Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PENDEKATAN SAINS
Sodikin
~
AKHLAK
MELALUI
1
PROSPEK CORAK PENAFSIRAN ILMIAH AL-TAFSIR AL‘ILMIY DAN AL-TAFSIR BIL ‘ILMI DALAM MENGINTEPRETASI DAN MENGGALI AYAT-AYAT ILMIAH DALAM AL-QUR’AN Binti Nasukah
~
19
PELAKSANAAN PENDIDIKAN PESANTREN TERPADU DALAM MENGEMBANGKAN IMAN DAN TAKWA (IMTAK) DAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-YASINI KRATON PASURUAN Zuhriyah
~
45
Pengembangan Media Pembelajaran Audio Visual Berbasis Aurora pada mata pelajaran PAI Kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan Mukhlisin
~
69
KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYI’AH: SEBUAH PERBANDINGAN Miftakhul Munir
~
95
Dialektika Agama Dan Budaya Di Masyarakat Muslim M. Ma’ruf
~
124
KONTRIBUSI KH. IMAM ZARKASYI DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (PESANTREN) Mohammad Aufin
~ 145
PENGEMBANGAN BUDAYA RELIGIUS DALAM KOMUNITAS SEKOLAH M. Jadid Khadavi
~
164
NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM ISLAM UNTUK MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT Yuniar Mujiwati
~
180
ANALISIS PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SIDOGIRI PASURUAN Siti Halimah
~ 190 PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AKHLAK MELALUI PENDEKATAN SAINS Sodikin
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) PGRI Pasuruan
ABSTRAK Pendidikan Akhlak yang berikan kepada siswa diberbagai sekolah baik sekolah yang berbasis agama atau umum masih menggunakan corak konvensional yakni masih menggunakan pendekatan normatif. Dengan pendekatan normatif ini siswa hanya menerima materi akhlak pada aspek konitif saja. Padahal esensi dari pendidikan akhlak penekanannya tidak pada ranah kognitif, namun pada ranah afektif dan psikomotiriknya. Dampaknya adalah materi yang diajarkan hanya menjadi sebatas hafalan siswa dan belum menyentuh pada esensinya. Oleh karena itu pendidikan akhlak dengan pendekatan sains berusaha mengajak siswa belajar mengamati fakta-fakta yang ada disekitar kita dan kemudian merenungkan makna yang terkandung dibalik fakta-fakta tersebut. Sehingga, dari proses pengamatan akan muncul nalar kritis siswa. Pembelajaran dengan pendekatan sains akan memberikan makna atas suatu perilaku atau sikap yang terdapat pada fenomena alam. Dengan demikian siswa tidak hanya menerima materi akhlak pada ranah kognitif saja, namun juga pada aspek afektifnya dan psikomotoriknya karena pembelajaran akhlak dengan pendekatan sains mengajarkan langsung kepada fenomena alam yang tidak akan berbohong. Pendekatan sains pada pendidikan akhlak akan membantu guru untuk menjelaskan pada siswa tentang pentingnya pendidikan akhlak. Kata kunci: Pendidikan Akhlak, Sains
A. Pendahuluan Islam adalah agama yang datang dengan misi utamanya yaitu merahmati seluruh penduduk alam. Ketika manusia berada dalam ketidak pastian dan mengancam eksistensi mereka akibat kerusakan moral, maka Allah swt mengirimkan seorang utusan untuk menetralisir keadaan agar menjadi baik. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. إنما بعثت التمم مكارم االخالق Sesungguhnya Kami (Muhammad) hanya diutus untuk menyempurnakan Akhlak.(HR. Ahmad). Allah sengaja menurunkan utusan itu agar manusia meneladani utusannya dalam berbagai hal baik masalah internal atau eksternal. Oleh karena itu setiap utusan sudah barang tentu memiliki kepribadian yang luhur dan akhlak yang mulia sebagai suri tauladan bagi setiap manusia. Sebagaimana persaksian Allah terhadap utusannya yang terakhir yaitu nabi Muhammad saw. dengan firmannya: “Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam: 4) Kedua nas tersebut menunjukkan bahwa turunnya agama Islam melalui para utusannya tidak lain adalah untuk memberikan arahan kepada manusia khusunya masalah akhlak. Ketika zaman jahiliyyah telah meresahkan semua manusia dengan berbagai tindak amoral yang dilakukan orang yang kuat terhadap yang lemah, Allah mengutus Muhammad saw. ke Makah untuk mengatasi permasalah akhlak itu. Oleh karena itu, ketika berbicara masalah moral atau akhlak, maka, sesungguhnya umat Islam semestinya berada di garda yang paling depan. Seiring dengan berjalannya waktu, umat Islam telah jauh jauh dari konsep awalnya.Walaupun termasuk kategori penduduk Islam terbesar dunia dengan 88% pemeluk Islam, prilaku bangsa ini, belum mencerminkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Keadaan ini mungkin tidak jauh dengan negara-negara muslim lainnya di belahan dunia. Dalam konteks kerusakan moral di Indonesia, dapat dibuktikan dengan silih bergantinya elit politik, penguasa, pengusaha, tertangkap
oleh lembaga anti risywah (KPK).1 Maraknya narkoba2 yang mengancam generasi bangsa, seksual,3 kekerasan, tawuran,4 dan beberapa tindak kriminalitas yang mewarnai media, telah menguatkan bahwa bangsa ini mengalami krisis moral. Rekam jejak ini mengindikasikan kegagalan pendidikan yang belum mampu memberikan pengaruh positif pada siswa untuk mencapai tujuan yang diamanahkan oleh undang-undang yaitu menciptakan insan yang beriman dan bertakwa serta berakhlaq mulia.5 Keadaan tersebut sangat berbanding terbalik dengan negara-negara yang tidak dianut oleh mayoritas Islam. Perilaku mereka lebih bermoral daripada umat Islam. Fakta menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih kalah dengan sistem pendidik di negara-negara maju dan berkembang lainnya dalam membina dan mendidik moral bangsa. Negara-negara yang mayoritas non muslim seperti Belanda, Singapura, kanada dan Denmark ternyata lebih bersih dari korupsi. Bandingkan dengan negara muslim lainnya. 6 Dalam bidang keamanan, lagi-lagi
1
Lembaga Transparency International (TI) merilis data indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) untuk tahun 2015. Dalam laporan tersebut, ada 168 negara yang diamati lembaga tersebut dengan ketentuan semakin besar skor yang didapat, maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Skor maksimal adalah 100. Direktur Program Transparency International Indonesia, Ilham Saenong, saat mengumumkan hasil riset mereka di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 27 Januari 2016. Dari catatan itu Indonesia menempati peringkat ke 88 dengan skor CPI 36. Skor tersebut meningkat dua poin dari tahun 2014 yang berada di peringkat ke 107. https://m.tempo.co di akses 23 April 2016 2 Remaja korban narkoba di Indonesia 1.1 juta orang atau 3,9 % dari total jumlah korban. 3 Mengenai seks bebas, hasil survey menunjukkan bahwa seks bebas dikalangan remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia pernah melakukan seks bebas. Menurut direktur BKKBN, M. Masri Fuadz, data tersebut merupakan hassil survey yang mengambil sample dari 33 propinsi di Indonesia pada tahun 2008 4 Sepanjang tahun 2013 total telah terjadi 255 kasus kekerasan yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih banyak dari tahun 2012 yang mencapai 147 kasus dengan jumlah tewas mencapai 17 siswa. Tahun 2014 lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak sudah menerima 2.737 kasus atau 210 setiap bulannya termasuk kasus kekerasan dengan pelaku anak-anak yang ternyata naik hingga 10 persen. Komnas PA bahkan memprediksi tahun 2015 angka kekerasan dengan pelaku anak-anak, termasuk tawuran antar siswa akan meningkat sekitar 12-18 persen. http://indonesianreview.com di akses 23 April 2016 5 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, hal-76 6 Lembaga Transparency International atau Transparansi Internasional merilis Indeks Korupsi Dunia tahun 2014. Dalam sebuah tabel yang dirilisnya menempatkan Denmark menduduki peringkat pertama sebagai negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi, disusul Selandia Baru, Finlandia, Swedia, dan Norwegia. Secara umum, 3 negara di kawasan Skandinavia menjadi yang paling bersih dari penyimpangan. Di kawasan Asia, Singapura menjadi negara yang paling bersih. Negeri Singa itu menempati posisi ke-7. Jepang berada di peringkat 15, Uni Emirat Arab dan Qatar menduduki ranking yang sama, yakni 26, Arab Saudi peringkat 55 sedangkan Indonesia menduduki ranking 107. Di Eropa, Belanda yang paling bersih di antara negara lainnya, disusul Inggris, Belgia peringkat 15 seperti Jepang, sedangkan Kanada jadi negara paling bersih di Benua Amerika, dengan menempati peringkat 10, disusul Amerika Serikat di peringkat 17 serta Chile dan Uruguay yang sama-sama menduduki
negara mayoritas non muslim lebih tinggi tingkat keamannya. Numbeo, slah satu situs database terbesar dunia untuk data kontribusi user terkait tingkat keamanan, membuat survei Crime Index by Country 2015. Survei ini mengungkapkan 120 negara dengan tingkat kriminalitas terendah hingga tertinggi. Numbio menetapkan Korea Selatan sebagai negara yang mempunyai keamanan paling tinggi, disusul Singapura, Qatar, Jepang, Taiwan, Hong Kong, Georgia, Uni Emirat Arab, Denmark, dan Malta.7 Bandingkan dengan Yaman, Syiria, Liberia, Pakistan, dan Libia. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda kedamaian. Oleh karena itu, harus ada rekontruksi baru dalam penanaman moral kepada masyarakat Islam Indonesia dan penanaman moral itu harus sedini mungkin dengan melakukan berbagai pendekatan agar kelak generasi bangsa ini, khususnya anakanak umat Islam memiliki akhlak yang melekat pada diri siswa dan diimplementasikan dalam setiap tindakannya. Segala bentuk tindakannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai luhur sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Memang selama ini pelaksanaan pendidikan moral yang merupakan bagian dari rumpun mata pelajaran agama juga masih banyak kekurangan dalam mencetak siswa yang bermoral. Menurut Muhaimin pendidikan akhlak (moral) di sekolah masih terfokus pada capaian kompetensi. Pendidikan akhlak (moral) semestinya bukan pada kompetensi itu tapi pada sikap, bagaimana siswa itu mau (Will) dan membiasakan berbuat baik dan meninggalkan yang tercela, sehingga akhlak itu benar-benar tertanam dalam dirinya dan akan muncul secara spontanitas tanpa harus berfikir panjang.8 Pendidikan moral hendaknya tidak hanya bersifat materi yang harus di hafalkan dan di ulang-ulang. Muhaimin menghendaki adanya pendidikan yang berupa perbuatan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyayangkan keberadaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah atau di Madrasah masih bersifat teoritis, belum sampai pada tataran praktis. Guru sibuk dengan penghafalan materi untuk mencapai kompetensi. Prilaku siswa yang nyata cenderung terabaikan karena terfokus pada perbaikan nilai. Dampaknya, siswa
ranking 21. Lihat Lembaga Transparency International, http://news.liputan6.com di akses 19 Desember 2015 7 http://travel.detik.comn di akses 19 Desember 2015 8 Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm.221
tidak mengerti makna di balik pelajaran moral yang di ajarkan di kelas. Ketidakmengertian itu akhirnya siswa tidak mempunyai nilai yang menjadi pedomannya dalam bertindak. Semua yang dilihat oleh siswa, akan dilakukan tanpa mengetahui baik dan buruknya. Adanya pendekatan baru dalam menanamkan moral di sekolah menjadi suatu kebutuhan yang urgen. Pendidikan moral di sekolah yang masuk bagian dari rumpun pendidikan agama dan akhlak mulia harus membuat pendekatan baru untuk lebih mengefektifkan pendidikan moral di sekolah. Pendidikan akhlak yang dijalankan di sekolah saat ini yang lebih menggunakan pendekatan normatif menjadikan siswa mengalami kejenuhan. Dampak dari kejadiaan tersebut menjadikan siswa tidak tertarik dengan ajaran akhlak. Keadaan ini sangat diperparah dengan perilaku masyarakat yang tidak mencerminkan nilai-nilai akhlak. Makin mengenaskan lagi ketika guru tidak mencerminkan perilaku yang tidak berakhlak di dalam lingkungan sekolah. Pendekatan sains dalam pendidikan akhlak merupakan salah satu upaya untuk mengatasi berbagai kelemahan metode pendidikan akhlak di sekolah. Nalar berfikir rasional dan empiris adalah salah satu cara untuk menanmkan karakter positif dalam diri siswa sehingga muncul budaya kritis dan analitis dalam memahami setiap sesuatu. Pengetahuan yang di dapat di sekolah tidak hanya berlalu begitu saja seiring dengan habisnya waktu belajar dan waktu pulang, pendidikan akhlak yang didekatkan dengan sains akan senantiasa menjadi bahan renungan bagi siswa untuk memecahkan masalah. Ilmu yang mereka dapat tidak hanya sekedar menghafal, akan tetapi ilmu itu akan menancap dibenak mereka sehingga siswa dapat memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang sesuatu yang baik dan yang buruk. B. Dasar Pendidikan Akhlak dengan Pendekatan Sains Kata akhlak ( )أ َ ْخالقadalah jamak taksir dari kata khuluq (ٌ ) ُخلُقyang secara etimologis mempunyai arti tabi’at (al sajiyyat), watak (al thabi’ah) budi pekerti, kebijaksanaan, dan agama (al din). Menurut para ahli akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran (secara spontan), pertimbangan,
atau penelitian. Akhlak biasa disebut juga dengan dorongan jiwa manusia berupa perbuatan yang baik dan buruk.9 Imam Al Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang melahirkan tindakan. فالخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر اآلفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر وروية “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri atau jiwa manusia yang dari sifat itu melahirkan tindakan, perlakuan atau perilaku amalan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran,”10 Adapun istilah scientific berasal dari bahasa Inggris science yang berarti pengorganisasian pengetahuan melalui observasi dan test terhadap fakta atau realita.11 Henry van Laer (1995) menyamakan atau mensejajarkan science (Inggris) dengan scientia yang berasal dari istilah latin yang berarti mengetahui.12 sains dan saintifik merupakan dua istilah yang dapat dipakai secara bersama dengan analogi yang sama. Ia menjelaskan bahwa sain dapat dilihat dari pengertian subjektif dan objektif. Pada aspek subjektif sain lebih dirujukan kepada operasi actual intelektual manusia, sebagai sarana untuk mengetahui keadaan dan beberapa situasi tertentu. Sedangkan pada aspek objektif untuk menunjukkan tentang objek sain dalam pengertian subjektif.13 Pendekatan sains merupakan metode ilmiah yang dijalankan dalam pencarian kebenaran dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru dan melakukan tinjuan kembali terhadap pengetahuan yang telah ada pada zaman dahulu.14 Al-qur’an sebagai
dasar pendidikan akhlak banyak menggunakan
pendekatan-pendekatan empiris dalam menanamkan pendidikan moral. Selain memanfaatkan al-qur’an dan al-hadits sebagai sumber kebenaran, maka masih ada 9
M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedi Tasawuf Imam Al-Ghazali Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual (Jakarta: Hikmah Mizan Publika, 2009), hlm. 38. 10 Imam Al-Ghazali, Mau’idhatun Al-Mu’minin min Ihya‘Ulumuddin, (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah, tt), hlm.203. 11 Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford; Oxford University Press, 1991) , hlm.368. 12 Henry van Laer, Filsafat Sain, Bagian Pertama Ilmu Pengetahuan Secara Umum, terjemahan Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pt. Kurnia Kalam Semesta, 1995), hlm. 1. 13 Moh. Agung Rokhimawan, Pembelajaran Sain di MI Membentuk Peserta Didik yang Humanistik Religius, Jurnal Al-Bidayah, Jurnal Pendidikan Dasar Islam Volume 5 No.2, Desember 2013. 14 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakekat Menuju Ilmu (Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2006), 143.
lagi sumber yang ketiga yaitu alam semesta (al-kaun). Sumber yang ketiga ini juga tidak kalah pentingnya dengan sumber yang pertama dan kedua. Kebenaran sumber yang kedua ini juga ditegaskan oleh Allah dalam al-qur’an yaitu:
وما خلقناهما اال بالحق ولكن اكثرهم.وما خلقنا السموات واالرض وما بينهما العبين .اليعلمون Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia. Kami menciptakan keduanya itu melainkan dengan membawa kebenaran (dan tujuan) yang benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS. Ad-Dukhan: 38-39). Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kebenaran yang mutlak dan tidak dapat ditentang dengan argumen apapun. Al-Qur’an merupakan himpunan kalam Allah yang sekaligus merupakan
mu’jizat yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga keberadaan al-qur’an tidak akan bisa dimasuki oleh suatu ayat yang menyesatkan dari manapun. Hal itu ditegaskan oleh beberapa ayatnya Sebagai berikut:
Dan al-qur’an itu adalah sebuah kitab yang mulia, yang tidak didatangi oleh kebatilan dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang maha bijaksana dan maha terpuji. (QS. Fussilat: 42). Ayat tersebut memberikan memberikan beberapa pesan yang harus menjadi fokus kajian umat islam. Pertama, kebenaran al-qur’an bersifat mutlak. Tidak akan ada teori yang bisa meruntuhkannya walaupun seluruh upaya akan dilakukan oleh semua makhluk. Kedua, di dalam al-qur’an tidak akan ditemuai kebatilan atau sesuatu konsep yang tidak sesuai dengan nalar suci manusia. Oleh karenanya pada ayat yang lain Allah dengan tegas memerintahkan manusia agar melakukan tadabbur (mempelajari dan memikirkan dalam-dalam) serta meakukan nadhar (menggunakan akal/pikiran dan meneliti dengan metode efisien/efektif) terhadap ayat-ayat qauliyah (tertulis/wahyu) maupun kauniyah (yang ada di sekitar kita, dialam raya maupun di tubuh kita). Allah berfirman:
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا اياته وليتذكر اولوا االلباب
Kitab yang telah kami turunkan kepada mu itu diberkati, supaya mereka itu mentadabburkan ayat-ayat-Nya, dan supaya orang-orang yang berfikiran kuat dapat mengambil peringatan/pelajaran baginya (QS. Shad: 29). Manusia hendaknya mampu mamanfaatkan fasilitas kebenaran yang telah diberikan Allah. Fasilitas utama kebenaran itu adalah al-qur’an. di dalam ayatnya di jelaskan: Dan Kami turunkan padamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. An-Nisa’: 82). Maksud daripada menjelaskan segala sesuatu adalah Allah menjelaskan pokok-pokok dan garis-garis besar urusan di segala bidang dan segi yang diperlukan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Untuk menjelaskan ayat-ayat al-qur’an dengan hal-hal yang detail maka manusia harus memanfaatkan fasilitas kebenaran yang lainnya yaitu hadits. Ketika fasilitas sumber diatas merupakan sumber ilmiah yang bersifat komplementer atau saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Sebagai sumber ilmiah, ketiganya tidak mengandung hal-hal yang dokmatik. Artinya pandangan manusia yang tidak di dasarkan pada bukti kebenaran. Maka dari itu, Islam sangat tegas menolak dokma (paksaan) dalam Islam. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah:
. قد تبين الرشد من الغي،الاكراه في الدين Tidak ada paksaan (dokma) dalam agama (Islam) ini, sesungguhnya telah jelas (berbeda) petunjuk yang benar daripada yang sesat (QS. Al-Baqarah: 256). Menurut Umar Faruq Allah memanggil manusia agar memakai akalnya untuk memikirkan kejadian alam, pergantian siang dan malam, penciptaan manusia, kehidupan binatang dan tumbuhan, dan ekosistem di bumi.15 Allah mewajibkan pada umat manusia agar setiap ilmu atau setiap pendapat yang dipeganginya harus berdasarkan bukti ilmiah. Bukti kebenaran itu dalam al-qur’an disebut dengan burhan/hujjah/ayat atau bayyinah. Dikalangan ulama’ biasa mengatakan bukti kebenaran itu adalah dalil. Nabi Ibrahim as. merupakan orang yang senantiasa
15
Faruk, Umar, Jalan Menuju Taqwa: Sendi-Sendi Utama Agama Islam untuk Menjadi Manusia Sempurna, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009), hlm. 127
mencari kebenaran Islam melalui fakta-fakta ilmiah. Dalam pengembaraannya mencari Tuhan, ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang Tuhan. Renungan Nabi Ibrahim tentang pencarian Tuhan akhirnya berakhir dari suatu keputusan yang merupakan anti tesis dari semua yang ia pikirkan. Proses berfikir rasional dan empiris itu membawanya pada suatu kesimpulan tentang Tuhan yaitu Tuhan Yang Esa dan tidak berubah-ubah. Afzalurrahman dalam bukunya Quraanic Sciance menyebutkan bahwa sains akan membawa manusia sampai pada tuhannya melalui proses observasi yang teliti dan tepat terhadap hukum-hukum yang mengatur gejala alam. Pengingkaran atas realitas akan membawa manusia pada anarki dan kebingungan serta merampas kedamaian dan ketentraman batinnya. 16 Menurut Ibnu Arabi, seseorang harus melampaui materi atau penampakan fenomena materi untuk memahami, melalui emosi dan intuisi, sifat sesungguhnya dari realitas tertinggi atau universal. Alam adalah manifestasi tuhan.17 Zakir Naik dalam The Qur’aan and Modern Science: Compatible or Incompatible18, menyebutkan bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, tetapi sebuah buku petunjuk, yaitu melalui ayat-ayatnya. Terdapat lebih dari 6000 petunjuk dalam al-qur’an, dimana di dalam petunjuk-petunjuk tersebut terdapat lebih dari seribu ayat yang berhubungan dengan sains atau ilmu pengetahuan. Dalam studinya mengenai bagaimana sikap al-Qur’an terhadap sains, Khalil menyebutkan empat kategori yang tercakup dalam ayat-ayat al-Qur’an mengenai sains, yaitu:19 (1) hal-hal yang berkaitan dengan realitas, horison dan tujuan dari sains; (2) metodologi dalam menggali fakta-fakta sains; (3) hukum-hukum yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; (4) hukum-hukum tersebut dapat digali atau ditemukan melalui serangkaian metodologi eksperimen dengan maksud untuk diaplikasikan manusia sesuai dengan kemampuannya, menuju penciptaan kehidupan dunia yang lebih baik lagi. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an memiliki petunjuk yang diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 16
Afzalurrahman, Qur’anic Sciance, (London: The Muslim School Trust), hlm.1 Howard R. Turner, The Histori of Science and The New Humanism, (Austin: University Teksas Press, 1997), hlm.52 18 Zakir Naik, The Qur’aan and Modern Science: Compatible or Incompatible?, Islamic Research Foundation, tersedia di: http://www.irf.net, hlm. 8 19 Imaduddin Khalil, The Qur’an and Modern Science: Observations on Methodology, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 8, No. 1. 1991. Pp 1-13. 17
Selanjutnya, pada ayat lain dijelaskan tentang permintaan Ibrahim kepada Allah agar ditunjukkan bukti-bukti kekuasaannya. Allah berfirman:
قال. قال بلى ولكن ليطمئن قلبي. قال أولم تؤمن.وإذقال ابراهيم رب ارني كيف تحي الموتى فخذ اربعة من الطير فصرهن اليك ثم اجعل على كل جبل منهن جزأ ثم ادعهم سعيا واعلم أن .هللا عزيز حكيم Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?”. Ibrahim menjawab: “aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”. Allah berfirman: “(kalau demikian) ambillah empat ekor burung lalu cincanglah semua oleh mu. (Allah berfirman): lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka dating kepadamu dengan segera. Dan ketuhuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Ibrahim: 260). Allah meyakinkan Nabi Ibrahim dengan menunjukkan fakta-fakta kekuasan-Nya yang dapat dilihat secara kasab mata oleh Ibrahim as. Dengan kejadian itu, keimanan Ibrahim menjadi kuat. Ketenangan hatinya tentang kebenaran Allah sebagai Tuhan semesta alam menjadikan ia tabah dan menerima segala sesuatu yang menimpanya. Ujian yang terberat yang menimpa Ibrahim adalah ketika ia dibakar oleh kaumnya. Ketabahan itulah menjadikan ia mendapat gelar Khalilullah yaitu kekasih Allah. Apabila ditarik pada konteks pendidikan, bahwa seseorang atau siswa akan menerima dan bersedia mengimplementasikannya apabila ia melihat secara kasab mata tentang manfaat dan tidaknya seatu perbuatan. Fakta-fakta empiris yang disajikan dalam pembelajaran, akan menjadikan siswa termotivasi untuk melakukan. Hal itu dapat kita lihat betapa banyak prilaku siswa yang ia serap dari TV atau lingkungan sekitar. Mereka mudah melakukan karena dianggap menarik dan mudah untuk dipahami. Sementara pendidikan di sekolah khususnya pendidikan agama bersifat abstrak dan sulit dipahami. Sementara dalam ilmu pembelajaran berbasis otak yang ditulis oleh Eric Jensen, otak akan merespon dengan cepat apabila informasi yang disajikan itu jelas dan konkret. Informasi yang
jelas tersebut akan cepat direspon oleh otak dan menjadikan motivasi bagi anggota tubuh untuk melakukannya. Sampai disini kita mendapatkan tiga macam sumber bukti ilmiah, yaitu burhan qur’ani, burhan sunni, dan burhan kauni. Sedangkan segala bidang yang dipelajari manusia tidak lepas dari empat hal, yaitu (1). Syariat Agama (Islam), (2), Sains, (3), Teknologi, dan (4). Art (seni). Oleh karena itu keempatnya harus di dasarkan pada tiga sumber diatas.20 Sejak turunnya wahyu yang pertama, Allah berupaya mengajak manusia untuk menggunakan akalnya memikirkan segala sesuatu. Allah berfirman:
أقرأ باسم ربك الذي خلق Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (QS. al-Alaq: 1). Kata iqra’ merupakan perintah pertama yang diperintahkan kepada Nabi, padahal seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis). Menurut M. Quraisy Syihab, hal ini menunjukkan bahwa secara tersirat manusia diperintahkan untuk tidak hanya membaca teks yang tertulis namun juga yang tidak tertulis. Dengan pemahaman yang demikian maka ma’na iqra’ tidak hanya membaca teks, namun juga bisa diartikan menghimpun. Dari kata mengimpun inilah lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.21 Secara tidak langsung Allah memerintahkan umat manusia untuk selalu membaca segala fenomena kehidupan yang telah Allah ciptakan di dunia. Kata membaca yang juga dapat diartikan berfikir merupakan olah akal manusia dalam memikirkan alam jagad raya untuk mencari kebenaran. Pada kalimat selanjutnya adalah “dengan nama Allah” artinya, dalam berbagai kegiatan berfikir hendaknya manusia tidak lupa bahwa semua yang menciptakan dan mengatur adalah Allah. Pada ayat selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa ia mengajarkan manusia dengan al-qolam. Allah berfirman:
الذي علم بالقلم Yang mengajarkan manusia dengan al-Qalam (QS. al-Alaq: 4). 20 21
Tim Perumus Fakultas UMJ, Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal-23 M. Qurasy Syihab,Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), hlm-6
Kata al-Qalam selama ini diterjemahkan dengan “pena”. Quraisy Syihab menjelaskan bahwa yang di maksud dengan pena adalah hasil pena tersebut yang berarti tulisan. Sedangkan tulisan Allah itu tidak lain adalah al-Qur’an dan alam jagad raya.22 Menarik apa yang disampaikan oleh Fahmi Basya tentang penafsiran al-Qalam. Menurutnya al-Qalam itu tidak lain adalah gejala alam atau fenomena yang ada di alam ini.23 Allah mengajarkan karakter qalam agar manusia secara tidak langsung mengambil ibrah atau berguru pada alam. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa salah satu anak nabi Adam yang bernama Qabil ketika sedang kebingungan tentang apa yang harus dilakukan terhadap saudaranya (Habil) yang baru ia bunuh. Sehingga Allah mengutus gagak untuk memberikan pengajaran pada Qabil tersebut. Allah berfirman:
فبعث هللا غرابا يبحث في االرض ليريه كيف يواري سوءة اخيه Kemudian Allah kirim seekor burung gagak yang menggali bumi untuk Dia perlihatkan kepadanya bagaimana semestinya ia menguburkan saudaranya (QS. AlMaidah: 31). Melalui seekor burung gagak ini manusia (qabil) dapat memperoleh pengetahuan bagaimana semestinya menguburkan manusia (Habil). Kisah ini menggambarkan bahwa manusia hendaknya belajar dari fenomena alam. Sains dan teknologi menjadi berkembang luar biasa juga tidak lepas dari pengajaran alam secara tidak langsung pada manusia. Semisal, Issac Newton mampu menyimpulkan teori grafitasi karena sebuah apel yang jatuh padanya. Galileo menemukan prinsip pendulum setelah melihat lampu Katedral bergoyang ditiup angin. Penjaga lembah Missisipi menemukan sejenis kembang matahari yang bisa menunjukkan arah mata angin dengan tepat, yang kerjanya sama halnya dengan jarum kompas, dan lain sebagainya. Dari beberapa pemaparan diatas, maka dapat kita simpulkan sekali lagi bahwa sumber ilmiah yang telah difasilitasi Allah ada tiga sebagaima yang ada pada bagan di bawah ini:
22 23
M. Qurasy Syihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), hlm-30 Muhammad Asroruddin Sidik, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, (Jakarta: Amzah, 2000), hal-6
ALLAH AS-SUNAH
AL-QUR’AN
AL-KAUN
AKAL MANUSIA
ILMU ALLAH Untuk Manusia
SYARIAT ISLAM
SAINS SCIANCE
TEKNOLOGI ENGINEERING
SENI ART
C. Pemanfaatan Sains Dalam Penanaman Akhlak Apabila kita memahami tentang sumber kebenaran yang telah dijelaskan diatas, maka bukan suatu yang mengherankan apabila seseorang akan memiliki akhlak mulia walaupun tidak mengenal al-qur’an dan hadits. Fenomena alam akan menjadi guru bagi setiap manusia untuk berperilaku dan bersikap dalam kehidupan. Kebenaran fenomena alam juga mendapat legitimasi al-qur’an secara tersurat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sains akan mengajarkan kepada manusia. Fenomena alam akan menuntun manusia dalam bersikap ataupun berbuat. Baik dan buruk akan ditunjukkan secara nyata dan dampak baik dan buruknya juga akan namak pula. Semisal orang menebang hutan secara berlebihan, maka dampaknya secara nyata akan kembali pada manusia sendiri. Perusakan hutan akan berdampak pada kurangnya mata air, terusiknya penghuni hutan, dan beberapa dampak lainnya. Pastinya akibat dari perilaku tersebut, akan merugikan manusia itu sendiri.
Selama ini ajaran-ajaran agama islam yang sampaikan oleh ustadz atau muballigh, pada umumnya masih bersifat doktrinal. Moyoritas penyampai ajaran islam masih belum bisa memberikan gambaran konkrit manfaat dan bahaya dari suatu perbuatan yang dilakukan. Karena sifatnya yang abastrak yang cenderung menggunakan bahasa langit, maka pendidikan agama Islam cenderung tidak di minati oleh kebanyakan siswa. Penggunaan sains dalam menjelaskan ajaran agama islam, akan memberikan kemudahan dan kejelasan dari maksud ajaran agama itu sendiri. Dampaknya adalah siswa tidak hanya memahami tentang ajaran itu sendiri, namun akan merambah pada penjiwaan dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Nilai-nilai itu akan senantiasa melekat pada diri manusia (siswa) dalam perilakunya dalam kehidupan. Nilai baik dan buruk akan menjadi suatu pertimbangan manakala ia akan melakukan sesuatu yang akan berdampak jelek bagi dirinya dan semua manusia. Banyak alegori-alegori dalam al-Qur’an yang mengajarkan akhlak pada manusia. Dalam al-Qur’an terdapat nama-nama surat seperti an-Naml, an-Nahl, alAnkabut dan lain sebagainya. Nama-nama surat tersebut tidak berarti kosong dari nilai. Terdapat makna yang tersimpan dibalik nama-nama surat tersebut. Allah mengajarkan manusia
untuk selalu bergotong royong dalam
kehidupan
bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh semut yang selalu bahu membahu untuk menyediakan untuk kebutuhannya. Lebah juga demikian, ia mencerminkan sebagai makhluk yang baik yang selalu memberi manfaat kepada yang lain. Laba-laba adalah makhluk yang setia menunggu atas datangnya rizki. Begitu juga burung. Terkait masalah rezeki, Rasulullah saw. Mengajak umat Islam melihat burung. Bagaimana ia dipagi hari pergi dengan perut kosong, namun kembali pada waktu sore dengan keadaan kenyang. Keadaan semacam itu terus berlanjut sepanjang hayatnya. Artinya melalui burung, Rasulullah mengajarkan pada umatnya agar selalu sabar, tawakkal dan terus berusaha. Dengan proses semacam ini, pendidikan akhlak akan lebih menarik karena melihat fakta empiris dari suatu contoh yang kongkrit atas suatu sikap yang dibangun oleh alam. Pembelajaran ini akan lebih efektif daripada harus panjang mengartikan sabar, tawakkal dan kerja keras melalui definisi-definisi yang sifatnya
tertulis. Siswa akan terpanah pandangan mata dan hatinya ketika melihat proses alam yang mengajarkan suatu sikap kepada manusia. Alam tidak akan berbohong karena alam tidak dikendalikan oleh nafsu. Suatu contoh alegori untuk membangun kesabaran dan kegigihan adalah proses kepompong ketika menjadi kupu-kupu. Suatu proses yang mengajarkan kepada manusia bahwa proses itu dilalui dengan tidak mudah. Ada pengorbananpengorbanan yang dilakukan untuk menjadi sesuatu yang lebih mulia yaitu kupukupu. Perjalan kepompong menjadi sebuah kupu-kupu akan memberikan pesan kepada siswa bahwa keberhasilan dan kesuksesan diperoleh dengan usaha yang tidak mudah. Proses pembelajaran seperti itulah yang diharapkan untuk membangun akhlak siswa sehingga secara tidak sadar akan terbangun sikap dan perilaku sebagaimana yang ditunjukkan alam kepada manusia. Bandingkan dengan pendidikan akhlak dengan pendekatan konvensional yang hanya berbicara panjang lebar tentang pengertian sabar, tujuannya dan beberapa hal yang terkait dengan sabar. Semua bersifat monoton dan menjenuhkan. Terkadang sikap sabar yang diajarkan dikelas justru tidak diamalkan oleh guru itu sendiri. Begitu juga dalam mengambil sikap tentang halal dan haram. Mengapa babi itu diharamkan atau mengapa bangkai itu tidak boleh dimakan, diantara pendidikan agama belum ada yang sampai pada pembahasan itu. Akibatnya seseorang akan menganggap bahwa perbuatan baik dan buruk hanya akan di terima balasannya di akhirat saja tanpa mengetahui dampak baik dan buruknya bagi kehidupan dunia. Ketika sudah berbicara tentang akhirat maka yang muncul adalah prifasi, dan setiap orang dilarang menghakimi ia masuk neraka atau surga, karena itu adalah masalah individu. Padahal perbuatan negatif yang dilakukannya telah merugikan banyak orang. Sains adalah bagian daripada sumber ilmiah. Al-qur’an dan hadistpun demikian. Sains akan membantu menjelaskan pesan al-qur’an dan hadits yang global, dengan penjelasan sains yang lebih mudah dinalar. Penggabungan ketiganya akan
membawa
pendidikan
agama
islam
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
lebih
rasional
dan
mudah
Menurut Daryanto, dalam mengimplementasikan pendidikan akhlak dengan pendekatan sains, ada beberapa prinsip yang hendaknya diperhatikan oleh guru ketika mengajar, di antaranya: 1. Pembelajaran berpusat pada siswa; 2. Pembelajaran membentuk student self concept; 3. Pembelajaran; terhindar dari verbalisme; 4. Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip; 5. Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa; 6. Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi belajar guru; 7. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam komunikasi; 8. Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.24 Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains mempunyai tujuan agar siswa memperoleh pemahaman atas suatu ilmu melalui suatu proses. Sehingga secara tidak sadar akan menanamkan sikap kritis pada siswa. Siswa tidak akan menerima suatu informasi sebelum melalui proses, sampai pada akhirnya ia akan menerima berdasarkan pertimbangan akal pikirannya. Sementara Abruscato dalam Teaching Children Science menyatakan bahwa ada enam nilai khusus yang dapat dijadikan prinsip dasar pembelajaran untuk membangun nalar berfikir siswa yaitu nilai
kebebasan,
kebenaran,
keaslian
(originality)
dalam
berpikir
dan
mengemukakan pendapat, tidak mudah percaya (skeptisme), keteraturan, dan komunikasi. Keenam nilai ini tidak hanya diperlukan dalam sains, tetapi juga pada semua bidang (areas) pemahaman manusia yang lainnya. 25 D. Kesimpulan Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama islam melalui
24
Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013, (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2014), hlm. 58 25 Abruscato, J. (1982). Teaching Children Science. (New Jersey, USA: Prentice-Hall,Inc.Englewood Cliffs: 1982), hlm. 6-12
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Pendidikan Agama Islam mempunyai tugas berat sebagai salah satu mata pelajaran yang diamanahkan untuk mengawal iman dan takwa serta akhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam pelaksanaannya permasalahan pendidikan agama islam di sekolah masih menemui berbagai permasalahan baik permasalahan yang bersifat internal atau eksternal. Permasalahan pendidikan agama islam yang selama ini terjadi di sekolahsekolah justru kebanyakan karena dikotomi ilmu yang selama ini masih erat dikalangan umat islam. Keterlibatan sains dalam pendidikan islam dianggap suatu yang sangat efektif karena sains yang merupakan bagian dari kebenaran ilmiah akan dapat menjelaskan beberapa ajaran agama yang masih abstrak. Tentang kebenaran sains sudah tidak diragukan lagi karena sudah disebutkan secara tersurat dalam al-qur’an. DAFTAR PUSTAKA Abruscato, J. 1982. Teaching Children Science. (New Jersey, USA: PrenticeHall,Inc.Englewood Cliffs) Afzalurrahman, Qur’anic Sciance, (London: The Muslim School Trust) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) Cecep Sumarna, 2006, Filsafat Ilmu dari Hakekat Menuju Ilmu (Bandung; Pustaka Bani Quraisy) Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013, (Yogyakarta: Penerbit Gava Media) Faruk, Umar. 2009. Jalan Menuju Taqwa: Sendi-Sendi Utama Agama Islam untuk Menjadi Manusia Sempurna, (Jakarta: PT Fikahati Aneska) Henry van Laer, Filsafat Sain, Bagian Pertama Ilmu Pengetahuan Secara Umum, terjemahan Yudian W. Asmin, 1995, (Yogyakarta: Pt. Kurnia Kalam Semesta) Howard R. Turner, 1997, The Histori of Science and The New Humanism, (Austin: University Teksas Press) Imaduddin Khalil, The Qur’an and Modern Science: Observations on Methodology, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 8, No. 1. 1991. Pp 1-13.
Imam Al-Ghazali, Mau’idhatun Al-Mu’minin min Ihya‘Ulumuddin, (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah, tt), M. Abdul Mujieb, dkk, 2009, Ensiklopedi Tasawuf Imam Al-Ghazali Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual (Jakarta: Hikmah Mizan Publika) M. Qurasy Syihab, 2007, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan) M. Qurasy Syihab, 2007,Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan) Martin H. Manser, 1991, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford; Oxford University Press) Moh. Agung Rokhimawan, Pembelajaran Sain di MI Membentuk Peserta Didik yang Humanistik Religius, Jurnal Al-Bidayah, Jurnal Pendidikan Dasar Islam Volume 5 No.2, Desember 2013. Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009) Muhammad Asroruddin Sidik, 2000, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, (Jakarta: Amzah) Tim Perumus Fakultas UMJ, 1998, Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: Raja Grafindo) Zakir Naik, The Qur’aan and Modern Science: Compatible or Incompatible?, Islamic Research Foundation, tersedia di: http://www.irf.net http://travel.detik.comn di akses 19 Desember 2015 https://m.tempo.co di akses 23 April 2016 http://news.liputan6.com/read/2142084/indeks-korupsi-dunia-2014-denmark-palingbersih-indonesia di akses 23 April 2016
PROSPEK CORAK PENAFSIRAN ILMIAH AL-TAFSIR AL-‘ILMIY DAN ALTAFSIR BIL ‘ILMI DALAM MENGINTEPRETASI DAN MENGGALI AYATAYAT ILMIAH DALAM AL-QUR’AN Binti Nasukah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ibnu Sina Kepanjen Malang
ABSTRAK Kebutuhan akan intepretasi dan penjelasan komprehensif terhadap ayat-ayat dalam alQuran telah memunculkan berbagai jenis corak penafsiran yang memiliki perbedaan fokus dan tujuan. Salah satunya adalah corak penafsiran ilmiah. Adanya fakta bahwa alQur’an memiliki ayat-ayat berkaitan dengan kealaman yang 3 kali lebih banyak jumlahnya dibanding ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, telah menggugah para ilmuwan muslim untuk menggunakan pendekatan baru bercorak ilmiah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kedua jenis penafsiran tersebut adalah al-tafsir al‘ilmiy dan al-tafsir bil’ilmiy. Terlepas dari pro kontra atas kehadiran jenis corak tafsir ini, kedua jenis tafsir ini memiliki prospek jangka panjang yang tidak bisa diabaikan. Penggunaan kedua jenis tafsir ini akan dapat digunakan sebagai penjelas ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur’an, sebagai sarana dakwah dalam membuktikan kemukjizatan alQur’an, serta yang tidak kalah penting mendorong para ilmuwan untuk melakukan penelitian bersumberkan ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur’an. A. PENDAHULUAN Kemunduran Islam dibandingkan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi Barat, telah menggugah semangat muslim untuk bangkit mengadakan
pembaharuan. Umat Islam berusaha membantah pernyataan Barat yang mengatakan bahwa umat Islam mundur karena terlalu berpegang kepada al-Qur’an. Umat Islam kini berupaya menyanggah pernyaataan tersebut dengan mulai mengkaji kembali ayat-ayat al-Qur’an dan berupaya menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak pernah anti dengan pengetahuan dan teknologi. Usaha ini pun kemudian merambah pada upaya penafsiran al-Qur’an yang bertujuan untuk menunjukkan keilmiahan al-Qur’an hingga muncullah corak dua jenis corak penafsiran ilmiah yaitu al-tafsir al-‘ilmiy dan al-tafsir bil ‘ilmiy. Pro kotra-pun tak terelakkan dari dua kelompok ilmuwan muslim, yaitu dari mereka yang tidak setuju dan setuju dengan kehadiran tafsir bercorak ilmiah ini. Pro kontra tersebut tidak lepas dari masalah teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya tidak pasti, selain juga masalah apakah al-Qur’an ditujukan untuk maksud tersebut atau tidak. Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, pada faktanya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Tantawai Jauhari Al-Jauhari, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat 750 ayat mengenai ilmu pengetahuan, dan hanya 150 mengenai fiqh.
26
Selain
sebagai tuntunan dalam hal hukum, al-Qur’an juga lebih banyak dimaksudkan untuk mendorong manusia mempelajari fenomena alam yang merupakan ciptaan Allah juga, selain juga adanya dorongan untuk senantiasa menemukan teknologi terbaru dalam kehidupan mereka. Islam sebagai peradaban yang telah mengalami perkembangan di abad ke-8 Masehi, pernah terdepan dalam ilmu pengetahuan. Selama periode tersebut, terdapat banyak ilmuwan Muslim yang muncul. Abu Raihan Biruni sebagai ahli Filsafat, fisika, matematika dan astronomi Persia.
Avicenna yang terkenal
berbengaruh dengan ilmu polymath. Al-Ghazali dengan kecenderungannya pada ilmu agama dan filsafat, dan sarjana dari Timur Tengah lainnya yang bersama-sama membangun zaman keemasan Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Faruqi27 mengenai peran yang dimainkan cendekiawan Muslim dalam pengembangan berpikir ilmiah di abad pertengahan, beliau berpendapat bahwa kaum muslimin tidak hanya melanggengkan pengetahuan kuno dan Yunani, tetapi mereka juga 26
Lihat penjelasan ini dalam Haslin Hasan & Ab. Hafiz Mat Tuah, Quranic Cosmogony: Impact of Contemporary Cosmology on the Interpretation of Quranic Passages Relating to the Origin of the Universe, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 7 (March 2014), pp. 124–140, pp. 137 27 Yasmeen Mahnaz Faruqi, Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise, International Education Journal, 2006, 7(4), 391-399
berkontribusi menghasilkan karya asli di berbagai bidang ilmu. Mereka terinspirasi oleh pandangan Islam mengenai alam, di mana manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan tugasnya dalam ‘mempelajari alam untuk menemukan Tuhan dan menggunakan alam untuk kebaikan umat manusia'. Dengan demikian, kehadiran altafsir al-‘ilmiy dan bil ‘ilmy hanyalah sebagai sarana penerus dari ilmuwan islam pendahulu yang telah menggunakan corak ilmiah sebagai pendekatan dalam mengintepretasikan dan menggali ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat kealaman. Dengan perspektif di atas, artikel ini berupaya menunjukkan berbagai prospek penting dari kehadiran kedua jenis tafsir bercorak ilmiah ini. Dengan menjelaskan fakta adanya mukjizat al-Qur’an berupa ayat-ayat ilmiah, menjelaskan kedudukan dan perbedaan kedua jenis tafsir, serta pro kontra yang terjadi, penulis berupaya menyajikan argumentasi berbagai keuntungan yang bisa didapatkan atas kehadiran tafsir bercorak ilmiah ini. B. AYAT-AYAT ILMIAH DAN KEMUNCULAN TAFSIR BERCORAK ILMIAH 1. Sejarah Kemunculan Jenis Tafsir Bercorak Ilmiah Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya sebuah corak penafsiran tidak terlepas dari kondisi sosio historis yang melatarbelakangi munculnya sebuah penafsiran, dalam hal ini corak penafsiran ilmiah yaitu al-tafsir al‘ilmiy dan altafsir bil ‘ilmi. Untuk al-tafsir al ’ilmiy sendiri, embrionya sudah ada sejak masa dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa khalifah al makmun, dimana pada masa tersebut khalifah al Makmun memberikan keluasan pada ilmuwan-ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, hingga kemudian muncul banyak penemuan-penemuan baru yang tentunya semakin mempermudah pemahaman terhadap al-Qur’an, terutama mengenai ayat-ayat yang bersifat kealaman, yang pada masa itu menjadi sangat sulit untuk dipahami. 28 Dengan demikian, para ilmuwan Islam terdahulu telah berupaya melakukan penemuanpenemuan yang berasal dari ayat-ayat al-Qur’an. Perkembangan yang terjadi kemudian adalah, pada paroh kedua abad 19, kondisi masyarakat Islam yang kian memburuk, sementara Barat mengalami 28
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Jogjakarta: Penerbit Menara Kudus Jogja, 2004), h. 133-134
kemajuan cukup pesat dalam bidang sains dan industri, menggugah para ulama Islam untuk kembali bangkit. Apalagi pihak Barat mulai menyerbu pemikiranpemikiran Islam dengan mengirimkan orientalisnya untuk menjajah pemikiran Islam. Pada era inilah kemudian para ulama mencoba meneliti kembali AlQur’an dengan asumsi bahwa Al-Qur’an memuat banyak ilmu yang saat ini telah berkembang di Barat. Para ulama kembali mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan memasukkan teori-teori ilmu-ilmu modern untuk menjelaskan bahwa alQur’an sejalan dengan modernitas.29 Disinilah kemudian bermunculan corak al tafsir bil ‘ilmi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang disandarkan pada teori-teori ilmiah yang berkembang. Di pertengahan abad 19 ini, Islam menghadapi tantangan yang hebat, bukan hanya terbatas pada dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada pandangan hidup serta pemikiran segolongan besar umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan umat serta kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar kaum muslimin.30 Sebagai kompensasi dari perasaan rendah diri tersebut, setiap ada penemuan baru dari Barat, para cendekiawan Islam cepat-cepat berkata: AlQur’an sejak lama, sejak sekian abad, telah menyatakan hal ini, atau Al-qur’an mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuannya, dan perkataan lain yang sejenis. Di lain pihak, para penemu tadi hanya mengejek melihat keadaan umat Islam, dan senyuman itu kadang-kadang disertai dengan kata-kat sinis, kalau demikian
mengapa
tuan-tuan
tidak
menyampaikan
hal
ini
sebelum
menghabiskan waktu penyelidikan?31 Kenyataan inilah yang kemudian menjadi semangat bagi para ulama abad 19 untuk lebih menggali lagi kedalaman Al-Qur’an, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang bersifat kealaman, dan mencoba menggabungkan antara 29
Lihat Abdul Majid Abdus Salam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer (terj.), (Bangil: Al Izzah, 1997), h. 273-274 30 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), cet II, hlm. 52 31 Ibid., 53
al-Qur’an dan sains. Keinginan ini bertujuan untuk menggugah kembali semangat umat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang telah lama ditinggalkan umat Islam serta berusaha untuk menjawab tantangan jaman dimana, para ulama ingin menunjukkan bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan alam. Tujuan ini nantinya juga akan mengarahkan pada pembuktian atas kemukjizatan Al-qur’an dijaman yang serba mungkin dan rasional ini. Hasrat tersebut di atas kemudian memunculkan jenis tafsir bercorak ilmiah, yaitu: al-tafsir al-‘ilmiy maupun al tafsir bil’ilmi, oleh para cendekiawan muslim untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kacamata ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan dilakukannya penafsiran bercorak ilmiah ini tidak lain adalah guna mengkompromikan antara Islam dengan pemikiranpemikiran asing yang saat itu berkembang dengan cukup pesat begitu juga dengan sains yang ditemukan oleh kalangan muslim sendiri. Kecenderungan ini pun kemudian menjadi menggurita di akhir abad 19, karena terjadinya ketertinggalan kau muslimin di bidang sains dan teknologi. 2. Berbagai Kajian Mengungkap Kemukjizatan Ayat-Ayat Ilmiah dalam AlQur’an Untuk bisa dipercayai kebenarannya oleh manusia, sebuah kitab suci membutuhkan kemukjizatan jika harus dihadapkan dengan akal sehat manusia. Begitupun dengan al-Qur’an. Mukjizat dimaknai sebagai petunjuk khusus dari Allah yang menunjukkan adanya fakta di luar akal sehat manusia dan mengkomunikasikan adanya pesan rohani.32 Dalam kasus Al-Qur'an, dibutuhkan fakta di luar akal sehat manusia, yang bisa mempertegas apakah benar al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT. Utamanya kini, abad di mana ilmu pengetahuan telah berkembang begitu pesatnya, di mana muncul banyak ilmuwan yang sangat mengagungkan pemikiran akal. Hingga kitab suci alQur’an yang turun 14 abad yang lalu-pun bisa disangsikan, apakan masih relevan untuk tetap dipercaya hingga saat ini. Sebuah buku, bisa menjadi sangat
32
Daniel P. Sulmasy, What Is a Miracle?, Southern Medical Journal, Volume 100, Number 12, December 2007 pp. 1223-1227, p. 1227
kuno dan tidak digunakan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Lalu bagaimanana dengan al-Qur’an? Sungguh ajaib, menurut Naik, terdapat lebih dari 6000 ‘petunjuk’ dalam al-qur’an, dimana di dalam petunjuk-petunjuk tersebut terdapat lebih dari seribu ayat yang berhubungan dengan sains atau ilmu pengetahuan. Ayat-ayat inilah yang disebut dengan ayat-ayat ilmiah. Ajaibnya adalah bahwa al-Qur’an memiliki kemukjizatan ilmiah yang dibuktikan dengan adanya berbagai kesesuaian antara teks Al-Quran dan data ilmu pengetahuan modern saat ini. Dr. Maurice Bucaille, seorang embriolog Perancis, dari penelitian dan perbandingan yang dilakukannya terhadap Alkitab (Injil) dan al- Quran, dari sudut pandang penemuan-penemuan ilmiah modern, menemukan bahwa AlQuran berkaitan erat dengan banyak bidang studi yang menarik bagi Sains, AlQur'an tidak mengandung pernyataan tunggal yang terbantahkan oleh pandangan ilmiah modern.33 Ilmuwan nuklir, Sultan Bashir Mahmood, 34 menulis dalam bukunya bahwa perkembangan ilmu sosial Barat, filsafat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berhutang budi kepada al-Quran, yang mewarisi semua hal tersebut dari kaum muslimin. Di abad ini, telah banyak studi dan penelitian yang diilhami oleh ayatayat ilmiah dalam Al Qur'an. Dalam ilmu sosial misalnya. Hasan, dari diskusinya tentang fenomena sosial dan pemahaman tentang fenomena sosial dari ayat-ayat Al-Quran telah menemukan setidaknya tiga hal. Pertama, Al Qur'an menyediakan informasi tentang sifat dan karakter dari kehidupan sosial di masa lalu. Kedua, Al-Qur'an meningkatkan pengetahuan metafisik sosial yang terkait dengan problematika penciptaan dan evolusi manusia. Ketiga, Al Qur'an membantu merumuskan dan menemukan hukum-hukum sosial35. Dalam menjelaskan fenomena sosial, Al-Qur'an menggunakan sejumlah alegori (kiasan). Sebagaimana riset yang dilakukan oleh Haris menemukan fakta bahwa Al-Qur'an menggunakan sejumlah alegori (kiasan) dengan alasan tertentu, 33
Lihat Maurice Bucaille, The Bible, the Quran and Science, diterjemahkan dan dipublikasikan tahun 1979 by Muslim Printing Press, Karachi, p. Vii and viii 34 Lihat Sultan Bashir Mahmood, The Miraculous Quran A Challenge To Science & Mathematics, (Islamabad: Dar-Ul-Hikmat International, 2010), hlm. 8 35 Shahir Akram Hassan , Understanding Social Phenomenon From Qur’anic Verses? The Macrotheme Review 3(4), Spring 2014, pp. 36-44. Page. 43
misalnya untuk membuat orang memahami fakta-fakta agama dan konsepkonsep ilahi secara menyeluruh. Hal ini karena Al-Qur'an adalah kitab yang telah diturunkan untuk seluruh umat manusia di setiap level pemikiran dan pengetahuan.36 Dari aspek medis, kita dapat melihat beberapa penelitian, yang menemukan keindahan, keanggunan dan presisi Al Qur'an. Saki, 37 dalam mempelajari sumber ilmiah yang terkait dengan efek jamu yaitu jahe, kurma, anggur dan zaitun yang telah disebutkan Allah dalam al-Qur’an secara luar biasa dan misterius menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki efek farmasi yang berguna dan bermanfaat dalam pengobatan penyakit dan masalah metabolik di mana ilmu pengetahuan modern saat ini telah telah atau masih berusaha menemukan metode yang tepat dalam mengatasi problem tersebut. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Azarpuour et al.,38 tentang tanaman obat yang menemukan bahwa kitab suci Al Qur'an sebagai referensi utama umat Islam memiliki koleksi tanaman obat yang karakteristiknya masih tidak jelas dalam kedokteran modern, tetapi dapat menjadi bukti-bukti yang berharga dapat diperoleh dari teks-teks Islam dan obat-obatan tradisional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 19 tanaman obat telah diidentifikasi dalam Quran. Hal ini dapat disimpulkan bahwa referensi obat herbal yang disebutkan dalam Al Qur'an memiliki pengaruh khusus bagi farmasi di mana manusia mungkin telah membuktikan pengaruh khusus dari tanaman ini melalui inspirasi dari sumber kitab suci ini. Oleh karena adanya kemajuan teknologi dan obat baru yang terus tumbuh saat ini, terdapat waktu untuk merenung dan menghargai kontribusi Islam terhadap pengobatan. Dengan demikian, hal ini bisa menjadi alasam mengapa kewahyuan penemuan-penemuan dan medis dalam Al Qur'an harus tidak diabaikan atau dilupakan.39
36
Abrar Haris, Ant and Bee as Qur’anic Allegory Within Al-Qur’an, Jurnal Pendidikan Agama IslamTa’lim Vol. 11 No.1 – 2013, pp. 47-60, 37 Kourosh Saki et.al. Quran Medicine: Studying from Modern Science Perspective, J Nov . Appl Sci., 3 (1): 53-57, 2014, hlm 55 38 Ebrahim Azarpour , Maral Moraditochaee, Hamid Reza Bozorgi, Study Medicinal Plants In Holy Quran, International Journal of Plant, Animal and Environmental Sciences, Vol. 4, Issue 2, 2014, pp. 529-536, page 529. 39 Marios Loukas et al., The heart and cardiovascular system in the Qur'an and Hadeeth, International Journal of Cardiology, 12055, 2009, pp 1-5, hlm. 4
Meskipun tidak menjelaskan secara detail, beberapa peneliti lain juga menggunakan Al-Qur'an sebagai sumber inspirasi penelitian dalam disiplin ilmu mereka. Rezaeitalarposhti dan Rezaeitalarposhti 40 belajar tentang psikologi dari perspektif Islam; Hafouri-wajib dan Akrami41 belajar tentang evolusi manusia dari sudut pandang Islam; bahkan kita bisa belajar tentang konsep pengetahuan dari sudut pandang Al-Qur'an, sebagaimana penelitan yang dilakukan oleh Chaudury dan Bhuiya.42 C. DUA TAFSIR BERCORAK ILMIAH: AL-TAFSIR AL-‘ILMIY DAN ALTAFSIR BIL ‘ILMI 1. Al-Tafsir Al-‘Ilmiy Al-Tafsir al-‘ilmiy adalah sebuah tafsir yang bersifat ilmiah yakni tafsir yang mengikuti metode ilmiah.43 Ilmiah dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti sesuatu yang didasarkan atas ilmu pengetahuan. 44 Karena Menggunakan metode ilmiah, maka hasil akhirnya adalah pengetahuan ilmiah. Sebagaimana yang dipahami bersama, bahwa segala yang diketahui manusia biasa disebut dengan pengetahuan. Manusia mengetahui banyak hal, baik secara langsung maupun tidak langsung yang kesemuanya itu kita tampung dalam memori otak. Tetapi pengetahuan tersebut belumlah bisa disebut ilmu, jika tidak didapatkan dengan sebuah metode yang disebut dengan metode ilmiah. Untuk menjadi sebuah ilmu atau dalam kata lain bersifat ilmiah pengetahuan tersebut haruslah diperoleh melalui metode ilmu atau metode ilmiah. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa jika pengetahuan diperoleh melalui metode ilmu/ metode ilmiah maka hasilnya dapat kita sebut sebagai pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, jika tafsir ini menggunakan metode ilmiah, maka penafsir yang menggunakan al-tafsir al-‘ilmiy haruslah seorang ilmuwan yang relevan 40
Abdolbaghy Rezaeitalarposhti and Abdolhady rezaeitalarposhti, Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to Contemporary Psychologists, International Research Journal of Applied and Basic Sciences, Vol, 6 (11), 2013, pp. 1590-1595 41 Soudeh Ghafouri-Fard and Seyed Mohammad Akrami, man evolution an islamic point of view, European Journal of Science and Theology, September 2011, Vol.7, No.3, pp. 17-28. 42 Abul Hassan Chaudhury and Bhuiya, The Concept Of Knowledge In Science And The Quran: An Overview, International Journal Of Multidisciplinary Educational Research, Volume 1, Issue 2, June 2012, 450-457 43 Penjelasan ini disampaikan oleh Dr. H. M. Sa’ad Ibrahim, MA dalam kuliah Studi al-Qur’an tanggal 23 Januari 2013, di Pascasarjana UIN Maliki Malang 44 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), hal 277
dengan ayat yang ditafsirkan tersebut. Karena dalam tafsir ini, seorang ilmuwan berangkat dari al-Qur’an untuk kemudian menghasilkan penemuan. Dalam perkembangannya, muncul berbagai macam paham pengetahuan ilmiah yang satu sama lain berbeda dalam menjelaskan bagaimana yang disebut ilmiah itu, antara lain: (a) Rasionalisme, menyatakan bahwa jika pengetahuan tersebut tidak bertentangan dengan rasio kita, maka disebut pengetahuan ilmiah; (b) Empririsme, menyatakan bahwa jika pengetahuan tersebut tidak berlwanan dengan pengalaman atau fakta dilapangan, maa disebut pengetahuan ilmiah; (c) Intuitisme, menyatakan bahwa jika pengetahuan tersebut berdasarkan pada bisikan hati atau gerak hati, maka disebut pengetahuan ilmiah; (d) Theologi absolut, menyatakan bahwa jika pengetahuan tersebut berdasarkan pada wahyu, maka disebut pengetahuan ilmiah. Pada perkembangan selanjutnya, banyak para pakar yang memadukan paham-paham tersebut, seperti misalnya Augus Comte yang mencetuskan aliran positivisme yaitu gabungan antara rasional dan empirik, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu ilmiah jika dapat diterima akal dan telah dibuktikan secara empiris. Dalam Islam sendiri, beberapa ilmuwan juga memadukan antara teologi dengan rasionalitas, dengan tokohnya Ibnu Rusy dan teologi dengan empirisme, yaitu yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Perkembangan selanjutnya muncul seperti fenomenology, dan ada juga kritisime yang tumbuh di Jerman, yang memandang bahwa ilmu tidak akan berkembang kalau hanya sampai pada dibuktikan saja, tetapi harus mendapatkan kritik, agar dikemudian hari bisa muncul sesuatu yang baru bagi umat manusia. Dari paparan di atas, jelas terlihat munculnya perbedaan dalam menyatakan ilmiah itu harus bagaimana, namun seperti yang kita jelaskan pada pengertian sebelumnya, bahwa pengetahuan itu disebut ilmiah jika diperoleh melalui metode ilmiah, sehingga poin pentingnya disini adalah metodenya. Dengan demikian, tidak masalah menggunakan aliran apapun dalam pelaksanaannya, namun asalkan metodenya benar, maka dapat kita katakan ilmiah. Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Dr. H.M. Sa’ad Ibrahim MA, dalam sebuah kuliah di pascasarjana UIN Maliki Malang, metode ilmiah ini memiliki langka-langkah dasar untuk sebuah penelitian ilmiah, yaitu:
Masalah Konsepsi Pembuktian Penemuan Langkah-langkah dasar tersebut, dapat dirujuk sebagai metode yang dijadikan pedoman dalam penerapan al-tafsir al-‘ilmiy yang bertujuan menghasilkan penemuan dengan berangkat dari al-Qur’an. Berikut merupakan penjelasan dari langkah-langkah tesebut: a. Masalah. Masalah bisa di dapatkan dari mana saja, bisa dari pengalaman, fakta dilapangan, dari teori ilmu sebelumnya, dari pendapat para ilmuwan, atau bahkan dari ayat al-Qur’an sendiri, dan lainnya. Berangkat dari masalah ini, selanjutnya kita akan melakukan tahap konsepsi yakni menemukan relasi antar simbol yang ada guna memberikan penafsiran secara utuh. b. Konsepsi (dalam rangka merumuskan hipotesis). Pada tahap ini, kita akan merumuskan sebuah definisi mengenai objek permasalahan yang dihadapi, dengan cara mengumpulkan teori-teori, pendapat para ilmuwan dan tentunya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Jika telah mendapatkan sebuah definisi yang utuh, maka selanjutnya akan dihasilkan hipotesis yang akan dibuktikan kebenarannya pada tahap selanjutnya. c. Pembuktian. Pada tahap ini, dilakukan pembuktian terhadap hipotesis, melalui serangkaian pengujian, yang pada akhirnya menghasilkan data-data yang ada, sehingga data-data tersebut menjadi sebuah fakta, dalam arti telah menghasilkan sebuah penemuan baru. d. Penemuan. Hasil dari pengujian hipotesis tersebut, akhirnya menjadi sebuah tesis atau penemuan baru atau teori baru, yang pada akhirnya nanti menjelaskan tafsir ayat yang diteliti tersebut. Alasan utama yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat yang mendorong manusia untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan alQur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern. Di sisi lain, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an bisa jadi kurang mampu memberikan pemahaman yang memuaskan terhadap pesan-pesan Tuhan yang bersifat saintifik dan mencukupi kebutuhan zaman yang berkembang saat itu. Dari pengertian tersebut, jelaslah
bahwa yang dapat melakukan jenis penafsiran ini hanyalah seorang ilmuwan yang kompeten di bidangnya. 45 Secara historis, kemunculan penafsiran model ini banyak dikaitkan dengan masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Harun arRasyid (169-194 H/ 785-809 M) dan al-Makmun (198-215 H/ 813-830 M) di mana terjadi perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk trend penerjemahan buku-buku ilmiah karena terjadinya interaksi dunia Islam atau Arab dengan dunia luar (Yunani). Tokoh-tokoh sains muslim seperti al-Kindi (185-260 H/ 801-873) dengan logika, matematika dan fisikanya; Al-Razi (251313 H/ 865-925 M) dengan filsafat dan kedokteran; Ibn al-Haytsam (354-431 H/ 965-1039 M) lensa dan refraksi cahaya; Ibn Sina (370-429 H/ 980-1037 M) dengan kedokteran, filsafat dan logika; Umar Khayam (430-517 H/ 1038-1123 M) dengan teori geometri dan persamaan kubik; Ibn Khaldun (733-809 H/ 13321406 M) dengan sejarah, sosiologi dan antropologi dan sebagainya 46 bermunculan dan meramaikan suasana ilmiah pada masa ini karena dukungan latar belakang ekonomi-sosial-politik. Para ilmuwan dalam hal ini berusaha menggali setiap ayat-ayat terutama ayat-ayat yang bersifak kealaman, dengan maksud mencari keselarasan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan fakta empiris yang ada di alam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana jika ternyata ayat al-Qur’an tidak sejalan dengan bukti empiris yang ditemukan? Mengingat bahwa ayat Allah dalam AlQur’an maupun yang ada di alam tidak mungkin terjadi pertentangan. Sebagai contoh, adanya teori yang telah mapan bahwa bumi ini bulat, padahal al-Qur’an dalam berbagai ayatnya menyebutkan bahwa bumi ini berupa hamparan (Qs. 2: 2; Qs. 71: 19; Qs. 15:19; Qs. 51: 48; Qs. 78: 6; Qs. 50:7; Qs. 91: 6; Qs. 88: 20. Terlihat bahwa terhampar bisa kita maknai datar, tentu saja bertolak belakang dengan bulat. Meski salah satu ilmuwan muslim, Quraish Shihab47 telah menjelaskan bahwa keterhamparan tersebut tidaklah bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh
45
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘ilmiy..., hlm. 127-128 Lihat Yusuf al Hajj Ahmad, Ensiklopedi Kemukjizaran ilmiah dalam Al-Qur’an dan Sunnah (terj), (PT, Kharisma Ilmu, tt), 33 47 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an......., hlm. 81 46
siapa pun dan kemana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan ‘Allah ciptakan’ tetapi ‘jadikan untuk kamu’. Namun, bagaimana kemudian jika saat ini teori mapan tersebut dipertanyakan kembali oleh sebuah komunitas baru bernama flat earh society48 yang berdiri sejak tahun 2004, yang mempercayai bahwa bumi ini berbentuk datar? Hal ini tentu semakin menunjukkan adanya pertentangan, bagaimana sebenarnya bentuk bumi itu. Pertentangan ini semakin menunjukkan adanya peluang bagi para ilmuwan muslim untuk bisa menggunakan jenis al-tafsir al-‘ilmy sebagai salah satu cara yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat ilmiah tersebut. Apa yang menjadi poin penting dalam al-tafsir al-‘ilmiy adalah bahwa yang benar adalah al-Qur’an. Sedangkan berkaitan dengan prinsip bahwa harus ada keselarasan antara ayat dalam al-Qur’an dengan bukti empiris yang ada di alam, maka jika penemuan yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan ayat alQur’an, maka perlu dilakukan peninjaun kembali atau penelitian ulang, dengan memulainya dari tahap konsepsi, sehingga dapat ditemukan kebenaran maksud dari ayat al-Qur’an yang ditafsirkan. 2. Al-Tafsir Bil ‘Ilmi Dalam perkembangannya, umat Islam dihadapkan pada situasi dimana ilmu-ilmu berkembang begitu pesatnya, sehingga muncullah banyak cabangcabang ilmu yang kemudian melahirkan teori-teori dalam berbagai bidang ilmu. Disisi lain, umat Islam lebih banyak berkutat pada penafsiran al-Qur’an yang mengarah pada ayat-ayat legislasi saja, sedangkan ayat-ayat yang bersifat kealaman, seringkali hanya dijadikan simbolisasi atau hanya sekedar bacaan dalam al-Qur’an. Sebagaimana kritik yang disampaikan Syekh Tantawi alJauhari, yang dikutip oleh Hasan dan Tuan:49 “Why are there thousands of fiqh scholars and why have so many fiqh books been written even though the verses regarding fiqh are not more than 150? Why have too many written on Fiqh, while too few have written on the science of nature even though every surah has verses regarding it?”
48 49
Lihat di http://www.theflatearthsociety.org/ Haslin Hasan & Ab. Hafiz Mat Tuah, Quranic Cosmogony..., hlm. 137
Syekh Tantawi al-Jauhari dengan jelas mempertanyakan mengapa terdapat ribuan sarjana fikih dan banyaknya tulisan ilmu-ilmu fikih, meski kenyataannya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan fikih tidak lebih dari 150? Sementara terlalu sedikit yang telah menulis tentang ilmu pengetahuan alam, meski kenyataannya setiap surat dalam al-Qur’an berkaitan dengan hal tersebut. Inilah yang kemudian menggugah ulama-ulama Islam untuk mendorong munculnya al-tafsir bil ‘ilmiy. Dalam banyak literatur, jenis tafsir inilah yang lebih banyak dibahas, dengan sebutan tafsir ilmiy atau tafsir bil’ilmi, sehingga secara terminologi kita bisa mendapatkan beberapa pengertian menurut para penulis. Secara terminologi, Al-Zahabiy mendefinisikan tafsir ini sebagai salah satu metode penafsiran yang mengukuhkan keterangan ilmiah dari al-Qur’an yang kemudian melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teori-teori filsafat.50, sedangkan J.J.G. Jansen,
51
lebih spesifik mendefinisikan tafsir beliau sebut
dengan natural history, sebagai usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Qur’an disini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membahas tentang fenomena kealaman atau yang biasa dikenal dengan al-ayat al-kauniyat. Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-tafsir bil ‘ilmy ialah tafsir dengan menggunakan bahan-bahan teoritis yang telah dihasilkan oleh para ahli ilmu. Dengan demikian dalam tafsir ini, penafsirnya tidaklah harus seorang ilmuwan. Seorang penafsir akan berangkat dari al-Qur’an untuk menghasilkan legitimasi terhadap kebenaran al-Qur’an. Untuk tujuan tersebut, para ulama berusaha menunjukkan dengan berbagai argumennya bahwa dalam Al-Qur’an terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang di masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M), Jalal al-Din al-Suyuthi (849-911 H / 1445-1505 M), serta Abu al-Fadl al-Mursi (w. 655 H/
50
Muhammad Husain Al-Zahabiy. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Mesir: Dar Al-Kutub, 1961), Jilid II, hlm. 474 51 Lihat Fath ‘Abd. Al Rahman, Ittijah al-Tafsir fi alQarn al Rabi’ Asyar (Mamlakah al-‘Arabiyah al Su’udiyah, 1986), h. 549, lihat juga Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘ilmiy.., hlm. 127
1257 M). Ketiganya berpendapat bahwa al-Qur’an mencakup banyak ilmu-ilmu baik klasik, maupun modern, sehingga mereka sepakat untuk tidak menafsirkan al-Qur’an hanya pada zahirnya (tekstualnya) saja, tetapi juga diperlukan pembahasan mendalam berdasarkan ilmu yang menyertainya. Berkat dorongan inilah kemudian muncul corak penafsiran yang berusaha memasukkan teori-teori ilmu pengetahuan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an (dalam hal ini penafsir tidak harus seorang ahli dibidang ayat yang akan ditafsirkan). Dengan demikian, dalam tafsir bil ‘‘ilmiy penafsir lebih menyandarkan pada teori-teori yang ada, untuk kemudian dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori tersebut. Contoh penafsiran bil ’ilmiy antara lain adalah konsep terbentuknya alam semesta memakai teori big bang yang dihubungkan dengan Qs.al-Anbiya’ ayat 30, jumlah selaput rahim yang dihubungkan dengan Qs. az-Zumar ayat 6, penyerbukan tumbuhan oleh angin yang dihubungkan dengan Qs. al-Hijr ayat 22, dan lain sebagainya. 3. Kedudukan dan Perbedaan Kedua Jenis Tafsir Berdasarkan beberapa literatur yang ada, kedua jenis tafsir ini tidak pernah dibedakan secara pasti, padahal dalam kuliahnya, padahal keduanya berbeda dalam hal makna dan metode penerapannya.. Dalam beberapa literatur, kedudukan dari kedua jenis tafsir ini dimasukkan dalam corak penafsiran yang merupakan bagian dari metode tafsir tahlily. Metode tafsir tahlily dalam operasionalnya mencakup beberapa corak penafsiran al-Qur’an, seperti corak tafsir bil al-ma’tsur, tafsir bi-al ra’y, tafsir al-fiqhi, tafsir al-shufiy, tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir al-falsafiy, dan tafsir al-‘‘ilmiy.52 Dari pembagian oleh para ulama tersebut, ada jenis tafsir al-ilmiy yang tentunya menurut analisa penulis, kedua jenis tafsir ini (al-tafisr al-‘ilmiy dan al-tafsir bil-‘ilmi), masuk pada corak penafsiran tersebut, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tafsir ilmiah atau tafsir bercorak ilmiah.
52
Lihat Abd. Al hayy al-farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i (Mesir: Maktabah umhuriyah, 1977), Dr. Mursyi Ibrahim al-Fayumi, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: Dar al-Taufiqiyah, 1980), juga Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta:Rajawali Pers, 1994), dalam Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Jogjakarta: Penerbit Menara Kudus Jogja, 2004), h. 125-126
Kemunculan dari kedua jenis tafsir ini tidak lepas dari definisi tafsir itu sendiri. Berdasarkan apa yang disimpulkan al-Zahabiy dalam kitabnya: tafsir adalah “penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)53. Dari pengertian tersebut tampak sangat jelas mengapa terjadi banyak perbedaan penafsiran dari para mufasir, dikarenakan adanya perbedaan pemahaman ataupun ilmu yang dimiliki oleh seorang mufasir, sedangkan ayat al-Qur’an sendiri juga merupakan sebuah redaksi yang kaya akan penafsiran atau pemaknaan, sehingga amat mungkin terjadi banyaknya macam corak penafsiran sesuai dengan pemahaman dari penafsir. Sebagaimana dirasakan sekarang ini, ilmu pengetahuan berkembang begitu pesatnya, memunculkan ilmuwan-ilmuwan muslim dengan keahlian bidangnya masing-masing, apalagi dengan makin maraknya penemuanpenemuan ilmiah di berbagai bidang, seperti ilmu pasti, ilmu falak, geologi, kimia, kedokteran, fisiologi dan fungsi organik tubuh, biologi baik hewan maupun tumbuhan, matematika, ilmu-ilmu sosial dan lain-lain, maka banyak para ilmuwan yang menyadari perlunya menghadirkan sebuah tafsir yang relevan dengan semangat kemajuan ilmu tesebut, apalagi dengan adanya kesadaran bahwa ayat-ayat kauniyah yang di alam tidak mungkin bertentangan dengan ayat-ayat qauliyah yang ada di al-Qur’an. Dari pemaparan secara tunggal mengenai masing-masing definisi serta contoh dari al-tafsir al ‘ilmiy dan al tafsir bil-‘ilmi di atas, maka secara singkat, perbedaan keduanya dapat disimpulkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Perbedaan antara al-tafsir al-‘ilmiy dengan al-tafsir bil ‘ilmi Al-tafsir al-‘ilmiy
53
Al-tafsir bil ‘ilmi
Tafsir dengan menggunakan
Tafsir dengan menggunakan bahan-bahan
metode ilmiah, melalui langkah-
teoritis yang telah dihasilkan para ahli
langkah penelitian ilmiah
ilmu
Penafsir harus seorang ilmuwan
Penafsir tidak harus seorang ilmuwan
Berangkat dari al-Qur’an untuk
Berangkat dari al-Qur’an untuk
menghasilkan penemuan
menghasilkan legitimasi kebenaran al-
Muhammad Husain Al-Zahabiy. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Mesir: Dar Al-Kutub, 1961), Jilid I, hlm. 59. Lihat juga Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), cet II, hlm. 75
Qur’an
D. PROSPEK AL-TAFSIR AL-‘ILMIY DAN AL-TAFSIR BIL ‘ILMI 1. Pro Kontra Tafsir Bercorak Ilmiah Banyak pendapat yang bermunculan dalam menyikapi kehadiran kedua jenis tafsir ini. Di satu sisi, banyak pendapat yang mendukung kehadiran tafsir jenis ini. Memang kehadiran tafsir ini merupakan jawaban dari kemunduran yang dialami umat Islam dalam hal ilmu pengetahuan, namun tidak sedikit para ulama yang tidak setuju dengan jenis penafsiran ini, karena berbagai alasan. Beberapa tokoh yang mendukung corak tafsir ilmiah ini antara lain: Imam Abu Hamid Al-Ghazali; Al-Fakhru Ar-Razi; Az –Zarkasyi; Al-Jalal AsSyuyuthi; Abu al-Fadl al-Mursi. Argumen yang diungkapkan pendukung tafsir model ini, adalah ayat-ayat yang memerintahkan manusia memakai dan menggunakan segenap kemampuan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah. Antara lain dalam surah Ali Imran yang didalamnya terdapat istilah ‘ulul albab sebagai orang-orang yang mau memikirkan ciptaan Allah. Argumen lain adalah ayat yang mencela orang-orang yang hanya mengikuti nenek moyangnya (taqlid) tanpa mencari inovasi baru dalam hidup. Menurut al-Ghazali54 perlu sekali adanya penafsiran yang tidak hanya pada teksnya atau zahirnya, tetapi juga penafsiran yang mencakup bidang yang luas, termasuk juga ilmu pengetahuan yang ada di alam ini. Selain hal tersebut beliau juga mengemukakan bahwa setiap ahli ilmu boleh menyimpulkan alQur’an sesuai dengan kadar kemampuan pemahaman dan batas akalnya. Pandangan ini membawa al-Ghazali sebagai peletak dasar model penafsiran ilmiah secara teoritis. As-Syuyuti juga merupakan seorang penganjur tafsir ilmiah ini. Anjuran ini dapat kita temukan dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulumi alQur’an. Dalam pendapatnya, As-Syuyuthi mengemukakan banyak ayat, hadits 54
Abdul Majid Abdus Salam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma ..., hlm. 258-262
dan atsar yang dijadikan sebagai argumentasi bahwa Al-Qur’an memuat seluruh ilmu pengetahuan. Selain beberapa tokoh klasik di atas, beberapa tokoh ilmuwan muslim kontemporer juga mengikuti jejak tokoh-tokoh tesebut antara lain: Muhammad Abduh dengan tafsir Al-Manar; Muhammad Jamaluddi al-Qasimi dengan kitabnya Mahaasinu at-Ta’wiil; Mahmud Syukri al-Aluusi dengan kitab tafsirnya Ruuhu al-Ma’aani; Thantawi Jauhari dengan kitabnya Al-Jawaahir fi Tafsiiri al-Qur’ani al- Kariim. Dan bahkan kini, corak penafsiran ilmiah yang semacam ini, semakin bermunculan bahkan dikalangan non muslim juga banyak melakukan kajian ilmiah terhadap al-Qur’an. Mereka ingin mengungkap kemukjizatan kebenaran al-Qur’an yang telah menerangkan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, bahkan 14 abad sebelum ilmu berkembang seperti sekarang ini. Seperti yang sudah sangat dikenal, kajian yang dilakukan oleh Maurice Bucaille (seorang embriolog Prancis), yang menggali kebenaran ilmiah al-Qur’an dalam bidang biologi, atau kajian yang dilakukan oleh Prof. A. Baiquni, guru besar fisika teori dari UGM, yang membahas mengenai molekul kehidupan dengan menggunakan istilah kunci dari al-Qur’an, yang kesemuanya itu semakin menunjukkan adanya kecenderungan positif terhadap kajian penafsiran ilmiah al-Qur’an. Sebaliknya, selain tokoh-tokoh yang pro dengan jenis tafsir bercorak ilmiah ini, beberapa tokoh ulama muslim mengkritik atau kontra dengan kemunculan tafsir ini. Penolakan terhadap jenis penafsiran al-tafsir al-‘ilmiy maupun al-tafsir bil ‘ilmi ini, lebih dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa kitab suci al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, bukanlah untuk menerangkan tentang teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka ragam ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia lebih berfungsi sebagai kitab hidayah, ishlah dan tasyri’. Selain itu juga penolakan terhadap corak tafsir ini disebabkan adanya kekhawatiran dikalangan umat Islam sendiri akan bahayanya mencocok-cocokkan al-Qur’an dengan penemuan sains modern yang belum pasti kebenarannya. Tokoh-tokoh yang menentang tafsir ini antara lain: Abu Ishak Ibrahim bin Musa al Syatibi al-
Andalusi; Abu Hayyan al-Andalusi; Muhammad Rasyid Ridha; Mahmud Syaltut; Abu Ishaq al-Syathibi; Nashr Hamid Abu Zayd; dan Amin al-Khulli. Dalam kitabnya al Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Abu Ishak Ibrahim bin Musa al Syatibi al-Andalusi menyatakan bahwa al-Qur’an tidak diturunkan dengan maksud tersebut. Menurutnya, kita tidak boleh memahami al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pemahaman mereka.55 Abu Hayyan al-Andalusi dan Muhammad Rasyid Ridha dengan tegas mengkritik tafsir al-Fakhru Ar-Razi yang beliau anggap sangat berlebihan, terkontaminir dan serampangan.56 Mahmud Syaltut, dalam kitabnya Tafsir al-Qur’anil Karim, dengan tegas mengatakan bahwa ada dua segi yang harus dijauhkan dari al-Qur’an, pertama mentakwilkan al-Qur’an menurut pendirian madzab, kedua, menafsirkan al-Qur’an atas dasar teori-teori ilmiah.57 Abu Ishaq al-Syathibi (1388 M) menentang tafsir ilmi dengan beralasan bahwa al-Qur’an yang diturunkan pada masyarakat Arab dulu itu tidak mungkin melampaui kapasitas pengetahuan mereka. Mereka adalah orang-orang yang lebih tahu tentang maksud al-Qur’an dari masa sekarang. Jadi, memahami alQur’an dengan sains terlalu berlebihan dan menjauhkan maksud al-Qur’an sendiri. Untuk mengetahui makna-makna al-Qur’an, hendaknya dibatasi dengan pengetahuan yang dimiliki orang Arab zaman dulu.58 Sedangkan Nashr Hamid Abu Zayd mengemukakan kelemahan tafsir ilmi dalam sisi metodologisnya, yakni tercerabutnya kontekstualitas historis al-Qur’an dengan sejarah dimana ayat itu turun yang justru merupakan nilai paling prinsipil menentukan kebenaran penafsiran terhadap al-Qur’an.59 Amin al-Khulli, barangkali, adalah orang yang paling sistematis dalam mengemukakan kelemahan tafsir ilmi ini dari berbagai aspek. Sebagaimana yang dijelaskan J.J.G. Jansen, kritik Amin-al-Khulli terhadap tafsir ilmi meliputi: pertama, dari aspek bahasa. Makna-makna ayat dalam al-Qur’an tidak mengarah ke pergeseran arti atau istilah-istilah di bidang ilmu pengetahuan. Kedua, dari 55
Lihat al Muhtashib, visi.., 311-317, lihat juga Mohammad Nor Ichwan, tafsir ‘ilmiy, 149-151 Ibid., 310-311 dan ibid.,151 57 Ibid., 318-323 dan ibid., 154-155 58 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, trj. Hariussalim, Syarif Hidayatullah (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 56. 59 Muhammad Kidam Akfi, Al-Qur’an dan Ilmu Modern, http://pelukis.multiply.com 56
segi filologisnya. al-Qur’an ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad orang Arab, dan karenanya tidak memuat segala sesuatu yang mereka tidak bisa mengetahuinya. Ketiga, dari segi teologis. Al-Qur’an mengajarkan agama. Ia berkaitan dengan pandangan manusia mengenai hidup, bukan pandanganpandangan kosmologisnya. Keempat, dari segi ketidak mungkinannya secara logis, bahwa al-Qur’an yang secara kuantitas teksnya terbatas, statis dan tidak berubah, dapat berubah memuat pandangan-pandangan yang bisa berubah-ubah dari para ilmuan abad ke 19 dan abad 20.60 2. Prospek Ke Depan Tafsir Bercorak Ilmiah: Sebuah Argumen Dari berbagai penilaian pro kontra di atas, menurut penulis ada beberapa poin yang bisa disimpulkan, baik yang pro maupun yang kontra. Kesimpulan dari argumen yang pro antara lain: Pertama, al-Qur’an memuat banyak sekali ilmu, yang bahkan sangat luas hingga air dilautan tidak akan habis menuliskannya. Kedua, diperlukan sebuah penafsiran yang tidak hanya tafsir dhahir (tekstual), tetapi juga tafsir yang bersifat lebih luas yang memuat ilmuilmu lain selain ilmu bahasa. Ketiga, Penggunaan sains dalam menafsirkan alQur’an akan membuat pemahaman terhadap ayat-ayatnya menjadi lebih baik. Keempat, Tafsir memiliki sumbangsih dalam menetapkan kemukjizatan alQur’an. Dari keempat kesimpulan tersebut, tanggapan penulis untuk kesimpulan pertama yang menyatakan bahwa al-Qur’an memuat banyak ilmu adalah kurang setuju, karena dengan pernyataan tersebut, seolah-olah al-Quran adalah kitab yang berisi kumpulan ilmu. Penulis lebih setuju bila dikatakan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk adanya ilmu-ilmu yang bisa dikembangkan manusia melalui akalnya, karena memang ayat-ayat al-Qur’an pada kenyataannya mengandung beberapa petunjuk mengenai alam semesta. Mau dikemanakan ayat-ayat ini jika tidak ditafsirkan secara ilmiah? Sedangkan untuk kesimpulan kedua, penulis sangat menyetujui adanya sebuah penafsiran yang tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga bisa dikupas secara lebih mendalam, agar mencapai pemahaman yang lebih baik terhadap al-Qur’an. Kesimpulan ketiga sangatlah tepat jika dikatakan dengan tafsir ilmiah, pemahaman al-Qur’an menjadi lebih baik. Ayat-ayat al60
J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern…, h. 86
Qur’an yang dulunya sering ditafsirkan dengan prinsip teologis, akan menjadi lebih bisa diterima pada masa ini jika ditafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmiah. Keempat, tentu saja tafsir jenis ilmiah ini memiliki sumbangsih dalam penetapan kemukjizatan al-Qur’an. Bagaimana mungkin al-Qur’an yang telah diturunkan ribuan tahun lamanya, masih bisa relevan sampai sekarang? Tentu saja pertanyaan ini harus dijawab dengan menunjukkan kemukjizatan isi dari alQur’an itu sendiri sekaligus membuktikan bahwa al-Qur’an bersifat universal, dapat berlaku bagi setiap bangsa, sepanjang zaman dan sepanjang masa. Berkaitan dengan tanggapan penulis terhadap argumen yang kontra dan menolak kehadiran kedua jenis tafsir ini, penulis juga mendapatkan beberapa kesimpulan, yaitu: pertama, kita tidak boleh menafsirkan al-Qur’an kecuali sesuai dengan pemahaman sahabat (sesuai dengan pemahaman masyarakat Arab saat itu). Kedua, anggapan bahwa tafsir ini akan menyebabkan pembaca terseret jauh dari tujuan Allah menurunkan al-Qur’an. Ketiga, bahwa penafsiran jenis ini telah menjadikan hilangnya konteks historis yang merupakan bagian terpenting dari kebenaran penafsiran al-Qur’an. Keempat, Al-Qur’an mengajarkan agama, bukan mengajarkan kosmologi. Kelima, al-Qur’an yang secara kuantitas teksnya terbatas, statis dan tidak berubah, tidak mungkin dapat memuat seluruh pandangan-pandangan yang bisa berubah-ubah dari para ilmuan abad ke 19 dan abad 20. Tanggapan penulis terhadap beberapa argumen yang kontra di atas adalah, pertama dimana kita hanya boleh menafsirkan sesuai pemahaman sahabat, menurut penulis kurang tepat. Kita hidup dijaman yang sangat berbeda, dengan pengetahuan yang berbeda, serta dengan kemajuan yang berbeda pula. Tentu saja, hal ini menjadikan manusia pada jaman sekarang ini menginginkan sesuatu yang lebih untuk bisa mengakui kebenaran al-Qur’an. Oleh karena itu, kita membutuhkan tafsir yang bisa mengakomodir perkembangan ilmu saat ini. Kedua, anggapan bahwa tafsir ini dapat membawa terseret jauh pembaca dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, tentu juga hanya merupakan perbedaan sudut pandang. Jika ada beberapa penafsir yang dianggap berlebihan dalam menjelaskan suatu ayat, tentu saja ini merupakan upaya saja agar al-Qur’an lebih mudah dipahami. Terkait dengan berlebihan atau tidak, maka hanya masalah
sudut pandang yang tentunya bisa kita kaitkan dengan semangat penafsir, tidak kita kaitkan dengan jauh atau tidaknya dari tujuan diturunkannya al-Qur’an. Ketiga, tafsir ini dianggap menghilangkan konteks historis, dalam hal ini kita harus memahami bahwa seringkali kita butuh menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual, karena memang ada beberapa pertimbangan kemaslahatan yang membutuhkan hal tersebut. Keempat, al-Qur’an memang mengajarkan agama artinya mengatur hubungan kita dengan Allah dan Manusia, akan tetapi alQur’an juga mengajarkan kita untuk berinteraksi dengan alam semesta, artinya agama juga menghendaki kita untuk memikirkan masalah kosmologi dan sejenisnya. Dengan demikian dapat penulis katakan bahwa kosmologi juga bagian dari agama. Kelima, terkait dengan al-Qur’an tidak mungkin memuat segala macam pandangan para ilmuwan yang sifatnya berubah-ubah, menurut penulis hal tersebut tidaklah menjadi masalah, karena memang tafsir sendiri merupakan hasil kerja para penafsir yang memang memiliki background keilmuwan masing-masing, sehingga jelas setiap penafsir akan menghasilkan jenis tafsir yang berbeda. Artinya, kebenaran al-Qur’an tidak akan terusik dengan penafsirat tersebut, karena kalaupun salah, yang salah adalah tafsirannya bukan al-Qur’annya. Sejatinya, manusia tidak dapat mengelak dari perkembangan ilmu dan teknologi yang demikian pesatnya. Jika kemudian muncul ada penafsiran yang berusaha menggali keilmiahan al-Qur’an, atau hanya sekedar berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan tujuan melakukan legitimasi terhadap al-Qur’an, maka sangatlah dapat dipahami. Oleh karenanya, kemunculan tafsir ini haruslah dilihat pada makna bahwa ilmuwan yang memilki ilmu yang relevan dengan ayat yang akan ditafsirkan, tentu akan lebih baik penafsirannya dibanding dengan yang tidak memiliki relevansi keilmuwan dengan ayat yang akan ditafsirkan. Dengan demikian, al-tafsir al-‘ilmiy dan al-tafsir bil-‘ilmi, memiliki beberapa prospek ke depan, yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Beberapa prospek tersebut antara lain: a. Kedua tafsir tersebut akan sangat bermanfaat dalam rangka menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an, terutama untuk ayat-ayat yang sulit dipahami, apalagi untuk ayat yang seolah-olah bertentangan dengan fakta
empiris yang sudah mapan. Seperti misalnya tentang bahwa bumi ini bulat, padahal al-Qur’an menyatakan: “Dan kami jadikan untuk kamu bumi ini terhampar” (Qs. 71: 19). Terlihat bahwa terhampar bisa kita maknai datar, tentu saja bertolak belakang dengan bulat. Jika penafsiran ayat ini tidak dijelaskan dengan benar, akan berdampak pada keraguan terhadap al-Qur’an. b. Penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’an juga akan membuat pemahaman terhadap ayat-ayatnya menjadi lebih baik, dan dapat menjelaskan sinyal-sinyal ilmiahnya. Misalnya saja terkait dengan ayat-ayat tentang pelarangan minum khamr. Jika ada penjelasan ilmiah (bidang kesehatan) terhadap akibat dari minum khamr, maka akan lebih mudah dipahami mengapa Allah melarang hal tersebut. c. Khusus untuk al-tafsir al-‘ilmiy, sangatlah penting bagi umat Islam dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu yang bersumber pada al-Qur’an. Dengan menggunakan jenis penafsiran ini diharapkan juga generasi mendatang akan terbiasa dengan latihan berpikir dan mengkaji. Jika kita menggali setiap makna dari ayat-ayat al-Qur’an, maka akan banyak sekali ilmu-ilmu yang di dapatkan, meskipun hanya berupa petunjuk, karena memang al-Qur’an bukanlah kitab ilmu. d. Melalui kedua jenis tafsir ini, umat Islam dapat menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an, terutama di jaman yang serba rasional ini. Dimana ketika wahyu yang dibawa nabi Muhammad ini dipertanyakan kebenarannya karena adanya anggapan bahwa wahyu ini telah di edit oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan menunjukkan kebenaran al-Qur’an melalui keilmiahannya, akan semakin menunjukkan adanya kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’an. e. Kedua jenis tafsir ini juga dapat menjadi sarana dakwah terutama untuk kalangan non muslim yang ingin mempelajari Islam, karena dengan buktibukti ilmiah akan mudah menggugah akal mereka untuk berpikir akan kebenaran al-Qur’an. Contoh, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh tiga departemen dari tiga Universitas di Malaysia 61, yang meneliti ketakjuban responden (175 responden non muslim dari berbagai agama dan aliran 61
Mohd Arip Kasmo, Mohamad Zaid Mohd Zin, Ahamad Asmadi Sakat, Critical Analysis on the Relation Between Religion and Science, Advances in Natural and Applied Sciences, 6(3): 452-458, 2012
kepercayaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Yaitu, salah satunya terhadap Qs. al-An’am: 125 “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Dalam penelitian tersebut, disebutkan kepada responden makna tafsir Ibnu Katsir, dibandingkan dengan makna ilmiah yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam tafsirnya Ibnu Katsir hanya memberi makna pada hal yang bersifat ketauhidan saja, dengan menyebut kata mendaki langit tetap seperti adanya. Namun ketika oleh peneliti dijelaskan bahwa ayat tersebut mengungkapkan sebuah makna ilmiah, yaitu pada kata Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit dengan penjelasan ilmiah yang luar biasa maknanya, maka sejumlah 60% menyatakan ketakjubannya kepada kebenaran ayat al-Qur’an tersebut. Makna ilmiah tersebut adalah bahwa ketika kita naik ke luar angkasa, di atmosfer hanya terdapat 21% oksigen, sehingga tiap-tiap nafas kita hanya mengandung sedikit oksigen, akibatnya kita akan cepat-cepat menghirup udara lagi untuk mendapatkan kekurangan oksigen, hal ini membuat nafas kita tersengal-sengal dan sesak. f. Dan yang tidak kalah penting dari penggunaan tafsir corak ini adalah untuk lebih memahami Allah dari ciptaannya. Sebagaimana yang dituliskan Afzalur Rahman62 dalam bukunya, Qur’anic Science, mengatakan bahwa manusia akan sama seperti hewan kecuali dia dapat mengenal siapa penciptanya, manusia akan makan, minun, mati, saling berebut makanan, keinginan untuk memiliki, merampas dan layaknya kegiatan hewan lainnya, kecuali mereka telah mengenal Allah. Keadilan dan kedamaian dalam kehidupan manusia hanya bisa tercapai ketika mereka dapat meyakini adanya keesaan Tuhan. Beliau juga menuliskan bahwa al-Qur’an mengajak setiap manusia untuk lebih merenungkan, memikirkan dan meneliti alam 62
Afzalur Rahman, Qur’anic Science, (London: The Muslim School Trust London, 1981), 1-2
semesta ini agar kita semakin dekat dengan kekaguman akan penciptanya yaitu Allah, sehingga ketakjuban tersebut akan membawa kita pada keimanan yang bertambah.
E. KESIMPULAN Perkembangan ilmu dan teknologi telah memunculkan adanya usaha untuk menghubungkan al-Qur’an dengan sains. Hal ini
telah banyak dilakukan oleh
sarjana Barat maupun muslim sendiri. Tidak terkecuali dalam masalah penafsiran al-Qur’an, banyak ulama yang kemudian mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melakukan penelitian secara langsung, ataupun sekedar menggunakan hasilhasil penelitian sains
maupun dengan teori-teori dari ilmu-ilmu yang telah
dihasilkan para ilmuwan lain, sehingga muncullah corak al-tafsir al-‘ilmiy dan altafsir bil’ilmi. Terlepas dari pro kontra atas kehadiran jenis tafsir bercorak ilmiah ini, keduanya memiliki prospek yang luar biasa bagi kemajuan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Disamping dapat lebih memberikan
pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam al-Qur’an, tafsir ini dapat mendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an, menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an, serta dapat menjadi sarana dakwah untuk kalangan non-muslim. Kedepannya, corak penafsiran ini bisa terus dikembangkan. Bagi ilmuwan yang memiliki relevansi keilmuwan dengan ayat yang ditafsirkan, tentu penafsirannya akan lebih baik daripada ilmuwan yang tidak memiliki relevansi keilmuwan dengan ayat yang akan ditafsirkan. DAFTAR RUJUKAN Abul Hassan Chaudhury and Bhuiya, The Concept Of Knowledge In Science And The Quran: An Overview, International Journal Of Multidisciplinary Educational Research, Volume 1, Issue 2, June 2012, 450-457 Ahmad, Yusuf al Hajj, tt, Ensiklopedi Kemukjizaran ilmiah dalam Al-Qur’an dan Sunnah (terj). PT, Kharisma Ilmu
Akfi, Muhammad Kidam, tt, Al-Qur’an dan Ilmu Modern, tersedia online di: http://pelukis.multiply.com Al Rahman Fath ‘Abd., 1986. Ittijah al-Tafsir fi alQarn al Rabi’ Asyar. Mamlakah al‘Arabiyah al Su’udiyah. Al-‘Aridl, Ali Hasan, 1994, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta:Rajawali Pers. Al-farmawi, Abd. Al hayy. 1977. Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i. Mesir: Maktabah umhuriyah. Al-Fayumi, Mursyi Ibrahim. 1980. Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’iy. Kairo: Dar alTaufiqiyah. al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer (terj.), Bangil: Al Izzah. Al-Zahabiy, Muhammad Husain. 1961. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid II. Mesir: Dar Al-Kutub. Azarpour, Ebrahim; Maral Moraditochaee; Hamid Reza Bozorgi. 2014. Study Medicinal Plants In Holy Quran, International Journal of Plant, Animal and Environmental Sciences, Vol. 4, Issue 2, pp. 529-536. Bucaille, Maurice. 1979. The Bible, the Quran and Science, diterjemahkan dan dipublikasikan Muslim Printing Press, Karachi. Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo. Faruqi, Yasmeen Mahnaz, 2006, Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise, International Education Journal, 7(4), 391-399 Ghafouri-Fard, Soudeh and Seyed Mohammad Akrami, 2011, man evolution an islamic point of view, European Journal of Science and Theology, September Vol.7, No.3, pp. 17-28. Hasan, Haslin & Ab. Hafiz Mat Tuah, 2014, Quranic Cosmogony: Impact of Contemporary Cosmology on the Interpretation of Quranic Passages Relating to the Origin of the Universe, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 7 (March), pp. 124–140. Haris, Abrar. 2013. Ant and Bee as Qur’anic Allegory Within Al-Qur’an, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, Vol. 11 No.1, pp. 47-60.
Hassan,
Shahir Akram. 2014. Understanding Social Phenomenon From Qur’anic Verses? The Macrotheme Review 3(4), Spring pp. 36-44.
http://www.theflatearthsociety.org/ Ibrahim, Sa’ad. 2013. Kuliah Studi al-Qur’an tanggal 23 Januari 2013, di Pascasarjana UIN Maliki Malang Ichwan, Mohammad Nor. 2004. Tafsir ‘ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Jogjakarta: Penerbit Menara Kudus Jogja. Jansen, J.J.G. 1997. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, trj. Hariussalim, Syarif Hidayatullah. Yoyakarta: Tiara Wacana. Kasmo, Mohd Arip; Mohamad Zaid Mohd Zin, & Ahamad Asmadi Sakat, 2012, Critical Analysis on the Relation Between Religion and Science, Advances in Natural and Applied Sciences, 6(3): 452-458, Loukas, Marios et al., 2009, The heart and cardiovascular system in the Qur'an and Hadeeth, International Journal of Cardiology, 12055, pp 1-5. Mahmood, Sultan Bashir. 2010. The Miraculous Quran A Challenge To Science & Mathematics. Islamabad: Dar-Ul-Hikmat International. Rahman, Afzalur. 1981. Qur’anic Science. London: The Muslim School Trust London. Rezaeitalarposhti, Abdolbaghy and Abdolhady rezaeitalarposhti. 2013. Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to Contemporary Psychologists, International Research Journal of Applied and Basic Sciences, Vol, 6 (11), pp. 1590-1595 Saki, Kourosh et.al. 2014. Quran Medicine: Studying from Modern Science Perspective, J Nov . Appl Sci., 3 (1): 53-57, , hlm 55 Shihab, Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan. Sulmasy, Daniel P. 2007. What Is a Miracle?, Southern Medical Journal, Volume 100, Number 12, December, pp. 1223-1227, p. 1227
Pelaksanaan Pendidikan Pesantren Terpadu dalam Mengembangkan Iman dan Takwa (Imtak) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Santri di Pondok Pesantren al-Yasini Kraton Pasuruan
Zuhriyah Mahasiswa Program Doktor UIN Maliki Malang
ABSTRAK Pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara. Kedatangannya hampir seiring datangnya para penyebar agama Islam pada tahap awal. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pesantren sedikit terasingkan oleh modernisasi yang diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi lain pesantren-pesantren masih dengan ketradisionalannya. Oleh karena itu ketika pesantren mulai menggeliat dengan adanya respon atas kemajuan zaman, maka penelitian di pesantren sangat menarik untuk dibahas. Penelitian ini dilakukan untuk mencari system pengembangan pesantren dalam mengembangkan Imtak dan Iptek santri di pesantren terpadu al-Yasini yang merupakan pondok pesantren terbedar di Pasuruan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian berupa studi kasus di pesantren terpadu al-Yasini Pasuruan. Pengumpulan data diambil dari wawancara, observasi dan dokumentasi yang semuanya dikumpulkan dan dianalisis untuk menjawab permasalahan penelitian yang diajaukan peneliti dalam fokus penelitian. Adapun informan penelitian ini adalah pengasuh pesantren al-Yasini, ketua yayasan, ketua lembaga-lembaga pendidikan informal, lembaga pendukung, dan lembaga pesantren sendiri.
Dalam penelitian tentang pelaksanaan sistem pendidikan pesantren terpadu dalam mengembangkan Imtak dan Iptek santri, peneliti menemukan bahwa pengembangan Imtak melalui lembaga informal seperti Madrasah Salafiyah dan Madrasah
Diniyah
yang
dielaborasi
dengan
lembaga
pesantren.
Sedangkan
pengembangan Imtak santri melalui berbagai lembaga formal dengan berbagai tingkatannya. Lembaga formal dalam pengembangan bahasa Arab dan Inggrisnya didukung oleh LPBA. System pesantren terpadu dalam upayanya mengembangkan Imtak dan Iptek santri berimplikasi pada empat hal yaitu (1) Orientasi Pesantren; (2). Kurikulum Pesantren; (3) tenaga pengajar dan staf di pesantren, dan (4). Lulusan pesantren. Kata kunci: Sistem, Pesantren, Imtak, Iptek. A. PENDAHULUAN 1. Konteks Penelitian Pendidikan Islam atau pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun berdasarkan nilai-nilai fundamental yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam realitasnya, pendidikan yang dibangun berdasarkan kedua sumber tersebut terdapat beberapa perspektif; (1). Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya melepaskan diri atau kurang memperhatikan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya, (2). Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual klasik (3). Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya hanya memperhatikan sosio-historis dan kultur masyarakat kontemporer dan melepaskan diri dari khazanah Islam klasik (4). Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah muslim klasik serta mencermati sosio-historis dan kultural masyarakat modern. Sementara Pendidikan Agama Islam ialah upaya mendidikkan agama Islam dan niai-nilai agar menjadi way of life seseorang.63 Imam Syafi’i, sebagai tokoh ternama dalam ulama’ sunni mengatakan bahwa, barang siapa ingin menggapai kesuksesan dunia, maka harus dengan ilmu, dan barang siapa ingin menggapai kesuksesan akhirat juga harus dengan ilmu, dan 63
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hlm. 4.
barang siapa ingin mengharap keduanya, maka keduanya juga dapat dicapai dengan ilmu.
من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد االخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليهما بالعلم Barangsiapa
menghendaki
dunia,
hendaklah
ia
berilmu;
barangsiapa
menghendaki akhirat, hendaklah dia berilmu; dan barangsiapa menghendaki keduanya, hendaklah ia berilmu. Menurut Abuddin Nata, merupakan salah satu kekeliruan besar apabila kebijakan pendidikan nasional hanya terfokus pada pengembangan pendidikan umum, namun kurang memperhitungkan lembaga pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Maka tidak mengherankan bila muncul stereotyping di masyarakat, bahwa pendidikan Islam selalu diasosiasikan dengan lembaga pendidikan terbelakang, kurang bermutu serta tidak menghasilkan lulusan yang memadai dan tidak memiliki kemampuan komprehensif-kompetitif terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.64 Dalam rangka menyatukan ilmu pengetahuan sebagaimana fitrahnya, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah mengembalikan pendidikan itu kepada lembaga pendidikan yang asal, yaitu pesantren yang memang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Memang tidak elok apabila pelajar muslim di Indonesia, mempelajari suatu ilmu pendidikan yang terlepas dari budaya ilmu itu sendiri. Terlepas dari nilai-nilai luhur pendidikan Islam yang telah kuat mengakar di dalam masyarakat Indonesia. Mungkin saja lembaga pendidikan umum telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tidak bisa dipungkiri pendidikan nilai kenusantaraan, keIslaman tidak akan mudah ditinggalkan begitu saja. Informasi tentang kemajuan pesantren telah diungkap oleh beberapa peneliti yang memfokuskan kajiannya khusus terkait dengan kepesantrenan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Badrun. Dalam desertasinya, “Pendidikan di Pesantren di bawah Kepemimpinan Tuan Guru sebagai Top Leader dapat Menanamkan Pendidikan Karakter”. Hasil penelitian menunjukkan melalui rutinitas, pengawasan dalam setiap program yang menjadi khas pesantren selama ini, mampu 64
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 50.
menciptakan karakter positif sebagai bekal kehidupan santri ketika terjun di masyarakat. Diantara karakter tersebut adalah kedisiplinan, baik kedisiplinan ibadah, waktu, atau belajar.65
Selain itu, di pesantren juga melalui pengembangan
keterampilan melalui ekstra kurikuler. Fasilitas ini diberikan untuk memfasilitasi minat dan bakat santri sehingga akan berkembang dengan alami melalui pembinaan yang rutin.66 Peneliti berasumsi bahwa pendidikan di Indonesia tidak akan selesai apabila hanya mengadopsi pendidikan dari Barat yang cenderung positifistik. Maka dari itu, dalam penelitian ini, peneliti mengambil tema “Pelaksanaan Pendidikan Pesantren Terpadu dalam Mengembangkan Iman dan Takwa (Imtak) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Santri di Pondok Pesantren al-Yasini Kraton Pasuruan”. 2. Fokus Penelitian Setelah pemaparan latar belakang masalah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti merumuskan fokus penelitian (research focus) sebagai berikut: a. Bagaimana
sistem
pendidikan
pesantren
terpadu
al-Yasini
dalam
mengembangkan Imtak dan Iptek santri? b. Bagaimana implikasi sistem pendidikan di pesantren terpadu al-Yasini dalam
mengembangakan Imtak dan Iptek santri? 3. Tujuan Penelitian Secara substansial tujuan dari penelitian adalah menyelesaiakan masalahmasalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Maka dari perumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menjadi rumusan dari hasil sebuah penelitian. Adapun secara terperinci, tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk: a. Mendiskripsikan dan menganalisis sistem pembelajaran di pesantren terpadu
al-Yasini dalam mengembangkan Imtak dan Iptek santri yang meliputi: (1) Program pesantren; (2) Proses, dan; (3) Hasil. b. Mendiskripsikan dan menganalisis implikasi sistem pendidikan di pesantren
terpadu al-Yasini dalam mengembangkan Imtak dan Iptek santri.
65
Dzul Hilimi, Model Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan Kedisiplinan Di Pondok Nurul Falah Al- Kammun, Tesis, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2014). 66 Badrun, Strategi Kepemiminan Tuan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter, Desertasi, (Malang: Tidak diterbitkan, 2014), hlm. xvi.
4. Manfaat Penelitian Kegunaan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini diantaranya adalah: a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian
dapat menambah khazanah keilmuan dan wawasan
pengetahuan dalam bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan dan diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan pendidikan Islam di pondok pesantren. b. Manfaat Praktis
Dari Hasil penelitian ini, berguna juga bagi pengajar atau guru pendidikan agama Islam sebagai acuan pertimbangan dalam usahanya untuk menerapkan pendidikan agama Islam di pondok pesantren. Hasil penelitian ini memungkinkan adanya tindak lanjut yang mendalam dalam pengembangan pendidikan agama Islam di Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Sistem Pendidikan Pesantren Terpadu Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “system” yang memiliki arti hubungan fungsional yang teratur antara unit-unit atau komponen-komponen.67 Sistem adalah sekumpulan benda yang memilki hubungan diantara mereka. Sistem adalah suatu kelompok unsur yang saling berinteraksi, saling terkait atau ketergantungan satu sama lain yang membentuk satu keseluruhan yang kompleks. Dari pengertian tersebut maka muncullah kata keseluruhan (wholeness), kesatuan (unity), dan keterkaitan (correlated). Menurut Aristoteles, “The whole is more than the sum of its parts” yang artinya adalah bahwa keseluruhan itu tidak sekedar penjumlahan dari bagian-bagiannya.68 Adapun ciri-ciri sistem meliputi; (1) memiliki tujuan; (2) memiliki fungsi; (3) komponen-komponen; (4) interaksi atau saling berhubungan; (5) Penggabungan Yang Menimbulkan Jaringan Keterpaduan; (6) Proses Transformasi (7) Umpan Balik
67
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 27. 68 Arif Rahman, Memahami Ilmu Pendidikan, (Aswaja Pressindo, 2013, Yogyakarta), hlm. 75-76.
untuk Koreksi; (8) Daerah Batasan dan Lingkungan. 69 Oleh karena itu Sistem berarti gabungan dari berbagai komponen sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan. Suatu sistem dapat nenjadi supra atau sub sistem dari sistem lainnya. Supra sistem adalah suatu sistem yang berada di atasnya. Sedangkan sub sistem adalah sistem yang berada di dalam sistem.70 Dalam konteks pendidikan di pesantren, terdapat berbagai komponen yang harus saling sinergi dan berkoneksi antara beberapa sub-sub pendidikan yang ada di pesantren. Pesantren juga memiliki komponen utama yang harus saling bersinergi satu dengan yang lainnya, diantara komponen tersebut adalah kyai, santri, ustadz, dan beberapa stake holder yang ada di pesantren. a. Pengertian Pesantren Pesantren
adalah
lembaga
pendidikan
Islam
untuk
memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaquh fiddina) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari.71 Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari gen masyarakat Indonesia. Pengertian terminologi pesantren tersebut mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keIslaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab cikal bakal pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengIslamkannya. 72 Secara lahiriyah, pondok pesantren, pada awalnya merupakan suatu komplek bangunan yang terdiri dari rumah seorang kyai, masjid, pondok tempat tinggal para santri, dan ruangan belajar, meskipun keberadaan pondok pesantren sudah beraneka ragam bentuknya sesuai dengan tuntutan zaman. Di pesantren inilah seorang kyai membimbing dan memberikan arahan masyarakat
sesuai
dengan ajaran Islam. b. Unsur-Unsur Pendidikan Pesantren 69
Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), hlm. 38-39. 70 Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem, hlm. 17. 71 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 6. 72 Nurcholish Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 3.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari beberapa unsur dasar yang membangunnya. Menurut Zamahsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan ada lima elemen, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, kyai. 1) Pondok (asrama untuk para santri) Istilah pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel, penginapan.73 Istilah pondok juga diartikan sebagai asrama. Dengan demikian pondok mengandung arti juga tempat tinggal. Sebuah pesantren pasti memiliki asrama (tempat tinggal santri dan kyai). Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara kyai dan santri dan kerjasama untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan di masjid atau langgar.74 Ada beberapa alasan pokok pentingnya pondok dalam suatu pesantren, Yaitu: pertama, banyaknya santri yang berdatangan dari tempat yang jauh untuk menuntut ilmu kepada kyai yang sudah masyhur keahliannya. Kedua, pesantren-pesantren tersebut terletak di desa-desa, dimana tidak tersedia perumahan santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyai sebagai orang tuanya sendiri. 75 2) Masjid Masjid secara harfiah adalah tempat sujud, karena tempat ini setidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam melaksanakan sholat. Fungsi masjid tidak hanya sabagai pusat ibadah (sholat) tapi juga untuk perkembangan kebudayaan lama pada khususnya dan kehidupan pada umumnya, termasuk pendidikan.76 Masjid sebagai tempat pendidikan Islam, telah berlangsung sejak masa Rasullah, dilanjutkan oleh Khulafaurrasidin, dinasti Bani Umayah, Fatimiah, dan diasti lainnya. Tradisi menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan Islam, tetap dipegang oleh kyai sebagai pimpinan pesantren sampai sekarang.
73
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia,(Yogyakarta: unit pengadaan buku-buku ilmiah keagamaan pondok pesantren al- Munawir, 1964), hlm. 1154. 74 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia,, hlm. 132-137. 75 Zamahsyari Dhofier, Tradisi pesantren,. hlm.46-47. 76 Safrullah Salim (penyt), Masjid, Cet.4, (Jakarta: Pustaka Antara, 1983), hlm. 117.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan bertambahnya jumlah santri dan tingkat pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqoh-halaqoh berupa kelas, sebagaimana yang sekarang menjadi madrasahmadrasah. Namun demikian masjid tetap menjadi tempat belajar mengajar, hingga sekarang kyai sering membaca kitab-kitab klasik dengan metode wetonan dan sorogan. Pada sebagian pesantren menggunakan masjid sebagai tempat i’tikaf, dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir, ataupun latihan-latihan lain dalam kehidupan tarekat dan sufi.77 3) Santri Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri dapat di golongkan menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama. Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat yang jauh yang tidak memungkin dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka punya kewajiban-kewajiban tertentu; Kedua. Santri kalong, yaitu para siswa yang datang dari daerah-daerah sekitar pondok yang memungkin dia pulang ke rumahnya masing- masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan jalan pulang pergi antara rumah dan pesantren.78 Pada pesantren yang tergolong tradisional, lamanya santri bermukim tidak ditentukan pada lamanya dia bermukim atau kelas, tetapi pada seberapa banyak kitab yang telah di baca. Kitab-kitab tersebut bersifat dasar, menengah, dan kitab-kitab besar.79 Pada awalnya, pesantren diselenggarakan untuk mendidik santri agar menjadi taat menjalankan agamanya dan berakhlak mulia. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, santri dituntut memiliki kejelasan profesi, maka banyak dari pesantren membuka pendidikan kejuruan dan umum dari sekolah, madrasah bahkan perguruan tinggi.80 4) Kyai Kyai adalah tokoh sentral dalam sebuah pesantren, maju mundur pesantren di tentukan oleh wibawa dan kharismati kyai. Bagi pesantren kyai adalah unsur yang paling dominan. Kemasyhuran, perkembangan dan 77
Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 49. Zamahsyari Dhofier, Tradisi pesantren, hlm. 51-52. 79 Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. hlm. 15. 80 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren,. hlm. 136. 78
kelangsungan hidup suatu pesantren tergantung dari kedalaman dan keahlian ilmu serta kemampuannya dalam mengelola pesantren. Dalam konteks ini kepribadian kyai sangat menentukan sebab terhadap keberadaan pesantren karena dia sebagai tokoh sentral dalam pesantren. Ia memiliki kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren.81 Gelar kyai diberikan oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri. Dalam perkembangannya kadang-kadang sebutan kyai diberikan kepada mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam, dan tokoh masyarakat walaupun tidak memiliki pesantren, pemimpin dan mengajar di pesantren, umumnya mereka adalah alumni pesantren.82 5) Pengajian Kitab-Kitab Islam Klasik Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lain adalah bahwa di pondok pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang oleh zaman dulu (kitab kuning), mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran diberikan mulai dari yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya biasanya di ketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkannya. Kriteria kemampun membaca dan mengarahkan kitab bukan saja merupakan kriteria diterima atau tidaknya seorang sebagai ulama, atau kyai pada zaman dulu, tapi juga pada saat sekarang. Salah satu persyaratan seorang dapat diterima menjadi seorang kyai dari kemampuannya dalam membaca kitab-kitab tersebut. c. Tujuan Pendidikan Pesantren Tujuan dan fungsi pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagai usaha untuk menjadikan pondok pesantren tetap terjaga dalam eksistensinya. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, untuk itu pengembangan fungsi dan tujuan pendidikan pesantren sebagai panduan dan arah pendidikan sangat penting. 81 82
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta, LkiS, 2001), hlm. 17. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, .hlm. 144.
Selain tujuan dan fungsi pendidikan pesantren yang tidak kalah pentingnya adalah visi dan misi pesantren. Visi adalah pernyataan cita-cita, bagaimana wujut masa depan, kelanjutan dari masa sekarang dan berkaitan erat dengan masa lalu. Sedangkan misi adalah tugas yang dirasakan seseorang atau lembaga sebagai suatu kewajiban untuk melaksanakan demi agama, ideologi, patriotisme dan lainlain.83 Visi pendidikan pesantren tidak terlepas dari visi pendidikan Islam yaitu: Agamis, populis, berkualitas dan beragam. 84 Secara umum tujuan pendidikan pesantren sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim karya Zarnuzi, sebagai pedoman etika dan pembelajaran di pesantren dalam menuntut ilmu, yaitu menuntut dan mengembangkan ilmu itu semata-mata merupakan kewajiban yang harus dilakukan secara ikhlas. Keikhlasan merupakan asas kehidupan di pesantren yang ditetapkan secara taktis dalam pembinaan santri, melalui amal perbuatan seharihari. Sedangkan ilmu agama yang dipelajari merupakan nilai dasar yang mengarahkan tujuan pendidikannya, yakni membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam sebagai dasar nilai yang bersifat menyeluruh.85 2. Pendidikan Pesantren dalam Pengembangan Imtak dan Iptek a. Prospek Pesantren Terpadu
Sebagaimana definisi pesantren di atas menunjukkan bahwa pesantren adalah “tempat tinggal santri”. Pengertian tersebut menunjukkan ciri pesantren yang paling penting, yaitu sebuah lingkungan pendidikan yang sepenuhnya total terfokus pada pendidikan Islam yang seutuhnya, baik tataran lahir atau batin. Sebagian orang mengatakan, pesantren adalah tempat pendidikan yang mensinergikan ilmu dan amal, walaupun dalam sebatas amaliyah ubudiyah saja. Pesantren sangat mirip dengan akademi militer atau biara dalam hal pengalaman dan kemungkinannya untuk sebuah totalitas. Sifat totalitas inilah yang mungkin membedakan pesantren, apabila dibandingkan dengan lingkungan pendidikan
83
Pupuh Fatkhurrahman, “Pengembangann Pondok Pesantren (Analisis Terhadap Keunggulan Sistem Pendidikan Pesantren Terpadu)”, Lektur, seri XVI/2002, hlm. 316. 84 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 17. 85 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 18.
parsial yang ditawarkan oleh sistem sekolah umum yang berlaku sebagai “struktur pendidikan secara umum” bagi bangsa. pesantren adalah sebuah kultur yang unik.86 b. Pengembangan Imtak dan Iptek di Pesantren Terpadu
Pertama kali orang yang mengimplementasikan konsep integrasi ini adalah Abdurrahman Wahid, walaupun sesungguhnya ide itu bukan merupakan hal baru sebab gagasan tersebut sudah pernah dilakukan pertama kali oleh ayahnya yaitu K.H. Ahmad Wahid Hasyim di lingkungan pesantren Tebuireng. Jadi bisa dikatakan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pengintegrasian sekolah umum ke dalam pesantren merupakan warisan ayahnya. Menurut Wahid Hasyim sistem pendidikan pesantren yang hanya berkutat pada masalah keagamaan dengan pola ajar wetonan dan bandongan harus segera dirubah dan disesuaikan dengan kebutuhan sosial masyarakat.87 Abdurrahman Wahid pernah mengkritik terkait lambannya menyikapi perubahan dan tetap dalam pola lamanya yang serba tradisional yang berdampak pada keadaan situasi yang sangat rawan bagi pesantren sendiri. Kondisi kejiwaan semacam ini munurut Abdurrahman Wahid, sebagai akibat dari pertama, pantulan kondisi masyarakat yang serba transisional. Kedua, kesadaran akan terbatasnya kemampuan pesantren mengatasi tantangan dan tuntutan kemajuan sains pengetahuan dan teknologi. Ketiga, statisnya struktur sarana-sarana fisik yang ada untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan pesantren baik manajemen maupun material, dan keempat, sulitnya mengajak masyarakat pendukung pesantren menuju arah hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan pesantren.88Dengan demikian, ketimpangan yang dialami oleh pesantren dalam menghadapi arus globalisasi, akan sedikit teratasi.
86
Abdurrahman Wahid, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (Ed), diterj. Shonhadji, Dinamika Pesantren : Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, (Surabaya: Hikmah, 1995), hal.267. 87 Dari sinilah Wahid Hasyim kemudian berinisiatif mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu umum dalam kurikulum pengajaran pesantren. Sistem ajar wetonan dan bandongan diubah dan dikembangkan dengan diterapkannya sistem madrasah atau klasikal. Kemudian sistem klasikal tersebut oleh Wahid Hasyim dipadukan dengan unsur ilmu agama dan ilmu umum di pesantren. Uji coba itupun berhasil dan berdiri dengan nama madrasah Nidzamiyah. Lihat Muhammad Rifai, Wahid Hasyim; Biografi Singkat, (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 51-52. 88 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm. 53-54.
C. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu data yang berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumentasi pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. 89 Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian ini menggunakan studi kasus tunggal (single-case study) menurut K. Yin yang mana hanya menempatkan sebuah kasus sebagai fokus penelitian, maka akan digali secara mendalam informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian di Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini. Sehingga akan ditemukan kesimpulan tentang dinamika yang dihadapi oleh pesantren tersebut dalam mengembangkan IMTAK dan IPTEK santri dalam rangka menghadapi era globalisasi. 2. Data dan Sumber Data Penelitian Data adalah informasi yang dikatakan oleh manusia yang menjadi subyek penelitian, hasil observasi, fakta, dokumen yang sesuai dengan fokus penelitian. Informasi dari subjek penelitian dapat diperoleh secara verbal melalui wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisa dokumen.90 Sedangkan Sumber data adalah subyek dimana data diperoleh.91 Menurut Lofland dalam Lexy J. Moleong mengungkapkan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah katakata atau tindakan, selebihnya adalah tambahan berupa dokumen dan lain-lain.92 Oleh karena itu, jenis data yang terkait dengan penelitian ini ada dua macam yaitu: a. Data Primer (utama)
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian di lapangan. 93 Adapun sumber data dalam penelitian ini secara spesifik adalah sebagai berikut: 1) Ketua Yayasan Pesantren Terpadu Al-Yasini yaitu H. Zainudin, M.Pd sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas Yayasan Pesantren Terpadu Al-Yasini. 89
Lexy J Maleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 5. Rulam Ahmadi, Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif, (Malang, UIN Malang-Press, 2005), hlm. 63 91 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Dan Praktis, (Bandung: Rosdakarya, 2006), hlm. 79 92 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 157 93 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 107 90
2) Guru di dan pengurus di Yayasan Pesantren Terpadu Al-Yasini yang merupakan pihak yang berperan penting dalam pengembangan pesantren terpadu Al-Yasini. Diantara nama-nama guru tersebut di antaranya Irham Zuhdi, M.Pd, Akhmad Munif, M.Pd, Muzammil Aziz, M.Pd, dan M.Soleh, M.Pd b. Data Sekunder (tambahan)
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya. Sumber data sekunder yaitu, sumber data diluar kata-kata dan tindakan yakni sumber data tertulis. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi sebuah penelitian, sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan judul yang ditentukan. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiono bahwa teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), wawancara (interview), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan dari keempatnya.94 Untuk mengecek kevalidan dari ketiga teknik tersebut maka dilakukan trianggulasi. D. TEMUAN PENELITIAN 1. Sistem Pendidikan di Pesantren Terpadu Al-Yasini dalam mengembangkan Iman dan Takwa (IMTAK) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Santri Keterpaduan dalam pesantren merupakan respon atas perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di era globalisasi. Lulusan pesantren yang tidak berdaya dalam menghadapi tantangan globalisasi telah menggugah beberapa tokoh muda Islam untuk mendirikan pesantren yang mampu mengimbangi kemajuan zaman. Oleh karena itu al-Yasini yang dipimpin oleh KH. Mujib Imron mendirikan pesantren terpadu pada tahun 2014. Sistem keterpaduan ini berupaya memasukkan lembaga-lembaga formal ke dalam pesantren. Walaupun membahas ilmu-ilmu modern seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan ilmu-ilmu profan lainnya, pesantren terpadu tetap mempertahankan ciri khas lamanya sebagai lembaga pendidikan Islam. 94
Sugiyono. Memahami penelitian kualitatif (Bandung: CV Alfabeta, 2005), hlm. 62-63.
Oleh karena itu model-model pembelajaran seperti wetonan, sorogan dan bendongan, masih tetap dipertahankan. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Maunah bahwa Pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua alasan: pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah runtuh sendi-sendi moralnya, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma’ruf, nahi munkar). Kedua, salah satu tujuan pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.95 Dengan demikian, perubahan di dalam diri pesantren merupakan suatu yang lumrah sebagai respon tuntutan zaman. Sistem pendidikan di pesantren tepadu al-Yasini dapat dilihat pada gambar berikut ini: Input
SISWA
Pesantren Terpadu
Lembaga Informal
Proses Lembaga pesantren
Lembaga pendukung Lembaga Formal
Santri yang Intelektual
Output
Gambar 2. Pesantren Terpadu Al-yasini 95
Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di Masa Depan (Yogyakarta:Teras, 2009), hlm. 25-26
Dari beberapa pemaparan di atas bahwa pengembangan Iman dan Takwa (IMTAK) dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) melalui sistem pendidikan yang ada di dalam pesantren melalui corak keterpaduan. Berikut pengembangan Iman dan Takwa (IMTAK) dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Pesantren Terpadu al-Yasini: a. Sistem Pendidikan Formal Sekolah formal yang ada di Pesantren Terpadu al-Yasini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi (PT). berikut lembaga-lembaga formal di Pesantren Terpadu al-Yasini: 1) Taman Kanak-kanak 2) Sekolah Dasar Islam Cendekia (SDIC) al-Yasini 3) Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Yasini 4) Sekolah Menengah Pertama Unggulan (SMPU) Al-Yasini 5) Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Kraton 6) Sekolah Menengah Atas (SMA) Excellent 7) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kraton 8) Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Wonorejo 9) Sekolah Menengah Kejuruan Kesehatan (SMK Kes.) 10)
Perguruan Tinggi Dari setiap unit lembaga yang ada memiliki keunggulan-keunggulan
masing-masing. Semisal MTs Al-Yasini keunggulannya adalah pengembangan bahasa Arab dan Inggris serta hafalan al-Qur’an. Kelas unggulannya dinamakan kelas Genius. SMP Unggulan Al-Yasini menjadikan Saintek sebagai kelas unggulannya. SMA Excellent menjadikan interprenur sebagai ciri utama keunggulannya. b. Sistem Pendidikan Informal Lembaga informal yang ada di Pesantren Terpadu al-Yasini ada dua yaitu lembaga Madrasah Diniyah dan Madrasah Salafiyah. Perbedaan dari keduanya adalah, Madrasah Diniyah sebagai penunjang ilmu keagamaan bagi seluruh santri yang bertempat tinggal di pesantren. Santri wajib mengikuti Madrasah Diniyah ini. Adapun Madrasah Salafiyah diperuntukkan bagi siswa yang tidak sekolah formal. Mereka terfokus pada pendidikan agama saja. Tujuan utama santri
menimba ilmu kepesantrenan, benar-benar murni mendalami ilmu agama. Sehingga dalam kurikulum pendidikan Salafiyah ini ditambahkan beberapa mata pelajaran komputer. Walaupun dengan kesalafannya, santri yang belajar di Madrasah Salafiyah tetap diberi pengalaman dalam mengoperasikan komputer. c. Sistem Pendidikan Pesantren Maksud lembaga pesantren di pesantren terpadu ini adalah upaya pengurus untuk tetap mempertahankan pesantren salaf dengan corak aslinya. Pesantren tetap menjalankan perannya dengan sistem pesantren salaf. Hal itu terlihat masih adanya pembelajaran kitab dengan model bendongan sorogan dan weton. Bendongan dipimpin langsung oleh KH. Mujib Imron. Kitab yang dibaca adalah Fathul Qorib, Ta’limul Mutaallim dan tafsir. Selain pembelajaran kitab, rutinitas ritual ibadah juga menjadi tanggung jawab pesantren seperti shalat berjamaah, salat malam, istighosah, semua adalah tanggung jawab pesantren dalam pengawasannya. d. Sistem Pendidikan Pendukung Yang di maksud dengan lembaga pendukung adalah keberadaan lembaga tersebut merupakan lembaga pendukung dari lembaga formal dan informal. Ada dua lembaga yang menjadi pendukung itu adalah Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (LPQ) dan Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA). Kedua lembaga ini merupakan lembaga dalam mengembangkan kualitas bacaan al-Qur’an dan kemampuan dalam berbahasa Arab dan Inggris. Dengan adanya dua lembaga ini, santri di pesantren terpadu al-Yasini mendapatkan pendidikan yang komplit sebagaimana yang telah dijelaskan pada gambar 2 di atas. Dengan system semacam itu, diharapkan lulusan Pesantren Terpadu alYasini memiliki kualitas yang unggul dalam bidang keagamaan dan keilmuan serta teknologi. Berikut implementasi sistem pendidikan di Pesantren Terpadu alYasini.
Terpadu : Pikir dan Dzikir, Intelektual dan Moral Iptek dan Imtaq Teori dan Aplikasi
IMPLEMENTASI
Lembaga Pendidikan Terpadu : TK - RA SD - Madrasah Diniyah, SMPU & SMPN - MTs SMA - MAN SMKN – SMK Kesehatan Madrasah Salafiyah Perguruan Tinggi (STKIP,STAI dan AKBID)
Berbingkai pada pola pendidikan modern berpadu pesantren salaf yang kental dengan nilai-nilai Islami, moralitas dan nasionalis, sebagai upaya menyiapkan kader intelek berwawasan global yang bermoral.
Gambar 3. Implementasi Pesantren Terpadu Al-Yasini Dari gambar 3. tersebut dapat diketahui bahwa pelaksanaan pendidikan di pesantren terpadu al-Yasini dalam mengembangkan Iman dan Takwa (IMTAK) dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di dasarkan pada sistem keterpaduan. Keterpaduan terdiri dari lembaga formal, lembaga informal, lembaga pendukung dan lembaga pesantren 2. Implikasi Sistem Pendidikan di Pesantren Terpadu Al-Yasini dalam Mengembangakan Imtak dan Iptek Santri Berdasarkan tujuan pendidikan di pesantren bahwa misi utama pesantren adalah untuk membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara.96 Oleh karena itu lulusan pesantren harus menjadi orang yang berguna di masyarakat dalam mensyiarkan ajaran agama sebagai salah satu kewajiban umat Islam. Lulusan pesantren terpadu tidak hanya membawa bekal ilmu keagamaan saja sebagaimana pesantren salaf pada umumnya. Lulusan pesantren terpadu telah memiliki bekal ilmu keagamaan juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian adanya pesantren terpadu telah menutup beberapa kelemahan dalam diri pesantren sendiri. Abdurrahman Wahid mengkritik dalam empat hal yaitu pertama, pesantren dianggap lamban dalam menyikapi perubahan dan tetap dalam pola 96
Mujamil Qamar, Pesantren, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002), hlm- 6
lamanya yang serba tradisional. Kedua, kesadaran akan terbatasnya kemampuan pesantren mengatasi tantangan dan tuntutan kemajuan sains pengetahuan dan teknologi. Ketiga, statisnya struktur sarana-sarana fisik yang ada untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan pesantren baik manajemen maupun material, dan keempat, sulitnya mengajak masyarakat pendukung pesantren menuju arah hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan pesantren.97 Sistem keterpaduan di pesantren terpadu al-Yasini telah berdampak terhadap diri pesantren sendiri, diantaranya: a. Orientasi Pendidikan di Pesantren Sebagaimana yang disampaikan oleh Matsuhu bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan tangguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam ditengah-tengah umat masyarakat (‘zzul Islam wal Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.98 Pernyataan Mastuhu di atas bahwa pesantren masih terfokus pada pendidikan agama semata. Peran lulusan pesantren di masyarakat juga dalam masalah sosial keagamaan saja. Pesantren terpadu juga mengembangkan sebagaimana yang di sampaikan Mastuhu. Akan tetapi ada beberapa yang dikembangkan di pesantren terpadu, yaitu pesantren tidak hanya fokus dalam bidang keagamaan saja, akan tetapi juga ilmu-ilmu profane. Lulusan tidak hanya mendidik ilmu agama, namun juga mengajarkan sosial kemasyaraka-tan dan ilmu pengetahuan agar menjadi masyarakat yang religius, beradab dan memiliki intelektual yang tinggi. b. Tenaga pengajar dan staf di pesantren Pada pesantren salaf, guru-guru di pesantren hanya diambil dari lulusan pesantren salaf yang telah pandai membaca kitab kuning dan memahami gramatikal Arab. Kesalehan pribadi dari seorang ustadz di pesantren, merupakan perioritas utama dalam mendidik santri-santri di pesantren. Tidak jarang dari
97
98
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hlm.53-54. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren. hlm. 55-56.
mereka, meskipun tidak mempunyai kecakapan dalam memahami agama, namun karena kesalehannya, ia dijadikan sebagai uswah di pesantren. Seiring berkembangan zaman dan seiring pula dengan perubahan orientasi pesantren, rekrutmen guru di lingkungan Pondok Pesantren al-Yasini tidak hanya dari lulusan pesantren saja, akan tetapi dari berbagai lulusan perguruan tinggi ternama khususnya perguruan tinggi yang bernuansa Islami. Perkembangan zaman telah merubah beberapa komponen-komponen dalam pesantren. c. Kurikulum Pesantren Kurikulum pendidikan di Pesantren Terpadu al-Yasini juga melihat kondisi siswa dalam menempuh berbagai mata pelajaran di pesantren. Agar pendidikan pesantren tercapai dengan sempurna, maka kurikulum di pesantren mengalami modifikasi. Sehingga, kurikulum di Pesantren Terpadu al-Yasini tidak seperti kurikulum pada pesantren salaf pada umumnya. Kurikulum dalam pendidikan formal tetap mengikuti Diknas. Akan tetapi ada beberapa tambahan yang dimasukkan ke dalam kurikulum formal yaitu Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ) dan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dalam bidang bahasa, mendapatkan tambahan bahasa Arab yang harus diajarkan. Adapun kurikulum pada Madrasah Diniyah lebih di sederhanakan. Mata pelajaran yang dihapus adalah bahasa Arab dan Khulasoh (sejarah). Hanya ada lima mata pelajaran yang diajarkan di Madrasah Diniyah al-Yasini yaitu fikih, tauhid, nahwu, tajwid, dan akhlak. Adapun di lembaga pesantren sendiri tetap mengajarkan kitab-kitab kuning seperti kitab Ta’lim dan Fathul Qorib dengan model bandongan yaitu pelajaran yang diberikan secara berkelompok. Kata bandongan berasal dari bahasa Jawa yang berarti berbondong-bondong secara kelompok. Tehnik bandongan disebut juga tehnik wetonan, yaitu metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran.99
99
Mundzier Suparta, Amin Haedari, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Depag, 2003), hlm-89
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan elaborasi antara teori dan temuan lapangan, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan tentang sistem pendidikan di pesantren terpadu dalam mengembangkan Iman dan Takwa (IMTAK) dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Pondok Pesantren Terpadu al-Yasini sebagai berikut: a. System pendidikan di Pesantren al-Yasini dalam mengembangkan IIman dan takwa (IMTAK) melalui pendidikan agama yang dielaborasi dengan pendidikan di pesantren. Madrasah diniyah dan salafiyah merupakan lembaga yang dikembangkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama dan diwujudkan dengan system pindidikan pesantren dengan beberapa kegitan rutinitas seperti jamaah shalat lima waktu, istighosah, mujahadah dan ketaatan pada guru untuk mencari berkah. Pengajian kitab kuning dengan model bendongan masih tetap dipertahankan.
Sedangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
(IPTEK)
dikembangkan melalui berbagai lembaga formal yang ada dan didukung oleh lembaga pendukung seperti LPBA dan LPQ. b. Sistem pendidikan di pesantren dengan corak keterpaduan telah berimplikasi pada pesantren seperti (1) Orientasi pendidikan pesantren; (2) Tenaga pengajar dan staf di pesantren; (3) Kurikulum Pesantren; (4) Lulusan pesantren 2. Saran Permasalahan pendidikan di Indonesia tidak akan dapat di selesaikan apabila pendidikan pesantren belum tertuntaskan. Diakui atau tidak, pesantren adalag genologi pendidikan di Indonesia. Ruh kepesantrenan akan senantiasa menjadi bumbu kehidupan masyarakat Indonesia dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Dalam kajian ini sedikit memberikan gambaran kemajuan dunia pesantren dalam merespon tuntutan zaman. Salah satunya adalah pesantren terpadu al-Yasini dalam upayanya mengembangkan iman dan takwa (IMTAK) dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dari hasil penelitian di lapangan, terdapat beberapa saran sebagai berikut:
a. Bagi lembaga pesantren al-Yasini, 1) Visi dan misi lembaga di pesantren al-Yasini belum memiliki keterpaduan yang kuat. Artinya lembaga formal dan informal, lembaga pendukung dan lembaga pesantren belum satu visi dalam mencapai tujuan pondok pesantren terpadu al-Yasini 2) Pelaksanaan pendidikan di pesantren terpadu belum adanya kurikulum yang terpadu antara satu lembaga dengan lemba lainnya. Terkesan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri tanpa ada keterpaduan. b. Bagi peneliti selanjutnya, 1) Hasil penelitian ini masih global dan hanya membahas tentang system pendidikan yang ada tanpa meneliti lebih jauh tentang hal-hal yang terkait dengan social kemasyarakatan. 2) Dalam penelitian ini tidak menguraikan satu persatu system pendidikan di masing-masing lembaga secara terperinci. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih jauh bagaimana system keterpaduan yang utuh. F. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahannya,1995, (Semarang: CV. ALWAAH) Abdurrahman Wahid, 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (LkiS, Yogyakarta) Abdurrahman Wahid, 1995, “Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan“, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (Ed), diterj. Shonhadji, Dinamika Pesantren : Dampak Pesantren dalam pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, ( Surabaya: Hikmah) Abdurrachman Mas’ud, Sejarah Dan Budaya Pesantren, dalam, Ismail SM. Dkk (eds) Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogykarta: Pustaka pelajar, 2002) hlm. 5. Ahmad Syahid , 2002, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan Ahmad Warson Munawir, 1964, Kamus Arab Indonesia,(Yogyakarta: unit pengadaan buku-buku ilmiah keagamaan pondok Pesantren al- Munawir) Arif Rahman, Memahami Ilmu Pendidikan, ( Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013), hlm. 75-76.
A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1994), hlm. 103-106 Badrun, 2014, Strategi Kepemiminan Tuan Guru Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter, Desertasi (Malang: Tidak diterbitkan) Data Pesantren Terpadu Al-Yasini Dzul Hilmi, 2014, Model Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan Kedisiplinan di Pondok Nurul Falah Al- Kammun, Tesis, (Malang: Universitas Negeri Malang) Djunaidil Munawaroh, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abuddin Nata (eds), Op. Cit. Fahrurrozi, Form: http://www.msi-uii.net.,diakses, Sabtu,7/6/2008, Jam 11.20 Fuad Jabali dan Jamhari, 1995, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos,Wacana Ilmu) H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, (Jakarta: Grasindo) Haidar Putra Daulay, 2001, Historitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah.(Yoqyakarta: Tiara Wacana Yogya) Hartono, Bagaimana Menulis Tesis yang Baik, (Malang: UMM Press) Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada) Husni Rahim, 2001, Arah Baru Pendidikan di Indonesia,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu) Ictiar Baru Van Houve,1993, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve) Ismail SM. Dkk, 2002 (eds) Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogykarta: Pustaka pelajar) K.H. Saifidin Zuhri, 1979, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesaia. (Bandung: al-Ma’arif) Karel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia abad ke-19,( Jakarta: Bintang-Bintang) M. B. Miles & Huberman, 1994, A.M. Qualitative Data Analysis (California: Sage Publication) M. Habib Chirzin, 1985, Agama Ilmu dan Pesantren, Dalam Dawam Rahardjo (edt), Pesantren Dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES)
Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS) Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Pesantren Di Masa Depan (Yogyakarta:Teras, 2009), hlm. 25-26 Muhaimun, 2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo) Muhammad Rifai, 2009, Wahid Hasyim; Biografi Singkat, (Yogyakarta: Garasi) Mundzier Suparta, Amin Haedari, 2003, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Depag) Muzayyin Arifin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara) Mujamil Qamar, Pesantren, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002), hlm- 6 Nur Cholis Majid, 1997, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina) Nur Kholis Madjid, Dalam “Merumuskan Kembali Tujuan Pesantren” dalam Dawam Rahardjo , 1985, Pergulatan Dunia Pesantren Menbangun Dari Bawah , (Jakarta: P3M) Nur Uhbiyati, “Manajemen Pelaksanaan Kurikulum Pondok Pesantren Salaf Al-Fadlu Kaliwungu, Kendal”, dalam Jurnal Penelitian Walisonggo, Vol. XI Nomor 2 Nopember 2003 Nurcholish Madjid, 1985, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam” (Jakarta: P3M) Pupuh Fatkhurrahman, “Pengembangann Pondok Pesantren (Analisis Terhadap Keunggulan Sistem Pendidikan Pesantren Terpadu)”, Lektur, seri XVI/2002., Husni rahim, Arah Baru pendidikan di Indonesia,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Profil Pondok pesantren terpadu al-Yasini Ridlwan Nasir, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Robert. K. Yin. , 1997, Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo) Rulam Ahmadi, 2005, Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif, (Malang, UIN Malang-Press) S. Nasution, 1996, Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito) S. Nasution, 1978 , Asas-Asa Kurikulum, (Bandung : Transito).
Sahal Mahfudz, 1995, “Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Surabaya: Hikmah) Safrullah Salim, 1983, Masjid,(Jakarta: Pustaka Antara) Shonhadji, 1995, Dinamika Pesantren : Dampak Pesantren dalam pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, ( Surabaya: Hikmah) Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan,Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung, Alfabeta) Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta) Suharsimi Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Dan Praktis, (Bandung: Rosdakarya) Zamahsyari Dhofier, 1984, Tradisi pesantren, (Jakarta: LP3ES)
Pengembangan Media Pembelajaran Audio Visual Berbasis Aurora pada mata pelajaran PAI Kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan Mukhlisin Mahasiswa Program Doktor UIN Maulana Malik Ibrahim
ABSTRAK Pengembangan media pembelajaran Audio Visual berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan ini didasarkan pada kenyataan bahwa keberadaan guru masih sedikit menggunakan media pembelajaran audio visual yang mempunyai spesifikasi berbasis Multimedia, lebih lanjut penelitian ini dilakukan sebagai jawaban akan tantangan internal Pendidikan Agama Islam yakni minimnya keinginan untuk mengembangkan media pembelajaran khususnya bagi para pendidik atau guru dan jawaban akan tantangan eksternal Pendidikan Agama Islam, yaitu dengan mendekatkan pendidikan kita dengan zaman globalisasi yang lebih mengedepankan aspek teknologi informasi yang serba cepat, praktis, efektif dan menyenangkan. Dalam penelitian pengembangan ini, model pengembangan yang digunakan adalah model R&D Borg dan Gall yang telah disederhanakan dengan beberapa langkah, yaitu (1) melakukan analisis produk yang akan dikembangkan (2) mengembangkan produk (3) validasi ahli dan revisi (4) uji coba lapangan skala kecil dan revisi (5) uji coba lapangan skala besar dan produk akhir. Adapun hasil penelitian pengembangan ini adalah (1) telah berhasil menjelaskan dengan detail prosedur pengembangan media pembelajaran audio visual berbasis Mutimedia Aurora 3D dan (2) produk pengembangan ini telah terbukti menarik dan efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang didasarkan pada hasil angket yang didapat dari tanggapan penilaian guru Pendidikan Agama Islam sebesar 93% (sangat baik), tanggapan siswa kelas IX SMPN 1 Mantup Lamongan sebesar 91 % (sangat baik). Kata kunci: Media Pembelajaran Audio Visual, Berbasis Aurora, mata pelajaran PAI
A. Latar Belakang Permasalahan pendidikan Islam di Indonesia pada saat ini adalah minimnya perspektif. Hingga saat ini pendidikan Islam yang ada masih menggunakan pola lama. Minimnya perspektif itu menjadikan pendidikan agama cenderung tidak menarik dan banyak ditinggalkan oleh kaum agamawan itu sendiri. Padahal, pendidikan agama mempunyai peranan penting dalam membina akhlak dan moral manusia. Tidak hanya sampai disitu, pendidikan agama, khususnya agama Islam mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Ajaran agama Islam yang menjadikan Al-qur’an sebagai sumber primernya, dan Hadits sebagai sumber sekundernya, menyimpan berbagai aneka ragam keilmuan. Namun celakanya pendidikan Islam hingga saat ini masih menampilkan kulit luarnya saja, sehingga pendidikan agama Islam cenderung kaku. Disamping metode yang masih mengandalkan konfensional, pendidikan Islam hingga saat ini juga miskin media. Hampir dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan Islam yang dilaksanakan diberbagai tingkatan, seluruhnya tidak memiliki media yang memadai. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama Islam, hingga saat ini jauh dari kata modern. Kecenderungan pembelajaran yang kurang menarik ini merupakan hal yang wajar dialami oleh guru yang tidak memahami kebutuhan dari siswa tersebut baik dalam karakteristik, maupun dalam pengembangan ilmu. Dalam hal ini peran seorang guru sebagai pengembang ilmu sangat besar untuk memilih dan melaksanakan pembelajaran yang tepat dan efisien bagi peserta didik bukan hanya pembelajaran berbasis konvesional. Pembelajaran yang baik dapat ditunjang dari suasana pembelajaran yang kondusif serta hubungan komunikasi antar guru dan siswa dapat berjalan dengan baik.100 Di dalam kegiatan pembelajaran terdapat beberapa komponen meliputi: tujuan, bahan pembelajaran, penilaian, metode dan alat/media. Keempat komponen tersebut menjadi komponen utama yang harus dipenuhi dalam proses belajar mengajar. Komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain (interelasi).101
100
101
Daryanto, Media Pembelajaran (Yogyakarta: Gava Media, 2010), hlm.2 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, ( Bandung : Sinar Baru, 1991), hlm. 30
Penggunaan media pembelajaran merupakan salah satu komponen penting didalam proses pembelajaran di Sekolah. Penggunaan media pembelajaran dipandang sangat penting, karena membantu pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, penyiapan media pembelajaran menjadi salah satu tanggung jawab pendidik.102 Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, agama dapat berperan sebagai pemersatu (integratif) dan dapat juga sebagai pemecah (disintegratif). Maka, pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah harus menunjukkan kontribusinya. Hanya saja perlu disadari bahwa selama ini terdapat berbagai kritik terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Salah satunya ialah metode pembelajaran yang masih tradisional, yaitu; ceramah monoton dan statis konstektual, cenderung normatif, lepas dari sejarah, dan semakin akademis, serta guru sebagai orang yang ahli (expert). Dengan demikian, kehadiran dan kemajuan ICT di era komunikasi global saat ini telah memberikan peluang dan perluasan interaksi antara guru dan siswa, interaksi tidak hanya terbatas di ruang kelas saja. Sehingga di rumah, siswa dapat mengualangi materi dengan baik. Untuk itu, guru PAI dapat memanfaatkan berbagai jenis media secara bersamaan dalam bentuk multimedia pembelajaran. Penggunaan multimedia interaktif yang memuat komponen audio-visual untuk penyampaian materi pembelajaran dapat menarik perhatian siswa untuk belajar, dan juga dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksperimen semu dan ekplorasi sehingga memberikan pengalaman belajar dari pada hanya sekedar mendengar uraian guru.103 Salah satu media pembelajaran yang sedang berkembang yaitu Aurora 3D merupakan salah satu program yang populer dan ramah dengan pengguna (user frendly), sehingga pengguna merasa betah dalam mengoperasikan program tersebut. Aurora 3D Team mengemukakan bahwa Aurora 3D Presentation merupakan aplikasi presentasi tiga dimensi dengan latar belakang dan grafis tiga dimensi yang dikembangkan sejak 1998. Dengan aplikasi perangkat lunak ini, dapat menghasilkan presentasi yang bagus untuk gambar. teks, video, data, dan memilih banyak cara untuk menampilkan konten presentasi. 102
Ayu kurniawati, Pengembangan Media Pembelajaran Menggunakan Microsoft Power Point, (Yogyakarta: UNI Yogyakarta, 2011), hlm. 2. 103 Jurnal Alhamuddin, Pemanfaatan Media Pembelajaran, hlm.2
Keunggulan program ini dibanding dengan program lain yang sejenis, antara lain adalah dapat membuat tombol interaktif dengan sebuah movie atau objek yang lain, dapat membuat perubahan transparasi warna dalam movie, membuat perubahan animasi dari satu bentuk kebentuk yang lain, dapat membuat gerakan animasi dengan mengikuti alur yang telah ditetapkan, dan dapat dikonversi dan dipublikasi (publish) ke dalam beberapa tipe (diantanya adalah, swf, html, gig, jpg, exe, Mov). Dari hal tersebut, peneliti ingin mengembangkan media pembelajaran Audio visual materi haji dan umroh pada mata pelajaran PAI dengan menggunakan Aurora 3D Presentation, agar siswa mudah menyerap dan memahami materi, serta membantu guru dalam penyediaan media didalam proses pembelajarannya. Sehingga dalam hal ini peneliti menulis tentang “Pengembangan Media Pembelajaran Audio Visual Berbasis Aurora pada mata pelajaran PAI Kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan" dengan harapan kajian ini dapat dipakai bahan pemikiran untuk kegiatan penggunaan media pembelajaran dalam keberhasilan penyampaian pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan tersebut. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan pengembangan media pembelajaran Audio visual berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran PAI untuk siswa kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah prosedur pengembangan media Audio Visual berbasis Multimedia Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai pendamping siswa yang dapat dijadikan rujukan untuk pembelajaran ? 2. Bagaimana tingkat kemenarikan dan efektivitas media Audio Visual berbasis Multimedia Aurora 3D pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai pendamping siswa yang dapat dijadikan rujukan pembelajaran ? C. Tujuan Pengembangan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pengembangan penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk menjelaskan prosedur pengembangan media Audio Visual berbasis Multimedia Aurora 3D pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai pendamping siswa yang dapat dijadikan rujukan untuk pembelajaran. 2. Untuk menjelaskan sejauh mana tingkat kemenarikan dan efektivitas media Audio Visual berbasis Multimedia Aurora 3D pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai pendamping siswa yang dapat dijadikan rujukan pembelajaran. D. Kajian Pustaka 1. Pengertian Media Aurora 3D Kata media merupakan bentuk jamak dari medium yang secara harfiah tengah, pengantar, atau perantara. Dalam bahasa Arab media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan.104 Sedangkan dalam kepustakaan asing yang ada sementara para ahli menggunakan istilah Audio Visual Aids (AVA), untuk pengertian yang sama. Banyak pula para ahli menggunakan istilah Teaching Material atau Instruksional Material yang artinya identik dengan pengertian keperagaan yang berasal dari kata “raga” artinya suatu benda yang dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamanati melalui panca indera kita.105 Aurora 3D Presentation merupakan media yang memberikan akses ke teknik yang kuat yang dapat dimanfaatkan
untuk mengembangkan presentasi yang mengesankan,
profesional, dan efektif dalam sejumlah format. Dengan Aurora 3D Presentasi, seseorang akan mampu menghasilkan solusi yang menggabungkan gambar, teks, video, dan data dengan cara yang akan menangkap perhatian audiens Anda. Aurora 3D Presentation memberikan solusi presentasi yang indah dan gaya serta kemudahan dalam menampilkan sebuah file presentasi.106 Menurut Aurora 3D Team, ada beberapa kemudahan dalam media ini, antara lain: a. Dukungan dari berbagai jenis konten, gambar, teks, video, model 3D, tabel, navigasi, gambar wall, data grafik, dan partikel. 104.
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, Cet. IV, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 3 105 Oemar Hamalik, Media Pendidikan, Cet VII, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1994), hlm. 11 106 http://www.presentation-3d.com/products/presentation-3d.html diakses pada 07 Februari 2015, pukul.09.00 WIB.
b. Mudah dalam membuat slide presentasi dengan mengambil dari template yang tersedia, meliputi: template presentasi banyak, template slide, dan template animasi. c. Dapat di-publish dalam berbagai format, dapat dijalankan secara langsung atau di-ekspor sebagai urutan gambar, video, dan image. Penjelasan dari bagian-bagian tampilan Aurora 3D Presentation antara lain: a. Show Welcome, muncul saat membuka Aurora 3D Presentation yang terdapat berbagai menu di antaranya getting started, yaitu menampilkan beberapa tutorial Aurora 3D Presentation, recent presentation yang menampilkan presentasi yang telah dibuat, serta news and support yang menampilkan informasi tentang Aurora 3D Presentation. b. Menu Bar, mempunyai beberapa menu, antara lain file, edit, view, presentation, slide, tools, serta help. c. Toolbar, berisi alat yang berfungsi untuk mengoperasikan dalam mendesain presentasi. Di dalamnya terdapat dua menu, yaitu common dan presentation. d. Slide List, yaitu tampilan kumpulan slide presentasi yang telah dibuat, di dalamnya terdapat menu slide dan hierarchy. e. Render Window, yaitu tempat di mana semua pekerjaan membuat slide presentasi seperti membuat dan mengedit teks, bentuk, objek, dan lain-lain. f. Status Bar, yaitu menampilkan pesan atau status yang ada pada suatu slide, yang di dalamnya terdapat beberapa tombol untuk mengoperasikan secara cepat. g. Interactive, yang di dalamnya terdapat beberapa menu atau perintah untuk melengkapi ketika mengedit action slide, animation, dan lain-lain. Aurora 3D Presentation menggunakan teknik yang efektif untuk memungkinkan dalam mengembangkan presentasi yang profesional dan menarik dalam berbagai format. Dalam menciptakan solusi yang efektif, dapat menggabungkan gambar, teks, dan video sedemikian rupa untuk menarik perhatian audiens.
2. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Kata
pendidikan
dalam
bahasa
Yunani
dikenal
dengan
nama
paedagogos yang berarti penuntun anak. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing).107 Pada sisi lain, pendidikan Islam dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan riyadhah. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya
disebut bersamaan. Namun,
kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain. Adapun tujuan pendidikan agama Islam sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Athiyah al-Abrasy adalah sebagai berikut : a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. b. Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan keutamaan. c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur. d. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. e. Pendidikan Islam memiliki dua orientasi yang seimbang, yaitu memberi persiapan bagi anak didik untuk dapat menjalani kehidupannya di dunia dan juga kehidupannya di akhirat. f. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. g. Pendidikan Agama Islam tidak bersifat spiritual, ia juga memperhatikan kemanfaatan duniawi yang dapat diambil oleh siswa dari pendidikannya. h. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan hati untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai sekedar ilmu. Dengan demikan, Pendidikan Agama Islam tidak hanya memperhatikan pendidikan agama dan akhlak, tapi juga memupuk perhatian kepada sains, sastra, seni, dan lain sebagainya, meskipun tanpa unsur-unsur keagamaan didalamnya.
107
Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publisihing, 2004), Hlm. 22.
i. Menyiapkan pelajar dari segi profesinal, teknis, dan dunia kerja supaya ia dapat menguasai profesi tertentu. 3. Fungsi Pendidikan Agama Islam Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa setidaknya ada empat fungsi pendidikan agama Islam yaitu :108 a. Pengembangan Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah SWT serta Akhlak Mulia. Bunyi Pancasila sila yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menghendaki kemajuan tidak hanya kemajuan dalam intelektual, tetapi juga dalam bidang moral spiritual yang lebih lanjut diperkuat dalam penjelasan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat (1) bagian a: “Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia” Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam di samping fungsinya sebagai fungsi pendidikan, juga berfungsi sebagai fungsi agama. Artinya, untuk mengetahui ajaran agama Islam tidak lain melalui tahapan proses pendidikan yang pada akhirnya konsep manusia beriman, takwa dan akhlak mulia akan tercapai. b. Kegiatan Pendidikan dan Pengajaran Aspek pertama dari pendidikan agama adalah yang ditujukan pada jiwa atau pada pembentukan kepribadian. Peserta didik diberi kesadaran kepada adanya Tuhan, lalu dibiasakan melaksanakan perintah-perintahNya serta meninggalkan larangan-laranganNya.
Sedangkan aspek kedua dari
pendidikan agama adalah yang ditujukan kepada pikiran, yaitu pengajaran agama itu sendiri. Pendidikan agama tidak dapat lepas dari pengajaran agama, yaitu pengetahuan yang ditujukan kepada pemahaman hukum- hukum, syarat-
108
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 44-50
syarat, kewajiban-kewajiban, batas-batas dan norma- norma yang harus dilakukan dan diindahkan. Pendidikan agama harus memberikan nilai-nilai yang dapat dimiliki dan diamalkan peserta
didik
sehingga
segala
perbuatan dalam kehidupannya mempunyai nilai-nilai moral dan agama. c. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Penyelenggaraan pendidikan nasional pada dasarnya adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga menjadi bangsa yang bermartabat dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya. Demikian juga pendidikan agama Islam yang berperan sebagai pendukung tujuan umum pendidikan nasional yang secara eksplisit disebutkan dalam rumusan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bab II Pasal II tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional. d. Fungsi Semangat Studi keilmuan dan IPTEK Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa dan bangsa yang menghendaki kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam pelaksanaannya pendidikan nasional tidak dapat mengabaikan dua dimensi tersebut. Dalam pelaksanaannya pendidikan agama harus memiliki kerangka pikir yang sama bahwa pembinaan imtak tidak lagi cukup hanya didekati secara monolitik melalui pendidikan agama, melainkan juga harus bersifat integratif. Perspektif yang melandasinya tidak lagi dikotomis, melaikan lebih dilandasi semangat rekonsiliasi, karena agam dan ilmu pengetahuan pada dasarnya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah Swt. Dengan demikian pembinaan iman dan takwa peserta didik tidak lagi hanya sematamata dipercayakan kepada pendidikan agama Islam, melainkan dilakukan melalui strategi-strategi yang saling melengkapi diarahkan untuk membina iman dan takwa peserta didik. Strategi yang dimaksudkan di sini adalah integrasi materi iman dan takwa ke dalam materi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Oleh sebab itu, bila dikembalikan kepada dasarnya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
sesungguhnya merupakan upaya untuk
memenuhi hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Dengan demikian, pendidikan IPTEK akan memperteguh kekuatan
Iman dan Takwat. Hal ini yang diharapkan dari peran dan fungsi pendidikan agama Islam yakni keterpaduan dimensi Iman, Takwa dan Ilmu Pengetahun Teknologi. E. Metode Penelitian Dan Pengembangan Dalam
penelitian ini
menggunakan
jenis penelitian
Research and
Development (R and D). Pada awalnya, Penelitian dan Pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru, atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggung jawabkan. Metode Penelitian dan Pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut.109 Dalam pengembangan ini akan dikemukakan model pengembangan sebagai dasar pengembangan produk. Model yang akan dikembangkan adalah mengacu pada model Research and Development (R & D) dari Borg and Gall. Rancangan pengembangan dengan desain R & D dari Borg and Gall mempunyai tujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk. Model tersebut mempunyai langkahlangkah sebagai berikut: Research & information collection (1)
Planning (2)
Develop Premliminary Form of Product (3)
Main Field Testing (6)
Main Product revision (5)
Priliminary fild testing (4)
Operational Product Revision (7)
Operational Field Testing (8)
Final Product Revision (9)
Dissemination & Implementation (10)
109
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Jakarta : Alfhabeta,2008). Hlm. 93
Gambar 3.1 Model desain R & D Borg & Gall (1983) Adapun pengembangan produk yang dilaksanakan pada penelitian ini hanya sampai pada tahap uji lapangan akhir, yaitu uji produk media pembelajaran untuk mata pelajaran PAI pada materi haji dan umroh bagi siswa kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan, sehingga tidak sampai pada tahap diseminasi dan implementasi produk. Untuk sampai pada tahapan diseminasi dan implementasi produk dapat dilakukan penelitian lanjutan. F. Prosedur Pengembangan Prosedur pengembangan memaparkan langkah-langkah prosedural yang ditempuh oleh pengembang dalam membuat produk. Prosedur pengembangan secara tidak langsung akan memberi petunjuk bagaimana langkah prosedural yang dilalui sampai ke produk yang akan dispesifikasikan. Sesuai dengan model pengembangan yang digunakan, prosedur pengembangan yang ditempuh terdiri dari enam langkah, yaitu: 1. Analisis kebutuhan, 2. pangembangan produk, 3. penyusunan prototipe instrument evaluasi, 4. uji Coba, 5. revisi produk, dan 6. hasil akhir. Adapun prosedur pengembangan media pembelajaran Audio visual pada mata pelajaran PAI materi haji dan umroh bagi siswa kelas IX SMPN 1 Mantup Lamongan digambarkan sebagai berikut: Analisis Kebutuhan
Kajian Pustaka
Observasi & wawancara
Pengembangan Produk Penyusunan prototype instrumen Uji Coba Revisi Produk Produk Akhir pengembangan media pembelajaran Audio Visual materi Haji dan Umrah
Gambar 3.2 Prosedur Pengembangan G. Pengembangan Produk Dalam pengembangan media pembelajaran ini, peneliti memilih model pengembangan Arief S. Sadiman, dengan alasan sebagai berikut: a. Model pengembangan ini merupakan model untuk mengembangkan media, dan cocok dengan yang diinginkan pengembang. b. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengembangan, sederhana dan mudah dilaksanakan dilapangan. c. Urutan setiap langkah sistematis, sehingga terkontrol. d. Penghematan waktu, dan tenaga, sehingga menguntungkan bagi peneliti. Pengembangan media pembelajaran digambarkan sebagai berikut:
Merumuskan
Tujuan
Merumuskan Butiran Materi
Mengembangkan Alat Ukur Keberhasilan
Uji Coba
Pembuatan Media
Revisi
Tes/
Media Siap Produk si
Gambar 3.3 Pengembangan Produk 1. Uji Coba Produk Uji
coba produk dalam
pengembangan ini
dimaksudkan untuk
mengumpulkan data yang dapat dipakai sebagai dasar menetapkan tingkat keefektifan dan daya tarik dari produksi yang dihasilkan. Dalam kegiatan ini perlu dikemukakan secara berurutan tentang tinjauan Ahli, uji validitas dan reabilitas. a. Uji coba ahli Uji coba ahli dilakukan sebelum media pembelajaran diuji cobakan kepada SMP Negeri 1 Mantup Lamongan. Hal ini dilakukan agar ahli media dan ahli materi dapat menilai serta menyarankan tentang perbaikan produk yang sedang dikembangkan, untuk menghimpun data para ahli dilakukan konsultasi dan menggunakan kuesioner. Untuk kegiatan pengembangan media pembelajaran, peneliti meminta masukan kepada ahli materi terlebih dahulu, untuk mengetahui apakah materi pembelajaran yang telah dikembangkan itu
sudah sesuai atau perlu adanya revisi. Kemudian kepada ahli media untuk meminta komentar mengenai desain dan kualitas media pembelajaran, apakah media yang telah dikembangkan tersebut sudah cocok atau perlu adanya revisi. b. Uji coba pengguna Selanjutnya adalah uji coba pengguna yang dilaksanakan oleh guru PAI di SMP Negeri 1 Mantup Lamongan. Jika guru telah mampu menggunakan media di sekolah dengan media pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti, maka guru dikatakan berhasil. Dengan demikian media pembelajaran yang dikembangkan terbukti efektif jika diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar mata pelajaran PAI materi haji dan umroh di sekolah. Kegiatan uji coba pengguna dimaksudkan untuk mengetahui kevalidan dan keefektifan media pembelajaran sebelum digunakan dalam lingkup yang sebenar-benarnya. Hasil data yang diperoleh dari uji coba ini dianalisis dan digunakan untuk menyempurnakan keseluruhan pengembangan
media
pembelajaran haji dan umroh pada mata pelajaran PAI untuk siswa kelas IX SMP. c. Uji coba lapangan Dari hasil validasi ahli dan pengguna dapat diketahui tingkat kemenarikan dan keefektifan produk hasil pengembangan. Setelah dilakukan revisi, maka bisa dilanjutkan dengan melakukan uji coba lapangan yang dilakukan dengan mengambil sampel siswa kelas IX SMP Negeri 1 Mantup Lamongan yang digunakan untuk uji coba produk. Dengan demikian bisa diketahui tingkat keefektifan, keefisienan dan kemenarikan produk. Prosedur pelaksanaannya sama dengan uji coba ahli. 2. Revisi Melakukan kegiatan revisi atau perbaikan terhadap kekurangan hasil produksi pengembangan media pembelajaran Audio visual materi haji dan umroh pada mata pelajaran PAI untuk siswa kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan, yang telah diuji cobakan sehingga menghasilkan media pembelajaran yang efektif dan menarik dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar siswa menjadi lebih baik lagi. 3. Hasil Produksi
Hasil produk yang dikembangkan berbentuk Compact Disc (CD) yang berisikan tentang media pembelajaran memahami makna haji dan umroh dengan menggunakan Multimedia Aurora 3D pada mata pelajaran PAI untuk siswa kelas IX SMP. H. Instrumen Pengumpulan Data Pengembangan media pembelajaran haji dan umroh pada mata pelajaran pendidikan agama Islam ini menggunakan instrument berupa angket, tes dan wawancara. a. Angket Adapun angket yang dibutuhkan adalah angket penilaian atau tanggapan dari ahli media pembelajaran. Instrumen angket yang digunakan adalah kombinasi angket terbuka dan tertutup. Angket tertutup adalah angket yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. Adapun bentuk angket penilaian menggunakan format rating scale terhadap produk yang dikembangkan. Isi angket tersebut berupa pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kondisi atau keadaan media pembelajaran. Peneliti menggunakan instrument angket berjenis tertutup karena memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak yakni pada peneliti sendiri dan responden. Keuntungan angket jenis tertutup bagi responden adalah, mereka dapat mengisi dengan cepat dan praktis, karena tinggal memilih jawaban yang telah disediakan. Keuntungan angket jenis tertutup bagi peneliti adalah memudahkan peneliti dalam menganalisis data dan menginterprestasikan data. Adapun pedoman dan kriteria skoring divisualisasikan dalam table berikut: Tabel 3.1 Pedoman dan Kriteria Skoring110 Skor 90 – 100 80 – 89 70-79 60 – 69 < 60
110
Interpretasi Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Sangat kurang baik
Nana Sudjana,. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.118.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket yang diberikan kepada ahli media pembelajaran, ahli materi, guru PAI dan siswa kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan. b. Tes Dalam penelitian ini digunakan tes sebagai salah satu instrumen penelitian. Tes berfungsi untuk menilai keefektifan dan melihat kemampuan peserta didik sebelum dan setelah menggunakan produk pengembangan. c. Wawancara Wawancara dilakukan sebagai pelengkap data angket yang diberikan kepada ahli media, ahli materi, guru PAI kelas IX SMP Negeri 1 Mantup Lamongan, dan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Mantup Lamongan. I. Teknik Analisis Data a. Analisis isi pembelajaran Analisis
isi
dilakukan
dengan
analisis
pengelompokkan
untuk
merumuskan tujuan pembelajaran PAI berdasarkan standar kompetensi serta menata organisasi isi pembelajaran. Hasil dari analisis ini kemudian dipakai sebagai dasar untuk mengembangkan media pembelajaran memahami makna haji dan umrohpada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. b. Analisis deskriptif Kelayakan,
Keefektifan,
keefesienan
dan
kemenarikan
media
pembelajaran diketahui melalui hasil analisis kegiatan uji coba yang dilaksanakan melalui beberapa tahap, yakni: 1) Review oleh ahli dan 2) uji validitas dan reabilitas. Rumus untuk mengelola data tanggapan hasil uji coba per aspek adalah: 1. Rumus untuk mengolah data per item P=
x 100
P : Skor yang dicari X : Jumlah keseluruhan jawaban responden Xi : Jumlah keseluruhan nilai ideal dalam satu item 100 : Bilangan konstan
2. Rumus untuk mengolah data per kelompok item dan keseluruhan item x 100
P=
P : Skor yang dicari X : Jumlah keseluruhan jawaban responden dalam seluruh item Xi : Jumlah keseluruhan nilai ideal dalam satu item 100 : Bilangan konstan Pedoman untuk menginterprestasikan hasil analisis data, maka ditetapkan kriteria sebagai berikut. Tabel 3.2 Kriteria Konversi Nilai111 Persentase
Kualifikasi
(%)
Keputusan
Keputusan Produk baru siap dimanfaatkan di
90 – 100
Sangat Baik
lapangan sebenarnya untuk kegiatan pembelajaran/tidak revisi Produk baru siap dimanfaatkan di
80 – 89
Baik
lapangan sebenarnya untuk kegiatan pembelajaran/tidak revisi Produk
dapat
dilanjutkan,
dengan
menambahkan sesuatu yang kurang, 70-79
Cukup Baik
melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, penambahan yang dilakukan tidak terlalu besar, dan tidak mendasar. Merevisi
60 – 69
Kurang Baik
dengan
meneliti
kembali
secara seksama dan mencari kelemahankelemahan
produk
untuk
disempurnakan. < 60
111
Sangat kurang baik
Nana Sudjana,. Op.cit., hal.128
Produk gagal, merevisi secara besarbesaran dan mendasar tentang isi produk.
Apabila hasil yang diperoleh sudah mencapai kriteria minimal 70%, maka media pembelajaran memahami makna haji dan umroh dengan menggunakan
Aurora
3D
Presentation
ini
dinyatakan
sudah
dapat
dimanfaatkan dengan layak untuk proses belajar mengajar PAI di SMP. Sedangkan data hasil belajar yang diperoleh dari post-test dianalisis dengan membandingkan rerata hasil belajar dengan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), jika rata-rata hasil belajar di atas KKM (75) maka disimpulkan bahwa media pembelajaran tersebut efektif. c. Analisis uji t Hasil pre test dan pos test kemudian dianalisis menggunakan (1) deskriptif persentase untuk mengetahui persentase pencapaian perolehan hasil belajar sebelum dan sesudah menggunakan media, dan (2) uji t untuk mengetahui perbedaan antara hasil pre test dan pos tes. Uji t dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 16 for windows kriteria ujinya adalah uji t dengan derajat bebas (db) atau degrees of fredom (df) pada harga kritik pada taraf signifikansi 5%. J. Hasil Penelitian dan Pengembangan 1. Proses Pengembangan Media Pembelajaran Audio Visual Latar belakang pengembangan media Audio Visual pada mata pelajaran PAI dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora ini, sasaran penggunanya adalah siswa Kelas IX SMPN 1 Mantup lamongan. Hal ini berlandaskan pada kenyataan bahwa masih belum tersedianya buku ajar yang memiliki karakteristik berupa media teknologi khusunya pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam, adapun penelitian dan pengembangan ini adalah suatu proses atau langkahlangkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang sudah ada sebelumnya dan dapat dipertanggung jawabkan. 112 Pengembangan media pembelajaran ini menyangkut media berupa teknologi pembelajran itu sendiri, tujuan pembelajaran, strategi belajar, komponen-komponen media pembelajaran dan materi yang akan dipelajari pada kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan semester ganjil. Dengan demikian, Media 112
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung : PT : Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 164.
Pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendididikan Agama Islam ini dapat dijadikan alternatif rujukan dalam menyajikan materi pembelajaran Pendididikan Agama Islam, sehingga efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dan ingin dicapai. Media Pembelajaran ini juga bertujuan untuk menarik minat dan motivasi siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran Pendididikan Agama Islam baik secara kelompok atau mandiri sesuai dengan taraf kemampuan peserta didik. Penggunaan Media Pembelajaran ini diharapkan mampu membantu peserta didik untuk dapat memahami materi pelajaran lebih cepat, praktis, efektif dan menyenangkan. Media Pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini disusun berdasarkan standar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum ini menggunakan standar kompetensi (SK) sebagai acuan dalam mengembangkan Kompetensi Dasar (KD). Adapun pengembangan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini menggunakan desain pengembangan milik Borg and Gall yang memiliki 10 tahapan pengembangan sebagai berikut : research and information collecting, planning, development of the preliminary form of the product, preliminary field test, main product revision, main field test, operasional product revision, operational
field
implemaentation.
test,
final
Berdasarkan
product model
revision tersebut,
and
dissemination
Media
and
Pembelajaran
dikembangkan melalui langkah-langkah pengembangan milik Arief S.Sadiman, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut (1) Merumuskan tujuan (2) Pengembangan materi (3) Menulis alat pengukur keberhasilan (4) penulisan naskah (5) Uji coba. 2. Karakteristik Media Pembelajaran Audio Visual Setiap media memiliki karakteristik tertentu yang dapat membedakan dengan media yang lain, kajian terhadap produk pengembangan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini berupa buku pegangan untuk
siswa yang mempunyai karakteristik yang akan ditinjau dari aspek materi/isi dan dari aspek desain pembelajaran. a. Kajian Aspek Materi/Isi Kajian tentang media pembelajaran dari aspek isi, sebagai Berikut. 1) Aspek yang Dikembangkan dengan Karakteristik PAI SMP Landasan pengembangan media pembelajaran ini adalah media pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia) rumusan tujuan pembelajaran. Perumusan tujuan pembelajaran telah disesuaikan dengan prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mencakup Standart Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang termuat dalam media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Penginformasian tujuan pembelajaran adalah agar seluruh kegiatan belajar ke tujuan yang ingin dicapai menjadi lebih terarah.113 2) Isi Materi Pembelajaran Isi materi pembelajaran merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan pembelajaran. Isi materi pembelajaran dalam media pembelajaran ini merujuk dari materi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Berikut akan dipaparkan materi pelajaran kelas IX SMP semester ganjil yang sesuai dengan standar kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). b. Kajian Aspek Desain Pembelajaran Melihat kebutuhan peserta didik dalam hal pembelajaran, maka salah satu hal terpenting yang harus dipenuhi produk pengembangan media pembelajaran adalah tingkat kemenarikan, sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk lebih giat lagi mengikuti kegiatan pembelajaran. Berikut akan dipaparkan beberapa aspek yang ada dalam produk pengembangan media
113
Hamzah B. Uno. Perencanaan Pembelajaran. (Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008), hlm 71.
pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D sebagai berikut. c. Jenis Media Teknologi Dalam mengembangkan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah ini peneliti menggunakan software Aurora 3D, selain penggunaanya yang relatif mudah software ini juga berbasis offline, artinya dari setiap penggunaanya tidak memerlukan internet atau wifi. Selain itu software ini memiliki kelebihan yang berbasis 3 Dimensi sehingga semua aspek yang ada didalamnya menjadi lebih hidup dan memiliki fitur pelengkap lain seperti sound effect, Mp3, Mp4 dan lain sebagainya. Hal ini dianggap penting sebagai pertimbangan peneliti mengingat kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi baik dari segi eksternal maupun internal. d. Desain Media Pembelajaran 1. Tipe ukuran (Type Size) Ukuran tulisan untuk cover Media Pembelajaran adalah Forte 47 bold dan Brush Script MT 32, bold. Times New Roman 26 bold, dan judul kegiatan belajar Times New Roman18 bold. Pemilihan jenis dan ukuran ini dimaksudkan supaya Media Pembelajaran tidak monoton dan untuk memberikan kesan yang lebih dinamis dan variatif sehingga tidak membosankan ketika dibaca atau dipelajari. Hal ini bersesuaian dengan paparan Paulina Pannen114 bahwa beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penataan letak informasi untuk satu halaman cetak diantaranya yakni mempertimbangkan variasi jenis dan ukuran huruf untuk menarik perhatian. 2. Bentuk Huruf Bentuk huruf yang banyak dipakai dalam bahan ini adalah Cambria dan Arial pada masing-masing bentuk huruf, hal ini dimaksudkan untuk :115 a) Mempertimbangkan tujuan teks.
114
Tian Belawati, Materi Pokok Pengembangan Bahan Ajar, (Jakarta: Universitas Terbuka,2003), hlm. 28. 115 J. Herley, Text Design. In Jonassen, D.H. (ED) Handbook of Research for EducationalCommunications and Technology (USA: Macmilan Library), hal. 98
Pertimbangan tujuan teks adalah menyesuaian bentuk huruf dengan karakteristik pembaca yaitu siswa dan guru. Harapannya bentuk huruf yang dipilih mudah dibaca dan lebih disukai siswa. Bentuk huruf Cambria dan Arial dipilih karena dirasakan cocok dan bentuk huruf ini lazim dan sering digunakan pada buku-buku pelajaran. b) Meyakinkan perlunya pertimbangan memilih ukuran dan bentuk huruf yang tersedia. Pertimbangan utama pemilihan bentuk tersebut di atas adalah ketersediaan font pada alat pengetikan (laptop). Adapun huruf Cambria dan Arial adalah huruf standart yang ada pada Microsoft Word seri 2007 sehingga dapat mempermudah terbaca disetiap laptop dan computer secara umum dan menekan angka error. c) Bentuk huruf yang dipilih tersebut juga mempertimbangkan desiminasi produk sehingga dipilih huruf yang tidak terlalu besar karakter hurufnya agar tidak memakan tempat yang seyogyanya bisa dimanfaatkan untuk materi lain. 3. Spasi Teks (Spacing The Teks) Spasi memainkan peranan yang penting dalam kejelasan teks. Teks dengan spasi yang tepat akan memudahkan pembaca. Spasi memisahkan kata, frase, anak kalimat, paragraf, sub bab dari bagian-bagian lainnya. Jenis spasi yang digunakan dalam Media Pembelajaran ini adalah spasi kombinasi vertikal dan horizontal (combining Vertical and Horizontal Spasing). Harapannnya pembaca lebih dapat memusatkan perhatian dan lebih mudah memahami makna teks. Jenis spasi kombinasi ini digunakan untuk menyiasati agar dari segi isi sebuah teks mudah dipahami, disamping dari segi tampilan juga menarik perhatian pembaca. Media Pembelajaran ini menggunakan spasi 1,2 pada tulisan latin dan 1 pada tulisan arab. Antar kata dengan kata berjarak 1 ketuk. Ukuran spasi ini memudahkan siswa membaca ketikan dalam paparan materi (tidak melelahkan mata) dan tidak terlalu memakan space. Selain itu, ukuran spasi 1,5 cukup mempermudah siswa apabila ingin memberi catatan atau garis bawah terhadap hal-hal yang dianggap penting.
4. Gambar, Video dan Ilustrasi Dalam proses pembelajaran, penggunaan gambar dan ilustrasi lazim digunakan. Penggunaan gambar dan ilustrasi yang tepat dapat menarik perhatian, memberikan ilustrasi yang luas dan detail, meningkatkan retensi peningatan. Namun demikian penambahan gambar yang berlebihan kadang kurang diperlukan untuk meningkatkan persuasi.116 Karena itu pemilihan gambar, video, ilustrasi dan hal lain yang mendukung pada media pembelajaran ini disesuaikan dengan karakteristik pesan dan peserta didik. Demikian gambar dipilih selain dalam bentuk animasi juga dalam bentuk foto untuk memperjelas pemahaman siswa. Hal ini bersesuaian dengan salah satu prinsip pemilihan gambar yang baik adalah mencakup kriteria keaslian gambar sehingga gambar dapat menunjukkan situasi yang sebenarnya seperti melihat keadaan atau benda sesungguhnya.117 3. Kemanarikan dan Keefektifan Media Untuk mengetahui kemenarikan dan keefektifan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama, pengembang membuat instrumen penilaian atau tanggapan berupa angket yang terdiri atas 1) angket penilaian atau tanggapan dari ahli materi, 2) angket penilaian atau tanggapan dari ahli media, 3) angket penilaian atau tanggapan dari guru Pendidikan Agama Islam, 4) dan angket penilaian atau tanggapan siswa. Dari analisis hasil uji coba yang diperoleh melalui angket tersebut, kelayakan dari aspek ketepatan pengembangan kandungan isi yang ada pada media pembelajaran adalah 89%. Kelayakan dari aspek desain pembelajaran pada media pembelajaran adalah 80%. Kelayakan dari hasil penilaian guru mata pelajaran adalah 93 % . Kelayakan pada hasil uji coba kelompok kecil dari 27 siswa adalah 91% dan uji coba lapangan yang diambil dari hasil pretes-postes (73,2-87,5), terdapat peningkatan 14%.
116
Sutiah. Pengembangan Model bahan Ajar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan karakter dengan Pendekatan Kontestual di SMA Kelas X Kota Malang, Disertasi tidak diterbitkan. (Malang : Progam Studi Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang 2008) hal. 378 117 Azhar arsyad. Media Pembelajaran. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2002) hal. 67
Merujuk pada hasil belajar siswa yang diukur melalui pre-test dan posttest terhadap peningkatan hasil nilai rata-rata pre-test dan post-test mencapai 14%, demikian ketercapaian ketuntasan belajar siswa sebesar 90%. Demikian juga hasil perhitungan uji beda (t) sebesar 0, 000 < 0,05, maka ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pre-test dengan post-test setelah menggunakan media pembelajaran hasil pengembangan. Dengan demikian, media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa kelas IX di SMPN 1 Mantup Lamongan, mempunyai kualitas yang baik dan layak digunakan untuk pembelajaran. K. Kesimpulan Proses pengembangan dan hasil uji coba terhadap kelompok sasaran media pembelajaran Audio Visual dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Proses pengembangan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN 1 Mantup Lamongan, menggunakan model penelitian dan pengembangan (R&D) milik Borg and Gall yang terdiri dari 10 tahapan yang dapat disederhanakan menjadi empat langkah penelitian yaitu : perencanaan, pengembangan, uji lapangan dan diseminasi. 2. Hasil uji coba lapangan menunjukkan bahwa pengembangan media pembelajaran Audio Visual berbasis Aurora 3D yang diketahui dari hasil penyebaran angket di lapangan pada guru mencapai 93% (Sangat Baik), sedangkan angket siswa mencapai 91% dengan kriteria sangat baik juga. Sedangkan keefektifan pengembangan media yang diketahui dari hasil penyebaran angket di lapangan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dengan kriteria : (a). Rata-rata perolehan hasil belajar siswa pada tes akhir meningkat mencapai 87,5 dibandingkan tes awal yang hanya berada pada nilai rata-rata 73,2 yang menunjukkan bahwa ada peningkatan perolehan hasil belajar siswa sebesar 14% setelah belajar menggunakan produk pengembangan media pembelajaran Audio Visual dengan materi haji dan umrah berbasis Aurora 3D. (b).Pencapaian hasil belajar siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang ditunjukkan dengan
ketercapaian Kriteria Ketuntusan Minimal (KKM), dari 32 siswa yang mengikuti post-test, terdapat 29 siswa yang mendapat skor diatas 75 dan hanya 3 orang yang mendapat nilai dibawah 75. Dengan KKM 75 maka berarti sebanyak 90% siswa telah memenuhi kriteria ketuntasan belajar. (c). Merujuk pada hasil uji beda sebesar 0, 000 < 0,05, maka ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pre-test dengan post-test setelah menggunakan media pembelajaran hasil pengembangan. DAFTAR PUSTAKA Asnawir., Usman Basyiruddin, 2002., Media Pembelajaran, Jakarta: Ciputat Pers. Arsyad Azhar., 2002., Media Pembelajaran, Cet. IV, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Azhar Arsyad., 2007., Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ali Nashif Mansur, 2002., Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw. Jilid 1, Bandung: Sinar Baru. Arikunto Suharsimi., 2006., Prosedur Penelitian Suatu Tindakan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta. Arifin M., 1994., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Al-Qur’an dan Tarjamah, 2005., Bandung: CV J-ART. B. Uno Hamzah., 2008., Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Belawati Tian., Materi Pokok Pengembangan Bahan Ajar, Jakarta: Universitas Terbuka. Communications and Technology., USA: Macmilan Library. Daradjat Zakiah., 1992., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Daradjat Zakiah., 1992., Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta: Bumi Aksara. Djumransjah,
Abdul
Malik
K.A, 2007., Pendidikan
Islam Menggali
Tradisi,
Mengukuhkan Eksistensi, Malang: UIN-Malang Press. Djumransjah, 2004., Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publisihing Daryanto, 2010., Media Pembelajaran., Yogyakarta: Gava Media. Depdiknas, 2003., Kurikulum 2004 Standar Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Balitbang.
Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum
Depdiknas., 2006. Standar Isi: Keputusan Menteri No. 22, 23, 24. Jakarta: BSNP. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2006., Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Hamalik Oemar., 1994., Media Pendidikan, Cet VII, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti. Hamalik Oemar., 1976., Media Pendidikan, Bandung: CV Alumni. Kurniawati Ayu, 2011., Pengembangan Media Pembelajaran Menggunakan Microsoft Power Point, Yogyakarta: UIN Yogyakarta. Mansyur dkk, 1981., Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Forum. Muhaimin, dkk., 1996., Strategi Belajar (Penerapan Dalam Pembelajaran Pendidikan Islam), Surabaya: CV.Citra Media. Mujib Abdul., Jusuf Mudzakkir., 2006 Ilmu Pendidikan Islam., Jakarta: Kencana Prenada Media. Rachman
Shaleh Abdul, 2006., Pendidikan
Agama
dan
Pembangunan
Watak
Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada,. Rasyid Ridha Muhammad., 1373 H ., Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar. Rohani Ahmad, 1997., Media Intuksional Edukatif, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta. R.Walter Borg, Gall Meredith D., 1989, Educational Research;An Introduction, Fifth Edition, New York: Longman. Syafaat Aat, Sahrani Sohari, 2008., Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sadiman Arif., dkk., 2003., Media Pengajaran: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, Ed. I. Cet. III, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, Sudjana Nana, Rivai Ahmad., 2003., Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sudjana Nana., 1991., Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru. Sudjana Nana., 2005., Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Syaodih Sukmadinata Nana, 2011., Metode Penelitian Pendidikan., Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono, 2008., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D., Jakarta: Alfhabeta. Sutiah., 2008., Pengembangan Model bahan Ajar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan karakter dengan Pendekatan Kontestual di SMA Kelas X Kota Malang, Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Progam Studi Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang. Shalahudin Mahfud., 1986., Media Pendidikan Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu. Tata Pangarsa Humaidi., 1974., Metode Pendidikan Agama Islam, Malang: Lembaga Penerbitan Almamater YPTP IKIP Malang. Undang- undang RI No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Yasin Fatah, 2008., Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Press. Yunus Mahmud., 1983., Metode Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Hidakarya. Yunus Mahmud., 1973., Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: YP3A. Zuhairini., Abdul Ghofir., 2004., Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Malang: UM Press. http://www.presentation-3d.com/products/presentation-3d.html Wikipedia, Laboratorium, http;//id.wikipedia.org/wiki/laboratorium
KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYI’AH: SEBUAH PERBANDINGAN
Miftakhul Munir Dosen STIT PGRI Pasuruan
ABSTRAK Hadis sangatlah urgen di kalangan umat Islam (baik bagi golongan Sunni mapun Syi’ah). Nabi Muhammad SAW menjamin bahwa umatnya tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada dua pegangan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni hadis nabi yang shahih. Akan tetapi bagi lawan Islam yang tidak rela melihat umat Islam berada dalam kebanaran ajaran agamanya, mereka berusaha dengan bermacam-macam cara untuk memadamkan nur ilahi ini. Penjelasan tentang hukum bukan sebagai bentuk riwayat dan pengkhabaran hadits, juga tidak termasuk ijtihad dalam pendapat dan istinbath dari sumber-sumber Syari’at. Karena perkataan mereka adalah hadits, dan bukan berita tentang hadits. Jadi hadits-hadits mereka adalah apa yang di riwayatkan oleh Ali, Hasan, dan Husein, dan imam-imam mereka yang dua belas. Mereka menolak hadits-hadits dari abu Bakar, Umar, dan Usman, terutama hadits yang di riwayatkan oleh sahabat dari Bani Umayah. Kaum Syi’ah menjadikan seorang imam sebagai orang yang Ma’shum seperti Nabi Muhammad Saw. yang diutus Allah, dan sunnah adalah perkataan orang Ma’shum, perbuatan atau ketetapannya, baik Nabi Muhammmad Saw atau salah satu imam Syi’ah. Mereka menjadikan imam seperti Nabi Muhammad dalam menjelaskan al-Qur’an, dengan membatasi kemutlakannya dan mengkhususkan keumumannya. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat mereka melarang mengamalkan zahir al-Qur’an karena mereka tidak berpedoman dalam Syari’at kecuali dari para imam mereka.dan bahwa imam adalah sebagai sumber Syari’at secara mandiri. Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah Saw. Kata kunci: Kajian Hadits Pandangan Sunni Dan Syi’ah, Sebuah Perbandingan
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Secara etimologi dan epistimologi definisi hadis menurut golongan sunni mapun syi’ah sangat jauh berbeda. Menurut golongan sunni hadis ialah : sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik berupa: a. Qauliyah (perkataan), Yang dimaksud dengan qauliyah (perkataan), yaitu setiap ayang diucapkan rasullullah SAW sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh rasullulah SAW. b. Fi’liyah (perbuatan), Yang dimaksud dengan Fi’liyah (perbuatan) yaitu setiap perbuatan yang dilakukan olehrasullulah SAW dan mengandung nilai syariat.Contoh dari hadis yang berupa perbuatan ialah seperti ajaran rasullullah kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan salat. c. Taqririyah (persetujuan), Taqririyah (persetujuan) ialah setiap diamnya rasullulah terhadap suatu perbuatan atau ucapan yang dilakukan didepannya atau ketika beliau sedang tidak ada, tetapi ia mengetahui dan dapat mengingkari. 118 d. Sifat.119 Dari sifat dari hadis berupa sifat ini adalah riwayat seperti “ bahwa nabi saw itu selalu bermuka cerah berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor dan tidak juga suka mencela.120 Hal-hal diatas juga termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih.121
118
Rasyad hasan khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta : Amzah, 2009), Cet.I, hlm.149 119 Mahmud yunus, Ilmu Musthalah Hadis, (Padang : Assaadiyah Putra, 1940),hlm.22 120 Syaikh Manna’ Al-qathan, Studi Ilmu- Ilmu qur’an , (Jakarta : Pustaka litera antarnusa,2009), Cet. XIII.hlm.24 121 As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam,( Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait, 1400 H), cet. III, hlm.11
Meskipun definisi hadis menurut golongan Sunni mapun Syi’ah sangat berbeda, namun pada on the real-nya manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua yaitu naqli dan aqli .Sumber yang bersifat naqli tersebut merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur’an dan hadis rasullullah SAW. 122 Keterangan diatas menunjukkan bahwa hadis sangatlah urgen di kalangan umat Islam (baik bagi golongan Sunni mapun Syi’ah). Nabi Muhammad SAW menjamin bahwa umatnya tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada dua pegangan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni hadis nabi yang shahih. Akan tetapi bagi lawan Islam yang tidak rela melihat umat Islam berada dalam kebanaran ajaran agamanya, mereka berusaha dengan bermacam-macam cara untuk memadamkan nur ilahi ini.123 2. Rumusan Masalah a. Bagaimana penulisan dan pengumpulan hadits di kalangan Sunni dan Syi’ah? b. Jelaskan beberapa literature hadits di kalangan Sunni dan Syi’ah? c. Bagaimana klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadits di kalangan Sunni dan Syi’ah? d. Bagaimana penggunaan hadits sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah? B. PEMBAHASAN 1. Penulisan Dan Pengumpulan Hadis Di Kalangan Sunni dan Syi’ah a. Penulisan Dan Pengumpulan Hadis Di Kalangan Sunni Hadis Nabi diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim. Dalam hubungan antara keduanya hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.
122
Syaikh Manna’ Al-qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka al-kautsar,2009), Cet. IV.hlm.19 123 Badri khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. I,hlm.62
Namun sayangnya, kedudukan hadits yang demikian penting itu menurut para ahli dalam sejarahnya tercatat kurang menggembirakan, karena tidak terdokumentasi secara tertulis resmi sejak awal peradaban muslim. hal ini disikapi tidak utuh oleh umat Islam sendiri. Adanya para pengikar sunnah dari kalangan umat islam, sedikit banyak terpengaruh oleh keterlambatan penulisan resmi hadis tersebut. Lain halnya dengan sikap umat terhadap al-Qur’an umumnya sependapat bahwa al-Qur’an adalah landasan utama ajaran Islam yang menjadi dasar pembinaan hukum dan mukjizat terbesar nabi Muhammad Saw sehingga kelembagaan pun didahulukan bahkan telah berlangsung sejak zaman Nabi. Hal ini memudahkan umat di kemudian hari untuk dapat menyusun kembali secara tertulis dalam suatu kitab yang resmi. Latar belakang keterlambatan penulisan hadits, sebagaimana disebutkan oleh para ahli, hal ini disebabkan budaya tulis menulis ketika itu kurang mendukung. Para sahabat yang mampu menulis relatif sedikit, jumlahnya dapat dihitung jari. Disamping itu tidak memungkinkan seseorang untuk menekuni profesi di bidang tulis menulis. Sehingga umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan keagamaan pada umumnya melalui ingatan dan daya hafal saja. Analisis diatas sesungguhnya bersifat spekulatif, sehingga tidak mengandung kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.Bisa jadi analisis sosiologis seperti itu ada benarnya, namun bisa juga banyak ketidak tepatannya. Jika kondisi seperti itu menjadi latar belakang keterlambatan penuliasn hadits, tampaknya akan bertentangan dengan kenyataan bahwa di zaman Rasul para sahabat ada yang menekuni dunia tulis menulis. Salah satunya adalah mereka yang bertugas menulis wahyu. Adanya kekwatiran akan bercampurnya ayat al-Qur’an dengan hadits jika ditulis secara bersamaan. Hal ini masih kurang bisa diterima oleh akal sehat, karena justru yang perlu dikwatirkan itu adalah bercampurnya al-Qur’an dan hadits dalam ingatan umat, sehingga sulit dibedakan mana ayat al-Qur’an dan mana hadis. Keterlambatan penulisan hadits itu terjadi di duga karena ketidak merata pemahaman umat Islam terhadap sabda Nabi yang melarang penulisan hadits.
Menyikapi larangan ini tampaknya para sahabat terbagi menjadi dua. Satu pihak memandang bahwa larangan itu berlaku mutlak tidak boleh dilanggar karena ada kekwatiran tercampurnya antara al-Qur’an dengan sabda
Nabi.
Dipihak lain, justru memandang larangan tersebut berlaku kondisional artinya bisa jadi larangan itu merupakan kehati-hatian dalam menuliskan hadits agar tidak tercampur dengan al-Qur’an.124 Larangan penulisan tersebut sesungguhnya tidak menghilangkan kenyataan bahwa pada zaman Nabi Saw ada pula hadits yang telah ditulis. Akan tetapi penulisannya bukan dalam rangka pelembagaan hadits secara resmi sebagaimana al-Qur’an. Larangan itu tidak mutlak, terbukti dengan Rasullulah Saw mengizinkan seorang zaman untuk menulis sebuah hadis. Peristiwa tersebut terlukis dalam penuturan sahabat (Atsar) yang shahih yang menunjukkan adanya penulisan hadits sejak pada zaman Nabi. Dalam riwayat al-Bukhari, yang bersumber dari Abu Hurairah menegaskan bahwa kaum Khuza’ah telah membunuh seseoarang dari bani Laits pada hari pembebasan kota Mekkah (fath al-makkah) sebagai balas dendam pembunuhan di masa lalu. Dalam hadis lain, rasul sendiri menyuruh menulis tentang dirinya. Hal ini dilatar belakangi kegiatan tulis menulis yang dilakukan oleh Abdullah Ibn Amr yang suka menuliskan sabda-sabda Nabi. Kemudian peristiwa tersebut diketahui oleh para sahabat yang lain dan memperingatkannya agar tidak menuliskannya, sebab besar kemungkinan akan
tertulis pula kata-kata beliau yang dalam
keadaan marah yang tidak ada sangkut pautnya dengan dengan hukum syara’. Kemudian hal itu terdengar oleh Ibn Umar dan kemudian diadukan kepada Nabi. b. Penulisan dan Pengumpulan Hadis di Kalangan Syi’ah Syi’ah adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Ali Ibn Abi Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali Ibn Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang ditetapkan melalui nash (wahyu) dan wasiat dari Rasulullah, baik secara terang-terangan maupun secara implisit. Mereka beranggapan bahwa imamah (kepemimpinan) tidak boleh keluar dari jalur keturunan Ali. Jika pernah terjadi imam bukan dari keturunan Ali, hal itu hanya merupakan kezaliman dari 124
Ibid, hlm. 27-30
orang lain dan taqiyyah dari pihak keturunan Ali. Menurut mereka, imamah bukan hanya dipandang sebagai kemaslahatan dengan dipilih atau ditunjuk, tetapi imamah termasuk akidah yang menjadi tiang agama. Rasulullah tidak pernah melupakannya dan tidak boleh di campuri oleh orang banyak. Mereka sepakat bahwa imam wajib ditunjuk dan orangnya sudah dinashkan.125 Kalangan Syi’ah sejak awal, mereka adalah pelopor tradisi tertulis dalam hadis. Syauqi dhaif menulis “Perhatian Syi’ah terhadap penulisan fiqih sangatlah kuat. Alasan dibaliknya adalah keyakinan kepada para imam mereka bahwa mereka adalah pembimbing yang dibimbing Allah (Mahdi) sehingga seluruh fatwa mereka bersifat mengikat. Karena itu mereka memberikan perhatian kepada fatwa dan keputusan Ali.Dengan alasan himpunan pertama dibuat oleh kalangan Syi’ah, yaitu oleh Sulaim al-Hilali yang hidup sezaman dengan alHajaj. Allamah Sayyid Syarafuddin menulis : “Imam Ali dan para pengikutnya menaruh perhatian terhadap masalah ini sejak awal. Hal pertama yang diperintahkan oleh Ali adalah menulis al-Qur’an secara utuh, yang dilakukannya setelah wafat. Ia menyusunnya menurut kronologi turunnya wahyu. Dalam penulisan itu, ia juga menunjukkan ayat-ayat yang amm atas khas, muthlaq atau maqayyad, muhkam atau mutasabih. Setelah proses penghimpunan itu, dia mulai menulis sebuah buku untuk Fatimah yang kemudian dikenal sebagai shahifah fatimah. Ibn Saad telah mengisahkan hal ini dalam sebuah musnad dari Ali di akhir karyanya yang terkenal al-jami’. Pengarang Syi’ah yang lain adalah Abu Rafi’, yang menghimpun sebuah karya yang disebut kitab al-sunnan wa al-ahkam wa al-Qadhaya. Sayyid Hasan al-Shadr menulis bahwa Abu Rafi, Maula nabi, adalah orang pertama dari kaum Syi’ah yang menyusun buku. al-Najashi dalam fihristnya menyebut bahwa Abu Rafi sebagai salah seorang pengarang Syi’ah generasi pertama. Sebagai pengikut Ali, Abu Rafi ikut serta dalam peperangan Ali dan mengepalai bait al-mal di Kufah. Ali Ibn Abirafi, putra Abu Rafi, seoarang tabi’in dan pengikut Syi’ah terkemuka juga telah menyusun sebuah buku yang berisikan berbagai tema hukum seperti wudhu, Shalat dan sebagainya. 125
Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal (Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007), Hal 124.
Dari sejumlah besar hadis yang menujukkan bahwa para imam memiliki buku-buku semacam itu, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Udzafir al-Shairafi. Dia berkata : saya bersama Al-Hakam Ibnu Uthbailah berkunjung kepada Imam Baqir. Al-hakam menyampaikan kepadanya suatu pertanyaan.Abu Ja’afar (Imam al-Baqir) sangat menghormatinya. Mereka berselisih pendapat tentang satu hal tatkala Abu Ja’far berkata “anakku, bangunlah dan ambillah kitab Ali untukku” ia lalu membawa sebuah buku besar. Imam membukanya dan melihat-lihatnya sampai menemukan masalah itu. Lalu Abu Ja’far berkata, “ ini adalah tulisan tangan Ali sendiri dan didektekan oleh Rasul Allah. Dalam hadis lain, imam al-Baqir diriwayatkan berkata : “Dalam kitab Ali, saya menemukan bahwa Rasullullah berkata,”kalau zakat tidak diberikan maka barakah akan hilang dari bumi. Juga diriwayatkan bahwa imam al-Shadiq berkata : “Ayahku berkata,”saya sudah membaca dalam kitab Ali bahwa Nabi menulis kitab perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar dan kelompok lainnya dari Yatsrib yang bergabung dengannnya, dengan menyatakan didalamnya, tetangga itu seperti diri sendiri, ia tidak boleh diperlakukan secara tidak adil atau munkar. Perlindungan kepada tetangga sama dengan perlindungan kepada ibu sendiri. Dalam hadis lain, Imam al-Shadiq berkata : Diungkapkan dalam kitab Ali, dunia itu laksana ular, kulitnya sangat lembut, tetapi didalamnya ada racun yang mematikan. Orang bijak menghindar darinya, tetapi anak dungu ingin mendekatinya.126 Semua pernyataan yang dikemukakan diatas, yang baru sebagian kecil dari banyak contoh hadis dalam masalah ini, menunjukkan bahwa tradisi penulisan hadits dikalangan Syi’ah mendahului fatwa tentang penulisan hadis yang diberikan oleh para Imam belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan hadis ini dikukuhkan oleh Ali. Ada banyak lagi hadits-hadits seperti itu dalam himpunan-himpunan hadits Syi’ah yang memenuhi syarat tawatur serta dikuatkan oleh sumber-sumber Sunni.127
126 127
0.hashem, Op.Cit hlm.99-104 Ibid, hlm 104
Semua ini menunjukkan kekuatan dan keaslian hadits Syi’ah.Ini karena, disamping berkelanjutan bimbingan dari para imam yang Ma’shum (terjaga dari dosa) hingga pertengahan abad 3H/9M, tradisi Syi’ah telah menghasilkan sejumlah besar pengarang yang sejak masa Imam al-Shadiq telah menghasilkan banyak karya. Jika seseorang memperhatikan sekilas Rijal al-Najasyi, ia akan melihat pengikut para imam menghasilkan sejumlah besar karya yang berfungsi sebagai landasan Syi’ah. Jelasnya, terbatasnya jumlah kaum Syi’ah disatu pihak yang menghasilkan pengetahuan lengkap tentang kepribadian ulama Syi’ah adanya bahaya terus menerus menyertai mereka di lain pihak yang mencegah orang-orang fasik dan opurtunis agar tidak mengikuti madzhab mereka serta adanya arti penting yang diberikan para imam dan pengikut-pengikut mereka terhadap penulisan menghasilkan kekayaan dan keaslian sumber hukum Syi’ah. Di antara orang Syi’ah yang pertama kali melakukan proses pengumpulan dan penyusunan itu ialah Abu Rafi’e; budak Rasulullah Saw. AnNajasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, mengatakan: “Dan Abu Rafi’e budak Rasulullah Saw. mempunyai kitab As-Sunan wal Ahkam wal-Qodhoya”. Lalu ia menyebutkan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab secara bab per bab; mulai dari bab shalat, puasa, haji, zakat dan tema-tema muamalah. Kemudian dia menyatakan bahwa Abu Rafi’e telah menjadi Muslim secara lebih dahulu di Mekkah lalu hijrah ke Madinah dan ikut serta bersama Nabi Saw. dalam banyak peperangan, dan setelah wafat beliau, ia menjadi pengikut setia Amiril Mukminin Ali Ibn Abi Thalib As. Abu Rafi’e tergolong sebagai orang Syi’ah yang saleh, dan turut terjun di dalam peperangan bersama Ali Ibn Abi Thalib As. Ia juga dipercayai sebagai pemegang kunci Baitul Mal di masa kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib di Kufah. Abu Rafi’e meninggal pada tahun 35 H., sesuai dengan kesaksian Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, di mana ia telah membenarkan tahun wafatnya di awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib As. Atas dasar ini, menurut ijma’ para ulama, tidak ada orang yang lebih dahulu dari Abu Rafi’e dalam upaya mengumpulkan hadis dan menyusunnya secara bab per bab. Karena, nama-nama yang disebutkan mengenai penghimpun hadits, semuanya muncul di pertengahan abad kedua.
Sebagaimana yang dicatat di dalam At-Tadrib oleh As-Suyuthi dan dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, bahwa orang pertama yang mengumpulkan dan menyusun hadits-hadits berdasarkan perintah Umar Ibn Abdul Aziz adalah Ibnu Syahab Az-Zuhri. Segera Ibnu Syahab memulai tugasnya di awal abad kedua Hijriyah, lantaran Umar Ibn Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 98 H. atau 99 H., dan meninggal pada tahun 101 H. Di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, kami secara khusus memberikan catatan-catatan kritis terhadap apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Asqolani.128 Adapun orang pertama dari kaum sahabat yang Syi’ah yang mengumpulkan hadis dalam satu bab dan satu judul mereka adalah Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasyiduddin Ibn Syarhasub di dalam kitab Ma’alim Ulama Syi’ah, telah memberikan kesaksiannya atas hal ini. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, guru besar Syi’ah, dan Syeikh Abu Abbas An-Najasyi di dalam kitab-kitab mereka, yaitu Asma Mushannifis Syi’ah, ketika mengulas ihwal Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Gifari. Mereka melacak dan mampu menemukan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab Salman dan kitab Abu Dzar. Kitab Salman adalah kitab hadits Al-Jatsliq dan kitab Abu Dzar adalah sebuah surat khotbah yang di dalamnya menjelaskan pelbagai perkara dan peristiwa yang terjadi setelah wafat Rasulullah Saw. Sayyid Al-Khunsari di dalam kitab Ar-Raudhah fi Ahwalil ‘Ulama’ wa As-Sadat, menerangkan sebuah kitab yang dinukil dari kitab Az-Zinah karya Abu Hatim di juz ketiga; bahwa kata “Syi’ah” pada masa Rasulullah Saw. adalah nama untuk empat sahabat, yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Miqdad Ibnul Aswad Al-Kindi dan Ammar ibn Yasir. Demikian ini telah disebutkan juga di dalam kitab Kasyful Dzunun dan kitab Az-Zinah karya Abu Hatim Sahal Ibn Muhammad As-Sajastani yang wafat pada tahun 205 H. 2. Beberapa Literatur Hadits Dikalangan Sunni Dan Syi’ah Kata Syi’ah terambil dari kata dalam bahasa Arab :sya’a – syiya’an berarti mengikuti atau menemani (Tabi’a atau Ra-faqa). Menurut jawah maghniyah (seorang ulama beraliran Syi’ah) memberikan difinisi tentang kelompok Syi’ah, bahwa mereka adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw telah 128
Ahlu bait Indonesia, Syi’ah Dan Ilmu Hadis, diakses http://ahlulbaitindonesia.org/index.php/pustaka/artikel-ilmiah/563-syiah-dan-ilmu-hadis.html,
di
menetapkan dengan Nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah (pengganti) beliau dengan menunjuk Imam Ali.129 Definisi ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413 M) mengatakan bahwa : Syi’ah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina Ali r.a dan percaya bahwa beliau adalah imam sesudah Rasul Saw dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya. 130 Literatur hadis yang digunakan oleh golongan Syi’ah dalam memberikan argumentasi atas kepemimpinan sesudah Rasul Saw diantaranya adalah sebagai berikut:
وخرج صلى هللا عليه وسلم ليال منصرفا الي المدينة فصار الي موضع بالقرب من الجحفة يقال له غديرخم لثماني عشرة ليلة خلت من ذي الحجة وقام خطيبا واخد بيد علي ابن ابي طالب فقال اولست اولي بالمؤمنين من انفسهم قالوا بلى يارسول هللا قال فمن كنت مواله فعلي مواله Artinya : “Nabi Muhammad saw berjalan malam hari menuju madinah. Tatkala sampai di suatu tempat dekat Juhfah, Ghadir khum pada malam 18 zulhijjah beliau berpidato dengan memegang dan mengangkat tangan Ali sambil berkata : “ apakah saya tidak berhak kepada orang mu’min dari diri mereka? Jawab pendengar : “ya, hai rasul allah”. Lalu Nabi Muhammad Saw. Menyambung lagi: “barang siapa menganggap saya pemimpinnya maka Ali juga pemimpinnya.
اللهم وال من وااله وعاد من عاده,علي منى كهارون من موسى Artinya : “Ali pada saya sama dengan harun pada musa, ya allah angkatlah orang yang mengangkatnya dan hinakanlah orang yang menghinanya”.
ولقد دعيت الى ربى وإنى مجيب وإنى مغادركم من هذه الدنيا وإنى تارك فيكم الثقلين كتاب هللا وعترة بيتى
129
Muhammad jawad magniyah, Asy-Syi’ah Wa Al-Hakimun, (Beirut : Ahliyah,1962), Cet,II, hlm.14 Quraish shihab, Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan !Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, (Jakarta : Lentera Hati,2007),Cet.I,hlm.61
130
Artinya :“Dan sesungguhnya ajal saya sudah dekat, saya sudah dipanggil oleh tuhan dan saya akan memenihi panggilan itu. Saya akan meninggalkan kepadamu dua hal yang penting, yaitu kitab Allah dan Famili ahli rumahku”. Inilah beberapa hadis yang dinamai hadis ghadir khum yang dipakai oleh golongan Syi’ah untuk menetapkan bahwa pangkat khalifah itu sudah diwasiatkan oleh Nabi kepada Saidina Ali. Barang siapa yang melanggar wasiat ini maka orang itu dikutuki tuhan dan dikutuki Rasul. Oleh karena itu maka sahabat-sahabat Nabi (Muhajirin dan Anshar) yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah pada hari wafat Nabi yang mengangkat Saidina Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang yang terkutuk, karena beliau menerima angkatan itu tanpa hak. Bukan saja Abu Bakar, tetapi juga Khalifah Umar dan Khalifah Usman adalah orang-orang yang terkutuk yang merampok hak Ali untuk menjadi Khalifah.131 Pengagum Ali yang kemudian ini berubah karena motivasi politik, menjustifikasi keutamaan beliau dengan dasar-dasar nash dan memunculkan hadis yang jadi dasar imamah ‘Ali :engkau dan pengikutmu akan dipenuhi cahaya di hari kebangkitan.132 Orang-orang Syi’ah memposisikan imam-imam mereka di atas manusia biasa, para Nabi dan bahkan diatas Tuhan. Menurut mereka, imam-imam mereka mengetahui Umur dan ajal manusia , tidak sesuatu apapun yang tersembunyi dari mereka, memilki seluruh dunia, bisa mengalahkan semua manusia, alam Raya gemetar karena nama besar dan kekuatan mereka, para malaikat itu kepada mereka sebagaimana para Nabi dan Rasul tunduk kepada mereka. Serta tidak ada seorangpun yang bisa menandingi mereka.133 Bila dilihat dari segi historis konsep awal imamah ini dimulai semenjak hari pertama Nabi Muhammad Saw berdakwah, kaum musyrikin menentang agama tauhid. Musuh-musuh Islam yang terdiri dari Kuffar Quraish, Yahudi dan Nasrani berusaha kuat untuk mengikis habis agama baru. Mulai dari upaya membunuh
131
Sirajuddin abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah,( Jakarta : Pustaka Tarbiyah,1994),hlm.199 Imam as-suyuthy, Al-Durr Al-Manthur “ juz 1 hlm.379 133 Ihsan ilahi dhahir, Virus Syi’ah Sejarah Alienisme Sekte, (Jakarta : Darul Falah, 2002),Cet.I,hlm.82 132
Nabi, perlawanan terus sampai suksesi ke Abu Bakar, provokasi berlanjut untuk memadamkan Islam.134 Definisi Imamah sendiri secara etimologis adalah bentuk masdar dari kosakata “imam”. Dalam kamus bahasa idonesia, kata imamah diartikan sebagai kepemimpinan . Dari akar kata imam ini pula ada istilah umm (ibu atau induk) dan ummat (yang dipimpin, rakyat atau masyarakat). Dan dari kajian etimologis ini dapat dikata, bahwa imamah adalah induk keteladanan dan kepemimpinan bagi umat.Imamah tidak aka nada artinya tanpa ummah atau umat.135 Bagi golongan Syi’ah (Ithna’ Asyariyah Ja’fariyah) secara mutlak imamah itu diyakini merupakan petunjuk nash. Baik Nash al-Qur’an maupun Nash hadis jalurnya dibangun sendiri oleh mereka dengan mengeyampingkan para pemuka sahabat yang dicap telah mengkhianati Ali, karena tidak memilih beliau setelah wafat Nabi. Pengikut Syi’ah juga percaya bahwa imam-imam Syi’ah yang dua belas itu, mempunyai sifat Ma’shum, sama yang dimilki oleh para Nabi dan Rasul. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa imam-imam tersebut mengetahui segala sesuatu, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Disamping itu mereka berkeyakinan bahwa para imam tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada para malaikat Mogorrab, maupun kedudukan para Rasul.136 Dalam hal ini Khumaeni (imam-nya orang Syi’ah), berkata :
إن من ضروريات مذهبنا أن ألئمتنا مقاما اليبلغه ملك مقرب وال نبي مرسل Artinya : ”Salah satu prinsip aliran kita adalah, sesungguhnya imam-imam kami mempunyai kedudukan (Martabat), yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat Mugarrob (Tersekat) maupun oleh Nabi-nabi yang diutus (para Rasul)”.137 Hadis ini oleh para ulama Syi’ah dipakai sebagai dasar dalam mengkafirkan orang-orang yang mengingkari kepemimpinan imam-imam mereka yang dua belas.
134
Mohammad baharun, Epistimologi antagonisme syi’ah,(Malang : Pustaka Bayan, 2004), Cet,I, hlm.17 Ibid, hlm.32 136 Ahmad zein alkaf, Op.Cit.hlm.78 137 Khumaeni, الحكومة اإلسالمية, hlm.52 135
Alasannya; karena orang-orang yang mengingkari Nubuwwah hukumnya Kafir. Maka yang mengingkari imamah hukumnya juga Kafir. 138 Adapun mengenai kema’shuman para imam, maka dalam kitab Ushulul Kafi, hal 121-122 disebutkan :
موفق مسدد قدأمن من,فهومعصوم مؤيد.اإلمام المطهر من الذنوب والمبرأ من العيوب الخطاءوالزلل والعثار يخصه هللا بذالك ليكون حجة علي عباده وشاهده علي خلقه (اصول )121-122 : الكافى Artinya : “Para imam disucikan dari dosa dan dibersihkan dari kejelekan-kejelekan. Mereka itu ma’shum serta mendapat petunjuk dan bimbingan. Mereka terbebas dari kesalahan dan kekeliruan. Dalam ini Allah menjadi hujjah dan saksi bagi hamba-hambanya”. Kemudian dalam kitab syi’ah al-Kaafi juga diterangkan, bahwa Imam Ali berkata:
إني ألعلم ما في السموات وما في األرض وأعلم ما في الجنة وما في النار وأعلم ماكان وما يكون Artinya : “Sungguh aku benar-benar mengetahui segala yang dilangit dan di bumi serta segala yang ada di surga dan di neraka dan apa-apa yang terjadi serta yang sedang dan akan terjadi”. Selanjutya dalam kitab al-Kafi disebutkan, Abu Abdillah berkata :
يضعها حيث يشاء ويدفعها لمن يشاء,إن الدنيا لإلمام واألخرة لإلمام Artinya : “Sesungguhnya dunia ini milik imam dan akhirat juga milik imam, dia meletakkan dimana ia kehendaki dan memberikannya kepada siapa saja yang ia kehendaki.” Demikian sedikit contoh kepercayaan orang-orang Syi’ah mengenai kedudukan dan keistimewaan imam-imam Syi’ah yang tertera dalam kitab-kitab rujukan mereka.
138
Ahmad zein alkaf, Op.Cit. hlm. 79
Oleh karena Aqidah Imamah tersebut merupakan pokok agama dan merupakan rukun iman yang pokok bagi orang-orang yang beraliran Syi’ah maka secara otomatis orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas Imam-imam tersebut, dianggap (divonis) sebagai orang-orang kafir dan akan masuk Neraka.139 Jadi oleh karena golongan Sunni itu tidak memasukkan Imamah dalam rukun iman, artinya tidak beriman kepada 12 imam-imam tersebut, maka golongan Sunni termasuk golongan kafir yang akan masuk neraka. Berangkat dari beberapa literatur hadis di atas, golongan Syi’ah juga berpendapat bahwa al-Qur’an surat al-Maidah ayat 55:
Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.(Q.S al-Maidah ayat 55) Ayat ini diyakini Syi’ah sebagai pernyataan kepemimpinan Ali sesudah Nabi. Apalagi hal ini didahului oleh sebuah riwayat hadis versi Syi’ah yang menyatakan latar belakang turunnya ayat ini yaitu seorang pengemis yang datang ke masjid melihat melihat Ali sedang shalat ia meminta kepadanya dan pada saat itulah Ali memberikan bentuk cincin kepada pengemis. Beberapa orang yahudi yang masuk Islam menemui Nabi dan bertanya “dulu musa menunjuk Yusya’ Bin Nun, lalu siapakah orang yang memimpin kami setelah engkau wafat? Kemudian turunlah ayat itu. Maka Nabi bersama orangorang tadi berangkat ke masjid menemui pengemis di sana. Rasul bertanya kepadanya: “apa ada yang memberimu sesuatu? “ya,cincin ini yang diberikan kepadaku!”. Dalam keadaan bagaimana ia memberimu? “ketika sedang ruku’! jawabnya lagi. Maka nabi bersama orang-orang tadi bertakbir kemudian Nabi bersabda: “Ali Bin Abi Thalib adalah pemimpinmu setelah aku meninggal”. Mereka pun menjawab serentak: kami rela Allah sebagai tuhan kami, Islam sebagai 139
Ibid.hlm.80
agama kami, Muhammad Saw sebagai Nabi kami dan Ali Bin Abi Thalib sebagai pemimpin kami!”. Riwayat- riwayat ini dibuat oleh pendukung Syi’ah sejak kala itu dalam rangka menopang pendapat mereka tentang imamah. Kemudian untuk menambah riwayat’ hadits cincin tadi, diceriktan bahwa “Umar berkata” demi Allah sesungguhnya saya telah menyedehkahkan 40 cincin ketika sedang rukuk’, agar menurunkan ayat seperti diturunkann kepada Ali”. Di samping hadits dan tafsiran hadits diatas, ada hadis yang tertulis dalam kitab Ash-Shawai’iq al-Muhriqah karangan ibn hajar al-Hafizh Jamaluddin azZarnadi meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a Rasullullah bersabda kepada Ali r.a :“ mereka itu adalah kamu dan mereka akan datang dalam suasana ridha dan diridhai. Sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan gelisah dan terbelenggu.” Al-hakim telah pula meriwayatkan dalam kitab Sywahidat-Tanzil, dari Ibn Abbas r.a :“ayat ini (al-Bayyinah 7-8) diturunkan berkenaan ahlu bait”. Begitu juga Ibn Hajar, pada pasal I, bab ix dari ash-Shawiq, telah menggolongkannya berkenaan dengan mereka. Dalam kitabnya Sywahidat-Tanzil pula, ia (al-Hakim) telah meriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib: pada detik-detik terakhir ketika Rasullullah SAW hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir, seraya bersandar didadaku, beliau berkata, “hai Ali, tidakkah kau dengar firman Allah Swt “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk (alBayyinah ayat:7)? Mereka itu adalah Syi’ah (pendukung-pendukung)-mu.Kelak, tempat janji pertemuanku dengan kau dan mereka sekalian adalah telaga al-Haudh. Mereka akan dipanggil dalam keadaan putih bersih dan bersinar wajah-wajahnya.” Ad-Dailami meriwayatkan, seperti termaktub pada halaman 96 kitab asShawa’iq al-Muhriqah bahwa Rasullullah Saw telah bersabda : “ hai Ali, sesungguhnya Allah Swt telah mengampuni engkau anak-anakmu, keturunanmu, keluargamu, Syi’ah (pengikut-pengikut)-mu dan para pecinta-pecinta Syi’ah -mu. Ath-Thabrani dan banyak ahli hadis lainnya meriwayatkan bahwa pada hari “peristiwa Basrah” dihadapkan kepada Ali r.a sejumlah emas dan perak (hasil rampasan perang). Ali berkata: hai ‘kuning dan putih’ perdayakanlah orang-orang selain aku. Perdayakan orang Syam jika mereka memperolehmu, kelak! “ucapan ini
membuat gelisah banyak orang dan pengikutnya”. 140 Ketika hal ini disampaikan kepada Ali r.a ia memanggil mereka dan berkata : “sesungguhnya kasihku, Rasullullah Saw telah bersabda : hai Ali, sesungghnya kamu dan Syi’ah (para pengikut)-mu akan menghadap Allah Swt dalam keadaan ridha dan diridhai. Sebaliknya musuh-musuhmu akan menghadapnya dalam keadaan gelisah dan terbelenggu
lehernya.
(kemudian
Ali
mengangkat
tangannya
dan
menggegamkannya dilehernya seolah-olah belenggu yang membuat lehernya tertengah keatas). Ath-thabrani meriwayatkan, dalam ash-Shawa’iq halaman 96, bahwa Rasullullah Saw bersabda kepada Ali : “ empat orang pertama yang memasuki surga adalah aku ,engkau, hasn, husain, dan kemudian anak keturunan kita di belakang serta Syi’ah (pengikut-pengikut) kita di samping kanan dan kiri kita.” Ahmad Bin Hanbal dalam manaqib-nya seperti tercantum dalam ash-Shawa’iq halaman 96 juga telah meriwayatkan bahwa Rasullullah Saw bersabda kepada Ali r.a : tidakkah engkau merasa puas bahwasanya aku dan kamu berada di surga, sedangkan Hasan dan Husein serta Syi’ah (pendukung-pendukung) kita berada di sisi kanan kiri kita.”141 Al-hakim merawikan sebagaimana yang tertera dalam tafsir majma’ alBayan tentang ayat “al-Mawaddah Fil-Qurba” (kasih sayang terhadap sanak keluarga Rasullullah Saw – Asy-syura :23), bahwa Abul Bahili berkata, Rasullullah Saw telah bersabda : “sesungguhnya Allah Swt telah menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Maka aku adalah pokoknya, Ali cabangnya, Fathimah serbuk sarinya,al-hasan dan al-Husain buahnya dan para Syi’ah (pengikut) kita adalah dedaunannya. Oleh sebab itu barang siapa bergantung pada salah satu dahannya, ia pasti selamat, dan barang siapa menyimpang darinya akan terjatuh. Meskipun seoarng hamba menyembah Allah Swt sepanjang seribu tahun kemudian seribu tahun lagi sehingga menjadi tempat air dan kulit yang sudah keriput, sementara ia tidak mencintai kita, maka Allah Swt akan mengempaskannya diatas batang hidungnya ke dalam neraka.”(kemudian Rasullullah Saw membaca firman Allah):
140
Mereka tadinya mungkin mengharapkan emas dan perak (yang diperoleh sebagai hasil rampasan perang jamal) akan dibagi-bagikan kepada mereka dan tidak imasukkan ke dalam bayt al-mal 141 Syarafuddin al-musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah, (Bandung : Mizan,1989),cet. I, hlm.5759
Artinya : Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kerabatku. Dalam madzhab Syi’ah hadis terbuaka lebar untuk di sortir dengan metodemetode yang ada. Berbeda dengan pandangan sunnah terhadap hadisnya, kaum Syi’ah tidak mengklaim semua hadis dalam kitab-kitab mereka sebagai hadis shahih. Misalnya, Muhammad Bin Ya’qub al-Kulaini yang mengumpulkan hadisnya dalam sebuah kitab hadis berjudul al-Kafi Fil Ilm ad-Din. Ia mengumpulkan hadis dari para perawi dan pengikut salah satu dari imam-imam. Didalamnya banyak kemasukan hadis yang meriwayatkan mukjizat para imam yang berasal pengikut-pengikut orang kufah yang ekstrim yang disebut kaum ghulat.Tetapi didalam hadis-hadis ini juga terdapat penolakan imam Ja’far Shadiq dan Imam Baqir yang menunjukkan kemarahannya kepada kaum Ghulat. Karena itu orang Syi’ah tidak menganggap seluruh hadis mereka sebagai hadis shahih.Sayyid Hasim Ma’ruf Hasani berkata: Para pendahulu tidak pernah sepakat bahwa semua hadis dalam al-kafi adalah shahih, baik secara umum maupun terperinci. Hadis-hadis dalam al-Kafi mencapai 16.199 hadis, yang shahih adalah 5.072 hadis. 3. Klasifikasi dan Persyaratan Kesahihan Hadits di Kalangan Sunni dan Syi’ah Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya menjadi tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dhaif. Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadits ahad yang mencakup hadits masyhur, azis, dan gharib. Hal ini disebabkan karena para ulama hadits sepakat bahwa hadits mutawatir seluruhnya bernilai shahih.142 a. Hadits Shahih Menurut para ulama Sunni, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada 142
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), Hal 96.
perselisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz), dan tidak ada yang berat.143 Dari pengertian diatas, dapat diklasifikasikan persyaratan-persyaratan sebuah hadits dapat dikatakan shahih sebagai berikut:144 a. Sanadnya bersambung (Ittishal al-Sanad) yaitu setiap perawi telah mengambil hadits secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad. b. Perawi harus bersifat adil, seorang muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan berakhlak yang baik. c. Dhabith yang sempurna; setiap perawi harus sempurna hafalannya dhabith ada dua macam, yaitu dhabith shadr dan dhabith kitab. Dhabith shadr adalah kemampuan
menghafal
hadits
yang
didengarnya
dan
mampu
mengungkapkannya kapan saja. d. Setiap hadits tidak boleh tercela (syadz), syadzadalah jika seorang perawi yang tsiqah bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. e. Tidak ada ilatnya yang berat, yaitu hadits tersebut tidak boleh ada cacat. Ilat adalah suatu sebab yang tersambungnya dan dapat merusak keshahihan suatu hadits meskipun zhahirnya tidak Nampak ada cacat. Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatih dan shahih lighayrih. Shahih lidzatih adalah hadits yang memuat semua sifat-sifat penerimaan hadits atau memenuhi seluruh persyaratan tersebut di atas. Sedangkan shahih lighayrih mengacu kepada hadits yang keshahihnya disebabkan karena penguatan dari hadits yang lain, atau karena di dalamnya terdapat satu syarat yang tidak terpenuhi. b. Hadits Hasan Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, di nukil oleh periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabith serta terhindar dari syadz dan illat. Jadi perbedaan antara hadits shahih dan hasan terletak pada ke- dhabith-an perawinya. Pada hadits shahih perawinya memiliki dhabith yang sempurna, sedangkan pada hadits hasan, kedhabithan perawinya kurang sempurna. 145
143
Manna al-Qaththan, Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), Hal 117. Umi Sumbulah, Op. Cit, Hal 97. 145 Ibid, hal 100. 144
Hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu lidzatih dan hasan lighayrih. Jika pada hadits hasan lidzatih ingatan perawinya setingkat di bawah perawi hadits shahih dengan memunculkan aspek ke-hasanannya, sedangkan pada hasan lighayrih dalam rangkaian sanadnya terdapat orang yang tidak diketahui kelayakan atau ketidak layakannya untuk diterima riwayat haditsnya, tetapi ia juga bukan orang yang lengah dan suak berbuat dusta dan salah.146 Hadits hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya sebagai hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah di bawah hadits shahih. Semua ahli fiqih, ahli hadits, dan ahli ushul fiqih menggunakan hadits hasan sebagai hujjah.147 c. Hadits Dha’if Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah. Hadits dhaif menurut terminology adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat atau ditemukan persyaratan hadits sahih dan persyaratan hadits hasan.148 Karena syarat diterimanya suatu hadits sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadits terletak pada salah satu syarat tersebut atau lebih, maka atas dasar itulah hadits dha’if dibagi menjadi beberapa macam, seperti syadz, Mudhtharib, Maqlub, Mu’allal, Munqhati’, Mu’dhal, dan lain sebagainya.149 Hadits dha’if pada dasarnya tidak boleh dijadikan hujjah. Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadits dha’if. Para ulama hadits sepakat memperbolehkan pengamalan hadits dha’if dalam masalah targhib dan tarhib, seperti yang terdapat dalam kitab alAdzkar karya al-Nawawi, kitab Insanul Uyun karya Ali Ibnu Burhanuddin alHalabi, kitab Asrarul Muhammadiyah karya Fakhruddin al-Rumi, dan kitabkitab lain.150 Dalam penggunaan hadits dha’if sebagai hujjah harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 146
Ibid. Manna’ al-qaththan, Op. Cit, hal 121. 148 Manna al-Qaththan, OP. Cit, Hal 121. 149 Ibid, lihat juga pembagian hadits dhaif dalam umi sumbulah, hal 101. 150 Umi sumbulah, Op. Cit, hal 101. 147
a. Kelemahan hadits tersebut tidak seberapa b. Apa yang ditunjukkan hadits tersebut ditunjukkan juga oleh dasar hukum yang lain, artinya bahwa ia tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan c. Tidak meyakini bahwa hadits tersebut dating dari Nabi. Ia hanya digunakan untuk menguatkan pendapat yang tidak berdasarkan nash.151 Sedangkan Para Ulama Syiah Mengklasifikasikan Hadits Menjadi: 152 a. Yang masyhur, ada dua pembagian hadits, pada masa ulama terdahulu, pada masa kedua tokoh periwayat, Sayyid Ahmad Bin Thawus dan Ibn Dawud alHulliy. Pembagian hadits ini berkisar pada hadits Mu’tabar dan Ghairu Mu’tabar. Pembagian ini dipandang dari segi kualitas ekternal, seperti kemuktabaran hadits yang dihubungkan dengan zurarah, Muhammad bin muslim serta fudhail bin yasar. Maka hadits yang berkualitas demikian itu dapat dijadikan hujjah. Dengan berlakunya zaman, pembagian hadits seperti ini sangat jarang dibahas, akibatnya harus kehilangan al-ushul dan al-mushannafat yang disusun oleh para penulis-penulis handal. b. Sedangakan menurut jumhur Ja’fariyah hadits terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka yang bathil tampak dalam maksud hadis mutawatir, di mana hadits mutawatir menurut mereka harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadits dan maksudnya. Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang menafikan ketetapan amir al-mukminin ali sebagai imam. Mereka juga berpendapat tentang mutawatirnya hadits al-saqalain dan hadits al-ghadir. c. Sedangkan hadits ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad dan matan . keempat tingkat tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian yang lain. Empat tingkatan itu adalah; sahih, hasan, muwassaq, dan dha’if. Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini. 1) Hadits sahih
151 152
Manna’ al-qaththan, Op. Cit, hal 131. http://sites. Google.com/site/musthalahulhadits/home/hadits-perspektif-syiah.
Hadits sahih menurut mereka adalah, hadits yang bersambung sanadnya kepada imam yang Ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadits sahih menurut mereka adalah hadits yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang Ma’shum.153mereka sepakat bahwa syarat-syarat hadits sahih adalah: a) Sanadnya bersambung kepada imam yang ma’shum tanpa terputus b) Para periwayatnya dari kelompok imamiah dalam semua tingkatan c) Para periwayatnya juga harus adil dan kuat hafalan. 2) Hadits hasan Hadits hasan menurut Syi’ah adalah hadits yang sambung sanadnya kepada imam yang Ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam smua atau sebagian tingkatan para perawi dalam sanadnya. 154 Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadits hasan sebagai berikut: a) Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus b) Semua periwayatnya dari kelompok imamiah c) Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya. d) Tidak ada keterangan tentang adilnya semua perawi. Sebab jika semua perawi adil maka haditsnya menjadi sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas. e) Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagai rawi dalam sanadnya. 3) Hadits Muwassaq155 Hadits Muwassaq yaitu yang bersambung sanadnya kepada imam yang Ma’shum dengan orang yang di nyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah Imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah 153
Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah Syi’ah; Studi Perbandngan Hidits Dan Fikih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997) Hal 126. 154 Ibid, hal 129. 155 Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan Qawiy (kuat) karena kuatnya Zhan, di samping karena kepercayaan kepadanya.
dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih. Al-mamqani berpendapat, hadits muwassaq adalah hadits yang sahih secara bahasa, tetapi menyalahi pengertiannya sebagai istilah. Definisi ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut: a) Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum b) Para periwayatnya bukan dari kolompok imamiah, tapi mereka dinyatakan siqah oleh imamiah secara khusus c) Sebagai periwayatan sahih, dan tidak harus dari imamiyah 4) Hadits Dha’if Menurut pandangan Syi’ah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadits.156 Jika melihat pendapat masing-masing mengenai klasifikasi dan pembagian hadits di atas oleh aliran Sunni dan Syi’ah, maka akar permasalahan sesungguhnya terletak pada pandangan dan penentuan mengenai kriteria “sahabat” yang berbeda di antara masing-masing kelompok tersebut. Bagi orang islam terutama kaum Sunni, sahabat nabi menduduki posisi yang sangat menentukan dalam islam. Mereka menjadi jalur yang tak terhindarkan antara nabi dan generasi berikutnya. Dengan kata lain, mereka adalah agen tunggal atau dari merekalah al-Qur’an dan sunnah Nabi dapat diketahui. a. Dalam pandangan ulama Sunni Imam Bukhari sebagaimana yang dikutip Manna’ al-Qattan, dalam shahihnya mengatakan “barang siapa yang pernah menemani Nabi Saw atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari sahabat-sahabat beliau.157 Pendapat di atas masih terlalu umum, lebih jelasnya menurut para ulama Sunni arti dari sahabat Rasulullah Saw adalah orang yang berjumpa dengan Nabi
156 157
Ali ahmad as-saLus, Op. Cit, Hal 130. Manna al-Qaththan, OP. Cit, Hal 77.
dengan cara biasa dalam masa hidup beliau dan itu orang tersebut telah masuk islam dan beriman. Dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah, yakni menyatakan sahabat Nabi terbebas dari penyebaran hadits palsu secara sengaja. Oleh karena itu mereka menerima begitu saja kesaksian sahabat mengenai hal-hal yang menyangkut hadits Nabi.158Menurut mereka seluruh sahabat adalah adil (Udul).159 Sehingga dalam menjalankan proses jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits untuk menentukan apakah riwayat seseorang diterima atau tidak, Ahlu sunnah akan berhenti sampai pada Tabi’in (perawi setelah sahabat). Dan mereka tidak memasuki kawasan sahabat, karena diyakini bahwa sahabat adalah udul dengan pengakuan dari allah Swt sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh Wa ta’dil.sikap mereka tersebut Berdasarkan al-Qur’an yang terdapat pada QS At-Taubah: 100.
Artinya: “orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009), Hal 49. 159 Kata adil berkaitan dengan karakter para perawi. Seorang perawi yang adil pasti tidak melakukan dosa besar, dan juga tidak mudah melakukan dosa kecil. Ibnu Hajar Al-asqalani (852/1449) menyebut lima syarat untuk seorang disebut adil, yakni Taqwa Muru’ah, bebas dari perbuatan dosa besar, tidak melakukan bid’ah, dan tidak Fasiq. Lihat catatan kaki Kamarudin Amin, Ibid, Hal 66. 158
Oleh karena itu maka seluruh sahabat adalah manusia yang adil, manusia yang telah menderma baktian seluruh hidupnya untuk bahu membahu menegakkan islam bersama Rasullah. b. Dalam pandangan ulama Syi’ah Dalam hal ini kalangan Syi’ah juga senada dengan kaum Sunni bahwa sahabat Saw, adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw, dengan cara biasa dalam masa hidup beliau dan saat itu orang tersebut telah masuk islam dan beriman. Rasulullah dalam kesempatan telah berwanti-wanti agar tidak mengusik kehormatan dan kedudukan sahabat, mengingat kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Swt160. Menurut riwayat yang shahih, imam-imam Syi’ah juga melarang untuk mengecam, sahabat Nabi, karena seperti dikatakan oleh an-Naubakhti dalam kitab Firaq Syi’ah fenomena mengecam terhadap sahabat justru dimulai oleh Abdullah bin Saba’ seorang yahudi yang berpura-pura memeluk agama islam dan kemudian menyebarkan perpecahan dalam islam. Ia pula yang pertama menuhankan Ali. Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi’ah tidak semua sahabat, menurut Syiah bersifat udul. Karena di dalam al-Qur’an juga diterangkan tentang keberadaan orang-orang munafiq di madinah, seperti dalam QS At-Taubah 101.
Artinya: “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui
160
Husein al-habsyi, Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah Islamiyah, (Malang: al-Kautsar, 1991), Hal 54.
mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”. 4. Penggunaan Hadits Sebagai Hujjah Di Kalangan Sunni Dan Syi’ah Dalam pandangan kaum Sunni, hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Bahkan dikatakan bahwa al-Qur’an tidak dapat berdiri sendiri tanpa hadits. Al-Auzai mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan hadits, dari pada hadits memerlukan al-Qur’an. Hal itu karena hadits berfungsi menjelaskan makna al-Qur’an. Pendapat ini cukup adil sebab memandang hadits sebagai penjelas al-Qur’an dan sisi lain subyek yang di kemukakan hadits hanya meliputi dan tidak pernah keluar atau menyimpang darinya. 161seorang muslim tidak mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunnah wajib diterima dan diterapkan, dan apa yang dinafikan oleh keduanya, wajib pula dinafikan dan ditolak. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Ahzab:36.162
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”. Imam Syafi’i sendiri berpendapat bahwa di dalam Syari’at kedudukan sunnah adalah seperti al-Qur’an. Apa yang ditetapkan oleh sunnah adalah seperti apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an, dan apa yang diharamkan oleh sunnah sama
161
Yusuf Qhardawi, Studi Kritis As-Sunnah, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), Hal 43. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, (Bogor: Pustaka atTaqwa, 2008), Hal 58.
162
seperti yang diharamkan oleh al-Qur’an. Sebabnya adalah karena keduanya berasal dari Allah Swt.163 Adapun hadits menurut Fuqaha’ imamiyah secara khusus, berdasarkan dalil kuat bagi mereka, bahwa perkataan imam yang ma’shum dari ahl al-Bait sama seperti perkataan Nabi Saw dan sebagai hujjah bagi manusia yang wajib di ikuti, dalam hal ini hadits mencakup ucapan setiap imam yang Ma’shum, perbuatan atau ketetapannya. Jadi hadits dalam istilah mereka adalah ucapan, perbuatan atau ketetapan imam yang Ma’shum. 164 Hal ini memberikan pengertian, bahwa para imam dari Ahl al-Bait bukan sebagai para periwayat dan penyampai hadits dari Nabi Saw agar ucapan mereka menjadi hujjah karena mereka Siqah dalam riwayat, tapi mereka diangkat Allah melalui Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan hukum-hukum Aktual, sehingga mereka tidak mengkhabarkan kecuali hukum-hukum aktual dari sisi Allah sebagaimana aslinya. Atas dasar ini, maka penjelasan mereka tentang hukum bukan sebagai bentuk riwayat dan pengkhabaran hadits, juga tidak termasuk ijtihad dalam pendapat dan istinbath dari sumber-sumber Syari’at. Karena perkataan mereka adalah hadits, dan bukan berita tentang hadits. Jadi hadits-hadits mereka adalah apa yang di riwayatkan oleh Ali, Hasan, dan Husein, dan imam-imam mereka yang dua belas. Mereka menolak hadits-hadits dari abu Bakar, Umar, dan Usman, terutama hadits yang di riwayatkan oleh sahabat dari Bani Umayah.165 Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl alBait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatan dari Nabi hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka “Tsiqah” dalam periwayatan. Mereka adalah orang-orang yang ditujuk oleh Allah Swt melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Swt apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham seperti Nabi melaui jalur wahyu, atau melaui periwayatan (imam) Ma’shum sebelumnya. Ibid, Hal 59. Ali Ahmad as-Sulus, Op. Cit, hal 123. 165 Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Putaka Tarbiyah, 1994), Hal 139. 163 164
Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa mereka kaum Syi’ah menjadikan seorang imam sebagai orang yang Ma’shum seperti Nabi Muhammad Saw. yang diutus Allah, dan sunnah adalah perkataan orang Ma’shum, perbuatan atau ketetapannya, baik Nabi Muhammmad Saw atau salah satu imam Syi’ah. Mereka menjadikan imam seperti Nabi Muhammad dalam menjelaskan al-Qur’an, dengan membatasi kemutlakannya dan mengkhususkan keumumannya. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat mereka melarang mengamalkan zahir alQur’an karena mereka tidak berpedoman dalam Syari’at kecuali dari para imam mereka.dan bahwa imam adalah sebagai sumber Syari’at secara mandiri. Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah Saw. C. KESIMPULAN Secara etimologi dan epistimologi definisi hadis menurut golongan Sunni mapun Syi’ah sangat jauh berbeda, Menurut golongan Sunni hadis ialah : sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa qauliyah (perkataan), Fi’liyah (perbuatan), Taqririyah (persetujuan),Sifat. Selanjutnya, golongan Syi’ah memberi definisi tersendiri mengenai hadis. Menurut golongan Syi’ah yang disebut sunnah atau hadis bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi. Meskipun definisi hadis menurut golongan Sunni maupun Syi’ah diatas sangat berbeda namun pada on the real-nya manusia dalam hidupnya membutuhkan hadits. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad: Bahwa umatnya tidak akan tersesat selama umat islam berpegang teguh kepada dua pegangan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah Perbedaan literatur hadis dikalangan Sunni mupun Syi’ah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik. Dimana, orang Syi’ah menyebutkan bahwa faktor tesebut merupakan bagina fundamental doktrin Syi’ah. Dalam perjalannan sejarahnya sekte ini telah menimbulkan kontrovesi berkepanjangan. Syi’ah memahami teks-teks hadis dengan standar ganda (double satndard). Misalnya (dalam hadis) perawi yang menjelaskan keutamaan Ali diterima, namun ditolaknya bila perawi yang sama memberitakan kelebihan sahabat yang lain.
Seolah periwayat hadis itu benar sekaligus salah (benar ketika memberitakan Ali, salah menginformasikan sisi positif sahabat yang lain). Sehingga perbedaan dasar epistimologis ini menciptakan dikotomi (perbedaan) Sunni dengan Syi’ah sejak berbad-abad yang tidak mudah dikompromikan hingga sampai pada saat sekarang. Dalam mengklasifikasi hadits, Nampak bahwa di kalangan mazhab Syi’ah terdapat perbedaan dengan kalangan Sunni. Dalam pandangan Sunni dari segi kualitasnya hadits terbagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. Sedangkan secara umum dalam pandangan Syi’ah, hadits terbagi menjadi empat yaitu hadits sahih, hadits hasan, hadits muwassaq, dan hadits dha’if. Istilah hadits muwassaq di gunakan atas priwayat yang rusak kaidahnya. Kedua kelompok sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Hanya saja masing-masing berbeda dalam menerima hadits yang dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum. Hal ini bersumber pada perbedaan mengenai ke’adalahan sahabat. Kaum sunni berpandangan bahwa semua sahabat adalah adil. Sehingga hadits yang diriwayatkan dapat diterima dan dijadikan hujjah oleh ummat islam. Sedangkan kaum Syi’ah berpandangan bahwa persahabatan dengan Nabi tidak dapat menjamin seseorang menjadi baik dan jujur. Sehingga memerlukan penelitian yang mendalam terhadap keadaan sahabat tersebut. Namun sebagian besar golongan Syi’ah, di antaranya golongan Ja’fariyah tidak menerima hadits selain dari para imam mereka. Mereka menganggap bahwa para sahabat adalah orang-orang yang fasik (terutama yang dianggap menentang Ali) bahkan sebagian mengkafirkan. D. DAFTAR RUJUKAN Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Putaka Tarbiyah, 1994. Al-Albani,
As-Syaikh,
Muhammad,
Nashiruddin.
Al-HaditsHujjatun
bi
nafsihifilAqaidwa Al Ahkam,Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait, 1400 H. Al-habsyi, Husein Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah Islamiyah, Malang: al-Kautsar, 1991.
Al-Musawi, Syarafuddin.Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah, Bandung : Mizan,1989. Al-qathan, Syaikh, Manna’.PengantarStudiIlmuHadits, Jakarta :Pustaka alkautsar,2009. Al-qathan, Syaikh, Manna’.StudiIlmu- Ilmuqur’an ,Jakarta : Pustakalitera antarnusa,2009. al-Qaththan, Manna, Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009. as-Salus, Ali Ahmad, Ensiklopedi Sunnah Syi’ah; Studi Perbandngan Hidits Dan Fikih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997. Aziz,
Mahmud.
danYunus,Mahmud.IlmuMusthalahHadis,
Jakarta
:
PT.
Hidakarya,1991. Baharun, Muhammad. Epistimologi antagonism syi’ah, Malang : Pustaka Bayan, 2004. Dhahir, Ihsan, Ilahi. Virus Syi’ah Sejarah Alienisme Sekte, Jakarta : Darul Falah, 2002. http://sites. Google.com/site/musthalahulhadits/home/hadits-perspektif-syiah. Imam as-Suyuthy, Al-Durr Al-Manthur“ juz 1. Indonesia,
Ahlu,
bait.
Syi’ah
Dan
Ilmu
Hadis,
diakses
di
http://ahlulbaitindonesia.org/index.php/pustaka/artikel-ilmiah/563-syiahdan-ilmu-hadis.html. Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, ,Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2008. Khaeruman,Badri.OtentisitasHadisStudiKritisAtasKajianHadisKontemporer, Bandung : PT. RemajaRosdakarya, 2004. Khalil, Rasyad, hasan.TarikhTasyri’ SejarahLegislasiHukum Islam, Jakarta :Amzah, 2009. Muhammad Jawadmagniyah, Asy-Syi’ahWa Al-Hakimun, Beirut : Ahliyah,1962. Qhardawi, Yusuf Studi Kritis As-Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995.
Dialektika Agama Dan Budaya Di Masyarakat Muslim M. Ma’ruf Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Budaya adalah hasil pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu yg sudah menjadi kebisaaan yang sukar diubah, sehingga mau gak mau akan terjadi dialektika agama Islam dengan budaya lokal yang menghasilkan produk budaya sintetis. Maka dari hal itu, merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa saja dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, dialektika antara agama dan kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Kata Kunci: Agama dan Budaya A. Pendahuluan Istilah culture (budaya) dalam studi antropologi, dibedakan dengan istilah civilization (peradaban). Secara etimologis makna culture atau kebudayaan berkaitan
dengan sesembahan (cult) yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”. Sedangkan, peradaban atau civilization berkaitan dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Apabila budaya adalah pengaruh agama terhadap diri manusia, maka peradaban adalah pengaruh akal pada alam166. Secara umum, dalam tipologi pemikiran Islam terdapat dua model pendekatan keagamaan, yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual. Adalah dua model pendekatan keagamaan yang tidak jarang menampakkan cara pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan yang berseberangan. Perbedaan cara pandang model keagamaan itu belum dijumpai secara holistic apa faktor sosio-historis dan antropologis yang melatarinya. Yang jelas kedua-duanya, tekstualis maupun kontekstualis sama-sama memiliki basis ideologi keagamaan senada, yaitu tauhid. Hanya saja, sumber sistem nilai dan cara pemahaman terhadap sistem nilai itu sendiri di antara keduanya acapkali terdapat perbedaan mendasar, yang satu terbatas pada sumber sistem nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan model pemahaman secara literalis, sementara yang satunya mengganggap bahwa sumber sistem nilai tidak terbatas pada al-Qur’an dan al-Hadits lebih dari itu mereka menjadikan lokal wisdom.Konteks sosioantropologis yang melingkupinya juga dianggap sebagai objek material yang senantiasa berkelinda dengan teks suci itu sendiri. Dampak cara pandang demikian sangat berpengaruh terhadap model pemaham tekstual terhadap sistem nilai itu sendiri. Inilah realitas sosial kondisi keberagamaan masyarakat muslim pada umumnya. Lebih jauh penulisan ini akan memperlihatkan proses dialektika antara agama dan budaya masyarakat Islam sebagai bentuk implementasi pola relasionalitas antara teks dan konteks yang dimaksud. B. Definisi Agama Dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai istilah “agama”, misalnya: agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, agama Budha dan lain sebagainya. Istilah agama tersebut tampaknya sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi apabila ada pertanyaan apa yang dimaksud dengan agama? Ternyata sulit
166
Alija Izebigovic, Membangun Jalan Tengah (Bandung: Mizan, 1992), hal. 71.
untuk menjawabnya, artinya tidak ada jawaban yang pasti yang dapat diterima oleh setiap orang. Di Indonesia, istilah “agama” seringkali disinonimkan dengan istilah “religi” dan “al din”. Mengenai pendapat ini ada yang setuju, dan ada pula yang tidak setuju. Sidi Gazalba dan Zainal Arifin Abbas menyatakan bahwa istilah agama, religi dan al din mempunyai arti yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Menurut Sidi Gazalba bahwa istilah al din lebih luas pengertiannya dari pada istilah agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi hubungan manusia dengan Tuhan saja, sedangkan al din berisi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan menurut Zainal Arifin Abbas, kata al din (memakai awalan al ta’rif) hanya ditujukan kepada Islam saja, bukan agama selain Islam.167 Pendapat yang menyatakan bahwa istilah agama, religi dan al din adalah sama dipelopori oleh H. Endang Saifuddin Anshari dan Faisal Ismail, dan sekaligus membantah pendapat yang perbedaan satu dengan lainnya. Menurut mereka agama merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sanskerta, religi berasal dari bahasa Eropa atau Inggris dan al din berasal dari bahasa Arab.168 Secara etimologis, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, masuk dalam perbendaharaan bahasa Melayu (Nusantara) yang dibawa oleh agama Hindu dan Budha. Mengenai pengertian dasarnya terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyatakan bahwa agama berasal dari kata a yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau atau kocar-kacir. Jadi, kata agama berarti tidak kacau atau tidak kocarkacir yang berarti teratur. Sehingga agama merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi manusia.169 Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa kata/ istilah “agama” berasal dari kata dasar gam yang mendapatkan awalan dan akhiran a, sehingga menjadi agama. Kata gam mempunyai arti yang sama dengan kata ga atau gaan (dalam bahasa Belanda), atau go (dalam bahasa Inggris) yang berarti pergi. Kemudian, setelah mendapatkan awalan dan akhiran a menjadi agama, maka artinya jalan. 167
. Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, Cet. I, 2005), 31. . Ibid., 31. 169 . ibid. 168
Maksudnya adalah jalan hidup, atau jalan lurus yang harus ditempuh oleh manusia sepanjang hidupnya, atau jalan yang menghubungkan antara sumber dan tujuan hidup manusia, atau juga berarti jalan yang menunjukkan dari mana, bagaimana dan mau ke mana tujuan hidup manusia ini.170 Kata religi, berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), sedangkan kata religi atau reiligion itu sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata relegere atau relegare. Kata relegere mempunyai pengertian dasar berhati-hati dan berpegang pada norma-norma atau aturan-aturan secara ketat. Dengan kata lain religi merupakan suatau keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma hidup yang harus dipegang dan dijaga dengan penuh perhatian, agar jangan sampai menyimpang dan lepas. Sedangkan kata relegare berarti mengikat, artinya adalah mengikatkan diri pada kekuatan gaib yang suci yang diyakini sebagai kekuatan yang menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga kata religi pada dasarnya mempunyai arti keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, yang menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia, yang dihadapi secara hati-hati dan aturan-aturannya yang harus diikuti secara ketat, agar tidak menyimpang dari kehendak yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib yang suci. 171 Sedangkan kata ( دينdin), berasal dari bahasa Arab, dari kata ( دانdan) yang berarti utang, yaitu sesuatu yang harus dipenuhi dan ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa Arab, kata دينberarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata دينdan دانdalam bahasa Arab tersebut menunjukkan pengertian dasar sebagai undang-undang atau hukum yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia. Mengabaikannya berarti utang yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman jika tidak ditunaikan.172 Pada dasarnya, dari definisi-definisi tersebut, mengenai agama, religi dan din dapat diambil pengertian yang sifatnya lebih umum yang meliputi arti dasar dari masing-masing istilah tersebut, yaitu bahwa agama merupakan jalan hidup atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam hidup dan perikehidupan di dunia yang berupa aturan-aturan, nilai dan norma yang mengatur kehidupan manusia, yang 170
. Ibid. . Ibid., 34. 172 . Ibid., 35. 171
dianggap sebagai kekuatan yang mutlak, gaib dan suci untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera. C. Definisi Budaya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya didefinisikan sebagai pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu yg sudah menjadi kebisaaan yang sukar diubah. Sedangkan, kebudayan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya173. Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa komponen wujud terbentuk dari tiga aspek, yaitu ide, gagasan, dan tingkah laku. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Ketujuh unsur ini saling berkolaborasi dalam penyusunan terbentuknya komponen isi. Sistem kebudayaan terdiri atas nilainilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil. Pola interaksi semacam ini dapat digambarkan dalam alur skema interaktif sebagai berikut174.
Nilai Budaya
173
Norma
Pola Pikir
Sikap
Tindakan
Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta : Balai Pustaka 174 Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hal. 110.
Nilai budaya berlaku dalam masyarakat, sementara norma itu sendiri lahir akibat adanya pola pikir. Pola pikir yang muncul dalam masyarakat akan membentuk sikap dan sikap akan menghasilkan tindakan atau perbuatan. Dalam wacana zaman kita, pemahaman tentang kebudayaan sudah jauh melampaui konotasi pengerjaan tanah belaka atau bahkan juga alam, dan semakin mencakup kesegalaan serta bahkan meraup segala kemungkinan yang berkenaan dengan eksistensi manusia. Pada tataran empiris kita sering berjumpa dengan istilah kebudayaan dengan makna cultivation dalam konteks seni dan apa yang disebut sebagai social graces atau juga body of artistic works, yaitu persis seperti yang dimaksudkan dalam malam kebudayaan atau pekan kebudayaan dan karya-karya seni rupa. Dalam antropologi kebudayaan istilah kebudayaan hendak lebih banyak menunjukkan kepada pengalaman dan gaya hidup yang dipelajari dan diakumulasi, diteruskan serta dikembangkan dan dengan begitu nyaris merujuk kepada perjalanan sejarah manusia175. D. Budaya Menurut Islam Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam 176: 1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam
175
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 176 http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo. 2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. 3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir. Peradaban dan kebudayaan Islam hanya akan tertegak bilamana tertegaknya hukum-hukum dan aturan-aturan Allah. Maka manusia yang bertaqwalah yang paling layak untuk membangunkannya. Hakikatnya, Rasulullah dan para sahabat ialah penegak peradaban Islam yang paling unggul karena manusia di masa itu adalah sebaik-baik manusia. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik manusia ialah mereka yang dikurunku, dan mereka yang mengiringi kurunku, dan mereka yang mengiringi kurun itu.”
Bahkan Allah SWT pun
memuji mereka dalam firman-Nya: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang
diutuskan kepada manusia, menyuruh manusia mengerjakan kebaikan dan mencegah mereka daripada melakukan kemungkaran.” 177 Karakter suatu budaya dalam kaitannya dengan sistem Islam dan melakukan interaksi timbal balik di dalamnya, dengan artian islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan budaya lokal di mana islam berada. Islam sebagai koridor aturan terciptanya suatu budaya 178.
E. Agama dan Budaya dalam Fakta Sosial Dialektika agama dan budaya di mata masyarakat muslim secara umum banyak melahirkan penilaian subjektif- pejorative. Sebagian bersemangat untuk menseterilkan agama dari kemungkinan akulturasi budaya setempat, sementara yang lain sibuk membangun pola dialektika antar keduanya. Keadaan yang demikian ini, berjalan secara bertahap, dari masa ke masa, yang jelas potret keberagamaan yang terjadi semakin menunjukkan suburnya pola akulturasi, bahkan sinkretisasi lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialektika antara agama dan budaya itu, dalam islam terlihat pada fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan dari tradisi Islam murni (high tradition) misalnya, melahirkan berbagai corak islam lokal, antara lain Islam Sunni, Islam Shi’i, Islam Mu’tazili, dan Islam Khawarij (low tradition). Dalam tradisi Islam Sunni di Indonesia, muncul Islam Sunni Muhammadiyah, Islam Sunni Nahdlatul al-Ulama’, Islam Sunni Persis, dan Islam Sunni al-Wasliyah. Lebih menyempit lagi, dari Islam Sunni NU, memanifestasi menjadi Islam Sunni-NU-Abangan, Islam Sunni-NU- Santri dan Islam Sunni-NU-Priyayi. Tidak menutup kemungkinan, akan tampil berbagai corak keberagamaan baru yang lainnya, yaitu Islam Ortodok, Islam Moderat, dan liberal. Warna-warni ekspresi keberagamaan sebagaimana dilihat di atas mengindikasikan bahwa sedemikian kuatnya tradisi lokal (low tradition) mempengaruhi karakter asli agama formalnya (high tradition), demikian juga sebaliknya. Saling mempengaruhi
177 178
http://bhupalaka.files.wordpress.com/2010/05/makalah-kel-7.docx Ibid
itulah dalam bahasa sosio-antropologinya dikenal dengan istilah proses dialektika agama dan budaya179. Sangat disayangkan bahwa para ahli agama dan peneliti teks-teksnya melupakan bahwa kenyataan beragama bukan hanya masalah aturan, teks atau normatif, akan tetapi hal ini sangat berkiatan erat dengan pemeluknya, yaitu masyarakat atau manusianya. Sehingga sangat sedikit sekali yang memperhatikan fenomena-fenomena keagamaan dan justru kemudian menarik kesimpulan begitu saja dan memberikan hukum tertentu, tanpa meneliti dan mengkaji lebih lanjut. Masyarakat dan budayanya terdapat banyak hal unik dan terkadang membuat kita terheran dan terkagum-kagum, bahwa dalam keberagaman ekspresi serta pluralitas dan kemajemukan warna masyarakat dalam memahami agama, menunjukkan nuansa daya tarik tersendiri dan merupakan misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Perlu disadari bahwasannya agama dan budaya akan selalu saling berkaitan, dan saling mempengaruhi. Meskipun kemudian ada berbagai macam pendapat mengenai hal ini. Ada yang dengan keras mengharuskan agama bersih dari hal-hal yang bersifat budaya setempat, dan ada juga yang mencoba untuk mendialogkan antara agama dan budaya. Sebuah kenyataan bahawa penyebaran Islam sendiri di Indonesia masih dalam tahap “proses”. Bahwa agama ini masuk ke Indonesia relatif paling belakang, dibandingkan dengan agama-agama sebelumnya yaitu agama hindu dan budha. Sebuah catatan sejarah mengatakan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad ke 15 M.180 Kapan sebenarnya Islam pertama kali datang di kepulauan Indonesia ini? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kita benar-benar tidak tahu mengenai hal ini. Meskipun pernah muncul dugaan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak lebih dari tujuh abad yang lalu dengan ditemukannya batu-batu nisan dengan tulisan Arab. Namun belum jelas apakah batu-batu nisan ini merupakan pertanda awal munculnya tempat pemukiman islam atau hanya menandakan tempat peristirahatan terakhir muslim-muslim asing; atau bahkan mungkin batu-batu nisan itu hanya batu pemberat yang dibuang oleh kapal-kapal dagang yang lewat. Yang jelas kerajaan Islam yang pertama kali muncul di Nusantara adalah kerajaan atau kesultanan Malaka. Raja 179
Roibin, Dialektika Agama dan Budaya (Studia Philosophia at Theologica), vol. 8, No. 2, Oktober 2008, hal.135 180 Moller, Andre. 2005. Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar. Jakarta: Penerbit Nalar, hal:26
Malaka itulah yang pertama berpindah agama menjadi muslim pada awal abad ke 15 M. Kemudian islam mulai menyebar setelah itu melalui rute perdagangan pesisir sumatra dan Jawa. Namun sebagian besar tanah jawa baru sepenuhnya terislamisasi pada abad ke 17 dan 18 M. Dalam beberapa hal Islamisasi malah terjadi jauh setelah itu. Konsolidasi berlanjut hingga abad ke 19 dan 20 M.181 Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa dalam contoh kasus diatas, sebuah fenomena dialektika antara agama Islam dan budaya merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan perlu dilihat dengan kejernihan mata. Sangatlah naif bila seseorang kemudian berpendapat, atau malah menfonis tanpa melihat seluruh aspek yang notabene sangat berkaitan dan takkan bisa terpisahkan itu. Yang pasti masyarakat sendiri masih dalam tahap menuju islamisasi secara menyeluruh. Ritualritual yang sering dilaksanakan di daerah-daerah dan desa-desa pedalaman akan dengan sedikit demi sedikit tergerus dan tergeser oleh waktu. Meskipun kemudian ada orang yang menyayangkan hal ini karena hal-hal tersebut di anggap sebagai warisan leluhur dan seolah kemudian menjadi identitas suatu masyarakat. Selanjutnya kita akan membahas dua contoh bagaiman keterkaitan, saling pengaruh mempengaruhi dan barangkali bisa disebut fusi antara agama Islam dan kebudayaan serta tradisi lokal. Meskipun pada kenyataanya hal ini jauh lebih kompleks dari apa yang bisa dijelaskan, dikarenakan kompleksitas dan dinamika yang statis. 1. Slametan Barangkali tidak ada yang lebih menarik bagi peneliti agama Jawa, melebihi daya tarik slametan. Sebagai buktinya hampir semua antropolog tidak pernah meninggalkan dalam penelitian mereka dalam ritus ini. Sehingga dianggap perlu untuk menyinggung sedikit masalah slametan sebagai contoh bagaimana agama dengan halus merasuki lini kehidupan masyarakat, dalam hal ini ritus tradisional yang dikenal dengan istilah slametan. Clifford Geertz adalah orang pertama yang mengusulkan slametan sebagai jantungnya agama Jawa. Dengan pernyataanya sebagai berikut : “dipusat keseluruhan sistem agama Jawa, terdapatlah suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan” Dan pernyataan ini kemudian 181
Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garailmu, hal: 34
dipertanyakan kembali oleh peneliti-peneliti selanjutnya seperti Andre Beatty, apakah slametan dalam bentuk ini benar-benar berada dipusat keseluruhan sistem agama Jawa; apakah memang ada keseluruhan sistem agama Jawa itu dalam kenyataan, dan hal ini masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.182 Dalam setiap langkah uraian Geertz mengaburkan isu tersebut dengan menempatkan deskripsinya dalam suatu bagian mengenai kepercayaan petani akan makhluk halus, salah satu dari tiga varian dalam sistem totalnya. 183 Pada umumnya slametan diawali dengan sambutan dari tuan rumah ataupun yang mewakilinya untuk menerangkan kepada hadirin tentang maksud dan tujuan diadakannya slametan tersebut, kemudian diiringi dengan doa untuk mengabulkan hajat sang tuan rumah dan dilengkapi dengan berbagai macam sesaji (meskipun hal ini sudah banyak mengalami perubahan dalam praktiknya di Jawa), makanan simbolik, dan pada ujung ritus ini para hadirin biasanya mendapatkan bungkusan makanan untuk dibawa pulang yang dikenal dengan nama berkat. Meskipun belakangan slametan menjadi isu yang sering diperbincangkan dan ditarik kesana kemari, namun ritus sederhana ini masih tetap eksis dan memiliki nuansa tersendiri bagi masyarakat. Sebuah tradisi yang penuh dengan makna simbolik. Peserta upacara slametan memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka sebagai makhluk sosial dan dalam pemahaman mengenai diri mereka sendiri sebagai orang jawa; mereka memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal. Namun totalitasnya memperdaya. Slametan berlangsung melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua orang setuju dengannya, akan tetapi hadirin secara perorangan belum tentu sepakat dengan maknanya; dan seandainya upacara ini menyatukan semua orang dalam pandangan
bersama mengenai
manusia, Tuhan dan dunia, maka upacara ini sesungguhnya tidak dapat mewakili pandangan siapapun secara khusus. Dengan komplesitas dan kerumitan ini, maka hendaknya slametan tidak hanya dikaji dari segi hukum normatif. Akan tetapi lebih jauh lagi sebagai fenomena sosial yang perlu kemudian dilihat dari segi humanis, sejarah dan budaya. 182
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,hal:54 183 Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Refleksi Budaya, hal:65
2. Wayang Wayang pada dasarnya adalah pertunjukan boneka yang pertumbuhannya sangat pesat di Jawa dan Bali. Tercatat bahwa wayang sudah ada sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 SM. Dan merupaka kesenian asli Indonesia yang mendapat pengakuan oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (masterpiece of oral and intangible heritage of humanity). Pada perkembangannya wayang dianggap sebagai sebuah tontonan sekaligus tuntunan yang sangat diminati masyarakat. Dan mampu menyedot perhatian masa dalam jumlah besar. Sehingga wayang dianggap menjadi wahana yang efektif dalam penyebaran agama.184 Para wali ditanah Jawa dengan halus mengarahkan kesenian in untuk menjadi media dakwah, dan tidak menghapus begitu saja kesenian ini. Akan tetapi mengupayakan agar tidak berlawanan dengan Islam. Sehingga banyak ditemui nilai-nilai Islam yang terkandung dalam wayang, yang kemudian ditransfer kepada penonton. Sederet penafsiran orang mengenai perangkat wayang yang kemudian di utak-atik agar sesuai dengan agama Islam. Istilah-istilah dalam pewayanganpun kemudian di gubah dan dimaknai dengan hal-hal yang islami (Jarwo dosok). Meskipun makna yang sesungguhnya masih tetap jauh dari itu. Hingga saat ini masih dapat kita saksikan, dan kita rasakan bagaimana pertunjukan wayang memiliki corak Islami. Dan menjadi media dakwah beberapa dalang. Salah satunya adalah Ki Entus Susmono, adalah seorang dalang yang terkadang dengan jelas menggunakan istilah-istilah atau menyebut tokoh-tokoh Islam dalam pertunjukannya. Bahkan terkadang menyitir beberapa hadits atau ayat Al-quran.185 Kalau kita lihat dari fenomena dialektika diatas dalam tradisi masyarakat muslim terdapat keunikan, inilah yang dianggap sebagai permasalahan menarik untuk dikaji. Inilah fakta empirik potret keberagamaan Islam, yang tanpa disadari terbagi
menjadi
dua
kecenderungan.
Kecenderungan
pertama
lebih
menggambarkan sebagai agama yang ada di masyarakat dan kecenderungan
184 185
Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garailmu,hal: 76 Susmono, Ki Enthus. 2008. Pagelaran Wayang dengan Judul: Bimo Kurdho, hal: 89
kedua, menggambarakan sebagai agaman didalam teks. Agama yang ada di masyarakat itu adakalanya tampil dengan ekspresi yang sangat unik dan varian. Keunikan itu terlihat terutama ketika mereka menganggap dan menyakini bahwa alam itu sebagai subjek, yaitu memiliki kekuatan, petuah, pengaruh dan sakral. Keyakinan itu pada gilirannya memanifestasi menjadi pratik mitos yang sangat subur dikalangan mereka. Sementara itu, agama teks senantiasa mengembalikan secara autentik keyakinan mereka kepada hal yang lebih abstrak, yaitu doktrin Allah berupa wahyu. Praktik keberagamaan seperti ini, dalam realitasnya sering mengundang perdebatan serius dikalangan masyarakat muslim. Sebagian komunitas mengatakan bahwa prilaku seperti ini adalah syirik, khurafat, tahayul, karena dalam prakteknya selalu menyakini adanya kekuatan selain dan diluar Tuhan. Kegiatan tersebut acapkali diklaim sebagai prilaku bid’ah karena prilaku spiritual yang demikian tidak ada landasan yang jelas dari Islam 186. Mereka berlandasan dengan dengan hadits Nabi SAW:
وشر األمور محدثاتها وكل بدعة ضاللة وكل ضاللة في النار “Dan perkara yang terburuk adalah pembaharuan-pembaharuannya dan setiap bi’ah adalah kesesatan.” (HR. an-Nasai). Dan komunitas ini seringkali disebut dengan kelompok muslim puritanis. Namun demikian, terdapat juga komunitas lain yang mematahkan pandangan di atas, yang mengatakan bahwa praktek seperti itu dianggap sah-sah saja dalam agama. Mereka berpendapat ungkapan Nabi “ وكل بدعة ضاللةDan setiap bi’ah adalah kesesatan” merupakan dasar agama yang masih universal atau umum dengan demikian hadits ini tertakhsish (terbatasi) dengan hadits ;
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “Siapa yang membuat pembaharuan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan darinya maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pembatas antara bid’ah dan tidak adalah kata; في أمرنا هذا ما ليس منه “pembaharuan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan darinya” . Bila
186
Roibin, Op Cit, hal:137
pembaharuan itu tidak berdalil atau tidak dibenarkan syara’ ,maka itulah bid’ah yang terlarang dan menyesatkan187. Keragaman ekspresi keagamaan di atas, banyak penilaian dari beberapa kalangan masyarakat baik dari komunitas masyarakrat muslim Kejawen itu sendiri maupun dari luar komunitasnya, pada hakikatnya di timbulkan adanya perbedaan cara pandang tentang pola relasi agama dan budaya. Sehingga, sebagian diantara mereka optimis bahwa islam akan lebih berkembang secara efektif dan lebih diterima dikalangan masyarakat. Sementara yang lainnya justru sebaliknya. Islam akan terkonteminasi dengan keruhnya budaya luar, dan secara perlahan akan menggeser keaslian dan keontentikan Islam itu sendiri sehingga agama Islam tinggal namanya saja 188. F. Epistemologi Dialektika antara Agama dan Budaya: Perspektif Para Antropolog Beberapa antropolog muslim maupun non muslim akan memahami bagaimana keterkaitan diantara agama dan budaya. Menurut Edward B. Tylor, dalam karyanya yang berjudul Primitive Culture mengatakan bahwa kognisi manusia dipenuhi dengan mentalitas agama, terbukti bahwa tema-tema kajian yang menjadi bahan perbincangan di antara mereka ketika itu adalah sifat asal-usul kepercayaan keagamaan, hubungan logis dan historis antara mitos, kosmos dan ritus. Hal yang senada juga di ungkapkan oleh Frazer, baginya agama adalah sistem kepercayaan, yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang189. Dalam literatur lain, Tylor lebih menegaskan bahwa agama manapun pada hakikatnya selalu mengajarkan kepercayaan terhadap spirit. Dengan kata lain agama mengajarkan kepercayaan terhadap pemberi inspirasi dalam kehidupan, baik melalui agama formal maupun non formal. Baginya keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan, yang membedakan adalah pengkonstruknya. Agama dengan seperangkat tata aturan ajarannya adalah hasil konstruk penciptanya , sementara
187
Forum Karya Ilmiah (FKI) TAHTA 2010, Menjawab Vonis Bid’ah, cetakan 1, Pustaka Gerbang Lama; Kediri, 2010, hal: 5-6 188 Roibin, Op Cit, hal. 138 189 Ibid, hal. 138
mitos adalah hasil kontruksi kognisi manusia. Jika melalui agama formal , maka seseorang harus menyakini konsepsi-konsepsi, kiasan-kiasan ajaran teks keagamaan masing-masing. Sementara jika melalui agama non formal maka seseorang dikonstruk untuk menyakini hasil imajinasi kognisi seseorang yang terkonsepsikan secara sistematis, filosofis, yang memiliki makna dalam realitas, yang disebut dengan mitos. Dia merasakan bahwa karakteristik semua agama, baik kecil maupun besar, kuno maupun modern, formal maupun non formal senantiasa mengajarkan kepercayaan kepada sepirit itu. Ia menyebut bahwa dalam agama telah terjadi hubungan intens antara ritual dan kepercayaan, antara ritual dan mitos. Keadaan inilah yang menyebabkan perjumpaan religi (agama), mitos dan magi dalam tataran empiris terjalin begitu kuat. Dengan demikian, mitos seringkali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari agama, sebab agama manapun dalam realitasnya senantiasa erat dengan praktik mitos itu. Sementara itu, menurut Peurson mitos juga berfungsi sebagai layaknya fungsi agama formal, yaitu sebagai alat pembenaran (pedoman) dari suatu peristiwa tertentu atau arah bagi kelompok pendukungnya, selain
juga
menjadi
alat
legitimasi
kekuasaan
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Selanjutnya Jamhari menambahkan bahwa mayoritas agama senantiasa memuat eksplanasi mitos, utamanya dalam asal mula jagad raya, kelahiran, penciptaan, kematian dan disintegrasi serta berbagai persoalan yang mengarah kepada Choas (ketidakteraturan). Sekalipun demikian kuatnya pola relasi agama dan mitos dalam faktanya ia tetap kurang memperoleh respon positif dari komunitas Islam puritanis190. Sementara itu, perspektif Clifford Geert, bahwa agama adalah sistem kebudayaan. Sementara kebudayaan, dalam pandangan Geertz didefinisikan sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, petunjuk-petunjuk, yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dengan demikian juga dilihat pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan ekspresi manusia. Karena itu, Geertz kemudian memahami agama tidak saja
190
Ibid, hal. 138-140
sebagai seperangkat nilai di luar manusia, tapi juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan191. Sebagai sistem pengetahuan, agama merupakan sistem keyakinan yang sarat dengan ajaran-ajaran moral dan petunjuk kehidupan yang harus dipelajari, ditelaah, dan kemudian dipraktekkan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam hal ini, agama memberikan petunjuk mengenai yang baik dan buruk, yang pantas dan tidak pantas, dan yang tepat dan tidak tepat. Nilai-nilai agama dapat membentuk dan mengkonstrukkan perilaku manusia dalam kesehariaanya. Sementara agama sebagai sistem simbol, dalam agama terdapat simbolsimbol tertentu untuk mengaktualisasikan ajaran agama yang dipeluknya. Baik simbol-simbol dimaksud berupa perbuatan, kata-kata, benda, sastra dan sebagainya. Sujud
misalnya,
merupakan
sebentuk
simbolisasi
atas
kepasrahan
dan
penghambaan penganutnya pada pencipta. Sujud merupakan simbol totalitas kepasrahan hamba, dan pengakuan secara sadar akan kemaha besaran Allah. Dalam hal ini, sujud yang terdapat dalam shalat merupakan bagian dari ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat beragama192. Tidak hanya dari kalangan antropolong, dari kalangan Islamolog yang menaruh respon pemahaman agama secara konstektual dan liberal, juga memiliki pemahaman serupa, bahwa agama yang tampil di tengah kehidupan masyarakat (keberagamaan) akan senantiasa beradaptasi dengan zamannya. Ia tidak lagi merupakan repsentasi wahyu murni yang terpisah dari subjektifitas penafsiran manusia. Melainkan ia telah menyatu dan bersinergi dengan kehidupan manusia yang plural. Dengan demikian, praktik keberagamaan di masyarakat merupakan hasil perjumpaan kompromistik antara ajaran Tuhan dan penalaran subjektif manusia yang disebut mitos. Logika itu bisa dialustrasikan bahwa pada saat kita menyakini kebenaran hasil tafsir ulama’ tertentu, berarti kita telah menyakini mitos dari mufasir tertentu pula. Tafsir bukanlah murni wahyu Tuhan melainkan di dalamnya telah terdapat perpaduaan pandangaan yaitu pandangan pencipta yang
191
Paisun,”Dinamika Islam Kultural (Studi atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura)” dalam Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Vol. 10, Banjarmasin, 1 – 4 November 2010, hal: 225 192 Ibid, hal:225
melekat pada maksud teks tersebut dengan pandangan manusia terhadap ajaran teks193. Metodologis pemahaman keagamaan Fazlur Rahman “bahwa agama dianggap sebagai tindakan untuk mengikuti shara’ yang subjeknya adalah manusia”. Pandangan Fazlur Rahman ini mengandung pengertian bahwa agama adalah tindakan manusia yang sangat subjektif untuk mengikuti shara’. Dengan kata lain agama adalah hasil dialektika kompromistik dari wahyu dan pengalaman subjektifitas manusia. Dinamika pemikiran Fazlur Rahman tersebut, bukan serta merta muncul begitu saja. Pandangan demikian muncul, karena sejak awal cara pemahaman keagamaan Rahman lebih humanis. Konsep teologinya cenderung diletakkan dan dipahami dalam kerangka kepentingan humanis. Keprihatinan Rahman bukan semata-mata diarahkan keprihatinan vertical, tetapi lebih dialamatkan pada tataran moral horizontal. Agama bagi Rahman sesuai dengan konteks zamannya, lebih bersifat liberal, fungsional dan applicable (terpakai) dalam menagani persoalan kemanusiaan secara riil, sekalipun aspek ontetisitas agama juga tetap ia pertahankan194. Karena itu, agama oleh para Ilmuwan muslim yang berbasis ilmu-ilmu antropologi tidak jarang dianggap sebagian dari sistem budaya (sistem kognisi). Selain agama di anggap sebagai sumber nilai (sistem nilai) yang tetap harus dipertahankan aspek ontensitasnya. Di satu sisi agama dalam perspektif ini, dipahami sebagai hasil dari tindakan manusia baik berupa budaya maupun peradaban. Pada sisi lain agama tampil sebagai sumber nilai yang mengarahkan bagaimana manusia berprilaku. Demikian juga M. Arkoun mengatakan bahwa islam dengan huruf I besar selalu disertai dengan Islam dengan huruf I kecil 195. Sebagaimana yang dipahamami oleh para ilmuwan di atas, bahwa antara kebudayaan dan agama, masing-masing mempunyai simbol-simbol dan nilai tersendiri. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang 193
Roibin,Op Cit, hal. 140 Ibid, hal.141 195 Ibid, hal. 141-142 194
final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat 196. Namun cara pemahaman keagamaan seperti ini berserta implikasinya dalam masyarakat selalu dapat komentar yang pedas dari komunitas muslim yang beraliran berbeda, tidak jarang pola pemahaman seperti ini dianggap sebagai kelompok sempalan islam. Lebih dari itu mereka dianggap telah mempermainkan agama dan tidak layak menyandang Islam sebagai agamanya. Ada yang lebih ekstrim lagi bahwa mereka telah keluar agama Islam (murtad). Padahal Islam secara umum adalah sebagai pedoman hidup yang mengarahkan dan mengajarkan kehidupan manusia untuk mengenal, menyadari dan mengakui akan siapa yang menciptakan dirinya, dan untuk apa dirinya diciptakan. Sementara mereka mengklaim akan dirinya yang paling lurus, suci, dan yang lain kafir, itu selalu saja terjadi di antara kelompok muslim. G. Dimensi Teologis dan Antropologis Ajaran Langit Dan Ajaran Bumi Klaim-klaim kebenaran tersebut di atas, pada hakikatnya bertumpu dari akar pemahaman mengapa manusia diciptakan dan untuk apa diciptakan. Secara normatifteologis, al-Quran menjelaskan alasan mengapa Allah menciptakan alam semesta, utamanya langit dan bumi serta yang mengantarainya. Sebagai berikut :
“Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main”. (QS. al-Anbiya’ : 16)
196
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hal: 196.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.(QS.al-Imron : 190-191).
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS. Luqman:13)
............... “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (an-Nisa’ : 36) Menurut pandangan Ibnu ‘arabi, bahwa tujuan Allah menciptakan manusia tidak lebih sebagai upaya penampakan atas sifat-sifat-Nya (tajalli ilahi). Penciptaannya memancar bukan dari ketiadaan, melainkan
dari sesuatu yang
berbeda dari dirinya sendiri, dari sesuatu bukan Dia, melainkan dari wujud fundamentalnya, dari potensi-potensi yang tersembunyi dalam wujudnya sendiri. 197 Dengan kata lain, tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah agar ia memiliki kesadaran yang tinggi, kesadaran untuk selalu meneladani sifat-sifat mulia Allah. Kesadaran yang membentuk keyakinan manusia kosisten, terikat, dan tidak bisa dibelokkan keyakinannya kepada benda-benda lain selain kepada Allah, lebihlebih kepada sesamanya maupun makhluq lain yang lebih rendah derajatnya. Meskipun demikian idealnya, ikatan keyakinan yang mengkonstruk hubungan antara manusia dengan Tuhannya, namun dalam tataran praksis (perilaku sosial 197
Roibin, Dialektika Agama dan Budaya (Studia Philosophia at Theologica), vol. 8, No. 2, Oktober 2008, hal.143
keberagamaan), keragaman dan pasang surut keyakinan manusia itu selalu terjadi. Keragaman keyakinan itu misalnya, manusia beragama dengan cara primitif, klasik, dan ada kalanya pula dengan cara modern.. 198 Sehubungan dengan teori diatas, keyakinan manusia yang mengarah kepada praktek
mempersonifikasikan
alam
sebagai
Tuhan
(mitologi
alam),
mempersonifikasikan roh-roh leluhur sebagai Tuhan (animisme), maupun meyakini benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis( dinamisme), tidaklah bisa dihindari lagi, bahkan secara kuantitatif keyakinan mereka yang mengarah kepada praktik dinamisme dan animisme itu tidak menutup kemungkinan lebih dominan. Sekalipun dalam keyakinan mereka yang paling dalam tetap mengatakan bahwa perilaku ini tidaklah berarti politeisme atau syirik, karena adanya Tuhan Yang Esa. Oleh sebab itu, bisa saja manusia
menyembah benda-beda hidup, tetumbuhan,
berhala, Tuhan yang ghaib, seorang manusia yang kudus, atau suatu karakter yang jahat. Manusia bisa menyembah apa saja yang mereka miliki, namun dalam batin mereka tetap mampu membedakan keyakinan-keyakinan relegius itu dari yang bukan relegius. Dalam konteks yang sama Muhammad Iqbal mengatakan bahwa dorongan manusia untuk menyembah Tuhan merupaka suatu keniscayaan yang pasti. Mayoritas manusia, baik terus menerus maupun sesekali aja, selalu mengikutsertakan acuan kearah ideal itu di dalam dadanya. Orang buangan yang paling hina sekalipun dapat merasakan dirinya nyata dan sahih dengan perangkat pengenalan terhadap yang lebih agung dan tinggi ini199. Keragaman keyakinan manusia sebagaimana di atas telah menunjukkan bahwa kebutuhan manusia terhadap fitrah agama tidaklah bisa dipungkiri, sebab fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya hal tersebut. sekalipun dalam faktanya keimanan pada diri manusia itu mengalami pasang surut, atau yazid wa yangqus (bertambah dan berkurang). H. Penutup
198 199
Ibid, hal. 144 Ibid, hal. 144-145
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa saja dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berbagai tampilan dari ekspresi keagamaan di tengah-tengah masyarakat muslim Jawa dalam berbagai bentuknya adalah bukti nyata adanya dialektika Islam dengan budaya khususnya pada aspek formal dari budaya, sedangkan aspek material diubah dengan semangat/ajaran Islam. Hanya saja pada momen terjadi tarik menarik antara keduanya sehingga akan menandai karakteristik keagamaan pada pemeluknya. Ada kalanya mereka menjadi sangat tekstualis, ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, secara ilmiah kita tidak bisa memberi penilaian secara umum mengenai karakteristik keagamaan seseorang tertentu dengan penilaian secara mutlak. Karena pada hakikatnya mereka itu, adalah makhluq subjektif sekaligus objektif, fenomenologik maupun positivistic 200. Dengan demikian, dialektika antara agama dan kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. DAFTAR PUSTAKA Alija Izebigovic. 1992. Membangun Jalan Tengah. Bandung: Mizan. Muhaimin dkk.2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Cetakan 1. Jakarta: Prenada Media. Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta : Balai Pustaka. Simuh. 1995. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
200
Roibin, Dialektika Agama dan Budaya (Studia Philosophia at Theologica), vol. 8, No. 2, Oktober 2008, hal.145
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Roibin. 2008. Dialektika Agama dan Budaya (Studia Philosophia at Theologica). vol. 8, No. 2. Oktober. Forum Karya Ilmiah (FKI) TAHTA. 2010, Menjawab Vonis Bid’ah, cetakan 1, Pustaka Gerbang Lama; Kediri. Moller, Andre. 2005. Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar. Jakarta: Penerbit Nalar. Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garailmu. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Refleksi Budaya. Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garailmu. Susmono, Ki Enthus. 2008. Pagelaran Wayang dengan Judul: Bimo Kurdho. Paisun. 2010. Dinamika Islam Kultural (Studi atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura) dalam Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Vol. 10, Banjarmasin, 1 – 4 November . Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid, Essai-essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan. http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/. http://bhupalaka.files.wordpress.com/2010/05/makalah-kel-7.docx.
KONTRIBUSI KH. IMAM ZARKASYI DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (PESANTREN)
Mohammad Aufin Dosen STKIP PGRI Pasuruan Abstrak Pondok pesantren dalam wacana ke-Islaman adalah institusi yang tumbuh sebagai perwujudan dari strategi ummat Islam201 untuk mempertahankan eksistensinya Lihat Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam. Hal.212. bahwa pesantren tumbuh dengan murid-muridnya yang tinggal di pondok pesantren itu bermacam-macam sebagai satu keluarga dibawah pimpinan gurunya. Mereka belajar hidup sendiri, mencuci sendiri dan mengurus hal ikhwalnya sendiri. Bahan-
201
terhadap pengaruh penjajahan barat dan atau akibat surau atau langgar atau masjid tempat di selenggarakannya pendidikan agama yang tidak lagi dapat menampung jumlah anak-anak yang ingin mengaji. Disamping itu juga didorong oleh keinginan untuk lebih mengintensifkan pendidikan agama pada anak-anak. Sesuai dengan namanya, maka pondok berarti tempat menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengaji agama Islam. Jadi pondok pesantren adalah tempat murid-murid (santri) mengaji agama Islam dan sekaligus di asramakan ditempat itu. Hasil analisis yang dapat diungkapkan dalam pemikiran pendidikan Islam oleh KH. Imam Zarkasyi, ini : Pertama, beliau telah meletakkan pesantren atau pendidikan Islam dalam garis modernisasi. Kedua, pesantren yang telah lama dikenal sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam murni Indonesia telah memiliki peran yang cukup signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, KH. Imam Zarkasyi telah mengikuti arus besar masyarakat yang memandang bahwa pesantren/pendidikan Islam harus menempatkan akhlak yang baik yang merupakan tujuan seseorang menuju puncak dan penjelajahan spiritual. Keempat, harapan masyarakat yang cukup tinggi atas perjalanan pesantren sebagai agen perubahan masyarakat (agent of social change) untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dan beretika. Kelima, konsep panca jiwa pondok maupun bidang pengembangan yang bersifat aplikatif. Kata Kunci : Imam Zarkasyi, Pendidikan Islam. A. Pendahuluan Buku yang berjudul Pembaruan Pesantren karya : Abd. A’la, terbitan Pustaka Pesantren (kelompok penerbit LKiS) Yogyakarta tahun 2006 adalah sebuah karya ilmiah yang sangat berbobot dibidang pembaruan pesantren dan kaitannya dengan pembaharuan pemikiran keagamaan202. Buku ini merupakan suatu lompatan untuk menyerukan kaji ulang terhadap khazanah masa lalu secara kritis sekaligus sebuah keniscayaan untuk merespons tantangan-tantangan kekinian secara cerdas dan brilian. Pesantren tak bisa lagi berdiam diri seolah apa yang dikembangkan hingga kini akan
bahan keperluan hidup seperti beras dan sebagainya mereka bawa dari kampung sendiri. Murid-murid besar dan kecil duduk melingkar (halakah) mengelilingi pak kyai. Mereka menerima pelajaran yang sama. Tiada dirancang sebuah kurikulum tertentu berdasarkan umur, lama belajar, atau tingkat pengetahuan. Terserahlah kepada murid untuk memilih bidang pengetahuan apa yang akan mereka pelajari dan pada tingkat pelajaran mana mereka ingin memulai. 202 Lihat - Abd. A’la, 2006. Pembaruan Pesantren. Pustaka Pesantren-LkiS, Yogyakarta. h.xii.
terus relevan sepanjang zaman. Tak ada satu pun alasan bagi pesantren untuk hanya “mempertahankan masa lalu” tanpa “memikirkan masa depan”. Penulis melakukan himbauan secara tegas agar insan-insan pesantren berani melakukan pembacaan ulang khazanah masa lalu yang selama ini sudah dianggap mapan dengan metode-metode baru di luar pesantren. Pesantren bukanlah museum purba tempat dimana benda-benda unik dan kuno disimpan dan dilestarikan. Juga bukan penjara di mana tindakan dan pikiran dikontrol dan dikendalikan habis-habisan. Tetapi pesantren adalah “laboratorium” tempat segala jenis dan aliran pemikiran dikaji dan diuji ulang. Di dalamnya tak ada lagi yang perlu ditabukan, apalagi dikuduskan. Semuanya terbuka untuk diragukan dan dipertanyakan. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren memang telah mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Pada suatu waktu, hegemoni negara yang begitu kuat membuat dunia pesantren kelimpungan dalam mempertahankan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berpotensi besar untuk menjadi pendidikan keagamaan alternatif. Pesantren lalu kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan kemandirian, kesederhanaan dan keikhlasan. Pesantren mulai tergerus nilai-nilai pragmatisme dan sejenisnya. Pengantar redaksi buku itu juga memberikan catatan bahwa dunia pesantren tidak bisa hanya mempertahankan tradisi 203 lama belaka. Sebab tradisi lama itu tak mesti relevan untuk kekinian kita. Tak mungkin bisa disangkal, pada puncak kejayaannya, para pemikir Islam telah berhasil mengukir prestasi cemerlang di berbagai bidang pemikiran, namun generasi sekarang (terutama insan-insan pesantren) tak bisa terus menerus “bermakmum” kepada mereka. Mereka para pemikir-pemikir itu adalah anak zaman yang sudah mencurahkan daya ciptanya untuk memberikan pencerahan zaman mereka. Jarak waktu yang terlalu jauh antara pewaris pencerahan pemikiran Islam dengan masa sekarang, sudah menyimpan problemnya sendiri, belum lagi ditambah kompleksitas pemikiran di masa lalu dan sekarang. Dan dalam rangka “mengambil hal terbaru yang lebih baik” adalah memecahkan secara cerdas problem kekinian kita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Tak bisa disangkal lagi 203
Abd. A’la, Pembaruan Pesantren. Hal. 23 bahwa kekayaan yang dimiliki pesantren itu yaitu tradisi
(turats/al-qadim al-shalih). Sebagai landasan keilmuan pesantren hendaknya menjadi bingkai keislaman yang kekinian.
bahwa modernitas telah menawarkan banyak hal untuk dipikirkan dan direnungkan, terutama bagi insan-insan pesantren sendiri. Pada lapisan luarnya, teknologi modern muncul sebagai buah manis yang bisa di nikmati siapa saja dari berbagai belahan dunia. Pada lapisan dalamnya, berupa paradigma dan pandangan dunia, modernitas juga telah merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia. Dalam konteks ini, pilihan terbaiknya bagi insan-insan pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Karena dari dialog sehat itu diharapkan akan muncul sintesis-sintesis baru yang lebih segar dan menggairahkan. Islam sebagai agama yang selalu diyakini akan membawa misi rahmat bagi seluruh alam, memerlukan sarana untuk menerapkannya secara efektif dan efisien. Sarana tersebut salah satunya adalah pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang diterapkan harus bertolak dari kerangka dan visi ajaran Islam itu sendiri. Dengan dasar ini, maka seluruh aspek yang terkait dengan pendidikan, mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode dan lain sebagainya harus tetap didasarkan pada misi ajaran Islam tersebut.
Dalam
perjalanannya
yang
cukup
panjang,
ummat
Islam
telah
mengembangkan kegiatan pendidikannya mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Dari upaya ini telah banyak dilahirkan para ilmuwan ensiklopedik yang karyakaryanya masih dapat kita jumpai hingga sekarang dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama dengan berbagai cabangnya. Lahirnya para ilmuwan yang demikian, sudah dapat dipastikan karena adanya konsep dan sistem pendidikan yang beroperasi didalamnya, secara khusus pendidikan Islam (pesantren). Pondok pesantren dalam wacana ke-Islaman adalah institusi yang tumbuh sebagai perwujudan dari strategi ummat Islam204 untuk mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan barat dan atau akibat surau atau langgar atau masjid tempat di selenggarakannya pendidikan agama yang tidak lagi dapat menampung Lihat Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam. Hal.212. bahwa pesantren tumbuh dengan murid-muridnya yang tinggal di pondok pesantren itu bermacam-macam sebagai satu keluarga dibawah pimpinan gurunya. Mereka belajar hidup sendiri, mencuci sendiri dan mengurus hal ikhwalnya sendiri. Bahanbahan keperluan hidup seperti beras dan sebagainya mereka bawa dari kampung sendiri. Murid-murid besar dan kecil duduk melingkar (halakah) mengelilingi pak kyai. Mereka menerima pelajaran yang sama. Tiada dirancang sebuah kurikulum tertentu berdasarkan umur, lama belajar, atau tingkat pengetahuan. Terserahlah kepada murid untuk memilih bidang pengetahuan apa yang akan mereka pelajari dan pada tingkat pelajaran mana mereka ingin memulai.
204
jumlah anak-anak yang ingin mengaji. Disamping itu juga didorong oleh keinginan untuk lebih mengintensifkan pendidikan agama pada anak-anak. Sesuai dengan namanya, maka pondok berarti tempat menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengaji agama Islam. Jadi pondok pesantren adalah tempat murid-murid (santri) mengaji agama Islam dan sekaligus di asramakan ditempat itu. B. Karakteristik Nilai-Nilai Dalam Pesantren Pesantren sebagai salah satu sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat tradisional telah mampu membentuk suatu sub-kultur, yang secara sosiologi dikatakan sebagai masyarakat pesantren. Artinya apa yang disebut pesantren bukan semata-mata berwujud fisik tempat belajar agama dengan perangkat bangunan, kitab kuning, santri dan kiainya. Akan tetapi juga mencakup masyarakat dalam pengertian luas yang tinggal di sekelilingnya dan membentuk pola kehidupan budaya, sosial, dan keagamaan yang pola-polanya kurang lebih sama dengan yang dikembangkan dalam pesantren. Kebudayaan masyarakat sekitar pesantren tidak bisa dibantah memang dipengaruhi dan diderivasi dari pesantren. Dalam konteks ini. Masyarakat sekitar juga menjadi bagian dalam dari masyarakat pesantren. Kultur sosial yang mewarnai kehidupan pergaulan sosial yang berjalan dilingkungan pesantren cenderung lebih bersifat kolektif. Barangkali tradisi kolektivitas dalam komunitas pesantren merupakan cerminan dari semangat dan tradisi dan lembaga gotong royong yang umum terdapat di pedesaan. Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwwah (persaudaraan), ta’awun (kerjasama), jihad (berjuang), taat, sederhana, mandiri, ikhlas, tawadlu’ (rendah hati), dan berbagai nilai eksplisit dari ajaran Islam lain yang mentradisi dipesantren ikut mendukung kelestariannya. Nilai-nilai kepribadian ini memenuhi etika hidup para santri dan menjadi kata kunci dalam pendidikan kepribadian di kebanyakan pesantren205. Kehidupan santri (murid) di pondok pesantren bersifat komunalistik, dimana tata pergaulan di antara para santri tidak tersekat oleh tradisi kehidupan yang individualistik. 205
Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, 1982. Dalam Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, bahwa dalam lembaga pesantren selalu sarat dengan nilai-nilai moral yang merepresentasikan kezuhudan, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, dan mengedepankan kejujuran. Nilai-nilai moral tersebut selalu menjadi dasar dan yang akan mengantarkan pesantren pada upaya penggalian dan pengembangan nilai-nilai moralitas yang sejalan dengan pandangan dasar itu. Dan nilai-nilai tersebut diupayakan dapat dipelihara dan dilestarikan melalui tradisi keilmuannya yang integral.
Kehidupan komunalistik di pesantren yang tampak misalnya dalam kebiasaan makan dan minum bersama, tidur dan belajar bersama merupakan tindakan yang membentuk ikatan-ikatan sosial dimana pengaruh terhadap masing-masing individu sangat kuat. Corak kehidupan sosial para santri merupakan representasi dari gejala umum pesantren di Indonesia. Beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas pesantren adalah : adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyai dikarenakan mereka tinggal dalam pondok, tunduknya santri kepada kyai, hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan pesantren, semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara dikalangan santri, jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai tata pergaulan di pondok pesantren, kehidupan berdisiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pesantren, berani menderita untuk mencapai suatu tujuan menjadi salah satu tujuan pendidikan pesantren dan benar-benar mempraktikkan kehidupan beragama. Meminjam istilah Kuntowijoyo (dalam Zubaidi, 2007), kunci kebudayaan dalam komunitas pesantren ialah kelestarian dan pewarisan, masih sedikit sekali yang bercorak inovatif dan adaptif. Kebudayaan Islam yang berkembang dalam komunitas pesantren tak jauh beda dengan komunitas pesantren di daerah-daerah lain yaitu kebudayaan desa yang homogen, kebudayaan petani yang menetap, memiliki tradisi kecil (low tradition) yang universal dan berpola masyarakat petani (peasant society). Hal lain yang merupakan modalitas sosial yang dimiliki oleh komunitas pesantren adalah eratnya jalinan antara para santri maupun antara pesantren dengan alumni. Sejumlah santri tetap berhubungan dengan pesantren, sekalipun telah lama meninggalkan masa pendidikan formal di pesantren. Komunitas pesantren secara umum memegangi Islam Ahlussunah wal-Jama’ah. Dibidang fiqih, mereka menganut madzhab empat, : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dibidang kalam menganut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah dan bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Komunitas pesantren berpegang pada madzhab berarti mereka berpegang teguh pada produk hukum Islam (fiqih) dari empat mujtahid: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Meskipun dalam kenyataannya dianggap sebagai penganut fanatik Syafi’i. Dalam realitasnya sekarang, melihat derasnya laju modernisasi mau tidak mau telah mengharuskan komunitas pesantren untuk mau merespons secara proporsional. Secara umum, ada setidaknya dua pola sikap pesantren menghadapi arus modernisme, Pertama, menolak secara total, sikap ini dibuktikan dengan menutup diri secara total
terhadap modernisme, baik pola pikir maupun sistem pendidikan dengan cara menjaga otentisitas tradisi dan nilai pesantren secara ketat, baik dalam bentuk simbol maupun substansi. Pesantren-pesantren pola ini tidak memasukkan pelajaran umum dan tetap menggunakan pola bandongan, sorogan, dan wetonan dalam metode pendidikannya. Kedua, mayoritas pesantren menerima modernisme secara selektif. Pada pola ini ada proses kreatif dari kalangan pesantren dalam menerima modernisme, yaitu menerima sebagian modernisme kemudian dipadu dengan tradisi pesantren. Pesantren dengan pola ini disatu pihak menerapkan metode modern dalam sistem pengajaran dengan memasukkan referensi-referensi pengetahuan umum dalam pendidikan, namun dipihak lain tetap menerapkan kitab-kitab klasik dengan pola pengajaran ala pesantren. Secara umum pula, bahwa tradisi fiqih yang berkembang di pesantren-pesantren di Indonesia selalu bersifat Syafi’i minded. Mereka ada kecenderungan berlebihan terhadap madzhab Syafi’i disamping terlalu tekstual. Fiqih yang digunakan masih lurus sebanding dengan fiqih yang hidup dan bergulat dengan persoalan abad pertengahan. Sementara Ilmu Ushul Fiqih selama ini belum dimanfaatkan secara sungguh-sungguh sebagai perangkat metodologi untuk memproduksi fiqih. Usul fiqih sebagai sarana pemunculan fiqih telah kehilangan perannya. Ushul fiqih tidak sungguh-sungguh di dalami untuk difungsikan buat memproduksi fiqih baru yang lebih relevan dengan tingkat perubahan manusia. C. Pesantren Sebagai Alternatif Pendidikan Islam Tak bisa dipungkiri bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan suatu realitas dalam khazanah ke-Islaman dan ke-Indonesian. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, Abd. A’la206 mengatakan bahwa pesantren terus menekuni pendidikannya dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren juga telah menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi Islam di negeri ini. Sungguhpun demikian, pesantren tak dapat berbangga hati dan puas dengan sekedar mampu bertahan atau terhadap sumbangan yang diberikan dimasa lalu. Signifikansi pesantren bukan hanya terletak pada dua hal tersebut, namun pada 206
Abd. A’la, Pembaruan Pesantren. Hal. 26.
kontribusinya yang nyata bagi ummat Islam, secara khusus dan masyarakat secara luas, dimasa kini dan mendatang. Abd. A’la207 juga mengatakan bahwa hampir dapat disepakati, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa. Dimana munculnya pesantren di Jawa bersamaan dengan kedatangan para wali sanga yang menyebarkan Islam didaerahnya masing-masing. Dalam catatan sejarah, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Pola tersebut kemudian dikembangkan dan dilanjutkan oleh para wali yang lainnya. Salah satu kelebihan dari model pendidikan yang dikembangkan para wali sanga itu terletak pada pola pendekatannya yang didasarkan pada segala sesuatu yang sudah akrab dengan masyarakat dan merupakan perpaduan antara aspek teoritis dan praktis. Misalnya, Sunan Giri menggunakan pendekatan permainan untuk mengajarkan pendidikan Islam kepada anak-anak, Sunan Kudus menggunakan dongeng, Sunan Kalijaga mengajarkan nilai-nilai Islam melalui wayang kulit dan Sunan Drajat mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam melalui keterlibatan langsung dalam rangka menangani kesengsaraan yang dialami masyarakat disekitarnya. Sebagai sebuah institusi Pendidikan Islam, hingga kini memang masih menekankan pada nilai-nilai yang dianutnya seperti kemandirian, kesederhanaan, dan keikhlasan. Nilai-nilai dasar ini telah dibingkai dengan paradigma yang sangat menekankan kepada apresiasi terhadap segala tradisi yang baik sekaligus akomodatif terhadap bentuk-bentuk reformasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Nilai-nilai yang cukup strategis di dunia pesantren itu pada prinsipnya merupakan nilai-nilai keagamaan otentik yang memiliki benang merah kuat dengan kesejarahan ummat dan normativitas Islam itu sendiri. Kehadiran pesantren sebagai alternatif dalam pendidikan Islam telah mampu memberikan sumbangan penting dalam proses transmisi ilmu-ilmu ke-Islaman, menghasilkan ulama’, pemeliharaan ilmu-ilmu dan tradisi Islam serta pembentukan dan ekspansi masyarakat muslim baik secara sosiologis yang kuantitatif dan kualitatif menggerakkan dinamika keummatan. D. Lebih Dekat Dengan KH. Imam Zarkasyi Imam Zarkasyi, terlahir dari keluarga yang taat beribadah, di Gontor PonorogoJawa Timur pada 21 Maret 1910, dan meninggal dunia 30 Maret 1985. Menginjak 207
Ibid, 27.
usianya yang ke 16 tahun, ia mulai dengan jejak perjalanan mencari ilmu di beberapa pesantren antara lain : pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegalsari yang semuanya berada disekitar daerah kelahirannya. Pesantren Jamsarem Solo, sekolah Mambaul Ulum, Sekolah Arabiyah Adabiyah pimpinan KH. Alhasyimi hingga tahun 1930 yang secara khusus mendalami pelajaran bahasa Arab. 4 tahun di Solo, Imam Zarkasyi melanjutkan sekolah di Kweekschool Padang Panjang Sumatra Barat sampai tahun 1935. Kembali ke Gontor tahun 1936, kemudian ia memperkenalkan program pendidikan baru yang dikenal dengan Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sebagai direkturnya. Karirnya diluar Gontor antara lain : Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun, Direktorat Pendidikan Agama Depag RI, Kepala seksi Pendidikan Kementrian Agama dan Komite Penelitian Pendidikan tahun 1946. Tahun 1948-1955 sebagai Ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII). Tahun 1951-1953, Kabag. Perencanaan Pendidikan Agama Kementrian Agama, Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama (1957). Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno (1959). Dalam percaturan Internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet tahun 1962. Mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ Al-Bubuth Al-Islamiyah (muktamar akademisi Islam se-Dunia) ke-7 di Kairo Mesir. Imam Zarkasyi seorang Ulama yang produktif dalam bidang tulis menulis dan karya ilmiah, antara lain : Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Ushuluddin, Pelajaran Fiqh I dan II, Bimbingan Keimanan, Pelajaran Bahasa Arab I dan II dan kamusnya. Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Gontor 208 dengan corak yang modern, Imam Zarkasyi bersama pendiri pondok telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju diluar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga yang menjadi daya tarik pengembangan dan
208
Lihat-M. Amin Abdullah, 2004. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Perekat Umat : Peranan dan Tantangan. Dalam Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme. Hal.237. nilai-nilai yang bersifat universalmendasar- selalu ditanamkan di pesantren gontor sejak dini. Nilai-nilai universal keindonesiaan dengan nilai-nilai kedaerahan.
perhatiannya dalam rangka mewujudkan lembaga pendidikan Islam pondok modern dalam corak dan visinya yang baru. Yang pertama dikunjungi adalah Universitas Al-Azhar, Mesir yang terkenal karena wakafnya dan kelanggengannya. Al-Azhar bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, pondok pesantren Syanggit di Afirika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dan keikhlasan pengasuhnya. Pesantren ini dikelola dengan jiwa ikhlas dan pengasuhnya disamping mendidik murid-muridnya, juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarch yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Keempat, masih tetap di India, Perguruan Shantiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan inilah yang mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk pondok pesantren modern Gontor. Keempat lembaga pendidikan itu, selanjutnya menjadi idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan perpaduan atau sintesa dari keempat unsur diatas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong madzhab Ahlussunah wal-Jama’ah yang mayoritas dianut ummat Islam di Indonesia. Disamping itu, gagasan untuk memberikan warna baru terhadap Pondok Gontor juga di ilhami Imam Zarkasyi ketika peristiwa Konggres Ummat Islam Indonesia di Surabaya yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1926. Konggres tersebut dihadiri antara lain oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia seperti : KH. Mas Mansyur, HOS. Cokroaminoto, KH. Agus Salim, dan lainnya. Ada butir penting dalam pelaksanaan konggres tersebut yaitu, agar ummat Islam Indonesia mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-dunia yang akan digelar di Mekkah. Namun yang menjadi kendalanya adalah disekitar siapa yang akan ditunjuk menjadi utusannya (delegasinya). Sedangkan kriteria utusan yang dapat hadir adalah orang-orang yang mahir sekurang-kurangnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari sekian banyak peserta Muktamar, tak seorangpun yang memiliki kemampuan kedua bahasa tersebut. Akhirnya
dipilihlah dua orang utusan, yaitu HOS. Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan KH. Mas Mansyur yang menguasai bahasa Arab. Dari kejadian itu, ada kesan mendalam Imam Zarkasyi yang kemudian mencita-citakan bahwa pesantren Gontor nantinya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam yang mampu mencetak kaderkader Muslim yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santri/murid. Pada forum seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutkannya sebagai Panca Jiwa Pondok. Kelima jiwa itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help), ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas. Pertama, keikhlasan yaitu sepi ing pamrih dan tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata karena ibadah, karena Allah semata. Kedua, kesederhanaan yaitu bahwa dalam kehidupan pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan, namun tetap agung. Sederhana bukan berarti pasif atau nrimo (pasrah) dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dibalik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur. Ketiga, kesanggupan menolong diri sendiri adalah berdikari, bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingan sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan Islam tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasih orang lain. Keempat, Ukhuwah Islamiyah yaitu bahwa kehidupan di pondok pesantren harus diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab, sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok pesantren namun juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan ummat yang luas. Sedangkan kelima, yang dimaksud jiwa bebas adalah bebas dalam berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan. Para santri harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya.
Dalam hal prinsip dan jiwa diatas, Imam Zarkasyi 209 juga memiliki pandangan bahwa pada masa kemerdekaan, pondok pesantren sudah seharusnya menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mempertahankan keberadaannya. Untuk itu diperlukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman, dan dalam hal ini pelajaran yang harus diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang menguntungkan pula, tanpa harus mengubah inti ajaran agama. Kedua, jikalau diperlukan pendok pesantren dapat terus mempertahankan kehidupannya dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meningkatkan mutu pendidikan dan pengajarannya di masa-masa mendatang. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi. Diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup dan matinya kyai pendiri pesantren tersebut. Untuk menjaga kelangsungan dan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang kelak akan dapat menggantinya. Keempat, perlunya tata cara penyelenggaraan pondok pesantren dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memperbaharui keadaan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat tradisional. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pondok pesantren dapat diatur dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, termasuk bagaimana didalam batas-batas dan kewajiban kyai, para santri dan pondok pesantren itu sendiri. E. Konsep Pendidikan KH. Imam Zarkasi Secara umum, garis besar konsep pembaharuan pemikiran Imam Zarkasi dapat dibagi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren, serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren. Pertama, dalam pembaharuan metode dan sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam 209
Lihat. Abuddin Nata, 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. H.201. bahwa jiwa kehidupan di pondok Modern Gontor itu diilhami oleh pola hidup dan pandangan sufistik yang terdapat dalam karya Burhanuddin az-Zarnuji, yaitu kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.
bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Penerapan ini dalam rangka efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu. Ia juga memperkenalkan ekstrakurikuler, dimana harus ada kegiatan lain diluar jam pelajaran, seperti olah raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramuka, dan organisasi pelajar. Disamping itu juga sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri (student government), santri juga harus tetap tinggal di pondok pesantren (boarding school). Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh Imam Zarkasi, karena disamping untuk tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan efektif. Dalam pandangannya, peraturan harus diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri yang seharusnya dijadikan pedoman santri untuk membangun kehidupan sosialnya di dalam pesantren. Perpaduan antara day school system dengan sistem asrama yang diterapkan, secara sekilas kelihatannya menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu kitab-kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama. Dengan bekal bahasa arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang ditetapkan oleh Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub. Disamping itu, Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para santri memiliki, membaca, dan memahami kitab-kitab yang dipakai di pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain : Fathul Qarib, Fathul Mu’in, I’anatut Thalibin dan sebagainya. Kedua, dalam konsep pembaharuan kurikulum, kurikulum yang dirumuskan Imam Zarkasyi adalah 100 % Umum dan 100 % agama. Ia juga menambahkan pelajaran tafsir, hadist, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan di pesantren tradisional. Dalam ilmu
pengetahuan umum juga sangat ditekankan, misalnya : ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran bahasa arab dan bahasa inggris amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikan Islam (pesantren). Pelajaran bahasa arab lebih ditekankan pada penguasaan kosa kata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan mengarang dalam bahasa arab dengan perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharaf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti balaghah dan adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak kelas V. Sedangkan pada pelajaran bahasa inggris, grammar baru diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi bahasanya sudah diajarkan dari kelas I. Khusus pada pengajaran bahasa arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa. Dalam pengajaran bahasa, Imam Zarkasyi menerapkan semboyan Al-kalimah al-wahidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin wahidah (kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik dari pada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja). Namun demikian kemampuan dalam penguasaan bahasa arab dan inggris serta berbagai pengetahuan tersebut tetap harus didasarkan pada asas, jiwa, dan kepribadian moral yang tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, dan sederhana. Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut, para santri harus diberikan pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Para santri/siswa juga perlu diberikan latihan praktis dalam mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya kelak ketika sudah kembali di masyarakat. Segala sesuatunya diorganisasi sedemikian rupa untuk memberikan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama dari pada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan demi
kesejahteraan masyarakat khususnya umat Islam. Dalam kerangka pelajaran etika atau tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin harus terus dibudayakan. Dalam kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa, sedangkan pada kesopanan lahir termasuk didalamnya gerak-gerik, tingkah laku, bahkan dalam berpakaian. Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para siswa dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti menyablon, mengetik/komputer, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya. Ketiga, dalam pembaharuan struktur dan manajemen pesantren, demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan pondok pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Pesantren Modern Gontor. Ikrar perwakafan ini telah dinyatakan dimuka umum oleh ketiga pendirinya. Dengan Piagam penyerahan wakaf itu, maka Pondok Pesantren Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan Pondok Pesantren Modern Gontor menjadi milik ummat Islam dan semua ummat Islam bertanggung jawab atasnya. Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di Pesantren Modern Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf. Untuk itu Badan Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan. Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apa pun dari Pesantren Modern Gontor. Kyai dan guru-guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian, pengaturan jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif. Keempat, pembaharuan dalam pola pikir santri dan kebebasan pesantren210, sejalan dengan Panca Jiwa Pondok
Lihat Nurcholis Madjid, 1997. Mengatakan bahwa pesantren adalah artefak peradaban Indonesia, yang merupakan institusi pendidikan keagamaan yang bercorak tradisional, unik dan indigenous. Sebagai
210
Modern Gontor sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa setiap para santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus kepentingannya sendiri serta bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independen dan tidak bergantung pada pihak lain. Prinsip kemandirian tersebut bertolak dari upaya menghindari dari kenyataan dimana kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu. Gagasan independensi Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan “gontor di atas dan untuk semua golongan”. Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut, di Gontor para santri diberikan kebebasan memilih pilihan-pilihan mata pelajaran yang ada. Dalam pelajaran hukum Islam misalnya, kitab yang diajarkan adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ulama besar Ibn Rusyd yang hidup pada abad ke 12 M. Ulama yang dikenal sebagai komentator Aristoteles ini menulis bukunya dengan pendekatan komparatif (perbandingan mazhab). Hal ini merupakan salah satu cermin, dimana paham keagamaan para santri berada di atas semua golongan mazhab Ahlussunnah Waljama’ah. Dengan demikian, semua mazhab diajarkan kepada para santri, tinggal terserah mereka mau memilih mazhab mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan misalnya, para santri bebas apakah akan membaca qunut atau tidak. Hal lain yang dikonsepkan Imam Zarkasyi adalah bahwa kemandirian pondok pesantren modern Gontor terlihat dari adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya kelak. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri. Berikut gambaran kontribusi KH. Imam Zarkasyi dalam pemikiran pendidikan Islam/Pesantren, : 1. Keikhlasan Jiwa
2. Kesederhanaan
sebuah artefak pesantren dipastikan memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah dan budaya yang berkembang.
Pendidikan Islam
3. Kesanggupan menolong diri sendiri 4. Ukhuwah al-Islamiyah 5. Jiwa Bebas
Pembaruan
1. Pembaruan bidang metode dan sistem pendidikan
Pendidikan
2. Kurikulum pendidikan Islam/pesantren
Islam
3. Struktur dan sistem manajemen pesantren 4. Pola pikir santri dan kebebasan pesantren
1. Bahasa Arab 2. Dirasah Islamiyah 3. Ilmu Keguruan dan Psikologi Pendidikan Kurikulum Inti
4. Bahasa Inggris 5. Ilmu Pasti 6. Ilmu Pengetahuan Alam 7. Ilmu Pengetahuan Sosial 8. Keindonesiaan/Kewarganegaraan
Standar
Masjid besar, Aula, Gedung dua lantai, Asrama santri, Ruang
Fasilitas
Praktikum, Laboratorium Bahasa Arab dan Inggris, Perpustakaan, Poliklinik, Koperasi, Kursus Komputer, Warung Internet dan GOR.
F. Analisis Atas Pemikiran KH. Imam Zarkasyi Ada beberapa analisis yang dapat diungkapkan dalam pemikiran pendidikan Islam oleh KH. Imam Zarkasyi, ini : Pertama, beliau telah meletakkan pesantren atau pendidikan Islam dalam garis modernisasi, dimana penerapan format baru dari pola mempertahankan sebagian tradisi pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem watonan (massal) dan sorogan (individu) diganti
dengan sistem klasik seperti sekolah umum. Yang memang diawal pendiriannya hanya memiliki Tarbiyatul Athfal lalu meningkat dengan pengembangan Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiah (KMI) dan pengembangan Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Kedua, pesantren yang telah lama dikenal sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam murni Indonesia telah memiliki peran yang cukup signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemikiran KH. Imam Zarkasyi paling tidak mampu menggambarkan pesantren yang selalu menyesuaikan diri atau menerima perkembangan dan perubahan zaman. Pesantren yang mencoba sistem tradisi ilmiah baru dengan integrasi kurikulum Departemen Agama, Depdiknas ke dalam dunia pesantren. Disamping itu pula, KH. Imam Zarkasyi telah mampu memodernisasi sistem kelembagaannya dan merombak materi kurikulum beserta sistem pengajarannya secara integratif. Ketiga, KH. Imam Zarkasyi
telah
mengikuti
arus
besar
masyarakat
yang
memandang bahwa
pesantren/pendidikan Islam harus menempatkan akhlak yang baik yang merupakan tujuan seseorang menuju puncak dan penjelajahan spiritual. Hal ini telah dirumuskan sebagai prinsip-prinsip kemandirian dan kebebasan dalam jiwanya. Keempat, harapan masyarakat yang cukup tinggi atas perjalanan pesantren sebagai agen perubahan masyarakat (agent of social change) untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dan beretika. Juga pesantren yang diharapkan mampu meningkatkan peran kelembagaannya sebagai pencetak generasi muda Islam Indonesia yang bermoral, beretika dan mencintai ilmu pengetahuan guna membangun negeri yang kita cintai, ini telah dibuktikan dengan munculnya pemikir, ulama, budayawan dan sebagainya sebagai produk pendidikan Islam. Kelima, konsep panca jiwa pondok maupun bidang pengembangan yang telah dilakukan oleh KH. Imam Zarkasyi terlihat dalam dataran idealitas konsep secara umum, akan lebih lengkap apabila pandangan/paradigma pemikiran KH. Imam Zarkasyi tersebut di turunkan dalam konsep-konsep aplikatif sehingga akan lebih mempermudah dalam rujukan pengembangan lembaga pendidikan Islam terutama pesantren di negeri ini yang terus diharapkan peran dan kiprahnya bagi bangsa khususnya umat Islam. G. Kesimpulan Pemikiran cerdas yang penggalian awalnya dari visi dan misi ditempat lain, akhirnya membuat KH. Imam Zarkasyi bisa berkreasi, berinovasi yang nampaknya perlu mendapat tempat bagi siapa saja yang mau bergelut dalam pengembangan
pendidikan Islam terutama yang berbasis pesantren. Sudah banyak pesantren “Imam Zarkasyi” ini “menelorkan” para pemikir, fuqaha sebut saja misalnya : Cak Nur, KH. Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Amin Abdullah, M. Maftuh Basyuni, Hidayat Nur Wahid, Emha Ainun Nadjib, Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lainnya. Dan pesantren yang berdiri pada 10 April 1926 di Ponorogo Jawa Timur ini, hingga sekarang tetap eksis dengan membawa nilai-nilai universal dan juga nilai-nilai lokal, dan menjadi salah satu pesantren di negeri ini yang dikenal mendunia. H. Daftar Pustaka A’la, Abd., 2006. Pembaruan Pesantren. Pustaka Pesantren-KP.LKiS. Abdullah, Amin M, 2004. Alumni Pondok Modern Gontor sebagai Perekat Umat : Peranan dan Tantangan. (dalam Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme). Pustaka Pelajar, yogyakarta. Ali, Mukti, 1991. Ta’lim al-Muta’allim Cermin Imam Zarkasyi. Gontor, Trimurti. Ansary, Abdou Filali, 2009. Reformer L’Islam : Une Introduction Aux Debats Contemporains. Diterjemahkan Machasin, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak Kemana ?. Mizan Media Utama. Arifin, H.M., 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta. Azis dan Choirotun Chisaan, 2010. Pembelajaran Sejarah di Pesantren. Basis, 07-08 tahun ke-59. Bruinessen, Martin Van, 1990. Kitab Kuning : Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu. Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, Leiden. h.226269. http://id.wikipedia.org/wiki/ Pondok Modern Darussalam Gontor. Sekolah di Indonesia/Pesantren di Indonesia. Madjid, Nurkholis, 1997. Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Paramadina, Jakarta. Nata, Abuddin, 2003. Konsep Pendidikan KH. Imam Zarkasyi. (dalam Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam). Raja Grafindo, Jakarta. Steenbrink, K.A., 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah : Recente ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht. Diss-Nijmegen. Wahid, Abdurrahman, dkk, 1974. Pesantren dan Pembaharuan. LP3ES, Jakarta.
Zubaedi, 2007. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Zarkasyi, KH. Imam, 1985. Les Pondok Pesantren en Indonesie. Archipel. Zuhairini dkk, 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
PENGEMBANGAN BUDAYA RELIGIUS DALAM KOMUNITAS SEKOLAH
M. Jadid Khadavi Mahasiswa Program Doktor UIN Maliki Malang ABSTRAK Budaya religius sekolah adalah upaya terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga disekolah tersebut. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama. Pembudayaan nilainilai keberagamaan (religius) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui : kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan
ekstrakurikuler, serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara konsisten, sehingga tercipta religious culture dalam lingkungan lembaga pendidikan. Kajian ini memberikan gambaran mengenai pengembangan budaya religius yang selama ini dijalankan di lembaga/instansi sekolah pada umumnya. Seringkali terjadi bias dalam memahami budaya religius dan suasana religius. Dua hal ini memiliki perbedaan yang signifikan. Maka, dari kajian ini diharapkan mampu memberikan gambaran praktik pengembangan budaya religious. Kata Kunci : Budaya Religius, Komunitas Sekolah. A. Pendahuluan Budaya religius merupakan salah satu aspek yang holistik dalam dunia pendidikan. Dalam aplikasinya terdapat pemberian teladan dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan hidup yang lain211. Mewujudkan budaya religius disekolah merupakan salah satu upaya untuk menginternalisasikan nilai keagamaan ke dalam diri siswa. Selain
itu
menunjukkan
fungsi
sekolah
sebagai
lembaga
yang
berfungsi
mentransmisikan budaya212. Sekolah merupakan tempat internalisasi budaya religius kepada siswa agar memiliki pertahanan yang kokoh dalam membentuk karakter yang luhur. Sedangkan karakter yang luhur merupakan pondasi dasar untuk memperbaiki sumber daya manusia yang semakin terkikis oleh peradaban. Budaya religius berbeda dengan suasana religius. Suasana religius berarti suasana yang bernuansa religius, seperti sistem absensi dalam sholat berjama’ah dan membaca doa setiap akan memulai pelajaran, yang biasa diciptakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai religius kedalam diri siswa. Akan tetapi budaya religius yaitu suasana religius yang telah menjadi kebiasaan (habit) dalam aktifitas sehari-hari. Budaya
religius
merupakan
upaya
pengembangan
pendidikan
untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Karena dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 tahun 2003 pasal1dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki 211
Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan : Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi,(Jakarta: BumiAksara,2008),hlm. 36 212 Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung:Refika Aditama,2005), hlm. 30
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara213. Dan secara terperinci tujuan pendidikan Nasional dijelaskan dalam pasal 3 UUSPN No 20 tahun 2003, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab214. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu untuk menyusun sebuah kajian dengan mengambil topik "Pengembangan Budaya Religius Dalam Komunitas Sekolah”. B. Tujuan dan Kontribusi Kajian Dalam kajian ini penulis bermaksud memberikan gambaran mengenai pengembangan budaya religius yang selama ini dijalankan di lembaga/instansi sekolah pada umumnya. Seringkali terjadi biasdalam memahami budaya religius dan suasana religius. Dua hal ini memiliki perbedaan yang signifikan. Maka, dari kajian ini diharapkan mampu memberikan gambaran praktik pengembangan budaya religius yang pada akhirnya berimplikasi pada pembentukan karakter siswa yang mencerminkan nilainilai Islam secara komprehensif (Kaffah). Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data diperoleh dari observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan mengamati seluruh aktifitas yang terjadi di lingkungan sekolah. Tujuannya dalam rangka mengumpulkan gambaran yang bisa dideskripsikan. Setelah itu dilakukan wawancara secara langsung dengan anggota komunitas sekolah yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Setelah data terkumpul, analisis data dilakukan secara bersamaan, baik di lapangan maupun pada saat wawancara. Hasil analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan dalam bentuk indikator pengembangan kajian.
213 214
UUSPN No.20 Tahun 2003. Pasal1 UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
C. Konsep Budaya Religius Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah215.Istilah budaya, menurut Kotter dan Heskett, dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama216. Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin antropologi sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangat luas . Budaya ibarat perangkat yang berada dalam otak manusia dan menuntun persepsi, mengidentifikasi apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari yang lain. Berdasarkan konsep diatas, penulis memahami kebudayaan merupakan suatu prestasi ha sil kreasi manusia ya n g b e r s i f a t immaterial. Artinya berupa bentukbentuk prestasi psikologis seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni dan lain sebagainya. Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang langgeng, maka harus ada proses internalisasi budaya. Internalisasi adalah proses menanamkan dan menumbuh kembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuh kembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran217. Proses pembentukan budaya terdiri dari sub-proses yang saling berhubungan antara lain: kontak budaya, penggalian budaya, seleksi budaya, pemantapan budaya, sosialisasi budaya, internalisasi budaya, perubahan budaya, pewarisan budaya yang terjadi dalam hubungannya dengan lingkungannya secara terus menerus dan berkesinambungan218. Budaya itu paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai 1) suatu kompleks ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2) suatu kompleks aktivitas kelakukan dari manusia dalam masyarakat, dan 3) sebagai
215
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:PT.BalaiPustaka, 1991),hlm. 149. 216 J.P.Kotter&J.L.Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja,terj. BenyaminMolan, (Jakarta:Prenhallindo,1992), hlm. 4 217 Talizhidu Ndraha, Budaya Organisasi,(Jakarta:RinekaCipta,1997), hlm. 82 218 AsmaunSahlan,Mewujudkan Budaya Religiusd I Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari teorike Aksi,(Malang :UINMaliki Press,2010),hlm. 72
benda-benda karya manusia219. Jadi yang dinamakan budaya adalah totalitas pola kehidupan manusia yan glahir dari pemikiran dan pembiasaan yang mencirikansuatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Budaya merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia yang lahir atau terwujud setelah diterima oleh masyarakat atau komunitas tertentu serta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran tanpa pemaksaan dan ditransmisikan pada generasi selanjutnya secara bersama. Religius biasa
diartikan dengan kata
agama. Agama
menurut Frazer,
sebagaimana dikutip Nuruddin, adalah sistem kepercayaan yang senantiasa mengalami perubahan
dan
perkembangan
sesuai
dengan
tingkat
kognisi
seseorang220.
Sementara menurut Clifford Geertz, sebagaimana dikutip Roibin, agama bukan hanya masalah spirit, melainkan telah terjadi hubungan intens antara agama sebagai sumber nilaidan agama sebagai sumber kognitif. Pertama, agama merupakan pola bagi tindakan manusia (pattern for behaviour). Dalam hal ini agama menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia. Kedua ,agama merupakan pola dari tindakan manusia (pattern of behaviour). Dalam hal ini agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan mistis221. Agama dalam perspektif yang kedua ini sering dipahami sebagai bagian dari sistem kebudayaan222, yang tingkat efektifitas fungsi ajarannya kadang tidak kalah dengan agama formal. Namun agama merupakan sumber nilai yang tetap harus dipertahankan aspek otentitasnya. Jadi disatu sisi, agama dipahami sebagai hasil menghasilkan dan berinteraksi dengan budaya. Pada sisi lain, agama juga tampil sebagai sistem nilai yang mengarahkan bagaimana manusia berperilaku. Dengan demikian, budaya religius sekolah adalah upaya terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga disekolah tersebut. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam 219
MadyoEkosusilo, Hasil Penelitian Kualitati Sekolah Unggul Berbasis Nilai : Studi Multi Kasusdi SMAN1, SMA Regina Pacis dan SMA al-Islam 1 Surakarta,(Sukoharjo:UNIVETBantaraPress,2003), hlm. 10 220 Nuruddin, dkk, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger,(Yogyakarta:LKIS,2003), hlm. 126 221 Roibin,Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer,Mlg : UINMaliki Press,2009, hlm. 75 222 Nursyam,IslamPesisir,(Yogyakarta:LKIS,2005), hlm. 1
sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama. Pembudayaan nilai-nilai keberagamaan (religius) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui : kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ekstrakurikuler, serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara konsisten, sehingga tercipta religious culture dalam lingkungan lembaga pendidikan. D. Landasan Penciptaan Budaya Religius 1. Landasan Religius Penciptaan budaya religius yang dilakukan disekolah semata-mata karena merupakan pengembangan dari potensi manusia yang ada sejak lahir atau fitrah. Ajaran Islam yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya merupakanagamayang memperhatikan fitrah manusia, maka dari itu pendidikan Islam juga harus sesuai dengan fitrah manusia dan bertugas mengembangkan fitrah tersebut. Secara etimologis, kata fiţrah yang berasal dari berarti "ciptaan" atau"penciptaan". Disamping itu, kata fiţrah juga berarti sebagai "sifat dasar atau pembawaan", berarti pula potensi dasar yang alami atau natural disposition. Dengan demikian fiţrah adalah sifat dasar atau potensi pembawaan yang diciptaan oleh Allah sebagai dasar dari suatu proses penciptaan. Kata fiţrah tersebut diisyaratkan dalam firman Allah SWT, sebagai berikut :
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Ruum 30 : 30). Oleh karena itu fitrah manusia dapat dikembangkan melalui budaya religius yang diciptakan di sekolah. Sehingga penciptaan budaya religius yang ada di
sekolah sesuai dengan pengembangan fitrah manusia. 2. Landasan Filosofis Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah.Sedangkan tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan223atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan mendekatkan diri pada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan224. Disamping itu, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insane purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan untuk memperoleh dunia saja, dan juga tidak hanya bertujuan untuk memperoleh akhirat saja, namun untuk memperoleh keduanya. Berpijak dari pemikiran bahwa tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk mensucikan jiwa, membentuk akhlak, menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, bahkan membentuk insan yang kamil, maka diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sampai menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik melalui penciptaan budaya religius disekolah, karena rata-rata pembelajaran pendidikan agama disekolah hanya berpijak pada aspek kognitif saja dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. 3. Landasan Yuridis Landasan yuridis dari penciptaan budaya religius adalah merujuk pada landasan keberadaan PAI dalam kurikulum sekolah, yaitu UU No.20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, Bab V pasal 12 ayat 1 point a, bahwasanya “Setiap siswa pada setiap satuan pendidikan berhak : mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak yang mulia juga disebutkan dalam UU no 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X pasal 36 ayat 3,bahwasanya “Kurikulum disusun 223
LihatAl-Ghazali,Bidayahal-Hidayah ...., hlm. 3.Bandingkan dengan Nuryani,"Wawasan Keilmuan Islam Al-Ghazali : Studi Analisa Pemikiran al-Ghazali dalam Kitab Bidayah al-Hidayah", dalam Ta'allum JurnalPendidikanIslam,Vol.28,No.1,37-38. 224 Ahmad Tanzeh, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosof Muslim,dalam Meniti Jalan Pendidikan Islam,ed,Akhyak,(Yogyakarta:PustakaPelajar,2003),hlm. 117
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia”. Dan pasal 37 ayat 1, menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat : pendidikan agama”. Dalam PP 19 tahun 2005 pasal 6 ayat1 juga dijelaskan Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi ; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Dari landasan yuridis tersebut sangat jelas bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.Maka dari itu, penciptaan budaya religius sebagai upaya pengembangan pembelajaran pendidikan agama harus dilakukan. 4. Landasan Historis Landasan historis ini diambil dari historisitas masuknya PAI disekolah, karena budaya religius merupakan pengembangan dari pembelajaran pendidikan agama Islam disekolah. Ketika pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementerian agama pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu agenda utama kementrian agama. Elit muslim melaksanakan dua upaya utama. Pertama, mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolahu mum
yang sejak proklamasi berada dibawah
pembinaan Kementrian PPK. Upaya ini meliputi: 1) memperjuangkan status pendidikan
agama
disekolah-sekolah
umum
dan
pendidikan
tinggi,
2)
mengembangkan kurikulum agama, 3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, 4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, peningkatan kualitas atau modernisasi lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah member perhatian pada pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya adalah: 1) dengan cara memperbaharui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tak terlalu ketinggalan dari sekolah- sekolah umum, 2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang studi umum, 3) menyediakan fasilitas belajar, seperti buku-buku
bidang studi umum, dan 4) mendirikan sekolah kementrian agama di berbagai daerah sebagai percontohan. Dari sejarah diatas, dapat dipahami bahwa salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia diawal kemerdekaan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum sampai perguruan tinggi. Maka dari itu, hendaknya di era globalisasi sekarang ini, para praktisi pendidikan Islam hendaknya meningkatkan mutu pendidikan agama Islam dengan menciptakan dan mengembangkan budaya religius di sekolah. 5. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis penciptaan budaya religius adalah terdapatnya 2 macam tipe masyarakat. Pada dasarnya masyarakat dibagi menjadi masyarakat orde moral dan kerabat sentris. Pada tipe masyarakat orde moral komunitas kehidupan dan mekanismenya masih amat terikat oleh berbagai norma baik buruk yang bersumber dari tradisi sehingga disana banyak dijumpai pantangan yang dapat mengganggu penciptaan budaya religius. Sedangkan padat pemasyarakat kerabat sentris, titik tekannya pada kekerabatan. Adat istiadat memang diwarisi secara turun temurun, namun adakalanya adat-istiadatnya diganti dengan yang lebih modernis225. Masyarakat ini mendukung penciptaan budaya religius. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa budaya religius diciptakan disekolah sebagai alat penggantian adat istiadat lama dengan adat istiadat modernis. Di samping itu, penciptaan budaya religius disekolah dapat mengakibatkan perubahan sikap sosial pada diri anak didik. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya budaya religius disekolah anak menjadi terinternalisasi nilai-nilai religious dan berusaha mengimplementasikannya dengan akhlak terpuji di kehidupan seharihari. 6. Landasan Psikologis Menurut penelitian Muhaimin, dalam bukunya, kegiatan keagamaan seperti khatmilal-Qur’an dan istighatsah dapat menciptakan suasana ketenangan dan kedamaian dikalangan civitas akademika lembaga pendidikan226. Maka dari itu,suatu lembaga pendidikan harus dan wajib mengembangkan budaya religius
225
Muhaimin.et.all,Paradigma Pendidikan…, hlm. 288-289 Muhaimin.et.all,Paradigma Pendidikan…,hlm. 299-300
226
suntuk menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi orangyang adadi dalamnya. Di samping itu, budaya religious juga merupakan sarana penyeimbangan kerja otak yang terbagi menjadi dua, kanan dan kiri. Otak merupakan sekumpulan jaringan syaraf yang terdiri dari dua bagian yaitu otak kecil dan otak besar. Pada otak besar terdapat belahan yang memisahkan antara belahan kiri dan belahan otak kanan. Belahan ini dihubungkan dengan serabut saraf. Belahan kiri berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berbicara, menulis, dan berhitung. Belahan kiri mengontrol kemampuan untuk menganilisis, sehingga berkembang kemampuan untuk berpikir secara sistimatis. Artinya dalam menyelesaikan sebuah persoalaan, belahan otak kiri akan bekerja berdasarkan fakta dan uraian yang sistimatis dan logis. Otak kiri berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual (IQ). Daya ingat otak kiri lebih bersifat jangka pendek (shortterm memory). Secara lebih luas otak kiri identik dengan rapi, perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, logika, terstruktur, analitis, matematis, sistematis, linear, dan tahap demi tahap. Apabila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa, dan matematika. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan visual dan spasial (pemahaman ruang). Belahan ini bekerja berdasarkan data-data yang ada dalam pikiran baik berupa bentuk, suara atau gerakan. Belahan kanan lebih peka terhadap hal yang bersifat estetis dan emosi. Intinya otak kanan bekerja dengan lebih menekankan pada cara berpikir sintetis yaitu menyatukan bagian-bagian informasi yang ada untuk membentuk konsep utuh tanpa terikat pada langkah dan berstruktur227. Otak kanan mengarah pada cara berpikir menyebar yang berfungsi dalam perkembangan kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) dan identik dengan kreativitas, persamaan, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik, warna, berpikir lateral, tidak terstruktur, dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Ketika otak kanan sedang bekerja maka otak kiri cenderung lebih tenang, demikian pula sebaliknya. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (longterm memory). Bila terjadi penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang 227
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Siswa Usia Dini (Jakarta:Indeks,2009), hlm. 182
terganggu adalah kemampuan visual dan emosi. Berpijak dari teori belahan otak diatas, budaya religius dapat digunakan sebagai media pembelajaran PAI yang prinsipnya bisa langsung aplikasi atau dalam ranah afektif dan psikomotorik, sehingga hal tersebut bisa mempekerjakan otak kanan. Maka, dengan adanya budaya religius disekolah, otak kanan dan otak kiri mampu bekerja secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya perkembangannya menjadi baik. 7. Landasan Kultural Para ahli pendidikan dan antropologi sepakat bahwa budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas masyarakat bahkan identitas lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan secara umum terlihat adanya budaya yang sangat melekat dalam tatanan pelaksanaan pendidikan yang menjadikan inovasi pendidikan sangat cepat, budaya tersebut berupa nilai-nilai religius, filsafat, etika dan estetika yang terus dilakukan. Budaya sekolah dapat berupa suatu kompleks ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, aktivitas kelakukan dari manusia dalam lembaga pendidikan, dan benda-benda karya manusia. Budaya yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk didalamnya adalah budaya religius, merupakan bidang budaya organisasi (organizational culture). Robbins menegaskan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu system dari makna bersama228. Dari pengertian budaya dan organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi budaya organisasi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah sistem nilai, norma, atau aturan, falsafah, kepercayan dan sikap (perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta pola manajemen organisasi. 8. Landasan Ekonomi Dari segi ekonomi, penciptaan budaya religius di sekolah akan menambah kompetensi siswa dalam mengimplementasikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja hal ini menimbulkan dampak positif dalam segi ekonomi 228
StephenP.Robbins,Organisasitheory,StructureDesign,AndAplication,(IncRangeewoodCliff: PrenticeHall,1990),289
siswa. Dalam arti jika ia mampu untuk mengembangkan apa yang telah dilakukan terlebih dahulu disekolah, maka ia akan menjadi dai yang mampu untuk diandalkan dan hal itu bisa menambah segi ekonomi tersendiri. Selain itu, lembaga pun juga terkena dampak dalam aspek ekonomi ini, yaitu apabila lembaga mengembangkan kewirausahaan yang sesuai dengan budaya serta nilai yang dikembangkan, maka lembaga pendidikan tersebut akan mendapat untung yang cukup menggembirakan. E. Proses Penciptaan dan Budaya Religius Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya religious (religious culture) dilingkungan sangat variatif. Melakukan kegiatan rutin, yaitu upaya pengembangan kebudayaan religious secara rutin berlangsung pada hari-hari belajar biasa dilembaga pendidikan. Kegiatan rutin ini dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan. Untuk itu pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan pun tidak hanya dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi lainnya. Guru dapat memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan ini menjadikan siswa langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat dijadikan pelajaran atau hikmah oleh siswa lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru, sebaliknya jika ada perbuatan yang baik harus ditiru. Menciptakan lingkungan dan situasi religius. Tujuannya untuk mengenalkan kepada siswa tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menunjukkan pengembangan kehidupan religious dilembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa. Selain itu dengan menciptakan suasana kehidupan keagamaan disekolah antara sesame guru, guru dengan siswa, atau siswa dengan siswa lainnya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata yang
baik ketika bertemu atau
berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapat atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun tidak merendahkan siswa lainnya, dan
sebagainya. Memberikan
kesempatan
kepada
siswa
sekolah/madrasah
untuk
mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama dalam keterampilan dan seni, seperti membaca al-Quran, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong siswa sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat siswa untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Quran. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang sesuai berlandaskan pada al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagamaan yang benar. Guru memperhatikan minat keberagaman siswa. Untuk itu guru harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti shalat, puasa dan lain-lain. F. Strategi Pengembangan Budaya Religius di Sekolah Langkah nyata untuk mewujudkan budaya religius di lembaga pendidikan, menurut Koentjaraningrat, ialah upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu 1) tataran nilai yangdianut, 2) tataran praktik keseharian, 3) dan tataran simbol-simbol budaya229. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dilembaga pendidikan, untuk selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua anggota lembaga pendidikan terhadap nilai yang disepakati. Pada tahap ini diperlukan juga konsistensi untuk menjalankan nilai-nilai yang telah disepakati tersebut dan membutuhkan kompetensi orang yang merumuskan nilai guna memberikan contoh bagaimana mengaplikasikan dan memanifestasikan nilai dalam kegiatan sehari-hari. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai religius yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : pertama, sosialisasi nilai-nilai religius yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang dilembaga pendidikan.Kedua, penetapan 229
Koentjaraningrat “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dalam BaruPendidikanIslam,(Jakarta:RajaGrafindoPersada,2006), hlm. 157
Muhaimin, Nuansa
action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di lembaga pendidikan yang mewujudkan nilai-nilai religius yang telah disepakati tersebut. Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga lembaga pendidikan, seperti guru, tenaga kependidikan, dan siswa sebagai usaha pembiasaan (habitformation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai religious yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial, kultural, psikologis ataupun lainnya. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang
perlu dilakukan
adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilainilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya siswa, foto-foto dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan. Strategi untuk mengembangkan nilai-nilai religious dilembaga pendidikan dapat dilakukan melalui : (1) powerstrategi, yakni strategi pembudayaan agama dilembaga pendidikan dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’spower, dalam hal ini peran kepala lembaga pendidikan dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan ; (2) persuasivestrategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga lembaga pendidikan; (3) normative reeducative. Norma adalah aturan yang berlaku dimasyarakat. norma termasyarakatkan lewat pendidikan norma digandengkan dengan pendidikan ulang untuk menanamkan dan mengganti paradigm berpikir masyarakat lembaga yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punishment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisi pasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
Secara sederhana, pengembangan budaya religius dapat dilihat melalui bagan sebagai berikut :
Power Strategy Persuasive Strategy Normative re Educative
Conditioning
Making culture
Value Internalisation
Religious Culture
Habitual
Paragon
G. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan : Pertama, Dalam penciptaan budaya religius dalam komunitas sekolah, terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap lembaga, yakni nilai, praktik keseharian, dan simbol. Kedua, Mengingat budaya religius begitu penting diterapkan dilembaga pendidikan, maka terdapat tiga strategi pengembangan budaya religius di lembaga pendidikan y a n g dapat dilakukan, antara lain melalui: (1) power strategy (2) persuasive strategy (3) normative educative. H. DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah ...., hlm. 3. Bandingkan dengan Nuryani,"Wawasan Keilmuan Islam Al-Ghazali : Studi Analisa Pemikiran al-Ghazali dalam
KitabBidayahal-Hidayah",
dalam
Ta'allum
Jurnal
Pendidikan
Islam,Vol.28,No.1,37-38. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta : PT. BalaiPustaka, 1991, hlm. 149. J.P.Kotter & J.L.Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, terj. Benyamin Molan, Jakarta : Prenhallindo,1992, hlm. 4. Koentjaraningrat, “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dalam
Muhaimin,
Nuansa Baru Pendidikan Islam,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 157. ______________,Kebudayaan,Mentalitas,dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia, 1989, hlm. 74. Latif, Abdul, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 30. Muhaimin.et.all, Paradigma Pendidikan…, hlm. 288-289 _____________, Paradigma Pendidikan…,hlm. 299-300 Ndraha, Talizhiduhu, Budaya Organisasi, Jakarta : RinekaCipta,1997, hlm. 82 Nursyam, Islam Pesisir , Yogyakarta : LKIS,2005, hlm. 1 Nuruddin, dkk, Agama Tradisional : Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta:LKIS,2003, hlm. 126 Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang : UIN Maliki Press, 2009, hlm. 75. Robbins, Stephen P., Organisasi, theory, Structure Design, And Aplication, (IncRangeewoodCliff: PrenticeHall,1990,h l m . 289 Sahlan, Asmaun, Mewujudkan Budaya Religius diSekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari teori ke Aksi, Malang : UIN Maliki Press, 2010,hlm. 72. Sujiono, Yuliani Nurani, Konsep Dasar Pendidikan Siswa Usia Dini, Jakarta : Indeks, 2009), hlm. 182. Susilo, Madyo Eko, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai : Studi Multi Kasus di SMAN 1, SMA Regina Pacis, dan SMA al-Islam 01Surakarta, Sukoharjo : UNIVET BantaraPress,2003, hlm. 10.
Tanzeh, Ahmad, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosof Muslim, dalam Meniti Jalan Pendidikan Islam,ed, Akhyak, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 117. UUSPN No. 20 Tahun 2003. Pasal1 UUSPN No. 20 Tahun 2003. Pasal 3 Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm. 36
NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM ISLAM UNTUK MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT Yuniar Mujiwati Dosen STKIP PGRI Pasuruan Abstrak Dalam kehidupan sekarang ini, kita semua merasakan bahwa pertahanan sosial masyarakat seperti gampang rapuh oleh hal-hal yang remeh, tawuran yang berujung mengorbankan jiwa, tindak pidana pembunuhan dengan latar dan motif yang beragam hingga perilaku koruptif menjalar disemua elemen kehidupan, padahal konon
masyarakat kita terkenal dengan patembayan, guyub, harmoni, dan memiliki daya tahan sosial cukup bagus. Tulisan ini ingin mengungkap bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai demokrasi dalam Islam yang dapat dijelaskan. apakah nilai-nilai demokrasi dalam Islam mampu membangun karakter sebuah masyarakat. Nilai-nilai demokrasi haruslah melahirkan : partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan, adanya persamaan kedudukan di depan hukum, adanya distribusi pendapatan secara adil, adanya kesempatan pendidikan yang sama, adanya kebebasan berpendapat, berserikat/berkumpul, dan beragama, serta adanya kerjasama setiap prinsip demokrasi. Kata Kunci : demokrasi, karakter masyarakat. A. Pendahuluan Masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini berbagai bentuk kekerasan dan konflik. Kekerasan menjadi seolah tradisi baru masyarakat yang melampiaskan amarahnya karena sulit utuk menghindarinya. Begitu juga dengan konflik individual hingga horizontal membuat suasana kehidupan terganggu dan menyedihkan. Pertahanan sosial masyarakat seperti gampang rapuh oleh hal-hal yang remeh, tawuran yang berujung mengorbankan jiwa, tindak pidana pembunuhan dengan latar dan motif yang beragam, padahal konon masyarakat kita terkenal dengan guyub, harmoni, dan memiliki daya tahan sosial cukup bagus. Sesungguhnya konflik dan berbagai hal buruk dalam kehidupan masyarakat kita saat ini bukan karena buah reformasi. Boleh jadi era sekarang ini memang ada ruang lebih longgar sehingga masyarakat terlalu mudah melakukan tindakan apapun. Sedangkan era orde baru segalanya dihambat dan cepat ditangani oleh pemerintah, bukan karena moralnya baik, tetapi karena rezim waktu itu memang otoriter dan militerisme sangat kuat. Sekarang semua hal bisa terjadi, serba terbuka untuk konflik. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sinilah kemudian muncul istilah-istilah turunan dari demokrasi yaitu egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia) dan seterusnya.
Dalam konvensi barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “raja” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Dengan alas an inilah maka lembaga legislative di dunia barat menganggap sebagai pioneer dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Eksistensi wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu Negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh karena itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Dari sini kemudian muncul prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Secara normatif, Islam juga menekankan pentingnya ditegakkan nilai-nilai kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi munkar) bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga bangsa dan negara. Doktrin tersebut haruslah ditegakkan dalam kehidupan sosial keseharian di lingkungan masyarakat secara luas kapan dan dimana saja berada agar terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Idealnya, masyarakat aman dan sejahtera adalah masyarakat yang mampu mengemban dan menampilan kehidupan secara baik dan berkelanjutan dalam melihat tenda kehidupan, sehingga membentuk watak dan karakter sosial yang genuin. Bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai demokrasi dalam Islam yang dapat dijelaskan ? dan apakah nilai-nilai demokrasi dalam Islam mampu membangun karakter sebuah masyarakat ?. Tulisan ini ingin mengungkap nilai-nilai demokrasi dalam alQur’an dan menemukan apakah dengan nilai-nilai itu kemudian mampu membangun karakter masyarakatnya. B. Istilah Demokrasi
Istilah demokrasi yang dapat dikemukakan disini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak ahli, yang dikutip Zainuddin230 sebagai berikut : Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana keputusankeputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Sedangkan menurut Philippe Schmitter dan Terry Karl, bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan wakil mereka yang terpilih. Dari tiga pendapat ahli diatas, jelaslah bahwa demokrasi itu mengandung nilainilai, yaitu adanya unsur kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara Abdurrahman Wahid, mengungkapkan demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok, dan yang bersifat derivasi. Adapun nilai-nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musyawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan Negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. Demokrasi tidak boleh membuat derita masyarakat, tidak dibenarkan masalahmasalah yang terjadi ditengah masyarakat tiada terselesaikan, demokrasi harus memberikan jaminan hidup masyarakat
bermartabat, demokrasi
tidak boleh
mengorbankan masyarakat kecil demi mengamankan masyarakat perkotaan, namun diatas semua itu, demokrasi haruslah berpihak pada jalan hidup yang mensejahterakan masyarakat, melindungi hak-hak sosialnya secara sama, dan paling penting ialah demokrasi didorong mengambil langkah-langkah terdepan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam realitas konkret masyarakat. C. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Lihat Zainuddin, M., Islam dan Demokrasi (Telaah Implementasi Demokrasi di Negara Muslim). Jurnal Ulul Albab, Vol.4 No.2, 2002, STAIN Malang.
230
Masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif, oleh karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan tentunya juga untuk dapat bertahan. Masyarakat sendiri juga mempunyai pelbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, agar masyarakat itu dapat terus hidup231. Membincangkan persoalan demokrasi selalu ada yang menarik, karena demokrasi sebagai kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Bertolak dari paham tentang manusia adalah makhluk sosial yang sangat wajar, karena memang manusia merupakan pokok utama persoalan dalam berdemokrasi. Setidaknya alasannya adalah manusia itu mempunyai kesadaran yang membuat dirinya mampu mengambil jarak dari yang lain dan dari dirinya sendiri, manusia mempunyai atau setidaknya manusia merasakan adanya kebebasan, dan manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, peka dan peduli akan nilai-nilai dan dapat membandingkan yang baik dan yang buruk. A.M. Fatwa232 setidaknya merumuskan prisip-prinsip demokrasi dalam enam criteria, : (1) partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan. Dalam konteks Indonesia, seperti
di
negara-negara
modern, partisipasi itu diatur melalui
mekanisme
representasi/perwakilan melalui lembaga legislatif yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. (2) persamaan kedudukan di depan hukum. Setiap Negara demokrasi senantiasa merupakan Negara hukum. Role of law harus ditaati seluruh warga Negara tanpa pandang bulu. (3) distribusi pendapatan secara adil. Konsep persamaan dalam demokrasi harus dimaknai secara utuh. Artinya persamaan tidak bisa hanya berlaku pada satu aspek saja seraya mengabaikan aspek yang lain. (4) kesempatan pendidikan yang sama. Keberhasilan di bidang pendidikan merupakan kunci pembuka bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang. (5) adanya kebebasan berpendapat, berserikat/berkumpul, dan beragama. Kebebasan-kebebasan ini harus dimiliki setiap individu dalam Negara demokrasi. (6) adanya kerjasama setiap prinsip demokrasi, artinya demokrasi tidak bisa dijalankan dengan paksa, sehingga mengganggu kepentingan orang lain, karena itu diperlukan kerjasama yang baik. D. Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Islam
Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar.( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hal.26. A.M. Fatwa, Paradigma Pembangunan Demokrasi Politik dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa. (Jakarta : Jurnal Profetik, 2002), hal. 73.
231 232
Masa depan peradaban bangsa terletak pada sejauhmana prinsip-prinsip demokrasi bisa diwujudkan. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa Negara-negara yang tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi mengalami kehancuran. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang terkait dengan prinsipprinsip demokrasi, antara lain : QS. Ali Imran 159 dan al-Syura 38 yang berbicara musyawarah, bahwa dengan bermusyawarah itu kasih sayang Tuhan akan dilimpahkan kepada mereka semuanya, hendaklah kalau bermusyawarah dengan perilaku lemah lembut diantara sesama, berilah maaf apabila ada yang berbeda pendapat diantara kamu dan jangan sekali-kali menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan membulatkan tekad serta bertawakkal kepada Allah atas semua urusan yang dihadapi, karena semua itu adalah bentuk kepatuhan. Tentang keadilan dalam surat al-Maidah ayat 8 dan surat al-Syura 15 disebutkan perihal keadilan, manusia beriman diperintahkan untuk menjadi penegak kebenaran dan keadilan, menjadi saksi dengan adil, tidak membenci atas sesama manusia, dan keaadilan itu lebih dekat kepada takwa (Tuhan). Untuk menjaga dari perilaku tidak adil, Maka juga diperintahkan menyeru kejalan agama dengan baik, janganlah mengikuti hawa nafsu, diperintahkannya supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan yang akan membalas semua kebaikannya. Dalam hal persamaan, surat al-Hujurat233 ayat 13 menyatakan “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Intinya adalah manusia laki-laki dan perempuan itu sama dimata Tuhan, manusia itu harus sama perlakuannya didepan hukum, baik antar suku dan antar bangsa. Tentang amanah dalam surat al-Nisa’ 58 dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha 233
Lihat QS. al-Hujurat 43 : 13.
melihat”234. Bahwa menunaikan amanah menjadi tugas bersama kita semua dalam rangka tegaknya hkum dan keadilan. Surat Ali Imran235 104 membicarakan tentang kebebasan mengkritik, “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Manusia dengan potensinya selalu menjaga keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, memberikan kritik tentunya diharapkan membawa kepada kebaikan, bukan kritik yang malah menjauhkan dari kebaikan bersama. Dalam hal kebebasan berpendapat, al-Qur’an236 memberikan petunjuk bahwa perbedaan pendapat itu hal yang biasa dan wajar, dan harus disikapi dengan kebaikan yang akan mengantarkan kepada keutamaan hidup dan kehidupan. Menurut Aswab Mahasin237, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama itu berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikanya sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam meliputi : assyura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-mas’uliyyah, dan al-hurriyyah. Masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, syura yang merupakan suatu prinsip tentang bagaimana cara pengambilan keputusan dan secara eksplisit ditulis dalam al-Qur’an, misalnya : “dan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah diantara mereka” (QS. as-Syura 38). Dalam surat Ali Imran 159 juga dinyatakan : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Kedua, al-‘Adalah adalah keadilan. Ajaran tentang keharusan melakukan hukum dengan adil tanpa pandang bulu, banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melakukan pelanggaran “orang besar” hukum selalu berlalu. (QS. as-Syura 15), (QS. al-Maidah 8) dan (an-Nisa’ 58).
Lihat QS. an-Nisa’ 4 : 58. Lihat QS. Ali Imran 3 : 104. 236 Lihat QS. an-Nisa’ 4 : 59, 83 dan as-Syura 38. 237 Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Azis, et.al. (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Gramedia 1999, hal.31. 234 235
Ketiga, al-Musawah yaitu kesejajaran, egaliter. Dalam al-Qur’an surat alHujurat ayat 13 disebutkan : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Kesejajaran adalah tidak merasa paling unggul, tidak congkak, tidak pernah merendahkan sesame orang lain. Demokrasi yang meletakkan semangat egaliter akan menghasilkan semangat juang dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Kepercayaan atau amanah memang harus dijaga dengan baik. (QS. an-Nisa’ 58). Dalam pembangunan demokrasi, masyarakat menjadi tulang punggung kesuksesan perjalanan kehidupan, manakala semaksimal mungkin menjaga kepercayaan, pemimpinnya memiliki kepercayaan kepada masyarakatnya, dan masyarakat yang selalu menjaga stabilitas gerak pemimpinnya. Kelima, al-Mas’uliyyah yaitu tanggungjawab. Sabda Nabi SAW : “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya”. Tanggung jawab individu dan kelompok tetap diperlukan dalam rangka menjaga pertanggungjawabannya.
Masyarakat
bertanggung
jawab
atas
perjalanan
pemerintahannya dengan memberikan masukan/input perbaikan kelembagaan Negara. Pemimpinnya bertanggung jawab atas keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Keenam, al-Hurriyyah yaitu kebebasan. Artinya bahwa setiap orang, setiap warga negara, masyarakat diberikan hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya. Masing-masing individu memberikan kebebasan dalam kerangka membangun bangsa dan negaranya, sementara pemerintah menjaga stabilitas, rasa aman dan terus mengupayakan kesejahteraan masyarakat menuju sebuah Negara yang sejahtera lahir dan batin di bawah panji-panji kemakmuran. E. Membangun Karakter Masyarakat Secara etimologis, karakter berasal dari bahasa Yunani karasso, yang berarti cetak biru, format dasar, sidik. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang
menyertainya, karena itu berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya238. Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalism akibat determinasi alam, atau pun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki239. Ketenangan, ketentraman dan kedamaian hidup tentunya bukan merupakan sesuatu yang dengan begitu saja bisa kita nikmati tanpa usaha. Ketenangan, ketentraman dan kedamaian hidup adalah merupakan hasil dari sebuah proses yang secara sadar dan sengaja harus diusahakan. Diantara usaha yang perlu dilakukan agar Ketenangan, ketentraman dan kedamaian menyelimuti hidup dan kehidupan kita, antara lain, hendaklah masing-masing kita, disamping memikirkan kepentingan diri sendiri, jangan lupa juga memikirkan kepentingan orang lain. Sebagai makhluk yang tidak mungkin dan tidak mampu hidup seorang diri, hendaklah kita menyeimbangkan antara kepentingan diri pribadi dengan kepentingan orang lain dan masyarakat. Janganlah kita, karena dorongan tuntutan hawa nafsu misalnya, lantas hidup bermewah-mewah, mempertontonkan kekayaan dan kelebihan yang kita miliki, ditengah-tengah kebanyakan warga masyarakat yang akibat krisis ekonomi, hidupnya dalam kondisi serba kekurangan dan kemiskinan. Untuk bisa hidup dalam sebuah masyarakat yang sangat terbuka, setidaknya ada empat sikap yang harus dimiliki masyarakat itu240, pertama : sikap inklusif. Sikap yang memberikan keluasan bertindak bagi setiap individu dan sosial untuk tidak menjauhkan diri dan larut dalam keramaian orang dan masyarakat. Kedua, sikap humanisme (egalitarianisme). Sikap humanisme ini sebagai cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, bukan karena sebab yang lain, misalnya ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan atau bahkan agama. Ketiga, sikap toleransi. Sikap masyarakat yang toleran tidak pernah memaksakan kehendak, tidak merasa paling benar. Keempat, sikap demokratis (kebebasan berpikir). Salah satu sifat yang tidak
Lihat Doni Koesoema, Tiga Matra Pendidikan Karakter. (Yogyakarta : Majalah Basis, 2007), hal 19. Ibid, 20. 240 Lihat Mulyadhi Kertanegara, Empat Sikap Tuntutan Masyarakat Multikultural. (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2004), hal 26. 238 239
boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir. Disamping itu, karakter moralitas masyarakat juga harus direkonstruksi agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan. Karakter moralitas mengakui keadaan alamiah manusia dan menerima realitas dunia. Ia tidak mengingkari apapun dari bagian-bagian keadaan alamiah itu. Penyiksaan terhadap diri sendiri, asketisme, penghinaan terhadap orang lain, semuanya itu tidak dikenal dalam masyarakat yang terbuka. Moralitas masyarakat yang berkarakter pada prinsipnya didasarkan atas penegasan terhadap realitas kemanusiaan dan pemenuhan diri menghadapi semua bentuk frustasi dan kesengsaraan. Dengan demikian, moralitas masyarakat yang berkarakter dalam keadaan alamiah itu adalah hal yang sama. Masyarakat berkarakter moralis, akan selalu memiliki kekuatan untuk mengidentifikasi dirinya sendiri melalui watak budayanya yang alamiah. Moralitas masyarakat berkarakter akan memperluas dirinya dari level individu kepada level sosial. Dengan kata lain, masyarakat haruslah menjadi tujuan akhir dari komitmen sosialnya. Upaya-upaya membangun masyarakat berkarakter, diperlukan stabilitas moral yang memadai agar masyarakat tidak bertindak anarkhis, menodai demokrasi. Masyarakat dengan karakter demokratis, setidaknya menerapkan paradigma pembangunannya yang relevan di suatu negaranya, melakukan penyesuaian-penyesuaian nilai-nilai baru terhadap paradigma yang sudah ada, tidak suka memaksakan kehendak, apalagi perilaku yang merampas kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip dalam demokrasi, otoritarian yang menyertai pelaksanaan demokrasi tidak diberikan ruang untuk berkembang. Untuk pembangunan kedepan, kita semua masyarakat Indonesia sesungguhnya telah
mempertimbangkan
secara
matang paradigma
demokrasi-religius,
yang
mengedepankan nilai-nilai spiritual dalam membangun bangsa. F. Kesimpulan Demokrasi tidak boleh membuat derita masyarakat, demokrasi haruslah berpihak pada jalan hidup yang mensejahterakan masyarakat, melindungi hak-hak sosialnya secara sama, dan paling penting ialah demokrasi didorong mengambil langkah-langkah terdepan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam realitas konkret masyarakat.
Nilai-nilai demokrasi haruslah melahirkan : partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan, adanya persamaan kedudukan di depan hukum, adanya distribusi pendapatan secara adil, adanya kesempatan pendidikan yang sama, adanya kebebasan berpendapat, berserikat/berkumpul, dan beragama, serta adanya kerjasama setiap prinsip demokrasi. G. Daftar Pustaka A.M. Fatwa, Paradigma Pembangunan Demokrasi Politik dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa. (Jakarta : Jurnal Profetik, 2002), hal. 73. Aswab Mahasin dalam Imam Azis, et.al. (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Gramedia 1999, hal.31. Doni Koesoema, Tiga Matra Pendidikan Karakter. (Yogyakarta : Majalah Basis, 2007), hal 19. Mulyadhi Kertanegara, Empat Sikap Tuntutan Masyarakat Multikultural. (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2004), hal 26. Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar.( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hal.26. Zainuddin, M., Islam dan Demokrasi (Telaah Implementasi Demokrasi di Negara Muslim). Jurnal Ulul Albab, Vol.4 No.2, 2002, STAIN Malang.
ANALISIS PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SIDOGIRI PASURUAN Siti Halimah Dosen STIT PGRI Pasuruan ABSTRAK Pendidikan dan pengajaran pesantren bagi santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan menjadi dua tipologi. Pertama, tipe salafiyah yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman Al-Qur’an dan ilmuilmu agama lainnya yang merujuk pada kitab-kitab klasik (kuning) dengan
menggunakan cara-cara tradisonal. Kedua, tipe khalafiyah yaitu pondok pesantren disamping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal. Karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "alMuhafadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah". Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Pondok pesantren Sidogiri tidak terpengaruh dengan adanya modernitas, Ia mampu bertahan dalam ketradisionalannya. Kurikulum Ponpes Sidogiri tidak melebur dengan arus tuntutan jaman sekarang, malah ia mampu mempertahankannya ciri khas pesantren dan mampu mengaktualisasikan eksistensinya di tengah-tengah tuntutan masyarakat. Orientasi Ponpes Sidogiri murni untuk mendidik manusia dan mencetak mereka menjadi manusia berakhlak mulia. kesungguhan untuk benar-benar mengabdi pada masyarakat ditunjukkan oleh pesantren sejak dari seorang santri mulai masuk, dimana kesungguhan santri dan orang tua bisa dilihat dari kegigihan mereka mencari tempat untuk menuntut ilmu, tidak sekadar ikut popularitas. Karakter pondok juga ditunjukkan oleh keikhlasan kyai untuk benar-benar mendidik santri secara tulus tanpa rasa pamrih dan imbalan apapun. Kata kunci: Analisis Pendidikan, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. A. Pendahuluan Pada awalnya Pondok Pesantren dalam proses pendidikannya lebih menitikberatkan pada ajaran Agama, tetapi pada perkembangannya sekarang pendapat ini sedikit berubah mengingat beberapa pesantren telah mencoba menerapkan sistem sekolah baik madrasah maupun diniyah yang juga mengajarkan ilmu umum. Serta telah dilengkapinya pendidikan dengan peralatan layaknya sekolah modern seperti adanya laboratorium, komputerisasi, dll sehingga lulusan pesantren diharapkan memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah biasa. Hanya saja, perkembangan pesantren kearah yang modern ini seringkali melupakan eksistensinya sebagai basis Agama sehingga tak jarang pesantren yang telah
menerapkan sistem modern ini seperti kehilangan ruh, nilai dan jiwa. Sehingga tak jarang lulusan dari pesantren masih berkepribadian dengan moral yang jauh dari harapan.241 Disebabkan karena ketidakmampuan pesantren membendung arus modernisasi dalam mempertahankan karakteristiknya yang khas, bisa juga karena ketidakmampuannya dalam melakukan perbaikan. Dalam Penyelenggaraan Pendidikan dan pengajaran pesantren bagi santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan menjadi dua tipologi. Pertama, tipe salafiyah yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya yang merujuk pada kitab-kitab klasik (kuning) dengan menggunakan cara-cara tradisonal. Kedua, tipe khalafiyah yaitu pondok pesantren disamping menyelenggarakan kegiatankegiatan kepesantrenan pada
umumnya
juga
menyelenggarakan kegiatan
pendidikan formal. Di bawah ini akan disajikan tentang Lembaga Pendidikan Pesantren yang masih tetap dalam ketradisionalannya, namun kualitasnya tidak kalah bersaing dengan pendidikan modern. B. Pengertian Pesantren Tradisional Pesantren sering dianggap sebagai lembaga pendidikan yang berpaham tradisionalisme. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren.242 Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Nilai tradisionalisme yang siterapkan di berbagai pesantren berakar pada nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah, dengan mengedepankan berbagai kitab maupun buku diajarkan dalam proses belajar dalam sistem kelas, maupun pada pengajian-pengajian dengan sistem bandongan atau sorogan.243 241
HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hlm. 01 Yanuar, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; "Sebuah Pilihan Sejarah" http://yanuar.student.umm.ac.id/2010/01/30/membongkar-tradisionalisme-pendidikan-pesantrensebuah-pilihan-sejarah/ diakses tanggal 27 Desember 2012 243 Fathol Halik Pendidikan Pesantren di Tengah Tantangan Politisasi dan Globalisasi, Jurnal KARSA, Vol. XV No. 1 April 2009., hal 36 242
Pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan, yang dipakai dalam lembagalembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu.244 Pondok pesantren Salaf atau salafiyah menganut sistem pendidikan tradisional ala pesantren. Yaitu, sistem pengajian kitab sorogan dan wetonan atau bandongan. Di sebagian pesantren salaf saat ini sudah ditambah dengan semimodern dengan sistem klasikal atau sistem kelas yang disebut madrasah diniyah (madin) yang murni mengajarkan ilmu agama dan kitab kuning. 245 Contoh kecil adalah Pondok pesantren sidogiri yang berada di daerah sidogiri keraton pasuruan jawa timur. Pondok pesantren ini memfokuskan pengajarannya pada pembinaan akhlakul karimah, hal ini karena melihat kondisi masyarakat yang kian banyak mengalami krisis mental dan moral. Di tengahtengah persaingan lembaga pendidikan menciptakan sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional dan lain sebagainya, pondok pesantren sidogiri tetap teguh pada pendiriannya yaitu melestarikan treadisi ajaran ulama salaf. Walau un demikian, bukan berarti santri buta akan tehnologi. Pembelajaran ilmu umum tetap diajarkan, contoh seperti pengembangan minat dan bakat. walaupun bagaimana ilmu dunia tetap dibutuhkan untuk memenuhi administrasi duniawi.246 C. Profil Pondok Pesantren Sidogiri 1. Sejarah Singkat Dan Tahun Berdiri
http://www.karsa.stainpamekasan.ac.id/index.php/jks/article/viewFile/58/47// diakses tanggal 27 Desember 2012 244 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kiai (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 38 245 http://www.alkhoirot.net/2011/07/3-tipe-pondok-pesantren.html. diakses 12 Januari 2013 246 Arman. http://armancoy37.blogspot.com/2012/11/profil-pondok-pesantren-sidogiri.html. diakses 13 Januari 2013
Pondok Pesantren Sidogiri berada di Desa Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur. Sidogiri dibabat oleh seorang Sayyid dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid Sulaiman. Beliau adalah keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman merupakan cucu Sunan Gunung Jati. Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah. Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean. Konon pembabatan Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih untuk dibabat dan dijadikan pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah.247 Mbah Sayyid, sebutan Sayyid Sulaiman, kemudian menamainya Sidogiri. PPS yang kini diasuh oleh KH Abd Alim bin Abdul Djalil, generasi kedelapan dari Mbah Sayyid, memiliki sekitar 5.000 santri putra dan 3.000 satri putri. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dan juga Malaysia. Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745. Dalam suatu catatan yang ditulis Panca Warga tahun 1963 disebutkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani oleh Almaghfurlahum KH Nurhasan Nawawi, KH Cholil Nawawi, dan KA Sa’dullah Nawawi pada 29 Oktober 1963. Dalam surat lain tahun 1971 yang ditandatangani oleh KA Sa’dullah Nawawi, tertulis bahwa tahun tersebut (1971) merupakan hari ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-226. Dari sini disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1745. Dalam kenyataannya, versi terakhir inilah yang dijadikan patokan hari ulang tahun/ikhtibar Pondok Pesantren Sidogiri setiap akhir tahun pelajaran.248 2. Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri
247 248
http://www.sidogiri.net/pendidikan/index/1. diakses 12 Januari 2013 http://www.alkhoirot.net/2011/08/pondok-pesantren-sidogiri-pasuruan.html. diakses 13 Januari 2013
Tentang urutan Pengasuh, terdapat beberapa versi, sebab tidak tercatat pada masa lalu. Dalam catatan yang ditandatangani KH A Nawawi Abd Djalil pada 2007, urutan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sampai saat ini adalah:249 a. Sayyid Sulaiman (wafat 1766) b. KH Aminullah (wafat akhir 1700-an/awal 1800-an) c. KH Abu Dzarrin (wafat 1800-an) d. KH Mahalli (wafat 1800-an) e. KH Noerhasan bin Noerkhotim (wafat pertengahan 1800-an) f. KH Bahar bin Noerhasan (wafat awal 1920-an) g. KH Nawawie bin Noerhasan (wafat 1929) h. KH Abd Adzim bin Oerip (wafat 1959) i. KH Abd Djalil bin Fadlil (wafat 1947) j. KH Cholil Nawawie (wafat 1978) k. KH Abd Alim Abd Djalil (wafat 2005) l. KH A Nawawi Abd Djalil (2005-sekarang) 3. Jenjang Pendidikan Di Pondok Pesantren Sidogiri mengenal dua istilah pendidikan. Yakni pendidikan madrasiyah dan pendidikan ma’hadiyah, dengan sebutan Madrasah Miftahul Ulum (MMU). Pendidikan madrasiyah ialah sistem pendidikan klasikal yang dibagi menjadi beberapa jenjang, yakni MMU menerapkan empat tingkatan pendidikan. Yaitu, tingkat sifir yang harus diselesaikan dalam satu tahun dan tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) dalam 6 tahun. Selanjutnya tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang ditempuh dalam tiga tahun dan Madrasah Aliyah Tarbiyatul Muallimin (MATM) tiga tahun. Di samping itu, MMU juga memiliki jenjang pendidikan persiapan, Isti’dadiyah, yang memerlukan waktu belajar satu tahun. MI MMU memiliki 1937 siswa dengan 74 tenaga pengajar. MI juga mempunyai madrasah filial (ranting) sebanyak 55 buah yang tersebar di wilayah Pasuruan dan 20 buah di luar Pasuruan. Sistem filial ini untuk mengantisipasi membludaknya para
249
Nur Hasyim Saiful Anam, http://www.piss-ktb.com/2012/02/523-pesantren-jatim-pp-sidogiriputra.html. diakses 12 Januari 2013
santri baru yang masuk ke PPS, di samping untuk kemajuan syiar pendidikan di wilayah lain. MTs merupakan tingkat lanjutan bagi murid yang tamat MI. Jenjang ini memiliki 2082 murid dengan tenaga pengajar 83 orang. Sedangkan MATM mempunyai 435 orang siswa 34 orang pengajar. Sedangkan tingkat Istidaiyah merupakan sekolah persiapan bagi santri baru dengan masa belajar satu satu. Usai di jenjang ini mereka dapat meneruskan ke MI atau MTs, sesuai hasil tesnya. Jenjang ini memiliki 655 siswa 24 pengajar. 250 Dari semua tingkatan ini pelajarannya adalah kurikulum sendiri (tidak berafiliasi ke diknas ataupun depag) yang semuanya murni diniyah. Namun demikian sejak beberapa tahun terakhir lulusan Aliyah PP. Sidogiri sudah mendapat pengakuan dari pemerintah dan dapat melanjutkan pendidikan kepada jenjang lanjutan di berbagai PT di luar pesantren. Dan untuk saat ini pihak pesantren bekerja sama dengan UNSURI Surabaya (salah satu perguruan tinggi milik NU) memberi kesempatan kepada santri dan alumni pesantren lulusan Aliyah untuk kuliyah yang diselenggarakan di pesantren. Sampai saat ini sudah ada beberapa orang santri yang mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA di Bogor, sebuah sekolah yang dirintis oleh pakar ekonom syari’ah kenamaan DR. Syafi’I Antonio. 251 Pendidikan ma’hadiyah ialah pendidikan yang dilakukan di luar sekolah. Ada beberapa daerah yang dihuni khusus oleh mereka yang mempelajari bahasa asing yakni daerah H, K, dan L. Di tiga daerah ini santri wajib menggunakan bahasa Arab atau inggris. Karena antusianya santri untuk masuk ke daerah bahasa asing, maka untuk bisa menjadi penduduk tiga daerah ini diseleksi dan melalui ujian yang sangat ketat. Di samping daerah khusus bahasa asing, ada juga daerah A sebagai daerah khusus bagi santri yang menghafal al-Qur’an.252 PPS juga memiliki kegiatan ekstrakurikuler bagi para siswa, seperti unit kegiatan pengembangan intelektual, Pers Madrasah, pengembangan bakat dan minat. Bahkan sejak 11 tahun lalu para santri MMU juga menerbitkan Majalah
250
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tarbiyah/09/01/08/24978-ponpes-sidogiri-pasuruanberkualitas-dan-tetap-tawadhu251 Nur Hasyim Saiful Anam. Op. Cit. 252 Ibid
Ijtihad yang terbit setiap semester, dengan tiras rata-rata di atas 4.000 eksemplar. Bagi siswa yang telah lulus MTs MMU diwajibkan mengajar di madrasah atau pesantren lain selama satu tahun. Program yang dinamai Urusan Guru Tugas (UGT) ini sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah MTs dan melanjutkan ke MATM. Program KKN ala MMU PPS ini sudah dilakukan sejak tahun 1961 silam dan hingga sekarang masih dijalankan. Program ini sangat bermanfaat bagi para santri dan juga masyarakat Islam dalam meningkatkan kwalitas pendidikan.253 Meski menekankan perlunya giat belajar, PPS tidak menjadikan Ilmu pengetahuan sebagai target mutlak yang ingin dicapai. PPS juga mempunyai komitmen kuat mendidik moral-spiritual santrinya. Yaitu melalui pendidikan rohaniah yang dilakukan secara intens, seperti wajib shalat berjamaah, shalat dhuha, shalat tahajud, riyadhah batiniyah (gerak batin), dan zikir lainnya setelah shalat isya, tengah malam, dan setelah shalat Subuh, secara kolektif dan terpimpin. 254 4. Fasilitas Pendidikan Pesantren Sidogiri255 a. Perpustakaan Untuk menunjang pendidikan, MMU PPS mendirikan sebuah perpustakaan pada 1973. Perpustakaan pesantren terbesar di Indonesia ini memiliki koleksi sekitar 5.000 judul dengan lebih dari 12 ribu kitab dan buku, di samping juga ribuan kaset, CD video, dan software. Perpustakaan yang rata-rata dikunjungi tiga ribu orang setiap hari ini juga menjadi sarana pendidikan alternative. Untuk pengembangan, pengelola perpustakaan bekerja sama dengan berbagai perpustakaan perguruan tinggi negeri di Jatim. b. Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) Melalui lembaga ini para santri mendapatkan keterampilan membaca, mendengar, berdialog, menulis, dan menerjemahkan dalam bahasa Arab dan Inggris. LPBA juga mendatangkan guru tugas dari Universitas Al Azhar, Mesir. 253
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tarbiyah/09/01/08/24978-ponpes-sidogiri-pasuruanberkualitas-dan-tetap-tawadhu254 Ibid 255 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tarbiyah/09/01/08/24978-ponpes-sidogiri-pasuruanberkualitas-dan-tetap-tawadhu-
c. Balai Pengobatan Santri Balai Pengobatan Santri (PBS) yang ditangani oleh sejumlah tenaga dokter profesional dan spesialis di bidangnya. Santri tak dikenakan biaya check-up kesehatan, pengobatan, ataupun rawat inap. Seluruhnya gratis. d. Kopontren Untuk menunjang kemandirian pesantren selama ini, PPS memperoleh pendapatan dari SHU Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Sidogiri yang didirikan pada 1961. e. Pemukiman Santri PPS menyediakan asrama yang berada di lingkungan pesantren, terbagi dalam 14 blok, secara keseluruhan mencapai 276 kamar. Namun ada satu blok yang berada di Surabaya, secara khusus digunakan untuk menampung anak-anak yatim. 5. Pesantren Sidogiri Diberi Status Mu’adalah Sejak 2006, Pesantren Sidogiri mendapat status Mu’adalah (Persamaan) dari pemerintah, lewat Departemen Agama (Depag), Khususnya pendidikan MA. Status ini buka Pesantren Sidogiri yang meminta, namun tim dari Depag dating meneliti kegiatan dan prose belajar mengajar di Sidogiri. Setelah itu status Mu’adalah turun. Dengan status ini setidaknya pergerakan santri lebih luas. Tidak hanya di ruang formal. Tapi juga formal. Juga bisa melanjutkan pendidikan. Meski ststus mu’adalah didapat, hingga kini tak ada perubahan yang signifikan dalam system pembelajaran. Regulasi dan kurikulum yang digunakan tetap sama seperti sebelum Mu’adalah.256 Kegiatan Belajar mengajar menggunakan kalender hijriyah dimulai 15 Syawal dan berakhir 14 Sya’ban. Pendidikan Madrasah menggunakan kurikulum diniyah yang disusun khusus oleh pesantren dan diselenggarakan dengan system klasikal. Ada empat jenjang pendidikan di Sidogiri: Shifir (1 Tahun), Ibtidaiyah (6 Tahun), Tsanawiyah (3 Tahun), dan Aliyah (3 Tahun). Materi yang diajarkan juga tak ada perubahan. Kalaupun ada, bukan karena adanya Mu’adalah, tapi lebih pada arah tuntutan dan kebutuhan santri ke depan.
256
Asrori S. Karni. Etos Kerja Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 194
Pesantren tak mau, bila status pesantren diberikan lalu harus mengubah pakem yang sudah berjalan. Tapi, pesantren bukan anti perubahan. Pesantren juga membentuk tim evaluasi dan perumus kurikulum.257 Sepanjang itu tidak mengubah prinsip dasar yang sudah ditetapkan pesantren, adanya Mu’adalah disambut baik oleh pesantren. Karena tanpa Mu’adalahpun pesantren masih bisa eksis. Pada tahun 2008 saja yang laki-laki mencapai lebih dari lima ribu orang, belum termasuk santri perempuan.258 6. Pelajaran Umum Model Pesantren Sidogiri Mata Pelajaran umum di tingkat MA antara lain bahasa Indonesia, pengantar sosiologi dan pengantar psikologi. Pada kelas dua Aliyah sudah ada penjurusan: Tarbiyah, Dakwah dan Mu’amalah. Di masing-masing jurusan, terdapat materi pelajaran spesifik yang berbeda dengan jurusan lain. Materi pelajaran umum yang diberikan sudah menggambarkan kepekaan pesantren membaca kebutuhan anak didik untuk memasuki kehidupan nyata. 259 Misalnya di jurusan Tarbiyah diberikan pelajaran metodologi ilmu pendidikan, administrasi pendidikan, psikologi pendidikan, media pendidikan, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, proses belajar mengajar, penelitian pendidikan, psikologi pengembangan, ilmu statistic dan ayat-ayat pendidikan. Untuk jurusan Dakwah diberikan pelajaran, antara lain: pengantar ilmu ekonomi, teori ilmu ekonomi mikro dan makro, pengantar ilmu akuntansi, pengantar ilmu koperasi, ayat-ayat mu’amalh, analisa permodalan, transaksi syariah atau pengenalan ekonomi syariah perbankan, akuntansi perusahaan, ekonomi moneter dan sistim pelayanan perbankan.260 Pesantren juga kerap menyelenggarakan seminar, diklat dan workshop tentang berbagai materi kemasyarakatan. Terutama bagi santri yang hendak lulus. Ini penting sebagai pembekalan santri kelak ketika kembali ke masyarakat. Juga sebagai bekal ketika menjalankan tugas pesantren untuk mengabdi di masyarakat.261
257
Ibid Ibid 259 Ibid, hlm. 195 260 Ibid 261 Ibid 258
D. Analisis Pendidikan tradisional Pesantren Sidogiri Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal, sistem dan kelembagaan pesantren telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama dalam aspek kelembagaan yang secara otomatis akan mempengaruhi penetapan kurikulum yang mengacu pada tujuan institusional lembaga tersebut. Selanjutnya, persoalan yang muncul adalah apakah pesantren dalam menentukan kurikulum harus melebur pada tuntutan jaman sekarang, atau justru ia harus mampu mempertahankannya sebagai ciri khas pesantren yang banyak hal justru lebih mampu mengaktualisasikan eksistensinya di tengah-tengah tuntutan masyarakat.262 Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah". Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.263 Pondok pesantren Sidogiri tidak terpengaruh dengan adanya modernitas, Ia mampu bertahan dalam ketradisionalannya. Kurikulum Ponpes Sidogiri tidak melebur
dengan
arus
tuntutan
jaman
sekarang,
malah
ia
mampu
mempertahankannya ciri khas pesantren dan mampu mengaktualisasikan eksistensinya di tengah-tengah tuntutan masyarakat. Orientasi Ponpes Sidogiri murni untuk mendidik manusia dan mencetak mereka menjadi manusia berakhlak mulia. kesungguhan untuk benar-benar mengabdi pada masyarakat ditunjukkan 262
Dwi Priyanto, Inovasi Kurikulum Pesantren (Memproyeksikan Model Pendidikan Alternatif Masa Depan) Jurnal Ibda`P3M STAIN Purwokerto Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2006 hal 3 263 Yanuar, op.cit.,
oleh pesantren sejak dari seorang santri mulai masuk, dimana kesungguhan santri dan orang tua bisa dilihat dari kegigihan mereka mencari tempat untuk menuntut ilmu, tidak sekadar ikut popularitas. Karakter pondok juga ditunjukkan oleh keikhlasan kyai untuk benar-benar mendidik santri secara tulus tanpa rasa pamrih dan imbalan apapun. Di tengah-tengah maraknya formalisasi pendidikan, dimana beberapa pesantren mulai banyak yang terjebak sehingga kualitas kepesantrenannya pun berkurang. Pesantren yang semula hanya menyediakan pembelajaran kitab kuning dalam bentuk madrasah diniyah (pendidikan non formal), kini mulai membuka berbagai macam jenis pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai perguruan tinggi. Di satu sisi memang itu baik, demi mengimbangi tuntutan masa kini. akan tetapi yang kemudian ditanyakan yaitu ketika akhirnya pesantren juga ikut terbawa arus sehingga kehilangan karakter kepesantrenan-nya. Pesantren tidak lagi murni untuk mengabdi pada masyarakat tapi juga diselipi oleh kepentingan popularitas dan ekonomi. jangan sampai hal itu terjadi, atau pesantren akan kehilangan makna sebagai lembaga yang mencetak manusia berkarakter mulia. Beberapa sikap pesantren yang terlalu berlebihan dan terburu-buru dalam menyikapi arus globalisasi juga cenderung kurang baik, misalnya saja dalam mendirikan berbagai macam jenis pendidikan formal yang tidak dilandasi pertimbangan yang matang, sudah siap kah pesantren mendirikan pendidikan formal atau sekadar mengikuti arus? hal itu kemudian diperparah ketika pesantren terkesan terburu-buru dan menjadi follower. Sudah ada MTS, ada lagi SMP unggulan. sudah ada SMP unggulan ada lagi SMP Negeri. tidak lama setelah itu mendirikan Aliyah, sudah ada aliyah ada lagi SMA, kemudian SMK. tidak lama lagi mendirikan perguruan tinggi. yang satu belum matang, mendirikan yang lain. Itu semua terkesan buru-buru. Hasilnya
memang kelihatan, dengan cepatnya
pesantren tersebut
berkembang, santri membludak bahkan mungkin melebihi kuota. ruang kelas tak cukup sehingga kantin harus dialih fungsikan jadi kelas. Di satu sisi hal itu memang bagus sebagai upaya pemajuan pesantren. Tapi di sisi lain, menunjukkan
adanya ketidakkonsistenan pesantren terhadap fokus yang ditekuninya. Seolah sekadar asal membangun tapi tidak dilandasi dengan pondasi yang kuat. Berbeda dengan Pondok pesantren Sidogori, bukan berarti saya mendukung dengan keterbelakangan. Ia bisa menjaga kultur yang menjadi ciri khas sejak dulu. Ketradisionalan bukan berarti ketertinggalan, kemajuan bukan berarti kehilangan karakter, kemajuan bukan berarti ikut arus, itu semua yang ada sosok Pondok Pesantren Sidogiri. Tidak hanya itu, di balik ketradisionalannya, sidogiri juga tidak tereliminasi oleh arus globalisasi dan komersialisasi pendidikan. seperti yang terjadi pada beberapa pesantren salaf yang lain, semakin lama semakin merosot saja santrinya karena banyak santri yang memilih sekolah atau mondok di pesantren yang menyediakan lembaga pendidikan formal. akibatnya untuk mengatasi hal itu, pesantren-pesantren tersebut mengadakan lembaga-lembaga pendidikan formal. Selain itu, ditengah arus globalisasi dan komersialisasi pendidikan, Pondok Pesantren Sidogiri sampai sekarang tidak memiliki pendidikan formal semacam SD, SMP, SMA, dsb. Tapi jangan salah, kalau tanya skill bahasa inggris, bahasa arab, atau Komputer, mereka tidak ketinggalan. Di sana sudah disediakan berbagai macam kursus untuk melatih skill para santri agar tidak gaptek (baca: Buta Teknologi) dan ketinggalan zaman. Hanya saja sidogiri tidak kemudian mereduksi nilai-nilai kepesantrenannya sehingga terjebak pada pragmatisme jangka pendek, seperti yang terjadi pada beberapa pendidikan yang seolah-olah hanya untuk mengejar ijazah dan lupa pada substansi pendidikan sesungguhnya. E. Paradigma Pendidikan Ideal Menurut Pandangan Penulis Hemat penulis, pada hakikatnya Pesantren Sidogiri masuk kategori pesantren Partisipatif, seperti yang dikategorikan oleh Imam Suprayogo, Rektor UIN Maliki Malang. Beliau membagi pesantren berdasarkan perannya di tengah masyarakat dewasa ini menjadi tiga kategori: Pesantren Alternatif; Pesantren Partisipatif: dan Pesantren Komplementer. Disebut sebagai Pesantren Alternatif, karena keberadaannya berperan sebagai alternatif dari lembaga pendidikan formal pada umumnya. Masuk kategori ini adalah pesantren salaf. Bentuk pendidikan pesantren salaf memang sama sekali
berbeda dari lembaga pendidikan umum, baik aspek historis kelahiran, metodologi pengajaran, manajemen, kepemimpinan dan lainnya. Kategori Pesantren Partisipatif adalah pesantren yang masih menerapkan tradisi pendidikan pesantren salaf, misalnya melakukan kajian kitab kuning dengan sistem bandongan, weton dan sorogan, namun juga telah menerapkan proses belajar mengajar dengan sistem klasikal atau madrasah dan telah memiliki kurikulum, melakukan evaluasi hasil belajar dan lainnya seperti lembaga pendidikan modern umumnya. Disebut pesantren partisipatif, karena pesantren ini berpartisipasi membuka lembaga pendidikan formal, baik yang berada di bawah naungan Diknas, seperti SD, SMP, SMA, SMK, atau yang berada di bawah naungan Depag, seperti MI, MTs, MA, dan MAK. Sedangkan kategori Pesantren Komplementer adalah pesantren yang keberadaannya sebagai penyempurna dari lembaga pendidikan formal. Di beberapa lembaga pendidikan umum, melengkapi pendidikannya dengan pendidikan agama, dengan cara menyelenggarakan Pendidikan Diniyah atau untuk di beberapa perguruan tinggi agama Islam (STAIN, IAIN, UIN) dengan mendirikan apa yang disebut Ma’had Aly. Keberadaan Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly adalah sebagai penyempurna (takmili) dari pendidikan formal yang diselenggarakan, demikian tulis Suprayogo dalam websitenya. Jika dipahami dari pengertian pesantren partisipatif di atas, Pesantren Sidogiri masuk pada kategori Pesantren tersebut dari segi tradisi pesantren salaf, menerapkan pembelajaran klasikal, dan memiliki kurikulum, serta mengevaluasi pembelajaran. Namun bedanya Pesantren Sidogiri tidak membuka lembaga pendidikan formal seperti lembaga pendidikan modern. Kategori ini sebenarnya lebih tepat jika didasarkan pada perbedaan sistem pendidikan dan kurikulum yang diajarkan dari pada mengacu pada perbedaan menejemen, administrasi, infrastruktur pesantren atau pola kepemimpinannya. Sebab,
tidak
sedikit
pesantren
yang
telah
mengaku
modern
namun
kepemimpinannya masih bersifat kyai centris. Demikian juga pesantren terpadu, menejemen, sistem dan kurikulumnya hampir tidak berbeda dengan pesantren modern.
Diakui atau tidak, baik pesantren salaf atau pesantren modern ada nilai plus dan minus-nya sendiri-sendiri. Menurut saya, Pesantren salaf tetap mensakralkan otentisitas kultur tradisionalisme tanpa hirau dengan alam modernitas, dan kembali pada visi, misi atau orientasi pendidikan pesantren itu sendiri ketika kedua orientasi itu tidak bisa dikompromikan, dalam arti pesantren salaf tidak bersedia membuka diri dengan memasukkan kurikulum umum, maka selanjutnya kita hanya punya pilihan: membiarkan eksistensi pesantren salaf seperti apa adanya dan kembali kita tegaskan bahwa lembaga inilah yang khusus bergerak dan bertanggung jawab dalam mencetak kader-kader yang memiliki cita-cita dan obsesi sebagai ahli agama. Sejalan dengan itu, kita juga membiarkan eksistensi pesantren modern dengan menegaskan fungsinya sebagai lembaga alternatif untuk anak didik yang memiliki obsesi menjadi manusia profesional sekaligus tidak asing dengan ajaran agamaannya. Sederhananya, santri yang ingin menekuni bidang agama, maka harus masuk pesantren salaf, dan santri yang ingin menjadi tenaga profesional tanpa harus ketinggalan pengetahuan dasar agama, maka alternatifnya masuk pesantren modern. Dengan penegasan spesifikasi fungsional seperti ini, setidaknya pesantren salaf dan modern telah mengakomodir seluruh aspirasi cita-cita anak didiknya sesuai obsesi masing-masing. Dan dengan sendirinya, keberadaan pesantren salaf telah menjadi semacam tempat Takhashshush (spesialisasi) bidang keagamaan. Sedangkan untuk solusi kekhawatiran masyarakat pesantren salaf akan tertinggal, bisa disiasati dengan pembenahan sistem pembelajaran yang tidak hanya monologis, melainkan juga harus mengintensifkan sistem dialogis-emansipatoris yang mendorong kreatifitas analitis santri. Namun harus dicatat, resiko yang paling bisa diprediksi dari pilihan seperti ini adalah semakin menurunnya jumlah santri pesantren salaf sebagai konsekuensi dari minimnya kecenderungan masyarakat modern menekuni bidang keagamaan. Tetapi, memang inilah sebuah resiko dilematis ketika pesantren harus memilih prioritas kualitas dari pada kuantitas. Ada beberapa alasan tentang mengapa membiarkan pendidikan sesuai eksistensi masing-masing pesantren: 1. Modernisasi pesantren memaksa pesantren memiliki fungsi ganda. Fungsi untuk menjawab tuntutan modern sekaligus fungsi menjaga nilai-nilai kultural dan
tradisionalismenya. Fungsi ganda ini mau tidak mau akan berpengaruh pada kapasitas pesantren dalam menghasilkan kualitas anak didik secara maksimal. Bahkan tidak jarang fungsi ganda ini menghasilkan kualitas keilmuan santri yang setengah-setengah, atau menghasilkan kesejenjangan prestasi. Fenomena yang lazim terlihat, santri pesantren modern jika prestasi ilmu agama dan ilmu umumnya sama-sama tidak maksimal, galibnya ilmu umumnya cenderung menonjol dibanding ilmu agamanya. Hal ini bisa dilihat di forum-forum diskusi antar pesantren yang mempertemukan santri pesantren salaf dengan pesantren modern. Dalam forum diskusi keagamaan seperti bahtsul masa'il, santri pesantren salaf relatif mendominasi penguasaan keilmuan baik dari segi ilmu alat atau fiqhnya. Hal ini tercermin pada diri penulis yang juga jebolan dari pesantren modern. 2. Sistem pendidikan pesantren modern yang kian intensif menekankan aspek pengajaran (Ta'lîm) dalam penguasaan sains, teknologi, ketrampilan dan bidangbidang yang berbasis profesionalisme, cenderung mengabaikan aspek Tarbiyah sebagai ikhtiar pembentukan mentalitas kepribadian santri. Kurangnya intensitas penekanan aspek Tarbiyah dan Ruhiyah, sedikit banyak telah melunturkan budaya
salaf,
seperti
hilangnya
kecenderungan
melakukan
tirakat,
kesederhanaan, ketaatan, kepatuhan, keikhlasan dan aspek-aspek kezuhudan lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadikan anak didik cenderung abai dengan moralitas, bermental materialistik, atau bahkan berpikiran liberalisme. 3. Modernisasi pesantren dalam sistem, menejemen dan struktur kepengurusan yang kolektif, telah banyak menggeser otoritas dan interaksi kiai-santri. Kondisi ini meski satu sisi bisa menjamin efektifitas hierarki kepemimpinan di pesantren, namun juga memberi pengaruh berbeda pada psikologi santri. Problematika-problematika demikian inilah sebenarnya yang ditakutkan oleh pesantren salaf jika harus berubah mengikuti tuntutan modernisme. Di satu sisi masyarakat menginginkan perubahan pesantren, namun ketika sebagian pesantren berubah, banyak yang prihatin dengan output-nya. Santri pesantren modern yang digadang-gadang bisa tampil menjadi figur ideal sebagai ulama dan profesional, nyatanya tak sedikit yang tak sesuai dengan harapan.
F. Daftar Rujukan Arman.
http://armancoy37.blogspot.com/2012/11/profil-pondok-pesantrensidogiri.html. diakses 13 Januari 2013
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kiai. Jakarta: LP3ES Fathol Halik Pendidikan Pesantren di Tengah Tantangan Politisasi dan Globalisasi, Jurnal
KARSA,
Vol.
XV
No.
1
April
2009.,
hal
36
http://www.karsa.stainpamekasan.ac.id/index.php/jks/article/viewFile/58/4 7// diakses tanggal 27 Desember 2012 Mastuki, HS. El-sha, dan Ishom, M. 2006. Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka Nur Hasyim Saiful Anam, http://www.piss-ktb.com/2012/02/523-pesantren-jatim-ppsidogiri-putra.html. diakses 12 Januari 2013 Priyanto, Dwi. 2006. Inovasi Kurikulum Pesantren (Memproyeksikan Model Pendidikan Alternatif Masa Depan) Jurnal Ibda`P3M STAIN Purwokerto Vol. 4 No. 1 Jan-Jun. S. Karni, Asrori. 2009. Etos Kerja Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam. Bandung: Mizan Yanuar, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; "Sebuah Pilihan Sejarah"
http://yanuar.student.umm.ac.id/2010/01/30/membongkar-
tradisionalisme-pendidikan-pesantren-sebuah-pilihan-sejarah/ tanggal 27 Desember 2012
diakses
INDEKS PENULIS Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam Volume 1, No. 1 Tahun 2016 A. Rifqi Amin
TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)
Romdloni
IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH
Ahmad Zarkasy KONSEP PENGEMBANGAN PROGRAM UNGGULAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM Siti Halimah
PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM KAJIAN ISLAM NASR HAMID ABU ZAYD
Jakaria Umro
MENCERMATI TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, IMPLIKASINYA TERHADAP PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Nur Hasan
SASARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KONTEKS PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG
Laily Nur Arifa PENGEMBANGAN RAHMATAN LIL’ALAMIN MELALUI PAI; MENGGAGAS KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN M. Ma’ruf
DEKONSTRUKSI GENDER DALAM PESANTREN
Sufirmansyah
MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
Sodikin
KONSEP REZEKI DALAM PERSPEKTIF SAINS PETUNJUK BAGI PENULIS
Artikel yang dikirim harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Arttikel harus merupakan karya orisinil dan belum pernah dipublikasikan dimedia apapun. Tema tulisan adalah seputar kajian pendidikan Islam. 2. Panjang tulisan antar 15-20 halaman, diketik dengan spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 dengan font Times New Roman ukuran 12 Pt dan kata-kata / bahasa arab menggunakan Tradisional Arabic dengan ukuran 16 Pt. 3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia, Inggris yang baku dengan ragam tulisan ilmiah. 4. Sistematika tulisan terdiri dari : Judul, Nama penulis, dan Identitas /asal lembaga penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, pembahasan ( terdiri dari sub-sub bab ), penutup, daftar pustaka.
5. Abstrak dibuat antara 150- 200 kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris dan kata kunci ( 4-6 kata ) dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 6. Setiap bahasa asing dan bahasa daerah, selain nama orang dan tempat, serta yang belum terserap dan terbukukan dalam bahasa Indonesia ditulis dengan cetak mirig (Italic), khusus kata arab ditulis Italic dengan mengikuti pedoman transliterasi. 7. Kitipan dibuat dalam bentuk footnote dengan mengikuti sebagai berikut: a. Buku James dean Brown, Testing in language program ( New Jersey: Prentice-Hall Regents, 1996), 35 b. Buku terjemahan Mehdi Nakosteen, kontribusi Islam atas dunia barat, terj. Joko. S.Kandar dan Suprianto Abdullah (Surabaya: Risalah gusti, 2003), 101 c. Kitab Suci Qs. Al-Maidah: 12 8. Penulis dapat mengirimkan file artikelnya dalam bentuk CD ke alamat:
[email protected]