. 14, (Jakarta: LenteraHati.2007). Nanang Gojali, Manusia, Pendidikan dan Sains, (Jakarta: RinekaCipta, 2004). Sardiman A.M., Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2001). Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid II, (Jakarta : Gema Insani, 2004). Tim Redaksi Sinar Grafika. 2009.Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No, 14 Tahun 2005). Jakarta: Sinar Grafika. Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009) Widya Suhartini, Al-Qur‘an Dan Ayat-Ayat. (Jakarta: Referensi, 2012).
144
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Penerapan Multiple Intelligences guna menumbuh kembangkan kreatifitas siswa-siswi di SMK Kartika Grati, Kabupaten Pasuruan NURHASAN Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstract The traditional concept which focus only to the logical ability and language ability in learning process, need to be changed with the multiple intelegences. Infact, the muliple intelegences itselfs is the development or the sinergizer of the Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), and Spiritual Quotient (SQ). It is hoped that the application of the Multiple Intelegences in the learning process will improve the student‟s ability in learning in SMK Kartika Grati Pasuruan. Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika dan dalam proses pembelajaran di kelas sudah waktunya diubah dengan kecerdasan majemuk yang pada dasarnya adalah sinergi dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ) diharapkan penerapan konsep kecerdasan majemuk dalam pembelajaran akan meningkatkan kemampuan siswa belajar di SMK Kartika Grati Pasuruan. Kata kunci: Kecerdasan, pembelajaran, siswa
A. Pendahuluan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi
juga
kalangan swasta
yang mulai melirik dunia
pendidikan dalam
mengembangkan usahanya. Sarana untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-
145
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
sekolah swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi dan khususnya di lembaga SMK Kartika Grati. Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi. Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial,interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenis-jenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983. Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang ―Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang
146
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003), pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah Dasar. Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu padadasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003). Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerja sama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan?
B. Tinjauan Pustaka Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik. Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) yaitu: 1. Linguistic Intelligence (Word Smart) Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya.
147
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
2. Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart) Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. 3. Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. 4. Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart) Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. 5. Musical Intelligence (Music Smart) Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalamsebuah komposisi musik. 6. Interpersonal Intelligence (People Smart) Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama denganm orang lain. 7. Intra personal Intelligence (Self Smart) Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Naturalist Intelligence (Nature Smart)
148
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. 8. E xistence Intelligence Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999.
C. Pembahasan Temuan Pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah mungkin membosankan siswa hal ini merupan data awal yang diterapkan di SMK Kartika Grati. Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar yang lebih efektif dan untuk selanjutnya di harapkan dapat menggunakan teori-teori yang telah di sampaikan para pakar Multiple Intelligences. Cara-cara penyampaian materi pelajaran yang dapat digunakan oleh guru sebagai berikut: - Kata-kata (Linguistic Intelligence) - Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence) - Gambar (Visual -Spatial Intelligence) - Musik (Musical Intelligence) - Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence) - Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence) - Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence) - Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence) - Peristiwa (Existence Intelligence) Sebagai contoh, jika Anda mengajarkan ekonomi tentang Hukum permintaan pasar (Law of Supply and Demand ), maka siswa diharapkan membaca materi yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk mengetahui
149
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
perhitungan tentang banyaknya permintaan atau supply (Logical-Mathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan hukum permintaantersebut (Visual – Spatial), mengamati / mengobservasi secara langsung di pasar (Naturalist), mengamati sistem perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya (Interpersonal). Pengajaran satu materi tidak perlu harus menggunakan ke sembilan kecerdasan secara serentak. Pilihlah kecerdasan yang sesuai dengan konteks pembelajaran itu sendiri. Sebenarnya dalam melaksanakan proses belajar yang menggunakan kerangka Multiple Intelligences tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kepekaan guru. Artinya setiap guru harus bisa berpikir secara terbuka yaitu keluar dari paradigma pengajaran tradisional, mau menerima perubahan, serta harus memiliki kepekaan untuk melihat setiap hal yang bisa digunakan di lingkungan sekitar dalam menunjang proses belajar. Laboratorium hidup yang terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan proses pengajaran dengan menggunakan Multiple Intelligences, sarana dan prasarana yang dibu
tuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar. Artinya bahwa
pendidikan tidaklah harus di dalam kelas. Tidak harus menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk mengamati setiap fenomena yang terjadi di dunia nyata. Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam. Vernon A. Magnesen (1983), (DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Artinya seseorang bisa menyerap informasi paling banyak pada saat dia melakukan atau mempraktekkan materi yang diterimanya. Kadang-kadang kita berpikir bahwa untuk menerapkan berbagai metode pengajaran yang berkembang akhir-akhir ini diperlukan suatu peralatan yang canggih untuk menunjang proses belajar. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Di dalam menerapkan Multiple Intelligences di dalam proses pengajaran dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dengan menggunakan musik untuk mengembangkan Musical
Intelligence, belajar kelompok untuk mengembangkan
Interpersonal
150
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
Intelligence, aktivitas seni untuk mengembangkan Visual-Soatial Intelligence, role play untuk mengembangkan Bodily-Kinesthetic Intelligence, perjalanan ke lapangan (Field Trips) untukmengembangkan nature Intelligence, menggunakan Multimedia, refleksi diri untuk megembangkan Intra personal Intelligence, dan lain-lain. Keluar dari pola kebiasaan mengajar yang lama yaitu pengajaran yang hanya menekankan pada metode ceramah sangatlah sulit, karena manusia cenderung tidak mau keluar dari zona nyaman sebagaimana yang diungkapkanoleh DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000 di dalam bukunya yang berjudul Quantum Teaching. Manusia cenderung akan tetap mempertahankan kebiasaannya dan tidak mau mengambil risiko, karena untuk berubah berarti mereka dihadapkan pada resiko dari perubahan itu sendiri yang seringkali ‗menakutkan‘. Penerapan multiple Intelligences di dalam proses belajar mengajar tidak harus menunggu perintah dari atasan. Guru yang mencoba menerapkan Multiple Intelligences, berinisiatif untuk mencoba keluar dari zona nyaman agar pengajaran dapat dilakukan seefektif mungkin dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa guru adalah orang yang langsung terlibat di lapangan yang mengetahui secara jelas kebutuhan dan keunikan dari setiap siswa. Kenyataan, saat ini adalah kurangnya guru-guru yang memiliki inisiatif untuk mencoba keluar dari pola pengajaran tradisional, meskipun dari pihak atasan menfasilitasi dan mengadakan pembinaan bagi setiap guru agar dapat mengembangkan diri agar dapat menyampaikan materi pelajaran seefektif mungkin. Upaya menerapkan Mulitiple Intelligences bukan hanya tanggung jawab guru dan kepala sekolah saja, tetapi pihak orang tua pun perlu dilibatkan. Kita harus bersinergi dengan pihak orang tua. Orang tua pun memiliki andil dalam menentukan cara belajar anaknya. Masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir tradisional dalam memandang kemampuan yang harus dicapai oleh anaknya. Mereka masih memandang anaknya bodoh, jika anaknya tidak pandai dalam matematika atau bahasa. Pola pikir orang tua seperti itu harus diubah. Pihak sekolah hendaknya mengadakan seminar bagi orang tua. Seminar itu menjelaskan bahwa kecerdasan anak bukan hanya dipandang dari kemampuan matematika dan bahasa, melainkan masih banyak kemampuan lainnya yang dapat dikembangkan sesuai dengan keunikan anak. Jika pandangan baru ini diberikan kepada orang tua, diharapkan setiap orang tua dapat
151
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
mendukung pihak sekolah untuk mengembangkan Multiple Intelligences. Salah satu bentuk peran serta orang tua dalam pengembangan Multiple Intelligences adalah dengan tidak memaksakan anak untuk hanya menguasai kemampuan matematika dan bahasa, tetapi mereka pun dapat membimbing dan mengarahkan anaknya sesuai dengan keunikannya masing-masing. Selain mengadakan seminar, kerja sama pihak sekolah dengan orang tua dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran Wali Kelas dan guru Bimbingan Konseling dengan cara melakukan pertemuan berkala dengan pihak orang tua. Kerja sama ini dilaksanakan dalam upaya untuk memantau setiapperkembangan anak dan mengamati keunikan setiap anak, sehingga pendidikan bisa diberikan sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masing-masing.
D. Manfaat Penerapan Multiple Intelligences Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple Intelligence di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa dilakukan seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat suatu pertunjukan. Dapat menjadi ‗pintu masuk‘ yang vital ke dalam proses belajar. Bahkan siswa yang penampilannya kurang baik pada saat proses belajar menggunakan pola tradisional (menekankan bahasa dan logika), jika aktivitas ini dilakukan akan memunculkan semangat mereka untuk belajar. Dengan menggunakan Multiple Intelligences. Anda menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan talentanya. Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat di dalam mendukung proses belajar mengajar. Hal ini bisa terjadi karena setiap aktivitas siswa di dalam proses belajar akan melibatkan anggota masyarakat. Siswa akan mampu menunjukkan dan ‗berbagi‘ tentang kelebihan yang dimilikinya. Membangun kelebihan yang dimiliki akan memberikan suatu motivasi untuk menjadikan siswa sebagai seorang ‗spesialis‘. Pada saat Anda ‗mengajar untuk memahami‘ , siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk mencari solusi
152
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya.
E. Kesimpulan Setiap siswa memiliki
keunikannya
masing-masing. Mereka
memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Pandangan yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang dapat dilihat berdasarkan hasil tes IQ sudah tidak relevan lagi karena tes IQ hanya membatasi pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa. Saat ini masih banyak sekolah yang terjebak dengan pandangan tradisional tersebut. Masih banyak guru yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Teori Multiple Intelligences, mencoba untuk mengubah pandangan bahwa kecerdasan seseorang hanya terdiri dari kemampuan Logika (matematika) dan bahasa. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari kecerdasan tersebut. Teori Multiple Intelligences mampu menjembatani proses pengajaran yang membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang menyenangkan dan Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam. Selain itu proses pendidikan dapat mengakomodir setiap kebutuhan siswa dan sesuai dengan keunikannya masing-masing. Jika
sekolah
ingin
menerapkan
Multiple
Intelligences
di
dalam
sistem
pendidikannya, maka dibutuhkan inisiatif dari setiap guru untuk mencoba memulai dan bersedia untuk keluar dari ‗zona nyaman‘nya masing-masing. Guru dan orang tua harus bersinergi agar memiliki pandangan yang sama di dalam memberikan pendidikan bagi anak sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masing-masing. Kesamaan pandangan dapat diciptakan melalui pertemuan berkala antara Wali Kelas dan Guru Bimbingan Konseling dengan orang tua.
153
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
F. Daftar Pustaka DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teach-ing. Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: PT. Mizan Pustaka Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam: Interaksara http://www.cookps.act.edu.au/mi.htm http://www.kompas.com/Kecerdasan intelektual tak cuma logika dan bahasa/6 Agustus 2003 http://www.kompas.com/Sambut kurikulum 2004 dengan kecerdasan jamak/ 13 Oktober 2003 http://www.thomasarmstrong.com/multiple_intelligences.htm http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/mi/index_sub7.html
154
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
INDEKS PENULIS Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam Volume 1, No. 1 Tahun 2016 A. Rifqi Amin
TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)
Romdloni
IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH
Ahmad Zarkasy KONSEP PENGEMBANGAN PROGRAM UNGGULAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM Siti Halimah
PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM KAJIAN ISLAM NASR HAMID ABU ZAYD
Jakaria Umro
MENCERMATI TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, IMPLIKASINYA TERHADAP PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Nur Hasan
SASARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KONTEKS PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG
Laily Nur Arifa PENGEMBANGAN RAHMATAN LIL’ALAMIN MELALUI PAI; MENGGAGAS KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN M. Ma’ruf
DEKONSTRUKSI GENDER DALAM PESANTREN
Sufirmansyah
MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEJARAH PERADABAN ISLAM KONSEP REZEKI DALAM PERSPEKTIF SAINS
Sodikin
155
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
INDEKS PENULIS Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam Volume 1, No. 2 Tahun 2016 PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PENDEKATAN SAINS Sodikin ~ 1
AKHLAK
MELALUI
PROSPEK CORAK PENAFSIRAN ILMIAH AL-TAFSIR AL‘ILMIY DAN AL-TAFSIR BIL ‘ILMI DALAM MENGINTEPRETASI DAN MENGGALI AYAT-AYAT ILMIAH DALAM AL-QUR’AN Binti Nasukah ~ 19 PELAKSANAAN PENDIDIKAN PESANTREN TERPADU DALAM MENGEMBANGKAN IMAN DAN TAKWA (IMTAK) DAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-YASINI KRATON PASURUAN Zuhriyah ~ 45 Pengembangan Media Pembelajaran Audio Visual Berbasis Aurora pada mata pelajaran PAI Kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan Mukhlisin ~ 69 KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYI’AH: SEBUAH PERBANDINGAN Miftakhul Munir ~ 95 Dialektika Agama Dan Budaya Di Masyarakat Muslim M. Ma’ruf ~ 124 KONTRIBUSI KH. IMAM ZARKASYI DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (PESANTREN) Mohammad Aufin ~ 145 PENGEMBANGAN BUDAYA RELIGIUS DALAM KOMUNITAS SEKOLAH M. Jadid Khadavi
~
164
156
Jurnal Al-Makrifat Vol 2, No 1, April 2017
NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM ISLAM UNTUK MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT Yuniar Mujiwati ~ 180 ANALISIS PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SIDOGIRI PASURUAN Siti Halimah
~
190