Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015
AKTIVITAS TABIR SURYA DARI FRAKSI FENOLIK BUAH SIRIH HUTAN (Piper miniatum. Bl) Leo Arifsandi Budiarso1, Edi Suryanto2, Sri Sudewi1 1
Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sam Ratulangi Manado Jl. Kampus Unsrat Kleak, Manado 95115
ABSTRACT Budiarso et al., 2015. Sunscreen activity of phenolic fraction of Piper miniatum. Bl fruit. This study was intended to determine the sunscreen activity from the phenolic fraction of betel fruits. Betel fruits powder extracted with maseration method with ethanol 80%. Furthermore betel fruits extract liquid successively fractioned using petroleum eter, etyl acetate, butanol, ethanol and aquades. The phytochemical analysis of faction determined using total phenolic, flavonoid and condensed tannin content. The sunscreens activity was evaluated in sun protection factor (SPF) of fraction with spectrophotometry UV-vis.The best fractions were characterized functional group using infra red spectrophometer. The result showed that the butanol fraction have the highest total phenolic and condensed tannin content and petroleum eter fraction possessed highest total flavonoid content. Butanol fraction has the highest antioxidant activity than the other fraction. Aquades fraction (16.14) showed highest sun protection factor (SPF) value followed by petroleum eter, ethyl acetate, butanol and ethanol. SPF velue were 8.07; 6.93; 6.70; 5.38 dan 5.29. Keywords: betel fruit, sunscreens, fraction, phenolic, flavonoid, tannin
ABSTRAK Budiarso dkk., 2015. Uji Aktivitas Antioksidan dan Tabir Surya dari Fraksi Buah Sirih Hutan (Piper miniatum. Bl). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan potensi tabir surya dari fraksi buah sirih hutan. Serbuk buah sirih hutan diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Ekstrak buah sirih hutan difraksinasi berturut turut dengan petroleum eter, etil asetat, butanol, etanol dan akuades. Analisis kandungan fitokimia fraksi-fraksi ditentukan berdasarkan total fenolik, flavonoid dan tannin terkondensasi. Aktivitas tabir surya pada fraksi-fraksi dievaluasi dengan analisis sun protection factor (SPF) menggunakan spektrofotometer UV-vis. Fraksi terbaik dikarakterisasi gugus fungsinya menggunakan spektrofotometer infra merah (FTIR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi butanol memiliki kandungan total fenolik dan tanin terkondensasi tertinggi sedangkan kandungan flavonoid tertinggi terdapat pada fraksi butanol, petroleum eter dan etil asetat. Fraksi akuades memiliki aktivitas tabir surya tertinggi dibandingkan dengan fraksin diikuti fraksi petroleum eter, etil asetat, butanol dan etanol. Nilai SPF berturut-turut adalah 8,07; 6,93; 6,70; 5,38 dan 5,29. Kata Kunci: Buah sirih hutan, tabir surya, SPF, fraksi, fenol, flavonoid, tanin
PENDAHULUAN Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi merupakan cahaya nampak, infra merah dan ultraviolet (UV). Paparan sinar matahari pada kulit dapat menyebabkan timbulnya pembentukan spesies oksigen reaktif (SOR) seperti anion superoksida, molekul oksigen singlet dan radikal hidroksil. Menurut Cockell dan Knowland (1999) radiasi ultraviolet dapat merusak struktur DNA, molekul seluler, protein esensial, asam amino dan membran lipida
30
sehingga meningkatnya produksi radikal bebas pada kulit. Lipida yang merupakan molekul biologi mampu berperan untuk menjaga kesegaran kulit. Lipida dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga menimbulkan lipid peroksida yang diinduksi oleh cahaya ultraviolet dan bisa mempercepat penyakit degeneratif pada kulit. Lipida peroksida ini mampu menghasilkan reaksi radikal bebas berantai dan selanjutnya menimbulkan kerusakan pada membran selular kulit.
Korespondensi dialamatkan kepada yang bersangkutan: Program Studi Farmasi FMIPA, Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
[email protected]
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 Kerusakan kulit akibat degeneratif kulit seperti flek hitam, pengerutan dan penyakit kanker kulit merupakan permasalahan kesehatan kulit yang dominan karena reaksi-reaksi yang ditimbulkannya berpengaruh buruk terhadap kulit manusia, seperti eritema, pigmentasi, fotosensitivitas dan penuaan dini (Svobodova et al., 2003). Menurut Sax (2000), setiap tahun sekitar satu juta orang didiagnosa dengan kanker kulit dan sekitar 10.000 meninggal dari bahaya melanoma. Kebanyakan kanker kulit terjadi pada area badan yang paling sering terpapar sinar matahari seperti pada wajah, leher, kepala dan bagian belakang tangan. Efek yang berbahaya terhadap radiasi matahari disebabkan sebagian besar oleh ultraviolet dari daerah spekrum elektromagnetik yang dapat dibagi menjadi tiga daerah: UVA (320-400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (200-290 nm). Radiasi UVC adalah sangat berbahaya tetapi cahaya tersebut terserap atau tersaring oleh lapisan ozon dan gas-gas lain yang ada di atmosfer sebelum mencapai bumi. Radiasi UVB tidaklah sepenuhnya terserap atau tersaring oleh lapisan ozon sehingga bertanggung jawab untuk kerusakan kulit yang disebabkan sengatan sinar matahari. Radiasi UVA dapat menjangkau lapisan yang lebih dalam pada epidermis dan dermis serta menimbulkan penuaan kulit sebelum waktunya. Dibandingkan dengan UVB, radiasi UVA seribu kali lebih efektif pada produksi efek penyamakan (tanning) yang disebabkan oleh penghitaman melanin dalam epidermis. Pencahayaan yang berlebihan atau terus menerus dari UVA dapat membakar kulit yang sensitif dan jika berkepanjangan dapat mempercepat keriputnya kulit serta menekan beberapa fungsi ketahanan tubuh (Ho, 2001). Tabir surya (sunscreen) merupakan bahan kimia yang memberikan perlindungan terhadap efek perubahan dari sinar matahari terutama radiasi ultraviolet (Elmets & Young, 1993). Tabir surya banyak digunakan sebagai bahan sediaan kosmetik dengan tujuan melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Oleh karena itu, peran bahan aktif tabir surya saat ini dipersatukan pada produk kosmetik sebagai bahan pelembab, krim, losion, sampo, mousses, dan lain rambut dan persiapan kulit. Penggunaan tabir surya bisa membantu ke arah peluang mengurangi terhadap efek radiasi ultraviolet yang berbahaya. Pada dekade terakhir ini, ada suatu peningkatan penggunaan fitokimia antioksidan dalam tabir surya yang sekaligus mampu
bertindak sebagai fotoprotektif. Antioksidan dari sumber alami dapat menyediakan berbagai kemungkinan baru untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh cahaya ultraviolet (Bonina dkk., 1996; Saija dkk., 1998; F’Guyer dkk., 2003). Indonesia mempunyai kekayaan dalam tanaman obat terbesar di dunia dan berpotensi besar akan ketersediaan bahan baku antioksidan. Salah satu tanaman obat dari famili Piperaceae adalah tanaman sirih (Piper betle L.) yang telah dikenal sejak zaman dahulu terutama daun sirih yang digunakan sebagai bahan penyegar (makan sirih), obat batuk, obat sakit gigi, mengeringkan luka dan berdaya antioksidatif (Perry, 1978; Andarwulan, dkk., 1996). Selain Piper betle, tanaman sirih-sirihan yang tumbuh di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara adalah tanaman sirih hutan (Piper miniatum. Bl) yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Daun sirih hutan memiliki komponen-komponen yang berkhasiat seperti minyak atsiri, hidroksi kavikol, kavikol, kavibetol, allil pirokatekol, sineol, kariofilen, kadinen, estragol, terpenena, seskuiterpena, fenil propana, tanin, diatase, gula, pati dan eugenol (Tjitrosoepomo, 2000). Informasi tentang kandungan senyawa fenolik dan sifat bahan aktif tabir surya yang terdapat pada buah sirih hutan belum banyak dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fitokimia fenolik dan aktivitas tabir surya yang terdapat pada fraksi buah sirih hutan.
BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Buah sirih yang digunakan pada penelitian berasal dari daerah Ratahan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Bahan kimia yang digunakan adalah etanol, natrium karbonat, reagen Folin-Ciocalteu, aliminium klorida, asam galat, asam klorida (Merck). Kuersetin dan katekin diperoleh dari Sigma. Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah corong pisah, timbangan, rotari evaporator dan spektrofotometer UV-vis (Genesis 10s).
31
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 Prosedur Kerja
Penentuan nilai SPF secara in vitro
Persiapan Sampel
Penentuan efektivitas tabir surya dilakukan dengan menentukan nilai SPF secara in vitro dengan spektrofotomenter (Mansur et al., 1986, Walters et al., 1997). Semua ekstrak dan fraksi masing-masing dibuat pada konsentrasi 1 mg/mL kemudian dibaca pada spektrofotometer. Spektra absorbansi sampel dalam larutan dibaca pada panjamg gelombang antara 290 dan 320 nm dengan interval 5 nm menggunakan kuvet 1 cm dan etanol sebagai blangko. Serapan larutan sampel menunjukkan pengaruh bahan aktif yang menyerap maupun yang memantulkan sinar UV dalam larutan, serapan larutan sampel menunjukkan pengaruh zat yang menyerap sinar UV dalam larutan. Mansur et al. (1986) mengembangkan persamaan matematika yang sangat sederhana yang mensubstitusikan metode in vitro yang diusulkan oleh Sayre et al. (1979) dengan memanfaatkan spektrofotometer UV dan menghitung nilai SPF mengunakan persamaan berikut:
Buah sirih hutan dibersihkan dari kotoran dan dicuci dengan air yang mengalir, kemudian dikeringkan dengan cara dianginanginkan selama 4 hari kemudian digiling dan diayak menggunakan ayakan 65 mesh.
Ekstraksi dan isolasi Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Serbuk buah sirih hutan sebanyak 50 g dimaserasi menggunakan 500 mL pelarut etanol 80% lalu ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 1 hari, kemudian saring dan diuapkan dengan menggunakan vakum rotari evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat buah sirih. Sebanyak 5 g ekstrak pekat buah sirih hutan disuspensikan dengan 25 akuades selanjutnya dipartisi dengan 50 mL petroleum eter dengan menggunakan corong pisah. Dengan cara yang sama dilakukan untuk etil asetat, butanol, etanol dan air. Selanjutnya masingmasing fraksi dipekatkan dengan rotari evaporator sehingga menghasilkan 5 jenis fraksi yaitu fraksi petroleum eter (FPE), fraksi etil asetat (FEA), fraksi butanol (DBU), fraksi etanol (FET) dan fraksi air (FA). Fraksi-fraksi ini selanjutnya disimpan pada suhu 5 oC sebelum dilakukan analisis fitokimia dan pengujian aktivitas tabir surya.
SPF = CF x ∑
x I (λ) x absorbansi (λ)
Keterangan: CF: faktor koreksi (10), EE: efisiensi eritermal, I: spektrum simulasi sinar surya dan Abs (I) - absorbansi produk tabir surya.
Nilai dari EE x I adalah konstan. Nilai tersebut ditentukan oleh Sayre et al. (1979) seperti ditunjukkan dalam tabel 2. Pengukuran SPF secara spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang antara 290 dan 320 nm.
Penentuan kandungan total fitokimia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan kandungan fitokimia ekstrak dan fraksi berdasarkan kandungan total fenolik, flavonoid dan tannin terkondensasi. Kandungan total fenolik ekstrak dan fraksi buah sirih hutan ditentukan menggunakan metode Folin-Ciocalteu (Conde dkk., 1997) dengan menggunakan asam galat sebagai standar. Penentuan total flavonoid menggunakan metode Meda dkk. (2005) dengan menggunakan kuersetin sebagai standar. Kandungan total tanin fraksi buah sirih hutan ditentukan menggunakan metode Julkenen-Titto (1985) dengan menggunakan katekin sebagai standar
Ekstraksi dan fitokimia buah sirih hutan
32
Hasil ekstraksi maserasi serbuk buah sirih hutan dengan menggunakan pelarut 500 mL etanol 80% selama 24 jam menghasilkan ekstrak pekat berminyak sebanyak 22,17 g dengan warna kuning kehijauan. Metode maserasi sangat menguntungkan dalam menyari senyawa metabolit sekunder, karena dengan perendaman, pelarut mempunyai waktu interaksi dengan sampel lebih lama untuk melakukan pemecahan dinding dan membran sel sampel. Hal ini terjadi karena perbedaan tekanan antara didalam sel dan di luar sel sehingga senyawa metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan keluar dan terlarut dalam pelarut organik. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang bersifat polar
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 yaitu etanol, hampir semua produk metabolit sekunder dapat larut dalam etanol, khususnya untuk senyawa-senyawa yang banyak mengandung gugus hidroksil (-OH) dan yang bersifat polar. Menurut Shahidi & Naczk (1995) penambahan co-solvent seperti air dapat membantu dalam mengekstraksi semua golongan senyawa polifenol dari dalam jaringan tumbuhan. Selain itu, pelarut etanol dapat menetrasi sel dan menyari semua senyawa yang bersifat polar di dalam sel (Silva, 1998). Setelah itu, ekstrak pekat dipartisi dengan petroleum eter, etil asetat, butanol, etanol dan akuades. Tujuan tekni partisi ini adalah untuk komponen-komponen yang terbagi pada tingkat kepolaran dari yang paling polar (air dan etanol) sampai semi polar (butanol dan etil asetat) serta pelarut non polar (petroleum eter). Hal ini dilakukan agar senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etanol buah sirih dapat dikelompokkan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan kepolaran masingmasing metabolit sekunder tersebut. Rendemen ekstrak yang didapat dari proses partisi ekstrak buah sirih hutan dengan pelarut petroleum eter, etil asetat, n-butanol, etanol dan akuades berturut-turut adalah 0,87; 0,86; 0,43; 0,44 dan 0,23 g (Tabel 1). Kandungan total senyawa fitokimia dari fraksi buah sirih hutan dengan konsentrasi 1
mg/mL dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa ke lima fraksi memiliki kandungan senyawa fenolik. Hal ini disebabkan senyawa fenolik yang terdapat dalam buah sirih hutan tersebar pada komponen-komponen polar sampai non polar sehingga senyawa fenolik terdapat pada buah sirih hutan. Senyawa fenolik non polar yang terdapat pada minyak atsiri daun sirih adalah hidroksi kavikol, kavikol, kavibetol, allil pirokatekol dan eugenol sedangkan senyawa polar diperkirakan adalah kelompok tannin. Menurut Larson (1988) dan Shahidi (1997) bahwa komponen fenolik dari tanaman secara umum bersifat polar. Hasil analisis kandungan total flavonoid terhadap fraksi-fraksi menunjukkan bahwa fraksi FPE, lebih tinggi kandungan total flavonoid diikuti oleh FEA, FBU, FA dan terendah adalah FET. Hasil ini mengindikasikan bahwa buah sirih hutan diduga mengandung banyak flavonoid dengan kepolaritas rendah seperti isoflavon, flavanon, flavonol, sedangkan flavonoid yang larut pada fraksi polar seperti glikosida flavonoid. Pada pengujian kandungan flavonoid menimbulkan reaksi antara AlCl3 dengan flavonoid membentuk kompleks antara gugus hidroksil dan keton yang bertetangga atau dengan gugus hidroksil yang saling bertetangga.
Tabel 1. Rendemen dan kandungan total fenolik, flavonoid dan tannin terkondensasi (mg/L) Fraksi Petroleum eter (FPE)
0.87
Fenolik (mg/L) 28,87
Etil asetat (FEA)
0.87
30,30
9,36
7,85
Butanol (FBU)
0,43
38,67
8,71
7,63
Etanol (FET)
0.44
19,89
2,14
6,74
Akuades (FA)
0,23
25
3,65
6,52
Berat (g)
Hasil pengujian kandungan tannin terkondensasi menunjukkan bahwa FPE, PEA dan FBU memiliki kandungan tannin yang relatif sama begitu juga untuk kandungan tannin yang terdapat pada FET dan FA. Pada pengujian tannin, vanilin terprotonasi dalam keadaan asam klorida pekat sehingga membentuk karbokation yang bereaksi dengan flavonoid golongan katekin, senyawa antara yang dihasilkan mengalami dehidrasi dan menghasilkan senyawa berwarna ungu atau merah (Salunkhe dkk., 1990). Hasil penelitian ini mencatat bahwa
Flavonoid (mg/L) 10,24
Tanin (mg/L) 7,85
masing-masing fraksi buah sirih hutan terditribusi kandungan tanin dengan tingkat kepolaran rendah sampai tinggi.
Sun Protection Factor (SPF) secara InVitro Buah sirih hutan mengandung banyak senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid yang diduga dapat berfungsi sebagai bahan aktif tabir surya. Flavonoid merupakan antioksidan yang kuat dan juga sebagai pengikat ion logam
33
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 yang diduga mampu mencegah efek bahaya dari sinar UV atau setidaknya mampu mengurangi kerusakan kulit (Ho, 2011). Untuk mengetahui keefektivitasan bahan aktif tabir surya dari fraksi-fraksi buah sirih hutan dari pengaruh sengatan matahari, maka dilakukan pengukuran dengan sun protection factor (SPF). SPF adalah pengukuran secara kuantitatif keefektivitasan
suatu bahan aktif tabir surya. Bahan aktif tabir surya tersebut harus mempunyai luas rentangan absorbansi antara panjang gelombang 290-400 nm. Nilai SPF masing-masing fraksi-fraksi dievaluasi oleh spektrofotometer UV menggunakan persamaan matematika Mansur dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Absorbansi fraksi-fraksi dari buah sirih hutan Panjang gelombang (nm) 290 295 300 305 310 315 320
EE*I
FPE
FEA
FBU
FET
FA
0,0150 0,0817 0,2874 0,3278 0,1864 0,0837 0,0180
0.7025 0.7105 0.7175 0.717 0.639 0.636 0.628
0.6765 0.6875 0.6945 0.6950 0.6145 0.612 0.604
0.533 0.547 0.557 0.5665 0.484 0.484 0.48
0.5235 0.533 0.5335 0.526 0.5235 0.532 0.5465
0.7995 0.811 0.8235 0.8265 0.767 0.7705 0.7635
Hasil pengukuran nilai SPF pada fraksi-fraksi menunjukkan bahwa nilai SPF ditemukan antara rentangan 5 dan 8. FA memiliki nilai SPF paling tinggi sebesar 8,07 dan terendah terdapat pada .
FET sebesar 5,29. Hasil ini menyimpulkan bahwa FA mempunyai nilai SPF yang terbaik dan temuan ini dapat membantu dalam pemilihan bahan aktif tabir untuk formulasi
FPE
6.93
Jenis fraksi
FEA
6.70
FBU
5.38
FET
5.29
FA
8.07 0
2
4
6
8
10
Nilai SPF
Gambar 1. Nilai Sun Protection Factor (SPF) fraksi-fraksi dari buah sirih hutang yang dihitung berdasarkan spektrofotometer Gambar 1 menunjukkan bahwa fraksi FA memiliki potensi yang baik sebagai bahan aktif tabir surya walaupun memiliki kandungan total fenolik, flavonoid dan tannin yang lebih rendah daripada fraksi lain. Data ini mengindikasikan bahwa bahan aktif tabir surya yang terdapat pada
34
FA diduga adanya senyawa fenolik dan komponen lain yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi sehingga yang dapat menyerap sinar UV pada rentangan 290-320 nm. FEA dan FPE memiliki nilai SPF yang juga baik, diduga bahan aktif tabir surya berasal dari senyawa flavonoid
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 karena kandungan flavonoid yang cukup tinggi. Secara umum nilai SPF yang diperoleh dari fraksi-fraksi dapat diklasifikasikan sebagai bahan aktif tabir surya untuk perlindungan minimal karena nilai SPF-nya berada diantara 2 sampai 12. Menurut Food and Drug administration (1999) pengukuran potensi tabir surya berdasarkan sun protector factor (SPF) adalah sebagai berikut: minimal, bila SPF antara 2-12; moderat, bila SPF antara 12-30 dan tinggi, bila SPF antara > 30.
Spektrum infra merah fraksi FBU dan FA Gambar 2 menunjukan serapan fraksi FBU yang memiliki karakteristik gugus O-H pada pita vibrasi ulur 3394 cm-1 yang diperkuat adanya vibrasi ulur C-O pada 1219 cm-1 dan adanya cincin aromatik (C=C) pada 1630 cm-1. Pita serapan ulur metil (CH3) pada 2924 cm-1 dan
metilen (CH2) pada serapan pada 2851 cm-1 dan 1458 cm-1. Fraksi akuades (FA) selanjutnya dikarakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometer infra merah (IR). Hasil spektra infra merah (IR) pada FA dapat dilihat pada Gambar 3. Dari pemeriksaan spektra dengan spektrometer IR pada FA menunjukkan adanya pita lebar dan kuat pada 3390 cm-1 adalah petunjuk adanya untuk gugus OH. Pita serapan berturut-turut pada 1609 cm-1 dan 1403 cm-1 menandakan hadirnya cincin aromatik (–C-C-) (Silverstein dkk., 1991) dan diikuti pita serapan 1050 cm-1 disekitar 1050 cm-1 yang menunjukkan gugus C-O dari eter, dimana pita pada frekuensi ini merupakan karakteristik untuk aril eter. Berdasarkan analisis terhadap spektra IR, maka kedua fraksi ini mengindikasikan adanya gugus hidroksi (OH), aromatik (C=C), eter (R-O-R), metilena dan .
Gambar 2. Spektra infra merah (IR) dari fraksi FBU
Gambar 3. Spektra infra merah (IR) dari fraksi FA
35
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015
KESIMPULAN Fraksi butanol memiliki kandungan total fenolik lebih tinggi daripada fraksi etil asetat, petroleum eter, akuades dan terendah terdapat pada fraksi etanol sedangkan fraksi petroleum eter dan etil asetat memiliki kandungan total flavonoid dan tannin tertinggi daripada fraksi butanol, etanol dan air. Fraksi akuades memiliki aktivitas tabir surya paling tinggi diikuti fraksi petroleum eter, etil asetat dan terendah terdapat pada fraksi butanol dan etanol. Fraksi butanol dan akuades mengandung karakteristik gugus fungsi hidroksi (OH), aromatik (C=C) dan eter (R-O-R).
DAFTAR PUSTAKA Bonina, F., Lanza, M., Montenegro, L., Puglisi, C., Tomaino, A., Trombetta, D., Castelli, F. & Saija, A., 1996. Flavonoids as potential protective agents against photo-oxidative skin damage. Int. J. Pharm. 145, 87–94. Cockell, C.S. & Knowland, J. 1999. Ultraviolet Radiation Screening Compounds. Bio. Rev. 74: 311-345 Conde, E.E., Cadahia, M.C., Garcia- Vallejo, Simon, B.F.D. & Adrados, J.R.G. 1997. Low Molecular Weight Polyphenol in Cork of Querceus Suber. Journal Agriculture Food Chemistry. 45: 26952700. Elmets, C.A. & Young, C. 1996. Sunscreens and photocarcinogenesis: An objective assessment. Photochem.Photobiol. 63: 435-439 Food and Drug Administration. 1999. Sunscreen drug product for over the counter human use: Final Monograph. Federal Register, US: 27666-27693 F’guyer, S., Afaq, F. & Mukhtar, H., 2003. Photochemoprevention of skin cancer by botanical agents. Photodermatol. Photoimmunol. Photomed. 19, 56–72. Ho, T.Y. 2001. Sunscreens: Is Looking at Sun Protection Factor Enough? Hongkong Dermatology & Venereology Bulletin. 100-108 Julkenen-Titto, R. 1985. Phenolic constituents in the leaves of northern willows: methods for the analysis of certain
36
phenolics. Agricurture Food Chemistry. 33:22-23. Larson, R.A. 1989. The Antioxidants of Hinghest Plants. Phytochemistry. 27: 969-977. Mansur, J.S., Breder, M.N.R., Mansur, M.C.A. & Azulay, R.D. 1986. Determinacio do Fator de Protecllo Solar por Espectrofotometria. An. B Dermatol. 61: 121-124. Mabry, T.J., Markham, K.R. & Thomas, H.B. 1970, The System Identification of Flavonoid. Spinger-Varlag, New York. Meda, A., Lamien, Romito, E., Millogo, M.J. & Nacoulma, G. 2005. Determination of the total phenolic, flavonoid and proline contents in Burkina Fasan honey, as well as their radical scavenging activity. Food Chemistry. 91: 571-577. Perry, L.M. 1978. Medicinal Plants of East and Southeast Asia. The MIT Press, London. SAX, B. W. 2000. Educating Consumers about sun protection. Pharm. Times, 66, 4850. Saija, A., Tomaino, A., Trombetta, D., Giacchi, M., De Pasquale, A. & Bonina, F. 1998. Influence of different penetration enhancers on in vitro skin permeation and in vivo photoprotective effect of flavonoids. Int. J. Pharm. 175, 85–94. Salunkhe, K., Chavan, K. & Kadam, S. 1990. Dietary tannins: consequences and remedies. Boca Raton, Floride. Sayre, R.M., Agin, P.P., Levee, G.J. & Marlowe, E. 1979. A Comparison of In Vivo and In Vitro Testing of Sunscreening Formulas. Photochem. Photobiol. 29: 559-566. Shahidi, F., dan Naczk, M. 1995. Food Phenolic :Sources, Chemistry, Effect, Applications. Lancaster, Technomic Publishing, Co.inc. Shahidi, F. 1997. Natural Antioxidants: An Overview. Dalam Shahidi (eds). Natural Antioxidants: Chemistry, Health Effects and Application. AOCS Press, Champaign, Illinois. Silverstein, R.M., Bassler G.C. & Morrill T.C. 1981. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 7th ed. John Wiley & Sons Inc, USA.
Chem. Prog. Vol. 8, No. 1, Mei 2015 Svobodova, A., Psotova J. & Walterova, D. 2003. Natural Phenolics in The prevention of UV-Induced Skin Damage, a Review. Biomed Paper. 147: 137-145. Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Walters, C., A. Keeney., C.T. Wigal, C.R. Johnstom & Cornelius, R.D. 1997. The spectrophotometric Analysis and Modeling of Sunscreens. J. Chem. Educ. 74: 99-102
37