Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
KEPEMIMPINAN DI UII [caption id="attachment_230" align="alignleft" width="150"]
Yuli Andriansyah[/caption]
Muqaddimah Universitas Islam Indonesia (UII) dalam waktu tidak lama lagi akan memasuki usia 69 tahun menurut perhitungan kalender qamariyah. Perguruan tinggi nasional bercorak Islam yang pertama kali didirikan oleh para pendiri bangsa ini, memulai langkahnya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sejak peresmian pendiriannya pada Ahad legi, 8 Agustus 1945 M atau bertepatan dengan 27 Rajab 1364 H, empat puluh hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.[1] UII yang ketika didirikan dinamakan Sekolah Tinggi Islam (STI) dalam perjalanan sejarah kemudian berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai bagian dari dinamika perjuangan mempertahankan kemerdekaan.[2] Di kota pelajar inilah pertumbuhan STI hingga menjadi UII seperti sekarang terjadi, lengkap dengan suka dan dukanya. Pendirian STI antara lain merupakan upaya menjawab tantangan pendidikan bangsa yang kala itu amat membutuhkan pendidikan tinggi bagi para pemuda yang akan meneruskan perjuangan bangsa. Pendidikan tradisional, semacam pesantren telah lama ada dan eksis,[3] namun dipandang belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pasca Indonesia merdeka, yang kala itu baru sebatas cita-cita. Umat Islam pun melalui berbagai organisasi keagamaan yang ada, termasuk Majelis Islam A’la Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Madjelis Syoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi), mengkristalkan keinginan tersebut dengan keputusan dalam berbagai rapat maupun pandangan para tokohnya. Keputusan Masjoemi tentang pendirian STI, selain pembentukan Hizbullah, kemudian dirapatkan dengan menghadirkan sejumlah perwakilan “PBNU, PB Muhammadiyah, PB PUI, PB PUII, para ulama dan intelektual serta para pejabat pemerintah dari Departemen Agama (Gunseikanbu Syunobi)”.[4] Latar belakang pendirian UII sebagaimana disebutkan diatas, meniscayakan adanya keinginan kuat untuk menjadikan UII sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memiliki komitmen tinggi untuk mengembangkan manusia Indonesia yang nasionalis sekaligus agamis. Nasionalis bermakna memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi sehingga siap membangun bangsa, agamis bermakna memiliki pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang memadai. Dalam perjalanan UII, harus diakui upaya mewujudkan alumni dengan kedua sifat ini tidaklah mudah. Di satu sisi, UII harus siap menjadi lembaga pendidikan yang “menjunjung tinggi scientifical
1 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
achievment”, sedangkan di sisi lain juga dituntut menjadi “tempat pengenalan sekaligus pengembangan perpaduan iman dan ilmu”.[5] Upaya mencapai keduanya terbukti tidak mudah, terbukti masih banyaknya kritikan masyarakat terkait ke-Islaman di UII, sehingga plesetan terkait singkatan nama UII, masih sering kita dengar. Dalam perkembangan selanjutnya, UII, dan juga perguruan tinggi di Indonesia, terus mengalami berbagai perkembangan dan tantangan, baik yang sifatnya internal karena sikap politik pemerintah, maupun yang sifatnya eksternal, terutama oleh perkembangan globalisasi yang makin tidak terbendung. Di satu sisi globalisasi membuka kran bagi keterbukaan informasi yang demikian masif, sehingga pandangan hidup, sikap, perilaku, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi dari berbagai bangsa di dunia, bebas berlalu lalang. Dampak positifnya tentu saja adalah adanya kesempatan untuk memperoleh informasi-informasi yang diperlukan bagi kemajuan, dengan biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih sedikit. Meskipun diakui memiliki sedemikian banyak manfaat, globalisasi, terutama yang dibingkai dalam kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga tidak bebas dari dampak negatif. Bebasnya arus informasi yang masuk, memungkinkan bergulirnya aneka pemikiran, pandangan hidup, yang bila tidak dicermati dapat bertentangan dengan karakter bangsa dan ajaran agama. Disinilah peranan pendidikan tinggi, termasuk UII makin dituntut untuk tetap mampu menjaga generasi masa depan dari gempuran globalisasi, sembari tetap mempertahankan nilai-nilai keIslaman.[6] Di sisi lain, globalisasi juga membawa implikasi serius bagi pendidikan tinggi mengingat persaingan kemudian terjadi dan meluas dari yang sebelumnya berkisar pada lingkungan dalam negeri, menjadi lingkungan luar negeri, dengan melibatkan perguruan tinggi kelas dunia. Perguruan tinggi mau tidak mau harus menyesuaikan diri menghadapi perubahan yang ada dengan berbagai strategi dan rencana visioner ke depan. Daya saing menjadi kata kunci pada perkembangan selanjutnya sehingga perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini mencakup beragam aspek, termasuk penjaminan mutu (quality assurance) sebagai pemenuhan janji pelayanan yang diberikan pendidikan tinggi. Lebih dari itu, bagi perguruan tinggi Islam termasuk UII, penjaminan mutu merupakan wujud pelaksanaan ajaran Islam itu sendiri: realiasai ajaran ihs?n, melaksanakan pekerjaan dengan sebaiknya, tidak menganggap remeh pekerjaan yang dilakukan, optimal dan komitmen, efektif dan efisien, sungguh-sungguh, serta dinamis.[7] Penjaminan mutu pun berkembang secara dinamis, tidak hanya berlaku secara internal, tetapi juga melibatkan pihak eksternal, sehingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan. Tantangan untuk terus mengabdikan hasil pendidikan dan penelitian kepada masyarakat pun makin meningkat, seiring anjuran bahwa hendaknya pendidikan tinggi tidak hanya menjadi menara gading intelektual. Lembaga pendidikan baik yang berada dalam tanggungan pendanaan pemerintah maupun swasta pada dasarnya juga memiliki tanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi layanan yang cepat bertindak dan juga sebagai pemberi kritik demi kemajuan. Tanggung jawab ini tentu saja berbeda-beda kadarnya sesuai tahap perkembangan kelembagaan masing-masing perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang sudah maju, misalnya memiliki kewajiban memberikan layanan pendidikan maupun layanan lainnya dengan kualitas terbaik, selain itu juga tetap menyuplai ide bagi perkembangan masyarakat ke arah yang lebih baik.[8]
2 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Seluruh perkembangan dalam dunia yang makin mengglobal beserta dampaknya terhadap pendidikan tinggi ini tentunya harus direspon secara tepat oleh pengelola pendidikan tinggi, termasuk UII. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, isu kepemimpinan layak dimunculkan sebagai bagian penting yang akan menjadi kunci sukses bagi UII untuk menghadapi tantangan yang ada. Oleh karena itu, tulisan singkat ini akan membahas bagaimana kepemimpinan dan pendidikan dalam Islam untuk kemudian diarahkan pada upaya melihat dinamika kepemimpinan di UII yang telah dan akan menghadapi aneka tantangan di dunia pendidikan nasional maupun dunia, beserta dengan capaian dan catatan yang layak dipertimbangkan lebih lanjut.
Kepemimpinan dan Pendidikan Islam Kepemimpinan menjadi bagian integral dari risalah Islamiyyah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur’an memberikan banyak ilustrasi tentang pentingnya kepemimpinan, baik dalam kerangka menyempurnakan tugas manusia sebagai khalifah[9], maupun sebagai pengemban amanah untuk menjaga terwujudnya keadilan di muka bumi.[10] Permisalan yang diberikan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pun telah menjadi bagian penting dari khazanah kepemimpinan di dunia Islam, setelah masa kenabian. Empat sifat wajib bagi Nabi dan Rasul, yaitu shiddiq, am?nah, tabl?gh, dan fath?nah, misalnya menjadi fondasi dasar yang dianggap paling ideal dalam menentukan kemampuan bagi pemimpin. Keempat sifat ini kemudian dikembangkan lagi sehingga menghasilkan sejumlah karakteristik kepemimpinan nabawi, yaitu taqw? (memilikikesehatan ruhani), memiliki kesehatan jasmani, shiddiq, am?nah, tabl?gh, fath?nah, istiq?mah, ikhl?sh, selalu bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla, tidak melakukan perbuatan dosa dan maksiat, memiliki kecerdasan emosional, bersikap sabar, bersikap optimis, berjiwa besar, dan bersikap syaj?’ah (berani).[11] Model kepemimpinan para sahabat utama sepeninggal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, alkhulaf?’ al-r?syid?n, juga dapat dirujuk sebagai permisalan idealisme kepemimpinan. Ab? Bakr al-Shiddiq, misalnya digambarkan sebagai pemimpin berkarakter low profile, yang juga memiliki kepercayaan diri tinggi dan ketegasan sebagaimana tergambar dalam kebijakannya memerangi para nabi palsu selepas meninggalnya Baginda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Corak kepemimpinan di masa awal Islam ini tentunya masih sangat sentralistik, karena wilayah kekuasaan Islam yang masih terbatas, namun Ab? Bakr mampu memberikan akomodasi atas berbagai aspirasi umat kala itu. Selanjutnya, ‘Umar ibn al-Khathth?b, biasa dinilai sebagai pemimpin yang tegas, demokratis, dan juga inklusif. Karakter kepemimpinan ‘Utsm?n ibn ‘Aff?n biasa digambarkan sebagai familier dan humanis, karena watak beliau yang terkenal lemah lembut. Sedangkan ‘Al? ibn Ab? Th?lib biasa digambarkan sebagai pemimpin muda yang pemberani, cerdas, tegas, dan berani mengambil risiko.[12] Dalam perkembangan sejarah, sejumlah konsep kepemimpinan muncul dan mewujud dalam peradaban Islam, diantaranya konsep Khil?fah, Im?mah, ?l?l amr, Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, dan sebagainya.[13] Banyaknya konsep dan praktik kepemimpinan dalam sejarah umat Islam, selain menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran di bidang ini, juga menunjukkan kemampuan umat untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan dan tantangan yang antara
3 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
lain direfleksikan dengan perubahan pola kepemimpinan. Hal ini juga merupakan gambaran dari dinamisnya kehidupan umat dan tantangan yang dihadapi di setiap masa. Setiap masa senantiasa menghendaki adanya inovasi baru sebagai jawaban atas persoalan yang ada, dengan tetap mengacu pada teladan yang digariskan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maupun dengan mengadopsi berbagai pandangan yang telah ada pada masyarakat lainnya. Model kepemimpinan berbasis kesukuan, dimana Quraisy menjadi suku utama, di awal Islam tentu masih ideal. Namun seiring berkembangnya Islam dan perubahan pola kehidupan dari nomaden di padang pasir menjadi masyarakat perkotaan, maka pola kepemimpinan pun berubah dengan memunculkan kekuasaan dinasti, yang kemudian juga berubah kembali sepanjang sejarah Islam. Watak dinamis ini juga tergambar dalam kehidupan umat di bidang pendidikan. Islam datang ke dunia dengan perantara Malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammadi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan membawa cahaya ilmu pengetahuan.[14]Agama yang baru ini mengawali ajarannya dengan lima ayat pertama dalam surat Al-‘Alaq yang memerintahkan manusia untuk membaca, dengan nama Tuhan, yang mengajarkan apa yang belum diketahui manusia.[15] Karakter Islam sebagai agama yang khas, dengan akidah, risalah, dan dakwah yang diembannya menjadikan pendidikan Islam memiliki karakter yang khusus. Hal ini mengingat pendidikan dalam Islam memiliki misi menyebarkan fondasi Islam yang sama kepada seluruh generasi Islam, untuk beraqidah secara benar, membawa bendera risalah Islam, dan meneruskan dakwah. Tanpa karakter tersebut, maka pendidikan tidak layak mendapat gelar Islami.[16] Pendidikan dalam sejarah Islam telah menjadi bagian penting sejak masa awal perkembangan agama samawi terakhir ini di jazirah Arabia, meskipun bentuknya belum sepenuhnya sama atau mendekati pendidikan modern, terutama perguruan tinggi, dewasa ini. Pendidikan dilaksanakan, sebagai upaya ittiba’ pada tradisi Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya, dengan model halaqah dimana seorang syaikh yang diakui keilmuannya memberikan kajian dan disimak oleh sejumlah murid, terutama sekali di masjid-masjid. Pendidikan semacam ini kemudian disempurnakan dengan pembangunan sarana pendidikan yang memadai, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Al-Ma’mun dengan mendirikan Bayt alHikmah, yang menjadi kawah canderadimuka pemikiran Mu’tazilah yang memang mendominasi di masa tersebut.[17] Kelompok Syiah pun mendirikan Al-Azhar di Kairo, Mesir sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan ajaran Islam yang mereka yakini, sebelum kemudian ditaklukkan Dinasti Ayyubiah yang merubahnya menjadi perguruan tinggi yang menjadi garda depan pengembangan ajaran Sunni.[18] Perguruan tinggi yang berafiliasi pada ajaran Sunni pertama kali didirikan oleh Nizh?m al-Mulk al-Th?s?, seorang waz?r pada masa kekuasaan Bani Sajuk dalam Dinasti Abbasiyyah, yang kemudian biasa dikenal dengan perguruan Nizh?miyyah, yang di dalamnya salah seorang tokoh Sunni terkemuka, Im?m al-Ghaz?l?, mengabdikan diri sebagai guru besar.[19] Perkembangan dalam pendidikan tinggi di dunia Islam terus terjadi tidak saja di Timur, tetapi juga di Barat, terutama di masa Andalusia. Para filosof Muslim, lewat interaksi akademik yang dimulai dari penerjemahan, berhasil menyelamatkan dan kemudian mengembangkan lebih jauh
4 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
warisan filsafat Yunani, yang kemudian menjadi bekal penting bagi kebangkitan Eropa. Ajaran filsafat Ibnu Rusyd misalnya yang mengarahkan tujuan intelektualnya pada penggabungan agama dan filsafat, melahirkan Averroisme yang awalnya ditolak di Paris, sebelum akhirnya diterima sebagai cara memperkokoh ajaran agama dengan logika. Seiring dengan kejatuhan Islam di Andalusia, maka terjadi perubahan besar berupa perpindahan intelektualisme Yunani dari dunia Islam ke dunia Eropa Kristen di Barat, yang selanjutnya juga mengubah peta pendidikan tinggi dan evolusi ilmu pengetahuan.[20] Catatan penting yang menghubungkan antara capaian kepemimpinan dan pendidikan dalam sejarah Islam adalah bahwa puncak peradaban senantiasa dibangun beriringan dengan meningkatnya prestasi ilmu pengetahuan. Maknanya bahwa di saat Islam jaya, kekuasaan Islam demikian kuat dan juga diiringi oleh capaian akademik yang membanggakan. Beberapa khalifah Abbasiyyah seperti Ab? Ja’far al-Mansh?r, H?run al-Rasy?d, dan Al-Ma’m?n, adalah para pecinta buku dan ilmu pengetahuan yang menyadari bahwa kompleksitas masalah umat di masa kepemimpinan mereka harus diselesaikan antara lain melalui berbagai bidang ilmu.[21] Di masa kekuasaan Islam di Andalusia pun tampil seorang Hakam II yang di masanya, Cordoba memiliki 70 buah perpustakaan negara sehingga tak mengherankan jika di masa tersebut rakyat terbebas dari buta huruf dan menjadi masa kejayaan intelektual.[22]
Dinamika Kepemimpinan di UII Keterkaitan antara kepemimpinan dan pendidikan sebagaimana tercermin dalam sejarah Islam di atas, sebenarnya juga menjadi bagian penting dari perjalanan UII dari masa ke masa. Mendekati masa pengabdian yang mencapai tujuh dasawarsa ini, UII telah beberapa kali mengganti posisi kepemimpinan tertinggi, mulai dari jajaran rektorat hingga dekanat. Jika yang dirujuk adalah jajaran Rektorat, UII telah dipimpin oleh sejumlah tokoh penting dalam sejarah nasional, yaitu Prof. K.H.A. Kahar Muzakkir, Prof. M.R., R.H.A. Kasmat Bahuwinangun, Prof. Dr. dr. M. Sardjito, H. G.B.P.H. Prabuningrat, Prof. Dr. Ace Partadiredja, Prof. H. Zaini Dahlan, M.A., Prof. Dr. H. Zanzawi Soejoeti, M.Sc., Dr. Ir. Luthfi Hasan, M.S., dan Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Di pundak para pemimpin UII inilah, dinamika kepemimpinan berlangsung hingga saat ini dengan berbagai kelebihan sesuai dengan latar belakang yang amat beragam. Di masa awal, di tengah keterbatasan baik karena perjuangan revolusi dan minimnya dana, para pemimpin UII menunjukkan karakteristik pemimpin yang rela berkorban. Jumlah mahasiswa yang terbatas, ruang kelas yang belum tertata sehingga harus menggelar kuliah di masjid ataupun lingkungan keraton, hingga ujian yang dilaksanakan di perjalanan naik kereta api, menjadi gambaran masa awal UII. Di masa yang sulit seperti itu, sosok pemimpin dengan jiwa siap berkorban memang merupakan sebuah keniscayaan dan UII bersyukur karena sejarah membuktikan kepemimpinan tersebut muncul saat dibutuhkan. Tidak hanya pada level pemimpin, kerelaan berkorban ini juga membekas pada seluruh komponen yang ada di UII, sehingga masa-masa sulit tersebut dapat dilewati dan UII tetap eksis. Selepas masa revolusi pun, sejumlah ujian masih menghampiri UII, berupa lepasnya Fakultas Agama dan Fakultas Pendidikan, yang kemudian dikelola oleh pemerintah. Pada sisi inilah, UII mampu menunjukkan pengorbanan sebagai insitusi pendidikan untuk mendukung kebijakan dan kemashlahatan
5 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
negara yang lebih besar.[23] Pada perkembangan selanjutnya, upaya UII untuk berkembang dan meningkatkan perannya di dunia pendidikan nasional juga menghadapi tantangan berupa konflik internal, baik yang berhubungan langsung dengan kepemimpinan puncak maupun yang berlangsung pada level di bawahnya. Sebagai sebuah organisasi yang hidup, konflik memang sesuatu yang wajar terjadi dan akan terus menjadi bagian perjalanan organisasi tersebut. UII sendiri telah mengalami konflik internal yang membuat perubahan peta kepemimpinan sehingga menjadi pelajaran penting bagi perkembangan di masa mendatang. Adanya konflik dan penyelesaiannya juga memberikan gambaran bagi pentingnya menciptakan pemimpin yang memiliki kelemahlembutan dalam mengelola UII yang demikian beragam warna dan isinya. Kepemimpinan yang mengalir bak angin sepoi-sepoi terbukti sangat diperlukan ketika rasio dan emosi gagal menyelesaikan permasalahan. Alasan mengapa pemimpin dengan karakter lemah lembut menjadi penting tidak lain adalah karena dinamika UII sendiri yang sejak awal memang meniscayakan diri sebagai rumah bagi bangsa Indonesia. Keragaman suku bangsa yang ada, juga secara langsung akan membawa UII pada pertemuan aneka budaya, sifat, dan karakteristik, tidak saja pada mahasiswa, tetapi juga dosen, karyawan, dan bahkan pimpinan. Ditambah dengan perbedaan capaian akademik dan prestasi yang dimiliki sivitas akademik, konflik dapat saja muncul oleh beragam faktor, mulai dari isu keadilan, kesamaan, hingga masalah-masalah sederhana yang menjadi besar karena perbedaan sikap. Kelemahlembutan, sebagai salah satu kelebihan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam [24], menjadi kunci penting ketika konflik dengan berbagai latar belakang tersebut muncul. Kelemahlembutan akan mencairkan benang kusut konflik yang sulit diuraikan, untuk kemudian dibawa pada penyelesaian yang lebih arif dan bermartabat. UII tentu saja merasa bersyukur bahwa selama ini, sejumlah konflik internal yang terjadi dapat diselesaikan dan menjadi modal bagi kepemimpinan masa depan. Mengingat hingga sejumlah perguruan tinggi di tanah air, terbukti sulit menyelesaikan konflik internalnya, kiranya tidak berlebihan jika UII harus berani mengakui sejarah konflik dan penyelesainnya sebagai bagian dari dinamika organisasi. Pengalaman UII dalam menyelesaikan konflik sekaligus memberi pelajaran betapa besarnya perhatian masyarakat dan umat Islam terhadap lembaga pendidikan ini. Keterlibatan pihak eksternal dalam menyelesaikan kemelut juga menunjukkan perlunya untuk terus belajar bersama dengan berbagai pihak dengan prinsip tolong menolong. UII yang makin stabil kemudian terus dikembangkan dengan berbagai terobosan di awal millennium ketiga ini yang hasilnya sudah mulai dirasakan. Kepemimpinan UII yang telah solid dengan pemikiran matang dan berani melihat ke depan, telah menginisiasi investasi besar di bidang sumber daya manusia, teknologi informasi, melakukan reorganisasi dan membangun budaya mutu dalam pengelolaan organisasi. Hasilnya terlihat jelas dengan capaian UII yang saat ini menjadi salah satu perguruan tinggi terdepan dalam bidang manajemen mutu, teknologi informasi, dan kualitas sumber daya manusianya. UII di dasawarsa awal abad 21 ini memang dituntut menjadi lembaga yang makin efektif dan efisien serta mampu melihat ke depan menyambut tantangan globalisasi. Tanpa kemampuan kepemimpinan yang efektif, akan sulit kiranya menghadapi atau bahkan memenangi globalisasi termasuk di dunia pendidikan.
6 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Keberanian mencapai peluang globalisasi dengan kepemimpinan yang visioner ini memang terkadang membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan berisiko membawa benturan, mengingat kesiapan budaya dan watak sivitas akademik UII yang ada. Namun sejauh ini, UII mampu membutkikan kemampuannya untuk mengambil manfaat dari globalisasi melalui kepemimpinan visioner tersebut. Sejumlah capaian internasionalisasi, mulai dari kerjasama, sertifikasi, dan peringkat dunia telah berhasil dicapai dan capaian terakhir di QS Star dengan dua bintang menunjukkan bahwa UII mampu menyetarakan diri dengan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta terkemuka di Indonesia.[25]Capaian UII ini memang masih tertinggal jika dibandingkan Institut Teknologi Bandung, dengan empat bintang, namun telah menunjukkan prestasi dibandingkan sejumlah perguruan tinggi lain.[26] Pengalaman kepemimpinan di UII sebagaimana tergambar di atas menjadi modal penting bagi pengembangan kemampuan memimpin di masa mendatang. Kemampuan memimpin dan mengelola konflik sebagaimana disinggung di atas, masih tetap akan terus dibutuhkan UII, selain tentunya kemampuan mengelola organisasi pendidikan yang makin membutuhkan ketrampilan dan inovasi. Selain itu, bagian penting yang juga menjadi catatan adalah perlunya pengembangan dakwah Islamiyah dan pengabdian masyarakat pada masyarakat sekitar kampus. Tingginya kebutuhan masyarakat akan dakwah Islamiyah dan pengabdian masyarakat jenis ini serta masih rendahnya partisipasi sivitas akademik UII di dalamnya, menjadi peluang besar bagi UII untuk menularkan semangat rahmatan lil alam?nnya di lingkungan sekitar.[27] Perlunya UII untuk semakin memperhatikan masalah ke-Islam tidak lain merupakan perwujudan dari jati diri UII sendiri sebagai perguruan tinggi Islam yang diharapkan akan melahirkan peradaban Islam yang maju. UII harus muncul sebagai pembela Islam di antara arus radikalisme, fundamentalisme, terorisme, liberalisme, dan fanatisme yang justru menjauhkan Islam dari percaturan global. Nilai ke-Islaman ini juga harus menghujam di dada sivitas akademik UII, sebagai ruh dalam kesehariannya yang mampu menjadi uswah di tengah masyarakat. Usaha ke arah tersebut memang tidak mudah dan membutuhkan komitmen kepemimpinan yang luar biasa besar. Namun demikian, UII tetap harus optimis mengingat kapasitas institusi yang telah dibangun selama ini memang menghendaki UII menjadi rumah besar bagi umat Islam Indonesia. Selain itu, UII juga menyimpan potensi kepemimpinan pada sejumlah alumni yang telah berkiprah di berbagai bidang pengabdian dan tentunya suatu ketika dapat diminta kembali ke almamater tercinta untuk memberikan yang terbaik bagi UII.
Ikhtitâm UII sebagai sebuah lembaga pendidikan bercirikan Islam dan berwatak nasional telah mengalami aneka perubahan dan dinamika sebagaimana juga dialami oleh lembaga lain. Perjalanan kepemimpinan di UII yang naik dan turun secara dinamis sesuai dengan kondisi lingkungan (internal maupun eksternal), sebenarnya menunjukkan betapa besarnya tantangan yang telah dan akan senantiasa dihadapi di masa mendatang. Hal ini sekaligus menunjukkan kemampuan luar biasa UII, dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla melalui hamba-hamba-Nya kepada UII, untuk tepat bangkir dan menyelesaikan masalah yang ada. Di masa sekarang ini dan di masa mendatang, tantangan yang dihadapi tetap akan semakin
7 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kompleks dan membutuhkan kemampuan memimpin, mengelola, dan menjalankan amanah secara lebih baik lagi. Era globalisasi yang makin membuka kran pertemuan bangsa-bangsa besar di dunia menjadi medan pengabdian yang akan dilewati UII untuk mencapai visinya tidak hanya di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tetapi juga dakwah Islamiyyah sebagai penentu karakter UII. Berdasarkan pada pengalaman sejarah, siapapun warga UII yang mendapat amanah kepemimpinan harus siap menghadapi berbagai tantangan, termasuk potensi konflik internal yang sejauh ini turut mewarnai dinamika UII, sembari terus berikhtiar dengan penuh keyakinan akan kemampuan UII dalam mencapai visi dan misinya. Wa All?hu A’lam wa Huwa al-Musta’?n.[]
Marâji’ Aini, Nurul. 2009. “Pesantren, Organisasi Modern Islam di Masa Penjajahan”, Darussalam: Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial. Martapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam. Vol. 8, No. 1, Januari-Juli 2009. Al-Banjari, Rachmat Ramadhana. 2008. Prophetic Leadership. Yogyakarta: Diva Press. Al-Nadw?, al-Sayyid Abu al-Hasan ‘Al? al-Husni. 1969. Nahw al-Tarbiyyah al-Islamiyyah al-Hurrah f? al-Hukumah wa al-Bil?d al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Insy?’ li al-Thib?’ah wa alNasyr wa al-Tauzi’. Al-Sirj?n?, R?ghib. 2007. Al-‘Ilmu wa Bin?u al-Umam: Dir?sah Ta’sh?liyyah li Daur al-‘Ilmi f? Bin?i ad-Daulah. Kairo: Muassasah Iqra’. Asmendri. 2007. “Aplikasi Model Sistem Manajemen Penjaminan Mutu (Quality Assurance) di Perguruan Tinggi Agama Islam’. Ta'dib: Jurnal Ilmu Pendidikan.Batusangkar: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Batusangkar.Volume 10, No. 2. Aziz, Abdul. 2011. Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet. Bakar, Osman. Keynote Address dalam Conference Proceedings of Islamic Leadership In The Changing ASEAN: Fostering Peace and Development, 27 – 28 April 2010, Manila, Filipina. Darmaji, Ahmad dan Idrus, M. 2005. “Dakwah UII di Masyarakat Kampus Terpadu”, dalam Syamsuddin, M., Arifin, Saru dan Marpaung, Harum Murah. UII dalam Cita dan Fakta: Bunga Rampai Penelitian Institusi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Sosial, Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia. Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Murdan. 2004. “Pondok Pesantren dalam Lintasan Sejarah”. Ittihad: Jurnal Ilmiah Keagamaan,
8 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Pendidikan dan Kemasyarakatan. Banjarmasin: Kopertais Wilayah XI Kalimantan. Vol. 2, No. 1, April 2004 Rahman, Fazlur. 1965. Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Research. Shapiro, Harold T. 2005. A Larger Sense of Purpose: Higher Education and Society. New Jersey: Princeton University Press. Stanton, Charles Michael. 1994. Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300, diterjemahkan oleh H. Afandi dan Hasan Asari. Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Logos Publishing House. Sulistyawati, Sri. 2007. “Strategi Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Persaingan Global”. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Sumut. Medan: Pusat Penelitian dan Karya Ilmiah Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Vol. 8, No. 2. Suyoso. 1998. “Tantangan Perguruan Tinggi Terhadap Pengaruh Teknologi Informasi Era Abad XXI”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Yogyakarta. Edisi Khusus Dies, Mei 1998. Thaib, Dahlan dan Mahfud MD, Moh. 1986. UII Almamaterku. Yogyakarta: UII. Tim Editor: Bachtiar (et.al.). 2000. Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar (LKID), Edisi Pertama. Yogyakarta: UII Press. Tim Penyusun: A. Dwi Pamudji (et.al), ed. 2004. 60 Tahun Universitas Islam Indonesia Berkiprah dalam Pendidikan Nasional. Jakarta: Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Perwakilan Jakarta. Tim Penyusun: Djauhari Muhsin (et.al.). 2002. Universitas Islam Indonesia: Sejarah dan Dinamika. Edisi 1, Cet 1. Yogyakarta: Badan Wakaf UII. Tim Penyusun: Supardi (et.al.). 1994. Setengah Abad UII: Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Wahyono, S. Bayu. 1998. “Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi dalam Menyediakan SDM yang Siap Menyongsong Abad XXI”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Yogyakarta. Edisi Khusus Dies.
9 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
* Dosen Program Studi Ekonomi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
[1]Tim Penyusun: Supardi (et.al.), Setengah Abad UII: Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1994), hlm. 18, Tim Penyusun: A. Dwi Pamudji (et’al), ed., 60 Tahun Universitas Islam Indonesia Berkiprah dalam Pendidikan Nasional, (Jakarta: Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Perwakilan Jakarta: 2004), hlm. 19.
[2]Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, UII Almamaterku, (Yogyakarta: UII, 1986), hlm. 20.
[3]Lihat misalnya Nurul Aini, “Pesantren, Organisasi Modern Islam di Masa Penjajahan”, Darussalam: Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial, (Martapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam, 2009), Vol. 8, No. 1, Januari-Juli 2009, hlm. 47-64 dan Murdan, “Pondok Pesantren dalam Lintasan Sejarah”, Ittihad: Jurnal Ilmiah Keagamaan, Pendidikan dan Kemasyarakatan, (Banjarmasin: Kopertais Wilayah XI Kalimantan, 2004), Vol. 2, No. 1, April 2004, hlm. 33-45.
[4]Tim Penyusun (Djauhari Muhsin, et.al.), Universitas Islam Indonesia: Sejarah dan Dinamika, Edisi 1, Cetakan 1, (Yogyakarta: Badan Wakaf UII, 2002), hlm. 23-27.
[5]Tim Penyusun (Djauhari Muhsin, et.al.), Universitas Islam Indonesia: Sejarah dan Dinamika, hlm. 6.
10 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[6]Lihat misalnya Suyoso, “Tantangan Perguruan Tinggi Terhadap Pengaruh Teknologi Informasi Era Abad XXI”, Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan, (Yogyakarta: Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Yogyakarta, 1998), Edisi Khusus Dies, Mei 1998, hlm. 1-8, S. Bayu Wahyono, “Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi dalam Menyediakan SDM yang Siap Menyongsong Abad XXI”, Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan, (Yogyakarta: Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Yogyakarta, 1998), Edisi Khusus Dies, Mei 1998, hlm. 45-56, dan Sri Sulistyawati, “Strategi Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Persaingan Global”, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Sumut, (Medan: Pusat Penelitian dan Karya Ilmiah Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2007), Vol. 8, No. 2, hlm. 283-289.
[7]Asmendri, “Aplikasi Model Sistem Manajemen Penjaminan Mutu (Quality Assurance) di Perguruan Tinggi Agama Islam’,Ta'dib: Jurnal Ilmu Pendidikan, (Batusangkar: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Batusangkar, 2007), Vol. 10, No. 2, hlm. 101-110.
[8]Harold T. Shapiro, A Larger Sense of Purpose: Higher Education and Society, (New Jersey: Princeton University Press, 2005), hlm. 4.
[9]Q.S. al-Baqarah [2]: 30.
[10]Q.S. ash-Shad [38]: 26.
[11]Rachmat Ramadhana al-Banjari, Prophetic Leadership, (Yogyakarta: Diva Press, 2008),
11 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
hlm. 131-236.
[12]Untuk diskusi lebih lanjut, lihat misalnya Osman Bakar, Keynote Address dalam Conference Proceedings of Islamic Leadership In The Changing ASEAN: Fostering Peace and Development, 27 – 28 April 2010, Manila, Filipina.
[13]Tim Editor: Bachtiar (et.al.), Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar (LKID), Edisi Pertama, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 77-82. Pembahasan lainnya dapat dilihat pada Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), hlm. 120-138.
[14]R?ghib As-Sirj?n?, Al-‘Ilmu wa Bin?u al-Umam: Dir?sah Ta’sh?liyyah li Daur al-‘Ilmi f? Bin?i ad-Daulah, (Kairo: Muassasah Iqra’, 2007), hlm. 8.
[15]ibid.
[16]As-Sayyid Abu al-Hasan ‘Al? al-Husni an-Nadw?, Nahw at-Tarbiyyah al-Islamiyyah al-Hurrah f? al-Hukumah wa al-Bil?d al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Insy?’ li ath-Thib?’ah wa anNasyr wa at-Tauzi’, 1969), hlm. 7.
[17]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 131-132.
12 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[18]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 132.
[19]ibid.
[20]Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300, diterjemahkan oleh H. Afandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), hlm. 114-115.
[21]M. AbdulKarim,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. 1,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 175.
[22]ibid., hlm. 242.
[23] Tim Penyusun (Djauhari Muhsin, et.al.), Universitas Islam Indonesia: Sejarah dan Dinamika, hlm. 49-53.
[24]Q.S. ?li ‘Imran [3]: 159.
13 / 14
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[25]yaitu Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya, Universitas Bina Nusantara, Institut Sepuluh November Surabaya, Universitas Jember, Universitas Padjadjaran, Universitas Katholik Parahyangan, Universitas Sebelas Maret, Universitas Gunadharma, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Kristen Petra, STIE Triatma Mulia, Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Bengkulu, dikutip dari “QS Stars in Indonesia”, diakses dari http://www.topuniversities.com/qsstars/indonesia, pada 16 Maret 2012.
[26] yaitu Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Pasundan, Universitas Sanata Dharma, Universitas Sriwijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Udayana, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Andalas, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Syah Kuala, Universitas Hasanuddin, Universitas Lampung, Universitas Nasional, Universitas Negeri Makasar, Institut Teknologi Nasional Bandung, STSI Bandung, Politeknik Negeri Samarinda, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Tanjungpura, semuanya dengan raihan satu bintang serta Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Mercu Buana, dan Universitas Siliwangi Tasikmalaya,yang sudah masuk pemeringkatan namun belum memperoleh bintang,dikutip dari “QS Stars in Indonesia”, ibid.
[27]Terkait hlm ini, lihat misalnya Ahmad Darmaji dan M. Idrus, “Dakwah UII di Masyarakat Kampus Terpadu”, dalam M. Syamsuddin, Saru Arifin, dan Harum Murah Marpaung, UII dalam Cita dan Fakta: Bunga Rampai Penelitian Institusi, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Sosial, Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 2005), hlm. 124-127.
14 / 14 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)