Konspirasi Air Seni Namaku Aska Ramadhan, aku terlahir begitu saja sebagai anak nomor dua dari tiga bersaudara yang kebetulan berjenis kelamin lelaki semua. Entah apa resep dari bapakku hingga bisa mendapat anak yang ketiganya laki-laki. Sampai saat ini hal tersebut masih kuanggap sebagai sebuah misteri Tuhan. Kakakku, mas Woko kini sudah hidup di tanah rantau. Bersahabat dengan hiruk pikuk kerasnya ibukota negara ini. Jakarta. Setelah lulus kuliah dari sekolah desain di Jogja dia pun langsung meninggalkan kota itu. Bahkan sebelum dia diwisuda, dia sudah mendapat pekerjaan di Jakarta. Mau tak mau tiap dua minggu sekali dia harus pulang ke Jogja untuk mengikuti bimbingan tugas akhirnya. Berkat kegigihannya itulah dia kini bisa bekerja sebagai direktur seni di sebuah agensi iklan di Ibukota.
2
Sementara adikku bernama Fadly Al Kautsar. Kini kuliah di salah satu kampus impian di Indonesia. STAN. Sekolah Tinggi Administrasi Negara. Menjadi impian karena siapapun yang berhasil bersekolah di kampus tersebut dipastikan mendapat pekerjaan yang mapan. Jika saja tidak kerja di Departemen Keuangan pastilah menjadi PNS atau BUMN. Mungkin adikkulah yang mampu mewujudkan keinginan orang tuaku untuk melihat anaknya menjadi Pegawai Negeri. Walaupun sebenarnya kedua orang tuaku sudah sangat memahami bahwa jalan rejeki seseorang bukan hanya dari PNS. Itulah sebabnya mereka mengijinkanku dan kakakku untuk berpetualang menjelajah luasnya dunia. Merentangkan sayap mengembara melewati satu angkasa ke angkasa yang lain. Tak mengapa asalkan kami masih berpijak di atas bumi yang sama. Dalam cerita pewayangan mahabarata, anak nomer dua dari Prabu Pandu Dewanata atau ayah dari para Pandawa adalah Bima Sena atau banyak dikenal dengan nama Werkudara. Sedangkan jika dilihat dari silsilah Dewi Kunti atau ibu
Pendawa.
Anak
keduanya
adalah
Yudhistira
atau
Puntadewa yang sangat terkenal akan kejujurannya hingga dijuluki sebagai seorang Ksatria Berdarah Putih. Tetapi sebagai tiga bersaudara yang berisi lelaki semua, kami sangat pantas jika dianalogikan sebagai anak-anak dari Werkudara itu sendiri.
3
Karena memang sama-sama berjumlah tiga. Antareja sebagai anak pertama, Gatotkaca anak kedua dan Ontoseno sebagai anak terakhir. Berarti aku memang pantas disamakan dengan Gatotkaca karena sama-sama sebagai anak penengah. Ksatria dari Pringgondani yang mempunyai berbagai keampuhan termasuk bisa terbang seperti Superman. Kadang-kadang aku bertanya apakah sebenarnya Superman bersahabat dengan Gatotkaca atau mereka sebenarnya berasal dari gank yang berlainan. Otot kawat balung wesi. Keturunan antara bangsa manusia dan bangsa raksasa yang gugur sebagai kusuma bangsa dalam perang Bharatayudha Joyo Binangun ditangan sang Paman, Ksatria Awangga Adipati Karna melalui senjata pamungkas Kunto Widjayadanu. Yah, berakhir tragis memang kisah Gatutkaca ini. Mungkin dikarenakan peraturan karma semesta aku jadi agak trauma dengan angka dua ini. Bukan, bukan taruma irama si raja dangdut itu. Angka dua banyak mewarnai beberapa kegagalan yang terjadi di masa lalu. Pertama adalah saat kuliah di Akademi Komunikasi dulu. Kuliahku hancur di tahun kedua, entah kenapa? Selanjutnya adalah saat aku mengambil kuliah di Mercubuana Jakarta. Lebih parah lagi karena kuliahku harus berhenti di semester kedua. Waktu itu karena alasan biaya kuliah yang semakin tak terkejar. Contoh lain adalah sewaktu
4
aku bekerja di luar negeri, aku megundurkan diri dikontrak kedua. Entah konspirasi apa sebenarnya yang dilakukan semesta terhadapku. Banyak orang bilang bahwa hidup harus seperti air. Maksudnya mungkin selalu dibutuhkan orang lain atau makhluk hidup lain. Atau seperti air di sungai yang selalu mengalir. Artinya mungkin hidup ini haruslah mengalir saja, tak usah banyak tingkah dan melawan arus. Cari aman lebih tepatnya. Aku kurang setuju dengan pendapat-pendapat itu. Kita tak akan pernah lepas dari peran sebagai makhluk sosial, pastilah saling membutuhkan. Seorang Tarzan pun juga membutuhkan teman, walaupun itu dari kalangan penghuni hutan. Jadi sangat tidak mungkin hanya kita yang dibutuhkan orang lain. Kita juga membutuhkan “air-air” lain yang ada. Aku juga tidak menyukai konsep hidup seperti air yang mengalir di aliran sungai karena menurutku yang mengikuti aliran sungai itu kalau bukan sampah pastilah tokai. Permasalahannya sekarang adalah kita harus memilih air apa yang pantas untuk menganalogikan diri kita sendiri. Menurutku air yang sesuai untukku adalah air seni. Bukan. Bukan karena aku juga bau seperti air seni. Namun lebih dikarenakan air seni itu bisa bebas keluar kapan saja. Kalaupun bisa ditahan itu tidak akan berlangsung lama. Harus segera di 5
lepaskan. Bayangkan jika kita nekat menahan air seni kita agar tidak keluar selama satu hari penuh. Jawabannya adalah gangguan saluran kencing, gagal ginjal dan mungkin juga akan dilanda panu yang sangat akut. Air kencing juga kadang menjadi indikator bahwa tubuh kita sedang tidak sehat. Jika berwarna bening, berarti tubuh kita baik-baik saja. Namun jika berwarna maka pasti ada yang salah. Apalagi jika air seni kita berwarna hijau, bisa-bisa kita disangka alien salah tempat lahir. Umurku sudah seperempat abad, sudah pantas untuk menikah tapi belum cukup mempunyai kemampuan dan keberanian untuk melakukannya. Sejujurnya, bisa dibilang aku beruntung lahir pada generasi lama yang bisa dibilang “outnumber the baby boomers”. Pemerintah mungkin sedang mencoba berbagai macam cara untuk mengalihkan perhatian pada kebusukan politik yang ada. Mereka memberi kita berbagai macam-macam hal yang bisa membodohi. Semua yang ada di hidup ini adalah sebuah permainan politik skala besar. Aku sendiri tak begitu memahami dengan apa yang sebenarnya terjadi. Semakin lama aku mencoba memahami, justru yang terjadi adalah di era yang digembar-gemborkan sebagai era kebebasan. Tapi mereka dengan sengaja membuat kita terpuaskan oleh ‘reality-reality’ konyol yang selalu ada di televisi. Juga dibiasakan dengan musik yang sama sekali
6
hambar dan tak berisi. Mereka mengambil musik-musik yang bisa membuat kita berpikir maju dan menggantinya dengan musik selera top 40. Ah, nampaknya pembicaraanku terlalu kacau dan terlalu berat. Yang jelas nantinya aku tak akan menceritakan tentang diriku. Aku sudah terlalu lelah untuk membicarakan diriku. Apalagi jika berbicara tentang remeh temeh cinta. Tentang apapun yang berbau romansa percintaan anak muda. Tentang cerita basi soal drama-drama yang tak pernah berujung. Membaca status-status di media sosial tentang basa-basi percintaan dan kerinduan membuatku jengah dan muak. Tapi aku tahu dan sadar bahwa semua ada masanya sendiri-sendiri dan aku sudah seharusnya berada di luar masa itu. Masa-masa hingar
bingar
menghabiskan
waktu
memikirkan
dan
mengharapkan yang tersayang. Kadang aku tak peduli lagi tentang hidup. Cukup lelah berpikir untuk itu. Omong kosong besar. Aku menyadari itu adalah sebuah kesalahan karena berdasarkan kenyataan, aku bahkan tak akan pernah sanggup untuk membunuh diriku sendiri. Tapi sekali lagi ini bukan hanya tentangku. Ini juga tentang Lani.
7
Sepotong Cinta Di Pinggiran Code Malam itu semua nampak biasa saja. Kebiasaan setiap malam selasa aku dengan beberapa teman sekampusku akan merelakan sedikit waktu untuk saling berkumpul sekedar berbicara
tentang
apapun.
Tentang
kejamnya
dunia
perkuliahan dan juga tentang remeh temeh lain. Di pinggiran Sungai
Code terdapat
banyak
sekali angkringan
yang
menyediakan tempat untuk sekedar menikmati kopi ataupun es susu ketan ditambah dengan camilan seperti kentang goreng saos balado, roti bakar, jagung bakar dan tentunya menu favorit para mahasiswa, Indomie goreng ataupun rebus. Di pinggiran Sungai Code inilah saat malam hari kita bisa benarbenar
8
merasakan
suasana
Jogja
yang
sebenarnya.
Ketenangannya, keanggunannya juga keramahan pemusik jalanannya. Sedangkan saat siang hari, gedung-gedung berubah menjadi raksasa kapitalis. Pemuas nafsu hedonisme pada kaum urban. Resto-resto yang kian menjamur seakan memfasilitasi para kapitalis untuk menambah kekayaannya. Seharusnya di Jogja harus lebih banyak penjual Teh poci dan mendoan daripada segelas milk shake dan juga rainbow cake yang harganya tidak masuk akal hanya untuk sepotong roti. Sungai Code sendiri cukup terkenal karena membelah kota Jogja selain menjadi salah satu pelepasan aliran lahar dari Merapi saat bererupsi, sungai ini juga pernah diabadikan dalam film yang berlatar di salah satu kampung di pinggiran Code. Judulnya Jagat X Code. Banyak yang tidak tahu kalau huruf X yang digunakan adalah dimaksudkan untuk menunjuk kata kali, yang dalam bahasa Jawa berarti sungai. I Nyoman Oka, nama jalan tempat biasa kami berkumpul di trotoarnya. Jalan yang pada waktu itu sedang ditutup karena perbaikan setelah terjadi longsor pada salah satu sisinya. Walaupun sudah ditutup dan diberi tulisan, tapi masih banyak saja pengendara yang nekat memasuki jalan itu. Entah karena buta atau tergesa-gesa. Akhirnya mereka pun terpaksa berbalik lagi, karena jalan itu memang ditutup total. Tak memberi sedikit celah untuk dilewati, bahkan untuk pejalan kaki 9
sekalipun. Memang jalan ini adalah jalur tercepat untuk berputar kembali ke arah Tugu Jogja. Malam itu beberapa teman kuliahku datang. Yang pertama adalah Radit, lelaki tampan yang berasal dari Ibukota. Usianya 4 tahun dibawahku. Radit mengatakan bahwa kuliahnya di Jogja hanyalah merupakan sebuah pelarian. Pelarian dari apa? Hanya Radit, supir bajay dan Tuhan yang tahu pastinya. Entahlah? Kemudian ada Kinan, wanita asli Jogja. Untuk kasus Kinan, aku sebenarnya agak mempertanyakan tentang namanya itu. Yang kutahu nama Kinan sudah sering dipakai sebagai sebuah nama karakter dalam cerita-cerita FTV. Yang jelas kebanyakan nama Kinan biasanya berpostur langsing dengan perawakan seperti model. Namun tidak untuk Kinan yang satu ini. Dia sama sekali tidak langsing, walaupun tidak juga bisa dikatakan gendut. Dia itu sebenarnya kuru yang dalam bahasa Jawa bermakna kurus. Kurugan daging. Atau tertimbu lemak.
10