AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABÎ oleh Raden Arif Mulyadi 8205120014 Pembimbing Dr. Kholid al-Walid Tesis yang diajukan kepada Islamic College (IC) Jakarta dan Universitas Paramadina sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Master of Arts
(Master’s Course of Islamic Mysticism)
Jakarta, Mei 2011
AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABÎ
oleh Raden Arif Mulyadi 8205120014 Tesis yang diajukan kepada Islamic College (IC) Jakarta dan Universitas Paramadina sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Master of Arts
STATEMENT OF AUTHORSHIP Except where reference is made in the text, this work contains no material published elsewhere or extracted in the whole or in part from a work presented by me for any other works. No other person’s work has been used without due to acknowledgement in the main text of the thesis. Jakarta,
Raden Arif Mulyadi
ABSTRAK
Penelitian ini terfokus pada akhlak dalam perspektif Ibn ’Arabî yang terinspirasi oleh karya William C. Chittick, Imaginal Worlds, Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious Diversity, terbitan SUNY Press tahun 1994. Dalam bukunya, Chittick hanya menyinggung pandangan Ibn ‘Arabî secara sepintas mengenai akhlak. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam dan menganalisis lebih jauh akhlak dalam perspektif Ibn ‘Arabî. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan relasi akhlak dan syariat dalam perspektif Ibn ‘Arabî serta melihat kemungkinan perspektif Ibn ‘Arabî dapat menjadi fondasi aturan dalam masyarakat. Peneliti bertolak dari kerangka teoretis akhlak, kemudian pembahasan fondasi-fondasi ’irfân Ibn ’Arabî yang sedikit disinggung dalam karya Chittick. Faktor pembeda dengan karya Chittick dalam penelitian ini adalah pendalaman atas peran dan fungsi syariat yang dihubungkan dengan gagasan wahdat al-wujûd Ibn ’Arabî. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, sebuah pendekatan yang tidak menggunakan perhitungan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan dengan mengumpulkan karya-karya primer dari karyakarya Ibn ‘Arabî dan buku-buku sekunder yang mendukung pembahasan penelitian. Kemudian dilakukan analisis data dengan metode analisis-reflektif. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa akhlak dalam perspektif Ibn ’Arabî memiliki akar-akar ketuhanan yang terkait dengan manusia sebagai citra Ilahi. Wahdat al-wujûd yang digagas Ibn ’Arabî ternyata tidak menghilangkan hak dan tanggung jawab manusia sebagai seorang hamba. Untuk sampai pada pengertian wahdat al-wujûd, seorang hamba harus tetap dan selamanya melalui syariat sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Pembiasaan akhlak yang baik yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Muhammad memungkinkan orang untuk sampai kedudukan Manusia Sempurna sebagaimana diidealkan oleh para ahli ’irfân. Dengan demikian, perspektif Ibn ’Arabî mengenai akhlak dapat dijadikan sebagai aturan di masyarakat.
PRAKATA
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Hanya dengan rahmat-Nyalah karya ini dapat dirampungkan. Berkah salawat atas Nabi dan keluarganya telah menjadi daya dorong terhadap selesainya karya sederhana ini. Melalui jalan yang berliku dan kerja ekstra, sesungguhnya karya ini merupakan karunia besar dari Allah. Segala kendala selama perampungan karya ini hanya dapat diatasi semata-mata melalui bantuan-Nya karena ia membutuhkan banyak perhatian dan ketekunan di saat banyaknya kewajiban yang mesti dilakukan dalam kehidupan ini. Allah SWT telah memudahkan semua jalan dalam penyusunan tesis ini. Dalam prakata ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebanyakbanyaknya kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi dalam studi ini dan penyusunan tesis. Pertama-tama, kepada Prof. Dr. Seyyed Ahmad Fazeli sebagai Rektor the Islamic College, yang terus menggedor penulis secara tidak langsung untuk segera menyelesaikan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada: Dr. Kholid al-Walid sebagai pembimbing utama tesis ini yang telah menyampaikan saran-saran kritisnya dari aspek konten maupun metodologi penulisan, dan Muhammad Bagir, MA atas diskusi hangatnya sejak awal penulisan. Tanpa ide-ide darinya, agak mustahil kiranya tesis ini dapat dituliskan. Tak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih juga kepada: semua rekan di jurusan Islamic Mysticism Angkatan 2005, khususnya Aos Abdul Gaos, Rifa, Ikin, dan lain-lain atas diskusi-diskusi awalnya; Bu Endang, Suryana, dan para staf Perpustakaan the Islamic College karena tanpa bantuan mereka, mustahil kiranya bagi penulis untuk mengakses banyak buku sebagai referensi; kepada Syaikh Mohsen Hakimollahi, Direktur Islamic Cultural Center (ICC), yang sejak awal membantu secara moril maupun materil kepada penulis untuk berkuliah di Islamic College.
Terima kasih juga kepada pendukung terbesarku, mitra hidup yang sabar, dan belahan jiwa yang selalu memberi maaf atas kekhilafanku, Retno W. Wulandari, yang mendoakanku diam-diam dan meredakan ketegangan penulis dengan caranya sendiri—semoga Allah merahmatimu; kepada anak-anakku Muhammad Hakim Haidari, Mahdi Ruhani, dan Ma’shumah Nurani Arif, yang merelakan malam-malam mereka untuk pindah tempat tidur karena ruangan yang penulis pakai; kepada Bu Sinta Padma, Bu Wara, Bu Sutaryo, dan teman-teman “seikhwan” lainnya yang telah membantu penulis pada awal-awal perkuliahan; kepada Rudi Mulyono, M.H. Aripin Ali, dan Basrir Hamdani yang pada detikdetik terakhir penulisan tesis mereka bersedia menjadi pendengar dan pengritik atas konten tesis ini; kepada Ustad Muhsin Labib, yang merestui aktivitas penulis di IC, serta Khalid Sitaba dan Mas Hadi yang rela menyediakan waktu untuk mencetak tesis ini dari awal hingga akhir. Terakhir, kepada kerabat dan sahabat yang tak dapat penulis sebut satu per satu namun mereka selalu menanyakan kelangsungan tesis ini. Cambukan pertanyaan mereka menjadi pemicu terselesaikannya tesis ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik mereka semua.
Raden Arif Mulyadi
Daftar Isi Abstrak.....................................................................................................................v Abstract…………………………………………………………………………...vi Prakata……………………………………………………………………………vii Daftar Isi................................................................................................................ ix Daftar Gambar.........................................................................................................xi Transliterasi............................................................................................................xii Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Penelitian.......................................................................1 B. Permasalahan...........................................................................................7 C. Tujuan Penelitian.....................................................................................8 D. Manfaat Penelitian……………………………………………………...9 E. Tinjauan Pustaka......................................................................................9 F. Metode Penelitian..................................................................................13 1. Pendekatan Penelitian…………………………………………………13 2. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….14 3. Metode Analisis Data………………………………………………….14 G. Ringkasan..............................................................................................15 Bab II Tinjauan Teoritis Akhlak A. Definisi Akhlak.....................................................................................17 B. Ilmu Akhlak…………………………………………………………...20 C. Filsafat Akhlak......................................................................................21 D. Studi-studi Akhlak................................................................................22 E. Nilai Umum dan Nilai Akhlaki (Moral)………………………………25 F. Akhlak dalam Islam…...........................................................................29 Bab III Fondasi ‘Irfân Ibn ‘Arabî A. Riwayat Singkat Ibn ‘Arabî…………………………………………...36 B. Wujûd dan ’Adam..................................................................................41
C. Al-Haqq dan al-Khalq...........................................................................49 D. Tajalli al-Haqq......................................................................................53 E. Tanzîh dan Tasybîh................................................................................56 E. Zat dan Nama-nama Tuhan...................................................................58 F. Al-Zhâhir dan al-Bâṭîn..........................................................................60 G. Manusia Sempurna (Al-Insân al-Kâmil)...............................................63 Bab IV Akhlak sebagai Manifestasi Ketunggalan Wujud A. Relasi Al-Haqq dan Tanggung Jawab Manusia………........................71 B. Nama Allah dalam Diri Manusia..........................................................78 C. Struktur Wujud Manusia.......................................................................80 D. Akhlak Manusia dan Jenis-jenisnya.....................................................90 E. Syariat sebagai Sumber Akhlak............................................................94 F. Kesempurnaan Akhlak........................................................................102 G. Syariat sebagai Titik Tolak Menuju Akhlak ‘Irfâni….……………..107 Bab V Kesimpulan dan Saran A.
Kesimpulan.................................................................................118
B.
Saran............................................................................................119
BIBLIOGRAFI....................................................................................................120
Daftar Gambar Gambar III.1: Wujud Wajib dan Mâ siwâ Allah....................................................45 Gambar III.2: Relasi antara Wujud dan Alam.......................................................46 Gambar III.3: Skema Wujud, Eksistensi, dan Nirwujud.......................................47 Gambar III.4: Skema Wujud Mutlak, Tidak wujûd dan tidak ‘adam, dan Alam Materi.....................................................................................................................49 Gambar III.5: Relasi ontologis Al-Haqq dan al-khalq...........................................50 Gambar III.6: Emanasi Paling Kudus dan Emanasi Kudus..................................56 Gambar III.7: Lima Medan Wujud Menurut Qasyânî...........................................59 Gambar III.8: Tajalli Hakikat al-Insân..................................................................65 Gambar IV.1: Al-Haqq dan Manifestasi-Nya, Kosmos.........................................72 Gambar IV.2: Piramida Ego Manusia....................................................................84 Gambar IV.3: Struktur Manusia: Roh, jiwa, dan tubuh.........................................87 Gambar IV.4: Tiga derajat jiwa.............................................................................88 Gambar IV.5: Aspek Tanzîh dan Tasybîh dan Respon Manusia.........................107
TRANSLITERASI
Simbol Transliterasi
= ﺀ = ﺏ = ﺕ = ﺙ = ﺝ = ﺡ = ﺥ = ﺩ = ﺫ = ﺭ = ﺯ = ﺱ = ﺵ =ﺹ =ﺽ
’ b t ts j h kh d dz r z s sy ṡ
dl
Simbol Transliterasi
ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ ﻑ ﻕ ﻙ ﻝ ﻡ ﻥ ﻭ ﻫ ﻱ ﺓ
=
ṭ
=
zh
=
‘
=
gh
=
f
=
q
=
k
=
l
=
m
=
n
=
w
=
h
=
y
=
ah
Vokal Panjang َ_ﹾﺍ = â ُ_ ْﻭ = û ﻱ ْ _ِ = î
َ_ _ُ _ِ _ّ ﺩَﺍﱠﺑ ﹲﺔ
Vokal Pendek = a = u = i = doble like: = dâbbah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memasuki abad ke-21 manusia hidup di sebuah dunia yang dipicu oleh percepatan teknologi terbaru. Berbagai perangkat teknologi untuk memudahkan kerja maupun jejaring sosial paling mutakhir untuk mendukung pergaulan antarpersona semakin mendunia dan memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi para penggunanya. Manusia-manusia modern bisa melangsungkan aktivitas kerja di tempat-tempat yang dulunya mungkin tidak terbayangkan untuk bekerja di dalamnya. Cukup memiliki laptop yang sederhana sekalipun manusia modern dapat tetap saling berkirim e-mail di pusat-pusat perbelanjaan yang memang menyediakan fasilitas-fasilitas seperti itu untuk memuluskan sebuah proyek. Demikian juga perangkat komunikasi seluler, misalnya, semakin mudah dijumpai di tengah-tengah masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Intinya, berkat teknologi modern kehidupan manusia semakin dimanjakan. Akan tetapi, segenap kemajuan material tersebut tidak berbanding lurus dengan kehidupan nonmaterialnya. Pernak-pernik kehidupan kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta dan kota-kota lain di Tanah Air, telah mengepung manusia-manusia modern secara masif, baik dari kalangan tua maupun generasi mudanya, sehingga cahaya akal budi mereka meredup. Masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa menyaksikan pejabat-pejabat publik mereka keluar masuk pengadilan karena kasus korupsi, pembalakan liar, penggelapan uang pajak negara, dan lain-lain. Dalam ranah politik, para legislator mulai dipersoalkan atas perjalanan-perjalanan studi banding mereka ke luar negeri yang tak jelas ujung pangkalnya. Demikianlah, sebagaimana disebutkan Sindhunata, para wakil rakyat dan politikus di parlemen hanya pintar bicara tetapi tak berani mengambil keputusan yang heroik.1 1
Sindhunata, Kemajuan yang Sia-sia, Basis, November-Desember 2008.
1
Sementara, di lingkaran generasi mudanya pun, mereka diserbu dengan maraknya peredaran narkoba, kehidupan seks bebas, film-film tak senonoh, tawuran dan fenomena-fenomena sosial yang mencemaskan lainnya sebagaimana yang terpapar dalam laporan-laporan media. Dalam kasus aborsi, misalnya, Dr. Boyke Dian Nugraha, seorang seksolog, memperkirakan angka aborsi di Indonesia terus meningkat, yang 50% di antaranya dilakukan oleh remaja baik itu pelajar, mahasiswi ataupun karyawati.2 Merujuk hasil penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) sampai paruh 2008, sekitar 2,5 juta perempuan Indonesia melakukan aborsi dan 60 persen di antaranya dilakukan dengan cara tidak aman.3 Angka itu tidak terlalu mengejutkan karena sebelumnya berdasarkan laporan WHO tahun 2006 jumlah kasus aborsi adalah 2,3 juta kasus pertahun.4 Ilustrasi-ilustrasi yang disebutkan di atas membawa kita untuk mempertanyakan kembali persoalan mengenai signifikansi akhlak dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Islam, akhlak merupakan salah satu elemen vital dari Islam selain akidah dan syariah.5 Seorang Muslim belum dipandang sempurna bila belum mengamalkan ketiga elemen ajaran Islam ini. Karena itu, sejak dini anak-anak Muslim telah diajar dan dididik ihwal tiga elemen Islam tadi—akidah, syariah, dan akhlak.6 Tinggal yang menjadi persoalan adalah bagaimana metode pengajaran akhlak disampaikan kepada masyarakat: apakah metodenya bersifat dogmatis ataukah rasional? Jika rasional, serasional apakah metodenya ketika di tingkat praktis sendiri rasionalitas itu tidak tampak sebagaimana terlihat dalam ilustrasi-ilustrasi di atas? Atau malah justru karena rasionalitasnya itu kasus-kasus tersebut muncul?
2
Sumber: http://hariansib.com/?p=58373 diakses pada 14 Oktober 2010. Sumber: http://www.tempointeraktif.com diakses pada 14 Oktober 2010. 4 Inna Hudaya, Aborsi: Moral dan Agama, Efektifkah?, http://abortus.blogspot.com diakses tanggal 14 Oktober 2010. 5 Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathabai, Basic Teachings of Islam, (Tehran, International Publishing Co., 2002), hal.20. 6 Akan tetapi, sebagian menganggap bahwa dalam beragama, seseorang bergantung pada dua jenis pengetahuan: akidah dan syariat. Sementara akhlak merupakan hasil kombinasi perpaduan antara akidah dan syariat. Lihat Abdullah Muhammad Asseggaf dalam “Sekapur Sirih” dalam Abdul Hadi Muhammad Taqi Hakim, Al-Fatawa al-Muyassarah (Fikih Islam: Berdasarkan Fatwa Ayatullah Sayyid Ali Sistani), (Pekalongan: Al-Mu’ammal, 2006), hal.5-6. 3
2
Sepertinya, selama ini metode pengajaran akhlak yang disampaikan lebih bersifat dogmatis atau doktrinal. Ini tentunya tidak keliru meski tidak memadai. Tidak keliru karena memang ada sejumlah petunjuk akhlak yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran maupun riwayat-riwayat Nabi saw yang menyeru manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlak. Misalnya, al-Quran mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”7 Juga, misalnya, dalam salah satu riwayat, Nabi saw bersabda, “Tuhanku mewasiatkan kepadaku tentang sembilan perkara: agar ikhlas dalam segala amal baik yang kulakukan secara sembunyi maupun terang-terangan, bertindak dalam keadaan rela ataupun marah, sederhana dalam keadaan kaya atau miskin, memaafkan orang yang menzalimiku, memberi orang yang menyetop pemberiannya kepadaku, menyambung tali kekeluargaan dari orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan denganku, menjadikan diamku sebagai waktu untuk berpikir, pembicaraanku sebagai zikir, dan pandaganku sebagai ibrah.”8 Disebut tidak memadai karena pengajaran akhlak yang indoktrinatif tersebut akan memunculkan pandangan yang legalistis tentang kemoralan, yakni seakan-akan kemoralan (baca: akhlak) tiada lain adalah kesediaan menaati suatu hukum yang diwajibkan dari luar.9 Lebih jauh, legalisme moral mematikan kreativitas terhadap ideal kemoralan dan menyebabkan kekeringan serta kemunafikan terhadap ideal kemoralan.10
7
QS 49:12. Teks ayat sebagai berikut:
ﺐ َﺑ ْﻌﻀُﻜﹸ ْﻢ َﺑ ْﻌﻀًﺎ ْ ﺴﺴُﻮﺍ َﻭ ﹶﻻ َﻳ ْﻐَﺘ ﺠﱠ َ ﺾ ﺍﻟ ﱠﻈﻦﱢ ِﺇﹾﺛ ٌﻢ َﻭ ﹶﻻ َﺗ َ ﻳَﺎ ﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﺍ ْﺟَﺘِﻨﺒُﻮﺍ ﹶﻛِﺜﲑًﺍ ِﻣ ْﻦ ﺍﻟ ﱠﻈﻦﱢ ِﺇﻥﱠ َﺑ ْﻌ ﺏ َﺭﺣِﻴ ٌﻢ ٌ ﺤ َﻢ ﹶﺃﺧِﻴ ِﻪ َﻣْﻴﺘًﺎ ﹶﻓ ﹶﻜ ِﺮ ْﻫُﺘﻤُﻮ ُﻩ ﻭَﺍﱠﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ َﺗﻮﱠﺍ ْ ﺐ ﹶﺃ َﺣﺪُﻛﹸ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ َﻳ ﹾﺄﻛﹸ ﹶﻞ ﹶﻟ ﺤ ﱡ ِ ُﹶﺃﻳ 8
Fatih Guven, Ondort Ma’sum Dan Kirk’ Arhadis (560 Hadis dari 14 Manusia Suci), diterjemahkan oleh Hasyim al-Habsyi, (Bangil: Yayasan Islam al-Baqir, 1995), hal.35. 9 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Karya,1988), hal.xiii. 10 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, hal.xiii.
3
Akan tetapi, pendekatan rasional seperti disebutkan di atas terhadap akhlak tidak sepi dari kritik. Salah seorang kritikus aliran-aliran filsafat modern11, Seyyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa Filsafat Rasionalisme yang digagas oleh Rene Descartes (1596-1650) telah menempatkan aksi kognitif ego individual dan kemerdekaan akal manusia terhadap wahyu sebagai kriteria tertinggi kebenaran dan bahkan menjadi fondasi eksistensi.12 Dengan kata lain, esensi akal manusia akan selalu mendorong ia untuk selalu memisahkan diri dengan dunia material manusia.13 Dalam konteks ekologi, Filsafat Rasionalisme Descartes telah menjadikan alam sebagai objek yang dapat diatur sesuai dengan keinginan dan pilihan manusia yang pada gilirannya mengakibatkan kehancuran alam.14 Sepertinya Descartes mengisyaratkan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kecakapan rasionalnya. Akan tetapi, dalam praktiknya, Rasionalisme Descartes membawa problem-problem serius sebagaimana disebutkan di muka termasuk pada etika atau filsafat moralnya. Di tempat lain Nasr menyimpulkan bahwa dekadensi humanistik pada zaman modern ini disebabkan manusia telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai diri dan keakuan yang selalu dipeliharanya.15 Pengetahuan langsung mengenai diri terkait dengan identitas atau jatidiri sejati manusia. Di sinilah penulis tertarik untuk menawarkan kemungkinan akhlak perspektif Ibn ‘Arabî, yakni ‘irfân, karena perspektifnya yang berbasis 11
Filsafat modern secara umum dicirikan oleh penolakannya atas otoritas gereja dan penerimaannya atas otoritas sains. Meski ada sejumlah tokoh filsafat modern yang diakui otoritasnya, tetapi Descartes dianggap pendiri filsafat modern ketimbang Francis Bacon yang muncul lebih awal. Lihat: Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, (London: George Allen and Unwin Ltd, 1946). 12 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat, (Bandung: Mizan, 1994), hal.163. 13 Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal.51. Lihat juga: Drs. Sudarto, M. Hum, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), hal.19; F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal.42; Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal.743-745. 14 Emanuel Wora, Perenialisme, hal.51. Lihat juga: Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1983), hal.8687. 15
S. H. Nasr, Islam dan Nestapa Manusa Modern, hal.6.
4
Ketunggalan Wujud (Wahdat al-Wujûd) mengandaikan pengetahuan langsung tentang jatidiri manusia16 sehingga, pada gilirannya, dapat menghilangkan keakuan manusia sebagaimana dipelihara oleh Filsafat Rasionalisme. Agaknya keakuan yang dimaksud ini sama dengan nafs, yang dalam psikologi sufi kadang diterjemahkan sebagai “ego”, “diri” atau “jiwa”. 17 Mungkin timbul pertanyaan, mengapa harus ‘irfân? Apakah tidak cukup dengan memperdalam kembali ilmu akhlak untuk menyembuhkan kebangkrutan akhlak dan moralitas manusia modern ini? Muṭahhari menyebutkan ragam perbedaan antara akhlak dan ‘irfân atau tasawuf.18 Akan tetapi, sebelumnya harus dibedakan antara aspek teoretis ‘irfân dan aspek praktisnya. Pada aspek pertama, ‘irfân terkait dengan pemahaman mengenai wujud, yakni Tuhan, manusia, dan alam. Menurut Muṭahhari, aspek ini memiliki kesamaan dengan filsafat karena keduanya menafsirkan hakikat alam semesta.19 Perbedaannya adalah 'irfân mendasarkan kesimpulannya tentang prinsip-prinsip wujud pada penyingkapan mistis (kasyf) baru kemudian membahasakannya dengan bahasa nalar untuk menjelaskannya, sementara filsafat semata-mata bersandar pada prinsip-prinsip rasional.20 Ontologi 'irfân dalam banyak hal berbeda dari ontologi para filsuf. Menurut filsuf, baik Tuhan maupun segala sesuatu lainnya sama-sama memiliki realitas, dengan perbedaan bahwa sementara Tuhan adalah Wujud Niscaya-ada
16
Muhammad Iqbal (1877-1938) menyatakan bahwa roh adalah realitas. Mengutip filsuf Suhrawardî, Iqbal menyebutkan bahwa roh itu bertingkat-tingkat, dengan demikian, realitas pun bertingkat-tingkat, mulai dari realitas Allah, yang disebut Iqbal sebagai Ego Terakhir atau Egoyang-Mutlak, hingga menurun ke realitas manusia. Dengan bentangan realitas semacam itu, tidak terlalu sulit untuk berkesimpulan bahwa identitas atau jatidiri manusia itu adalah Allah. Lihat: Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, diterjemahkan oleh Ali Audah dkk, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hal.117, 129. 17 Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, diterjemahkan oleh Hasmiyah Rauf, (Jakarta: Serambi, 2002), hal.86. 18 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, (London: ICAS, 2002), hal.91. Menurut Muṭahhari, kata 'irfân lebih merujuk pada salah satu cabang keilmuan Islam, sementara istilah tasawuf merujuk dimensi sosial-budaya. Akan tetapi, sebagian akademisi sepertinya menyamakan kedua istilah tersebut. Lihat, misalnya, Hajj Nur Ali Tabandeh, "Shi'ism, Sufism, and Gnosticism" dalam Seyyed Ghahreman Safavi, Sufism (‘Irfân), London: London Academy of Iranian Studies, 2008, hal.82. 19 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.91. 20 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.92.
5
(Wajib al-Wujûd) dan Wujud-dengan-Dirinya Sendiri, segala sesuatu selain Tuhan hanyalah wujud-wujud kontigen (Mumkin al-Wujûd), wujud-karena-yang lain dan merupakan akibat dari Wujud Niscaya-ada.21 Berbeda dengan ontologi filsuf, ontologi 'ârif tidak memberi tempat bagi segala sesuatu selain Tuhan untuk eksis di samping Dia sekalipun segala sesuatu itu adalah efek-efek dari-Nya. Wujud Tuhan mencakup dan meliputi segala sesuatu. Yakni, dengan kata, lain, segala sesuatu merupakan nama-nama, kualitas-kualitas dan manifestasi-manifestasi Tuhan, bukan eksisten-eksisten di samping-Nya.22 Dari sisi tujuan, ada perbedaan antara filsuf dan 'ârif. Yang pertama ingin memahami dunia, ingin membentuk dalam pikirannya suatu gambaran tentang ranah eksistensi yang benar dan sempurna secara relatif. Filsafat, dengan demikian, dapat didefinisikan sebagai perkembangan (akhir) dari subjek rasional ('âlim) menuju alam aktual ('alam).23 Adapun tujuan 'ârif adalah tidak berurusan dengan akal dan pemahaman. 'Ârif hanya ingin sampai pada realitas eksistensi, Tuhan, untuk menjadi terhubung dengannya dan menyaksikannya.24 Intinya, sarana filsuf adalah akal, logika, dan deduksi; sementara sarana 'ârif adalah hati, perjuangan spiritual, penyucian dan pendisiplinan diri, dan dinamika batin. Sementara, pada aspek praktisnya ‘irfân serupa dengan akhlak (etika) dengan sejumlah perbedaan. Pertama, 'irfân membahas hubungan manusia dengan dirinya, dengan alam, dan dengan Tuhan, meski yang lebih utama hubungannya dengan Tuhan; di sisi lain, sistem akhlak tidak menganggap penting hubungan antara manusia dan Tuhan untuk didiskusikan. Hanya sistem akhlak berdasarkan agama yang memberi perhatian tentang masalah ini.25 Kedua, perbedaan antara akhlak dan 'irfân terletak pada metodologi kemajuan spiritual, sayr wa sulûk; 'irfân memerhatikan proses ini sehingga ia bersifat dinamis, sedangkan akhlak bersifat statis.26 'Irfân membicarakan titik pemberangkatan perjalanan, tujuan
21
Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.92. Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.92-93. 23 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.93. 24 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.93. 25 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.91. 26 Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.91. 22
6
akhir, kedudukan dan keadaan spiritual, sementara akhlak fokus pada perbaikan dan perkembangan jiwa, yang khas sebagai pandangan filsafat moral, seperti kebajikan, kejujuran, keikhlasan, kesucian, kemurahhatian, keadilan, itsâr, dan lain-lain.27 Ketiga, elemen-elemen spiritual dalam akhlak terbatas pada konsepkonsep dan gagasan-gagasan yang secara umum sama; sementara, elemen-elemen spiritual 'irfân lebih mendalam dan ekspansif.28 Bagaimanapun, akhlak perspektif 'irfân termasuk salah satu dari empat teori akhlak dalam dalam Dunia Islam: pertama, moralitas skriptural; kedua, akhlak teologis; ketiga, akhlak filsufis, dan keempat, moralitas religius.29 Menurut Majid Fakhri, akhlak perspektif 'irfân, yang disebutnya sebagai etika sufi, merupakan perpaduan antara pandangan-dunia al-Qur’an, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat, dan tasawuf.30 Sejauh ini, tokoh akhlak dalam perspektif 'irfân sering direpresentasikan oleh al-Ghazali. Setidaknya ini terlihat pada cukup banyaknya kajian mengenai sistem akhlak perspektif 'irfân al-Ghazali.31 Atas dasar itulah, penulis untuk melakukan penelitian ihwal akhlak dalam perspektif Ibn ‘Arabî yang berbasis Ketunggalan Wujud (Wahdat al-Wujûd). B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam yang memiliki ajaran-ajaran mengenai akhlak dan moralitas yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun, berbagai peristiwa kejahatan dalam berbagai levelnya telah menenggelamkan akhlak dan moralitas sehingga menimbulkan kesan bahwa Islam tidak mampu memberikan solusi atas problem individu dan masyarakat modern. Hal ini tentu mengarahkan pada apa yang menjadi akar permasalahannya. Sebagian intelektual Muslim menyebutkan bahwa dekadensi humanistik ini berakar pada kurangnya masyarakat modern dalam mengakses pengetahuan
27
Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.91. Murtaḍa Muṭahhari, Understanding Islamic Sciences, hal.92. 29 Majid Fakhri, Ethical Theories in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1994), hal.xi. 30 Majid Fakhri, Ethical Theories, hal.7. 31 Sebagai contoh, M. Abul Quasem, Etika Al-Ghazali¸ (Bandung: Pustaka, 1988). Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris, The Ethics of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam, Kuala Lumpur, 1975. 28
7
langsung mengenai jatidiri mereka dan masih terpeliharanya unsur keakuan dalam pribadi mereka. Pengajaran akhlak yang terlalu rasionalistik dinilai memberikan sumbangan terhadapnya terpeliharanya keakuan tersebut. Akhlak yang berbasis filsafat Rasionalisme Descartes telah menjadikan fakultas rasional manusia sebagai ukuran kebenaran tertinggi. 2. Pembatasan Masalah Dalam tesis ini penulis membatasi masalah pada akhlak dalam perspektif Ibn ‘Arabî. Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan antara lain: a)
Filsafat
Rasionalisme
yang
dikembangkan
Descartes
telah
mengunggulkan rasio manusia sebagai ukuran kebenaran yang berimplikasi pada munculnya ego individual manusia sehingga jatidiri sejati manusia terhijabi oleh ego tersebut. b) Perspektif Ibn ‘Arabî berpeluang lebih mampu menghalau ego individual tersebut karena mendasarkan diri pada Ketunggalan Wujud sehingga manusia tampil dalam akhlak Tuhan. Karena itu, pembahasan akan mencakup fondasi-fondasi ‘irfân Ibn ‘Arabî dan relasinya dengan akhlak. Termasuk juga peran dan fungsi syariat dalam perspektif Ibn ‘Arabî. Penelitian ini tidak akan mengupas secara lebih mendetil ihwal maqâmat dan ahwâl dalam ‘irfân. 3. Perumusan Masalah Dengan pembatasan masalah tersebut, permasalahan yang hendak dijawab adalah: a) Bagaimana perspektif Ibn ‘Arabî mengenai akhlak? b) Sejauhmana relasi akhlak dan syariat dalam perspektif Ibn ‘Arabî dan keselarasan di antara keduanya? c) Apakah akhlak perspektif Ibn ‘Arabî dapat menjadi fondasi aturan dalam masyarakat? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perspektif Ibn ‘Arabî tentang akhlak. 2. Untuk mengetahui relasi akhlak dan syariat dalam perspektif Ibn ‘Arabî. 4. Untuk mengetahui kemungkinan akhlak perspektif Ibn ‘Arabî menjadi fondasi aturan dalam masyarakat.
8
D. Manfaat Penelitian 1. Dari tesis ini kita akan menemukan kriteria akhlak sehingga kita mampu
membangun
norma-norma
yang
sejalan
dengan
kesempurnaan manusia berdasarkan perspektif Ibn ‘Arabî. 2. Kita
akan
membentuk
standar-standar
nilai
yang
dapat
mengantarkan manusia kepada kesempurnaannya. 3. Tesis ini diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada pengetahuan sosial mengenai akhlak berdasarkan perspektif Ibn ‘Arabî. E. Tinjauan Pustaka Belakangan ini penelitian terhadap karya-karya Ibn 'Arabî semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pilihan mereka kepada Ibn 'Arabî sebagai objek penelitian mengisyaratkan bahwa pada diri Ibn 'Arabî ada daya tarik spiritualitas yang luar biasa yang mesti ditelaah. Pemikiran Ibn 'Arabî yang amat ensiklopedis telah menghasilkan sejumlah karya riset seperti berikut yang diurut berdasarkan tahun. a) Kleinere Schriften des Ibn ' Arabi (Leiden, 1919) oleh H.S. Nyberg. Karya ini merupakan karya awal menyangkut Ibn ‘Arabî. Dalam karya tersebut, penulis menghimpun dan menyunting tiga karya Ibn ‘Arabî seperti Insyâ' alDawâir, ‘Uqlat al-Musṭawfiz, dan al-Tadbîrat al-Ilâhiyyat fi Iṣlâh al-Mamlakah al-Insâniyyah. Penulis juga memasukkan penilaian kritis terhadap sejumlah pandangan metafisis dalam tiga karya yang dihimpun dan disuntingnya.32 b) El Islam cristianizado (Madrid, 1931) oleh M. Asin Palacios. Karya ini menyuguhkan kepada kita penjelasan yang utuh dan terperinci tentang kehidupan Ibn ‘Arabî. Selain itu Palacios menjabarkan secara singkat pemikiran mistis-etis Ibn ‘Arabî. Akan tetapi, menurut Takeshita, kekurangan karya ini adalah penghindaran penulisnya terhadap doktrin metafisika Ibn ‘Arabî.33
32
Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu ‘Arabî, diterjemahkan oleh Harir Muzakki, M.Ag., (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hal. vi. 33
Masataka Takeshita, Insan Kamil, hal.vi.
9
c) The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul 'Arabi karya A.E. Affifi (Cambridge, 1939). Affifi adalah orang pertama yang menyampaikan anotasi yang jelas dan sistematis tentang seluruh gagasan Ibn ‘Arabî dan merupakan pengantar terbaik untuk memasuki karya-karya Ibn ‘Arabî. Akan tetapi, buku ini mengandung sistematisasi yang berlebihan. Bahkan upaya penulis untuk membandingkan Ibn ‘Arabî dengan para pemikir sebelumnya dan teman sezamannya sangat sederhana dan dangkal. Sistematisasi yang berlebihan ini terlihat dalam kompilasi sistematis atas tema yang bervariasi, saling terkait, dan tak terpisah-pisah.34 d) L'imagination creatrice dans le soufism d'Ibn ' Arabi (1958, versi Prancis) atau Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (1976, edisi Inggris) karya Henry Corbin. Karya ini merupakan studi mendalam tentang imajinasi dari simbolisme mistis dan spiritual Ibn ‘Arabî. Corbin mengakui bahwa ia menggunakan pendekatan fenomenologis, tetapi Takeshita tidak menerima pengakuannya.35 Sementara, menurut Chittick, bagi para pembaca yang akrab dengan teks-teks orisinal akan sepakat bahwa penjelasan Corbin sangat bercita rasa individual.36 Selain itu, sebagian orang mungkin akan mempertanyakan relevansi Ibn ‘Arabî bagi pemikiran modern setelah membaca penjelasan Corbin seperti itu.37 e) Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosopical Concepts (Tokyo, 1983) karya Toshihiko Izutsu. Karya ini merupakan studi komparatif melalui analisis semantis di antara istilah-istilah kunci yang digunakan oleh Ibn ‘Arabî, Lao-Tzu, dan Chuang Tzu. Poin utama dari buku ini terletak pada interpretasi mendalam atas istilah-istilah kunci tersebut kesalingterkaitannya di antara mereka. Dalam karyanya itu, Izutsu membatasi analisisnya secara menyeluruh pada satu karya Ibn ‘Arabî, Fuṡûṡ al-Hikam. Akan tetapi, bagi
34
Masataka Takeshita, Insan Kamil, hal.vii. Masataka Takeshita, Insan Kamil, hal.viii. 36 William C. Chittick, SPK, hal.xix. 37 William C. Chittick, SPK, hal.xix. 35
10
Chittick, usaha seperti ini tidak benar-benar merefleksikan perhatian utama Ibn ‘Arabî.38 f) Seal of the Saints of Prophethood and Sainthood on the Doctrine of Ibn Arabi (1993) karya seorang peneliti asal Prancis, Michel Chodkiewicz. Buku ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Prancis pada tahun 1986 dengan judul Le Sceau des saints: Prophetie es saintete dans la doctrine d'Ibn al-'Arabi (Paris: Gallimard, 1986). Dalam buku tersebut, Chodkiewicz mengupas konsep kenabian (al-nubuwwah), kewalian (al-wilâyah), dan konsep-konsep terkait lainnya dalam al-Futûhât al-Makkiyah dalam perspektif historis. Chodkiewicz menyumbangkan andil penting dalam upaya memahami aspek teoretis dan praktis ajaran Ibn ‘Arabî. Menurut Chittick, penekanan Chodkiewicz pada arti penting praktik dan ketaatan pada syariat menyediakan penawar yang sangat bermanfaat terhadap analisis Izutsu terlalu selektif dan Corbin yang cenderung berlebihan.39 Dalam buku itu, Chodkiewicz juga menolak sebagian klaim para komentator dan pengamat Ibn ‘Arabî seperti Haydar Amuli dan Henry Corbin yang menilai Ibn ‘Arabî sebagai sufi yang pro-Syî’ah.40 g) Ibn ' Arabi's Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought (Tokyo, 1987) karya Masataka Takeshita. Studi ini berusaha membandingkan konsep Manusia Sempurna (al-Insân al-Kâmil) antara Ibn ‘Arabî dan para pemikir lainnya seperti kelompok Ikhwân al-ṡafâ, al-Ghazali, dan Hakim al-Tirmidzi. Pembahasan Takeshita berawal dari teologi Citra Tuhan (Imago Dei) pra-Islam dan penjabarannya menurut tasawuf. h) Ibn al-'Arabî ou La quete du Soufre Rouge (Paris, 1989) karya Claude Chodkiewicz-Addas, yang diterjemahkan oleh Peter Kingsley ke bahasa Inggris 38
William C. Chittick, SPK, hal.xix. William C. Chittick, SPK, hal.xx. 40 Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabî tentang Kenabian dan Aulia, diterjemahkan oleh Dwi Suryaatmaja, M.A., (Jakarta: Srigunting, 2002). Penolakan Chodkiewicz ini terlihat terutama pada halaman 65-66, 233-236, 265. Boleh jadi Ibn ‘Arabî punya sikap tersendiri terhadap mazhab Syî’ah Dua Belas Imam tetapi itu semua tidak menghalangi para komentator Syî’ah— seperti Haydar Amulî dan Imam Khomeini—untuk mempelajari doktrin ‘irfân-nya yang termaktub, misalnya, dalam Fuṡûṡ. Ini artinya, para komentator Fuṡûṡ dari kalangan Syî’ah ini telah menunjukkan sikap toleransi yang luar biasa terhadap mereka selain- Syî’ah dalam bidang esoterisme dan spiritual. Mengenai relasi antara tasawuf dan Syî’ah, dapat dilihat dalam S.H. Nasr, Tasauf: Dulu dan Sekarang, khususnya hal.143-174. 39
11
menjadi Quest for the Red Sulphur: Life of Ibn al-'Arabi. Karya ini adalah studi biografis yang relatif lengkap tentang Ibn ‘Arabî. Claude Addas menceritakan kepada kita secara terperinci momen-momen besar dalam kehidupan Ibn ‘Arabî dalam buku ini. i) The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-'Arabi's Metaphysics of Imagination (New York, 1989) karya William C. Chittick. Dalam endorsementnya yang cukup panjang atas buku itu, Annemarie Schimmel mengatakan, “William Chittick memberikan kepada kita sejumlah terjemahan dari banyak bagian karya Syaikh al-Akbar (the Magister Magnus) dan menempatkannya dalam konteks teologis mereka, dengan begitu, menghilangkan banyak kesalahpahaman yang tersebar merata di kalangan Muslim dan di Barat ketika menafsirkan pandangan-dunia mistis Ibn ‘Arabî.” Buku ini—yang memuat lebih dari enam ratus
pasase
al-Futûhât
al-Makkiyyah—menawarkan
kepada
pembaca
kesempurnaan spiritual menurut Ibn ‘Arabî. Selain itu, Chittick juga menguraikan pandangan teologi, ontologi, epistemologi, hermeneutika, dan soteriologi.” j) Imaginal Worlds: Ibn al-'Arabi and the Problem of Religious Diversity (New York, 1994) karya William C. Chittick. Buku ini bisa dipandang sebagai suatu pengantar atas pemikiran Ibn ‘Arabî menyangkut nasib akhir manusia, Tuhan, dan alam semesta serta alasan-alasan di balik munculnya keanekaragaman agama. Dari analisis penulisnya, Ibn ‘Arabî memberikan platform sikap toleransi terhadap keragaman agama mengingat semuanya itu merupakan penampakan AlHaqq. k) The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-'Arabi's Cosmology (New York, 1998) karya William C. Chittick. Karya ini meneruskan investigasi awal Chittick dalam the Sufi Path of Knowledge. Sebagaimana disebutkan, Chittick menguraikan secara panjang lebar gagasan-gagasan kosmologi Ibn ‘Arabî. Dalam hal ini, ia menjadikan al-Futûhât al-Makkiyyah sebagai rujukan utama yang di dalamnya ia memanfaatkan sejumlah bagian terpilih dari alFutûhât (jilid 1-4). Sementara di Indonesia, kajian mengenai pemikiran Ibn 'Arabi dirintis oleh Kautsar Azhari Noer yang mengeluarkan buku Ibn al-'Arabi: Wahdat al-
12
Wujûd dalam Perdebatan.41 Kajian ini memuat penjelasan terperinci atas tema gagasan Ketunggalan Wujud Ibn ‘Arabî dalam suatu bahasa yang sederhana tetapi sangat membantu dengan merujuk pada al-Futûhât dan Fuṡûṡ al-Hikam. Penulis juga menjelaskan istilah pantheisme yang kerap digunakan oleh pemikir Barat untuk menerjemahkan Wahdat al-Wujûd Ibn ‘Arabî. Hasil kajian penulis mengindikasikan bahwa sejumlah corak pantheisme dapat digunakan yang sama maknanya dengan Wahdat al-Wujûd, namun separuhnya bukanlah suatu istilah yang baik dan benar. Karya tentang Ibn 'Arabi selanjutnya adalah Meraih Hakikat Melalui Syariat: Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi yang ditulis Nuarasiah Faqihsutan Hrp.42 Penulis berusaha membuktikan bahwa Ibn ‘Arabî memiliki pemikiran tertentu mengenai syariat. Karena penguasaannya terhadap syariat, Ibn ‘Arabî dinilai oleh penulis sebagai sufi yang berkapasitas mujtahid, dan, karena itu, agak sulit menentukan mazhab fikih apa yang dianut oleh Ibn ‘Arabî. Apalagi hal itu tidak ditonjolkan oleh Ibn ‘Arabî sendiri. Sumber primer buku ini merujuk pada bagian-bagian tertentu dari al-Futûhât al-Makkiyyah menyangkut syariat. Karya disertasi Mukhlisin Sa'ad Etika Sufi: Studi Pemikiran Ibn al-'Arabî adalah karya pertama yang membahas pemikiran etika dari Ibn 'Arabî.43 Di dalamnya, penulis membahas prinsip-prinsip moral yang mendasari pemikiran etika Ibn 'Arabî dikaitkan dengan tanggung jawab moral manusia, pandangan Ibn 'Arabî mengenai masalah-masalah moral, dan relevansi pemikiran etika Ibn 'Arabî terhadap dunia modern. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Seperti dikemukakan oleh Moleong, bahwa ada dua jenis pendekatan penelitian:
41
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-'Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995). 42 Nuarasiah Faqihsutan Hrp, Meraih Hakikat Melalui Syariat: Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî, (Bandung: Mizan, 2005). 43 Mukhlisin Sa'ad, Etika Sufi: Studi Pemikiran Ibn al-'Arabî, (Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008).
13
kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan pertama melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu, atau, dengan kata lain, melibatkan diri pada perhitungan, atau angka, atau kuantitas, sementara pendekatan kedua adalah pendekatan penelitian yang tidak menggunakan perhitungan.44 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan. Data-data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah buku-buku yang berhubungan langsung dengan perspektif akhlak Ibn ‘Arabî. Sedangkan data sekunder yang dimaksud adalah buku-buku yang membahas mengenai pemikiran akhlak Ibn ‘Arabî. Kesemua data primer dan sekunder itu dituliskan pada daftar pustaka. Berikut ini adalah sebagian data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini: a. The Meccan Revelation (vol.1) b. Fuṡûṡ al-Hikam c. Tadbirat al-Ilâhiyyah fî Iṡlâh al-Mamlakah al-Insâniyyah d. What the Seeker Needs, Essays on Spiritual Practice, Oneness, Majesty and Beauty. Sementara sebagian data sekunder yang dipakai adalah sebagai berikut. a. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysic Imagination b. Imaginal Worlds, Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious Diversity 3. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisis terhadap data-data tersebut. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis-reflektif. Metode ini didefinisikan sebagai:
44
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal.2-3.
14
“Jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap objek yang diteliti; atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilahmilah antara pengertian yang satu dengan pengertian-pengertian yang lain, untuk sekadar memperoleh kejelasan mengenai halnya.”45 Sejumlah unsur dari metodologi yang diperlukan dalam model penelitian ini adalah46: a. Interpretasi Menyelami karya Ibn ‘Arabî untuk menangkap arti, nuansa, yang dimaksudkan olehnya secara khas. b. Kesinambungan historis. Ini membantu dalam memaparkan biografi Ibn ‘Arabî. c. Deskripsi, terutama dipakai dalam mendeskripsikan fondasi perspektif Ibn ‘Arabî. d. Refleksi penelitian pribadi G. Ringkasan BAB I Bab ini akan menjelaskan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan literatur, dan metode penelitian. Bagian latar belakang menggambarkan alasan penulis memilih topik “Akhlak dalam Perspektif Ibn ‘Arabî”, sementara perumusan masalah akan menjelaskan problem-problem yang ingin dipecahkan oleh penulis. Tujuan tesis ini menjelaskan tentang tujuan akhir peneliti dalam pengerjaan tesis ini, sementara bagian manfaat menerangkan tentang manfaat penelitian yang penulis lakukan. BAB II Bab ini akan menyoroti kerangka teoretis akhlak, mulai dari pengertian hingga aliran-aliran akhlak yang berkembang di Dunia Islam. BAB III
45 46
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), hal.59. Sudarto, Metode, hal.98-100.
15
Bab ini membicarakan riwayat singkat Ibn ‘Arabî juga memuat sejumlah fondasi ‘irfân Ibn ‘Arabî seperti wujûd dan 'adam, al-Haqq dan al-khalq, tajalli al-Haqq, al-Zhâhir dan al-Bâṭîn, tanzîh dan tasybîh, Zat dan Nama-nama Tuhan, serta Manusia Sempurna pada level makrokosmos dan mikrokosmos. BAB IV Bab ini memuat analis-analisis sejumlah pandangan Ibn ‘Arabî tentang akhlak seperti relasi Allah dan alam (kosmos), Nama Allah dalam diri manusia, dua dimensi manusia, dua jenis akhlak, syariat sebagai sumber akhlak, kesempurnaan akhlak, dan akhlak filsufis sebagai pengantar menuju akhlak ‘irfâni. BAB V Pada bab ini, penulis menyampaikan kesimpulan akhir dan saran menyangkut perspektif ‘irfân Ibn ‘Arabî tentang akhlak sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan pada bab sebelumnya. Dari saran yang diberikan, sangat mungkin penelitian selanjutnya dilakukan oleh para periset lain.
16
BIBLIOGRAFI Buku Addas, Claude, Mencari Belerang Merah: Kisah Ibn ‘Arabi, diterjemahkan oleh Zaimul Am, Jakarta: Serambi, 2004. Affifi, A.E., The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabî, Cambridge: University Press, 1938. Ali, Yunasril, Jalan Kearifan Sufi, Jakarta: Serambi, 2002. Amuli, Sayyid Haydar, Inner Secrets of the Path, Dorset: Element Books, 1989. Armstrong, Amatullah, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, diterjemahkan oleh M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000. al-Ashify, Muhammad Mahdi, Terapi Menundukkan Hawa Nafsu, diterjemahkan oleh Shohib Aziz Zuhri, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004. Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, 2005. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000. Bahesyti, Muhammad Husaini dan Bahonar, Jawad, Intisari Islam: Kajian Komprehensif tentang Hikmah Ajaran Islam, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2003. Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia, 1993. Chittick, William C., The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysic Imagination, Albany: SUNY Press, 1989. -------, Ibn ‘Arabî: Heir to the Prophets, Oxford: Oneworld, 2005. -------, Imaginal Worlds, Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious Diversity, Albany: SUNY Press, 1994. -------, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabî’s Cosmology, Albany: SUNY Press, 1998. Chodkiewicz, Michel, Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia, diterjemahkan oleh Dwi Suryaatmaja, M.A., Jakarta: Srigunting, 2002. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2001.
120
Frager, Robert, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, diterjemahkan oleh Hasmiyah Rauf, Jakarta: Serambi, 2002 al-Ghazali, Al-Asma’ al-Husna: Rahasia Nama-nama Indah Allah, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 2002. Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche, Jakarta: Gramedia, 2004. Hirtenstein, Stephen & Tiernan, M. (peny.), Muhyiddin Ibn ‘Arabi: A Commemorative Volume, Queensland: Element, 1996. Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh Al-Akbar Ibn ’Arabi, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001. Ibn ‘Arabî, “Wahai Anakku”, Nasihat Sufi Besar Ibn Arabi, diterjemahkan oleh Arif Maftuhin, Jakarta: Pustaka IIMaN, 2004. -------, Bercengkerama Bersama Kaum Sufi, diterjemahkan oleh M.S. Nasrullah, Jakarta: Hikmah, 2002. -------, Menakar Jiwa Yang Suci: Introspeksi Jiwa Ibnu Arabi, diterjemahkan oleh dterjemahkan oleh Muhammad Ansor dan Ahmad Sayfuddin Sholeh, Jakarta: Hikmah, 2003. -------, Menata Diri dengan Tadbir Ilahi, diterjemahkan oleh Hodri Ariev, Jakarta: Serambi, 2004. -------, Menghampiri Sang Mahakudus: Rahasia-rahasia Bersuci, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 2002. -------, The Bezels of Wisdom, diterjemahkan oleh R.W.J. Austin, New York: Paulist Press, 1980. -------, The Meccan Revelation (vol.1), diterjemahkan oleh William C. Chittick & James W. Morris, New York: Pir Press, 2005. -------, The Ringstone of Wisdom (Fusus al-hikam), diterjemahkan oleh.Caner K. Dagli, Chicago: Great Books of Islamic World, 2004. -------, Risalah Kemesraan, diterjemahkan oleh Hodri Ariev, Jakarta: Serambi, 2005.
121
-------, The Wisdom of the Prophets, diterjemahkan oleh Titus Burckhardt, Beshara Publications. -------, Wasiat-wasiat, diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. -------, What the Seeker Needs, Essays on Spiritual Practice, Oneness, Majesty and Beauty, diterjemahkan oleh Shaikh Tosun Bayrak Al-Jerrahi dan Rabia Terri Harris Al-Jerrahi, (S. Abdul Majeed & Co) Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1998. Imam Sajjad, A Divine Perspective on Rights, diterjemahkan oleh Ali Peiravi & Lisa Zaynab Morgan, Qum: Ansariyan Publications, 2002. Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, diterjemahkan oleh Ali Audah dkk, Yogyakarta: Jalasutra, 2002. Izutsu, Toshihiko, Sufism and Taoism, London: University of California Press, 1983. Khamenei, S.M., Development of Wisdom in Iran and in the World, Tehran: SIPRIn Publication, 2000. Morris, Zeylan (ed.), Knowledge is Light: Essays in Honor of Seyyed Hossein Nasr, (Chicago: ABC International Group Inc, 1999) Murata, Sachiko, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1996. Muṭahhari, Murtaḍa, Understanding Islamic Sciences, London: ICAS, 2002. -------, Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan Moral, diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, Jakarta: Al-Huda, 2004. -------, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis Berbagai Pandangan Filsufis, diterjemahkan oleh Abdillah Hamid Ba’abud, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1995. -------, dan Ṭabaṭaba’i, S.M.H., Menapak Jalan Spiritual, diterjemahkan oleh M.S. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
122
Nasr
(ed.), Seyyed Hossein,
Ensiklopedi
Tematis:
Spiritualitas
Islam,
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 2003. -------, Ideals and Realities of Islam, California: Aquarian Press, 1994. -------, Islam dan Nestapa Manusa Modern, diterjemahkan oleh Ammar Haryono, Bandung: Pustaka Salman, 1983. -------, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1994. -------, Tasauf Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. -------, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Ach. Maimun Syamsuddin, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-'Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995. Quasem, M. Abdul, Etika Al-Ghazali, diterjemahkan oleh J. Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1988. Rahardjo, M. Dawam (peny.), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Rauf, Bulent, The Twenty Nine Pages: An Introduction to Ibn ‘Arabî’s Metaphysic of Unity, Scotland: Beshara Publications, 1998. Russel, Bertrand , Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Safavi, Seyed Ghahreman, Sufism (‘Irfân), London: London Academy of Iranian Studies, 2008. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Darmono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Smith, Huston, Agama-agama Manusia, diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajagrafindo, 2002. Suhrawardī, Syihab Al-Dîn , Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, diterjemahkan oleh Muhammad Al Fayyadl, Yogyakarta: Islamika, 2003.
123
Takeshita, Masataka, Insan Kamil: Pandangan Ibnu ‘Arabi, diterjemahkan oleh Harir Muzakki, M.Ag., Surabaya: Risalah Gusti, 2005. Wora, Emanuel, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Yazdî, M.T. Miṡbâh, Meniru Tuhan: Antara ‘Yang Terjadi’ dan ‘Yang Mesti Terjadi’, diterjemahkan oleh Ammar Fauzi Heryadi, Jakarta: Al-Huda, 2006. Disertasi Mukhlisin Sa’ad, Etika Sufi: Studi Pemikiran Ibn al-‘Arabî, Pascasarjana, Universitas Islam Negeri, 2008. Makalah Muhammad Baqir, “Ibn ‘Arabi: Penjelmaan Kehidupan Spiritual”, Kajian Metafisika Islam, 13 November 2006, di Islamic Cultural Center (ICC). Jurnal/Majalah Sindhunata, Kemajuan yang Sia-sia, Basis, November-Desember 2008. Wahid Akhtar, “Tasawuf: Titik Temu Sunnah-Syi’ah”, dalam al-Hikmah, (Bandung, Yayasan Muthahhari, Vol.I, No.2, 1990). Website http://mubarok-institute.blogspot.com/2010/09/membangun-akhlak-manusia-7konsep-baik_02.html. http://hariansib.com/?p=58373 http://www.tempointeraktif.com http://abortus.blogspot.com
124