Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya
Kecintaan kepada Allah Swt. merupakan kecintaan yang begitu tinggi. Kecintaan kepada Allah Swt adalah kecintaan yang tak bisa ditandingi. Sedikitpun kita tak boleh mencintai makhluk melebihi cinta kepada Allah Swt. Allahlah yang menciptakan alam beserta isinya. Kecintaan kepada Rasulullah Saw merupakan kecintaan yang dilandaskan kepada kecintaan kita kepada Allah Swt. Cinta kita kepada Rasulullah harus melebihi cinta kita kepada diri kita sendiri. Rasulullah bersabda,”Belum dikatakan seorang mukmin bila kamu mencintai dirimu melebihi cinta kepada diriku”.
Kecintaan kepada Jihad fii Sabilillah merupakan kecintaan setelah kecintaan kepada Allah dan Rasulullah Saw.
Kecintaan kita kepada selain ketiga sosok di atas diperbolehkan sepanjang memenuhi dua syarat, yaitu 1. cinta kita karena Allah Swt semata 2. cinta kita tidak melebihi cinta kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, dan Jihad Fii Sabilillah.
Allah Swt berfirman dalam surat At Taubah ayat 24, yang berbunyi: “Katakanlah bila bapak, anak, istri, saudara, kaum kerabatmu, harta perniagaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, serta rumah yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad fii Sabilillah, tunggulah perhitungan (azab) Allah yang akan diberikan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasiqin.”
Mencintai Rasulullah Saw.
Pascawafatnya Rasulullah Saw., Bilal merasakan kerinduan yang sangat mendalam. Perasaan yang memuncak tatkala keinginan untuk bertemu dengan Rasulullah Saw muncul. Kesedihan dan kemurungan mengitari kehidupan Sang Bilal waktu itu. Tibalah pada sebuah malam, tatkala tidur, ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Dalam mimpinya itu, Rasulullah
1/6
Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
berkata,”Tidakkah engkau merindukan diriku?” Serta merta Bilal bangun dari tidurnya. Besoknya ia bergegas melakukan perjalanan dari negeri Syam menuju Madinah. Di sepanjang perjalanan tampak ia sangat murung dan bersedih. Manakala ia tiba di pekuburan, tersungkurlah tubuh dan wajahnya di pusara Rasulullah sambil tak kuasa membendung tangisan. Ia menangis terisak-isak. Rasa rindunya ia tumpahkan pada waktu itu. Tidak lama kemudian datanglah Hasan dan Husain, cucu Rasulullah Saw. Waktu itu mereka sudah beranjak remaja, sementara Bilal bin Rabah sudah sangat tua. Melihat kedua cucu Rasulullah berada di dekatnya. Serta merta ia memeluk keduanya sambil menangis seolah-olah merasa dekat dengan baginda Rasulullah Saw.
Kedua cucu Rasulullah tersebut meminta kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan di menara yang dulu digunakan mengumandangkan adzan tatkala Rasulullah masih ada. Bilal tak kuasa menolaknya, dan akhirnya ia pun dipapah menuju menara dan mengumandangkan adzan. Mendengar suara adzan, masyarakat Madinah tersentak dan teringat dengan suara adzan yang sangat tidak asing di telinga masyarakat Madinah. Mereka sangat hafal dengan suaranya. Ya, itu adalah adzan Bilal. Mereka pun bertanya-tanya, “Apakah Rasulullah dibangkitkan kembali? Apakah Rasulullah dibangkitkan kembali?” Pertanyaan tersebut terus diulang oleh masyarakat Madinah sambil tak kuasa menahan tangisan tanda kerinduan yang amat mendalam terhadap sosok Rasulullah Saw. Sedu sedanlah masyarakat Madinah waktu itu demi mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal bin Rabbah. Tatkala sampai pada kalimat, ”Asyhadu anna Muhammadarrasuulullah”, ia tak kuasa meneruskan adzannya.
Kisah di atas merupakan sebuah gambaran bagaimana kecintaan Bilal bin Rabbah dan masyarakat Madinah kepada kekasih Allah, Rasulullah Saw. Kecintaan yang diekspresikan berdasarkan larutan emosi yang begitu dalam seolah-olah larutan emosi tersebut tak pernah bisa mencair karena memang seharusnyalah demikian. Kecintaan kepada Rasulullah seperti yang digambarkan dalam kisah di atas merupakan kecintaan berdasarkan emosi atau Mahabah Athifiyah. Mahabah Athifiyah ini semestinya terdapat pula pada diri setiap pribadi muslim saat ini. Getaran emosi karena kecintaan kepada Rasulullah seperti ini adalah hal yang sangat wajar dan harus tertanam pada diri setiap pribadi muslim. Bila kita saksikan saat ini, wujud dari Mahabbah Athifiyah bervariasi, ada yang merayakan peringatan Maulid Nabi, melaksanakan pertunjukan sandiwara tentang Sejarah Rasulullah Saw, pembacaan Kitab Barjanzi, dan bentuk-bentuk lainnya.
Selain itu, sejarah pun membuktikan Mahabbah Athifiyah ini. Tatkala majalah Monitor membuat angket 100 tokoh yang dipilih oleh pembaca, tatkala posisi Rasulullah berada di urutan ke-13 di bawah Arswendo Atmowiloto dan K.H. Zaenudin M.Z., serta merta umat Islam Indonesia murka sehingga imbasnya adalah perusakan kantor Monitor dan pemenjaraan Arswendo Atmowiloto
2/6
Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
sebagai pemimpinan redaksi selama lima tahun. Begitu pula ketika Salman Rusdi, seorang India yang tingal di Inggris menghina Rasulullah Saw. menyebabkan dunia Islam sangat murka padanya berujung pada fatwa mati baginya.
Mahabbah Athifiyah tidaklah boleh berjalan sendirian. Ia harus didampingi bentuk kecintaan yang lain, yaitu Mahabbah Minhajiyah, yaitu kecintaan terhadap sunnah yang beliau bawa. Artinya, setiap pribadi muslim tidak boleh hanya memiliki satu sisi dari kedua cinta tersebut. Cinta kita kepada Rasulullah Saw berarti mau mengikuti sunnah-sunnah yang beliau bawa. Mahabbah Minhajiah inilah yang mampu mendorong Mahabbah Athifiyah sehingga akan melahirkan sikap-sikap seperti berikut ini.
A. Lebih Mencintai Rasulullah ketimbang Mencintai Diri Sendiri
Mahabbatu Aktsara min Ghoirihi bermakna kecintaan kepada Rasulullah harus lebih banyak porsinya dibandingkan kecintaan kepada hal-hal yang lainnya.
Suatu ketika Umar bin Khathab menemui Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulallah, aku mencintaimu!” “Seperti apakah cintamu padaku, hai Umar?” tanya Rasulullah. “Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!” sahut Umar. “Tidak, hai Umar! Engkau baru dikatakan mukmin bila engkau mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri,” Rasulullah menegaskan. Umar berkata, “ Kalau begitu aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri.” “Nah, sekarang baru benar,” kata Rasulullah.
Umar bin Khathab, merupakan sahabat yang sangat cinta pada Rasulullah Saw. Kecintaannya tidak sedikitpun berkurang hingga akhir hayatnya.
Sosok Umar bin Khathab merupakan cermin bagi pribadi muslim saat ini. Kecintaan kita pada Rasulullah harus melebihi kecintaan kepada diri sendiri. Rasulullah bersabda: ”Tidaklah beriman sesorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadist Riwayat Bukhari Muslim)
3/6
Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
Dalam Firman Allah ditegaskan pula bagaimana kecintaan kepada Allah, Rasul, dan Jihad fii Sabilillah harus di atas segala-galanya.
“Katakanlah bila bapak, anak, istri, saudara, kaum kerabatmu, harta perniagaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, serta rumah yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad fii Sabilillah, tunggulah perhitungan (azab) Allah yang akan diberikan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasiqin.” (Q.S. 9 : 24)
B. Menumbuhkan Ketaatan dan Ittiba’
Kecintaan kepada Rasulullah Saw. harus melahirkan ketaatan dan ittiba’, yaitu mengikuti sunnah-sunnah yang sudah diteladankan kepada setiap pribadi muslim. Belum bisa dikatakan cinta kepada Rasul bila pribadi muslim masih enggan menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah Saw.
Renungkanlah. Seberapa banyak sunnah Rasul yang sudah kita laksanakan. Sudah istiqamahkah kita dalam melaksanakan sunnah Rasulullah Saw. tersebut? Bila mau jujur, teramat sedikit sunnah Rasulullah yang sudah kita laksanakan dalam kehidupan kita, padahal diri kita termasuk yang belum mendapatkan jaminan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Kita belum banyak berkorban untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Boleh dikatakan, kepedulian kita terhadap sesama muslim teramat kurang. Nun jauh di sana, saudara-saudara kita berjuang mengibarkan panji-panji Islam, berkubang dengan keringat dan darah sampai pada titik perjuangannya yang membuahkan hasil yaitu mati syahid.
Namun demikian, kita tidak boleh putus asa dengan rakhmat Allah. Belum terlambat kiranya untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Belum terlambat kita mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Dan, belum terlambat bagi kita untuk berjihad di jalan Allah Swt. dengan harta dan jiwa kita.
Firman Allah berikut ini mudah-mudahan menjadi renungan bagi kita dalam menjalankan roda kehidupan di alam dunia yang fana ini.
4/6
Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
“Katakanlah! Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S. 3 : 31)
C. Sanggup Berkorban karena Cinta
Kecintaan kita kepada Rasulullah harus mewujudkan kesanggupan untuk berkorban dan membela beliau. Ketika nama beliau dijelek-jelekan oleh orang-orang kafir, “apakah kita akan berdiam diri?” Seorang muslim yang baik tentu tidak akan mungkin diam. Kita akan meluruskan persepsi yang keliru dari kaum kafir tersebut dengan lisan yang penuh dengan kebenaran yang dibingkai dengan keihsanan dan kebijaksanaan. Sekiranya, pelecehan, penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir tersebut sudah di luar kewajaran, pelurusan dengan fisik pun bisa jadi akan kita korbankan.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair. Ketika kaum musyrikin mengeluarkan Zaid bin Datsinah dari tanah haram untuk dibunuh di kota Tan’im, diperjalanan ia berjumpa dengan Khubaib bin Adi al Anshary yang juga ditawan. Lalu keduanya saling berwasiat tentang kesabaran dan keteguhan dari kebencian dan kekejian yang akan mereka derita. Abu Sofyan yang ketika itu masih musyrik, berkata kepada Zaid bin Datsinah, “Kau sangat hina Zaid, senangkah kau kalau sekarang Muhammad menggantikan kedudukan engkau dengan dipenggal batang lehernya? Dan kau kembali bersama keluargamu? “Demi Allah! Aku tidak akan senang kalau Nabi sekarang yang berada di tempatnya terkena duri sedikit pun, sementara itu aku duduk bersama keluargaku!” jawab Zaid bin Datsinah. Abu Sofyan lalu berkata, “Tak pernah kulihat seorang manusia mencintai manusia lainnya seperti para sahabat Muhammad mencintai Muhammad”.
Sungguh indah dan mengagumkan kecintaan Zaid bin Datsinah kepada Rasulullah Saw. Ia lebih baik terbunuh daripada Rasulullah yang terkena luka walaupun ringan sekali pun.
Imam Baihaqi pun meriwayatkan kisah tragedi Perang Uhud. Suatu berita sampai kepada Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah. Ia mengabarkan bahwa bapaknya, suaminya, dan saudaranya telah mati syahid di medan Uhud. Ketika menerima kabar itu, ia malah bertanya,”Apakah yang tengah dilakukan Rasulullah?” Maksudnya ia bertanya tentang keselamatan Rasulullah. “Alhamdulillah! Rasulullah sehat wal afiat, seperti yang kau inginkan,” jawab pemberi kabar. “Bawahalah aku kepadanya sampai aku bisa melihatnya,” ucap Nusaibah. Ketika melihat Rasulullah, ia berkata,
5/6
Mencintai Rasulullah SAW Written by Hadi ZM Saturday, 07 March 2009 22:24
“Setelah keselamatanmu ya Rasulullah, setiap musibah itu kecil, tak berarti sama sekali.”
Akankah kita berdiam diri manakala agama kita diinjak-injak oleh kaum kafir? Bila kita cinta kepada kepada Rasulullah Saw. tentu tak akan membiarkan agama kita dinjak-injak malah sebaliknya, berjuang dan berjuang sampai tegaknya kalimat Allah di muka bumi adalah sebuah keniscayaan yang akan datang seiring dengan berputarnya bumi ini. Akhirnya pilihan kita adalah hidup mulia atau mati syahid.
Wallahu alam bi shawab.
6/6