Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam
Penanggung jawab: Ketua STIT PGRI Pasuruan Ketua Penyunting: Mohammad Aufin, M.M. Wakil Ketua Penyunting: Dra. Ayu Maya Damayanti, S.H., M.Pd Penyunting Ahli: Ninik Suryatiningsih, M.Pd. Drs. Supriyo, M.Pd. Dr. H. Sugeng Pradikto, M.Pd. Penyunting Pelaksana: Miftakhul Munir, M.Pd.I. Nur Hasan, M.Pd.I. M. Sodikin, M.Pd.I. Pelaksana Tata Usaha: Siti Halimah, M.Pd.I. M. Ma’ruf, M.Pd.I. Jakaria Umro, M.Pd.I. Mitra Bestari: Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. Prof. H. Fauzan Saleh, M.A., Ph.D. Dr. Hj. Meinarni Susilowati, M.Ed. Dr. Hj. Dies Nurhayati, M.Pd. Dr. Khoirul Huda, S.H., M.Hum.
Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam
Volume 1, No 1, Tahun 2016
ISSN 2503 -0701
TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) A. Rifqi Amin
~
1
IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH Romdloni
~
17
KONSEP PENGEMBANGAN PROGRAM UNGGULAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM Ahmad Zarkasyi
~
24
PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM KAJIAN ISLAM NASR HAMID ABU ZAYD Siti Halimah
~
35
MENCERMATI TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, IMPLIKASINYA TERHADAP PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Jakaria Umro
~
43
SASARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KONTEKS PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG Nurhasan
~
49
PENGEMBANGAN RAHMATAN LIL’ALAMIN MELALUI PAI; MENGGAGAS KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN Laily Nur Arifa
~
59
DEKONSTRUKSI GENDER DALAM PESANTREN M. Ma’ruf
~
73
MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEJARAH PERADABAN ISLAM Sufirmansyah
~
82
KONSEP REZEKI DALAM PERSPEKTIF SAINS Sodikin ~ 90
TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)
A. Rifqi Amin
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Hasanuddin Pare Kabupaten Kediri
ABSTRAK Pendidikan inklusi di Indonesia sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan. Yakni, pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang merata untuk semua golongan, dan pendidikan yang mengintegrasikan perbedaan. Terlebih lagi, dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI) paradigma pendidikan tersebut dapat digunakan sebagai upaya untuk membangun budaya unggul. Yakni, budaya yang mengoptimbalkan seluruh sumber daya manusia yang ada dalam menyukseskan pembangunan bangsa tanpa mendiskriminasikan salah satu golongan pun. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah kaderasisasi umat Islam berperan penting dalam pengembangan pendidikan inklusi tersebut. Mengingat, selama ini PAI dituding masih mengabaikan begitu saja generasi Islam yang dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba menawarkan salah satu jawaban atas keraguan tersebut. Salah satunya kecurigaan tentang nihilnya nilai-nilai inklusif dalam ajaran Islam.
Kata Kunci: Titik Singgung, PAI, Pendidikan Inklusi
Pendahuluan Kajian tentang “pendidikan inklusi”1 pada zaman modern ini merupakan sebuah tuntutan dan tanggung jawab kemanusiaan bersama. Hal ini karena segala ilmu (psikologi, sosiologi, biologi, dan sebagainya), sarana, prasarana, biaya, dan penunjang lainnya yang terkait dengan pelaksanaan serta kesuksesan pendidikan inklusi tersebut sudah cukup mumpuni untuk mendukung bahkan begitu mudah untuk diperoleh. Di tambah lagi, banyak sekali tuntutan dari berbagai organisasi atau kelompok penegak nilai-nilai “kemanusiaan” yang mendorong pemerintah maupun masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan untuk mengadakan pendidikan inklusi2 secara merata. Dampaknya, secara lambat laun telah terjadi kesamaan visi sampai persamaan paradigma antar berbagai elemen tersebut, sehingga menyebabkan wacana dan budaya pendidikan inklusif telah berkembang signifikan pada akhir-akhir ini. Misalnya, anak penyandang kelainan atau berkebutuhan khusus tidak boleh 1
Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah “pendidikan terintergrasi,” “pendidikan terpadu,” “pendidikan holistik,” dan “pendidikan humanistik” sebagai pengganti istilah pendidikan inklusi. Di mana, yang dimaksud pendidikan inklusi di sini adalah pendidikan yang mengakomodir Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Yakni, anak yang memiliki kelainan, ketunaan, atau hambatan dalam melakukan proses pembelajaran serta anak yang memiliki kelebihan, kecepatan tinggi, atau keunggulan dalam melakukan proses pembelajaran. 2 Smith menegaskan bahwa dalam pendidikan inklusi terdapat adanya sebuah “keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang [dilakukan secara] menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial[,] dan konsep diri (visi-misi) sekolah.”J. David Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,” dalam Inclusion, Scholl for All Student, terj. Enrica Denis (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 45.
didiskriminasikan dalam memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas3 sehingga tidak mencederai rasa kemanusiaannya. Kendati demikian, masih ada anggapan atau bahkan paradigma tertentu. Yakni, yang menganggap bahwa peserta didik berhak dikatakan sebagai “manusia” bila memenuhi syarat atau standar tertentu, sehingga bisa dikatakan dikategorikan sebagai yang “normal”. Baik kenormalan secara fisik maupun mental. Dengan asumsi, untuk mencapai standar kenormalan tertentu maka peserta didik harus memenuhi syarat keumuman manusia.4 Bila tidak memenuhi standar itu maka ia harus dipisahkan dari golongan manusia 3
Masalahnya, pendidikan yang bermutu dan berkualitas itu sangat berbeda penerimaannya menurut anak yang berkebutuhan khusus (baik yang berkelainan maupun yang memiliki kecerdasan tinggi) dengan anak pada umumnya (anak “normal”). Di mana, suatu pendidikan disebut bermutu dan berkualitas menurut anak pada umumnya belum tentu berkualitas (baik karena terlalu berkualitas atau kurang berkualitas) menurut anak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, layanan yang berkualitas saja tidak cukup. Cara yang tepat untuk memanusiakan ABK salah satunya ialah memasukkan mereka ke dalam sekolah umum (reguler). Dengan demikian, mereka tidak akan merasa tersingkirkan (diasingkan) karena tidak boleh berkumpul dengan anak “normal.” Kendati demikian, pada batas-batas tertentu baik batas pada tingkat kualitas individu ABK-nya serta tingkat kuantitasnya bila dalam proses pembelajaran tidak memungkinkan untuk dicampur dengan anak “normal” maka hal itu bisa ditolerir untuk dipisahkan atau dibedakan metode (strategi) pembelajarannya. Akan tetapi dalam aspek lain antara mereka semua satu sama lain tidak boleh dipisahkan, misalnya dalam proses interaksi sosial. 4 Label kemanusiaan mereka tidak lengkap (utuh) seperti label kemanusiaan seperti halnya yang di sandang oleh manusia yang lain. Bahkan, mereka tidak lagi didanggap sebagai manusia bila mengalami “kecacatan” yang parah.
“normal”5 meskipun kenyataannya ia punya potensi untuk berprestasi dalam bidang tertentu. Bahkan, dimungkinan bisa melebihi peserta didik yang “diberlakukan” secara normal sekalipun.6 Dapat dikatakan, tindakan seperti itu merupakan pendiskriminasian terhadap orang-orang yang disebutsebut berada di luar wilayah normal. Baik pendiskriminasian secara psikologis (menolak karena alasan iba, kasihan, jijik, takut, memandang rendah, dll), sosiologis (dikhawatirkan mengganggu atau merusak tatanan sosial, difonis sebagai patologi sosial, sebagai sumber kesialan, dll)7, pedagogis (dikhawatirkan menganggu kegiatan pembelajaran, butuh penanganan khusus, butuh dana tambahan, dll), biologis (takut ketularan penyakit/virus/kuman dan membuang-buang tenaga karena pendidik akan lebih cepat lelah atau capek dalam mendidiknya), dan sebagainya. Inilah yang penulis sebut sebagai sekolah “pemisahan” atau biasa dinamai dengan sekolah ekslusi. Yakni, memisahkan antara masyarakat (peserta didik) “normal” dengan masyarakat atau peserta didik yang “tidak normal”. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri adakalnya anak berkelainan merupakan manusia yang butuh perawatan dan penanganan khusus. Seringkali dibutuhkan perlakuan yang berbeda. Bahkan, bisa jadi pelayanan dan fasilitas proses pendidikannya melebihi apa yang diberikan pada anak normal. Di tengah kenyataan yang “berbeda” itu bukan berarti mereka harus dibedakan haknya, disingkirkan, dimatikan kreatifitasnya, dilarang untuk berinteraksi dengan manusia “normal”, dan penanganan terhadapnya dianggap sebagai sesuatu kesia-siaan (kemustahilan). Bagaimanapun, mereka adalah aset masyarakat dan bangsa yang harus dikembangkan. Bukan suatu kemustalihan bila mereka diperlakukan dengan tepat (layak dan konsisten) keberadaan mereka kelak di masyarakat akan jauh lebih bermanfaat. Hal tersebut bilamana dibandingkan 5
Penggunaan istilah anak “normal” (tidak mengalami hambatan) dan “tidak normal” (mengalami ketunaan) di sini tidak dimaksudkan untuk membuat garis pemisah terkait hak dan kewajibannya. Akan tetapi, dimaksudkan supaya bisa memberikan fasilitas dan model pendidikan yang tepat bagi mereka semua yang memiliki perbedaan. Dengan kata lain, pembedaan terhadap peserta didik (terutama antara yang “normal” dan “tidak normal”) dilakukan untuk memetakan dan mengetahui kebutuhan peserta didik yang beranekaragam tersebut. 6 Kasus seperti ini lebih sering terjadi pada Anak berkebutuhan khusus yang memiliki ketunaan (hambatan) daripada anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. 7 Lebih parah lagi, ada anggapan (mitos) bahwa manusia yang tidak normal sebagai sebuah “karma” yang diterima oleh orang tuanya dari dosa-dosa yang dilakukan di masa lalu. Oleh karena itu, perlakuan diskriminatif terhadap mereka layak untuk diberikan dengan dalih sebagai bentuk “pelajaran” sosial bagi semuanya.
dengan mentelantarkan atau menyingkirkan mereka. Oleh karena itu, segala apa yang ada pada mereka senantiasi diterima sebagai kenyataan yang harus diperlakukan sama seperti individu lainnya. Bukan malah dibinasakan dengan perlahan-lahan terlebih lagi secara masif. Dalam konteks PAI, selama ini sistem pembelajaran (tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan sebagainya) pada umumnya masih banyak ditujukan untuk anak-anak yang “normal” saja. Yakni, peserta didik yang dianggap mampu untuk menerima dan melaksankan amanah (tujuan) PAI guna diimplementasikan di masyarakat kelak. Bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus (utamanya anak berkelainan) tidak berhak untuk menerima amanah ini. Bisa dikatakan, mereka cukup hanya diajari rukun Islam dan rukun iman untuk dipraktekan bagi mereka sendiri. Meski kegiatan tersebut belum bisa dipraktikan secara optimal. Yakni, supaya mereka bisa menerapkan bagaimana cara sholat untuk anak yang tidak bisa berdiri atau tidak bisa berjalan, bagaimana cara mengaji bagi anak yang buta, bagaimana cara wudu bagi anak yang tak punya tangan, dan sebagainya. Mereka tidak diajari atau diberi kesempatan bagaimana cara mengaktualisasikan diri di masyarakat, bagaimana cara diri mereka mengembangkan diri agar bisa beramanfaat bagi masyarakat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemberdayaan dan pengembangan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)8 masih sangat kurang di dalam PAI. Kekurangan semacam itu bisa jadi karena memang pendidik PAI tidak dibekali ilmu untuk menangani ABK secara tepat. Serta bisa juga karena fasilitas dan layanan bagi ABK di lembaga pendidikan tersebut tidak begitu diperhatikan oleh pihak lembaga pendidikan sehingga pendidik PAI pun ikut serta mengabaikan keberadaan mereka. Namun demikian, meski di tengah keterbatasan tersebut seharusnya pendidik PAI tetap bersemangat dan berparadigma bahwa para ABK memiliki hak dan layananan yang sama dengan anak normal. Dengan kata lain, pendidik PAI harus menjadi teladan dalam menyukseskan proses pendidikan inklusi. Yakni, salah satunya dengan cara menanamkan nilai-nilai inklusifitas terhadap peserta didik normal. Hal itu supaya, mereka tetap berinteraksi secara “normal” (alami tanpa dibuat-buat) dengan peserta didik lain yang memiliki status ABK. Selama ini masih banyak perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pendidik baik secara langsung (mencela) maupun tidak langsung (tidak memperhatikan kelebihan dan kelemahan, bukan karena sengaja tapi karena keterbasan danan, sarana, prasaran, 8
Peserta didik yang dikategorikan sebagai ABK di sini ialah yang memiliki keterbatasan fisik dan mental maupun yang memiliki kelebihan fisik dan kecerdasan tertentu.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 4
maupun minimnya SDM) telah menyederai kenyataan heterogenitas masyarakat. Anak berkebutuhan khusus juga bagian masyarakat yang berhak secara langsung dan sadar untuk mewarnai perkembangan budaya masyarakat. Oleh karena itu, dalam karya tulis ini penulis berusaha memberikan sebuah tawaran konsep filosofis serta paradigma bagi PAI yang diadakan pada sekolah inklusif. Serta bagi lembaga pendidikan yang memiliki tingkat keberagaman peserta didik yang cukup tinggi. Dengan asumsi, semestinya tujuan PAI secara holistik tidak lagi hanya difokuskan untuk anak-anak yang “normal”, tapi juga bagi anak lainnya terutama yang menyandang disabilitas. Sudah saatnya PAI melibatkan ABK bergaul bersama-sama dengan anak yang lainnya dengan berinteraksi dan belajar untuk membentuk pribadi serta kehidupan sosial yang unggul. Konsep Dasar 1. Pengertian Pendidikan Inklusi Kata “inklusi”9 berasal dari bahasa inggris yaitu inclusion yang berarti “termasuknya, pemasukan, pencantuman.”10 Dalam kamus bahasa Indonesia kata inklusif berarti termasuk atau terhitung. 11 Secara rinci Geniofam memaparkan bahwa “pendidikan inklusif merupakan layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak-anak sebayanya di sekolah reguler.” Sedangkan menurut Sapon-Shevin sebagaimana dikutip Geniofam menyatakan bahwa pendidikan inklusif ialah sistem layanan pendidikan yang mewajibkan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di lembaga 9
Smith menyatakan bahwa inklusi merupakan “istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah inklusi... Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.” Lebih lanjut, kata “inklusi” menurut Fuchs dan Fuchs sebagaimana dikutip Smith bisa memiliki arti berbedabeda antar satu orang dengan yang lain. Sebagian dari mereka mengartikan sebagai cara baru untuk berbicara tentang pendidikan arus utama (pendidikan umum atau reguler). Beberapa yang lain mungkin menyebutkan sebagai sekolah luar biasa gaya baru (SLB gaya baru). Bahkan, bagi yang lainnya lagi mengartikan inklusi sebagai jargon untuk menyerukan “full inclusion” atau “uncompromising inculison” yang berarti penghapusan terhadap pendidikan luar bisa (SLB) secara total.” Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 45. 10 John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris-Indonesia,” dalam An English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Gramedia Cet. II edisi tanpa indeks, 2013), hlm. 316. 11 “Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbioffline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
pendidikan terdekat di kelas biasa (reguler) berasama teman-teman seusianya. Di mana, sekolah ini menampung semua murid di kelas yang sama. Serta menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.12 Pengertian di atas hampir sama menurut Smith yang mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut: Pendidikan inklusif ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar di mana mereka masing-masing mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda.13 Lebih dari itu, penjelasan yang tegas dan aplikatif telah dinyatakan dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 1 bahwa: Pendidikaninklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. 14 Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap lembaga (terumata yang ditunjuk secara resmi sebagai pelaksana pendidikan inklusi) dituntut untuk menyesuaikan kurikulum, sarana-prasarana, sistem pembelajaran, dan sebagainya yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Mengingat, program layanan pendidikan inklusi belum banyak diketahui oleh masyarakat maka dibutuhkan promosi yang ekstra. Lebih lanjut, beberapa pemikiran yang mendasari diterapkannya pendidikan inklusif antara lain: a. Semua anak memiliki hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu;
12
Geniofam, Mengasuh &Menyukseskan Anak Berkebutuhan Khusus (Jogjakarta: Garailmu, 2010), hlm. 6162. 13 Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 18. 14 “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permend iknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 5
b. Semua anak mempunya kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya; c. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak; d. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespons dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda;15 Lebih detail, masih menurut Geniofam bahwa penempatakan anak berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain: a. Kelas Reguler; pada model ini, ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari tanpa batas di kelas regular dengan menggunakan kurikulum yang sama. b. Kelas Regular dengan Cluster; dengan model ini, anak berkelainan belajar bersama anak lain di kelas regular dalam kelompok belajar khusus. c. Kelas Regular dengan Pull Out; ABK belajar bersama dengan yang lain di kelas regular, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas tersebut ke ruang sumber untuk belajar bersama pendidik pembimbing khusus. d. Kelas Regular dengan Cluster dan Pull Out; dalam model ini, ABK belajar bersama anak lain di kelas regular dalam kelompok khusus. Dalam waktu-waktu tertentu mereka ditarik dari kelas regular menuju ruang sumber untuk belajar dengan pendidik pembimbing khusus. e. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian; ABK belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular. Namun, dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. f. Kelas Khusus Penuh; pada model ini, anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus (kelompok khusus) pada sekolah regular. 16
pembelajaran yang terbuka untuk semua kalangan yang berbeda-beda latar belakang kemampuan fisik dan kecerdasannya di lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini sebagaimana penjelasan Santoso bahwa sekolah inklusif yang mampu menjalankan metode pembelajaran dan pengajaran pendidikan inklusi diharapkan bisa mengakomodasi berbagai jenis keberagaman. Dengan demikian, tidak ada lagi pola eksklusivitas (pengkususan) dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagaimanapun, penyelenggaan pendidikan yang mengkotak-kotakan (pembagian segementasi) peserta didik secara dikotomis dapat menghambat proses interaksi. Implikasinya, tidak mustahil bila hal itu dapat tertanamnya sifat pendiskriminasiaan terhadap sesama. Selain itu, bagi peserta didik yang didiskriminasikan maka kedudukannya mereka akan semakin kokoh dalam terpinggirkannya (teraleniaisasi) dari dinamika sosial kemasyarakatan. 17 2. Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus atau biasa juga disebut anak luar biasa18 menurut Geniofam ialah: Anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan khusus terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat [cerdas istimewa], dan anak dengan gangguan kesehatan. Anak berkebutuhan khusus ini sering disebut sebagai anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristiknya tersebut anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk layanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.19
17
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi ialah lembaga pendidikan yang berusaha membentuk karakter, kecerdasan, dan keutuhan manusia melalui 15
62-63.
16
Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.
“Dengan demikian, tidak setiap anak berkebutuhan khusus diharuskan berada dalam kelas regular dengan mengikuti semua mata pelajaran yang ada. Sebagian dari mereka dapat berada dalam ruang khusus atau ruang terapi tergantung dari gradasi kelainannya. Bahkan, untuk anak dengan garadasi kelainan yang cukup berat dapat lebih lama berada dalam ruang khusus daripada ruang reguler. Sedangkan untuk anak dengan gradasi kelainan yang sangat berat, lebih dianjurkan untuk mendapatkan pendidikan di SLB, bukan di sekolah inkusif.”Lihat, Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm. 64-65.
Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa tidak...?! (Jogjakarta: Diva, 2010), hlm. 141. 18 Menurut Abdul Hadis, pengertian anak luar bisa tidak selalu mengacu paa anak yang memiliki kemampuan unggul atau berperstasi luar biasa. Namun juga ditujukan pada anak yang mengalami kelaianan atau ketunaaan, baik yang hanya memiliki satu jenis kelainan maupun lebih dari itu (tunaganda). Ia juga menjelaskan bahwa “dalam dunia pendidikan luar biasa seorang anak diartikan sebagai anak yang luar biasa jika anak tersebut membutuhkan perhatian khusus dan layanan pendidikan yang bersifat khusus oleh guru pendidik atau pembimbing khusus yang berlatarbelakang disiplin ilmu pendidikan luar biasa atau disiplin ilmu lainnya yang relevan dan memiliki sertifikasi kewenangan dalam mengajar, mendidik, membimbing, dan melatih anak luar biasa.” Lihat, Abdul Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan Khusus-Autistik (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 1-2. 19 Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.49.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 6
Dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa pemberian “status” Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak selalu ditujukan pada anak yang mengalami kelainan mental,20 ketidakmampun mengontrol emosi, dan terjadinya kelainan fisik. Anak yang memiliki bakat (kecerdasan) istimewa tertentu juga bisa digolongkan dalam katagori anak semacam ini. Bisa dikatakan, ABK merupakan anak yang punya karaktersitik khusus. Yakni, keadaan yang menjadikan mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Istilah lain dari ABK ialah anak luar biasa21 serta anak penyandang cacat. Seiring berkembangnya waktu, sebagai upaya pemberdayaan mereka maka dibuat istilah different abilities people (difabel). Yakni, seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda. 22 Lebih lanjut, dengan karakteristik khusus dan hambatan yang dimilikinya, maka ABK membutuhkan suatu layanan23 pendidikan khusus. 24 Di mana, pola
20
“Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremelly gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.”Lihat, Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 8. 21 “Dalam dunia pendidikan, kata luar biasa juga merupakan julukan atau sebutan bagi mereka yang memiliki kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan penyimpangan yang tidak dialami oleh orang normal pada umumnya. Kelainan atau kekurangan yang dimiliki oleh mereka yang disebut luar biasa dapat berupa kelainan dalam segi fisik, psikis, sosial, dan moral.” Lebih lanjut, “anak luar biasa disebut sebagai anak yang berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanaan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layananan lainnya yang bersifat khusus.” Lihat,Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 4-6. 22 Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 127. 23 “Jenis-jenis layanan tersebut diberikan secara khusus kepada anak yang berkebutuhan khusus oleh pihak yang berkompeten pada setiap jenis layanan itu. Adapun yang termasuk pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan layanan pendidikan, sosial, bimbingan konseling, dan jenis layanan lainnya ialah para pendidik yang berijazah pendidikan luar biasa, pekerja sosial, konselor/petugas bimbingan konseling, dan ahli lain yang relevan dengan jenis
pembelajaran mereka disesuaikan dengan kemampuan dan potensi masing-masing individu. Misalnya, bagi tunanetra dibutuhkan teks bacaan dari tulisan Braille dan penyandang tunarungu membutuhkan kemampuan bahasa isyarat untuk komunikasi. Adakalanya, dalam tingkat (kualitas) ketunaan tertentu maka ABK perlu untuk mengikuti program pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Dengan klasifikasi “SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras, dan SLB bagian G untuk cacat ganda.”25 Dengan demikian, seharusnya ABK tidak hanya dituntut oleh pendidik untuk mengoptimalkan kelebihannya yang dimilikinya akan tetapi segala kelemahannya juga harus diterima. Serta mereka diberi kesempatan seoptimal 26 mungkin untuk meminimalisir kelemahannya melalui pendidikan inklusi.
Sebagai media untuk memudahkan pemahaman maka perlu penulis gambarkan tentang “posisi” anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi sebagai berikut:
layanan yang diberikan kepada anak luar biasa.” Lihat,Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 6. 24 “Pendidkan khusus adalah pengajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan muridmurid khusus. Pendidikan ini dirancang secara khusus, dijalankan secara teratur, serta dinilai keefektifannya secara teliti untuk membantu murid dengan kebutuhan khusus dalam mencapai tahap kemandirian dan keberhasilan hidup yang memuaskan.” Lihat,Jamila K. A. Muhammad, “Panduan Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special Education for Special Children, terj. Edy Sembodo (Jakarta: Hikmah, 2008) hlm. 2. Diperinci oleh Hadis bahwa “dalam dunia pendidikan istilah luar biasa mengandung pengertian ganda, yaitu mereka yang menyimpang ke atas karena mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding dengan orang normal pada umumnya dan mereka yang menyimpang ke bawah, yaitu mereka yang menderita kelainan atau ketunaan dan kekurangan yang tidak diderita oleh orang normal pada umumnya.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 5. 25 Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 128. 26 Kata optimal menjadi pilihan utama “karena ‘full inclusion’ lebih mempunyai konotasi negatif dan sulit disepakati bagi sebagian orang, kerangka filosofi yang akan dipakai di sini adalah ‘optimal inclusion’. Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkatan inklusi yang memuaskan tiap individu siswa.” Tujuan utamnya ialah membantu pendidik menjadi lebih professional, sehingga dapat memandang peserta didik sebagai yang utama dan pertama kali dalam setiap keadaan. Sedangkan kesulitan (disability) yang dimilikinya merupakan salah satu karakter dari individualitasnya. Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm.46.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 7
sama dalam memandang peserta didik yang mempunyai kesulitan (hambatan) maupun kemudahan (kecepatan dalam memahami yang tinggi). Yakni, salah satunya bahwa layanan pendidikan untuk mereka merupakan hak dan tanggung jawab bersama semua pendidik. 28
Masih mengacu dari gambar di atas, maka penulis dapat membagi anak berkebutuhan khusus menjadi dua kategori yaitu:
Gambar: 1 Identifikasi keberagaman anak dalam pendidikan inklusi
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus tetap harus “dibedakan” dalam arti pendekatan dan perhatiannya (butuh penangan khusus) pada pendidikan inklusi. Mengingat, mereka memiliki kondisi27 yang berbeda dibanding anak yang normal. Begitu pula sebaliknya anak yang tidak berkebutuhan khusus (anak pada umumnya) harus diberi pengertian bahwa sebagai yang mayoritas mereka harus bisa lebih mengayomi dan memahami keadaan ABK. Segala potensi (kelebihan) dari ABK harus mereka apresisasi dan segala kelemahannya harus diterima bersama. Oleh karena itu, sebagaiamana menurut Smith, semua pendidik harus mempunyai paradigma yang 27
“Jenis dan penyebab kelainan fisik sangat berbedabeda. Sebagian anak dilahirkan dengan kelainan bawaan (congenital disabilities). Dampak dari memiliki kecacatan sejak lahir dapat berbeda dengan memiliki kecacatan yang terjadi kemudian pada masa anak-anak sebagai akibat dari penyakit atau cidera. Beberapa kelainan fisik mungkin relatif ringan dan dapat diatasi (misalnya, beberapa kasus penyakit diabetes), tapi ada pula yang berat dan membutuhkan pendukung dari berbagai sumber daya (misalnya, beberapa kasus anak cerbral palsy jenis spastic quadriplegia). Sebagian kelainan fisik dapat bersifat progresif (misalnya, kelainan pertumbuhan otot/musculardysthorpy), dan sebagian mungkin fatal (misalnya, AIDS).” Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 173-174.
a. Anak yang punya kesulitan atau hambatan (disability) Faktor penyebab terjadinya kelainan (hambatan) pada anak penyandang disability29 dari masa (proses) terjadinya secara umum dapat diklasifikasikan pada saat sebelum kelahiran (pranatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah kelahiran (postnatal). 30 Salah satu contoh konkritnya menurut Hallahan & Kauffman sebagaimana dikutip Efendi bahwa mengkonsumsi alkohol secara berlebihan berpengaruh terhadap kelahiran bayi yang disertai kelainan fisik maupun mental (tunagrahita).31 Adapun dalam konteks Indonesia, anak yang mempunyai gangguan perkembangan (kesulitan atau hambatan) yang telah diberikan layananan antara lain sebagai berikut: 1) Tunanetra; khusus untuk anak buta total (totally blind) kegiatan belajar dilakukan dengan metode “rabaan.” Di mana, kemampuan indera raba anak sangat ditonjolkan untuk menggantikan indera penglihatan. 2) Tunarungu-wicara; memiliki hambatan dalam mendengar dan berkomunikasi lisan.
28
Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 45-46. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelianan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa bahwa yang dimaksud anak berkelainan atau anak yang mempunyai hambatan (disability) ialah yang terdiri atas: a. tunanetra;b. tunarungu;c. tunawicara;d. tunagrahita;e. tunadaksa;f. tunalaras;g. berkesulitan belajar;h. lamban belajar;i. autis;j. memiliki gangguan motorik;k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda.Lihat, “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permend iknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015. 30 Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak, hlm. 12. 31 Ibid., hlm. 91. 29
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 8
3) Tunagrahita; punya masalah kesulitan belajar karena mengalami hambatan perkembangan kemampuan di bidang kecerdasan, mental, emosi, sosial, dan fisik. 4) Tunadaksa; berdasarkan analisis medis dinyatakan mengalami kelainan (gangguan) pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot pada tubuhnya. Akibatnya, ia membutuhkan layanan khusus terutama pada bidang gerak anggota tubuhnya. 5) Tunalaras (maladjustment), memiliki perilaku yang bertentangan dengan normal sosial. Sering membuat onar secara berlebihan dan cenderung mengarah pada tindakan kriminal. 6) Autistik, memiliki ketidakmamuan dalam berbahasa, intelektual, dan fungsi saraf yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak. 7) ADD-H (Attention Deficit Disorder with Hyperactive); Hiperaktif bukan merupakan suatu penyakit akan tetapi suatu “gejala” (symptom). Hal ini muncul disebabkan karena adanya kerusakan pada otak, kelainan emosional, kurang dengar, dan tunagrahita. 8) Kelainan belajar (learning disabilitiy/specific learning disability); memiliki prestasi yang rendah dalam bidang akademik tertentu seperti baca-tulis-hitung (calistung). Kondisi ini disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual handicaps), luka pada otak, sebagian otak tidak berfungsi, disleksia, dan afasia perkembangan (developmental aphasia) 9) Tunaganda (mulihandicapped and developmentally disabled children); memiliki hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuanan pada bidang kecerdasan, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. Kasus seperti ini membutuhkan layanan-layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus.32 b. Anak yang berbakat (cerdas istimewa) Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah individu yang mempunyai bakat istimewa di bidang intelektual, seni, olah raga, dan keterampilan tertentu. Di mana, salah satu ciri atau sifat33 anak yang berbakat di bidang intelektual mempunyai kemampuan berpikir yang istimewa, cerdas, dan kreatif dalam berpikir maupun bertindak. Selain itu 32
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 1-3. 33 Lebih lanjut, menurut Clark sebagaimana dikutip Smith bahwa ada lima ranah sifat pesertad didik yang memiliki keterbakatan, di antaranya:: kognitif, afektif, fisik, intuitif dan sosial. Lihat,Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 311.
ia juga cepat dan tepat dalam memecahkan masalah baik yang sederhana hingga yang kompleks, sehingga tak pelak ia memiliki perstasi belajar yang gemilang di sekolahnya. Dengan catatan bahwa persetasi tersebut dicapai dengan sedikit latihan atau bahkan tanpa latihan khusus oleh pembimbing yang ahli.34 Secara detail, peserta didik yang punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa serta membutuhkan pendidikan khusus ialah meliputi: memiliki kecerdasan yang luar biasa, memiliki kreativitas yang luar biasa, memiliki bakat seni atau olah raga yang luar biasa, dan gabungan dari beberapa jenis di atas. 35 Ada beberapa aspek dari definisi dari anak berbakat yang perlu digarisbawahi, yaitu: 1) Terdapat jenis bakat yang dimiliki individu seperti kepemimpinan, kreatifitas, seni darma, dan visual. Beberapa contoh tersebut merupakan dari bagian bidang keterbakatan (bidang prestasi) meski adakalanya hal itu tidak dibarengi dengan kemampuan akademik umum yang tinggi. 2) Istilah kapabilitas lebih cocok digunakan bagi mereka sebagai pengakuan bahwa beberapa peserta didik boleh jadi punya potensi berbakat yang belum muncul sehingga perlu dibimbing dan didorong terlebih dahulu. 3) Bimbingan dan dorongan pendidikan perlu ditekankan pada mereka supaya dapat memunculkan potensinya yang merupakan suatu persoalan untuk mendapatkan pendidikan khusus seperti peserta didik berkesulitan belajar (learning disabilities) atau beberapa pengecualian lain.36 3. Urgensi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Inklusi Menurut penulis apa yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam ialah “usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya.”37Lebih lanjut, kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah atau penghambaan terhadap Tuhan dengan benar, 38 disertai dengan muatan 34
Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 27. Ibid. hlm. 35. 36 Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 305. 37 A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 4. 38 Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan 35
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 9
nilai humanisme (kesetaraan manusia), keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),39 nilai semangat dalam pengembangan diri 40 (ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilainilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya dan alam spiritualitasnya. 41 Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilainilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”42
kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 174. 39 Nilai nasionalisme didefinisikan sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di Indonesia. Pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal 28J ayat “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014. 40 Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri. 41 A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014), hlm. 39. 42 Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Definisi di atas bila dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini maka hal itu berarti dalam segala lingkungan kehidupan yang peserta didik arungi kelak diharapkan mampu memberdayakan dan mendukung dalam pengembangan kehidupan bangsa. Tidak memedulikan bagaimana kondisi latar belakang peserta didik, suatu lembaga (utamanya yang diberi tanggung jawab pendidikan inklusi) harus menerima segala kelemahan sekaligus kelebihan mereka. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan, PAI hakikatnya secara duniawi muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri. Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia lainnya. Baik umat manusia yang memiliki keterbatasan (disability) maupun yang memiliki bakat istimewa. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang inklusif, berperadaban modern, beretika (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung manusia lain yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga manusia lain yang rapuh. Sesungguhnya semangat seperti inilah yang telah dicontohkan nabi Muhammad. Dari penjelasan itu, nampak jelas bahwa PAI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sangat memiliki peran penting dalam menyukseskan pendidikan inklusi di Indonesia. Salah satu sebabnya ialah karena misi (tujuan) utama dari penyelenggaran pendidikan inklusi merupakan bagian dari misi PAI itu sendiri. Yakni, sebagaimana menurut penjelasan Santoso bahwa misi pendidikan inklusi ialah terbentuknya tatanan masyasrakat inklusif. Suatu sistem kemasyarakatan yang dibentuk dari spirit saling menghormati dan menjunjung tinggi terhadap fakta keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. 43
4. Dasar Hukum Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”44 Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130. 43 Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 141142. 44 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 10
Dari pernyataan tersebut dalam konteks makalah ini, yang menjadi titik penting adalah pernyataan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Sesungguhnya, yang dimaksud kebutuhan dasar peserta didik tidak melulu pendidikan secara umum saja. Namun, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan juga diberi kesempatan dalam pengembangan diri sehingga maratabat dan kualitas hidupnya semakin meningkat. Diharapkan, dengan kuliatas diri dan kehidupan yang meningkat bisa membantu terbentuknya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 mengamanatkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Secara rinci pada pasal 5 ayat 1-4 dikatakan:45 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Lebih detail dalam Undang-undang Penyandang Cacat No. 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa “Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.”46 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan pendidika inklusi sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan bagi semua mata pelajaran (termasuk PAI) maupun lembagai pendidikan (termasuk lembaga pendidikan berbasi Islam) yang ingin berinovasi melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang bersifat inklusi. Oleh karena itu, siapapun tidak 45 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003). 46 Undang-undang No. 4 tentang Penyandang Cacat Tahun 1997.
dibolehkan melakukan diskriminasi dan penelantaran terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam pembahasan berikutnya.
5. Posisi Peserta Didik pada Pembelajaran PAI Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti apa kondisi (latar belakang) peserta didik. Persoalan lain adalah sejauh mana kemampuan pendidik dan institusi pendidikan dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta, bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman” mereka. Sedangkan apabila dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 47 Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga berbeda pada kemampuan fitrah. Asumsinya ada anak yang memiliki kemampuan fitrah dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga. Ada pula peserta didik yang punya kemampuan membaca al Quran yang sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh pendidik. Di mana peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan pembelajaran. 48 Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa sangat penting. Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk manusia “cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan halhal (latar belakang) yang mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu digambarkan skema di bawah ini: 49
47
Kita temui ada anak yang secara afektif sangat bagus (sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat lemah. Ada pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi secara psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah. 48 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 110-111. 49 Amin, Pengembangan Pendidikan Agama, hlm. 110111.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 11
ceramah, materi latihan, dan materi diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik. Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi segala konsekuensi dari kelemahan sekaligus kelebihan yang mereka miliki (senyampang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi peserta didik pada proses pembelajaran di kelas. Dapat dikatakan dalam penerapan teori pendidikan inklusi, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh-temeh. Baik dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya. Hal itu terumata bila pembelajaran PAI dilakukan dalam lingkungan pendidikan luar biasa (pendidikan khusus atas SLB) terlebih lagi untuk lembaga pendidikan inklusi. Di mana, kondisi pendidikan inklusi baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik tentang kehidupan. Oleh karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam mengarahkan mereka ke jalur semestinya. Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Gambar 2: Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam
Selain dari lima macam keberagaman tersebut, sebenarnya ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi semangat belajar di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta didik (serta wali murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu yang dipilihnya. Dalam konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta didik dirasa sangat penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya pemberian “pendalaman” secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta didik datang ke madrasah atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong”.
Namun, sesungguhnya mereka sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan, fanatisme-fanatisme terhadap sesuatu, keterpaksaan, keterampilan keterampilan (kemampuan fisik dan pikiran), traumatiktraumatik, kebanggaan-kebanggaan, doktrin-doktrin, dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi
Titik Singgung Pendidikan Islam dengan Paradigma Pendidikan Inklusi Selama ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan peserta didik secara terbatas. Yakni, mereka yang dikatakan cerdas ialah yang memiliki keutuhan atau kesempurnaan fisik. Dengan asumsi, dengan kesempurnaan fisik tersebut menyebabkan mereka bisa “belajar” dengan normal. Bisa dikatakan, sekian lama ini baik secara langsung maupun tidak langsung serta secara terbuka dan tertutup telah terjadi pengabaikan hak dan kesempatan bagi ABK untuk hidup bersama secara “wajar” dengan masyarakat umumnya. Bahkan, hal tersebut juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari institusi sosial. Kasus yang bisa saja terjadi ialah adanya diskriminasi pelayanan administrasi, pembelajaran, hingga dijustifikasi di ranah hukum (undang-undang dan peraturan). Anak berkebutuhan khusus (utamanya yang memiliki hambatan) disingkirkan begitu saja dari kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang setara, layak, dan bermutu. Bahkan mereka disingkirkan begitu saja secara “halus”. Yakni, melalui dalih pendidikan khusus dengan mendirikan sekolah-sekolah terpisah seperti Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB diklaim memiliki “fasilitas” yang sama dengan sekolah normal, bahkan memiliki fasilitas yang lebih istimewa. Dapat
12|JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016
dikatakan, pendidikan yang seperti itu lebih mengutamakan pada tujuan “keunggulan” institusi pendidikan daripada keunggulan masing-masing peserta didik. Yakni, sekolahan yang lebih mengutamakan “kebersihan” lingkungan dari keberadaan ABK daripada harus memberikan rasa keadilan bagi semua kalangan masyarakat. Padahal, dalam penyelenggaraan pendidikan formal diharapkan tidak ada lagi sekat sosial atau pembedaan antara ABK dengan masyarakat pada umumnya. Lebih konkrit, supaya sistem pendidikan inklusif terwujud maka setiap orang tua peserta didik dibolehkan untuk mendaftarkan anaknya yang tergolong ABK ke sekolah manapun (terutama untuk sekolah yang layak atau mampu untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi). Dengan metode inklusif itu, diharapkan terdapat peluang terciptanya interaksi sosial antara ABK dan masyarakat umum.50Kendati kenyataannya, sering kali cara pandang manusia pada umumnya terhadap ABK yang memiliki keterbatasan ialah meng-underestimate (meremehkan) tanpa melihat kelebihan-kelebihannya. Bahkan, tidak segan untuk me-judgment mereka sebagai individu yang tidak mampu berbuat sesuatu, sehingga membutuhkan bantuan orang lain, sekalipun itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebaliknya, untuk ABK yang memiliki bakat istimewa maka mereka akan memuja-mujanya tanpa melihat sisi kelemahan-kelemahannya. Paradigma pendidikan eksklusi seperti di atas merupakan paradigma lama yang harus ditinggalkan. Hal itu, karena sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia sudah berkembang pesat. Dengan segala fasilitas dan ilmu yang ada, bukan menjadi alasan lagi bagi sekolah-sekolah reguler (dalam jumlah tertentu) untuk menolak anak berkebutuhan khusus. Selain itu, untuk menghadapi masalah kehidupan yang semakin kompleks di zaman seperti sekarang ini maka penggunaan paradigma pendidikan inklusif merupakan suatu kebutuhan. Manusia “normal” tidak lagi boleh menyingkirkan ABK dari kehidupan masyarakat. Meskipun sedikit, kelebihan dan kemandirian dari ABK akan sangat bermanfaat bagi kehidupan ini. Dengan falsafah bahwa pendidikan inklusi ingin membentuk masyarakat beragam yang saling membantu dan mengasihi satu sama lain. Tanpa harus meremehkan kemampuan51 satu sama lain.
Harapan selanjutnya ialah diskirminasi dan pendidikan terselenggara dengan optimal.
pendidikan tanpa untuk semua bisa
Pada tahapan selanjutnya, tidak PAI sebagai wadah kaderisasi umat Islam tidak boleh memaksakan ABK untuk menuju wilayah “normal”. Baik ABK yang dikategorikan memiliki keterbatasan fisik dan mental maupun yang memiliki kelebihan fisik dan kecerdasan. Bagaimanapun mereka memilik wilayah dunia tersendiri yang cocok bagi karakteristik mereka masingmasing. Begitu pula anak normal memiliki “dunia” sendiri sehingga tidak boleh dipaksakan untuk turun ke bawah atau meluncur ke atas. Dengan kata lain, mereka semua memiliki kecerdasan dan kekuatan fisik yang berbeda. Oleh sebab itu, kemampuan berfikir dan kemampun fisik mereka tidak boleh disamakan. Kendati demikian, dalam kehidupan sosial (utamanya dalam berinteraksi) saat dilingkungan sekolah antara ABK dengan yang bukan ABK tidak boleh dipisahkan. Mereka tetap diharuskan berinteraksi satu sama lain tanpa harus dikategorikan (didiskriminasikan) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Lebih lanjut menurut Amin Abdullah, sebagimana dikutip Rossidy bahwa“dalam perkembanan zaman tantangan-tantangan baru masih akan terus bermunculan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Termasuk isu-isu kemanusian universal, pluralisme, keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan hidup adalah di antara persoalan kontemporer yang perlu mendapat perhatian serius dalam konteks pendidikan agama.”52 Dengan demikian, pendidikan inklusi yang di dalamnya juga ada nilai yang bersinggungan dengan nilai-nilai Islam bukan sesuatu yang sepenuhnya bertentangan dengan PAI. Dengan demikian, PAI sebagai wadah pengkaderan seluruh umat Islam mesti mengetahui seluruh permasalahan yang dimiliki oleh ABK. Permasalahan ini perlu diketahui agar dalam membangun paradigma PAI tidak dilakukan secara parsial. Di antarnya beberapa problema yang dihadapi ABK menurut penulis adalah: 1. Tidak adanya bimbingan spiritual, afektif, keterampilan, dan kognitif secara intens serta berkelanjutan. 2. ABK tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan diri di tengah-tengah perbedaan.
50
Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 136. “Ketidakterlihatan” ABK tercipta ketika orang disekitar kehilangan sifat kemanusiawiannya. Hal ini, diakibatkan mereka memandang ABK dengan persepsi yang dipenuhi dengan prasangka, kebiasan, dan asumis yang salah kaprah. “Ketidaktelihatan” bisa saja timbul karena penerimaan yang tidak wajar dari orang-orang di sekitar terhadap ABK. Cara pandang yang tidak wajar tersebut mengakibatikan ABK akan kehilangan “wujud” dirinya, 51
sehingga para ABK akan menyangka bahwa dirinya memang benar-benar harus “tidak ada” di lingkungan sosial. Lihat,Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 31. 52 Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan (Malang: UIN, 2009), hlm. 52.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 13
3. Kurangnya motivasi, baik secara internal seperti merasa minder, merasa bersalah, dan tidak telaten. Maupun faktor eksternal seperti mendapat ejekan, menjadi pusat perhatian “negatif”, dan pendiskriminasian hak. 4. Terlalu dimanja (dibebaskan), di mana pendidik menuruti semua kemauan ABK agar mereka bisa menemukan sendiri dunia bahagianya. 5. Pendidik terlalu menggunakan teori Barat dalam melayani ABK, padahal kondisi wilayah (latar belakang peserta didik) sangat berbeda dengan apa yang ada di barat. 6. Paradigma masyarakat bahkan paradigma pelaku pendidikan (utamanya pendidik) masih berada pada level paradigma “keterpisahan,” bahkan masih berada pada level paradigma mistis (penuh mitos dan tahayul). Asumsinya, para ABK dipandang sebagai sesuatu yang berbeda (asing) dan mereka dianggap telah memperoleh kutukan (karma) oleh karena itu “wajar” bila harus dijauhi. Berangkat dari permasalahan itu, maka diperlukan persyaratan khusus bagi lembaga yang ingin melaksanakan pendidikan inklusi. Menurut Schultz mengemukakan 10 kategori utama terkait kesiapan yang menjadi prasyarat bagi sekolah yang ingin lebih ramah dan inklusif. Diantaranya ialah: 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Sikap (attitudes); pendidik dan seluruh SDM di lembaga harus meyakini bahwa program inklusi yang lebih besar akan menghasilkan proses pembelajaran yang mengalami peningkatan bagi semua orang. Persahabatan (relationoship); persahabatan dan pertemanan antar peserta didik satu sama lain baik dengan hambatan maupun tidak harus dipandang sebagai suatu nilai yang didukung. Dukungan bagi peserta didik (support for students); harus ada tenaga ahli (khusus) serta sumber daya lain yang bisa memberikan layanan kebutuhan bagi peserta didik yang berbeda di kelas inklusif. Dukungan untuk pendidik (support for Teacher); kesempatan peningkatan kualitas (kompetensi) salah satunya melalui pelatihan yang akan digunakan dalam menangani keberagaman peserta didik. Kepemimpinan administratif (administrative leadership); seluruh pejabat (pengelola) beserta staf lembaga pendidik harus antusias dalam mendukung dan memberikan sifat kepemimpinan yang lebih inklusif. Kuriklum (curriculum); agar peserta didik dapat tertangani dalam meraih presatasi maka kurikulum harus dibuat fleksibel. Penilaian (assessment); penilaian harus memberikan gambaran akhir setiap peserta didik.
8.
Program dan evaluasi staf (program and staff evaluation); sistem lembaga harus dievaluasi secara menyeluruh terkait pencapaian lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua peserta didik. 9. Keterlibatan oranguta (paretal involvement); orang tua harus memahami rencana baik dengan hambatan atau tidak untuk membentuk suatu lingkungan inklusif. 10. Keterlibatan masyarakat (commuity involvememt); masyarkaat harus diberi tahu dan dilibatkan dalam usaha meningkatkan keterlibatan dan diterimanya peserta didik penyandang hambatan dalam kehidupan sekolah. Harapannya, masyarakat juga mau melakukan peneriamaan terhadap mereka.53 Selain itu, PAI sebagai basis nilai agama Islam yang rahmatanlilalamin seharusnya juga menerapkan prinsip educiton for all secara totalitas dan bermutu tinggi. Dengan kata lain, secara tegas ditekankan bahwa PAI tidak boleh mendiskriminasikan ABK. Sebagaimana kisah nabi Muhammad yang ditegur oleh Allah SWT ketika beliau “memalingkan muka” saat ada sahabat yang matanya buta atau mengalami tunanetra hendak minta petunjuk atau pelajaran kepada beliau (QS. ‘Abasa [80]: 1-11).54 Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itu Nabi yang statusnya juga sebagai pendidik (guru). Serta, di sisi lain ada sahabat yang bermata buta (statusnya bisa disebut sebagai peserta didik) ingin diajari sebuah ilmu (tentang al Qur’an) maka hak kemanusiaannya oleh Allah tidak boleh didiskriminasikan. Baik pendiskriminasian secara fisik (karena buta) maupun pendiskriminasian secara sosial karena pada saat itu nabi Muhammad lebih mementingkan untuk menemui petinggi Quraisy dari pada mengajarkan ilmu pada sahabat yang mengalami kebuataan tersebut. Dengan demikian, karena nabi Muhammad sebagai pusat dan pendidik PAI yang pertama serta utama bagi seluruh umat Islam telah diperintah untuk mendidik sahabat yang berkebutuhan khusus maka untuk pihak pengembang PAI zaman
53
Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 399-400. Artinya: (1). Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, (2) karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (3) Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), (4) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), (6) maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, (7) padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) sedang dia takut (kepada Allah), (10) engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. (11) Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan. Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 871. 54
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 14
sekarang ini seharusnya menerapkan nilai moral tersebut secara sungguh-sungguh. Selanjutnya, dalam ajaran Islam pun dinyatakan bahwa Allah tidak menciptakan segala seuatu itu untuk hal yang sia-sia belaka. Pasti dibalik penciptaan yang manusia anggap sebagai suatu yang ganjil (tidak normal) terdapat maksud tertentu dari-Nya. Bahkan, bisa jadi akan bernilai manfaat besar. Meskipun, nilai faedah itu belum tentu bisa dipahami oleh nalar manusia. Salah satunya, secara sosiologis para ABK ini akan menjadi pelajaran berharga bagi manusia lainnya. Salah satunya sebagai sarana untuk beryukur dan mengagungkan Allah karena Dia telah menciptakan kehidupan yang beragam ini. Kehidupan ini tentu tak akan semenarik dan semenantang sekarang ini bilang kehidupan ini seragam (homogen). Bahkan, para ABK juga bisa sebagai sarana pendidik dan orang tua untuk beribadah kepada Allah dengan cara mengurus anakanak yang membutuhkan perhatian ekstra tersebut. Bisa juga dengan adanya anak berkebutuhan khusus ini menuntut para ilmuwan sosial dan alam supaya menciptakan konsep dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan ABK sehingga bisa membentuk suatu tatanan masyarakat yang lebih utuh.
Penutup Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya keberagaman fisik, psikologis, mental, dan sebagainya pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun, turunnya wahyu tentang larangan minum khamr (minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun, dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik (biologis) para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan. Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori pendidikan inklusi, maka seorang pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan, juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya, dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya, pendidik yang ingin mewujudkan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain. Yakni, yang sesuai dengan kemampuan peserta didik dalam memahami dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah: 1. Konsep dasar tentang teori pendidikan inklusi. Wacana pergeseran paradigma dari pendidikan ekslusif menuju pendidikan inklusif telah menggejala akhir-akhir ini. Tak pelak berimplikasi pada perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di mana awalnya ABK hanya diposisikan sebagai objek untuk “proyek” peningkatan kecerdasan dan akhlak mulia, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan dan akhlak mulia. Asumsinya, peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan dan akhlak mulianya melalui proses interaksi secara terbuka tanpa sekat dalam proses pendidikan inklusi. Pendidik hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik dalam membanung “tatanan” masyarakat yang manusiawi di lembaga pendidikan tersebut. 2. Titik Singgung Pendidikan Agama Islam dengan Paradigma Pendidikan Inklusi Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ (kecerdasan intekeltual/berhitung-logika). PAI juga hendak ingin memosisikan semua peserta didik secara adil dan setara. Itu artinya, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama secara teoritis tapi juga dipraktikan dalam kehidupan nyata di lembaga pendidikan yang inklusif. Dengan kata lain, PAI sesungguhnya tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan proses yang tepat. Yakni, salah satunya bagiaman supaya proses kegiatan PAI tidak melakukan pendiskriminasian terhadap sebagian peserta didik.
Daftar Pustaka Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner.Yogyakarta: LKiS, 2015. --------. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Deepublish, 2014. “Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbioffline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 15
“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,”dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/fil e/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun %202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/fil e/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun %202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015. “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uudan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014. Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru. Surabaya: Duta Ilmu, 2005. Delphie, Bandi. Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama, 2006. Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Echols, John M. Dan Hassan Shadily. “Kamus InggrisIndonesia,” dalam An English-Indonesia Dictionary . Jakarta: Gramedia Cet. II edisi tanpa indeks, 2013.
Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Hadis, Abdul. Pendidikan Anak Berkebuthan KhususAutistik. Bandung: Alfabeta, 2006. Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Kontemporer.Bandung: Refika Aditama, 2009. Muhammad, Jamila K. A. “Panduan Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special Education for Special Children, terj. Edy Sembodo. Jakarta: Hikmah, 2008. Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.
Rossidy, Imron. Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan. Malang: UIN, 2009. Santoso, Satmoko Budi. Sekolah Alternatif, Mengapa tidak...?!. Jogjakarta: Diva, 2010. Smith, J. David. “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,” dalam Inclusion, Scholl for All Student, terj. Enrica Denis. Bandung: Nuansa, 2006. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tentang Penyandang Cacat Tahun 1997.
Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din alIslam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008. Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Garailmu, 2010.
IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH Romdloni Dosen STKIP NURUL HUDA Sukaraja Oku Timur Sumatera Selatan
ABSTRAK
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 16
Qira’at adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kalimat-kalimat Qur’an berikut cara pelaksanaanya, baik yang disepakati maupun yang terjadi perbedaan, dengan menisbatkan setiap wajahnya pada seorang Imam Qira’at. Dari sekian banyak qira’at yang bermunculan setelah Rasulullah wafat, setelah dilakukan penelitian ternyata yang paling mutawatir dan masyhur ada tujuh. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa ketujuh qira’at itu masing-masing dikuasai dan dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at (qira’ah sab’ah) yang berbeda. Dari merekalah diketahui sumber-sumber qira’at yang memiliki sanad jelas dengan segala persyaratanya.Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualiatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, interview dan dokumentasi. Disamping analisis deskriptif kualitatif, untuk menunjang terhadap hasil interview, maka peneliti memberikan sejumlah angket untuk mendapatkan jawaban-jawaban seputar penelitian yang dimaksud.Dengan adanya metode pembelajaran qira’ah sab’ah, diharapkan santri mengetahui dan paham akan qiro’ah sab’ah dan juga dapat meningkatkan kualitas belajarnya, serta kajian qira’ah sab’ah dapat dijadikan sebuah wacana terhadap khazanah keilmuan dan dapat di aplikasikan secara langsung dalam lingkungan pesantren maupun lingkungan lainnya. Kata Kunci: Implementasi, Metode Pembelajaran, Qira’ah Sab’ah
A. PENDAHULUAN Telah menjadi keyakinan bagi seluruh umat Islam dimanapun berada, bahwa kitab suci Al-Qur’an itu adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT untuk seluruh umat manusia, disampaikan oleh Malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang bermutu tinggi, guna menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.Rasulullah menyampaikan ayat-ayat yang diterimanya itu kepada para sahabatnya juga melalui ucapan atau secara lisan. Penyampaian selanjutnya dari sahabat kepada tabi’in dan untuk seterusnya berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, Al-Qur’an selalu disampaikan dengan lisan. Bangsa Arab sejak dahulu mempunyai lahjah (dialek) yang beragam antara satu kabilah dengan kabilah yang lain, baik dari segi intonasi, bunyi maupun hurufnya, namun bahasa Quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri, ia lebih tinggi dari pada bahasa dan dialek yang lain. Oleh karena itu, wajar apabila Al-Qur’an pertama diturunkan adalah dalam bahasa Quraisy kepada seorang Rasul yang Quraisy pula. Dengan kata lain bahasa Quraisy di dalam AlQur’an lebih dominan dari pada lughat-lughat lain. (LPTQ Tingkat Nasional, 2002:1) Kesatuan dialek yang sudah Nabi SAW biasa dengannya sewaktu masih di Makkah mulai sirna setibanya di Madinah. Dengan meluasnya ekspansi Islam melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa dan dialek baru, berarti berakhirnya dialek kaum Quraisy yang dirasa sulit untuk dipertahankan. (M. M. Al-A’zami, 2005:169). Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip hadis seperti ini: Ubay bin Ka’ab melaporkan bahwa ketika Nabi SAW dekat lokasi bani Ghifar, Malaikat Jibril datang dan berkata: “Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Al-Qur’an kepada kaummu dalam
satu dialek” lalu Nabi bersabda: “Saya mohon ampunan Allah, kaumku tidak mampu untuk itu”, lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: “Allah telah menyuruhmu agar membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam dua dialek”, Nabi Muhammad SAW lalu menjawab: “Saya mohon ampunan Allah, kaumku tidak akan mempu melakukanya”, Jibril datang ketiga kalinya dan berkata: “Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam tiga dialek”, dan lagi-lagi Nabi Muhammad SAW berkata: “Saya mohon ampunan Allah, kaumku tidak akan mampu melakukanya”, lalu Jibril datang yang keempat kalinya dan menyatakan: “Allah telah mengizinkanmu membacakan Al-Qur’an kepada kaummu dalam tujuh dialek dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah saja”.
Di sisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam qira’ah dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai qira’at. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu” (HR. Bukhari dan Muslim). (M. Nashiruddin Al-Albani, 2008 : 392)
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 17
Setelah diketahui secara ringkas perkembangan qira’at Qur’an secara umum, demikian pula setelah dapat dipahami bagaimana munculnya usaha ulama untuk mengadakan penelitian dan pengujian terhadap qira’at tersebut berikut kriteria dan nilai sanadnya, dapatlah diketahui tentang qira’at tujuh. Sebagaimna hasil penelitian dan pengujian qira’at Al-Qur’an yang banyak beredar, ternyata yang memenuhi syarat mutawatir menurut kesepakatan para ulama Qur’an ada tujuh (sab’ah) bacaan yang masing-masingnya dikuasai serta dipopulerkan oleh tujuh Imam Qira’at.
mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainya” (Rosihon Anwar, 2006 : 146). Menurut istilah para ahli AlQur’an adalah sebagai berikut “yaitu suatu pengetahuan tentang tata cara pengucapan kalimat atau ayat-ayat Al-Qur’an baik yang disepakati maupun yang terjadi perbedaan yang disandarkan pada seseorang Imam Qira’at” (Misbahul Munir, 2005 : 378).
Dalam perkembangan selanjutnya, kajian qira’ah sab’ah banyak diajarkan di pondok pesantren AlQur’an. Akan tetapi tidak seluruh pondok pesantren AlQur’an mengajarkan materi qira’ah sab’ah, hanya sebagian kecil yang mengajarkanya. Faktor penyebabnya adalah, di samping sulitnya dalam mempelajari qira’ah sab’ah, ilmu qira’ah sab’ah sendiri sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, juga faktor utamanya adalah keterbatasan orang yang ahli dibidang ilmu qira’ah sab’ah.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa qira’at itu mempunyai dua sumber, yaitu al-sima’ dan al-naql. Artinya bahwa qira’at itu diperoleh secara langsung dengan cara mendengar dari Nabi SAW., sedangkan al-naql, artinya qira’at itu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira’at Al-Qur’an itu dibacakan di hadapan Nabi SAW. lalu beliau membenarkanya (Supiana dan M. Karman, 2002 : 210).
2. B.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber yang berkaitan dengan kajian qira’ah sab’ah.
C. IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH 1. Kajian Qira’ah Sab’ah Menurut bahasa, kata qira’at merupakan bentuk jamak dari kata qira’ah yang berasal dari kata qara’a – yaqrou – qira’atan - qur’anan yang memiliki makna tilawah. Makna qiroah semula berarti kumpulan atau cakupan (M. Samsul Ulum, 2007 : 103). Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat ulama yang mendefinisikan arti qira’at yaitu menurut Az-Zarqani “Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainya dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk”. Menurut Ibn AlJazari “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya”. Menurut Az-Zarkasyi “Qira’at adalah perbedaan (cara
Sejarah Timbulnya Qira’at Sejak dulu bangsa Arab mempunyai dialek yang amat banyak, yang mereka dapatkan dari fitrahnya dan sebagianya mereka ambil dari tetangga mereka. Tidak diragukan lagi bahasa Quraisy amatlah terkenal dan tersebar luas. Hal ini disebabkan kesibukan mereka berdagang dan keberadaan mereka di sisi Baitullah ditambah lagi kedudukan mereka sebagai penjaga dan pelindungnya. Orang-orang Quraisy memang mengambil sebagian lahjah (dialek) dan kalimatkalimat yang mereka kagumi dari orang-orang luar selain mereka. Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi SAW walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu (Rosihon Anwar, 2006 : 148).Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Dari Ibn Abbas RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian aku kembali kepadanya dan meminta tambah. Lalu ia menambahkan kepadaku sampai aku menyelesaikan tujuh huruf” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah Umar RA, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 18
3. “Bahwa Umar bin Khattab berkata: Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah Al-Furqan dimasa hidup Rasulullah SAW. Maka aku sengaja mendengarkan bacaanya. Tahu-tahu dia membanya dengan huruf yang banyak (bacaan yang bermacammacam), dimana Nabi belum pernah membacakanya kepadaku. Hampir saja aku terkam dia dalam shalat, namun aku berusaha sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku bertanya: “Siapa yang telah membacakan (mengajari bacaan) surah tadi?” Hisyam menjawab: “Yang mengajarkan bacaan tadi Rasulullah sendiri”, aku gertak dia”Kau bohong, demi Allah, Rasulullah telah membacakan surah tadi kepadaku (tapi tidak seperti bacaanmu)”. Maka akhirnya ku ajak dia menghadap Rasulullah. Aku berkata “Wahai Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan huruf (cara baca) yang tidak pernah engkau bacakan. Sedangkan dirimu pernah membacakan kepadaku surat Al-Furqan ini”. Nabi bersabda “Lepaskan ia wahai Umar, bacalah kamu wahai Hisyam!”. Hisyam lalu membaca seperti yang aku dengar. Kemudian Nabi SAW bersabda “Demikianlah Qur’an diturunkan”, Nabi lalu berkata kepadaku “Baca kamu wahai Umar!”, aku pun lalu membaca dengan cara bacaan yang pernah Nabi SAW bacakan kepadaku. Lalu Nabi SAW bersabda “Demikianlah Qur’an diturunkan”. Lalu Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang mudah darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Qira’at didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Periode Qurra’ yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orangorang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lainlain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah SAW. Pada masa Ibnu Mujahid ini dan sesudahnya, tampillah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagi macam qira’at, baik yang mencakup semua qira’at maupun tidak, secara singkat maupun secara panjang lebar. Ibnu Mujahid inilah yang meringkas macam-macam qira’at menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh Imam Qari’.
Macam-Macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawair, ahad dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah tiga qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat. Selain itu termasuk qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yang shahih, baik dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun yang lainya. Abu Syamah dalam Al-Mursyid Al-Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at dengan menyatakanya sebagai qira’at yang shahih, dan seperti itulah qira’at tersebut diturunkan. Lain halnya kalau qira’at itu telah memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan sesuai kaidah. Dengan begitu, seorang penyusun tidak seyogyanya hanya menukil suatu qira’at yang dikatakanya dari seorang imam tersebut, tanpa menukil qira’at lainya, atau khusus hanya menukilkan semua qira’at yang berasal dari qurra’ lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qira’at dari keshahihanya. Sebab yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya sifat-sifat atau syaratsyarat, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan, kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain, sebab ada yang disepakati dan ada pula yang dianggap syadz. Hanya saja, karena popularitas qari’ yang tujuh dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati keshahihanya, maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qira’at yang berasal dari mereka melebihi qira’at yang lain. Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shahih adalah sebagai berikut (Manna’ Al-Qattan, 2006 : 217): a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. b. Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf Utsmani walaupun hanya sekedar mendekati saja (ihtimal). c. Memiliki sanad yang shahih. 4.
Tujuh Imam Qira’at (Qira’ah Sab’ah) dan Latar Belakangnya Ada tujuh orang imam qira’at yang yang masyhur dan disepakati oleh para ulama ahli qira’at serta dicetuskan oleh Ibnu Mujahid (wafat 315 H.) yang masing-masing disertakan dua orang perawi adalah sebagai berikut (KH. M. Arwani Amin, 2000 : 3):
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 19
a.
Imam Nafi’ Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi. Lahir pada tahun 70 H. dan wafat pada tahun 169 H. sanad atau silsilah bacaan imam ini adalah sebagai berikut: Abdurrahman bin Hurmuz, Abdurrahman dari Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay bin Ka’ab dan Ubay dari Rasulullah SAW. Adapun dua orang perawinya adalah Qalun dan Warsy.
Nama lengkap imam ke tiga ini adalah Zabban bin Al-‘Ala bin Ammar Al-Mazini AlBashri. Ia lahir pada tahun 68 H. dan wafat pada tahun 154 H. Sanad bacaanya adalah dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ dan Hasan Al-Bashri. Hassan membaca dari Hattan dan Abu ALiyah. Abu Aliyah dari sahabat Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab., kemudia kedua sahabat ini mendapat dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Ad-Durri dan As-Susi.
1)
1)
2)
b.
Qalun Nama lengkapnya Isa bin muniya AlMadani, lahir tahun 120 H. dan wafat di Madinah tahun 220 H. Ia adalah seorang guru bahasa Arab yang bergelar Abu Musa, juga dijuluki Qalun. Diriwatkan bahwa Nafi’ memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya, sebab kata “qalun” dalam bahasa Romawi berarti baik. Warsy Nama lengkapnya Usman bin Sa’id AlMisri, lahir tahun 110 H. dan wafat tahun 197 H. di Mesir. Ia diberi gelar Abu Said dan diberi julukan Warsy karena ia berkulit sangat putih.
2) Qunbul NamalengkapnyaMuhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said Al-Makki Al-Makhzumi, lahir tahun 195 H. dan wafat di Makkah tahun 291 H. Ia talaqqi Al-Qur’an dari Abul Hasan Ahmad AlQawwas, Al-Qawwas dari Abul Ikhrith, Abu Ikhrith dari Syibl dan Syibl dari Ibnu Katsir. c.
Nama lengkapnya adalah Abu Umar Hafsh bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Duri AnNahwi. Ia lahir pada tahun 68 H. dan Wafat pada tahun 154 H. 2)
Abu ‘Amr
As-Susi Nama lengkapnya adalah Abu Syuaib Shalih bin Ziyad bin Abdullah As-Susi. Ia wafat tahun 261 H.
d.
Ibnu Katsir Nama lengkapnya Abu ma’bad Abdullah bin Katsir Al-Makki, lahir tahun 45 H. dan wafat di Makkah tahun 120 H. Sanad bacaanya dari Abdullah bin Said Makhzumi, Abdullah dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khattab, keduanya membaca dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Bazzi dan Qunbul. 1) Al-Bazzi Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Abdillah bin Abi Bazzah, seorang muadzin di Makkah lahir tahun 170 H. dan wafat di Makkah tahun 250 H. Ia membaca dari Ikrimah bin Sulaiman Al-Makki, Ikrimah dari Syibl dan Syibl dari Ibnu Katsir.
Ad-Duri
Ibnu ‘Amir Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Al-Yahsubi. Lahir tahun 21 H. dan wafat pada tahun 118 H. Sanad bacaan Ibnu ‘Amir hanya berselang dengan seorang sahabat Rasulullah SAW yaitu membaca dari Usman bin Affan dan Usman dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan. 1)
Hisyam Nama lengkapnya adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair. Lahir pada tahun 153 H. dan wafat pada tahun 245 H.
2)
Ibnu Dzakwan Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amir Abdullah bin Basyir bin Dzakwan AdDimasyqi. Ia lahir tahun 173 H. dan wafat tahun 242 H.
e.
‘Ashim Nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Abi Nujud Al-Asady. Ia wafat di Kuffah tahun 127 H. Sanad bacaan Imam ‘Ashim adalah dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Hubaib As-Silmi, Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit, dan para sahabat tersebut dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Syu’bah dan Hafs. 1)
Syu’bah
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 20
2)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Syu’bah bin Abbas bin Salim Al-Kufi. Lahir tahun 95 H. dan wafat tahun 193 H.
b.
Hafs
d.
Nama lengkapnya adalah Abu Umar Hafs bin Sulaiman bin Mughirah. Ia lahir pada tahun 90 H. dan wafat tahun 180 H. f.
Hamzah Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Hubaib bin Az-Ziyat. Ia dilahirkan pada tahun 80 H. dan wafat tahun 156 H. Sanad yang dimiliki Imam Hamzah adalah sebagai berikut: ia menerima qira’at dari Abu Muhammad bin Sulaiaman bin Mahran Al-A’masy, Al-A’masy dari Abu Muhammad Yahya Al-Asady, Yaya menerima dari ‘Alqamah bin Qais, ‘Alqamah talaqqi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, kemudian Ibnu Mas’ud dari Rasulullah SAW. Dua perawinya adalah Khallaf dan Khallad. 1)
Khallaf Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar. Lahir tahun 150 H. dan wafat tahun 229 H.
2)
Khallad Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Khallad bin Khalid As-Shairafi. Ia wafat 220 H.
g.
Al-Kisai Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisai. Wafat tahun 189 H. Ia membaca Al-Qur’an dari Imam Hamzah dan juga talaqqi pada Muhammad bin Abu Laily serta ‘Isa bin Umar dan ‘Isa bin Umar dari ‘Ashim. Dua perawinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri. 1)
Abul Harits Nama lengkapnya adalah Al-Lais bin Khalid Al-Baghdadi, wafat tahun 240 H.
2)
Ad-Duri Rawi kedua dari Imam Kisai ini, sejarah ringkasnya telah tersebut di atas yang juga sebagai rawi Imam Abu ‘Amr.
5.
Faedah Keberagaman Qiraat Adanya perbedaan-perbedaan dalam qira’at tersebut membawa faedah tersendiri, diantaranya (Manna’ Al-Qaththan,2006 : 221): a.
Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan
c.
e. f.
dan penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain. Menampakkan rahasia Allah dalam kitab-Nya dan pemeliharaan-Nya terhadap kitab tersebut tanpa mengalami pengubahan dan perselisihan, kendatipun kitab ini memiliki beberapa segi qira’at.
D. PEMBELAJARAN QIRA’AH SAB’AH Mendidik di samping sebagai ilmu juga sebagai "suatu seni". Seni mendidik atau mengajar dalam aturan adalah keahlian dalam menyampaikan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik. Sesuai dengan kekhususan yang ada pada masing-masing bahan atau materi pembelajaran qira’ah sab’ah, semuanya dengan tujuan untuk mempermudah dalam belajar qira’ah sab’ah. Bagi generasi kegenerasi serta mengembangkan pembelajaran qira’ah sab’ah dengan mudah. Dengan demikian, metode pengajaran adalah suatu cara yang dipilih dan dilakukan guru ketika berinteraksi dengan anak didiknya dalam upaya menyampaikan bahan pengajaran tertentu, agar bahan pengajaran tersebut mudah dicerna sesuai dengan pembelajaran yang ditargetkan. Pada dasarnya pembelajaran qira’ah sab’ah hampir sama dengan pembelajaran Al-Qur’an pada umumnya. Karena sesunggguhnya qira’ahsab’ah itu juga merupakan Al-Qur’an yang dibaca menurut lahjah yang berbeda-beda. Metode pembelajaran qira’ahsab’ah banyak mengadopsi metode-metode pembelajaran Al-Qur’an. Namun tidak semua metode dalam pembelajaran AlQur’an itu dapat diterapkan dalam pembelajaran qira’ahsab’ah. Metode-metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran qira’ah sab’ah contohnya metode Jibril, metode talaqqi/sorogan dan metode mudzakarah. 1.
Metode Jibril Terminologi (istilah) metode Jibril yang digunakan sebagai nama dari metode pembelajaran A-Qur’an adalah dilatarbelakangi perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti bacaan AlQur’an yang telah dibacakan oleh malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu. Menurut KH. M. Basori Alwi, sebagai pencetus metode Jibril, bahwa teknik
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 21
dasar metode Jibril bermula dengan membaca satu ayat atau waqaf, lalu ditirukan oleh seluruh orang yang mengaji. Guru membaca satu-dua kali lagi, yang masing-masing ditirukan oleh orang-orang yang mengaji. Kemudian guru membaca ayat atau lanjutan ayat berikutnya dan ditirukan kembali oleh semua yang hadir. Begitulah seterusnya, sehingga mereka dapat menirukan bacaan guru dengan pas (HR. Taufiqurrochman, 2005 : 11).
2.
Metode Sorogan/Talaqqi Sorogan artinya belajar individu dimana seorang santri berhadapan dengan guru, terjadi saling mengenal antar keduanya (Armai Arief,2002 : 150).Diperjelas lagi oleh Wahyu Utomo, metode sorogan adalah sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan seorang guru atau kyai. Inti dari metode sorogan adalah berlangsungnya proses belajar-mengajar secara face to face, antara guru dan murid. 3.
Metode Mudzakaroh Metode Mudzakarah adalah metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar (PBM) dengan jalan mengadakan suatu pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas masalah-masalah agama saja. Metode Mudzakarah ini pada umumnya banyak digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang disebut pesantren, khusus pesantren tradisional. Di antara tujuan penggunaan metode ini adalah untuk melatih santri agar lebih terlatih dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang dengan menggunakan kitab-kitab klasik yang ada. Di samping untuk menguji keterampilan mereka mengutip sumber-sumber argumentasi dari kitab-kitab Islam klasik.
E.
KESIMPULAN Bahwasanya penggunaan metode pembelajaran qira’ah sab’ah seharusnya tidak hanya terfokus oleh satu metode saja, akan tetapi metode yang telah ada dikombinasikan dengan metode-metode lain, supaya tidak menimbulkan kebosanan dikalangan siswa/santri. Selain itu harus ada waktu khusus untuk mengulang kembali/muraja’ah materi qira’ah sab’ah yang telah diajarkan. Guru/Muallim seharusnya menjelaskan materi qira’ah sab’ah secara maksimal, agar siswa/santri mendapat pengetahuan secara maksimal juga diadakan pelatihan atau pembelajaran kitab kuning atau diadakan kursus bahasa Arab, untuk menigkatkan skill para santri dalam membaca dan memahami kitab kuning/ kitab-kitab yang berbahasa Arab. Evaluasi di akhir semester juga penting, supaya guru dapat
mengetahui perkembangan santri dalam belajar qira’ah sab’ah. F.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim Abidin S, Zainal. 1992. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Al-A’zami, M. M. 2005. The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation, Terjemahan Sohirin Solihin dkk. Jakarta: Gema Insani. Al-Albani, M. Nashiruddin. 2008. Shahih Imam Bukhari. Terjemahan Abd. Hayyie Al-Katani dan A. Ikhwani. Jakarta: Gema Insani. Al-Albani, M. Nashiruddin. 2005. Shahih Muslim. Terjemahan Elly Lathifah. Jakarta: Gema Insani. Al-Albani, M. Nashiruddin. 2007. Shahih At-Tirmidzi. Terjemahan Fathurazi. Jakarta: Pustaka Azam. Al-Asqalani,Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari, Terjemahan Amirudin. Jakarta: Pustaka Azzam. Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki. 1999. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia. Al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi. 2001. Keistimewaan-Keistimewaan Al-Qur’an. Terjemahan Nue Faizin. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Al-Qaththan, Manna’. 2006. Pengantar Studi Ilmu AlQur’an. Terjemahan Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Amanah. 1991. Pengantar Ilmu Al-Qur’an & Tafsir. Semarang: As-Syifa. Amin, KH. M. Arwani. 2000. Faidhul al-Barakat fi Sab’i al-Qiro’at. Kudus: Toko Kitab Mubarokatan Thoyyibah. Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qu r’an. Bandung: Pustaka Setia. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ash-Shaabuni, Syekh Muhammad Ali. 1991. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Terjemahan M. Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 22
Ash-Shaabuni, Syekh Muhammad Ali. 1991. Studi Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan Aminuddin. Bandung: CV. Pustaka Setia. Ash-Shaabuni, Syekh Muhammad Ali. 1991. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terjemahan Saiful Islam Jamaluddin. Surabaya: Al-Ikhlas. As-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan (Fi Ulumi Al-Qur’an). Beirut: Darul Kitab AlIslamiyah. Ash-Shiddieqi. Tengku Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. As-Suyuti, Imam. 1989. Apa itu Al-Qur’an. Terjemahan Aunur Rafiq. Jakarta: Gema Insani Press.
Choiruddin. 2006. Penerapan Metode Jibril dalam Pembelajaran Al-Qur’an di PIQ Singoshari Malang. Malang: Skripsi. Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahanya. Bandung: CV. Penerbit Jumanatul Ali-Art. Gani, Bustani A. (eds.). 1986. Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Qur’an. Jakarta: PT. Litera Antar Nusa.
Marzuki, Kamaluddin. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Munir, Misbahul. 2005. Ilmu dan Seni Qi ro’atil Qu r’an. Semarang: Binawan. Shihab, M. Quraish dkk. 1999. Sejarah dan ‘Ulum Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. Supiana dan Karman, M. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. Suprayogo, Imam. 2004. Pendidikan Berparadigma AlQur’an. Malang : Aditya Media. Surasman, Otong. 2002. Metode Insani. Jakarta: Gema Insani. Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 1997. Ulumul Quran I. Bandung: CV. Pustaka Setia. Taufiqurrahman, H. R. 2005. Metode Jibril. Singoshari: IKAPIQ-Malang. Ulum, M. Samsul. 2007. Menangkap Cahaya AlQur’an. Malang: UIN-Malang Press. Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
LPTQ. 2002. Pedoman Maqra’ Musabaqah Qiraat AlQur’an. Surabaya: Kanwil Departemen Agama.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 23
Konsep Pengembangan Program Unggulan di Lembaga Pendidikan Islam Ahmad Zarkasyi Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Miftahul Ulum Lumajang
Abstrak
Pendidikan merupakan salah satu unsur penilaian dalam indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikembangkan oleh United Nations Development Programs (UNDP).Untuk itu seluruh potensi pendidikan hendaknya diarahkan pada pencapaian tingkat kemajuan pembangunan pendidikan yang berkualitas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif melalui serangkaian program unggulan yang harus dikelola secara professional. Program Unggulan adalah suatu rangkaian langkahlangkah yang dilaksanakan dengan urutan tertentu untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran yang dimaksud meliputi kualitas dasar(daya pikir, daya kalbu, dan daya phisik) dan penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi dan sebagainya) termasuk penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komuniksi dan sebagainya). maka salah satu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah rekonstruksi ulang program sekolah mulai dari konsep kurikulum terpadu yang kaitannya dengan standar isi, peningkatan mutu pembelajaran misalnya melalui program akselerasi dimana hal tersebut berkaitan dengan standar proses, dan yang tak kalah penting adalah adanya program yang mampu membentuk multiple intelegence peserta didik melalui kegiatan diluar kelas, misalnya ekstrakulikuler. PENDAHULUAN
Pemerintah menyadari pentingnya pendidikan yang bermutu bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan hal itu, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I Pasal 1 yang menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.1
Pendidikan merupakan salah satu unsur penilaian dalam indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikembangkan oleh United NationsDevelopment Programs (UNDP). Unsur pendidikan dianggap sebagai indikator kemajuan pembangunan sebuah masyarakat, di samping kesehatan dan daya beli masyarakat. Dengan posisi tersebut, pendidikan 1
Peraturan Pemerintah RI Nomor Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dianggap cukup strategis untuk dijadikan agenda pembangunan bangsa. Untuk itu seluruh potensi pendidikan hendaknya diarahkan pada pencapaian tingkat kemajuan pembangunan pendidikan yang berkualitas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif melalui serangkaian program unggulan yang harus dikelola secara professional. Program Unggulan adalah suatu rangkaian langkah-langkah yang dilaksanakan dengan urutan tertentu untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran yang dimaksud meliputi kualitas dasar(daya pikir, daya kalbu, dan daya phisik) dan penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi dan sebagainya) termasuk penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komuniksi dan sebagainya). Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada Bab I Pasal 1 no. 24 disebutkan bahwa tuntutan mutu dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan dewasa ini terus meningkat. Mengamati fakta ini, pelayanan lembaga pendidikan Islam yang bermutu kepada masyarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Hal
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 24
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, yaitu: bahwa banyak pelayanan publik yang tidak bermutu sehingga konsumen tidak puas. Aktualisasi ketidakpuasan terhadap pelayanan yang tidak bermutu itu dapat diamati dari sikap dan perlilaku konsumen. Penyebab pelayanan yang tidak bermutu itu adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diterima masyarakat. Lembaga Pendidikan Islam sebagai penyedia layanan (service provider) yang mulai banyak diminatisebaiknya mempertimbangkan apa yang harus dipuaskan terhadap stake holder yaitu masyarakat pendidikan. Hal ini sangat penting karena apabila sebuah lembaga pendidikan mengabaikannya maka akan terjadi kesenjangan antara program yang dicanangkan sekolah dengan harapan stake holder.2 Berdasarkan kondisi yang dialami lembaga pendidikan Islam serta gagasan pengembangan lembaga pendidikan Islam, maka salah satu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah rekonstruksi ulang program sekolah mulai dari konsep kurikulum terpadu yang kaitannya dengan standar isi, peningkatan mutu pembelajaran misalnya melalui program akselerasi dimana hal tersebut berkaitan dengan standar proses, dan yang tak kalah penting adalah adanya program yang mampu membentuk multiple intelegence peserta didik melalui kegiatan diluar kelas, misalnya ekstrakulikuler. PEMBAHASAN 1. Konsep Pengembangan Program Unggulan dari Aspek Kurikulum Terpadu Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 pasal 1 ayat 19, yang berbunyi: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.3 Dengan demikian kurikulum dipandang sebagai rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokumen tertulis sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Mengutip pendapat Audrey dan Howard Nichools, Oemar Hamlik mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the 2
Redaksi Sinar Grafika, Amandemen Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal 41 3 Peraturan Pemerintah RI Nomor Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
planning of the learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have taken place. Artinya, pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik ke arah perubahanperubahan yang diinginkan serta menilai hingga sejauh mana perubahan-perubahan itu terjadi pada diri peserta didik.4 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses perencanaan kesempatan-kesempatan belajar untuk peseta didik sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum agar memperoleh perubahanperubahan yang diinginkan pada peserta didik. Pendidikan Islam mempunyai karakteristik tersendiri, dengan adanya pendidikan Islam diharapkan akan mampu membentuk generasi yang memiliki kekuatan iman, ilmu, dan amal yang bisa bersaing di masa mendatang., sebagaimana fungsi penciptaan manusia dalam QS Ad Dzariyat:56, yang berbunyi: Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.5 Dan berakhlak karimah serta mempersiapkan agar siap menjalankan fungsi kekhalifahannya yang menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan, berketeladanan sehingga mampu memimpin dan memelihara sendi-sendi kehidupan untuk kemaslahatan kehidupan manusia, sebagaimana misi penciptaan manusia Allah berfirman: Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS Al Baqarah: 31).6 Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijakankebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
4
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal 10. 5 Departemen Agama RI, Al Hikmah; Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2008, hal 523. 6 Departemen Agama RI, Al Hikmah; Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2008, hal 12.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 25
Kurikulum terpadu pada hakekatnya bukan merupakan istilah tersendiri, tetapi ia juga merupakan bagian dari model konsep kurikulum. Dalam konteks ini para pakar kurikulum memiliki pandangan yang berbeda terhadap kurikulum terpadu, ada yang memandang hanya senbgai satu bentuk organisasi materi (content) kurikulum, sedangkan pakar lain ada pakar lain ada yang melihatnya sebagai suatu konsep kurikulum yang tidak sekedar peraturan isi/materi tersebut tetapi merupakan konsep kurikulum yang utuh. Menurut pendapat Kniep, Feige, dan Soodak yang dikutip oleh Syaifuddin Sabda mengemukakan sebagai berikut: During the progressive education era, several educators proposed that curriculum integration was more than a sparated or union of conseptual and and organizational arrangements. Rather they considered it in relation to essential questions of knowledge and meaning that were belived relevant and essential to the learner. Pada perkembangan awal, konsep kurikulum tepadu hanya merupakan bagian dari kurikulum sebagai sebuah rencana, yakni sekedar sebuah bentuk desain content/materi pelajaran, seperti istilah: integration, correlation, interdisciplinary, unit, fusi, broad filed, dan lain-lain. Perkembangan selanjunya konsep kurikulum tepadu telah dipandang bukan hanya sekedar pengaturan materi/content pelajaran dan bagian dari perencanaan, tetapi telah menjadi suatu model konsep kurikulum yang memiliki konsep yang utuh (baik sebagai ide, rencana, proses maupun hasil). Ia juga memiliki desain yang lebih lengkap (mulai dari rumusan tujuan, materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi).7 Forgarty dalam Syaifuddin Sabda mendefinisikan kurikulum terpadu (integrated curriculum) sebagai suatu model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skills, themes, concepts, and topics secara inter dan antar disiplin atau penggabungan keduanya. Maurer dalam Syaifuddin Sabda mendefinisikan kurkulum terpadu (interdisciplinary curriculum) sebagai: “the organization and tarnfer of knowledge under a united or interdisciplinary theme”. Beane dalam Syaifuddin Sabda mendefinisikannya sebagai model kurikulum yang menawarkan sejumlah kemungkinan tentang kesatuan dan keterkaitan antara kegiatan sehari-hari dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman pendidikan.8 7
Sabda, Syaifuddin. Model Kurikulum Terpadu IPTEK dan IMTAQ (Desain Pengembangan dan Implementasi).Jakartat: Ciputat Press Group, 2006. Hal 27 8 Syaifuddin. Model Kurikulum....,,hal 29
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau siswa. 9 Istilah kurikulum terpadu yang mereka gunakan berbeda, namun umumnya banyak menggunakan istilah integrasi (integrated curriculum) dan kurikulum antar dan interdisiplin (interdisciplinary curriculum). Kurikulum interdisipliner menunjuk pada suatu pola pemanduan anatar dan inter bidang studi, baik dua atau lebih bidang studi. Adapun kurikulum integrasi memiliki pola yang lebih terbuka dan luas. Implementasi Model Kurikulum Terpadu a. Konsep Implementasi Kurikulum Kurikulum dapat dilihat dari empat bentuk/tingkatan, yakni kurikulum sebagai konsepsi atau ide, sebagai rencana tertulis, sebagai kegiatan (proses), dan sebagai hasil belajar. Mengutip pendapat Hasan, Syaifuddin Sabda mengemukakan pada hakekatnya dilihat dari sudut pengembagan kurikulum, kurikulum sebagai proses sebenarnya adalah implementasi kurikulum sebagai rencana.10 Implementasi di samping dipandang sebagai sebuah proses, implementasi juga dipandang sebagai penerapan sebuah inovasi atau perbaikan, implementasi dapat berlangsung terus menerus sepanjang waktu, implementasi harus dapat menyelsaikan perbedaan antara praktek yang diharapkan dengan kenyataan. b. Aspek dan Prosedur Implementasi Kurikulum Terpadu Mengutip pendapat Raka Joni, Syaifuddin Sabda mengemukakan tiga tahapan atau langkah yang harus dilakuukan, yaitu: tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan kulminasi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan ketiga langkah tersebut. 1) Perencanaan Yang dimaksud dengan perencanaan di sini adalah perencanaan dalam konteks implementasi kurikulum. Secara umum aspek-aspek yang perlu direncanakan dalam perencanaan implementasi kurikulum terpadu , sebagaimana yang dikemukakan oleh Maurer yang diktip oleh Syifuddin Sabda meliputi:11 (1) rumusan tujuan umum (common objective), (2) penentuan tema 9
Robert S. Zais, Curriculum Principles and Foundations, New York: Harper and Row Publisher, 1976, 7. 10 Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum..., hal 99. 11 Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum..., hal101
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 26
umum (common theme), (3) penentuan kerangka waktu (common time frame), (4) bentuk pola sekuen materi (diverse sequening pattern), (5) model strategi aplikasi pembelajaran (applied learning strategies), dan (6) penetapan bentuk pengukuran (viaried assesment). Realisasi aspekaspek tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk perencanaan tertulis dan tidak tertulis. 2) Pelaksanaan Dilihat dari sudut penggolahan materi, C.C. Freeman dan H.J. Sokoloff dalam Syaifuddin Sabda mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan kurikulum hendaknya berdasarkan kepada pendekatan konstruktif, yakni siklus pertama pembelajaran dimulai dari telah diketahui oleh peserta didik, siklus berikutnya kembali kepada sesuatu permasalahan semula dengan banyak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk memperoleh dan mengorganisasikan informasi secara faktual. 12 Dilihat dari kinerja guru dan siswa Maurer yang dikutip Syifuddin Sabada menganjurkan perlunya memperhatikan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara total siswa. Dalam hal ini ia menganjurkan penerapan model pembelajaran “cooperative learning” 3) Kulminasi (evaluasi) Sebagai tahaapan terakhir dari kegiatan implementasi kurikulum dituntut adanya ketuntasan aktivitas dan keterukuran hasil yang dicapai. Oleh karena itu pada tahap ini diperlukan adanya kegiatan evaluasi. Menurut Raka Joni bahwa bentuk evaluasi dalam kurikulum terpadu pada dasarnya tidak berbeda dengan bentuk evaluasi kurikulum konvensional, hanya saja evaluasi dalam kurikulum tepadu di samping evaluasi terhadap proses dan hasil harus banyak diarahkan pada evaluasi terhadap dampak pengiring (nurturane effects)
2. Konsep Pengembangan Program Unggulan dari Aspek Pembelajaran Akselerasi Kata akselerasi diambil dari bahasa Inggris acceleration yang berarti percepatan. Dalam bidang pendidikan istilah akselerasi memiliki makna konseptual tersendiri. Pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. Definisi ini menunjukkan bahwa akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan
proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa biasa. 13 Definisi yang serupa diuraikan oleh beberapa ahli lainnya.Harrington, misalnya, mengatakan bahwa acceleration refers to program organization in which the learner completes coursework earlieror in less time than ordinarily expected.65 Akselerasi menunjuk pada program dimana siswa menyelesaikan materi pelajaran lebih awal atau dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang diharapkan pada umumnya. Gowan dan Renzulli mengatakan, akselerasi berarti perolehan konten materi dengan irama yang lebih dipercepat sesuai dengan kemampuan potensial siswa. 14 Coleangelo menyebutkan bahwa istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, pengertian akselerasi termasuk juga sejak tingkat sekolah taman kanak-kanak atau sampai perguruan tingg, pada usia muda, meloncat kelas, dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Dalam hal ini, akselerasi dapat dilakukan dalam kelas regular, ruang sumber, atau pun kelas khusus dan bentuk akselerasi yang diambil bias telescoping dan siswa dapat menyelesaikan dua tahun atau lebih kegiatan belajarnya menjadi satu tahun atau dengan cara self paced studies, yaitu siswa mengatur kecepatan belajarnya sendiri. 15 Hal yang sama diuraikan oleh Semiawan, ia membagi dua pengertian tentang akselerasi, yaitu, pertama akselerasi sebagai model pelayanan pembelajaran dan yang kedua akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Pengertian pertama menunjuk pada lompat kelas, misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan unggul diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi. Sementara pengertian kedua menunjuk pada peringkasan program sehingga dapat dijalankan dalam waktu lebih cepat.68 Dari beberapa pendapat ahli tentang definisi akselerasi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengertian akselerasi, dan akselerasi pada 13
Reni Akbar Hawadi, Konsepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak Berbakat Intelektual, Depdiknas, 2002, hal 31 14
Colangelo dalam Reni Akbar Hawadi, Akselerasi, Grassindo, Jakarta, 2004 hal 9 15
12
Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum..., 104
Reni Akbar Hawadi, Konsepsi Program....., hal 33
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 27
intinya adalah suatu program pengajaran yang dilakukan dengan cara memampatkan materi pelajaran sehingga dapat terselesaikan dengan waktu yang lebih singkat dari waktu yang seharusnya. Proses Belajar Mengajar (PBM) di Kelas Akselerasi Pengajaran di kelas akselerasi merupakan kegiatan nyata dalammengimplementasikan kurikulum yang telah didiferensiasikan. Aspek-aspekyang berkaitan dengan PBM yang penting dibicarakan, diantaranya meliputi : 1) Model Pembelajaran Diferensiasi kurikulum yang telah disusun bagi siswa berbakat intelektual menurut pandangan Davis dan Rimm dapat dilakukan melalui tiga jalur kegiatan pembelajaran meliputi: 1) enrichment (pengayaan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan perluasan materi kurikulum; 2) extension (pendalaman) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan investigasi bidang studi secara lebih mendalam, dan acceleration (percepatan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan untuk menyelesaikan materi belajar dalam waktu yang lebih singkat.113 Dan dalam kegiatan belajar bersama siswa berbakat intelektual Barbe dan Renzulli memberi saran-saran sebagai berikut : a) Membentuk pengalaman belajar sesuai dengan rasa ingin tahu alamiah siswa dengan menghadapkan pada masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan dan minat siswa. b) Memperkenankan siswa untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan belajar. c) Memberi pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif siswa dan menngembangkan kemampuan yang diperlukan untuk itu. d) Sedapat mungkin guru bertindak sebagai penyampai informasi dan tidak memaksa memberi pengetahuan yang belum siap diterima oleh siswa. e) Mengusahakan agar program belajar cukup fleksibel untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan, percobaan, dan penemuan sendiri. f) Mendorong dan menghargai inisiatif, keingintahuan dan menguji, serta membangun orisinalitas. g) Membiarkan siswa belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya selama tidak berbahaya atau membahayakan.16 16
Anonim, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa (Program Akselerasi), Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm 54
Selanjutnya metode pengajaran bagi siswa berbakat intelektual yang disarankan oleh para ahli pendidikan bermacam-macam, namun menurut Akbar metode pembelajaran yang paling sesuai adalah metode pembelajaran yang berorientasi pada cara berpikir induktif, divergen dan evaluatif. Hafalan pada pembelajaran di program akselerasi sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada tehnik yang berorientasi pada penemuan dan pendekatan induktif. Sesuai dengan karakteristik siswa berbakat intelektual, maka guru harus menggunakan metodemetode yang banyak memberi kesempatan kepada siswa agar mereka dapat aktif berpikir, dapat menemukan masalah dan memecahkannya, melakukan percobaanpercobaan dan penelitian ilmiah, menyusun laporan dan sebagainya. 17 Kitano mencontohkan metode-metode yang dapat digunakan untuk mengajar siswa berbakat intelektual sebagi berikut : a) Independent study, ialah memberikan kesempatan yang luas kepada siswa gifted untuk mengerjakan aktifitas tertentu seperti melalukan proyek riset. b) Memberikan kesempatan maju dengan cepat dan kesempatan untuk mempelajari unit pelajaran yang lebih tinggi, yaitu memberi kesempatan untuk mengusahakan aktivitas belajar baru danmenghindarkan kebosanan karena pengulangan terhadap keterampilan yang sebenarnya sudah dikuasainya. c) Mempraktekkan tingkat proses berpikir tinggi, yaitu kegiatan belajar yang menuntut analisis, sintesis, dan cara berpikir divergen. d) Pelibatan pembicara tamu, yaitu mengundang pembicara tamu dengan tujuan memperkaya informasi yang berkaitan dengan topik yang ada pada kurikulum. e) Mentors, ialah kegiatan belajar dimana seseorang yang lebih tinggi keahliannya melakukan diskusi dan bekerja dalam lapangan interes yang menarik kedua belah pihak. Mungkin mentor dapat memberikan kesempatan bekerjasama dalam bentuk memberikan bacaan, ide-ide dan melibatkan siswa dalam aktivitas-aktivitas ilmiah. f) Pemberian materi yang lebih tinggi. 18
17
Reni Akbar Hawadi, Konsepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak Berbakat Intelektual, Depdiknas, 2002, hal 55 18
SCU Munandar, Pengembangan Kreativitas Dalam Pembelajaran, Departemen Pendidikan Nasional, 2002, hlm 13
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 28
Berkenaan dengan pengajaran yang tepat bagi siswa berbakat intelektual, Tirtonegoro menyarankan sistem pengajaran dengan menggunakan sistem modul karena dianggap paling sesuai dengan karakteristik siswa berbakat intelektual dengan segala potensi dan karakteristiknya. Sedang yang dimaksud dengan modul adalah suatu paket pengajaran yang memuat pedoman bagi guru dan bahan pelajaran bagi siswa. Modul merupakan satuan program belajar mengajar yang terkecil, yang dipelajari oleh siswa sendiri secara perseorangan atau diajarkan oleh siswa kepada dirinya sendiri setelah siswa menyelesaikan satuan pelajaran, siswa akan maju dan mempelajari satuan pelajaran yang lain. Dengan demikian metode pengajaran dengan mengunakan modul merupakan strategi dalam pengajaran individual.19 Untuk mengetahui mengapa sistem modul diharapkan dapat mengembangkan potensi siswa gifted and talented karena : a) Memberi penekanan kepada kesempatan belajar mandiri yang aktif pada siswa. b) Memperhatikan perbedaan kecepatan belajar siswa. c) Kejelasan dalam penyajian dalam bentuk tingkah laku siswa bagi setiap satuan pengajaran yang terkecil. d) Penggunaan berbagai media dan metode sesuai dengan sifat dan hakikat bahan dan tujuan pelajaran. e) Kemungkinan siswa berpartisipasi secara aktif dalam seluruh proses belajar mengajar. f) Umpan balik langsung dari hasil penilaian secara terus menerus. g) Menekankan konsep belajar tuntas (mastery learning).20 Pengajaran atau kegiatan belajar mengajar di kelas akselerasi dari beberapa pendapat di atas mencerminkan suatu kegiatan belajar yang berpusat pada siswa. Metode yang digunakan lebih mendorong siswa untuk mandiri, kreatif dan melakukan proses berpikir tingkat tinggi secara intensif. Siswa didorong untuk mempelajari sesuatu secara mendalam dan luas namun tetap sesuai dengan kecepatan belajarnya masingmasing. 2) Evaluasi Siswa Berbakat Intelektual di kelas Akselerasi Penilaian adalah bagian integral dari proses pendidikankhususnya proses belajar mengajar. Proses penilaian biasanyamemperlihatkan perubahan-
perubahan dalam tingkah laku. Untuksiswa berbakat intelektual diharapkan tingkah laku yang kompleksserta performa yang tinggi. Proses penilaian itu juga diharapkanmembantu siswa berbakat intelektual memperoleh keterampilan,pengetahuan, pemahaman, serta sikap dan nilai sesuai dengan yangdiharapkan. Dengan demikian siswa berbakat akan belajar mengetahui,mengamati, memperhatikan, dan mengapresiasikan, serta mengkajibaik pekerjaan sendiri maupun orang lain.21 Penilaian siswa berbakat intelektual menurut Hollingworthdilakukan melalui tiga tahap, yaitu : a) Penilaian awal atau Pre Assessment, merupakan metode, strategi, atau proses yang digunakan untuk mengetahui atau menentukan kesiapan belajar atau interes siswa. Penilaian awal ini bertujuan untuk merencanakan pengajaran yang sesuai, karena penilaian awal ini memberikan data dan informasi yang dapat menentukan tingkat kesulitan dan model belajar yang akan diterapkan. Penilaian awal dapat membantu guru memahami perbedaan-perbedaan cara belajar siswa dan juga memberi petunjuk tentang kebutuhan belajar siswa, atau penentu bagi pelaksanaan remedi. b) Penilaian Berkala atau Formative Assessment, merupakan penilaian yang dilakukan oleh guru untuk menentukan dampak dari aktivitas pengajaran yang telah dilaksanakan. Penilaian ini dilakukan ketika pengajaran berlangsung atau untuk melakukan penilaian terhadap materi yang baru disajikan. Penilaian berkala ini menyediakan data tentang tingkat pemahaman siswa terhadap ugastugas yang diberikan, memberi kesempatan kepada guru untuk membuat keputusan pemberian tugas atau pelajaran baru yang lebih menantang siswa berbakat intelektual dan mendorong perencanaan jangka pendek yang responsive terhadap performa siswa terkini. c) Penilaian akhir atau Summative Assessment, merupakan penilaian yang dilakukan setelah data performa belajar siswa terkumpul. Penilaian akhir merupakan sarana komunikasi tentang keberhasilan pengajaran kepada pihak-pihak yang terkait, meliputi siswa sendiri, wali atau orang tua siswa, lembaga pendidikan, dan lain-lain. Penilaian akhir merupakan laporan tentang hasil prestasi belajar apakah telah memenuhi standar yang
19
Ibid. 74 Conny Semiawan, AS. Munandar, SCU Munandar, Memupuk Bakat dan Kreativitas…, hlm 105 20
21
Conny Semiawan, Memupuk Bakat dan Kreativitas…, hlm 111
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 29
telah ditetapkan dan apakah tujuan kurikulum telah tercapai atau belum.22 Kegiatan evaluasi siswa berbakat intelektual menurut Wolf merupakan inti dari keberhasilan kurikulum, sampai dimana kurikulum dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu pola penilaian yang disarankan oleh Wolf untuk siswa berbakat intelektual lebih banyak bertitik tolak pada ketuntasan seseorang melaksanakan dan menguasai program belajar. Atas dasar itu, Wolf telah mengembangkan suatu prosedur yang sederhana yang menggambarkan ketuntasan perolehan keterampilan belajar tertentu.23 Penilaian yang digunakan dalam pedoman penyelenggaraan program akselerasi Depdiknas tahun 2007 adalah penilaian otentik, yaitu proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Penilaian otentik menekankan pada proses pembelajaran, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat siswa mengerjakan suatu tes. Alat penilaian yang digunakan adalah : a) Hasil karya (product) berupa karya seni, laporan, gambar, bagan, tulisan dan benda. b) Penugasan (project), yaitu bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menyelesaikan sebuah proyek. c) Unjuk kerja (performance), yaitu penampilan diri dalam kelompok maupun individual, dalam bentuk kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum. d) Tes tertulis (paper and pencil test), yaitu penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, atau akhir program. e) Kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), yaitu kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar peta, benda-benda, karya tulis, isian, table-tabel, dan lain-lain. Evaluasi belajar yang dilakukan pada program akselerasi pada dasarnya sama dengan siswa program regular. Perbedaan yang paling terlihat terletak pada jadwal tes karena untuk program akselerasi mengacu pada kalender pendidikan yang dibuat khusus. Dan pada dasarnya laporan hasil evaluasi belajar atau rapor untuk siswa berbakat intelektual sama dengan rapor
untuk program regular. Nilai atau angka buku laporan tetap terisi untuk 6 semester. Pembagian rapor untuk program akselerasi dilakukan sesuai dengan kalender pendidikan yang berlaku khusus untuk program akselerasi.24 Ditinjau dari macamnya maka sistem evaluasi bagi siswa berbakat intelektual sama dengan evaluasi bagi siswa regular. Tetapi cara evaluasi berbakat intelektual sebagaimana disarankan oleh para ahli sebaiknya adalah dengan pemberian tugas yang banyak melibatkan pemikiran, analisis dan ide-ide kreatif yang dapat dilihat secara nyata. Harapan terhadap Out Put Program Akselerasi Out put yang diharapkan dari program akselerasi pada intinya tidakberbada dengan out put program regular, yang tentu saja mengacu padatujuan pendidikan nasional. Sebagaimana tercantum dalam Undangundangtentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, tujuanpendidikan nasional di negara kita adalah untuk berkembangnya potensipeserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepadaTuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadi warga negara yang demokratis serta bertanggunag jawab. Sugiharto menjabarkan secara lebih konkrit tentang harapanterhadap out put program akselerasi khususnya di Indonesia adalah sebagaiberikut : a. Out put atau kelulusan program akselerasi memiliki rata-rata nilai ujian nasional 7 (tujuh) atau lebih. b. Memiliki keberhasilan yang tinggi, yaitu dapat diterima di PerguruanTinggi ternama (berkualitas). c. Memiliki keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME. d. Memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. e. Memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas. f. Memiliki motivasi dan komitmen yang tinggi untuk berprestasi. g. Memiliki kepedulian sosial dan kepemimpinan. h. Memiliki disiplin pribadi yang tinggi. i. Memiliki tanggung jawab yang tinggi. j. Memiliki kondisi fisik yang prima. k. Gemar membaca dan meneliti.
22
Widyastono, Herry, Identifikasi Masalah Dalam Rangka Penyelenggaraan Program Akselerasi, Balitbang Depdiknas, Jakarta, 2002, hal 42 23
Conny Semiawan, AS. Munandar, SCU Munandar, Memupuk Bakat dan Kreativitas…, hlm 117
24
Anonim, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa (Program Akselerasi), Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm 61
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 30
l.
Memiki kemampuan berbahasa Inggris yang baik dan lancar.25 Harapan terhadap out put siswa program akselerasi tidak hanya mencakup kemampuan di bidang akademik, tetapi juga sikap atau pribadi yang mulia. Hanya saja untuk bidang non akademik tidak ada pengukuran yang obyektif, sebagaimana pencapaian prestasi akademik.
3. Konsep Program Unggulan Pengembangan Peserta Didik Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.26 Adapun Tujuan Pengembangan diri adalah sebagai berikut
1) Tujuan Umum : memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. 2) Tujuan Khusus : menunjang pendidikan peserta didik dalam mengembangkan : Bakat Minat Kreativitas Kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan Kemampuan kehidupan keagamaan Kemampuan sosial Kemampuan belajar Wawasan dan perencanaan karir Kemampuan pemecahan masalah Kemandirian.27 Model Program Pengembangan Diri: Pengembangan Diri Bisa Dijalankan dengan Dua Model.28 25
Anonim, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa (Program Akselerasi), Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm 73 26 Dewa ketut sukardi, Organisasi Administrasi dan Bimbingan Konseling di Sekolah (Surabaya:Usaha Nasional 2001) hlm 19 27 Dewa ketut sukardi, Organisasi Administrasi ...hal. 21
1) Model Konseling Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan normanorma yang berlaku. Bidang Pelayanan Konseling Pengembangan kehidupan pribadi , yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik. Pengembangan kehidupan sosial , yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas. Pengembangan kemampuan belajar , yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri. Pengembangan karir , yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir. Fungsi Bimbingan Konseling a. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya. b. Fungsi Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya. c. Fungsi Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya. d. Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan , yaitu fungsi untuk Menengah Kejuruan. (Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah 2008). Hal. 35
28
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengembangan Diri Pada Sekola
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 31
membantu peserta didik memelihara dan menumbuhkembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya. e. Fungsi Advokasi , yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.29 2) Model Kegiatan Ekstrakurikuler Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan 30 berkewenangan di sekolah/madrasah. Fungsi Kegiatan Ekstrakurikuler a. Fungsi pengembangan , yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka. b. Fungsi Sosial , yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik. c. Fungsi Rekreatif , yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan. d. Fungsi Persiapan karir , yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik. Prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing. a. Prinsip Pilihan , yaitu prinsip kegiatan ekstra
kurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta didik. b. Prinsip Keterlibatan aktif , yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh. c. Prinsip Menyenangkan , yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik. d. Prinsip Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil. e. Prinsip Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Format Kegiatan Ekstrakurikuler KridaMeliputi 1. Format Kegiatan Individual, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik secara perorangan. 2. Format Kegiatan Kelompok, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti oleh kelompok-kelompok peserta didik. 3. Format Kegiatan Klasikal, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik dalam satu kelas. 4. Format Kegiatan Gabungan, yaitu format kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti peserta didik antar kelas/ antar sekolah/madrasah. Penilaian/ Evaluasi Pengembangan diri Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui: a. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani. b. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui 29 dampak layanan/kegiatan terhadap peserta Dewa ketut sukardi, Organisasi Administrasi dan didik. Bimbingan Konseling di Sekolah (Surabaya:Usaha Nasional 2001) hlm 27 c. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu 30 penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan Widiasari, Desi. 2010. Pengelolaan Kegiatan sampai dengan satu semester) setelah satu atau Ekstrakurikuler di Sekolah (Studi kasus di SMA KristenPetra beberapa layanan dan kegiatan pendukung Malang). Malang: Laporan Observasi Jurusan Administrasi konseling diselenggarakan untuk mengetahui Pendidikan FKIP UniversitasNegeri Malang. Hlm 35-40 lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung konseling terhadap peserta didik. JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 32
KESIMPULAN 1. Pengembangan kurikulum tepadu merupakan bagian dari kurikulum sebagai sebuah rencana, yakni sebuah bentuk desain content/materi pelajaran, seperti istilah: integration, correlation, interdisciplinary, unit, fusi, broad filed, dan lainlain. Konsep kurikulum tepadu telah dipandang sebagai kurikulum yang memiliki konsep yang utuh (baik sebagai ide, rencana, proses maupun hasil). Ia juga memiliki desain yang lebih lengkap (mulai dari rumusan tujuan, materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi). Kurikulum terpadu (integrated curriculum) sebagai suatu model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skills, themes, concepts, and topics secara inter dan antar disiplin atau penggabungan keduanya. 2. Akselerasi pendidikan di Indonesia masih merupakan sebuah program sekolah yang memadukan bentuk segregasi dan pengayaan sekaligus. Penggabungan ketiga bentuk pendidikan bagi siswa berbakat intelektual ini dimaksudkan untuk meminimalisir kekurangan yang ada pada masing-masing bentuk. Model akselerasi demikian juga disebabkan kondisi pendidikan di Indonesia yang belum memungkinkan diterapkannya tipetipe lain yang ditawarkan oleh bentuk akselerasi. Tipe akselerasi yang diterapkan di Indonesia sejauh ini juga masih menganut tipe telescoping curriculum yaitu penggunaan waktu yang kurang daripada waktu yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan studi pada tingkat pendidikan tertentu. 3. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik
Daftar Pustaka Peraturan Pemerintah RI Nomor Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Redaksi Sinar Grafika. 2013. Amandemen Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika. Hamalik, Oemar. 2007. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, Departemen Agama RI, Al Hikmah; Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2008 Sabda, Syaifuddin. 2006. Model Kurikulum Terpadu IPTEK dan IMTAQ (Desain Pengembangan dan Implementasi).Jakartat: Ciputat Press Group. Robert S. Zaiz. 1976. Curriculum Principles and Foundations, New York: Harper and Row Publisher, Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Pakar Raya, 2004 Idi, Abdullah. 2011. Penegmbangan Kurikulum; Teori dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hawadi, Reni Akbar. 2002. Konsepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak Berbakat Intelektual, Depdiknas. Fahruddin, Konsepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak Berbakat, Depdiknas, 2002 Anonim. 2007. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa (Program Akselerasi), Departemen Pendidikan Nasional. Munandar, SCU. 2002. Pengembangan Kreativitas Dalam Pembelajaran, Departemen Pendidikan Nasional. Hawadi, Reni Akbar . 2002. Konsepsi Program Percepatan Belajar Bagi Anak Berbakat Intelektual, Depdiknas, Widyastono, Herry. , 2002. Identifikasi Masalah Dalam Rangka Penyelenggaraan Program Akselerasi, Balitbang Depdiknas, Jakarta Sukardi, Dewa ketut. 2001. Organisasi Administrasi dan Bimbingan Konseling di Sekolah .Surabaya:Usaha Nasional. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengembangan Diri Pada Sekola Menengah Kejuruan. (Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah 2008) Widiasari, Desi. 2010. Pengelolaan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah (Studi kasus di SMA KristenPetra Malang). Malang: Laporan Observasi Jurusan Administrasi
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 33
Pendidikan Malang.
FKIP
UniversitasNegeri
PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM KAJIAN ISLAM NASR HAMID ABU ZAYD
Siti Halimah
Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Kajian ini untuk mengkaji aplikasi hermeneutika Tokoh Nasr Hamid Abu Zaid dalam mengkaji Teks AlQur’an. Metode yang ia gunakan ini merupakan adopsi dari wilayah luar Islam yang digunakan sebagai alat untuk
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 34
memahami kitab yang “bukan” Islam (Menurut beberapa pendapat bahwa hermeneutika sebelumnya digunakan untuk memahami kitab Bible, dan dianggap tidak sesuai jika diterapkan pada Al-Qur’an). Hasilnya adalah Teori hermeneutika Abu Zaid dalam mengkaji al-Quran, menggunakan metode analisis teks bahasa sastra. Ia membahas mengenai hakikat teks yang menjadi problem mendasar dalam sistem hermeneutika.Menurutnya wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak akan bisa dipahami manusia. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa al-Quran adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi. Menurutnya, firman Tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia, sebab ketika Allah ingin berkomunikasi kepada manusia, Maka Dia harus berbicara lewat bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang Allah kehendaki. Ini berujung bahwa al-Quran adalah bahasa manusia (Human Language). Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak dia pertama kali diturunkan kepada Muhammad SAW. Hal itu karena menurutnya, teks sejak pertama kali diwahyukan dan sejak dibaca oleh Nabi SAW, ia telah berubah dari teks ilahi menjadi teks manusiawi. Ia berubah dari tanzil kepada takwil.Oleh sebab itu, mengkaji al-Quran tidak memerlukan metode khusus. Sekalipun asal mulanya dari Tuhan. Namun, Nasr Hamid berpendapat studi Al-Qur’an tidak membutuhkan metode yang khususseperti yang disyaratkan oleh ulama’ terdahulu (menghafal al-Quran, Hafal hadis dan sebagainya).
Kata Kunci: Hermeneutika, Pemikiran Islam Nasr Hamid Abu Zaid
Pendahuluan Pembahasan seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan pembahasan yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran. Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh paraulama. Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nars Hamid Abu Zayd. Pemikir ini sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para akademisi. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adalah menarik menyimak bagaimana Nasr Hamid memandang teks al-Quran. Cara baru yang digunakan oleh Abu Zayd memang tidak lazim jika dilihat dari tradisi (ilmu-ilmu Al-Qur’an) yang telah berlaku. Sebab metode yang ia gunakan ini merupakan adopsi dari wilayah luar islam yang digunakan sebagai alat untuk memahami kitab yang “bukan” islam (Menurut beberapa pendapat bahwa hermeneutika sebelumnya digunakan untuk memahami kitab Bible, dan dianggap tidak sesuai jika diterapkan pada Al-Qur’an). Ketidak laziman itu yang mengakibatkan Abu Zayd diperlakukan tidak lazim dalam kalangan Islamdi negaranya sendiri maupun di luar. Sampai akhirnya ia sendiri mengalamipenderitaan relijius, yakni Pemurtadan. Kata toleransi menjadi mahal bagi Abu
Zayd . Sebab kesadaran ilmiah yang ia gulirkan justru menyebabkan ia menjadi korban dan menderita secara relijius. Nasr Hamid Abu Zayd adalah toko kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir. lde-idenya yang kontroversial tersebut memaksanya untuk meninggalkan Mesir, yang menurutnya tidak lagi kondusif untuk mengembangkan dan mempertahankan ide-idenya tersebut. Dia kemudian hijrah ke Netherlands untuk mengabdikan dan mengembangkan ide dan pemikirannya di Universitas Leiden. Untuk memahami dengan jelas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam hermeneutikanya, tulisan ini akan mencoba mengkaji dan membahas tentang Penerapan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Definisi Hermeneutika dan Sejarahnya Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing berarti “Menafsirkan” dan “Penafsiran”. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes, yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.1 Dalam terminologi modern, Hermeneutika juga merupakan ilmu yang digunakan dalam mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang beragam dan saling berkaitan seputar teks dari segi karakteristiknya dan hubungannya dengan kondisi yang 1
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tematema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 04.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 35
melingkupinya dari satu sisi serta hubungannya dengan pengarang teks serta pembacanya dari sisi yang lain.2 Konsentrasi para pengkaji hermeneutika adalah berkisar seputar segitiga teks, pengarang dan pembaca (hermeneut). Namun hubungan diantara tiga sisi berpusat pada teks sebab teks merupakan produk yang ditelorkan oleh pengarang dan itulah tema yang menjadi konsentrasi pembaca.3 Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang Sejarah, Bahasa dan Budaya yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam.4 Semulahermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial.5 Kemunculan hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Bible. Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Bible yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satusatunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther, Bible harus menjadi penafsir bagi Bible itu sendiri. Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu tradisi). Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Quhafa kota propinsi Tanta, Mesir pada 10 Juli 1943. Nasr adalah seorang Qori’ dan Hafidz dan mampu untuk menceritakan isi al-Qur’an sejak umur 8 tahun. 6 Keluarganya termasuk keluarga yang taat beragama dan 2
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2010), hlm.51-52 3
Fahmi Salim, Op. Cit, hlm.143
4
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet. Ke021, 2010), hlm. 225 5
Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : ArRuzzmedia, 2008), hal 30. 6
Maftukhin,Nuansa Studi Islam Sebuah Pergulatan Pemikiran (Yogyakarta:Teras, 2010), hlm. 259
Nasr pun mendapatkan pengajaran agama dari keluarganya sejak kecil. Nasr lulus dari sekolah teknik Tanta pada tahun 1960. Pada tahun 1968 menjadi mahasiswa di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Kairo. 7Pada tahun 1972 menyelesaikan kesarjanaannya pada program yang sama dan pada tahun 1977 ia menyelesaikan program magisternya, dan juga pada tahun 1981 ia telah mencapai gelar Ph.D. 8 Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat, terutama Usman Ibn Affan. Menurutnya, Usman Ibn Affan mempersempit bacaan Alquran yang beragam menjadi satu versi, Quraysh. Belakangan ia divonis “murtad”, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas tersebut. 9 Buku-buku Nashr Hamid Abu Zaid banyak menaruh perhatian pada aspek teks (Nass), sehingga ia mengatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah peradaban teks (Hadharah al-Nass). Maka, ia banyak menulis buku-buku yang mengupas persoalan teks, seperti Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Quran, Naqd al-Khitab al-Din. Karya-karyanya yang lain; Al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir, Falsafat al-Ta’wil, Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta’sis Aydiyulujiyyah al-Wasatiyah, Al-Mar’ah fi Khitab alAzmah dan yang lain sampai 16 buku karya yang ia miliki. Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, di antaranya: 1975-1977 mendapat bantuan dana beasiswa dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo. Hal yang sama diraihnya pada tahun 1978-1979 7
Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 116 8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan (Jogjakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 39. 9 Moch. Nur lchwan, Meretas Kesarjaan Kritis Alquran: Teori hermenutika Nasr Abu Zayd (Bandung: Teraju, 2003),hlm. 194.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 36
di Centre For Middle East Studies, universitas Pennsylvania, Philadelphia, USA. Mendapatkan Abdel Aziz al-Ahwani Prize for Humanities pada tahun 1982. Pada tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan pada tahun 1995-1998 menjadi professor tamu di Universitas Leiden, Netherlands. Tahun 2002-2003: Fellow at the Wissenschatten College in Berlin.10 Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid Menurut Mohammad Arkoun usahanya menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji AlQur’an sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama’ mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasikan pendekatan sastra kontemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada Al-Qur’an.11 Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku”.12 Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra. Sebelum Nasr Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir seperti Thaha Husain, Amin al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalaf Allah (1916-1998) dan Shukri Muhammad ‘Ayyad (1921-1999) sudah mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AIQur’an.13Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam. Nasr Hamid menyatakan: “oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam. Metodologi kritik sastra (Literary Criticism) yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika.14” Setelah akrab dengan literatur hermeneutika barat, Abu Zaid membahas mengenai hakikat teks yang 10
Henri Shalhuddin, Al-Quran Dihujat (Jakarta: alQalam, 2007),cet. Ke-2, hlm. 09 11 Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hlm. 69. 12 Ibid, hlm. 70 13 Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel...Op.Cit, hlm. 22 . 14 Fahmi Salim, Op. Cit, hlm. 69-70
menjadi problem mendasar dalam sistem hermeneutika.Menurutnya wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak akan bisa dipahami manusia. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa al-Quran adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi. Menurutnya, firman Tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia, sebab ketika Allah ingin berkomunikasi kepada manusia, Maka Dia harus berbicara lewat bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang Allah kehendaki. Ini berujung bahwa al-Quran adalah bahasa manusia (Human Language).15 Penyebab pertama yang membuat pemikiran islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah karena terpusat pada masalah teologis. Jadi dalam pandangan Nar Hamid, Al-Qur’an adalah bahasa manusia. 16 Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak dia pertama kali diturunkan kepada Muhammad SAW. Hal itu karena menurutnya, teks sejak pertama kali diwahyukan dan sejak dibaca oleh Nabi SAW, ia telah berubah dari teks ilahi menjadi teks manusiawi. Ia berubah dari tanzil kepada takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.17 Jadi menurut pandangannya Al-Qur’an adalah Teks manusiawi (Human Text). Dalam pandangan Nasr Hamid. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “Produk Budaya”. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr hamid juga menganggap Al-Qur’an sebagai Teks Bahasa (Nas Lughawi).18 Realitas, budaya dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifiknya sendiri. Oleh sebab itu, al-Qur’an adalah Teks Historis (a Historical Text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa menunjukkan bahwa AL-Qur’an adalah Teks Manusiawi (Nas Insani). 19 Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks keagamaan adalah teksteks bahasa yang kedudukannya sama dengan teks-teks yang lain dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, mengkaji al-Quran tidak memerlukan metode khusus. Sekalipun asal mulanya dari Tuhan. Namun, Nasr Hamid berpendapat studi Al-Qur’an tidak membutuhkan metode yang khusus. Karena jika 15
Ibid, hlm. 220. Adnin Armas, Op. Cit, hlm. 71-72 17 Fahmi Salim,Op, Cit, hlm. 220 18 Adnin Armas, Op. Cit, hlm. 72 19 Fahmi Salim, Op. Cit, hlm. 221 16
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 37
menggunakan metode khusus seperti yang disyaratkan oleh ulama’ terdahulu (menghafal al-Quran, Hafal hadis dan sebagainya) itu hanya akan menghalangi umat islam untuk memahami teks-teks agama. Maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa keimanan terhadap wujud metafisik Al-Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks Al-Qur’an. Dengan menyamakan status Al-Qur’an dengan teks manusia seperti teks-teks lain pada umumnya, dia berharap kajian al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja. Nasr Hamid menyatakan “ saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji oleh kaum muslim, Kristen bahkan atheis sekalipun”. 20 Konsep Historisitas Menurut Nasr Hamid Abu Zaid Al-Qur’an sebagai teks linguistik dan produk budaya yang bertolak dari dan oleh batasan realita adalah titik tolak pemberangkatan Abu Zaid dalam melontarkan historisitas penakwilan arti dan hukumhukum Al-Qur’an. Karena keterkaitan erat antara bahasa dan sistem kebudayaan yang membentuk bahasa, Abu Zaid memandang Al-Qur’an sebagai pantulan sosiologis suatu periode sejarah tertentu; seperti halnya karya-karya sastra yang merefleksikan periode dan kondisi sosio-antropologis saat karya itu dihasilkan. Dengan demikian, Abu Zaid ingin menganulir setiap makna dan hukum-hukum yang tetap dan berlaku abadi yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dan lebih dari itu, ia telah mengingkari sistem kepercyaan dan sistem legal Al-Qur’an atas nama historisitas.21 Historisitas itu sendiri berarti kajian tentang peristiwa-peristiwa dalam kaitannya dengan sejarah, yaitu teori yang menyatakan bahwa setiap kebenaran itu selalu berkembang maju bersama perputaran sejarah. Artinya, jika Abu Zaid ingin menerapkan historisitas untuk makna dan hukum-hukum Al-Qur’an, maka seluruh dictum kebenaran didalam Al-Qur’an mulai dari prinsip aqidah berupa iman kepada Allah hingga rincian syari’at yang dikandungnya harus terus berkembang maju bersama perkembangan sejarah.22 Ide untuk menafsirkan Al-Qur’an secara historis antropologis sejatinya adalah produk dari teori bahwa Al-Qur’an bersumber dari ide dan aspirasi manusia, sehingga petunjuk-petunjuk teks harus terus berubah dan tidak boleh berhenti pada petunjuk pertamanya saja saat ia diturunkan. Abu Zaid menulis “Jika teks agama adalah teks manusiawi disebabkan oleh alokasi bahasa dan kebudayaannya di dalam periode sejarah tertentu
(periode pembentukan teks dan produksi makna), maka dipastikan bahwa teks itu bersifat historis dalam arti bahwa petunjuk maknanya tak akan lepas dari sistem bahasa dan cultural setempat. 23 Kemudian Abu Zaid dalam mengakaji Al-Qur’an berpijak kepada teori historisitas teks dengan cara memisahkan antara makna hukum dan signifikansi yang dikandungnya. Historisitas adalah semacam mekanisme penganulir makna dan perubahan satu hukum kepada hukum lain mengikuti kondisi yang berlaku masa kini dalam setiap upaya pembacaan baru atas teks.24 Kata Abu Zaid”Kita mengajak untuk tidka berhenti pada makna petunjuk historis yang parsial dan keharusan menyingkap signifikansi yang dapat memungkinkan kita untuk membangun kesadaran kritis-historis. Karena makna mewakili petunjuk historis bagi teks dalam konteks pembentukannya, sedangkan signifikansi memiliki karakter modern sebagai hasil pembacaan masa kini yang berbeda dengan masa kemunculan teks itu”.25 Contoh Penerapan Historisitas atas Teks Al-Qur’an Abu Zaid memberikan beberapa contoh penerapan historisitas atas nash-nash Al-Qur’an sebagai berikut:26 Pertama, Abu Zaid telah menganulir ayat-ayat AlQur’an yang berbicara tentang “Perbudakan” dengan alas an telah dihapuskan dari sistem kehidupan sosial umat manusia. Jadi tak mungkin lagi kita berpegang kepada petunjuk-petunjuk makna ortodoks dan tak ada gunanya lagi kita perhatikan signifikansi sikap Islam tentang perbudakan ini kecuali hanya sebagai dalil sejarah bahwa sistem itu pernah ada, tak lebih dari itu. Kedua, Abu Zaid juga menganggap teks Al-Qur’an yang berbicara tentang sihir, hasad, jin dan setan hanya sebagai teks historis yang terinspirasi dari budaya dan realitas jahili serta pada periode historis pembentukan teks tersebut. Contoh: Pemisahan makna dan signifikansi hukum Ini misalnya diterapkan secara kasat pada kasus porsi harta waris untuk kaum wanita. Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan dengan porsi waris laki-laki dengan menakwil ayat-ayat alQur’an terkait masalah harta waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-laki diberikan oleh teks Al-Qur’an karena terkait dengan kedudukan wanita pada masa jahiliyah. Disitulah Abu Zaid ketika menakwilkan Al-Qur’an berpijak kepada teori historisitas teks dengan cara memisahkan antara makna hukum dan signifikansi yang dikandungnya. 27
23
20 21 22
Moch. Nur lchwan, Op. Cit, hlm. 66-67.
Fahmi Salim, Op. Cit, hlm. 298. Ibid, hlm. 300.
Ibid, hlm. 302 Ibid, hlm. 305 25 Ibid, hlm. 306. 26 Ibid, hlm. 303-304 27 Ibid, hlm. 305-306 24
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 38
Artinya, menurut Abu Zaid, jika Al-Qur’an telah memberikan porsi waris untuk wanita setengah daripada laki-laki atau seberapa pun porsinya sesuai dengan posisinya di antara ahli waris setelah sebelumnya bangsa Arab tak pernah memberikan hak waris apa pun kepada mereka, maka makna itu harus dilampaui kepada signifikansunya; yaitu perbaikan nasib kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Jika kemampuan wanita sekarang telah menjadikannya mitra laki-laki yang sejajar dalam segala bidang, maka porsi warisnya pun seharusnya sama besar. Karena teks-teks AL-Qur’an yang menetapkan porsi waris wanita memiliki signifikansi yang dibatasi oleh standar pergerakan yang dimunculkan oleh teks. Pergerakan itu akan melampaui kondisi yang selalu merendahkan mereka dan terus bergerak kea rah persamaan hak yang ditunjukkan olehnya pada saat bersamaan. 28 Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd Pendekatan hermeneutika yang dikembangkan kalangan modernis semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang merupakan upaya untuk mengembangkan pendekatan dalam memahami Al-Quran banyak ditentang di kalangan umat Islam. Adnin Armas misalnya,29 mengemukakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsirta’wil di sisi lain sehingga tidak tepat digunakan untuk mengkaji Alquran. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya, otoritas dan keaslian teks, serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut. Pertama, hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua, penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga, memisahkan makna antara yang “normatif” dan yang “historis” di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler. Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan 28 29
Ibid, hlm. 306. Adnin Armas, Metodologi Bibel..Op.Cit, hlm. 75
ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Nasr Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi “hakim” dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Nasr Hamid Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Selain itu, klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisb, antara Al-Quran dan tafsirnya, antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius. Pertama, kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan Al-Quran untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga, menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat Al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat, menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri Al-Quran dengan kualitas yang sama nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam AlQuran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu…” (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa? Keenam, berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh, membubarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat Syubhat (samar). Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas Al-Quran dengan dalih bahwa
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 39
perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini,30 konsep Al-Quran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian Al-Quran yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Al-Quran dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian Al-Quran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap Al-Quran yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa Al-Quran adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa Al-Quran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Al-Quran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history). Dengan demikian, memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Nasr Hamid Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci Firman Tuhan dalam ruang dan waktu. 30
Ibid, hlm. 4
Kemudian membatasi makna Al-Quran menurut zaman tertentu dalam sejarah. Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (Madzhab Minded), permasalahan ideologis (imankufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan AsbabAl–Nuzul dan NaskhWaMansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis. Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya, sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akhirat) dipandang sebagai bagian dari mitos (Usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (Al-Waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya). Sehingga Tujuan teori tafsir Nasr Hamid Abu Zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya Nasr Hamid Abu Zayd telah melahirkan ijtihad baru dalam metode penafsiran. Sebagai sebuah teori, tentunya harus tetap terus diuji. Sehingga pada akhirnya yang diikuti oleh umat tetunya teori yang telah teruji dan dapat dipertahankan. Penutup Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam. Abu Zaid membahas mengenai hakikat
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 40
teks yang menjadi problem mendasar dalam sistem hermeneutika. Menurutnya wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak akan bisa dipahami manusia. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa al-Quran adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi. Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak dia pertama kali diturunkan kepada Muhammad SAW. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia. Jadi menurut pandangannya Al-Qur’an adalah Teks manusiawi (Human Text). Nasr Hamid. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “Produk Budaya”. Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan teksteks yang lain dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, mengkaji al-Quran tidak memerlukan metode khusus.
Daftar Pustaka
Ahmad Jaiz, Hartono. 2010. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Armas, Adnin MA. 2005. Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, Jakarta: Gema Insani Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press Kurdi, dkk. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press Latief, Hilman. 2003. Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan. Jogjakarta: eLSAQ Press lchwan, Moch. Nur. 2003. Meretas Kesarjaan Kritis Alquran: Teori hermenutika Nasr Abu Zayd. bandung: Teraju Maftukhin, 2010. Nuansa Studi Islam Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian. Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia. Salim, Fahmi 2010. Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal Jakarta: Kelompok Gema Insani.
Shalhuddin, 2007. Henri .Jakarta: al-Qalam.
al-Quran
Dihujat
MENCERMATI TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, IMPLIKASINYA TERHADAP PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Jakaria Umro
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 41
Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis melalui rancangan studi kasus. metode pengumpulan data yang penulis gunakan berupa metode wawancara, metode dokumentasi dan metode observasi. penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, metode deskriptif yaitu metode pembahasan yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristwa dan kejadian yang terjadi pada saat penelitian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Mencermati Tantangan Pendidikan Agama Islam, Implikasinya Terhadap Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islamsudah dilaksanakan secara optimal, hal ini dapat dilihat pada: 1) Definisi Pendidikan islam, 2) Tujuan Pendidikan Islam, 3) Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam, 4) Tantangan Pendidikan Agama Islam, 5) Implikasi Terhadap Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam. Kata kunci:Mencermati Tantangan PAI, Implikasinya Terhadap Penjaminan Mutu PAI PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Pengunaan teknologi elektronika seperti komputer, internet, dan sebagainya telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan
mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan secara visual.1 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pengertian pendidikan Islam? Bagaimana penjaminan mutu pendidikan agama Islam? Bagaimana tantangan pendidikan agama Islam, implikasi terhadap penjaminan mutu pendidikan agama Islam?
METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis kualitatif. Menurut Arif Farchan penelitian kualitatif berupa suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati oleh orang-orang atau (subjek) itu sendiri.2 Lexy J. Moleong dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif”, mengemukakan bahwa karakteristik penelitian kualitatif adalah: 1) Latar penelitian bersifat alami, 2) Manusia sebagai alat penelitian yang utama, 3) Metode kualitatif, 4) Analisis 1
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 25 2 Arif Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm 21.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 42
data secara induktif, 5) Teori dari dasar (Grounded Theory), 6) Deskriptif, 7) Lebih mementingkan proses dari pada hasil, 8) Adanya batas yang ditentukan oleh focus, 9) Adanya kreteria khusus untuk keabsahan data, 10) Desain yang bersifat sementara, 11) Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. 3Adapun jenis penelitian yang peneliti teliti adalah menggunakan penelitian studi kasus. Maksudnya adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber dimanfaatkan. 4 Menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya ”Prosedur Penelitian” Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Jika ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian studi kasus hanya meliputi daerah atau subyek yang sangat sempit, tetapi ditinjau dari penelitian studi kasus lebih mendalam.5 Maka peneliti studi kasus meneliti secara keseluruhan dari subjek atau daerah yang di jadikan objek peneliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN Definisi Pendidikan Islam Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.6Adapun pengertian pendidikan islam ialah proses pembimbingan, pembelajaran,dan atau pelatihan terhadap manusia agar nantinya menjadi orang islam yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas sebagai muslim.7 Tujuan Pendidikan Islam Diantara beberapa tujuan pendidikan islam antara lain: 1) Menetapkan akidah tauhid sebagai pandangan manusia yang paling tinggi terhadap allah dan mengatur kehidupan individu dan masyarakat muslim, 2) Memperhatikan nilai-nilai Islam dan mendidik anakanak dengan perilaku-perilaku dan akhlak yang mulia, seiring dengan pengetahuan terhadap ilmu-ilmu al3
Lexy J Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002) hlm 61. 4 Robert Kyin, Studi Kasus Desain Dan Metode, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm 18. 5 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm 142. 6 Nurani Suyomukti,Teori- Teori Pendidikan,(Jakarta : Ar-Ruz Media,2010), hlm.27 7 Tim Dosen Iain Sunan Ampel Malang,Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam), (Surabaya : Karya Aditama, 1996),hlm.7
qur’an hadits-hadits nabi dan sejarah kenabian, 3) Mendidik seorang muslim untuk menjadi orang yang benar-benar amanah dan bertanggung jawab dalam setiap perkataan dan perbuatan, 4) Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berfikir logis dan berfikir ilmiah bagi seorang muslim sehingga ia dapat berfikir secara jernih tentang dzat maha pencipta dan tandatanda kebesarannya di muka bumi. 5) Membentuk seorang muslim yang mencintai pekerjaan yang mulia dalam segala aspek dan menyadarkan seorang muslim terhadap bentuk relasi kemanusiaan dilingkungan keluarga dan masyarakat, 6) Menyingkap sisi perdaban dalam islam, dengan membuktikan bahwa islam merupakan sumber hukum dalam setiap waktu dan tempat, 7) Menjauhkan seorang muslim dari aliranaliran pemikiran yang bertentangan dengan nilai-nilai islam yang bersumber dari konsep al-qur’an dan sunah nabi.8 Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam dapat dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi.9adapun persyaratan yang harus di penuhi sebagai berikut:1) Komitmen, 2) Perubahan Paradigma, 3) Sikap Mental, 4) Pengorganisasian. Tantangan Pendidikan Agama Islam Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi ditandai oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.10 Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas 8 Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim,( Kairo : Darut-Tauzi’wan-Nsyril Islamiyah, 2003) di terjemahkan oleh Abdilllah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin (Jaksel : Mustaqim, 2004),hlm. 35 9 http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2006/bula n/09/tanggal/13/id/94/ di akses tanggal 17 maret 2011. 10 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta : Prenada Media Group, 2003) Hal 91.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 43
negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet,dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilainilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan kriteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran. 11 Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada kesejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Globalisasi sebagai akibat dari kemajuan di bidang informasi sebagimana di sebutkan di atas terhadap peradaban dunia merujuk kepada suatu pengaruh yang mendunia. Demikian pula keterbukaan terhadap arus informasi yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan masyarakat. Berbagai perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti kemajuan teknologi komunikasi, informasi, dan unsur budaya lainnya akan mudah di ketahui oleh masyarakat. Dalam kontek ini, pendidikan sebagaimana dinyatakan Amir Faisal, harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengelolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif.12 Dalam era globalisasi dan industrialisasi, peran pendidikan tidak terfokus hanya pada penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai saja, mengingat kecenderungan yang terjadi dalam dunia kerja sangat cepat berubah dalam era ini. Sebaliknya, pendidikan 11
http://cairudin.blogspot.com/p/aplikasi-pendekatankonstruktivistik.html di akses 17 maret 2011. 12 Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995) Hal 131.
harus menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menerima serta menyesuiakan dan mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. 13 Ketika kita membicarakan pendidikan islam dan tantangan globalisasi, sangatlah penting menyebutkan tujuh karakteristik yang di miliki pendidikan islam sebagai berikut: 1) Penguasaan ilmu pengetahuan bahwa ajaran dasar islam mewajibkan pemeluknya mencari ilmu pengetahuan, 2) Pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu yang telah dikuasai harus di berikan dan dikembangkan kepada orang lain, 3) Penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, 4) Dasar beribadah kepada allah dan kemaslahatan umum, a) Memperhatikan perkembangan anak didik, b) Pengembangan kepribadian Islam, c) Penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab sosial. 14 Berdasarkan faktor-faktor di atas dari perspektif sosial budaya, kita dapat mengungkapkan peta dasar pendidikan islam di Indonesia, yaitu adanya adaptasi kultural yang menarik pada lembaga pendidikan islam di Indonesia dalam menjawab tantangan globalisasi tanpa kehilangan esensi religiusitas atau keislamannya. Pendidikan islam berkembang dari tradisi pesantren yang semata-mata menekankan kepada pembinaan batin dan oleh kerohanian berkembang dan berubah dengan cepat.15 Agar pendidikan Islam di Indonesia dapat menyelam dalam tantangan globalisasi, maka sistem pendidikan islam di Indonesia perlu di rumuskan kembali berdasarkan: 1) Tantangan kecenderungan global, 2) Tantangan kecenderungan regional (nasional), 3) Tantangan internal sistem pendidikan nasional, meliputi: a) Kurikulum dan program pendidikan, b) Guru dan tenaga pendidikan, c) Persoalan pendidikan hubungannya dengan pendidikan tinggi.16 Keadaan dan lingkungan yang semakin kompleks, globalisasi yang membuat dunia seolah tanpa batas dan saling keterkaitan yang sangat erat menuntut pendidikan semakin siap menghadapi tantangantantangan baik berkenaan dengan isi maupun modelmodel pelaksanaan. Kemajuan teknologi diberbagai bidang mendorong adanya perubahan yang cepat di
13
Ibid,.hal 131. Amin Abdullah, Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Social Dan Budaya (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004) Hal 101. 15 Ibid,. Hal 102. 16 Ibid,. Hal 102. 14
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 44
lingkungan kita.17 persaingan global dan kecepatan perubahan cenderung memberikan tantangan untuk meningkatkan standar produk, jasa maupun kapabilitas manajer. Ini merupakan progressive problem yang memerlukan kemampuan belajar dan kreatifitas yang lebih tinggi. Tantangan bagi perguruan tinggi juga terpengaruh oleh perkembangan yang terjadi di lapangan. Misalnya berdasarkan wawancara dengan hampir 1000 eksekutif jerry wind dari Wharton school mengemukakan bahwa organisasi yang sukses menghadapi tantangan abad 21 adalah organisasi yang memiliki perspektif global, teknologi informasi, memiliki kemampuan inovasi dan kewirausahaan, memiliki perhatian kepada nilai tambahan, kualitas, fleksibilitas serta kemampuan belajar. Hal di atas merupakan tantangan sekaligus bagi perguruan tinggi untuk mempersiapkan lulusan yang mampu bekerja dalam konteks organisasi seperti itu. 18
Implikasi Terhadap Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam Menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah, diantaranya melalui: 1) Memberikan contoh (teladan), 2) Membiasakan hal-hal yang baik, 3) Menegakkan disiplin, 4) Memberikan motivasi dan dorongan, 4) Memberikan hadiah terutama psikologis, 5) Menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan), 6) Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam.
ANALISIS HASIL PENELITIAN Dalam era globalisasi ini dunia seperti tidak mempunyai batas ruang dan waktu, di separuh belahan dunia dengan mudah dan jelas orang berbicara lewat telepon, dengan satelit orang dapat menyaksikan acara televisi dan berita dari belahan dunia yang lain. Selain itu orang dapat mengakses berbagai berita dan informasi secara bebas tanpa sensor siapa pun melalui internet, dengan alat canggih itu kebebasan telah terjadi diseparuh belahan dunia ini, dan dapat kita saksikan dalam waktu yang bersamaan. Selanjutnya untuk membahas korelasi globalisasi dengan sains, perlu kita mengetahui definisi tentang teknologi sebagai ciri dari globalisasi. Teknologi adalah sebagai himpunan pengetahuan manusia yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kegiatan produksi ekonomi. 17
Ishomuddin, spectrum pendidikan islam, (Malang: UMM Press, 1996) Hal 18. 18 Ibid,.hal 19.
Berdasarkan pengertian tersebut tentang sains sebagai ciri dari globalisasi ternyata keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan, khususnya pada peradaban modern ini. Hubungan sains dan tenologi adalah hubungan antara teori ilmu pengetahuan apabila diterapkan dalam pengunaan empiris akan melahirkan teknologi. jadi dapat di simpulkan bahwa globalisasi adalah hasil dari pemikiran sains. Globalisasi mempunyai nilai positif dan nilai negative, dapat pula berarti ancaman dan sekaligus sebagai tantangan. Sebagai ancaman berarti dengan alat komunikasi seperti TV, parabola, telepon, DVD, VCD dan internet kita dapat berhubungan secara bebas dengan dunia luar. Sebagai akibatnya, kita akan terpengaruh dengan gaya hidup konsumtif dan memprimerkan kebutuhan yang sebenarnya adalah sekunder. Ancaman lain adalah budaya kebebasan yang lebih banyak menebar nilai-nilai negative dari dunia sekuler, terutama yang dating dari dunia barat. Dan ketika kebebasan itu berlebihan, maka nilai-nilai dan norma budaya lokal maupun nasional, terlebih nilai agama terancam. Sebagai tantangan, berarti jika globalisasi memberi pengaruh nilai dan praktek yang positif seperti dalam hal kedisiplinan, kebersihan, tanggung jawab, kompetensi, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain dan sebagainya, yang dapat kita praktekkan di tengah-tengah masyarakat kita dan juga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di barat bisa menjadi tantangan untuk kita agar kita lebih maju dan tidak sepenuhnya bergantung pada mereka. Kemajuan sains sekarang ini secara umum telah banyak di nikmati oleh masyarakat luas yang belum pernah di rasakan oleh masyarakat zaman dahulu. Makanan lebih nikmat dan beraneka ragam, pakaian terbuat dari bahan yang jauh lebih baik dan halus, sarana transportasi dan komunikasi yang kecepatannya amat mengagumkan, gedung dan rumah tinggal di bangun dengan megah dan mewah. Sehingga dengan banyaknya tantanggan dapat berdampak positif terhapap penjaminan mutu pendidikan, hal ini dapat di buktikan bahwa mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai. Sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah, tidak terbangun jiwa jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Saatnya sekarang ini ada keinginan dari masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Tetapi pemikiran ini memerlukan paradigm baru untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 45
pendidikan Islam yang mutu dan unggul yang bagaimana? Apakah kita harus memperbaiki secara radikal terhadap kelemahan-kelemahan pendidikan Islam yang telah diproyeksikan, bahwa kelemahan pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi, kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan teknologi.
Sedangkan tujuan pendidikan agama disekolah ialah untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati, dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Budaya agama Islam dalam komunitas sekolah merupakan seseuatu yang sangat penting namun para praktisi pendiikan harus memperhatikan diberlukannya pembinaan terpadu.
Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi, tidak hanya terkait dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasional dan metodologinya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya dan kultural dalam menunjukkan perannya, untuk mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul. Berbicara tentang pendidikan yang bermutu dan unggul, tentu saja harus didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan tertentu yang terbuka, sehingga publik dengan mudah mengikuti dan menilai kemajuan pendidikan yang ada. Apakah pendidikan yang bermutu dan unggul dapat dilihat dari lulusan dengan nilai tinggi atau dilihat dari lulusannya, ataukah dinilai oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) dengan predikat terakreditasi dengan nilai A, B, dan C atau tidak terakreditas.
KESIMPULAN Pendidikanadalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Berdasarkan pada Undangundang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Konsep dari semua jenjang pendidikan terutama Pendidikan Islam adalah adanya sebuah pengembangan terhadap semua lini agar tidak timbul pendidikan yang stagnan yang cendrung hanya status quo dari atas kebawah, jika pengembangan pendidikan yang dimulai dari perbaikan kurikulum, dikermbangkan melalui bahan ajar, dituangkan ke rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), menyiasati waktu yang tersedia, evaluasi, penguasaan konsep dan aktualisasi bersama pada semua komponen sekolah, maka ketiga ranah baik dari cognitive, afektif dan psikomotor yang diharapkan dapat terpenuhi.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 46
Abdullah, Amin. 2004. Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Social Dan Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Ishomuddin. 1996. Spectrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press. DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Iain Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam). Surabaya : Karya Aditama. http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2006/bul an/09/tanggal/13/id/94/ di akses tanggal 17 Maret 2011. Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta : prenada media Group. http://cairudin.blogspot.com/p/aplikasi-pendekatankonstruktivistik.html di akses 17 maret 2011.
J Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Furchan, Arif. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Kyin, Robert. 2006. Studi Kasus Desain Dan Metode. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Arikunto, Suharsimi. 1998 Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. http://cairudin.blogspot.com/p/aplikasipendekatan-konstruktivistik.html di akses 17 Maret 2011.
Amir Faisal, Jusuf. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
SASARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KONTEKS PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG
Nurhasan
Dosen STIT PGRI Pasruan
ABSTRACT The concept of Islamic education formulated by various sources and perspectives. One of the important is the ultimate aim of Islamic education, such to create a students those have a good intellectual, social skill, and religius awareness. How does it purposes can be created effectively and efficiently ? One of basis for determining these purposes which instructional strategy and method will be selected is the knowledge of the objectives of the instruction itself. The instructional objective includes cognitive/intellectual capability, affection/behavior, and psychomotors /motorics. On the other hand, Islamic education must handle three religius function; functions; academic, and, psychological.
Keywords: Sasaran PAI, fungsi religius, akademik, dan psikologis.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 47
A. Pendahuluan Menurut Wan Daud salah satu hal yang penting dilakukan adalah menggali berbagai konsep yang benar dan jelas yang dikembangkan oleh para pemikir pendidikan yang memiliki otoritas keilmuan di bidangnya1. Dari sini akan dihasilkan suatu wacana pendidikan yang lebih dalam dan spesifik sehingga dapat dijadikan salah satu landasan filosofis pendidikan. Pernyataan ini dapat dimengerti, sebab pemikiran para pemikir pendidikan merupakan salah satu sumber yang dapat dijadikan dasar penyusunan berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Oleh karena itu, tulisan atau kajian seputar pemikiran para tokoh pendidikan selalu urgen untuk dilakukan, terutama jika dikaitkan dengan upaya menemukan sebuah formula pendidikan yang digadanggadang dapat memberi solusi atas berbagai problem kemanusiaan pada saat sekarang ini. Pemikiran pendidikan yang digagas oleh Hasan Langgulung. Pemilihan Langgulung sebagai tokoh yang diangkat dalam tulisan ini didasarkan atas kriteria tokoh yaitu : pertama, berhasil di bidangnya; kedua, mempunyai karya-karya monumental; ketiga, mempunyai pengaruh pada masyarakat; dan keempat, ketokohannya diakui oleh masyarakat 2. Aktivitas dan keterlibatan Langgulung dalam organisasi pendidikan dan pengajaran di berbagai Negara Asia, Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa ia berhasil mengembangkan bidang keahliannya, sekaligus bukti pengakuan masyarakat atas ketokohannya. Langgulung juga memiliki karya-karya yang umumnya menjadi salah satu rujukan utama bagi penulis maupun peneliti pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Langgulung adalah tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat, khususnya di kalangan masyarakat pendidikan Islam. B.
Biografi dan Riwayat Singkat Hasan Langgulung Hasan Langgulung dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan3, Indonesia, tanggal 16 Oktober 1934, pasangan suami istri dari perkawinan (Tan Rasula dan Siti Aminah) arti Langgulung sebenarnya adalah sebutan yang diberikan oleh pihak kerajaan Makassar kepada bapaknya (Tan Rasula), karena kulitnya yang 1 Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M.Naquib Al-Attas, An Exposition of Original Concept of Islamization, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1998), hal. 17-19 2 Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 12-13. 3 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, hal. 413
lebih putih di banding orang-orang Makassar pada umumnya. Langgulung, biasanya sebutan untuk seekor kuda yang bulunya berwarna putih bersih (kuda gulung). Akhirnya, sebutan tersebut menjadi bagian dari namanya, yakni Hasan Langgulung. Pendidikan dasar di selesaikannya di tempat kelahirannya, Rappang, Sulawesi Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Langgulung melanjutkan studinya ke tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Islam di Makassar, tahun 19491952. Dengan modal kemauan dan semangat yang besar, setelah menyelesaikan studinya di Makassar, Langgulung berangkat ke Mesir. Pada tahun 1962, Langgulung berhasil meraih gelar B.A dalam bidang Bahasa Arab dan Studi Keislaman dari Fakultas Dar al ‘Ulum, Cairo University, Mesir. Setahun berikutnya (1963), ia memperoleh gelar Diploma of Education (General) dari Ein Shams University, Cairo. Tahun 1964, memperoleh Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab Leage, Cairo. Tiga tahun berikutnya (1967) Langgulung mendapatkan gelas M.A. dalam bidang Psikologi dan Mental Hygiene dari Ein Shams University, Cairo, dengan judul tesis Al-Murahiq al Indonesia : Ittijatuh wa Darjat Tawafuq ‘Indahu. Setelah memperoleh gelar M.A dari Ein Shams University, Cairo, Langgulung melanjutkan studinya ke University of Georgia, Amerika Serikat dan memperoleh gelar Ph.D dalam bidang kreativitas manusia tahun 1971, Sejak tahun 1971, Langgulung menjalani kehidupannya sebagai akademisi di Malaysia, dengan judul disertasi A Cross Cultural Study of the Child Conception of Situational Causality in India, Western Samoa, Mexico and United State4 C. Arti Pendidikan Menurut Pandangan Hasan Langgulung Menurut Langgulung, istilah education (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Latin educere berarti memasukkan sesuatu, yakni memasukkan ilmu kepada seseorang. Jadi, dalam pendidikan sekurang-kurangnya terdapat tiga komponen yang terlibat, pelaku (manusia), materi (ilmu) dan proses. Pengertian etimologis pendidikan tersebut menunjukkan unsur-unsur kurikulum di dalamnya, yaitu tujuan (menyampaikan pengetahuan), materi (ilmu), metode (proses) dan evaluasi yang secara implisit terdapat di dalam perwujudan tujuan. 5
4 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, hal. 413, Pendidikan Islam dalam Abad 21, hal. 241. 5
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 48
Selanjutnya, Langgulung mengatakan bahwa dalam bahasa Arab terdapat beberapa istilah yang mengandung makna pendidikan, yaitu ta’lîm, tarbiyyah dan ta’dîb. Langgulung lebih cenderung menggunakan kata ta’dîb untuk menggambarkan muatan pendidikan. Menurutnya, kata ta’lîm terlalu sempit, karena hanya bermakna mengajar suatu ilmu kepada seseorang (kognitif), sedangkan kata tarbiyyah terlalu luas cakupannya, termasuk mendidik binatang dan tumbuhtumbuhan dalam pengertian memelihara, mengembangbiakkan, dan sebagainya. Sementara kata ta’dîb menurutnya mengajar tidak hanya terbatas pada transformasi pengetahuan, tetapi juga mendidik seseorang menjadi sosok manusia yang sempurna. Selain itu, cakupan pendidikan yang terkandung kata ta’dîb lebih spesifik untuk manusia. 6 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Langgulung memandang pendidikan adalah proses pengajaran yang bertujuan menyeluruh, baik transformasi pengetahuan, pengahayatan dan penyadaran serta pembentukan sikap atau prilaku. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan menurut Langgulung adalah tercapainya berbagai ranah pengetahuan tersebut. Di samping itu, pendidikan menurutnya adalah proses pengajaran yang dilakukan oleh manusia kepada manusia, tidak terhadap makhluk hidup yang lain. Dalam bukunya Pendidikan Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologikal, Langgulung memberikan penjelasan mengenai makna pendidikan seperti yang tercermin dalam kata ta’dib. Pertama, pemindahan nilai-nilai, budaya, pengetahuan dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Mengenai hal ini, Langgulung mengatakan. Pendidikan dalam makna ini adalah proses pengajaran. Pengajaran berarti pemindahan pengetahuan atau knowledge. Pendidikan seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum mengetahui. Ini bermakna bahwa pengajaran itu pun sangat luas artinya, tidak hanya terbatas di bilik sekolah saja, akan tetapi dapat berlaku di mana-mana, di dalam sekolah, di rumah, tempat-tempat bermain, dalam pertemuan, kedai, di pasar dan sebagainya. Jadi bila seseorang memindahkan pengetahuan yang dipunyainya kepada orang lain yang belum mempunyai pengetahuan tersebut, maka berlakulah proses pendidikan. Tetapi di dalam proses ini terkandung kemestian bahwa prinsip-prinsip yang terdapat dalam pengetahuan itu dimengerti dan diketahui sebab hal. 2. 6
hal. 2-3.
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,
akibatnya.7 Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari makna pendidikan seperti dikemukakan Langgulung di atas, antara lain proses pendidikan dapat berlangsung di berbagai tempat, tidak hanya di sekolah. Jika sekarang dikenal berbagai jenis pendidikan yaitu pendidikan formal, in-formal dan non formal, pemikiran Langgulung tersebut dapat dimasukkan dalam kerangka itu. Selain itu, penegasan Langgulung bahwa prinsipprinsip pengetahuan yang diajarkan harus diketahui secara detail mengindikasikan bahwa pendidikan berlangsung untuk menjadikan seseorang bersifat rasional. Artinya, ia harus menerima suatu pengetahuan berdasarkan alasan dan logika, tidak berdasarkan taklid. Kedua, pendidikan adalah latihan. Berkaitan dengan makna ini, Langgulung menyatakan: Termasuk dalam proses pendidikan juga ialah latihan. Latihan bermakna seseorang membiasakan diri di dalam mengerjakan pekerjaan tertentu untuk memperoleh kemahiran di dalam pekerjaan tersebut. Misalnya seseorang melatih menyetir mobil, bermain bola dan sebagainya. Dalam latihan ini seseorang tidak dimestikan mengetahui sebab-sebab kereta itu berjalan, yang perlu diketahui ialah menekan minyak, misalnya, supaya mobil dapat berjalan.8 Kutipan di atas menunjukkan bahwa makna pendidikan dalam pandangan Langgulung tidak hanya terbatas pada pemindahan pengetahuan seperti tergambar pada makna pertama, melainkan juga menekankan aspek pembiasaan dan latihan. Proses pembiasaan dan latihan ini akan mengantarkan anak didik sampai pada ketrampilan (psikomotor). Dalam konteks pendidikan Islam, ketrampilan dimaksud adalah kemampuan melakukan sesuatu berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Ketiga, pendidikan adalah penanaman nilai. Dalam hubungan ini, Langgulung menyatakan bahwa proses ini merupakan usaha menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam diri seseorang agar dihayati. Penanaman nilai ini merupakan perwujudan penekanan pada ranah afektif dalam pembelajaran, yakni ranah kesadaran dan penghayatan nilai-nilai pendidikan Islam. Dari tiga makna pendidikan yang tercermin dari 7
Hasan Laggulung, Pendidikan Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologikal, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1979), hal. 3. Lihat juga bukunya, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hal. 3-4 8
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam, hal. 3-4, Pendidikan dan Peradaban, hal.4.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 49
kata ta’dib seperti dijelaskan Langgulung di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam yang dimaksud adalah proses yang ditujukan agar seseorang (anak didik) mengetahui ajaran Islam, menghayati nilainilainya dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, dengan sumber utama al-Qur’an dan Sunnah.9 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna tersebut sejalan dengan kedudukan pendidikan Islam sebagai pendidikan nilai (value education) dan sarana pembentukan karakter (character building) sesuai dengan ajaran Islam. D. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pengertian pendidikan Islam di atas, menjadi landasan pemikiran pendidikan Islam yang digagas Langgulung. Secara detail, pemikirannya dapat ditelusuri dari konsepnya mengenai kurikulum pendidikan Islam. Oleh karena itu, penelusuran pemikiran pendidikan Langgulung dapat dilakukan dengan menelaah konsep kurikulum yang dikemukakannya. Baginya, dengan mengutip pendapat al-Syaibany, kurikulum adalah: Sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga, dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang secara menyeluruh dalam bukunya yang lain, Langgulung menyebutkan definisi kurikulum adalah: “sejumlah kekuatan, faktor-faktor pada lingkungan pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi muridmurinya di dalam di luar sekolah, dan sejumlah pengalaman yang lahir daripada interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor tersebut”.10 Berdasarkan dua definisi di atas, menurut Langgulung kurikulum meliputi tujuan pendidikan, materi yang diajarkan, metode atau cara mengajar dan evaluasi hasil belajar. 11 Tujuan pendidikan berorientasi pada perwujudan sosok manusia yang ingin dihasilkan melalui proses pendidikan. Aspek materi berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas dan pengalaman-pengalaman tertentu yang diberikan kepada anak untuk dipahami, dihayati dan dipraktekkan. Bagian metode pembelajaran memuat cara-cara mengajar yang dipakai oleh seorang guru untuk mendorong anak didik melakukan kegiatan belajar dan membawanya ke arah sesuai dengan target kurikulum. Sedangkan evaluasi pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru dalam mengukur dan 9
Pengertian pendidikan Islam seperti disebutkan Langgulung dapat dilihat bukunya, endidikan Islam dan Peningkatan Kualiti, hal. 3 dan 24. 10 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, hal. 295. 11 Ibid.
menilai hasil belajar anak didik berdasarkan target yang ingin dicapai dalam kurikulum. Dalam istilah lain, Langgulung menyimpulkan bahwa kurikulum berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan: “mengapa?”, “apa?”, “bagaimana?” dan “hasilnya apa?”.12 Pertanyaan “mengapa?” dijawab dan dijabarkan dalam bentuk rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pertanyaan “apa ?” terjawab dari meteri atau bahan yang akan disampaikan, pertanyaan “bagaimana ?” merujuk kepada metode atau cara mengajarkan materi, sedangkan pertanyaan “hasilnya apa?” berhubungan dengan evaluasi hasil belajar. Namun demikian, Langgulung (seperti yang tersurat pada definisi kedua di atas) tidak membatasi pengertian kurikulum hanya pada pengalaman-pengalaman di sekolah, tetapi lebih dari itu ia meletakkan lingkungan dan faktor-faktor luar sekolah sebagai bagian tidak terpisahkan dari kurikulum. Hal ini berarti bahwa keberhasilan proses pendidikan, yakni mewujudkan sosok manusia seperti yang diharapkan tidak hanya ditentukan oleh pendidikan di sekolah, tetapijuga oleh faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dalam hubungannya dengan penyusunan dan implementasi kurikulum (khususnya dalam pendidikan Islam), Langgulung menyebutkan beberapa dasar yang harus dijadikan landasan, yaitu:13 1. Keutuhan (syumuliyyah). Artinya, kurikulum pendidikan Islam harus bersifat utuh dan memberikan perhatian menyeluruh terhadap aspek manusia meliputi jasmani, jiwa, akal dan roh dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Keutuhan tersebut juga bermakna meliputi semua aktivitas pendidikan formal, nonformal dan in-formal seperti pendidikan di rumah, masjid, lingkungan pekerjaan dan lembaga sosial. 2. Keterpaduan. Kurikulum pendidikan Islam harus memandang jasad, jiwa, roh dan akal sebagai satu kesatuan, berbaur antara satu dengan yang lainnya sehingga apabila terjadi perubahan pada salah satu komponennya, maka akan berlaku perubahan pada komponen-komponen yang lain. 3. Kesinambungan. Artinya, kurikulum pendidikan Islam harus memiliki keterkaitan dan keberlanjutan pada setiap tahap umur, jenjang pendidikan dan suasana. Di samping itu, kurikulum juga harus disusun dan dilaksanakan dengan melakukan penyesuaian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. 12
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma, hal. 242.
13
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma, hal. 28-
30.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 50
4. Keaslian. Kurikulum pendidikan Islam harus disusun dengan mengambil komponen, materi, tujuan dan metode dari sumber ajaran Islam itu sendiri, sebelum menyempurnakannya dengan unsur-unsur dari peradaban dunia lain. Pengambilan sumber-sumber lain dimungkinkan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 5. Bersifat praktis. Kurikulum pendidikan Islam harus bersifat praktis, artinya bahwa seluruh isi kurikulum dan penerapannya diorientasikan agar anak didik benar-benar menjadi orang yang beriman dan bertaqwa dalam kehidupan sehari-hari, menjadi pekerja yang produktif dan individu yang aktif dalam masyarakat. Keterbukaan. Artinya, kurikulum pedidikan harus bersifat terbuka terhadap semua bangsa dan budaya, mazhab atau aliran. Dalam penerapannya, keterbukaan tercermin dari sudut pandang yang luas dalam pembelajaran dan bersifat universal. Berdasarkan landasan penyusunan dan penerapan kurikulum pendidikan Islam di atas, dapat dipahami bahwa: pertama, Langgulung adalah pemikir yang memandang pendidikan Islam secara komprehensif, sebagaimana tercermin dari prinsip keutuhan (syumûliyyah). Ia sangat memperhatikan seluruh dimensi manusia sebagi potensi yang harus dikembangkan secara imbang dan padu, baik jasmani maupun rohani. Ini berarti bahwa proses pendidikan dalam Islam tidak bisa dijalankan dengan memberikan penekanan terhadap salah satu aspek dari manusia, sementara aspek yang lain terabaikan. Landasan tersebut juga menunjukkan bahwa pendidikan dalam konsep Langgulung tidak hanya bermakna pendidikan formal, tetapi termasuk pula pendidikan non-formal dan in-formal. Masing-masing jenis pendidikan tersebut tampak memiliki peran dan kontribusi yang penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan. Kedua, Langgulung adalah pemikir pendidikan Islam yang memberikan perhatian besar kepada proses pendidikan yang terstruktur dan sistematis. Kurikulum pendidikan harus disusun dan dijalankan secara terstruktur dengan tujuan tertentu sesuai dengan tahap umur dan tingkat pendidikan. Dengan cara ini, dimungkinkan tidak terjadi pengulangan-pengulangan tujuan yang ingin dicapai dan materi yang disampaikan. Sebab, target pencapaian pendidikan pada tiap jenjang berbeda dan selalu berkembang. Sebagai contoh, tujuan pendidikan agama Islam untuk tingkat sekolah menengah berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai pada jenjang sekolah dasar. Meskipun demikian, tujuan yang ingin dicapai pada sekolah lanjutan harus tetap merupakan lanjutan dari tujuan pada sekolah dasar. Prinsip kesinambungan juga harus memperhatikan perkembangan psikologis anak didik berdasarkan
tahapan umur. Hal ini penting, sebab tahapan umur menunjukkan kecenderungan psikologis dari anak didik. Realitas ini juga perlu diperhatikan dalam penyusunan dan implementasi kurikulum. Ketiga, terlihat secara jelas komitmen Langgulung sebagai pakar pendidikan Islam, di mana ia menegaskan bahwa sumber dan landasan utama kurikulum pendidikan Islam adalah ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah). Namun demikian, Langgulung bukanlah pemikir yang menutup diri untuk memanfaatkan sumber-sumber lain, selain ajaran Islam, sejauh sumber tersebut relevan dan tidak bertentangan dengan landasan utama tersebut. Oleh karena itu, salah satu landasan penyusunan kurikulum pendidikan Islam adalah keterpaduan yang salah satu implementasinya adalah penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan adanya pandangan yang dinamis dan terbuka dalam pemikiran Langgulung. Pandangan dinamis terhadap kurikulum pendidikan berimplikasi pada upaya pembaharuan kurikulum agar tidak ketinggalan zaman, sehingga selalu up to date. Keterbukaan akan menjadikan pendidikan Islam tidak sempit, hanya mencerminkan satu perspektif tertentu, mazhab tertentu, bangsa tertentu dan sebagainya. Dalam konteks ini, penggunaan perspektif yang beragam menjadi keharusan bagi para pendidik. Keempat, Langgulung memandang bahwa kurikulum pendidikan Islam harus mempunyai nilai guna yang bersifat praktis. Ini penting untuk mengeliminir model kurikulum yang cenderung normatif dan melangit. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengetahuan normatif tetap diperlukan, tetapi pada saat yang sama harus dibarengi dengan proses “pembumian” pengetahuan normatif tersebut, sehingga kurikulum tersebut memberikan manfaat praktis bagi anak didik dalam menjalani kehidupannya. E.
Sasaran Pendidikan Agama Islam Menurut Hasan Langgulung Tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Marimba menyebutkan setidaknya ada empat fungsi tujuan pendidikan, yaitu: 14 pertama, tujuan berfungsi mengakhiri sebuah usaha. Pada umumnya, suatu usaha baru akan berakhir jika tujuan akhir telah tercapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha. Tanpa ada orientasi pada tujuan tertentu, sebuah usaha tidak akan terarah dan tidak akan berjalan secara terarah. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari 14
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1982), hal. 45-46
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 51
tujuan pertama. Keempat, fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya. Berkaitan dengan muatan nilai dalam tujuan pendidikan, pandangan Al-Syaibani patut dicermati. Menurutnya, hubungan antara tujuan dan nilai-nlai sangat berhubungan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai- itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan bagi arah ke mana perkembangan anak didik akan diarahkan. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan tersebut.15 Dalam hubungannya dengan tujuan pendidikan sebagai pemberi nilai, Hasan Langgulung menegaskan bahwa tujuan pendidikan agama (Islam) harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama. Pertama, fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman. Kedua, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna. Ketiga, fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing memiliki hak dan tanggung jawab untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang. Ketiga fungsi tersebut, baik spiritual (religius), psikologis maupun sosial, bila ditelusuri jelas mengandung nilai-nilai dasar pendidikan. Fungsi spiritual (penanaman akidah dan iman) merupakan fondasi, pegangan sekaligus pemberi arah bagi manusia. Langgulung mengatakan, “fungsi spiritual bertujuan memenuhi kebutuhan spiritual manusia dan memberikan arah serta pegangan dalam kehidupan”. 16 Sebab, menurut Langgulung spiritualitas, di samping memberi arah bagi kehidupan, juga dapat menjadikan seseorang menyadari kelemahannya di hadapan Allah.17 Kesadaran diri dapat terwujud dalam bentuk pengetahuan bahwa ia adalah makhluk lemah dan Tuhan adalah Pencipta yang memiliki kekuasaan tidak terbatas. Dari kesadaran diri tersebut akan muncul sikap-sikap positif antara lain rendah hati (tawadlu’) 15
Mohammad al Toumy al Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 403. 16 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran, hal. 178. 17 Ibid.
dan ikhlas dalam beribadah. Fungsi religius pendidikan Islam juga mengandung unsur-unsur pengaturan diri (self-regulation). Ini tercermin dari fungsi akidah dan iman sebagai pegangan dan pemberi arah bagi manusia, sebagaimana dikatakan Langgulung di atas. Sebab, pengaturan diri pada hakikatnya adalah upaya menyelaraskan diri dengan pedoman dan arahan yang ada. Dalam konteks ini, orang yang berakidah dan beriman akan dapat mengendalikan diri agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran tentang akidah dan iman. Demikian juga dengan fungsi psikologis pendidikan Islam. Fungsi ini merupakan sarana pemberdayaan diri anak didik. Langgulung mengatakan, pendidikan Islam harus dapat memberikan pengajaran kepada siswa tentang masalah kejiwaan agar mereka dapat mengatasi masalah emosi, seperti kekecewaan, kegagalan, dan kegelisahan. Artinya, menurut Langgulung pendidikan Islam harus mampu memacu anak didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya. Di dalam fungsi psikologis juga terkandung unsur kecerdasan emosional, antara lain motivasi diri (self-motivation) untuk menjadikan diri lebih baik. Sementara itu, fungsi sosial pendidikan Islam memacu anak didik memiliki kecakapan sosial (social skill). Menurut Langgulung, fungsi sosial ini dapat dijalankan dengan memberikan penekanan pada dampak sosial dari setiap pelajaran yang diberikan, di samping menciptakan suasana harmonis selama di dalam bilik darjah (ruang kelas). Penciptaan suasana harmonis antara sesama manusia berdasarkan tata aturan yang ditetapkan memerlukan kecakapan sosial dari tiap individu. Dalam teori kecerdasan emosional, untuk membangun kecakapan sosial tersebut, masingmasing individu harus memiliki sikap empati (empathy). Dengan demikian, di dalam fungsi sosial yang dikemukakan Langgulung mengandung dua unsur kecerdasan emosional, yaitu empati dan kecakapan sosial. Menurut Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, sebenarnya adalah berbicara tentang tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat.18 Perbincangan tentang tujuan pendidikan 18 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, hal. 297. Lihat juga bukunya yang lain Pengenalan Tamamaddun Islam dalam Pendidikan, (Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992), hal. 1.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 52
Islam juga berarti mengungkap sifat-sifat asal (nature) manusia menurut pandangan Islam, sebab pada diri manusialah dicita-citakan sesuatu yang ditanamkan oleh pendidikan.19 Bagi Langgulung, tujuan tertinggi (ultimate aim) dari pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia yang sempurna, baik sebagai hamba (‘abid) maupun sebagai khalifah di muka bumi (khalîfatu Allâh fî al ardl).20 Dalam kaitan ini, pendidikan Islam dituntut mampu menghasilkan manusia ideal dengan kriteria beriman dan bertaqwa kepada Allah, memiliki pengetahuan luas, memiliki mental yang sehat, memiliki fisik yang kuat dan mampu bersosialisasi dengan manusia lain secara harmonis.21 Manusia ideal dengan kriteria di atas adalah wujud dari pelaksanaan fungsi pendidikan Islam, baik fungsi spiritual, psikologis maupun sosial. Dari sudut pandang ajaran Islam perwujudan ketiga fungsi itu dapat disejajarkan dengan perwujudan akhlak mulia kepada Allah swt., kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Dalam ajaran Islam, ketiganya harus terintegrasi dalam setiap pribadi muslim. Lebih lanjut, Langgulung mengemukakan bahwa dalam pendidikan Islam, ada beberapa tahap yang ingin dicapai, yaitu:
digariskan oleh ajaran Islam. Tahapan-tahapan pencapaian tujuan pendidikan seperti dikemukakan Langgulung di atas cukup rinci, tetapi sulit diterapkan dalam bentuk kurikulum. Lebihlebih dalam buku-buku yang ditulisnya Langgulung tidak memberikan contoh kongkrit dan pembahasan memadai masing-masing tujuan tersebut. Dalam berbagai bukunya, Langgulung hanya memberikan penjelasan tujuan pendidikan Islam terdiri dari tiga, yaitu tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan khusus. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam dalam pemikiran Langgulung dapat disederhanakan menjadi tigat, yaitu tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan tertinggi (ultimate aim) tetap sebagai sasaran akhir proses pendidikan Islam, yakni menjadikan anak didik sebagai manusia ideal dan mampu menjalankan fungsinya sebagai ‘abid dan khalifah. Dalam hubungan ini, apapun nama matapelajaran atau materi yang disampaikan dalam pendidikan Islam harus berorientasi pada tujuan tertinggi tersebut. Tujuan umum dan tujuan khusus adalah penjabaran lebih lanjut dari tujuan tertinggi. 1.
Tujuan umum pendidikan Islam Langgulung menjelaskan bahwa tujuan umum pendidikan adalah: Maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat dari tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibanding dengan tujuan khusus. Tujuan umum terkait dengan institusi pendidikan tertentu dan masa atau umum tertentu. 22
1. Tujuan tertinggi (ultimate aim). Dalam pendidikan Islam, tujuan tertinggi adalah perwujudan manusia ideal yang dapat menjalankan tugas kekhalifahan dan sebagai ‘abid. 2. Tujuan akhir (aims), yaitu perwujudan salah satu unsur dari tujuan tertinggi yang menjadi karakter manusia ideal, misalnya aspek akhlak. 3. Tujuan jauh (goal), yaitu perwujudan salah satu aspek dari tujuan akhir, misalnya berakhlak baik kepada sesama manusia. 4. Tujuan dekat umum (general objectives), yaitu mewujudkan salah satu bentuk dari tujuan jauh, misalnya anak didik mampu menolong orang yang ditimpa kesusahan. 5. Tujuan dekat khusus (specific objectives), yaitu perwujudan kemampuan dalam diri anak didik untuk melaksanakan tujuan dekat umum, misalnya memberikan sumbangan dengan cara-cara yang
Definisi yang dikemukakan Langgulung tersebut, tampak masih bersifat umum. Hal yang dapat digarisbawahi dari definisi ini adalah bahwa tujuan umum berada di antara tujuan tertinggi dan tujuan tetinggi pendidikan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan umum adalah tujuan perantara untuk sampai pada tujuan tertinggi. Tujuan umum ini nantinya akan dirinci dalam tujuan khusus. Dalam menjelaskan tujuan umum pendidikan Islam, Langgulung mengutip pemikiran beberapa ahli pendidikan Islam. Di antara pemikir yang pemikirannya dikutip Langgulung adalah alAbrasyi.23Menyebutkan tujuan umum pendidikan Islam adalah:
19 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka AlHusna, 1989), hal. 33.
a. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang
20
Ibid.Hal.56-57 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma, hal. 101. Lihat juga bukunya, Pengenalan Tamaddun Islam, hal. 2. 21
60.
22
Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan, hal. 59-
23
Hasan Langgulung, Ibid., hal. 60-61.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 53
mulia. Kaum muslimin dari dahulu sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. b. Persiapan untuk kehidpan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, tetapi pada kedua-duanya sekaligus. c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat, atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuantujuan vokasional dan profesional. d. Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. e. Menyiapkan belajar dari segi profesional, teknikal dan pertukangan supaya dapat mengatasi profesi tertentu, dan ketrampilan pekerjaan tertentu agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Selanjutnya, Langgulung juga mengutip pendapat an-Nahlawy yang menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan Islam, yaitu: 24
terlaksananya maka tujuanakhir dan tujuan umum juga tidak akan terlaksana dengan sempurna. 25
a. Mendidik akal dan fikiran. Allah menyuruh manusia merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat beriman kepada Allah. b. Menumbuhkan potensi-potensi dan bakatbakat asal pada masa kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah, sebab ajarannya tidak asing dari tabiat asal manusia, bahkan ia adalah “fitrah yang manusia diciptakan dengannya”. c. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaikbaiknya, baik lelaki ataupun perempuan. d. Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi-potensi dan bakat-bakat manusia. 2. Tujuan khusus pendidikan Islam Langgulung mendefinisikan tujuan khusus pendidikan Islam sebagai:
Sebagaimana tujuan umum pendidikan Islam, dalam merumuskan tujuan khusus Langgulung juga mengutip pendapat para tokoh pendidikan Islam. Perbedaannya, dalam pembahasan tentang tujuan khusus pendidikan Islam, Langgulung menunjukkan pendapatnya sendiri berdasarkan pemikiran para tokoh yang dikutipnya. Tujuan khusus pendidikan Islam yang dirumuskan Langgulung adalah:
Perubahan-perubahan yang diingini yang merupakan bahagian yang termasuk di bawah tiap tujuan umum pendidikan. Dengan kata lain, gabungan pengetahuan, ketrampilan, pola-pola tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir atau tujuan umumpendidikan, yang tanpa
Definisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan khusus pendidikan Islam merupakan bagian dari tujuan umum. Dalam tujuan khusus, kemampuan yang diharapkan dijabarkan lebih terperinci. Di samping itu, dalam definisi yang diberikannya, Langgulung menunjukkan keterpaduan tujuan pendidikan Islam, baik pengetahuan (kognitif), penghayatan dan kesadaran terhadap nilai-nilai tertentu (afektif) maupun ketrampilan dan tingkah laku (psikomotor). Dengan demikian, dalam pandangan Langgulung keberhasilan pendidikan Islam bukan hanya dilihat dari aspek pengetahuan semata (transfer of knowledge), tetapi yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran dan penghayatan dalam diri anak didik terhadap nilai-nilai Islam (transfer of values) sehingga akan termanivestasi dalam tingkah laku sehari-hari. Di samping itu, berdasarkan definisi yang dikemukakan Langgulung, pencapaian tujuan khusus oleh anak didik merupakan indikator keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, dapat dipahami ketika Langgulung mengatakan bahwa tanpa terwujudnya tujuan khusus pendidikan, maka tujuan-tujuan yang lain tidak dapat dicapai secara optimal.
a.
Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakan dengan benar, dengan membiasakan mereka berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama dan menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama. b. Menumbuhkan kesadaran yang benar pada diri pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akidah yang mulia. c. Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari kiamat berdasar pada faham kesadaran dan perasaan. d. Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka, perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir,
24
Ibid. Langgulung mengutip pemikiran Abdurrahman an-Nahlawy dari buku, Usus al Tarbiyyah al Islâmiyyah wa Thuruq Tadrîsiha, (Dimasqiy : Dar al Nahdah al ‘Arabiyyah, 1965), hal. 67.
25
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, hal.
63.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 54
taqwa dan takut kepada Allah. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan. f. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada Al-Qur’an, membacanya dengan baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaranajarannya. g. Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka. h. Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memegang teguh prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air dan siap untuk membelanya. i. Mendidik naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan menguatkannya dengan akidah dan nilainilai, dan membiasakan mereka menahan motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka berpegang pada adab kesopanan pada hubungan dan pergaulan mereka baik di rumah atau di sekolah atau di mana ia berada. j. Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri hati, benci, kasar, zalim, egoisme, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan. 26 Bila dicermati, rumusan tujuan khusus pendidikan Islam di atas tidak terlihat secara jelas perbedaannya dengan tujuan umum. Dilihat dari fungsi pendidikan Islam sebagai pemberi nilai, rumusan tujuan khusus pendidikan Islam yang dikemukakan Langgulung tidak keluar dari tiga fungsi yang dinyatakannya, yaitu fungsi spiritual, fungsi psikologis dan fungsi sosial.81 Fungsi spiritual pada terlihat penekanan penanaman akidah dan iman kepada Allah, rasul-rasul, kitab, malaikat maupun hari akhir. Fungsi spiritual ini tampaknya diletakkan oleh Langgulung sebagai fungsi utama dan paling penting dalam pendidikan Islam.
kasih sayang, sopan santun dalam setiap pergaulan di rumah, sekolah maupun lingkungan.
Fungsi psikologis tampak cukup dominan dalam tujuan khusus pendidikan Islam yang dikemukakan Langgulung, antara lain menanamkan rasa cinta, rela, optimisme, membersihkan hati dan sebagainya. Sedangkan fungsi sosial tidak begitu terlihat. Namun demikian, tetap saja terdapat fungsi sosial dalam tujuan khusus pendidikan Islam, misalnya tolong menolong,
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali Press, 1997.
26 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, hal. 64-65, Pengenalan Tamaddun Islam, hal. 5-7.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
e.
F.
Penutup Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung mengemban misi suci, meskipun cukup berat. Misi suci tersebut terangkum dalam rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu menghasilkan insan paripurna yang memiliki akhlaqul karimah, dengan ciri-ciri cerdas secara akal, sosial dan spiritual. Insan seperti inilah yang dapat menjalankan fungsi ganda yang diembannya, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Perwujudan tujuan ideal di atas menjadi tanggung jawab pendidikan Islam sejak di ruang kelas hingga anak didik hidup bersosial di masyarakat. Dalam hubungan ini pendidikan Islam dituntut mampu menjalankan tiga fungsi utamanya yaitu fungsi akademik, psikologis, dan fungsi sosial sekaligus secara imbang dan padu.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Enterprise, 1976.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 55
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Mizan, 1980.
Langgulung, Hasan, “The Ummatic Paradigm for Psychology”, dalam,Mizan: Islamic Forum of Indonesia for World Culture and Civilization, Religion and the Spirit of World-Peace, Vol.III, No.2, 1990.
_______, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003, terbit pertama tahun 1985.
________, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1995, ditulis tahun 1979.
________, Kreativitas dan Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah,Jakarta : Pustaka A-Husna, 1991.
________, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,Jakarta : Pustaka AlHusna, 1989, terbit pertama tahun 1984.
________, Pendidikan Islam dalam Abad 21, (edisi revisi), Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003, ditulis pertama tahun 1988 dan direvisi tahun 2002.
________, Pendidikan Islam Suatu Analisa SosioPsikologikal, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1979.
________, Pengenalan Tamaddun Islam dalam Pendidikan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
________, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial,Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
________, Psikologi dan Kesihatan Mental di SekolahSekolah, Kuala Lumpur: Penerbit UKM, 1983.
________, Teori-Teori Kesihatan Mental, Selangor: Pustaka Huda, 1983.
________, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1985.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 56
PENGEMBANGAN RAHMATAN LIL’ALAMIN MELALUI PAI ; MENGGAGAS KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN Laily Nur Arifa Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Raden Rahmat Kepanjen Malang
Abstrak
Agama Islam memiliki konsep Islam Rahmatan li al-‘âlamîn,yakni ajaran Islam untuk seluruh umat manusia, tanpa tergantung pada bahasa, tempat, kaum, ataupun kelompok.Ajaran Islam dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, bukan untuk kelompok masyarakat atau bangsa tertentu karena nabi Muhammad diutus Allah untuk seluruh umat manusia.Hal ini berarti bahwa Islam tidak membedakan antara bangsa Arab dan non Arab. Karena itu, walaupun Islam pertama kali tumbuh dan berkembang di jazirah Arab, tetapi ajaran Islam berlaku bagi semua bangsa tanpa tergantung pada ras, bahasa, tempat, nama, masa dan kelompok manusia. Konsep Islam Rahmatan li al-‘âlamîn dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang Pendidikan Agama Islam, dapat diwujudkan dengan mensintesiskan konsep Islam Rahmatan li al‘âlamîndengan pendidikan multikultural.Hal ini karena Islam yang Rahmatan li al-‘âlamîn memiliki kesamaan ‘ruh’ dengan pendidikan multikultural. Semangat yang sama tersebut diimplikasikan terhadap penerapan pendidikan multikultural melalui penghargaan atas berbagai keragaman. Penghargaan terhadap berbagai keragaman tersebut diwujudkan dalam; pertama, keragaman bahasa, yakni penggunaan Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, dan bahasa asing dalam bahasa pengantar dalam pembelajaran PAI, bahasa sehari-hari di sekolah serta bahasa komunikasi melalui media pendidikan. Kedua, penghargaan atas keragaman agama dan kepercayaan, dapat diwujudkan dalam berdoa bersama, kegiatan saling berkunjung, maupun pendekatan kognitif semisal metode problem solving dan case study.Ketiga, penghargaan atas keragaman etnis, dapat diwujudkan melalui narasi yang multietnis, analogi, maupun kunjungan wisata. Kata Kunci : PAI, Islam Rahmatan li al-‘âlamîn, Multikultural A. Pendahuluan Agama Islam memiliki konsep Islam Rahmatan li al-‘âlamîn,yakni ajaran Islam universalyang mengajarkan umatnya untuk hidup rukun berdampingan dan menjaga perdamaian.Islamraḫmatan li al-‘âlamîn dinilai sebagai Islam yang paling sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pluraldan tidak dapat
terwujud dalam bentuk masyarakat atau corak hidup yang seragam. Islam raḫmatan li al-‘âlamîn menghendaki umatnya untuk menjadi ummatan wasaṯan, yaitu umat yang eksis dan menjadi poros di tengah-tengah pluralitas. Islam Rahmatan li al-‘âlamîn adalah Islam yang universal, sebagai ajaran untuk seluruh umat manusia, tanpa tergantung pada bahasa, tempat,
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 57
kaum, ataupun kelompok.Ajaran Islam dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, bukan untuk kelompok masyarakat atau bangsa tertentu karena nabi Muhammad diutus Allah untuk seluruh umat manusia.Hal ini berarti bahwa Islam tidak membedakan antara bangsa Arab dan non Arab. Karena itu, walaupun Islam pertama kali tumbuh dan berkembang di jazirah Arab, tetapi ajaran Islam berlaku bagi semua bangsa tanpa tergantung pada ras, bahasa, tempat, nama, masa dan kelompok manusia. Konsep Islam Rahmatan li al-‘âlamîn dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Dalamkonteks PAI, konsep ini dapat disandingkan dengan konsep pendidikan multikultural. Oleh karena itu, menarik untuk digagas, mengenai pengembangan PAI multikultural berbasis Islam Rahmatan li al-‘âlamîn. B. Islam Rahmatan li al-‘âlamîn; Kajian Konseptual 1. Pengertian Islam Secara etimologi, islâm1berasal dari bahasa Arab, dari kosa kata salima yang berarti selamat 1
Nama Islam dapat dilacak dalam beberapa ayat alQuran, diantaranya
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. QS. Ali Imran: 19. Lihat Yayasan Penerjemah al-Quran bekerjasama dengan Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran (editor), al-Quran dan Terjemahnya. (Depok: al-Huda, 2005), h. 53
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. QS. ali Imron: 85. Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 62 Artinya: dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
sentosa.Dari kata ini, kemudian dibentuk menjadi kata aslamayang berarti memeliharakan dalam keadaan selamat, sentosa dan berarti pula bersaerah diri, patuh, tunduk, dan taat.Dari kata aslama ini terbentuk kata islâm (aslama yuslimu islâman), yang mengandung arti selamat, aman, damai, patuh, berserah diri dan taat.2 Islam juga dianggap berasal dari kata “al-silmu” atau “al-salmu” yang berarti damai (perdamaian) dan aman (keamanan),3serta kata al-salmu, al-salamu, dan alsalâmatu yang berarti bersih dari kecacatankecacatan lahir dan batin.4 Menurut Hasan Hanafi, Islam5 sebagai nama agama, terbentuk dari akar yang sama dengan salam, yang berarti perdamaian. Kata salam,6 yang agama bagimu. ……. Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 108 Lihat Muhammad Hasby ashShiddieqy, al-Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 7-8 2 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 11 3 Muhaimin, dkk.Dimensi-Dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 78 Pengertian ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah: 208, al-Nisa’: 91, al-Tahrim: 6,
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 33, 93 4 Muhaimin dkk, Dimensi-dimensi……., h. 81 Pengertian ini dapat dilihat dalam QS. al-Syuara’:89 dan alShaffat: 84. Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 372, 449 5 Kata islam dalam al-Quran disebut sebanyak 50 kali, sebagai kata benda disebut 8 kali. Sebagai kata sifat tunggal disebut 3 kali.Kata sifat jamak disebut 39 kali. Hasan Hanafi, Persiapan Masyarakat Dunia untuk Hidup Secara Damai, dalam Azhar Arsyad (ed.), Islam dan Peradaban Global, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002),, h. 52 6 Terdapat 26 kali dari 157 penggunaan akar kata salam tidak berkaitan langsung dengan perdamaian, seperti; (1) Musallamah, yang berarti bunyi, bebas dari kerusakan dan ketidaksempurnaan. Digunakan satu kali pada surat alBaqarah; 128.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 58
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 21 (2) Kata yang sama yang berarti dibawakan kepada seperti kompensasi hukum dalam an-Nisa’:92
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 94 (3) Taslim yang berarti penerimaan dengan keyakinan penuh pada surat an-Nisa’:65, QS. Al-Ahzab: 22 dan 56
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 81
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 421
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 427 (4) Mustaslimun, yang berarti penyerahan keputusan bagi yang tidak percaya. Dalam al-Shaffat; 26 Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 448 (5) Sullam yang berarti tangga. Dalam al-Hajj:38, alAn’am: 35.
berarti perdamaian, pada semua bentukan katanya selalu disebut berulang-ulang dalam al-Quran dan lebih banyak yang berbentuk kata benda dibanding kata kerja.7 Karena kata benda adalah subtansi sementara kata kerja adalah sebuah aksi, dapat dikatakan bahwa perdamaian yang terindikasi dalam kata salam adalah subtansi. Salah satu bentukan kata bendanya adalah al-silm, yang berarti sama dengan islâm, yakni perdamaian.8 Pendapat lain mengatakan bahwa Islâm berarti al-istislâm yaitu mencari keselamatan atau berserah diri dan berarti pula al-inqiyâd yang berarti mengikatkan diri.9Orang yang sudah masuk Islam dinamakan muslîm, yaitu orang yang menyatakan dirinya telah taat, menyerahkan diri,
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 337
Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 132 (6) Sulaiman, yang berarti nabi sulaiman. Lihat Hasan Hanafi, Persiapan Masyarakat Dunia…….., h. 52 7 Kata salammuncul dalam Quran sebanyak 157 kali. Kata benda sebanyak 79 kali, kata sifat sebanyak 50 kali dan kata kerja sebanyak 28 kali. Hasan Hanafi, Persiapan Masyarakat Dunia…….., h. 52
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah; 208) Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 33 lihat Hasan Hanafi, Persiapan Masyarakat Dunia……., h. 52 9 Abudin Nata, Studi Islam……., h. 11 Pengertian islâm semacam ini sejalan dengan firman Allah SWT
Artinya: (tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. QS. al-Baqarah: 112 Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 19
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 59
dan patuh kepada Allah SWT. Dengan melakukan aslama, orang ini akan terjamin keselamatannya di dunia dan akhirat.10Nabi menjelaskan makna islâm dalam beberapa hadisnya11. Lafadzislâm, menurut Nurcholish, adalah berbentuk mashdar(kata kerja berbentuk benda yang menunjukkan aktivitas) yang berarti “sikap pasrah kepada Allah”.Seseorang menjadi islâm berarti dia menjadi pasrah (melakukan sesuatu yang bersifat pasrah) kepada Allah.12 Definisi 10
Abudin Nata, Studi Islam……., h. 11 ْمِي َ َحدَّثَنَا ُم-1 ُّ ِيم أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو َحيَّانَ التَّي َ سدَّد ٌ قَالَ َحدَّثَنَا إِ ْس َماعِي ُل بْنُ إِب َْراه َّ َّ َ َ َ َّ ْ ً َ َ َّ ارزا يَ ْو ًما َ عل ْي ِه َو َ ُصلى َّللا َ عة َ ع ْن أَبِي ُز ْر َ ِ َسل َم ب َ ي ُّ عن أبِي ه َُري َْرة َ قالَ كانَ الن ِب َ ْ َّ ْ ُ َ ْ َ َاْلس ََْل ُم ق ََّّللا َ ن ِل ل ……. ه ب ر ش ت َل و د ب ع ت ن أ م َْل س اْل َاس فَأَت َاهُ رجل فَقَال ِ َك ُ َال ِ ِ ِ ُ ِ ِ ْ َما َ َ َ ْ َّ ِي َضان َ …… َّ ِيم ال ُ َ ضةَ َوت َ وم َر َم َ الزكَاة َ ْال َم ْف ُرو َ ص َ ش ْيئًا َوتُق َ ص ََلة َ َوت ُ َؤد Artinya: …… Apakah yang dimaksud dengan Islam? Nabi menjawab,” Islam ialah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat fardhu, dan puasa di bulan romadlon…. Lihat Abi Muhammad bin Ismail Al-BukhariAbdillah, Shahih Bukhari. Juz I. (Beirut: Dar al-Kutb, 1996), َ َحدَّثَنَا أَبُو َب ْك ِر بْنُ أ َ ِبي َعلَ َّيةَ قَال ُ ع ْن اب ِْن ٍ ش ْي َبةَ َو ُز َهي ُْر بْنُ َح ْر َ ب َجمِي ًعا َ َ َ ْ ْ ُ ير ر ج ْن ب و ر م ع ْن ب ة ع ر ز ي ب أ ن ع ي ح ي ب أ ن ع ِيم ه ا ْر ب ََّان ْ ْ ٍ َِ ِ َ ِ َ َ َ ُز َهي ٌْر َحدَّثَنَا ِإ ْس َمعِي ُل بْنُ ِإ ِ َ ِ َ ِ َ َّ صلَّى ِ َّار ًزا لِلن ِ َّ ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َقالَ َكانَ َرسُو ُل ُاس َفأَت َاه َ علَ ْي ِه َو َ َُّللا َ ِ َسلَّ َم يَ ْو ًما ب َ َّللا َ ْ ْ ُ ً ْ ُ َ ْ َ َ َ َّ َ ِيم ق ت و ا ئ ي ْ ش ه ب ر ش ت َل و َّللا د ب ع ت ن أ م َْل س اْل ق م َْل س اْل ا م َ َ……ر ُج ٌل فَ َقال ِ َك ُ َال َ ْ َ ِ ِ َ ُ ِ ُ ِ َ َ َ َ َّ ِي َضان َّ ال ُ َ ضةَ َوت َ وم َر َم َ الزكَاة َ ْال َم ْف ُرو َ ص َ ص ََلة َ ْال َم ْكتُوبَةَ َوت ُ َؤد Artinya: …… Apakah yang dimaksud dengan Islam? Nabi menjawab,” Islam ialah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat fardlu, menunaikan zakat wajib, dan puasa di bulan romadlon…. Lihat Al-Imam Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj AlQusairy an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth) - ََارون ٌ َحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ بْنُ َج ْعف ٍَر َحدَّثَنَا َك ْه َم ُ ع ِن اب ِْن ب َُر ْيدَة َ َويَ ِزيد ُ بْنُ ه َ س ُس ِم َع ابْنَ عُ َم َر قَالَ َحدَّثَنِي عُ َم ُر بْن ٌ َحدَّثَنَا َك ْه َم َ ع ْن يَحْ َيى ب ِْن يَ ْع َم َر َ َ ع ِن اب ِْن ب َُر ْيدَة َ س ْ َّ َ َ َ َّ َ ْ َ ْ ْ ْ َ َّ َّ ي َّ اْلس ََْل ُم أن تَش َهدَ أن َل ِإلهَ إَِل َعنهُ قال ِ ……الخَطا.. َّللاُ َوأن ِ ب َر َ َُّللا ِ ْ َفَقَال َ ض ْضانَ َوت َ ُح َّج ْالبَيْتَ إِن َّ ُ َ ُ َ ْؤ َّ ُ َّ ِيم ال ُ صَلة َ َوت ت َِي الزكَاة َ َوت ِ ُم َح َّمدًا َرسُول َ وم َر َم َ ص َ َّللا َوتق ً س ِب َ َ ………ا ْست يَل َ طعْتَ ِإلَ ْي ِه Artinya: …… Nabi menjawab,” Islam ialah ketika bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat fardhu, dan puasa di bulan romadlon dan menunaikan haji jika engkau sanggup melaksanakannya…. Lihat Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal al-Syaibany, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid I, (Beirut: Dar al-Ihya' at Turas al-'Arabi, t.th), Dalam hadis yang diriwayatkan ibnu umar disebutkan; َّ صلَّى َّ ي علَ ْي ِه ِ ع ْن اب ِْن عُ َم َر َر َ َُّللا َ َُّللا َ َ ِ َّع ْن ُه َما قَالَ قَالَ َرسُو ُل َّللا َ ض َّ ش َهادَةِ أ َ ْن ََل إِلَهَ إِ ََّل َ علَى خ َْم ٍس ِ ََّّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل َّللا َ ُاْلس ََْلم َ َو ِ ْ سلَّ َم بُن َِي ْ َّ َ ََوإِق َ ح ال و ة َا ك الز ت ي إ و ة َل ص ال ام َضان ِاء ِ ِ َّ َ ص ْو ِم َر َم ِ َ َ ج َو ِ َ َ ِ Artinya: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa Ramadhan”Lihat Abi Muhammad bin Ismail AlBukhariAbdillah, Shahih Bukhari…….., hadis no. 8. 12 Budhy Munawar Rachman (editor), Ensiklopedia Nurcholish Madjid……., jilid II h. 1125. Penjelasan 11
Nurcholish Madjid mengenai Etimologi Islam nampaknya dipengaruhi oleh penjelasan Ibnu Taimiyah sebagai berikut; “Penjelasan yang sangat penting tentang makna ‘alislam’ diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan bahwa alislammengandung dua makna: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti difirmankan Allah, ............ .......... Artinya: Dan seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki (QS:az-Zumar: 29). Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 462 Jadi, orangyang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan,
Artinya: Dan siapakah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, “Berserah dirilah engkau!” Lalu ia menjawab, “Aku berserah diri (aslamtu) kepada Tuhan seru sekalian alam”. Dan dengan ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai kamu mati, kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah (kepada- Nya)” (QS, al-Baqarah: 130-132).Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 21
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad), “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanîf, dan tidaklah dia termasuk orang-orang yang musyrik.”Katakan juga (hai Muhammad), “Sesungguhnya sembahyangku, darma baktiku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 60
Nurcholish mengenai islâm dengan (i) kecil, sejalan makna islâm yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah sebagai berikut “Adapun ikhlas, itulah hakikat Islam, sebab ‘al-islâm’ adalah sikap menyerah pasrah (al-istislâm) kepada Allah, tidak kepada yang lain.13Maka, orang yang tidak menyerah pasrah kepada Allah, dia adalah sombong; dan orang yang menyerah pasrah kepada Allah dan kepada yang lain, dia melakukan syirik.Sombong dan syirik adalah kebalikan al-islâm, dan al-islâm adalah bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan dan aku adalah yang pertama dari kalangan orang-orang yang pasrah” (QS.alAn’am: 161-163).Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 151
Artinya: Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kamu semua (aslimû) kepada-Nya sebelum tiba kepada kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi (QS, az-Zumar: 54).Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 465 Demikan itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn Taimiyah tentang makna al-islâm.Budhy Munawar Rachman (editor), Ensiklopedia Nurcholish Madjid……., jilid II h. 1135-1136 Nurcholish lalu menyambungkan penjelasannya dengan QS. an-Nisa’: 125
kebalikan sombong dan syirik.Dan (perkataan islâm) itu digunakan baik secara lazim(yakni, tidak memerlukan penderita, intransitive) ataupun secara muta`addi(yakni, memerlukan penderita, transitive), seperti firman Allah (untuk penggunaan perkataan islâm secara lazim) dalam QS al-Baqarah: 131.14dan firman Allah (untuk penggunaan perkataan islâm secara mutâ‘addi) dalam QS. al-Baqarah: 112.15 Oleh karena itu pangkal al-islâm ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadah kepada yang lain.16 Inilah ‘Islam umum’ (al-islâm al-‘amm) yang selain dari itu Allah tidak menerima Artinya: ‘Tatkala kepadanya (Ibrahim), Tuhannya bersabda, ‘Pasrahlah engkau (aslim)!’, ia pun menjawab, ‘Aku pasrah (aslamtu) kepada Tuhan seru sekalian alam (QS alBaqarah: 131) Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 21
Artinya: Bahkan barangsiapa memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah lagi pula ia berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, tiada ketakutan atas mereka, dan tidak pula mereka merasa sedih (QS. al-Baqarah: 112). Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 18 16 sebagaimana difirmankan Allah Taala, Artinya; barang siapa menganut agama selain al-islâm maka tidak akan diterima dari dia (agamanya itu), dan di akhirat dia akan termasuk mereka yang merugi (QS, Ali Imron:85). Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 62 dan firman Allah, ........
Artinya: Allah membuat perumpamaan (tentang alislâm) pada seorang (budak) yang dimiliki bersama oleh banyak orang yang berselisih, dan seorang (budak) yang pasrah sepenuhnya (salâman) kepada satu orang saja. Samakah keduanya itu sebagai perumpamaan? (QS. azZumar: 29).Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 462
Artinya: Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat dan orang-orang berpengetahuan yang tegak dengan jujur (adil). Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Mahamulia Lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah al-islâm..(QS, ali Imron:18-19).Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 53
Artinya: Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang berserah diri kepada Allah, sedang ia mengerjakan amal kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang murni dan Allah telah mengambil Ibrahim sebagai kawan(QS. an-Nisa’: 125)Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 99 13 sebagaimana difirmankan oleh Allah Taala:
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 61
sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat kemudian.17 Definisi ini juga sejalan dengan pengertian islâm yang dijelaskan oleh Harun Nasution, yakni; Islâmadalah sikap hidup yang mencerminkan penyerahan diri, ketundukan kepasrahan dan kepatuhan kepada tuhan. Dengan sikap hidup yang demikian, akan dapat terwujud kedamaian, keselamatan, kesejahteraan serta kesempurnaan hidup lahir batin dunia akhirat.18 Terminologi lain tentang Islam juga dijelaskan dengan definisi-definisi berikut; pertama, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.19 Kedua, Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, yang isinya bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam jagad raya. Islam adalah agama wahyu terakhir yang menyempurnakan agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya, yang isinya membahas berbagai aspek kehidupan manusia agar terwujud sebuah kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.20 Ketiga, Islam adalah mengikrarkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengamalkannya dengan sempurna dalam perilaku hidup serta menyerahkan diri kepada Allah dalam segala ketetapan-Nya baik qada dan 21 qadarnya. Dan keempat, Islam berarti kedamaian dan keamanan.Orang yang masuk dalam Islam berarti orang yang membuat perdamaian dann keamanan dengan tuhan, sesaman manusia, dirinya dan dengan alam.22 2. Islam sebagai agama Rahmatan li al-‘âlamîn 17
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Dian Rakyat, 2013), h. xvixvii 18 Muhaimin, dkk.Dimensi-dimensi ……., h. 82 19 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), h. 24 20 Abudin Nata, Studi Islam……., h. 24 21 Tengku Hasby as-Shidiqiy, Islam……., h. 19. 22 Muhaimin dkk, Dimensi-dimensi……., h. 78
Islam adalah agama Raḫmatan li al‘âlamîn.Kata ‘raḫmat’, berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti compassion (kehangatan), human (kemanusiaan), understanding (pengertian), sympathy (menaruh perhatian), kidness (berbuat baik), dan mercy (kemuliaan).Kata ‘âlam berasal dari bahasa arab yang berarti world (dunia), universe (alam), dan cosmos (alam).23Secara epistemologi, kata ‘raḫmatan’ diartikan nikmat, kesejahteraan, kemakmuran dan kasih sayang.Sedangkan al ‘âlamîn adalah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, yaitu makhluk Allah.Masyarakat rahmah adalah masyarakat yang terpenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dan tercipta iklim kasih sayang.Masyarakat ini tidak terbatas pada luas batas, suku, ras, negara bahkan agama.24 Islam Raḫmatan li al-‘âlamîn diartikan dengan Islam yang mengemban misi terwujudnya kehidupan mannusia yang penuh dengan kehangatan, saling pengertian, simpati, berbuat baik dan saling memuliakan.25Islam sebagai agama raḫmatan li al-‘âlamîn memiliki perspektif yang konstruktif terhadap perdamaian dan kerukunan hidup.26Islâm raḫmatan li al-‘âlamîn sering dihubungkan dengan dengan misi kerasulan nabi. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah; Artinya: dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) raḫmat bagi semesta alam. (QS. alAnbiya’: 107)27 Islamraḫmatan li al-‘âlamîn dinilai sebagai Islam yang paling sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia yang plural. Melalui Islam raḫmatan li al-‘âlamîn, diharapkan perbedaan agama, budaya, latar belakang etnis dan sebagainya tidak akan menimbulkan dampak negatif, atau tidak menjadi sumber konflik, melainkan sumber raḫmat bagi seluruh alam.28Islam raḫmatan li al23
Abudin Nata, Studi Islam……., h. 528 Tobroni Suyoto dan Muhammad Nurhakim, Misi Islam Raḫmatan li al-‘âlamîn, dalam A. Faridi (ed.), Islam Kajian Interdisipliner, (Malang: UMM Press, 1992), h. 4 25 Abudin Nata, Studi Islam……., h. 528 26 Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Bentang, 2000), h 8-9. 27 Lihat al-Quran dan Terjemahnya……., h. 332 28 Abudin Nata, Studi Islam……., h. 528. 24
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 62
‘âlamîn adalah agama Islam untuk kesejahteraan, kamakmuran, kasih sayang dan keadilan yang tercipta antara sesama makhluk di dunia.29 Islam raḫmatan li al-‘âlamîn tidak dapat terwujud dalam bentuk masyarakat atau corak hidup yang seragam.Islam raḫmatan li al-‘âlamîn menghendaki umatnya untuk menjadi ummatan wasaṯan, yaitu umat yang eksis dan menjadi poros di tengah-tengah pluralitas. Oleh sebab itu, seorang muslim dituntut untuk mempu mengoperasionalkan nilai-nilai Islam yang universal ke dalam aneka konteks geografis, kultur, sosial ekonomi, politik dan lain-lain.30 Islam sebagai agama Rahmatan li al-‘âlamîn memiliki perspektif yang konstruktif terhadap perdamaian dan kerukunan hidup.Dalam al-Quran manusia digolongan menjadi tiga golongan; Muslim, ahl al-Kitab dan Watsaniy (Pagan, golongan diluar keduanya).Menurut al-Quran, semua golongan tersebut mempunyai tempat dan kedudukan tersendiri dalam hubungan social dengan umat Islam.31 C. PengembanganRahmatan li al-‘âlamîn dalam PAI; Pengembangan Pendidikan Agama Islam Multikultural berbasis Islam Rahmatan lil’alamin; Penghargaan atas Keragaman Salah satu bentuk Islam yang rahmatan lil alamin adalah menghargai adanya keragaman.Kenyataan bahwa manusia selalu berbeda adalah keputusan dan kehendak Tuhan.32 Sebagaimana firman Allah: Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat. (QS. Huud: 118)
29
Tobroni Suyoto dan Muhammad Nurhakim, Misi Islam ……., h. 4 30 Tobroni Suyoto dan Muhammad Nurhakim, Misi Islam ……., h. 10 31 Ruslani, Masyarakat Kitabdan Dialog antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Bentang, 2000), h 8-9. 32 Muhaimin dkk, Dimensi-dimensi……., h. 80
Karena perbedaan manusia merupakan kehendak Tuhan, maka tugas manusia adalah menjalin kerjasama, menciptakan kedamaian, dan berlomba-lomba dalam mencapai kebajikan dan keridlaan-Nya.Kelemahan manusia selama ini ialah karena semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga diantara mereka ada yang bersifat melebihi sifat Tuhan, menginginkan agar manusia satu pendapat, pandangan, aliran dan satu agama. Semangat yang menggebu-gebu ini membuat manusia memaksakan pandangannya untuk dianut orang lain, padahal Tuhan sendiri telah memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih jalannya.33 Sebagaimana firman Allah Artinya: dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.34 Pendidikan multikultural memiliki semangat menghargai keragaman yang sama dengan Islam rahmatan li al-‘âlamîn. Hal ini dapat dilihat dari definisi pendidikan multikultral yang diberikan oleh Ainurrofiq Dawam sebagai berikut;
33
Muhaimin dkk, Dimensi-dimensi……., h. 80 (QS. al-kahfi: 29)Lihat al-Quran Terjemahnya……., h. 298 34
dan
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 63
Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis , suku, dan aliran (agama).35 Hal ini berarti, baik pendidikan multikultural maupun Islam rahmatanli al‘âlamînmemiliki kesamaan pandangan bahwa keragaman itu ada, namun bukan sebagai penghalang atau sebagai alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap golongan tertentu.Islam menghargai adanya keragaman budaya, ras, suku dan bahkan agama.Begitu juga dengan pendidikan multikultural, perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap peserta didik. Setiap peserta didik memiliki hak yang sama dalam pendidikan, tidak lagi memandang dari ras, suku atau agama peserta didik. Penghargaan atas berbagai keragaman ini juga telah disebutkan dalam Undang-undang Sisdiknas Bab III pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan, “Pendidikan diselenggarakan ……..dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.36 Berdasarkan undang-undang sisdiknas pasal 4 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa system pendidikan di Indonesia menjunjung tinggi keragaman yang ada.Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah penghalang bagi terselenggaranya pendidikan yang demokratis.Keragaman adalah hal yang diapresiasi dan diakomodasi dalam pendidikan.Pemaparan diatas menghasilkan satu poin penting, yakni bahwa Islam dan pendidikan, keduanya sama-sama menghargai adanya keragaman. a. Penghargaan Terhadap Keragaman Bahasa Pengakuan atas keragaman diwujudkan dalam berbagai hal.Salah satunya adalah penghargaan terhadap berbagai bahasa yang ada.Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 200
bahasa daerah yang digunakan di berbagai tempat, dari Sabang sampai Merauke.37Selain itu, di era globalisasi, keharusan menguasai bahasa asing menjadi hal yang penting dilakukan.Jika selama ini, bahasa daerah dianggap bahasa nomor tiga setelah bahasa nasional dan bahasa asing, maka pendidikan multikultural harus memberikan porsi yang layak kepada tiga jenis bahasa tersebut.Pelarangan penggunaan bahasa tertentu merupakan sebuah bentuk diskriminasi. Nurcholish Madjid dalam term Islam universal-nya menyebutkan bahwa semua bahasa memiliki kedudukan yang sama dalam Islam. Hal itu dijelaskan sebagai berikut: Al-Quran memuat penegasan bahwa ajaran Islam adalah dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad Saw.adalah utusan Tuhan untuk seluruh umat manusia. Ini berarti ajaran Islam berlaku bagi bangsa Arab dan bangsa- bangsa non- Arab dalam tingkat yang sama. Dan sebagai suatu agama universal, Islam tidak tergantung kepada suatu bahasa, tempat, ataupun masa dan kelompok manusia……38 Tetapi, harus segera kita sadari bahwa meskipun kebenaran itu universal, namun acapkali tampil dalam penampakan lahiri yang berbeda-beda dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Ini dapat diterangkan dari berbagai segi, salah satunya ialah persoalan “bahasa” dalam pengertian yang seluas-luasnya, termasuk bahasa kultural.Dan relevan dengan ini ialah penegasan dalam kitab suci bahwa para rasul Allah itu diutus dengan menggunakan bahasa mereka masingmasing.Jadi, lagi-lagi penting sekali agar kita tidak terjebak dalam formalitas rumus kebahasaan dan ekspresi kultural tentang kebenaran. Apalagi disebutkan dalam kitab suci bahwa perbedaan bahasa antara manusia, sama halnya dengan
37
35
Ainurrafiq Dawam,.Emoh Sekolah……., h. 100-101 36 Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4 ayat (1).Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 ……., h. 7
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, CrossCultural Understaning untuk Demokrasi dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 4 38 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Peradaban……., h. 360
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 64
perbedaan warna kulitnya, adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah.39
maka mustahil Allah mewahyukan ajaran-Nya dalam bahasa non-Arab.40
Oleh karena itu, anggapan bahwa bahasa Arab lebih unggul dari bahasa lainnya adalah anggapan yang tidak sesuai dengan prinsip Islam rahmatanli al-‘âlamîn. Alasan sebagaian orang yang menganggap bahwa bahasa arab lebih unggul karena penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran juga dibantah oleh Nurcholish. Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran adalah karena konteks sosial saat itu.Yakni bahwa al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad, yang buta huruf dan hanya bisa menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, mustahil al-Quran diturunkan dengan bahasa lain yang tidak dimengerti oleh pembawa ajaran al-Quran. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Pada dasarnya makna atau nilai AlQuran adalah universal.Ia tidak dibatasi atau diubah (dalam arti bertambah atau berkurang) oleh penggunaan suatu bahasa. Karena itu, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran pun sesungguhnya lebih banyak menyangkut masalah teknis penyampaian pesan daripada masalah nilai. Penggunaan bahasa Arab untuk Al-Quran adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya, yaitu masyarakat yang menjadi audiencelangsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalamhal Nabi Muhammad Saw., kaumnya itu ialah masyarakat Arab, khususnya masyarakat Makkah dan sekitarnya, sehingga bahasa Al-Quran pun sesungguhnya adalah bahasa Arab dialek penduduk Makkah. Pandangan bahwa kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran lebih merupakan soal teknis penyampaian pesan daripada soal nilai itu ditunjang oleh keterangan Al-Quran sendiri.Yaitu keterangan bahwa karena Nabi Muhammad Saw.Adalah seorang Arab,
Ainul Yakin mengungkap adanya indikasi stereotip terhadap bahasa tertentu dalam tabel berikut; Nama Bahasa Bahasa Inggris Bahasa Indonesia Bahasa Jawa (Timur)
Penilaian Positif Diakui sebagai bahasa internasional Diakui sebagai bahasa nasional Tidak memiliki tingkatan status dan kelas Tegas, lugas dan apa adanya
Bahasa Jawa (Tengah dan Yogya)
Lembut, pelan dan halus
Bahasa Madura
Memiliki tingkatan emosional yang kuat
Bahasa Sunda
Lugas dan jujur
Penilaian Negatif Susah dipelajari
Terlalu serius Kasar, kampungan Tidak terus terang. Penuh unggahungguh Udik, kampungan
Udik, kampungan Kasar, keras Bahasa Lugas, tegas, dan bahasa Betawi merakyat orang pinggiran Kasar, keras, Bahasa Lugas, tegas, apa seperti Batak adanya tergesa-gesa Tabel 5.1. Penilaian Stereotip terhadap bahasa 41 Implikasinya dalam dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam, bahwa bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing dapat digunakan secara bergantian sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ‘kasta’ dalam bahasa.Selain itu, fenomena yang terjadi adalah bahwa ada semacam rasa malu dan rendah diri untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa daerah 40
39
Lihat QS. Ibrahim: 4, lihat QS. ar-Rum: 22. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan……., h. xx
Lihat QS. Ibrahim: 4,Lihat QS. al-An’am: 96, Lihat QS. Fushilat: 44. Lihat Budhy Munawar rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid……., jilid I h. 176 41 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…….,h. 100
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 65
dianggap kampungan dan kurang ‘keren’, yang mengakibatkan bahasa daerah makin jarang dipergunakan, sehingga mungkin saja puluhan tahun kemudian bahasa daerah tertentu akan punah. Penggunaan bahasa daerah merupakan salah satu upaya pelestarian warisan budaya, selain itu juga membangun kesadaran peserta didik akan beragamnya bahasa daerah yang ada beserta dialek masing-masing. Dengan begitu, pendidikan multikultural tentang keragaman budaya bangsa, berupa bahasa, akan berjalan dengan efektif. Penggunaan bahasa daerah tersebut juga telah diantur dalam undang-undang sisdiknas Bab VIII Pasal 33 ayat (2) menyebutkan, “Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.”.42 Sedangkan penggunaan bahasa asing disebutkan dalam undang-undang sisdiknas Bab VIII Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik”.43 Selain digunakan sebagai bahasa pengantar, pelestarian bahasa daerah dapat pula dengan kewajiban penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa percakapan sehari-hari di sekolah. Kewajiban ini dapat dilaksanakan, misalnya, selama dua hari dalam seminggu. Penggunaan bahasa daerah juga tidak boleh terbatas pada daerah tertentu saja.Jika dalam suatu instansi pendidikan terdapat leboh dari satu penggguna bahasa daerah yang berbeda, bahasa daerah yang berbeda itu dengan bebas dipergunakan. Efek positif lain ialah dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai berbagai ragam bahasa yang ada di tanah air. Sehingga, peserta didik tidak hanya mengenal bahasa Jawa saja, misalnya, tetapi juga bahasa sunda, Madura, dll.
Bahasa daerah, misalnya, diwajibkan utuk digunakan selama dua hari dalam enam hari masa aktif sekolah, empat hari sisa menjadi jatah bagi bahasa Asing dan bahasa Indonesia. Bahasa asing yang digunakan tentu dapat berupa bahasa apa saja. Tidak melulu bahasa Inggris, yang dianggap bahasa universal dunia, tetapi juga bisa bahasa Arab, bahasa Jepang, Bahasa Jerman dsb. Selain menggunakan berbagai bahasa sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran PAI dan percakapan sehari-hari di sekolah, penghargaan atas keragaman bahasa dapat diwujudkan dalam penggunaan bahasa tersebut di media sekolah, baik majalah dinding (madding), bulletin sekolah, atau pengumuman/pamflet dsb.Sehingga penghargaan atas keragaman bahasa tidak diwujudkan dalam bahasa verbal saja, tetapi juga bahasa tulis. b. Penghargaan Terhadap Keragaman Agama dan Kepercayaan Pengakuan atas keragaman, juga berlaku bagi keragaman agama dan kepercayaan.Sebagai bangsa yang majemuk, keragaman agama serta kepercayaan di Indonesia menjadi hal yang tidak dapat terelakkan.Indonesia mengakui adanya Islam, Protestan, katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu sebegai kepercayaan yang dianut warganya.Namun selain itu, banyak pula kepercayaan lokal yang beredar di antara masyarakat, sebut saja, kejawen, sapto gandhul, dan banyak lagi. Agama dan kepercayaan merupakan hal yang sensitif untuk disinggung dan rawan menimbulkan konflik.Setiap pemeluk agama memiliki fanatisme berbeda terhadap agamanya masing-masing. Konfllik atas nama agama merupakan konflik yang paling mungkin timbul di tengah masyarakat plural. Misalnya, konflik Ambon yang terjadi pada tahun 2001 dan 2011 yang pada peristiwa terakhir menewaskan tujuh orang dan menghanguskan sekitar 200 rumah.44. Konflik atas nama agama yang terjadi bukan hanya melibatkan agama yang berbeda,
42
Bab VIII tentang Bahasa Pengantar, Pasal 33 ayat (2).Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 ……., h. 16 43 Bab VIII tentang Bahasa Pengantar, Pasal 33 ayat (3).Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 ……., h. 16
44
Pertikaian di Ambon Bukan Konflik Agama, Harian Kompas, Edisi Minggu, 2 Oktober 2011 | Pukul 20:39 WIBhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/02/20394476/ Pertikaian.di.Ambon.Bukan.Konflik.Agama//diakses tanggal 10 April 2015
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 66
agama yang sama pun mampu menimbulkan konflik, semisal konflik bertajuk sunni-syiah di Sampang pada 2012 lalu yang mengakibatkan pengikut Syiah harus dievakuasi45, serta konflik Puger Jember yang berakibat pegrusakan fasilitas warga syiah pada tahun 2013 lalu.46 Konflik atas nama agama yang terjadi, sebenarnya tidak murni terjadi karena sebab keragaman agama yang ada. Keragaman agama mayoritas hanya merupakan tameng untuk mendapatkan dukungan massa. Mantan wakil presiden Jusuf Kalla menegaskan, tak pernah ada konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Agama hanya dijadikan alat untuk menggalang solidaritas massa demi kepentingan tertentu dari konflik tersebut.47 Konflik dengan menggunakan simbol agama sebagai tameng tentu sangat tidak sesuai denngan misi setiap agama yang mengajarkan kedamaian.Diperlukan kesadaran bersama bahwa ada beragam agama dan kepercayaan di dunia yang harus diterima dan diapresiasi keberadaaannya.Oleh karena itu, salah satu tujuan pendidikan multikultural adalah menanamkan rasa menghargai keberagaman, termasuk juga ragam agama dan kepercayaan.48 Penanaman rasa apresiasi terhadap keragaman agama dapat dimulai dari kesadaran bahwa setiap agama memiliki kesamaan universal.Nurcholish Madjid menjelaskan 45
Zuhairi Misrawi, Konflik Sunni-Syiah di Madura? Koran SINDO edisiSelasa, 28 Agustus 2012 − 04:33 WIB http://nasional.sindonews.com/read/2012/08/28/18/667841/k onflik-sunni-syiah-di-madura// diakses tanggal 10 April 2015 46 Honest Molasy, Mengurai Akar Konflik Sunni Syiah di Puger – Jember, HarianKompas edisi 02 October 2013pukul 16:20. http://politik.kompasiana.com/2013/10/02/mengurai-akarkonflik-sunni-syiah-di-puger-jember-597798.html//diakses tanggal 10 April 2015 47 Jusuf Kallamengemukakan bahwa ada lima belas konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia. Sepuluh konflik diantaranya berakar pada ketidakadilan ekonomi,sementara lima konflik terjadi karena kepentingan politik. Beberapa konflik tersebut menggunakan alat agama untuk mendapatkan solidaritas massa. Maka yang terjadi adalah konflik melibatkan antar-umat beragama.Jk: Tak Ada Konflik Agama Di Indonesia, Harian Republika Online Edisi Selasa, 10 Juli 2015, 18:36 Wib// http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/23/m lphk8-jk-tak-ada-konflik-agama-di-indonesia// diakses tanggal 10 Juli 2015 48 Lebih jelas mengenai tujuan pendidikan multikultural, lihat Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah……., h. 104.
bahwa pada dasarmya semua agama adalah islâm, dalam artian bahwa semua agama mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha esa.Titik temu inilah yang perlu dicermati oleh semua umat beragama dalam menghadapi keragama. Nurcholish menulis; Dengan kata lain, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah titik pertemuan, common platform, atau dalam bahasa alQuran disebut kalimatun sawa’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.49 Titik persamaan inilah yang harus dielaborasi oleh setiap individu dalam mengapresiasi keragaman agama dan kepercayaan.Dalam dunia pendidikan, kalimatun sawa’ tersebut bisa diaplikasikan dalam banyak bentuk.Salah satunya adalah tersedianya kebebasan untuk berdoa sesuai dengan agama masing-masing sebelum memulai pelajaran. Sebelum memulai pelajaran, siswa dipersilakan untuk berdoa bersama sesuai dengan keyakinan agama masingmasing.Kegiatan berdoa bersama ini, selain agar menanamkan kepada peserta didik rasa ingat kepada Tuhan, juga agar peserta didik dapat melihat berbagai perbedaan yang terjadi ketika berdoa.Misalnya gerakan tangan siswa kristiani yang khas, atau gerakan mengangkat tangan peserta didik beragama Islam yang meskipun seagama, tetapi memiliki posisi mengangkat tangan berbeda-beda. Selain masalah gerakan tangan, perbedaan tentu bisa terlihat dari bacaan yang diucapkan. Dengan berdoa bersama berdasarkan keyakinan masing-masing, siswa bukan saja dibiasakan untuk beribadah sesuai keyakinan masingmasing tapi juga menghargai orang lain yang juga beribadah meskipun dengaan keyakinan yang berbeda. Hal ini diharapkan dapat menanmkan rasa menghargai keragaman agama dan keyakinan pada peserta didik. Selain itu, Islam sebagai agama juga memiliki.berbagai macam aliran dan organisasi keagaamalan.Di Indonesia saja, terdapat banyak organisasi masyarakat yang bernuansakan agama, semisal NU, Muhammadiyah, Persis, LDII dan sebagainya.Banyaknya organisasi ini juga serinkali memicu gesekan di masyarakat.Di 49
Nurcholish Kemanusiaan…….., h. 139
Madjid,
Islam
Agama
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 67
tingkat sekolah, gesekan ini dapat dihundari dengan mengakomodir semua aliran yang ada, tanpa ada dominasi aliran tertentu.Mengakomodir bukan berarti mengajarkan semua ritual yang berbeda, tetapi memberikan hak kepada masing-masing anak untuk beribadah dan beragama sesuai yang diajarkan oleh keluarganya. Semisal masalah doaIftitah, bacaan Qunut, wiridan dan tahlil. Hal-hal yang disebutkan barusan adalah ritual-ritual yang bisa jadi berbeda antar organisasi keagamaan Islam.Guru PAI, ketika di dalam kelas terdapat peserta didik NU dan Muhammadiiyah, harus membiarkan mereka untuk memilih doa iftitah apa yang akan dibaca, bukan memaksakan menghafal salah satu doa yang dikehendaki oleh guru. Selain itu, penanaman nilai-nilai keragaman akan agama dapat diterapkan melalui kegiatan di luar pembelajaran. misalnya membentuk kelompok belajar yang dilakukan ketika hari libur sekolah. Kegiatan ini, selain berfungsi sebagai metode pembelajaran tutor sebaya dan sarana sosialisasi antar siswa, juga dapat mengajak siswa untuk melihat lebih dekat bagaimana suasana beragama di keluarga yang memiliki keyakinan berbeda-beda. Misalnya, ketika hendak belajar kelompok di rumah teman yang beragama Kristen, peserta didik akan melihat keluarga Kristen tersebut pergi beribadah kebaktian di gereja pada hari Minggu. Ketika berkunjung ke rumah teman etnis tionghoa yang menganut Konghuchu, peserta didik akan melihat interior rumah yang digunakan untuk beribadah. Ketika berkunjung ke keluarga Muslim, peserta didik akan menyaksikan ketika adzan Dhuhur berkumandang, keluarga Muslim akan melaksanakan Shalat Dhuhur berjamaah. Semua hal ini akan membuat peserta didik menyadari akan keragama agama yang ada di Indonesia. Selain itu, kegiatan ini juga menanamkan sikap mempersilakan pemeluk agama lain untuk melaksanakan ibadah masingmasing. Untuk peserta didik pada tingkat sekolah lanjutan atas, aplikasi penghayatan keragaman agama dapat dilakukan dengan pendekatan kognitif. Bahwa pada dasarnya semua agama memiliki inti yang sama, yakni mengajarkan kepasrahan total kepada Tuhan yang Maha Esa.
Perbedaan yang ada adalah perbedaan cara pelaksanaannya saja. Penanaman keragaman dengan pendekatan kognitif misalnya dapat melalui problem solving dan studi kasus. Peserta didik diberikan artikel mengenai kasus tertentu yang berhubungan dengan konflik atas nama gama, kemudian peserta didik diminta untuk mendiskusikan alasan penyebab dan solusinya serta saran agar konflik sejenis tidak terjadi kembali. Dengan metode ini, peserta didik diharap dapat dengan matang mengetahui titik temu antar agama, sebagai kunci menghadapi keragaman agama dan keyakinan. Titik temu antar agama atau yang dalam kalimat Nurcholish disebut kalimatun sawa’, memang merupakan kunci untuk memahami adanya keragman agama dan kepercayaan.Dengan memahami kalimatun sawa’, perbedaan yang ada diantara agamaagama tidak lagi menjadi masalah. Mengenai pemahaman ini, dapat dilihat dari penjelasan Nurcholish berikut: Ada hal yang secara prinsip dijalankan oleh semua agama, ada pula hal-hal yang secara praktis dijalankan berbeda oleh masing-masing agama. Perbedaan tersebut tidak perlu dijadikan halangan untuk berbagi dan mempertahankan prinsip, keragaman tersebut justru dijadikan sarana untuk berlomba dalam menyempurnakan yang prinsip untuk mewujudkan seluruh kebaikan ( )الخيراتbagi kemaslahatan umum )(المسلحلة العامةdengan tetap menyadari bahwa buka tugas manusialah untuk mengungkap dasar perbedaan dan keragaman jalan, dan menyerahkannya kepada hak prerogative tuhan. Karena nabi sebagai guru kebaikan dimunculkan di tiap umat, hikmah Tuhan menjadi universal yang tidak boleh dibatasi untuk satu umat pada waktu dan tempat tertentu.50 Adanya persamaan dari sumber agama yang berbeda itu tentunya tidak mengejutkan. Sebab, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua nabi dan Rasul membawa ajaran 50
Nurcholish Madjid, Prinsip-prinsip al-Quran …….,
h. 34
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 68
yang sama. Perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk perubahan pola perilaku (responsi) sesuai tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran prinsip, berupa syariat yang dibawa para nabi adalah sama.51 Dengan demikian, penanaman nilai apresiasi terhadap keragaman agama dapat dilakukan dengan berbagai hal.Keragaman agama bukanlah alasan untuk memecah belah suatu kelompok masyarakat. Dengan adanya pendidikan akan keragaman agama ini, diharapkan konflik atas nama agama tidak lagi terjadi. c. Penghargaan terhadap Keragaman Etnis Keragaman etnis juga merupakan salah satu sebab terjadinya konflik. Di Indonesia, konflik antar etnis kerap sekali terjadi, meskipun sebenarnya konflik tersebut juga dilatarbelakangi permasalahan ekonomi dan sosial. Kerusuhan Sampit merupakan salah satu contoh pertikaian yang melibatkan keragaman etnis. Islam yang bersifat universal mengajarkan setiap individu untuk menghargai keragaman etnis.Islam universal tidak menganggap etnis tertentu lebih unggul dari etnis lainnya. Hal ini tampak dari penjelasan Nurcholish sebagai berikut; Al-Quran memuat penegasan bahwa ajaran Islam adalah dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad Saw.adalah utusan Tuhan untuk seluruh umat manusia. Ini berarti ajaran Islam berlaku bagi bangsa Arab dan bangsa- bangsa non- Arab dalam tingkat yang sama. Dan sebagai suatu agama universal, Islam tidak tergantung kepada suatu bahasa, tempat, ataupun masa dan kelompok manusia……52 Oleh karena itu, etnis tertentu yang menganggap kaumnya lebih unggul dibandingkan etnis lain sungguh tidak mencerminkan sifat Islam. Tidak adanya 51
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…….., h. 142 52 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin …….., h. 360
perbedaan antara berbagai etnis ini juga disabdakan oleh nabi saat haji wada’ di Mina: يا أيها الناس إن ربكم واحد وإن أباكم واحد أال ال فضل لعربي على عجمي وال عجمي على عربي وال ألسود على أحمر وال ألحمرعلى أسود إال بالتقوى Artinya: Hai sekalian manusia ketahuilah bahwasanya Tuhanmu itu, dan bahwasanya moyangmu juga satu, ketahuilah tidak lebih mulia bangsa Arab atas bangsa asing dan tidak lebih mulia bangsa asing atas bangsa arab. Tidak pula bangsa berkulit hitam atas kulit merah dan kullit merah atas kulit hitam, kecuali dengan ketaqwaan.53 Tidak adanya perbedaan mengenai kedudukan tiap etnis dalam Islam juga selaras dengan ‘ruh’ pendidikan multikultural.Pendidikan multikultural menghendaki adanya apresiasi terhadap beragam etnis yang ada.Peserta didik sebagai obyek dan subyek pendidikan dimaksudkan untuk hidup berdampingan dengan damai diantara keragaman etnis serta mendapat perlakuan yang adil tanpa memandang dari etnis manapun dia berasal. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompokkelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.54 Penerapan penanaman akan keragaman etnis ini salah satunya telah dipraktekkan pada buku-buku teks kurikulum 2013. Dalam bukubuku tersebut, terdapat narasi-narasi yang menceritakan tentang berbagai ragam etnis. Jika dulu dalam buku teks, tokoh-tokoh dalam narasi bernama Andi, Budi atau Anto, saat ini buku teks tersebut menyebut nama Mathius, Ruhut Situmorang, Immanuel, Wayan dan nama-nama lain yang menggambarkan nama-nama khas dari etnis yang beragam. Penanaman nilai apresiasi terhadap keragaman etnis juga bisa dengan menganalogikan warna kulit dengan lukisan. Jika seandainya lukisan itu hanya terdiri dari satu warna, apakah mungkin akan menjadi gambar yang indah? Tentu saja tidak.Untuk 53 54
Hamka Haq, Islam; Rahmah ……., h. 28 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural…….., h.
176-177
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 69
menjadi lukisan yang indah, membutuhkan berbagai macam warna.Warna-warna tersebut saling membaur, melengkapi, dan berdampingan dengan indah.Begitu juga dengan jenis warna kulit manusia, perbedaan warna kulit menjadikan dunia tidak monoton, dan lebih banyak cerita. Implikasi lain penanaman nilai keragaman etnis dapat melalui kunjungan wisata atau studi tour ke berbagai tempat, dengan begitu, peserta didik akan dapat melihat beragam etnis yang ada. Hal lain yang dapat dilakukan misalnya dengan memperlihatkan film-film yang bertemakan ragam ettnis. Hal-hal sejenis ini dapat menanamkan nilai-nilai keragaman etnis yang ada kepada peserta didik. D. Kesimpulan Pengembangan Islam Rahmatan li al‘âlamîn pada aspek pendidikan, dapat diwujudkan dalam pendidikan multikultural. Hal ini karena Islam yang Rahmatan li al-‘âlamîn memiliki kesamaan ‘ruh’ dengan pendidikan multikultural. Semangat yang sama tersebut diimplikasikan terhadap penerapan pendidikan multikultural melalui penghargaan atas berbagai keragaman. Penghargaan Keragaman tersebut diwujudkan dalam; pertama, keragaman bahasa, yakni penggunaan Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, dan bahasa asing dalam bahasa pengantar dalam pembelajaran, bahasa sehari-hari di sekolah serta bahasa komunikasi dalam dunia pendidikan. Kedua, penghargaan atas keragaman agama dan kepercayaan, dapat diwujudkan dalam berdoa bersama, kegiatan saling berkunjung, maupun pendekatan kognitif semisal metode problem solving dan case study.Ketiga, penghargaan atas keragaman etnis, dapat diwujudkan melalui narasi yang multietnis, analogi, maupun kunjungan wisata. DAFTAR PUSTAKA Al-Bukhari, Abi Muhammad bin Ismail Abdillah. 1996.Shahih Bukhari. Juz I. Beirut: Dar alKutb. al-Syaibany,Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal. T.th.Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid I. Beirut: Dar al-Ihya' at Turas al-'Arabi.
an-Naisaburi,Al-Imam Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusairy. T.th. Shahih Muslim. Beirut: Dar Al-Fikr. ash-Shiddieqy,Muhammad Hasby. 2001.al-Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Dawam, Ainurrafiq. 2003. Emoh Sekolah“ Menolak komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual manuju pendidikan multikultural “. Yogyakarta: Inspeal Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka. Hanafi,Hasan. 2002.Persiapan Masyarakat Dunia untuk Hidup Secara Damai, dalam Azhar Arsyad (ed.), Islam dan Peradaban Global.Yogyakarta: Madyan Press. Haq, Hamka. 2009. Islam; Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: RMBooks. Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin Peradaban; Sebuah Telaah kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina. ________________. 2013. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat. Mahfud,Chairul. Pendidikan Multikulturalisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhaimin, dkk.1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam.Surabaya: Karya Abditama. Nasution,Harun. 1979.Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI Press. Nata, Abudin .2011. Studi Islam Komprehensif.Jakarta: Kencana. Rachman, Budhy Munawar(ed.). 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (edisi Digital).Jakarta: Mizan. Ruslani.2000.Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta: Bentang. Suyoto, Tobroni dan Muhammad Nurhakim. 1992.Misi Islam Raḫmatan li al-‘âlamîn, dalam A. Faridi (ed.), Islam Kajian Interdisipliner. Malang: UMM Press. Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understaning untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. Yayasan Penerjemah al-Quran bekerjasama dengan Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran (editor), 2005.al-Quran dan Terjemahnya. Depok: alHuda.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 70
Jk: Tak Ada Konflik Agama Di Indonesia, Harian Republika Online Edisi Selasa, 10 Juli 2015, 18:36Wib// http://www.republika.co.id/berita/nasional/umu m/13/04/23/mlphk8-jk-tak-ada-konflik-agamadi-indonesia//diakses tanggal 10 Juli 2015
DEKONSTRUKSI GENDER DALAM PESANTREN M. Ma’ruf, M.Pd.I
Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Islam merupakan agama pertama yang memberikan kebebasan bagi perempuan untuk berkiprah sesuai dengan kemampuannya, karena prinsip dasar agama Islam adalah sebagai rahmatan lil-alamin, yang berarti juga termasuk rahmat bagi perempuan tanpa terpasung hak-haknya hanya dikarenakan berjenis kelamin perempuan. Dalam Islam juga tidak menganut The Second Sex, yang mengutamakan jenis kelamin tertentu, atau suku bangsa tertentu sebagaimana Allah SWT. Telah mempublikasikan kedudukan perempuan dalam posisi yang cukup strategis sama dengan laki-laki. Dalam surat al-Hujarat: 13, surat al-Ahzab: 35, surat al-Nisa’: 34. Sebab Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW berisi pembebasan terhadap kaum tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusia, keadilan dan kesetaraan. Pemahaman gender di pesantren cenderung banyak menggunakan pemikiran gender tradisional yang memandang relasi perempuan dan laki-laki akan berjalan dengan sendirinya berpedoman pada ajaran teks klasik, dengan ini perlu adanya dekonstruksi terhadap pemahaman yang kabur mengenai konstruksi gender terutama di lingkungan pesantren.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 71
Kata kunci: Gender dan Pesantren A. Pendahuluan Sebagai umat Islam berpendapat bahwa “Islam itu one close moment in the history”. Bahwa zaman peradaban klasik Islam (zaman keemasan) dianggap sebagai puncak peradaban, puncak keilmuan Islam yang takkan terulang lagi dalam sejarah. Persepsi semacam ini merupakan kontra produktif sebab akan menggiring umat Islam untuk bersikap apologetic, hanya melakukan reproduksi, transmisi, imitasi dan romantisme terhadap masa lalu sejarah umat yang gemilang tanpa berupaya membangun dan menciptakan gebrakan baru dengan terobosan baru, pengembangan dan penemuan dimensi lain dalam sejarah yang belum terungkap.1 Sikap ini terbukti, masih banyak pesantren melakukan berbagai sharah dari kitab produk zaman klasik, tanpa berupaya menciptakan produk baru yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang dinamis. Mereka menjadikan hampir seluruh produk zaman klasik sebagai model yang harus diikuti tanpa boleh melakukan dekonstruksi atau reinterpretasi sedikitpun. Mereka menganggap seseorang yang mencoba melakukan dekonstruksi terhadap muatan keagamaan ini sebagai seseorang yang ingin menggulingkan sistem bangunan kokoh yang sudah mapan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh kalangan intelektual par excellence dizaman keemasan Islam. Produk keagamaan masa lalu dijadikan semacam dogma yang tak terusikan oleh siapapun di mana seluruh umat Islam diharuskan menganggapnya sebagai kitab petunjuk yang harus diterima apa adanya tanpa boleh dipertanyakan lagi. Diantara tantangan umat Islam adalah problematika gender yang merupakan salah satu bentuk modernisasi yang mencuat ke permukaan yang harus dijawab secara responsive.
B. Pengertian Gender Kata gender (jender-Indo) berarti jenis kelamin. Di dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara lakilaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsepkultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat 2. Kata “gender” telah digunakan di Amerika tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender. Menurut Eline Sholwalter (1989) sebagaimana dikemukakan Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul “Argumen Kesetaraan Gender” bahwa wacana gender melalui berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok femenis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut patriarchal kemudian menggantikannya dengan isu gender. Sejak saat ini konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan social dan pembangunan dunia ketiga. Adapun di Indonesia, istilah gender lazim di pergunakan di Kantor Menteri Peranan Wanita dengan ejaan “jender”, diartikan sebagai interpretasi mental dan kultur terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan3. Menurut Wilson dan Eline Sholwalter seperti dikutip Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul “Dekonstruksi Pemahaman jender Dalam Islam” bahwa gender bukan hanya sekedar pembedaan lakilaki dan perempuan dilihat dari kontruksi sosial budaya, tetapi lebih ditekankan pada konsep analisis dalam memahami dan menjelaskan sesuatu. Karena itu kata “gender” banyak diasosiasikan dengan kata yang lain, seperti ketidak adilan, kesetaraan dan sebagainya, keduanya sulit untuk diberi pengertian secara terpisah. Adapun dalam Kepmendagri No. 132 disebutkan bahwa Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat4. Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula, bersifat universal dan permanen, tidak dapat dipertukarkan, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis kelamin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki dan 2
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`an, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 33 1
Agus Nuryanto, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Studi Pemikiran Asghar Ali Enginner, (Jakarta: UI Press, Cet.I, 2001), hal.1
3
Mufidah Ch, “Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender”(UIN-Malang Press, 2008), h. 1-2 4 Ibid, h. 2
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 72
perempuan yang ditentukan oleh perbedaan biologis yang melekat pada keduanya. Jenis kelamin adalah tafsir sosial atas perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman 5.
C. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam Pada masa Jahiliyah, kehadiran anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan. Informasi ini dapat dibaca dalam QS. an-Nahl (16) :5859, sebagai berikut: “Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. Kemerdekaan merupakan barang berharga, sebab kemerdekaan hanya dimiliki oleh mereka yang berada dilapisan atas saja. Perempuan tidak pernah mendapatkan kebebasan untuk memiliki hak-haknya sebagai akibat dari konstruk masyarakat yang menempatkannya sebagai asset atau barang, dan menjadi manusia kelas dua. Dengan kehadiran Nabi Muhammad saw. dalam situasi ini menjadi harapan bagi kaum perempuan karena Islam yang diperkenalkan oleh beliau berisi pembebasan terhadap kaum tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusia, keadilan dan kesetaraan. Dari misi beliau inilah Islam menjadi diterima masyarakat Arab terutama dari kalangan
marjinal, bahkan Islam tercatat sebagai agama yang paling sukses dalam menyebarkan ajarannya 6. Nasaruddin Umar7, mengemukakan ada beberapa ukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melihat prinsip kesetaraan dan keadilan jender dalam Al- Qur'an. Ukuran-ukuran tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai hamba Allah Alquran menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepadaTuhan. Penjelasan ini dapat dibaca dalam QS. Az-Zariyat (51): 56, sebagai berikut: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran bisaa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang disaebutkan dalam QS Al-Hujurat (49): 13, sebagai berikut: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya,sebagaimana disebutkan dalam QS. AnNahl (16): 97, sebagai berikut:
6
Ibid, h. 20-21 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspertif al-Quran (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 248-265. 7
5
Ibid, h. 3
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 73
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik8dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. 2. Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi Maksud dan tujuana penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan dalam QS. Al-An’am (6): 165, sebagai berikut: “Dia lah yang menjadikan kamu penguasapenguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Pada ayat lain disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2):30, sebagai berikut: 8
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas kekhalifah-annya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung-jawab sebagai hamba Tuhan. 3. Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial (sama-sama berikrar akan keberadaan Allah SWT ). Laki-laki dan perempuan sama-sama mengamban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS.AlA’raf (7): 172).
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", Menurut penjelasan Fakhr ar-Razi, tidak seorang pun anak manusia yang lahir ke muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para Malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Di dalam ajaran Islam,
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 74
tanggung jawab individual dan kemandirian seseorang telah berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah kejadian manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dan tambahnya lagi Alquran mengungkapkan bahwa Allah SWT yang Maha Kuasa memuliakan seluruh anak cucu Adam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Isra’ (17): 70, sebagai berikut:
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan 9, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. 4. Laki-laki dan Perempuan sebagai Hamba yang Punya tanggung Jawab Semua ayat yang memuat cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (هماhuma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut: bahwa Adam dan Hawa diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35, sebagai berikut: “dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makananmakanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini10,
yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim”. Adam dan istrinya sama-sama mendapat godaan dari setan, yang ditegaskan dalam Alquran, QS. AlA’raf (7): 20, sebagai berikut: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". Keduanya (Adam dan istrinya) sama-sama memakan buah khuldi dan mereka menerima akibat jatuh ke bumi, seperti tertulis dalam QS. Al-A’rat (7): 22, sebagai berikut:
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
9
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan. 10 Pohon yang dilarang Allah mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab Al Quran dan Hadist tidak
menerangkannya. ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan syaitan.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 75
Kemudian keduanya sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, yang kisahnya diabadikan dalam QS. Al-A’raf (7): 23, sebagai berikut:
“keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi”. Pernyataan-pernyataan dalam Alquran di atas, agak berbeda dengan pernyataan-pernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
5. Laki-laki dan Perempuan Berpotensi Meraih Prestasi
Sama-sama
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam firmanNya surah Ali Imran (3): 195, sbb:
… “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…” Dalam QS. an-Nisa’ (4): 124, Allah menegaskan:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada, seperti QS. an-Nahl (16): 97; dan QS. al-Gafir (40): 40.
Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesadaran gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan. Salah satu obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu, Al-Qur'an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. Dengan melihat paparan yang dikemukakan oleh Nasaruddin Umar tersebut di atas, terlihat bahwa di dalam Al-Qur’an, sebetulnya sudah menyebutkan adanya keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Namun di dalam kenyataan sehari-hari keadilan dan kesetaraan gender seperti yang diamanahkan di dalam Al-Qur’an tersebut bisa dikatakan masih jauh dari harapan, termasuk pelaksanaan yang terjadi di dunia yang mayoritas warganya beragama Islam.
D. Permasalahan dan Dekontruksi Gender di lingkungan Pesantren 1. Masalah Gender di lingkungan Pesantren Contohnya dilingkungan pesantren, wacana terkait kesetaraan gender masih sering menjadi polemik. Bahkan, upaya untuk mensosialisasi ini tak jarang mendapatkan resistensi dari sebagian kalangan pesantren. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa gender merupakan produk Barat yang berkembang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Alhasil, mayoritas pesantren di wilayah Indonesia masih tetap mempertahankan nilainilai gender tradisional yang sebagian besar bersumber pada kitab-kitab klasik karangan ulama terdahulu. Adapun kajian dalam kitab-kitab tersebut masih mengadopsi nilai-nilai lama yang mengedepankan superioritas laki-laki sehingga posisi wanita seolah-olah termarginalkan (subordinasi)11. 11
http://news.okezone.com/wacana-gender-dilingkungan-pesantren, diakses tanggal 22 Maret 2012
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 76
Dalam hukum fiqh Islam yang berlaku saat ini dianggap telah berperan besar terhadap terjadinya pelanggaran dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Hukum fiqh terbukti tidak mampu menjawab permasalahan sosial yang dialami perempuan. Menyikapi permasalahan tersebut, muncullah tuntutan yang mengatasnamakan dirinya pihak yang peduli terhadap hak-hak perempuan untuk menuntut perlakuan yang adil, dan membebaskan wanita dari label-label yang negatif. Mereka menuntut kesetaraan antar laki-laki dengan perempuan tanpa adanya embel-embel perbedaan hanya karena perbedaan jenis kelamin. Tuntutan mereka dikenal dengan istilah kesetaran jender. Puncak dari semua tuntutan itu adalah diluncurkannya metode tafsir sensitif jender, karena penafsiran teks-teks syari‟at (alQur‟an dan Hadist) dengan metode lama dianggap telah memasung hak-hak perempuan dan telah melenceng dari konsep dasar syari‟at yaitu keadilan dan kemaslahatan. Tuntutan kesetaraan jender tidak bisa dianggap angin lalu, karena dia terus menggelinding bak bola salju yang semakin lama semakin besar, yang kita tidak boleh menutup mata, dan mau tidak mau harus ditanggapi dengan cara yang bijak12. 2. Dekonstruksi Gender di Lingkungan Pesantren Prinsip dasar agama Islam adalah sebagai rahmatan lil-alamin, yang berarti juga termasuk rahmat bagi perempuan tanpa terpasung hak-haknya hanya dikarenakan berjenis kelamin perempuan. Dalam Islam juga tidak menganut The Second Sex, yang mengutamakan jenis kelamin tertentu, atau suku bangsa tertentu, sebagaimana Allah SWT. Telah mempublikasikan kedudukan perempuan dalam posisi yang cukup strategis sama dengan laki-laki. Dalam surat al-Hujarat: 13 dinyatakan; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. Ayat ini menegaskan bahwa disisi Allah swt. Seorang laki-laki dan perempuan mempunyai 12
http://lbm.mudimesra.com/tuntutan-kesetaraangender-musawah-al.html, diakses tanggal 22 Maret 2012
kedudukan yang setara (musawah), dan yang membedakan hanya ketaqwaannya saja. Selain ayat tersebut masih banyak sekali ayat yang menunjukkan kesetaraan perempuan dan pria. Diantaranya surat alAhzab: 35 yang menerangkan tentang sifat-sifat orang mukmin dan kewajibannya terhadap agama; “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, lakilaki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. Dalam ayat ini jelas betapa Allah swt. Telah menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Redaksi yang senantiasa menghubungkan laki-laki dan perempuan menunjukkan betapa menghargainya agama islam terhadap kaum perempuan. Sementara itu berdasarkan peran dan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan, al-Qur’an surat alNisa’: 34 menegaskan: “ kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Konteks historis yang melatari terbumikannya ayat ini adalah seorang sahabat Anshor dengan istrinya
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 77
menghadap Rosul. Maksud kedatangannya adalah menghantarkan pengaduan istrinya. Istri sahabat itu mengadu:”Wahai Rosul! Suamiku telah memukul wajahku hingga membekas”. Kemudian Beliau bersabda:”Ia tidak berbuat demikian”. Pada saat kedua suani istri itu berselisih, seketika itu Nabi menerima wahyu yang menjelaskan secara global tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dan etika mendidik seorang istri, ayat di atas13. Superioritas lelaki dalam ayat ini khusus dari segi kelebihan financial, karena lelaki sebagai pencari nafkah keluarga dan sama sekali bukan melambangkan kelemahan perempuan.14 Shahrour member makna “faddlala ba’duhum ‘ala ba’ad” mengandung arti masing-masing memilki kelebihan atas lainnya, sebab kata “hum” tidak eksklusif untuk lelaki saja tetapi juga untuk perempuan dan bukan kelebihan lelaki disbanding perempuan.15 Maka ayat ini bukan khusus untuk mengantur sistem kekeluargaan tetapi lebih jauh sistem social, seperti pekerjaan, dagang, produksi, administrasi, pendidikan pengajaran, kedokteran, farmasi, olahraga, hukum dan lainnya. 16 Argumen lain, karena kata “qawwamah” mengandung arti “pengabdian” yakni pengabdian lelaki kepada perempuan, tetapi lanjut ayat “ bi mafaddlala ba’duhum ‘ala ba’ad” menafikan pemahaman ini, maka “qawwamah” untuk lelaki dan perempuan17. Dengan begitu ayat ini lebih merujuk pada fungsi sosial ketimbang kelebihan jenis kelamin tertentu. Maka ayat ini menggambarkan pernyataan kontekstual dan bukan pernyataan normative. Al-Sya’rawi seorang mufassir, ia menginterpretasikan ayat itu dengan mengatakan, seorang laki-laki telah dibari amanat untuk bertanggung jawab terhadap perempuan. Dari titik ini, masih menurutnya, berarti implikasi ayatnya adalah tentang konfirmasi perihal kedudukan antara laki-laki dan perempuan secara mutlak (absolut). Bukan hanya terbatas suami terhadap istrinya, dan saudara pria terhadap saudara perempuan. Dengan demikian tanggung jawab yang dikehendaki bersifat umum untuk semua kaum laki-laki apapun statusnya. Pada tataran praksis, jika realitasnya banyak perempuan yang tertekan (khawatir) dengan ayat di muka, tapi ironisnya ketika tidak dikaruniai anak laki-laki dia mengeluh, dan ketika ditanya kenapa demikian?. Dengan tanpa
sungkan mengatakan; “Saya menginginkan anak lakilaki, karena agar bisa menjaga hidup saya”? 18. Menurut M.Quraish Shihab, ayat tersebut berbicara mengenai kepemimpinan dalam rumah tangga. Di mana hak kepemimpinan menurut al-Qur`an dalam hal ini dibebankan kepada suami. Pembebanan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu19: a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga. b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarga. Para mufassir menyatakan bahwa kata قومونberarti pemimpin,penanggung jawab, pengatur, pendidik, dan lain-lainya20. Kategori ini pada dasarnya tidaklah menjadi persoalan serius, sepanjang ditempatkan secara adil. Dan tidak di dasari oleh pandangan yang diskriminatif. Dengan demikian bisa dipastikan pemahaman gender di pesantren cenderung banyak menggunakan pemikiran gender tradisional yang memandang relasi perempuan dan laki-laki akan berjalan dengan sendirinya berpedoman pada ajaran teks klasik.Sebagaimana kita ketahui, Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan apresiasi tinggi kepada wanita. Segala hal yang berusaha menyudutkan wanita baik marginalisasi, diskriminasi, ataupun subordinasi tidak pernah lahir dari ajaran Islam. Justru perlu adanya dekonstruksi terhadap pemahaman yang kabur mengenai konstruksi gender terutama di lingkungan pesantren. Rasulullah juga memberi hak yang sama bagi perempuan ketika terjadi bai’ah aqabah. Dan pada masa Rasulullah Saw banyak sekali ditemukan wanita yang berprestasi cemerlang layaknya laki-laki, dalam bidang politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya, suatu hal yang sekarang sudah langka. E. Penutup Gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan, jenis kelamin adalah perbedaan antara lakilaki dan perempuan yang ditentukan oleh perbedaan biologis yang melekat pada keduanya. Islam merupakan agama pertama yang memberikan kebebasan bagi perempuan untuk
13
Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi alNaysabury, Asbab al Nuzul, Dar al-Fikri, 1991, h.92 14 Muhammad Shahrour, Nahwa Usul, (Damaskus: Al-Ahali, 1990) , hal. 320 15 Ibid 16 Ibid 17 Ibid, hal. 321
18
Al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, tt, h.201 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, Jakarta: Mizan, 1996, h.310 20 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Jokjakarta:LKIS, tth 19
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 78
berkiprah sesuai dengan kemampuannya, suatu hal yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya. Yang mana, pada masa Jahiliyah, kehadiran anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan. Dengan kehadiran Nabi Muhammad saw. dalam situasi ini menjadi harapan bagi kaum perempuan karena Islam yang diperkenalkan oleh beliau berisi pembebasan terhadap kaum tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusia, keadilan dan kesetaraan. Dari misi beliau inilah Islam menjadi diterima masyarakat Arab terutama dari kalangan marjinal, bahkan Islam tercatat sebagai agama yang paling sukses dalam menyebarkan ajarannya. Nasaruddin Umar, mengemukakan ada beberapa ukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melihat prinsip kesetaraan dan keadilan jender dalam Al- Qur'an. Ukuran-ukuran tersebut antara lain: Lakilaki dan Perempuan Sama-sama sebagai hamba Allah, sebagai Khalifah di Bumi, sama-sama berikrar akan keberadaan Allah SWT., sebagai Hamba yang Punya tanggung Jawab, Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi. Sebagaimana kita ketahui, Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan apresiasi tinggi kepada wanita. Segala hal yang berusaha menyudutkan wanita baik marginalisasi, diskriminasi, ataupun subordinasi tidak pernah lahir dari ajaran Islam.Yang mana, pemahaman gender di pesantren cenderung banyak menggunakan pemikiran gender tradisional yang memandang relasi perempuan dan laki-laki akan berjalan dengan sendirinya berpedoman pada ajaran teks klasik, dengan ini perlu adanya dekonstruksi
terhadap pemahaman yang kabur mengenai konstruksi gender terutama di lingkungan pesantren. Daftar Pustaka
Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi alNaysabury, Asbab al Nuzul, Dar al-Fikri, 1991. Agus Nuryanto, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Studi Pemikiran Asghar Ali Enginner, (Jakarta: UI Press, Cet.I, 2001),
Al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, tt, Dar alFikryhttp://news.okezone.com/wacana-genderdi-lingkungan-pesantren, http://lbm.mudimesra.com/tuntutankesetaraan-gender-musawah-al.html Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Jokjakarta:LKIS, tth M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, Jakarta: Mizan, 1996. Mufidah Ch, “Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender”(UIN-Malang Press, 2008). Muhammad Shahrour, Nahwa Usul, (Damaskus: Al-Ahali, 1990) , Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`an, Jakarta: Paramadina, 2001. Sri Purwaningsi, Kiai dan Keadilan Gender, Semarang: Walisongo Press, 2009.
Manajemen Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam
Sufirmansyah
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 79
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
Abstrak Sejarah Peradaban Islam (SPI) merupakan salah satu aspek dalam kurikulum Pendidikan Islam. Materi sejarah memiliki konsekuensi logis berupa urutan kronologi fakta-fakta sejarah di masa lampau. Hal inilah yang memberikan kesan “membosankan” pada pembelajaran SPI. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan adanya manajemen yang tepat. Manajemen pembelajaran SPI dapat dimaknai sebagai proses pendayagunaan seluruh komponen pembelajaran secara berkesinambungan guna mencapai tujuan. Secara substansial pembelajaran SPI itu diharapkan berkontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Peradaban Islam yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Manajemen secara umum meliputi perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Karenanya, manajemen pembelajaran SPI yang efektif setidaknya juga harus memperhatikan ketiga aspek tersebut agar pembelajaran yang dilakukan dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan perasaan bosan dalam diri peserta didik.
Kata Kunci: Manajemen, Sejarah, Peradaban Islam
A. Pendahuluan Perubahan orientasi merupakan satu ciri penting adanya perubahan kurikulum selama ini. Orientasi materi yang dulu sangat kental, kini bertransformasi ke arah orientasi kompetensi. Kurikulum lama terkesan membatasi pemikiran pendidik dan peserta didik. Mereka menjadi terpaku pada upaya menghabiskan materi pelajaran sebagaimana tertuang dalam bukubuku teks, daripada menekankan pentingnya pemahaman siswa akan materi pelajaran tersebut. Implikasinya adalah pendidik lebih banyak melakukan reception exposition learning daripada discovery Learning. Konsep ini seakan tak pernah habis diperbincangkan di dunia pendidikan. Dalam reception exposition learning,materi pelajaran sudah dalam bentuk jadi dan siswa tidak perlu mengolah, cukup menguasai. Pendidik hanya mengandalkan buku teks yang sudah diterbitkan oleh penerbit. Sehingga terjadilah rote learning, yaitu siswa mampu menghafal materi pelajaran tetapi kurang memahami maknanya. Sementara discovery learning dimaksudkan sebagai proses pembelajaran dengan materi pelajaran bukan dalam bentuk jadi. Pendidik melakukan aktifitas menghimpun, mengorganisasikan, menyimpulkan bahan dari berbagai sumber. Sumber tersebut dapat berupa buku teks yang diterbitkan secara khusus untuk satuan pendidikan dan kelas tertentu. Sehingga terjadilah meaningful learning, yaitu siswa
bukan saja menghafal tetapi juga memahaminya maknanya dengan baik. 1 Dalam kurikulum pendidikan Islam, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam merupakan salah satu derivasinya. Dari sisi definitif, kata peradaban lebih luas maknanya, sedangkan kebudayaan adalah bagian dari peradaban tersebut. Perbedaan istilah ini nampaknya bukan menjadi topik utama yang harus didiskusikan, karena apabila dilihat dalam deskripsinya, kata kebudayaan di sini maksudnya juga merujuk kepada peradaban yang bermakna luas tersebut. Namun demikian ternyata isi materinya banyak didominasi oleh aspek-aspek politik, sedangkan aspek lain dari peradaban Islam seperti aspek pendidikan, ekonomi dan sosialnya kurang mendapatkan porsi pembahasan. Karena itulah penulis lebih cenderung memakai istilah Sejarah Peradaban Islam (SPI) agar kajian tarikh ini menjadi lebih komprehensif. Isi kurikulum pembelajaran Sejarah Peradaban Islam (SPI) termasuk mata pelajaran berbasis materi. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa materi sejarah memiliki konsekuensi logis berupa urutan kronologi fakta-fakta sejarah di masa lampau. Hal ini 1
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 105.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 80
juga identik dengan begitu kuatnya aspek hafalan guna memahami materi tersebut. Ini merupakan suatu peluang sekaligus tantangan bagi pendidik dalam menyampaikan materi SPI. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba menelaah manajemen pembelajaran SPI secara lebih komprehensif.
B. Hakikat Manajemen Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam Makna kata manajemen dapat dipahami secara luas dari berbagai sudut pandang. Dalam bidang pembelajaran, kita dapat merujuk buku Manajemen Pembelajaran karya Syafruddin dan Irwan Nasution. Mereka mengutip pendapat Reigueluth yang mengemukakan bahwa “manajemen pembelajaran adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan pemahaman, peningkatan, dan pelaksanaan dari pengelolaan program pengajaran yang dilaksanakan.” Lebih lanjut, pendapat Sue dan Glover memerinci lagi bahwa manajemen pembelajaran merupakan “proses menolong peserta didik untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan pemahaman terhadap dunia sekitar mereka.”2 Pembelajaran identik dengan sebuah proses yang berkesinambungan dalam rangka mencapai suatu kompetensi tertentu. Kementerian Pendidikan Nasional memberikan makna umum pembelajaran, yakni merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar, pada suatu lingkungan belajar.3Sementara itu menurut Oemar Hamalik, pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. 4 Sementara itu, kata sejarah juga mempunyai makna luas. Hal ini meliputi berbagai hal yang terkait dengan sebuah era tertentu. Menurut ibn Khaldun, sejarah mengandung pemikiran, penelitian, dan alasanalasan detil tentang perwujudan masyarakat dan dasardasarnya, sekaligus ilmu yang mendalam tentang karakter berbagai peristiwa. Karena itu, sejarah adalah ilmu yang orisinil tentang hikmah dan layak untuk
dihitung sebagai bagian dari ilmu-ilmu mengandung kebijaksanaan atau filsafat.5
yang
Sementara itu, Syed Sajjad Husain mengemukakan dengan sangat jelas bahwa “kebudayaan adalah sebuah kata yang sangat sulit untuk didefenisikan. Perlulah kita membedakannya dari peradaban. Dia merupakan rasa ingin tahu manusia yang menantang manusia untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri dan juga memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata”.6 Semua peristiwa baik yang menyangkut pemikiran, politik, ekonomi, teknologi, dan seni dalam sejarah Islam disebut sebagai peradaban. Jadi, peradaban ini adalah hasil karya, rasa dan cipta orang-orang Muslim. Kata Islam pada sejarah kebudayaan Islam bukan sekedar menunjukkan bahwa kebudayaan itu dihasilkan oleh orang-orang Muslim melainkan sebagai rujukan sumber nilai. Islam menjadi nilai kebudayaan itu. Oleh karena itu, sejarah peradaban Islam sama dengan sejarah peradaban lain pada umumnya, yaitu bersifat dinamis. Perbedaannya terletak pada sumber nilainya. 7 Dari beberapa definisi tersebut, maka manajemen pembelajaran SPI dapat dimaknai sebagai proses pendayagunaan seluruh komponen pembelajaran secara berkesinambungan guna mencapai tujuan pendidikan, dalam hal ini terfokus kepada materi sejarah peradaban Islam yang meliputi berbagai aspek sejarah dan peradaban umat Islam terdahulu.
C. Tujuan Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam Sejarah Peradaban Islam merupakan bagian dari satu kesatuan materi Pendidikan Agama Islam. Baik di sekolah umum maupun di madrasah, akan selalu dijumpai materi sejarah ini. Namun di berbagai sumber, penyebutan mata pelajaran ini seringkali dinamakan SKI. Di sekolah umum, materi SKI merupakan salah satu aspek mata pelajaran PAI. Hal ini sebagaimana dijelaskan Muhaimin, bahwa PAI di sekolah umum mencakup aspek al-Qur’an Hadis, akidah akhlak, fikih serta tarikh/sejarah. 8 Sedangkan di madrasah, SKI merupakan sebuah mata pelajaran tersendiri. 5
2
Syafruddin dan Irwan Nasution, Manajemen Pembelajaran (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 77-78. 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdiknas, 2003), 4. 4 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), 57.
Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj. Masturi Irham, dkk (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), 9. 6 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: CV Gema Risalah Press, 1994), 8-9. 7 Hanafi, Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), 7. 8 Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 79.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 81
Sebagaimana Kurikulum Pendidikan Agama Islam di bagi kepada beberapa sub yaitu al-Qur’an Hadis, akidah Akhlak, fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).9 Memang beberapa diskusi melahirkan perbedaan pemaknaan kata ”kebudayaan” dan ”peradaban”. Namun pada konteks makalah ini, SKI dan SPI mengandung maksud yang sama, merujuk kepada sebuah pembahasan ilmu yang sama, yaitu tentang sejarah peradaban Islam di masa lampau. Pemberian materi SPI tentu memiliki tujuan dan manfaat tersendiri.Kementerian Agama memberikan gambaran sasaran objektif dalam pembelajaran SPI yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut: 1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. 2. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini dan masa depan. 3. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah yang benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah. 4. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa lampau. 5. Membangun kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.10 Tujuan-tujuan itu mencoba memberikan penafsiran segar, bahwa sebenarnya secara substansial pembelajaran SPI itu diharapkan berkontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Peradaban Islam yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Melihat beberapa tujuan ideal yang diinginkan tersebut, maka pembelajaran SPI semestinya tidak 9
Ainurafiq Dawam dan Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren (Yogyakarta: Lista Friska Putra, 2004), 58. 10 Permenag RI Nomor 912 Tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab (Jakarta: Kemenag, 2013), 49.
boleh melupakan aspek manajemen. Karena bagaimanapun juga, sebuah materi pelajaran tidak akan dapat diserap peserta didik dengan baik apabila pendidik tidak mampu menata manajemen pembelajarannya secara sistematis. Hal ini bukan bermaksud membentuk sebuah hierarki manajemen, namun lebih kepada upaya transfer of knowledge dan transfer of value yang sudah pasti memerlukan manajemen tepat guna.
D. Perencanaan Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam yang Efektif Perencanaan pembelajaran menurut Wina Sanjaya merupakan proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan pembelajaran tertentu, yakni perubahan perilaku serta rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Hasil akhir dari pengambilan keputusan tersebut adalah dokumen yang dijadikan acuan dan pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. 11 Pendidik sebagai penyusun perencanaan ini sebisa mungkin harus dapat merancang berbagai program pembelajaran, lengkap dengan variasi pendekatan, strategi dan metode yang akan digunakan selama proses pembelajaran nantinya. 12Dalam hal ini, pendidik harus dapat menyusun program tahunan, program semester, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, sampai kepada kriteria ketuntasan minimal serta lembar penilaian yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk dapat membuat perencanaan pembelajaran yang efektif, setidaknya pendidik tetap memperhatikan beberapa prinsip sebagaimana yang dikemukakan Dede Rosyada sebagai berikut: memahami tujuan pendidikan, menguasai bahan ajar, memahami prinsip-prinsip mengajar, memahami metode-metode mengajar, memahami teori-teori belajar.13 Hal ini dimaksudkan agar perencanaan yang disusun nantinya dapat dijalankan dengan baik dan meminimalisir kesulitankesulitan operasional yang mungkin dihadapi.
11 Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2011), 28. 12 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 91. 13 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), 112.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 82
Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar Isi. Perencanaan pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan penyiapan media dan sumber belajar, perangkat penilaian pembelajaran, dan skenario pembelajaran. Penyusunan Silabus dan RPP disesuaikan dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Silabus dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan pola pembelajaran pada setiap tahun ajaran tertentu. Silabus digunakan sebagai acuan dalam pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran. Sementara RPP adalah rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 14 Pembelajaran SPI juga harus tetap memperhatikan aspek perencanaan ini. Meskipun kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) untuk setiap jenjang pendidikan telah ditetapkan oleh pemerintah, pendidik tetap harus berinovasi dalam penyusunan Silabus dan RPP. Karena bagaimanapun juga, pembelajaran yang terkonsep dengan baik pada perencanaannya, akan cenderung menghasilkan output yang baik juga pada saat evaluasi. Asumsi positivistik ini tak dapat dipungkiri, mengingat kegagalan pendidikan kebanyakan berakar dari perencanaan pembelajaran yang tidak dilaksanakan secara optimal.
E. Pelaksanaan Pembelajaran SejarahKebudayaan Islam yang Efektif Pelaksanaan pembelajaran merupakan salah satu fungsi terpenting dalam manajemen pembelajaran. Pentingnya pelaksanaan merupakan kelanjutan dari
vitalnya perencanaan yang dirumuskan sebelumnya. Apabila perencanaan telah disusun dengan baik namun tidak terlaksana secara maksimal, maka tidak akan ada output konkrit yang dihasilkan. 15 Hal ini tentu tepat, mengingat pelaksanaan segala perencanaan adalah wujud nyata bagaimana sebuah perencanaan dikatakan applicable (dapat diterapkan). Kemendikbud telah memberikan rambu-rambu bagaimana pembelajaran dapat dilaksanakan secara ideal. Sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan alokasi waktu, mempersiapkan buku teks pelajaran, dan mengelola kelas dengan baik. Masing-masing jenjang pendidikan memiliki alokasi waktu tersendiri. Untuk SD/MI adalah 35 menit, SMP/MTs 40 menit, dan SMA/MA/SMK/MAK adalah 45 menit tiap jam tatap muka. Adapun pengelolaan kelas meliputi keseluruhan kegiatan yang dilakukan pendidik dengan maksud menciptakan suasana pembelajaran menjadi senyaman mungkin dan seefektif mungkin. 16 Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran, yang merupakan implementasi dari Silabus dan RPP. Pelaksanaan pembelajaran ini meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Secara umum, kegiatan pendahuluan berisi penyiapan keadaan peserta didik secara fisik maupun psikis, pemberian motivasi, pengajuan pertanyaanpertanyaan inspiratif, penjelasan tujuan pembelajaran serta cakupan materi yang akan dipelajari. Pada kegiatan inti, pendidik menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Pada tahap kegiatan penutup, guru bersama siswa baik secara individual maupun kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi seluruh kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan, menemukan manfaat pembelajaran, memberikan umpan balik, memberikan tindak lanjut, serta menginformasikan
15
14
Untuk elaborasi, lihat Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2013), 5.
Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: Refika Aditama, 2008), 11. 16 Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, 8.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 83
kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. 17 Pembelajaran SPI dilaksanakan mengikuti arahan Kemendikbud ini. Bukan berarti keseluruhan materi harus dilaksanakan persis seperti yang tertulis, namun harus tetap memberikan ruang untuk fleksibilitas pelaksanaan pembelajarannya. Pemilihan pendekatan, strategi, metode maupun media pembelajaran dapat disesuaikan dengan materi/tema yang akan dibahas. Mengingat materi SPI ini kebanyakan adalah bersifat uraian rangkaian sejarah, maka tentu penggunaan metode dan strategi harus dipilih sesuai dengan karakteristik materi-materi SPI itu sendiri. Banyaknya model pembelajaran dapat digunakan secara variatif oleh pendidik, agar peserta didik tidak merasa bosan dengan materi pembelajaran SPI. Beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya yaitu: 1. Jigsaw Model jigsaw menekankan pada kegiatan diskusi. Setiap kelompok bergantian mengajar pada kelompok lain, kemudian pendidik mengevaluasi hasil diskusi tersebut. 2. Mind Mapping/Concept Map (Peta Konsep) Model ini sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa, sehingga mereka mudah memahami materi yang akan dipelajari. Penyampaian materi dengan peta konsep akan memudahkan siswa untuk mengikuti dan memahami alur sejarah dan memahami secara menyeluruh. 3. Role Playing (Sosiodrama) Metode bermain peran ini mengarahkan siswa untuk memerankan sebuah fragmen-fragmen terkait materi pembelajaran. Makna materi akan lebih berkesan kepada mereka yang benar-benar memahaminya melalui penjiwaan peran tersebut. 18 4. Ceramah Metode ceramah cocok untuk penyampaian informasi pengantar pembelajaran dan membangkitkan minat/ketertarikan peserta didik. Sukses tidaknya metode ceramah sangat ditentukan oleh kemampuan guru menguasai suasana kelas, cara berbicara dan sistematika pembicaraan, jumlah materi yang disajikan, kemampuan memberi ilustrasi, dan sebagainya. 19 5. Tanya Jawab
17
Ibid., 9-10. Nazarudin, Manajemen Pembelajaran (Yogyakarta: Teras, 2007), 166. 19 Sudarwan Danim, Media Komunikasi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 36-37. 18
Tanya jawab adalah salah satu metode yang efektif dalam rangka memantapkan pengetahuan yang diperoleh siswa. Dengan interaksi yang berkesinambungan dan suasana partisipatif yang ditimbulkan, maka kesalahan dalam menangkap makna materi dapat dihindari semaksimal mungkin.20 6. Metode Karya Wisata Dengan melaksanakan karya wisata diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dari obyek yang dilihatnya. Banyak tempat bersejarah yang mengandung nilai-nilai keislaman, dan ini bisa menjadi tujuan karya wisata dalam pembelajaran SKI. 7. Timeline (Garis Waktu) Metode ini tergolong tepat untuk pembelajaran sejarah karena di dalamnya termuat kronologi terjadinya peristiwa. Dengan metode ini, peserta didik bisa melihat urutan kejadian dan akhirnya juga bisa menyimpulkan hukum-hukum seperti sebab akibat dan bahkan bisa meramalkan apa yang akan terjadi dengan bantuan penguasaan Timeline beserta rentetan peristiwanya. Berbagai model pembelajaran tersebut dapat dipadukan dengan variasi media pembelajaran baik berupa media audio, visual, maupun audiovisual yang kini mulai banyak jenisnya. Video-video sejarah peradaban Islam kini dapat diunduh dengan mudah melalui internet. Apabila buku-buku di sekolah dirasa kurang, maka dapat mencari sumber-sumber belajar lain misalnya dari majalah, surat kabar, ataupun mediamedia online yang kini dapat diakses hampir di seluruh wilayah Nusantara. Maka tak ada lagi alasan keterbatasan sumber belajar, karena semua dapat dijangkau dengan lebih mudah dan cepat. Perlu kreatifitas dan inovasi berkelanjutan dari seorang pendidik untuk mengarahkan proses pembelajaran peserta didiknya.
Evaluasi Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam yang Efektif Evaluasi merupakan suatu proses sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program dengan kriteria tertentu untuk keperluan pembuatan keputusan. 21 Evaluasi penting
20
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 142-143. 21 Muhaimin, dkk., Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Kencana, 2011), 373.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 84
dilakukan sebagai pencerminan dari ketercapaian tujuan dalam pelaksanaan sebuah pembelajaran.
berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik. 23
Mengenai penilaian proses pembelajaran yang belakangan ini sangat sering diperbincangkan adalah dengan menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment)yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa atau bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran.
Menurut Mukhamad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, kegiatan evaluasi dapat berjalan efektif dengan melalui tiga tahapan. Pertama penetapan alat ukur (standard), kedua mengadakan penilaian (evaluate), dan ketiga mengadakan tindakan perbaikan (corrective action). Pada tahap ketiga ini ada dua tindak lanjut yang mungkin dilakukan. Apabila program itu dinyatakan berhasil, maka akan ada perencanaan selanjutnya dengan tujuan memperoleh tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Namun apabila program itu kurang berhasil (bahkan tidak berhasil), maka akan diambil tindakan korektif guna memperoleh keberhasilan pada perencanaan berikutnya.24
Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik dapat digunakansebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai instrumen penilaian, seperti angket, observasi, catatan anekdot, dan refleksi. 22 Evaluasi pembelajaran tidak cukup hanya dari sisi pengetahuan saja, namun harus sampai kepada sisi afektif dan psikomotor peserta didik. Adapun mengenai penyusunan instrumen penilaian pembelajaran SKI, dapat mengacu pada arahan pemerintah sebagai berikut: 1. Penilaian Kompetensi Sikap Pendidik dapat melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian “teman sejawat” (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. 2. Penilaian Kompetensi Pengetahuan Pendidik dapat menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Ini juga dapat dilaksanakan baik secara individu maupun berkelompok, sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran. 3. Penilaian Kompetensi Keterampilan Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek, dan penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan
22
Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, 11.
Adapun beberapa bentuk tindak lanjut yang dapat dilakukan pendidik setelah melakukan evaluasi kepada peserta didik antara lain: 1. Remidi Merupakan tindakan yang diberikan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar. Maka tindakan ini bertujuan memperbaiki prestasi belajarnya sehingga dapat mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan.25 2. Pengayaan Yaitu tindakan yang diberikan kepada peserta didik yang telah sepenuhnya menguasai materi pelajaran. Sehingga siswa yang telah paham, menjadi semakin luas dan mendalam pengetahuannya.26 3. Laporan Hasil Belajar Peserta Didik Adalah suatu bentuk pelaporan tertulis yang berisi data hasil penilaian belajar siswa yang bertujuan sebagai tumpuan awal dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran selanjutnya.27 Dengan melihat berbagai uraian tersebut, maka evaluasi pada pembelajaran SPI penting dilakukan sebagai titik tolak pengambilan keputusan selanjutnya. Selama ini, evaluasi aspek kognisi (pengetahuan) selalu mendominasi wajah pendidikan. Namun dengan melihat kembali sasaran-sasaran pendidikan yang juga 23
Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemdikbud, 2013), 4-5. 24 Mukhamad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam: Konstruksi Teoritis dan Praktis (Malang: Aditya Media Publishing, 2012), 150-151. 25 Suwarto, Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 207. 26 Ali Imroni, Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 140. 27 Harun Rasyid dan Mansur, Penilaian Hasil Belajar (Bandung: CV Wacana Prima, 2007), 241.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 85
meliputi aspek afeksi (baik sikap spiritual maupun sosial) dan juga aspek psikomotorik (keterampilan), maka semestinya evaluasi pembelajaran SPI juga harus disusun sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodir penilaian di seluruh aspek pembelajaran. Dalam kurikulum 2013, yang belakangan mendapatkan perhatian lebih sehubungan dengan perinciannya dalam aspek evaluasi, telah dimunculkan tawaran-tawaran dalam rangka mengukur ketercapaian kompetensi individual untuk setiap mata pelajaran. Terlepas dari berbagai kelemahan implementasi maupun serangkaian kendala teknis yang terjadi, kurikulum 2013 telah memberikan format penilaian yang lebih spesifik yang langsung membidik aspekaspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Kompetensi inti yang empat itu (sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan) mengindikasikan bahwa kurikulum 2013 tidak serta merta mengedepankan aspek pengetahuan, namun juga ingin mengakomodir ketercapaian secara lebih konkrit. Tugas guru selanjutnya adalah mengembangkan itu semua agar konsep evaluasi yang komprehensif dapat dilaksanakan dengan baik.
pembuka, kegiatan inti dan penutup. Pendekatan, strategi, metode maupun media pembelajaran SPI dipilih sesuai dengan karakteristik tema yang akan dipelajari. Sementara itu, evaluasi pembelajaran SPI merupakan sebuah hal yang penting untuk dilakukan, sebagai dasar pengambilan langkah tindak lanjut pembelajaran. Evaluasinya meliputi seluruh aspek pembelajaran, yakni aspek kognisi, afeksi dan psikomotor. Instrumen penilaian yang digunakan menyesuaikan dengan aspek yang hendak dinilai.
Daftar Pustaka
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Danim, Sudarwan. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. Dawam, Ainurafiq dan Ahmad Ta’arif. Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren. Yogyakarta: Lista Friska Putra, 2004. Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
F. Penutup Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada uraian tulisan ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan. Manajemen pembelajaran SPI pada hakikatnya merupakan proses pendayagunaan seluruh komponen pembelajaran secara berkesinambungan guna mencapai tujuan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam yang meliputi berbagai aspek sejarah dan peradaban umat Islam terdahulu. Secara substantif, pembelajaran SPI diharapkan berkontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Peradaban Islam yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Perencanaan pembelajaran SPI meliputi penyusunan silabus dan RPP. Hal ini bertujuan agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik. Adapun pelaksanaan pembelajaran SPI diawali dengan memperhatikan alokasi waktu, penyiapan buku teks pelajaran dan mempersiapkan pengelolaan kelas. Berikutnya dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran yang terbagi dalam kegiatan
Hanafi. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012. Husain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti. Bandung: CV Gema Risalah Press, 1994. Ilyasin, Mukhamad dan Nanik Nurhayati. Manajemen Pendidikan Islam: Konstruksi Teoritis dan Praktis. Malang: Aditya Media Publishing, 2012. Imroni, Ali. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Khaldun, Ibn. Mukaddimah Ibn Khaldun, terj. Masturi Irham, dkk. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012. Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen Kepemimpinan Pendidikan Islam. Bandung: Refika Aditama, 2008.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 86
Muhaimin, dkk. Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kencana, 2011.
Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud, 2013.
---------. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 79.
Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2011.
Nazarudin. Manajemen Pembelajaran. Yogyakarta: Teras, 2007. Permenag RI Nomor 912 Tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. Jakarta: Kemenag, 2013.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Suwarto. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Syafruddin dan Irwan Nasution. Manajemen Pembelajaran. Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Rasyid, Harun dan Mansur. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV Wacana Prima, 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, 2003.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004. Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Kemdikbud, 2013.
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 87
KONSEP REZEKI DALAM PERSPEKTIF SAINS
Sodikin
Dosen STIT PGRI Pasuruan
Abstrak Sebagai seorang muslim kita telah sepakat bahwa Allah telah menjamin kehidupan manusia di muka bumi ini. tidak satu makhluk hidup pun yang terabaikan di dunia. Namun, realita kehidupan manusia global masih bingung dan teradang masih ragu tentang konsep al-qur’an tentang rizqi Allah. Dalam penulisan ini akan mencoba menggali ayat-ayat al-qur’an tentang konsep rizqi. Untuk slanjutnya ayat-ayat tersebut akan diintegrasikan dengan konsep sains yaitu dengan konsep ranta makanan. Dalam artikal ini nampak jelas bahwa Allah telah menghamparkan alam semesta ini untuk kebutuhan manusia. Akan tetapi manusia mengalamikefakiran dan kemiskinan karena keluar dari siklus makanan yang ada
Kata Kunci: Konsep Rezeki, Perspektif Sains
A. Latar Belakang Berbicara tentang siklus makanan dan jaringjaring makanan yang ada di bumi, berarti secara tidak langsung kita membicarakan dunia fisik yang berhubungan dengan indera. Di dalam Al-qur’an banyak membicarakan tentang hal ini, kurang lebih sekitar 750 yang merujuk pada fenomena alam.1 Hampir seluruhnya ayat ini menyuruh manusia untuk mempelajari al-Kitab (hal-hal yang berhubungan dengan) penciptaan dan merenungkan isinya. Namun dalam pembahasan ini akan difokuskan tentang bagaimana Allah menciptakan siklus kehidupan yang ada di bumi. Lebih spesifik lagi bagaimana Allah menciptakan siklus makanan dan jarring-jaring makanan dengan sangat rapi, sehingga terjadilah siklus kehidupan yang indah. Adapun tujuan dari pemahaman siklus makanan dan jaring-jaring makanan ini adalah untuk meyakinkan manusa bahwa Allah menciptakan mereka, ditanggung dengan rizkinya. Allah hendak meyakinkan manusia bahwa manusia hidup dengan rizkinya masing-masing. Adanya kefakiran dan kemiskinan dikarenakan ketidak tahuan manusia tenang siklus makanan, atau bisa karena kedzaliman manusia karena merusak ekosistem alama. Kerusakan lingkungan berdampak pada kerusakan rantai makanan. Kemudian berujung pada kefakiran 1 Mahdi Ghusyani, Filsafat-Sains Menurut AlQur’an, (Bandung: Mizan, 1998) hal-78
dan kemiskinan yang melanda kehidupan manusia. Sebagaimana firman-Nya:
ستَقَ َّر َها َ َّض ِإال ْ َّللا ِر ْزقُ َها َو َي ْعلَ ُم ُم ِ َّ علَى ِ َو َما ِم ْن دَا َّب ٍة فِي األ َ ْر ين َ ست َ ْو َد ْ َو ُم ٍ ع َها ُك ٌّل فِي ِكتَا ٍ ِب ُمب
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya”.
Kata-kata dabah dalam ayat tersebut mencakup semua manusia dan hewan. Rasyid rida menjelaskan kata dabah secara hakiki dan majazi. Yang hakiki seperti merangkaknya anak kecil, orang tua renta, kala jengking, belalang. Secara majazi seperti orang yang sedang mabuk dan sedang keracunan dalam dirinya.2 Sementara menurut Qurash Shihab, makna dasar dari dabah adalah bergerak dan merangkak. Pemilihan kata itu mengesankan bahwa rezeki yang dijamin oleh Allah itu menuntut setiap dabah untuk memungsikan dirinya sebagaimana namanya , yakni bergerak dan merangkak tidak tinggal diam menanti rezeki yang disediakan Allah. 3 Berangkat dari ayat tersebut, akan dibicarakan bagaimana Allah menjalankan kehidupan di bumi ini 2
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar Juz 12,(Mesir: Al-Manar, 1350), hal-12 3 M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), hal-326
88|JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016
melalui berbagai instrumen kehidupan yang telah diseting oleh Allah swt. Pada suatu sisi, dan pada satu sisi yang lain Allah memberikan instrumen dalam diri manusia untuk menggapai rizki yang telah disiapkan oleh Allah tersebut. Semua itu sebagai bukti atas ke maha besarannya, yang kemudian Allah memerintahkan umat manusia agar senantiasa mensyukuri segala karunia yang telah dipersiapkan untuk kehidupan manusia. Sesungguhnya telah kami tempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami jadikan bagi kalian di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur (QS. 7:10). Dan Dialah yang menjadikan binatangbinatang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui (QS. 6:97). Dan dia telah menundukkan untukmu semua yang ada dilangit dan di Bumi (QS 45: 13).
Selanjutnya, dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang hancurnya siklus alam karena berbagai ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, sehingga hancurnya siklus alam akan berdampampak kerusakan umat manusia itu sendiri. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat, dilaut dan di udara. Ketiadaan keseimbangan itu, mengakibatkan bencana bagi makhluk hidup termasuk manusia. Semakin banyak kerusakan pada lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya.4 Allah berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, seingga akibatnya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali. (QS. Ar-Rum: 41). Alam raya dengan segala bagiannya yang rinci , saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Seluruhnya saling pengaruh-mempengaruhi, dan semuanya, pada akhirnya bertumpu dan kembali
4
M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), hal-101
pada Allah swt. 5Keteraturan ciptaan Allah hanya bisa diketahui oleh mereka yang memang berusaha ingin mengetahuinya (ilmuan). B. Komponen Penyusunan Ekosistem Sebagaimana yang telah di paparkan oleh M. Qurash Shihab bahwa Alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain.6 Saling berhubungan dan saling berkaitan antara makhluk hidup dengan lingkungannya (makhluk tak hidup), dalam ilmu sains disebut dengan istilah ekosistem.7 Contoh dari ekosistem adalah hutan, sawah sungai danau dan laut. Cabang ilmu biologi yang khusus mempelajari ekosistem adalah ilmu ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. 8 Al-qur’an banyak menjelaskan tema-tema tersebut melalui beberapa ayatnya yang lazim disebut dengan istilah ayat kauniyah (ayat sains), yang merupakan salah satu unsur topic pembahasan dalam al-qur’an. Tujuan utamanya tidak lain adalah agar manusia bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah disediakan untuknya. Di antara ayat-ayat kauniyah yang membahas tentang ekosistem, adalah sebagai berikut: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumu dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS. Al-Rum: 24). Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi, bagaimana ia dihamparkan (QS. Al-Ghashiyah: 17-20). Dan tiada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah pembendaharaannya dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS. 15: 21).
5
M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena,hal-101 6 M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena,hal-101 7 Soedjiran Resosoedarmo, dkk.,Pengantar Ekologi, (Bandung: Remaja Karya CV, 1984), hlm. 7 8 Soedjiran Resosoedarmo, dkk.,Pengantar Ekologi, hlm. 7
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 89
…….. dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukurannya. (QS. 15: 19) .… dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. 25:2). C. Komponen Penyusunan Ekosistem Adapun komponen penyusun ekosistem sebagai sebuah fasilitas hidup yang telah Allah sediakan bagi manusia di atas bumi adalah sebagaimana yang Allah firmankan: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari angkasa berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya (terdapat) tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. Al-Baqarah: 164).
Ketika ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw. Beliau menangis hingga air mata beliau membasahi lantai. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui Atha’ bahwa suatu ketika ia bersama beberapa rekannya mengunjungi istri Nabi saw. Aisya ra. Untuk bertanya tentang peristiwa apa yang paling mengesankan beliau dari Rasulullah saw. Aisyah menangis sambil berkata” “semua yang beliau lakukan mengesankan. (kalau harus menyebutkan satu, maka) pada suatu malam, yakni dimalam giliranku, beliau tidur berdampingan denganku, kaki beliau menyentuh kulit ku, lalu beliau bersabda:”Wahai Aisyah, izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku” “Aku berkata-jawab Aisyah-‘ Demi Allah, aku senang berada disampingmu, tetapi aku senang berada disampingmu, tetapi aku senang juga engkau beribadah kepada Tuhanmu. Maka beliau pergi berwudhu, tidak banyak air yang beliau gunakan, lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga membasai jenggot beliau, lalu sujud dan menangis hingga membasai lantai, lalu berbaring dan menangis. Setelah itu Bilal ra. Datang untuk mengumandangkan adzan shalat subuh. Aisyah lebih lanjut bertutur, “Bilal bertanya kepada Rasulullah , apa yang menjadikan beliau menangis sedang Allah telah mengampuni dosa beliau yang lalu dan yang akan datang? Rasul saw. Menjawab : “Aduhai Bilal, apa yang dapat membendung tangisku padahal semalam Allah telah menurunkan kepada ku ayat:
Inna Fi Kholq assamawati dst. (Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal)”(QS. Ali Imran: 190). Sungguh celaka siapa yang membacanya tapi tidak memikirkannya. 9 Secara eksplisit, ayat diatas mempunyai makna yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Karena keberadaan ayat tersebut sebagai salah satu instrumen bagi menusia untuk mengenal Tuhannya dan mensyukuri atas berbagai instrumen yang telah disiapkan oleh Allah untuk kehidupan umat manusia. Tangisan beliau menunjukkan bahwa betapa pentingnya umat manusia memikirkan segala nikmat itu secara mendalam sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Allah berfirman: Dan Allah, Dialah yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau angin itu ke suatu negeri yang mati, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan air hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu (QS. Fatir [35]: 9). Secara tersurat, ayat tersebut menjelaskan penciptaan bumi, hujan, menciptakan kehidupan dari air setelah mati (kering) nya merupakan bagian dari salah satu jenis ayat yang mengagungkan dan besar pengaruhnya. Kata (menghidupkan bumi.......) yakni manusia menemukan bumi yang kering dan gersang serta tidak ada sifat-sifat kehidupan seperti berkembang, mengkonsumsi, dan memproduksi, Allah kemudian menghidupkannya dengan sebab air itu. Kemudian tersebar macam-macam kehidupan yang berjalan diatas bumi yang tak terhitung dan tak terhingga. Dan dengan air, tanah menjadi hidup dengan tumbuh-tumbuhan yang kemudian menjadi makanan hewan. 10Maka sangat jelas bahwa ketersediaan rezki di dunia, Allah menyiapkannya melalui satu kesatuan yang utuh dan berkaitan dengan satu sama lain yang dalam istilah biologi disebut dengan ekosistem. Ekosistem dibentuk oleh kumpulan berbagai macam makhluk hidup beserta benda-benda tak hidup. Semua makhluk hidup yang menyusun suatu ekosistem disebut komponen biotik. Sedangkan benda-benda tak hidup dalam suatu ekosistem disebut komponen abiotik. Di dalam ekosistem, komponen abiotik dan komponen biotik
9
M. Qurash Shihab, Dia Dimana-mana Tangan Tuhan Di Balik Setiap Fenomena, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), hal-6 10 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar Juz 2,(Mesir: Al-Manar, 1350), hal-60
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 90
saling mempengaruhi. 11 Allah menciptakan system yang sangat mengagumkan di dalam alam jagad raya ini yang bermanfaat dan berguna bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Allah juga telah menciptakan siklus alam yang menunjukkan keterkaitan serta pengaruh antara satu bagian alam dengan bagian alam yang lainnya. Karbon adalah bagian dari semua makhluk hidup. Ia bergerak disekeliling dunia kehidupan dalam siklus yang konstan. Tumbuhan menyerap karbon dioksida dari atsmosfir. Sedangkan hewan, termasuk manusia, mengambil karbon ketika makan. Karbon dilepaskan ketika tumbuhan dan hewan terurai. Itulah siklus karbon. Di sisi lain, selama proses photosyinthesis, semua tumbuhan melepaskan oksigen. Manusia yang mengeluarkan karbon dioksida, dan diserap oleh tumbuhan, mengambil pula apa yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu. Demikian siklus oksigen, dan seterusnya.12 Begitulah Allah mengatur sedemikian rupa alam semesta ini untuk keberlangsungan umat manusia.
1. Komponen Biotik Komponen biotik adalah lingkungan biologis yang meliputi seluruh organisme yang mempengaruhi kehidupan individu, populasi, atau spesies.13 Berdasarkan cara memperoleh makanannya, komponen biotik dalam suatu ekosistem dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu produsen (penghasil), konsumen (pemakai) dan dekomposer (pengurai). Allah berfirman: Dialah, Yang menurunkan air hujan dari langit untukmu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan yang (pada tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman: zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yang bertafakkur (QS. Sn-Nahl: 10-11). Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber di bumi, kemudian di tumbuhkan-Nya dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu
melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikanNya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memahami (Qs. Az-Zumar :21). Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menurunkan air yang mempunyai banyak fungsi bagi kehidupan yang ada diatas bumi, baik manusia atau makhluk hidup lainnya. Berbagai macam tumbuhan, buah-buahan yang beraneka ragam, semuanya diaspkan, dan tidak akan pernah habis sebagai konsumsi penduduk bumi, karena penciptaan itu diatur sedemikian rupa sebagai siklus kehidupan. Dalam penelitian empiris dapat diketahui bahwa air hujan yang turun dari langit akan terbagi menjadi berbagai bagian, yaitu yang mengalir dipermukaan bumi, serta yang masuk kedalam bumi, serta yang masuk kedalam bumi, yang tertahan direservoir dalam bentuk bensin di dalam tanah, mata air dan lain-lain sehingga semuanya membentuk sumber air yang menguap pun akan kembali ke atmosfir melalui evapotranspirasi dan melalui proses fisika kimia, uap ini berkumpul menjadi awan yang selanjutnya akan berpengaruh dalam geofisika dalam bentuk guruh dan angin. Akhirnya siklus itu berulang lagi. 14 Dari pemaparan di atas, nampak jelas bahwa Allah menyiapkan kebutuhan manusia dibumi sebagai konsumsi bagi semuanya yang disebut dengan produsen. Produsen adalah makhluk hidup yang dapat menghasilkan makanan sendiri, yaitu tumbuhan. Tumbuhan dapat membuat makanan sendiri melalui proses fotosintesis. Energi yang digunakan dalam fotosintesis diperoleh dari energi matahari, sehingga matahari merupakan sumber energi utama bagi kehidupan di bumi. Konsumen tidak dapat membuat makanan sendiri di dalam tubuhnya sehingga disebut heterotrof. Mereka mendapatkan zat organik yang telah dibentuk oleh produsen atau dari konsumen lain yang menjadi mangsanya. Zat-zat organik ini digunakan oleh konsumen sebagai sumber energy. 15. Organisme yang memakan produsen (hewan herbivora) disebut konsumen pertama. Organisme yang memakan hewan herbivora (hewan karnivora) disebut konsumen kedua. Organisme yang memakan konsumen kedua disebut konsumen ketiga, dan
11
Wasis dan Yuli , hal-217 M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena,hal-100 13 Harsoyo Purnomo, Dasar-dasar Ilmu Lingkungan, (Semarang. IKIP PGRI Semarang, 2006), hlm-6 12
14
Abdul Majid et al, Mu’jizat al-Qur’an dan asSunah tentang Iptek, (Jakarta: Gema Insani Press), hal-6061 15 Soedjiran Resosoedarmo, dkk.,Pengantar Ekologi, (Bandung: Remaja Karya CV, 1984), hlm. 8
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 91
seterusnya. Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang berperan sebagai pengurai zat-zat yang terdapat dalam makhluk hidup yang sudah mati. Jadi dekomposer menguraikan zat organik menjadi bahan anorganik kembali yang dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen. Contoh dekomposer dalam ekosistem adalah bakteri dan jamur saprofit. Arisworo mengungkapkan bahwa di dalam ekosistem, setiap jenis makhluk hidup memerlukan tempat atau lingkungan yang sesuai untuk kehidupannya”. Tempat yang sesuai bagi makhluk hidup untuk melakukan aktivitas hidupnya disebut habitat. Habitat menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi makhluk hidup. Setiap jenis makhluk hidup mempunyai peranan atau pekerjaan tertentu dalam ekosistem. Peranan makhluk hidup pada suatu ekosistem disebut nisia. Nisia berkaitan dengan jenis makanan, cara mencari makan, dan waktu mencari makan.
2. Komponen Abiotik Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang memengaruhi distribusi organisme, yaitu:
a. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu, mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya. b. Air. Ketersediaan air mempengaruhi distribusi organisme, organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun. c. Garam. Konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi. d. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang
besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan. e. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah. f. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu. D. Hubungan Saling Ketergantungan Di dalam ekosistem terjadi saling ketergantungan antar komponen, sehingga apabila salah satu komponen mengalami gangguan maka mempengaruhi komponen lainnya. Ekosistem dikatakan seimbang apabila jumlah antara produsen, konsumen I dan konsumen II seimbang.
1. Komponen biotik mempengaruhi komponen abiotik. Contohnya adalah tumbuhan hijau dalam proses fotosintesis menghasilkan oksigen, sehingga kadar oksigen meningkat dan suhu lingkungan menjadi sejuk. Jadi tumbuhan hijau (komponen biotik) mampu mempengaruhi komposisi udara dan suhu lingkungan (komponen abiotik). 2. Komponen abiotik mempengaruhi komponen biotik. Contohnya adalah cahaya, tanah, air, udara, dan unsur hara (komponen abiotik) mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (komponen biotik). Sedangkan contoh hubungan saling ketergantungan antara sesama komponen biotik adalah sebagai berikut.
1. Saling ketergantungan intraspesies (makhluk hidup sejenis). Contohnya sekumpulan lebah saling bekerja sama mengumpulkan madu sebagai cadangan makanan di sarangnya. 2. Saling ketergantungan antarspesies (makhluk hidup tidak sejenis). Contohnya tanaman kacang-kacangan memerlukan bakteri Rhizobium untuk membantu menambah nitrogen bebas dari udara, sedangkan bakteri Rhizobium memerlukan media atau substrat dan makanan untuk hidup. Saling ketergantungan antarspesies yang berbeda jenis juga terjadi dalam peristiwa makan
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 92
dan dimakan. Peristiwa makan dan dimakan menimbulkan perpindahan materi dan energi. Hal ini akan membentuk jaring-jaring kehidupan yang terdiri dari rantai makanan, jaring-jaring makanan, dan piramida makanan.
E. Rantai Makanan Dalam Pespektif Al-Qur’an Allah adalah adalah Rabb (pemelihara) semua mahluk ciptaan-Nya. Ini berarti bahwasanya tidak ada satu makhluk pun di bumi kecuali rizkinya telah Allah jamin sampai pun burung yang terbang di udara, yang tidak ada yang menahannya di udara kecuali Allah dan tidak ada yang memberinya rizki kecuali Allah. Semua binatang melata di bumi dari yang terkecilnya seperti semut yang kecil sampai yang terbesarnya seperti gajah dan yang sejenisnya, semuanya telah Allah tanggung rizkinya. Allah berfirman:
ستَقَ َّر َها َ َّض ِإال ْ َّللا ِر ْزقُ َها َويَ ْعلَ ُم ُم ِ َّ علَى ِ َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي األ َ ْر ين َ ست َ ْو َد ْ َو ُم ٍ ع َها ُك ٌّل فِي ِكتَا ٍ ِب ُمب
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya”. Makhluk-makhluk Allah, itu semuanya mengenal Allah, sebagaimana Allah berfirman:
ٍيهنَّ َوإِ ْن ِم ْن ش َْيء ُ س ْب ُع َواأل َ ْر َّ س َم َواتُ ال َّ سبِِّ ُح لَهُ ال َ ُت ِ ِض َو َم ْن ف ْ َ َ َ َ َ ْ َون س ِبي َح ُهم ت ه ق ف ت ال ن ك ل و ه د م ح ب ح ب س ي ِ ُ ِ َ ِ ْ َ ِ ُ ِِّ َ ُ َِّإال ْ
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka.” (AlIsraa`:44) Maka burung-burung mengenal Penciptanya dan mereka terbang mencari rizki dengan fithrah yang Allah berikan kepada mereka yang dengan fithrah tersebut mereka mendapat petunjuk menuju apa-apa yang bermanfaat bagi mereka. Di akhir siang mereka kembali ke sarang-sarangnya dalam keadaan perut kenyang dan demikianlah keadaan mereka setiap hari dan Allahlah yang memberi rizki kepada mereka dan yang memudahkan rizki bagi mereka.16
Apakah mereka tidak memperatikan burungburung ketika terbang diatas mereka dan sering kali mengembangkan sayap-sayapnya dan sesekali mengatupkan sayap-sayapnya itu? Tidak ada yang menahan mereka di udara sehingga tidak jatuh baik dalam keadaan mengembangkan maupun mengatupkan sayap selain ar-Rahman Tuhan pelimpah rahmat bagi semua makhluk. Sesungguhnya dia terhadap segala sesuatu tanpa terkecuali maha melihat. (QS. Al-Mulk: 19). Allah mengingatkan manusia bahwa burungburung juga sama dengan manusia, yaitu suatu komunitas masyarakat tertentu. Bedanya, burungburung itu tidak pernah hawatir akan rezeki di hari esok. Makanan untuk esok akan mereka cari di esok hari pula. Ia tidak menyimpan makanan sebagaimana manusia. Di pagi hari ia pergi dengan perut kosong, namun kenyang di sore hari ketika ia sudah pulang. Oleh karena itu Rasulullah senantiasa mengingatkan manusia untuk beribrah pada burung. Rasulullah bersabda: Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, maka Allah pasti menganugrahi kamu rezeki, sebagaimana menganugerahi burung. Dia keluar di pagi hari dalam keadaan lapar, dan kembali di siang hari dalam keadaan kenyang. (HR. Turmudi). Burung lebih mengerti tentang sistem Allah yang telah ditetapkan sebelum lima ratus tahun penciptaan alam jagad raya ini. Tidak ada kehawatiran dalam diri mereka karena rezeki Allah senantiasa melimpah bagi segala makhluknya. Berbeda dengan manusia yang senantiasa diliputi dengan kecemasan dalam hari-harinya. Seakan-akan manusia tidak percaya tentang rezeki yang sudah dipersiapkan bagi setiap makhluk hidup, utamanya manusia yang diberi akal dan pikiran. Anak burung gagak yang kecil tanpa bisa terbang, Allah tidak mengalpakan untuk memberikan makanan kepadanya. Burung gagak memiliki kebiasaan yang buruk terhadap anak-anaknya. Saat menetas, sang induk akan meninggalkan anaknya karena berparuh besar dan tidak berbulu. Namun demikian sarag burung gagak yang bercampur dengan bulu, menjadi temapat berpijaknya lalat. Di situlah anak burung gagak akan memakan berbagai lalat yang menghampiri disarangnya. Begitulah Allah memelihara rezeki anak burung gagak yang belum bisa apa-apa di sarangnya, sebelum akhirnya
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
16
Syarh Riyadus Sholihin, juz I, hal-293-294
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 93
induknya akan kembali saat anaknya sudah berbulu dan kelihatan indah.17 Allah memberikan banyak gambaran tentang kehidupan manusia di berbagai macam tempat dan keadaan. Allah hanya meminta manusia untuk bersyukur atas segala nikmat yang diberikan pada manusia tersebut. Syukur mempunyai pengertian hendaknya manusia bisa beradaptasi dengan alam dan menerima apa yang disediakan Allah melalui alam tersebut. Rezeki Allah senantiasa tersedia untuk kehidupan umat manusia. Allah menceritakan bagaimana Nabi Musa dan kaumnya yang tersesat di padang pasir selama empat puluh tahun. Keteresatan itu menimpa mereka ketika enggan memenuhi perintah Allah memerangi sekelompok orang yang durhaka kepada Allah. Selama empat puluh tahun mereka kebingungan di padang tih ini. Meskipun demikian Allah tidak pernah memutus rezeki manusia. Ketika di padang tih itu, Allah memberikan rezeki bagi mereka berupa al-manna dan as-salwa. Allah berfirman: Dan Kami turunkan al-manna dan as-salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan pada kamu.(QS. Al-Baqarah: 7). Denganal-manna dan as-salwa itu mereka tidak perlu berpayah-payah mencari makanan ditengah padang pasir yang tandus itu. Allah senantiasa memelihara rezeki hambanya walaupun dalam kedurhakaan karena tidak melaksanakan perintahnya. Apabila dicermati pada peristiwa umat nabi Musa ketika tersesat di padang Tih, Allah memberikan rezeki al-manna dan as-salwa. Menurut para mufassir, al-manna adalah butiran warna merah yang terhimpun pada dedaunan, yang biasanya turun saat fajar menjelang terbitnya matahari. Sampai saat ini, menurut asy-Sya’rawi mufassir kenamaan dari mesir menjelaskan bahwa al-manna masih ditemukan di Iraq. Sementara Thahir ibnu Asyur menjelaskan bahwa al-manna adalah suatu bahan semacam lem dari udara yang hinggap di dedaunan mirip seperti gandum yang basah. Al-manna rasanya sangat lezat bagaikan manisan seperti madu. Sementaraas-salwa adalah sejenis burung. Suatu riwayat menginformasikan ia adalah sejenis burung puyuh yang datang berbondong-bondong, berhijrah dari satu tempat ketempat yang tidak dikenal dan mudah ditangkap untuk kemudian 17
M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena,hal-296
disembelih dan kemudian dimakan. Burung ini akan mati apabila mendengar suara guntur, oleh karena itu mereka berhijrah ke daerah yang bebas hujan. 18 Setelah empat puluh tahu mereka di padang Tih dengan makanan al-manna dan as-salwa. Allah memerintahkan mereka untuk memasuki kota Yarussalem. Allah memperkenankan mereka untuk memakan sekehendaknya dari hasil bumi yang memang tumbuh subur di kota Yarussalem. Allah berfirman:
Dan Ingatlah, ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis) dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak yang kamu suka. (QS. Al-Baqarah: 58). Allah senantiasa membimbing manusia untuk senantiasa beradaptasi dengan keadaan alam yang menaunginya. Dengan demikian, manusia akan dapat melangsungkan kehidupannya tanpa ada rintangan kehidupan karena seleksi alam. Peristiwa diatas memberikan ibrah bagi umat manusia agar senantiasa menyesuaikan keadaan diamana ia berada dalam proses keberlangsungan hidup umat manusia. Maka dari itu pada ayat selanjutnya menjelaskan kemarahan Nabi Musa pada umatnya untuk didatangkan makanan yang biasa tumbuh ditempat yang subur, padahal mereka masih berada di padang Tih. Allah berfirman: Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak sabar dengan satu makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami pada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan Bumi yaitu sayur mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata, maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagi pengganti yang lebih baik, pergilah kamu ke kota, pastilah kamu akan memperoleh apa yang kau minta. Dan ditimpakan atas mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah (QS. Al-Baqarah: 61). Ayat ini menjelaskan kemarahan Nabi Musa atas kaumnya yang tidak mau menerima keadaan saat di padang Tih. Oleh karenanya mereka digertak agar pergi ke kota dimana fir’aun berkuasa pada saat itu. Yang pasti walaupun mereka mendapatkan 18 M. Qurash Shihab, Tafsir al-Misbah,juz1(Tangerang: Lentera Hati, 2000), hal-196
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 94
makanan yang mereka inginkan, namun mereka akan tetap memperoleh kehinaan karena akan menjadi kedzaliaman tentara-tentara fir’aun. F. Kesimpulan Maha besar Allah atas segala ciptaannya. Tidak ada yang teralpakan dari segala yang ada di bumi ini dari perhatiannya. Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini beserta rizki untuk kehidupannya. Rizki makhluk yang ada di bumi tidak akan pernah habis ditelan oleh waktu, karena dalam penciptaannya telah dirancng siklus kehidupan yang terus menerus untuk dimanfaatkan oleh manusia. Air yang turun dari langit, akan membasahi mumi, sebagian tersimpan di dalam perut bumi, sebagian diminim hewan, tumbuhan, dan sebagian yang lain untuk kebutuhan umat manusia, dan sebagian yang lain masih tetap terdiam di danau-danau, rawa-rawa, lautan agar terjadi proses penguapan, sehingga akan kembali ke atas untuk membentuk gumpalangumpalan mendung, dan pada akhirnya akan turun kembali menjadi air hujan. Terus menerus tiada berhenti, Maha besar Allah atas segala ciptaannya. Pada satu aspek yang lain, air menghidupkan bumi dari kegersangannya, dengan air itu, tanah menjadi subur dan menumbuhkan aneka ragam pepohonan dan buah-buahan. Satu sisi dimanfaatkan oleh makhluk hidup yang lain, dan satu sisi dimanfaatkan oleh umat manusia. Siklus itu akan terus berlanjut dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, selama tangan-tangan jahat manusia, memutus siklus itu. Allah maha pengasih dan maha penyayang kepada hamba-hambanya.
DAFTAR PUSTAKA
Mahdi Ghusyani, Filsafat-Sains Menurut AlQur’an, (Bandung: Mizan, 1998). Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar Juz 12,(Mesir: Al-Manar, 1350). M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-Mana Tangan Tuhan di Balik Semua Fenomena, (Tangerang: Lentera Hati, 2011) Soedjiran Resosoedarmo, dkk.,Pengantar Ekologi, (Bandung: Remaja Karya CV, 1984) Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar Juz 2,(Mesir: Al-Manar, 1350) Harsoyo Purnomo, Dasar-dasar Ilmu Lingkungan, (Semarang. IKIP PGRI Semarang, 2006. Abdul Majid et al, Mu’jizat al-Qur’an dan asSunah tentang Iptek, (Jakarta: Gema Insani Press) John W. Kimbal, Biologi Jilid 3, Edisi Kelima, Penerjemah Siti Soetarmi Tjitrosomo, dkk.,(Jakarta: Erlangga,1999)
Tujuan dari segala yang dipersiapkan Allah untuk semua manusia, tidak lain agar senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya. “Dan apabila kamu bersyukur, maka akan menambhkan kalian, dan apabila kufur, maka sesungguhnya siksaku amat pedih”
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 95
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 96
PETUNJUK BAGI PENULIS Artikel yang dikirim harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Arttikel harus merupakan karya orisinil dan belum pernah dipublikasikan dimedia apapun. Tema tulisan adalah seputar kajian pendidikan Islam. 2. Panjang tulisan antar 15-20 halaman, diketik dengan spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 dengan font Times New Roman ukuran 12 Pt dan kata-kata / bahasa arab menggunakan Tradisional Arabic dengan ukuran 16 Pt. 3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia, Inggris yang baku dengan ragam tulisan ilmiah. 4. Sistematika tulisan terdiri dari : Judul, Nama penulis, dan Identitas /asal lembaga penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, pembahasan ( terdiri dari sub-sub bab ), penutup, daftar pustaka. 5. Abstrak dibuat antara 150- 200 kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris dan kata kunci ( 4-6 kata ) dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 6. Setiap bahasa asing dan bahasa daerah, selain nama orang dan tempat, serta yang belum terserap dan terbukukan dalam bahasa Indonesia ditulis dengan cetak mirig (Italic), khusus kata arab ditulis Italic dengan mengikuti pedoman transliterasi. 7. Kitipan dibuat dalam bentuk footnote dengan mengikuti sebagai berikut: a. Buku James dean Brown, Testing in language program ( New Jersey: Prentice-Hall Regents, 1996), 35 b. Buku terjemahan Mehdi Nakosteen, kontribusi Islam atas dunia barat, terj. Joko. S.Kandar dan Suprianto Abdullah (Surabaya: Risalah gusti, 2003), 101 c. Kitab Suci Qs. Al-Maidah: 12 8. Penulis dapat mengirimkan file artikelnya dalam bentuk CD ke alamat:
[email protected]
JURNAL AL- MAKRIFAT Vol 1, No. 01, April 2016 | 97