Aku Dan TUHAN yang Tahu
Bab 12 Awan Kapas
Suatu subuh yang dingin di mana orang-orang desa masih belum terlihat beraktivitas. Langit masih terlihat hitam. Di hamparannya bertabur rapi bintang kemintang dengan kerlap-kerlip yang indah luar biasa. Bulan sabit yang cerah, sebentar lagi akan menghilang karena ia akan diselimuti awan kelabu yang berjalan pelan dari arah barat. Bulan itu akan pamit, sebentar lagi akan terlelap karena sepanjang malam telah menerangi jagat raya. Kini bulan itu bersembunyi di balik selimut indahnya. Sebagian sinarnya menyeruak halus di bagian awan yang tipis. Di bagian awan yang tebal, cahaya bulan itu mengendap sehingga awan kelabu tadi tampak sedikit mengerikan seperti kapas yang beterbangan terbakar api. Di bawahnya, daun-daun mangga berguguran karena terjangan ayam yang baru saja terbangun dari lelapnya. Ranting-ranting kecil itu berayun-ayun pelan karena kepakan sayap ayam-ayam kampung yang begitu kuat disambung dengan kokokan lantang yang menjalar ke celah-celah perkampungan orang-orang desa. Mereka amat gigih berseru-seru agar orang desa yang yang tebal imannya bisa melepas lilitan selimut itu dari tubuhnya lalu bergegas membasuh wajahnya dengan air wudu. Lalu ayam-ayam yang lain dari segala arah bersahut-sahutan saling timpal-menimpali seolah-olah memamerkan komitmen mereka yang luar biasa karena selalu bisa bangun tepat waktu. Itu sebuah sindiran ha96
Aku Dan TUHAN yang Tahu
lus dari mereka untuk menggetarkan hati manusia yang berakal. Indah sekali panorama desa di saat-saat begini. Pengeras suara dari masjid dan surau-surau kecil kampung mulai menambah keramaian subuh yang dingin. Beraneka macam karakter suara muazin menyengat-nyengat kuping warga yang malas bangun, mulai dari yang lembut sampai yang amat serak sekali pun― mungkin karena tak sempat minum air putih ketika baru bangun sebab pengabdiannya kepada masjid sungguh sangat luar biasa. Tipikal suara kering kerontang seperti itu seringkali membuatku tak mampu menahan tawa bersama teman-teman mengajiku. Kadang muazin itu mengambil nada falseto tapi sayangnya tak pernah sempurna menurut penyanyi yang profesional. Tapi sekarang aku tahu. Tindakan menertawai itu adalah sangat dilarang. Orang yang mengumandangkan azan adalah jauh lebih mulia daripada penyanyi nomor satu mana pun yang dapat menyanyikan tembang-tembang paling top menurut mereka. Karena demikian saktinya seruanseruan yang mengajak untuk mendirikan salat itu, Allah sudah berjanji akan membuat telinga kita menjadi tuli di akhirat nanti jika tak menjawab seruan itu.
y Aku yang sedang berkostum lucu bergegas keluar rumah dituntun Ayahku menuju rumah Soni. Rumah soni masih gelap pertanda ia belum bangun. Hanya lampu luar rumahnya yang redup menemaniku di saat perasaanku mulai waswas karena kebun pisang yang berada di samping rumahnya itu terlihat menakutkan. Puluhan pohon pisang yang terkena sinar bulan yang remang-
97
Aku Dan TUHAN yang Tahu
remang karena ditutupi awan kelabu itu tampak seperti hantu. Ada yang terlihat seperti seorang pria tinggi kurus sedang melototiku. Sementara pohon pisang yang letaknya jauh-jauh dan tertutup oleh daunnya sendiri yang patah karena kering, membuatnya seketika terlihat seperti pocong yang menakutkan. Inilah efek buruk bagi anak kecil yang sering hadir di acara pemakaman. Karena sering menghadiri pemakaman, kadang aku sulit tidur dua sampai tiga malam. Aku ketakutan luar biasa. Tapi ketika ada warga yang meninggal, hal serupa selalu kuulangi. Aneh bukan? Aku takut tapi hal yang membuatku takut itu berulang-ulang kulakukan. Tapi sebenarnya tak apa. Berkat itu semua, sering aku berpikir bahwa aku dan semua kita ini akan mengalami kematian.
“Assalamualaikum! Soni.. Soni!!”
Begitu seruanku sampai ia menyalakan lampu ruang tamunya. Sementara di belakangku, Ayahku yang berjubah sarung sedang menggigil kedinginan. Aku kasihan melihatnya. Aku tahu beliau ingin cepatcepat salat subuh lalu menggulung badannya lagi di atas ranjang sembari menunggu pagi terang untuk kembali pergi bekerja di kebun. Akhirnya lampu ruang tamu itu menyala juga. Soni membuka pintu rumahnya dan menyuruhku masuk. Kira-kira lima menit menunggunya selesai memasang kostumnya, Ayahku terbebas. Beliau langsung pulang. Sedangkan kami berdua, subuh itu juga langsung pergi ke masjid untuk mengaji di TPQ. Subuh yang dingin tak menyurutkan tekad kami untuk menjumpai Ustad Ja’far yang luar biasa itu. 98
Aku Dan TUHAN yang Tahu
Jalan raya yang masih sepi menjadi saksi bisu dua anak kecil yang sedang haus ilmu. Di setiap sudut desa masih terpantul-pantul kokokan ayam kampung tak henti-hentinya menjalankan misi kebajikannya untuk membangunkan orang salat. Lalu kami melewati surau reyot yang peminatnya hanya sedikit, tak lebih dari lima orang. Sementara menunggu jamaah yang berminat datang, marbot itu terus menggoyang-goyangkan kepalanya sambil berzikir lantang di depan mikrofon tua. Bacaan-bacaan zikir itu demikian menarik karena dinyanyikan dengan gaya-gaya khas yang dimiliki desa kami. Kami sampai di sebuah tikungan yang gelap. Tikungan itu membelok ke kanan dan kira-kira 30 meter lagi kami akan tiba di TPQ. Di sisi kanan jalan raya, terdapat parit kumuh yang baunya menyengat-nyengat ke mana-mana. Parit itu biasanya digunakan untuk buang air besar oleh warga yang hasratnya sudah di ujung tanduk. Untuk hari-hari tertentu, di parit itu mengalir darah-darah amis dan kotoran-kotoran yang masih berbau hangat dari sapi atau kerbau karena tak jauh dari tempat kami yang sedang berjalan itu, terdapat tempat penjagalan. Sejak itu kuperhatikan Soni tak pernah lagi bicara. Tadinya bicaranya yang hanya sedikit dan masih bisa kumaklumi karena kami sama-sama masih kantuk, kini ia dingin membisu dan semakin mempercepat langkahnya. Ia semakin terlihat aneh seakan sedang khawatir berat karena ustad nomer satu itu akan diculik penjahat. Napasnya mendengus-dengus kencang karena langkah kakinya diayunkan semakin cepat. Aku yang
99
Aku Dan TUHAN yang Tahu
tak mengerti apa yang sedang terjadi, ikut-ikutan saja mempercepat langkah karena aku semakin jauh tertinggal di belakangnya. Tiada yang mengerti apa yang sedang terjadi waktu itu kecuali hanya dia sendiri. Begitu tiba di masjid, kami mengambil air wudu. Sebentar lagi ikamah, pertanda salat berjamaah akan segera dimulai. Soni masih bisu diam seribu bahasa. Wajahnya yang masih pucat ketakutan, dibilasnya dengan air wudu. Lalu di samping kirinya ada aku yang dari tadi masih kebingungan karena sikapnya. Aku mengikutinya berwudu. Salat berjamaah di suatu subuh yang dingin itu diimami Ustad Ja’far. Dibelakangnya, ada makmum yang jumlahnya lumayan. Di barisan pertama diisi penuh oleh kakek-kakek yang sudah renta, bapak-bapak agak tua maupun muda, dan pemuda-pemuda desa. Dibarisan berikutnya, ada aku dan Soni, diapit anakanak kecil yang lucu seusia kami. Subuh ini semakin berjiwa karena antusias kami semua yang luar biasa untuk menuntut ilmu, sehingga salat subuh berjamaah waktu itu sangat semarak. Belum lagi lengkingan-lengkingan tajam bacaan Al-Qur’an dari imam salat kami yang sebentar lagi akan disitirnya. Semua rasa cemas, ragu-ragu, kantuk, dan perasaan negatif lainnya akan tumpah belepotan karena tak ada yang tahan dengan lantunan-lantunan ayat suci yang dapat menyihir segala rupa keburukan itu. Tak usah dinyana lagi suasana yang tercipta di subuh yang dingin ini seperti apa. Kawan, sudah tentu ingat kan bagaimana ustad itu melantunkan Al-Qur’an? Lalu dapatkah dibayangkan bagaimana rasanya di subuh 100
Aku Dan TUHAN yang Tahu
yang dingin ini jika menggunakan kemeja lengan pendek, dan baru saja selesai berwudu? Serius! Dinginnya minta ampun sampai gigi-giku gemeratak dibuatnya. Tapi tahukah setelah ustad itu mulai menyitir ayat suci? Indahnya bukan main subuh itu walau dingin. Kami serempak terhipnotis. Pak tua renta yang tadinya terlihat oleng karena mungkin kantuk berat, lalu ada aku juga yang sedang kedinginan hebat, semua terkesiap tersengat setrum voltase tinggi dari lantunan tilawah yang berseni tinggi. Yang kurasakan adalah kedamaian tiada banding, seperti berada di taman bunga, atau di surga barangkali, lalu di sekelilingnya ada banyak manusia yang juga merasakan damai sama sepertiku. Suara ustad yang kering, tajam menyayat-nyayat hati siapa pun yang mendengarnya, subuh itu juga hatiku dipelintir bacaan ayat suci dari Pak Ustad karena cengkok-cengkoknya merana penuh makna. Kemudian bagi yang mendengarnya, timbullah sebuah penyesalan di lubuk hatinya yang paling dalam kenapa dulu tak sempat belajar mengaji. Seketika dingin yang tadi hilang, ditepis oleh saktinya ayat-ayat suci saat akan menyapa permukaan kulit. Begitu takzimnya aku hingga salam. Seperti biasa jika selesai salat, ada zikir-zikir kemudian diteruskan dengan do’a-do’a. Ustad Ja’far juga yang memimpin do’a waktu itu. Lalu orang-orang yang tak berkepentingan seperti kakek-kakek tak bergigi hanya tinggal gusi, bapak-bapak beranak tiga, tukang buka pintu air di sawah, pemuda desa yang pengangguran, waktunya mereka pamit pulang. Sebentar lagi ada acara khusus milik anak-anak kecil seperti kami yaitu meramaikan penjuru kampung dengan bacaan AlQur’an melalu pengeras suara empat penjuru angin mi101
Aku Dan TUHAN yang Tahu
lik Masjid. Aduh! Gawat sekali rupanya. Sebelum sampai giliranku memegang mikrofon, aku teringat ayahku di rumah. Semoga saja Ayah benar-benar sedang pulas setelah salat subuh tadi. Atau jika sedang tak tertidur, harapanku Ayah sedang bekerja di kebun: mengalirkan air dari gunung, mencangkul di bagian paling ujung kebun, lalu pendengaran ayahku disibukkan oleh daundaun bambu yang bergesek-gesek karena senggolan puluhan kera. Dengan begitu, sembunyilah suaraku di balik deburan air dan suara gesekan daun-daun bambu. Aku paling malu jika ada orang lain termasuk ayahku sampai mendengar suaraku mengaji. Ini penyakitku semasa kecil dulu. Aku minder sekali dengan tipikal suaraku yang kerontang, tandus, dan serak. Lalu mengenai napasku, pendek sekali dan gampang habis di tengah jalan. Belum lagi jika bacaan-bacaanku nanti banyak yang salah, maka akan dihakiminya aku ini oleh Pak Ustad lalu disemprotnya aku dengan gaya-gaya tilawahnya yang berseni tinggi. Suara Pak Ustad dan suaraku nanti akan terdengar seperti kicauan burung kenari dibalas dengan rengekan buruk mesin jet colled tua tahun 70an. Ketakutan semakin dekat saja lantaran mikrofon itu beberapa detik lagi ada di tanganku. “Bismillahirrahmaanirrahiim.... huk.. huk.” Aku berdeham. Begitu seterusnya setiap ayat. Ayat apa dulu yang kubaca? Aku lupa. Kadang juga sebelum sampai di tanda wakaf , napasku habis duluan. Begitu terus sampai habis bacaanku. Berbeda sekali dengan napas ustad itu yang mampu membaca banyak ayat dengan satu kali 102
Aku Dan TUHAN yang Tahu
tarikan napas saja, tentu juga bacaan itu dibaca dengan seni tilawahnya yang tinggi. “Rajin-rajinlah minum jeruk nipis hangat! Kalau bisa dicampur kecap.” Begitu sarannya kepadaku. Jam 6 pagi, Ustad Ja’far menutup jumpa dengan do’a-do’a. Kami pulang berhamburan mendekati tumpukan sendal. Kulirik Soni yang masih bisu. Wajahnya gugup, tegang, dan terlihat menyimpan sesuatu. Sangat misterius.[]
103