EFIKAS SI VAKS SIN POLIIVALEN Aeromonnas hydro ophila ISOLAT JAWA J TIIMUR PA ADA LEL LE DUM MBO (Clarrias sp.)
S SKRIPSI
OLEH MEEZAN M N ARDHANU AS SAGABA ALDAN 08/2695597/PN/111331
FA AKULTA AS PERT TANIAN UNIV VERSITA AS GADJJAH MAD DA YOG GYAKAR RTA 2013
EFIKASI VAKSIN P POLIVALEN N Aeromonaas hydrophiila ISOLAT T JAWA TIMUR R PADA LE ELE DUMB BO (Clarias sp.)
SKRIPSI
Diajjukan kepadda Fakulttas Pertaniann Universitas Gadjah Maada untuk mem menuhi sebaggian persyaraatan yang dipperlukan untukk memperoleeh gelar Sarjjana Perikannan
OLEH: MEE EZAN ARDH HANU ASA AGABALDA AN 08/2699597/PN/113331
FAKULT TAS PERTA ANIAN U UNIVERSIT TAS GADJA AH MADA YOG GYAKARTA A 2013
i
SKRIPSI E EFIKASI VA AKSIN POLIIVALEN Aeeromonas hyydrophila ISO OLAT JAW WA TIMUR PA ADA LELE DUMBO (C Clarias sp.)
Oleh MEE EZAN ARDH HANU ASA AGABALDA AN 08/26995974/PN/111331 telah diiuji pada tannggal 044 Juli 2013
Skripsi ini i diterima sebagai sebaagian persyaaratan untukk memperoleeh gelar Sarjjana Perikannan Tanda Tangan T
T Tanggal
………… ………..
…… ……………
U Peembimbing Utama D Dr. Ir. Triyantto, M.Si. N NIP. 196407006 198803 1 001
P g Peembimbing Pendamping D Dr. Ir. Alim Isnansetyo, M.Sc. M N NIP. 196706226 199412 1 001
…………… ……..
……… …………
…………… ……..
……… …………
Peenguji D Dr. Ir. Murwaantoko, M. Si. S N NIP. 1969100 01 199512 1 001
Jurussan Perikanaan Fakulttas Pertaniann Universitass Gadjah Maada Ketua Juurusan Perikaanan
Prof. Dr. Ir. I Rustadi, M M. Sc. NIP. 195311219 1980033 1 004 Tanggal : …………… … ………
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efikasi Vaksin Polivalen Aeromonas hydrophila Isolat Jawa Timur pada Lele Dumbo (clarias sp.)” tepat waktu. Penelitian dan penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian di Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada yang sebagian didanai oleh hibah kolaborasi dosen dan mahasiswa atas nama Dr. Ir. Alim Isnansetyo, dkk. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Triyanto, M.Si. dan Dr. Ir. Alim Isnansetyo, M.Sc. atas bimbingan dan
arahan mulai dari awal penelitian hingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik. 2. Dr. Ir. Murwantoko, M.Si. selaku dosen penguji 3. Dr. Jamhari, S.P., M.P. selaku dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. 4. Harry Indra Permana, S.Pi., Ayuningtyas, S.Pi., Tyas Ayu Wulansari, dan Nuri
Muahiddah atas kerjasama dan bantuan yang diberikan selama penelitian. 5. Teman-teman Jurusan Perikanan angkatan 2008 yang telah memberikan
inspirasi dan semangatnya. 6. Serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses
penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dalam isi maupun sistematikanya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Yogyakarta, Juli 2013 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman i ii iii iv vi vii viii ix x
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Manfaat D. Waktu dan Tempat
1 1 2 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aeromonas hydrophila A.1. Klasifikasi A. hydrophila A.2. Karakteristik A. hydrophila A.3. Patogenesa A. hydrophila B. Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) B.1. Gejala Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) B.2. Pengendalian Motile Aeromonas Septicaemia(MAS) C. Sistem Pertahanan Ikan C.1. Sistem Pertahanan Non Spesifik C.2. Sistem Pertahanan Spesifik D. Vaksin dan Vaksinasi E. Lele Dumbo (Clarias sp.) F. Hipotesis
4 4 4 4 5 7 7 8 8 8 9 11 13 14
III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan A.1. Alat A.2. Bahan A.3. Isolat Bakteri B. Tata Laksana Penelitian B.1. Revirulensi A. hydrophila B.2. Uji LD70 B.3. Pembuatan Vaksin Polivalen B.3.1. Pembuatan Antigen H B.3.2. Pembuatan Antigen O B.4. Vaksinasi B.4.1. Rancangan Percobaan B.4.2. Titer Antibodi B.4.3. Uji Tantang
15 15 15 15 15 16 16 16 17 18 18 18 18 19 19
iv
B.4.4. Pengamatan Kualitas Air B.4.5. Pemeliharaan dan Pemberian Pakan C. Perhitungan C.1. Sintasan (Survival Rate/SR) C.2. Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate/SGR) C.3. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS) C.4. Rerata Waktu Kematian (Mean Time of Death/MTD) D. Analisis Data
19 20 20 20 20 20 20 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian A.1. Revirulensi Bakteri A. hydrophila A.2. Uji LD70 A.2.1. Perhitungan Hasil LD70 A.2.2. Pengamatan Gejala Klinis A.3. Uji Tantang A.3.1. Sintasan (Survival Rate/SR) A.3.2. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival) A.3.3. Titer Antibodi A.3.4. Rerata Waktu Kematian (Mean Time of Death) dan Gejala Penyakit A.3.5. Pertumbuhan A.3.5.1. Pertumbuhan Berat A.3.5.2. Pertumbuhan Panjang A.4. Kualitas Air B. Pembahasan
22 22 22 22 23 23 24 24 25 25 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran
35 35 35
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
36 41
v
28 28 28 29 29
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Mortalitas lele dumbo (ekor) yang diinfeksi A. hydrophila isolat JTP2 pada uji LD70
Halaman 22
A. hydrophila isolat JTP2 pada lele
23
Tabel 4.3. Sintasan/SR (%) lele dumbo setelah uji tantang dengan A. hydrophila
24
Tabel 4.4. Tingkat perlindungan relatif/RPS (%) lele dumbo selama uji tantang
25
Tabel 4.5. Titer antibodi lele dumbo yang divaksin dengan berbagai metode vaksinasi selama penelitian
26
Tabel 4.6. Rerata waktu kematian/MTD (jam) lele dumbo selama uji tantang
26
Tabel 4.7. Laju pertumbuhan berat spesifik (%) lele dumbo
28
Tabel 4.8. Laju pertumbuhan panjang spesifik (%) lele dumbo
28
Tabel 4.9. Kualitas air selama pemeliharaan
29
Tabel 4.2. Perhitungan LD70 dumbo
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Aeromonas hydrophila berbentuk batang dan bersifat Gram negatif
Halaman 5
Gambar 1.2. Ikan lele dumbo (Clarias sp.)
13
Gambar 4.1. Bakteri A. hydrophila isolat JTP2 revirulensi III yang berbentuk batang batang kecil setelah dilakukan pengecatan gram
22
Gambar 4.2. Gejala klinis eksternal lele dumbo yang terserang bakteri A. hydrophila isolat JTP2 selama uji LD70
24
Gambar 4.3. Gejala klinis eksternal lele dumbo yang terserang A. hydrophila isolat JTP2 selama uji tantang
27
Gambar 4.4. Gejala klinis internal lele dumbo yang terserang A. hydrophila isolat JTP2 selama uji tantang
27
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kurva standar McFarland
Halaman 42
Lampiran 2. Dokumentasi selama penelitian
42
Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam Sintasan/Survival Rate (SR)
44
Lampiran 4. Hasil uji sidik ragam Tingkat Perlindungan Relatif/ Relative Percent Survival (RPS)
46
Lampiran 5. Hasil uji sidik ragam Rerata Waktu Kematian/Mean Time of Death (MTD)
48
Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam Laju Pertumbuhan Spesifik/Spesific Growth Rate (SGR) Berat
50
Lampiran 7. Hasil uji sidik ragam Laju Pertumbuhan Spesifik/ Spesific Growth Rate (SGR) Panjang
52
Lampiran 8. Isolat A. hydrophila dari daerah Jawa Timur
53
viii
Intisari EFIKASI VAKSIN POLIVALEN Aeromonas hydrophila ISOLAT JAWA TIMUR PADA LELE DUMBO (Clarias sp.) MEEZAN ARDHANU ASAGABALDAN 08/269597/PN/11331 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode vaksinasi A. hydrophila yang paling efektif dalam pengendalian Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) pada ikan lele dumbo. Metode vaksinasi paling efektif dilihat dari nilai laju sintasan (Survival Rate) yang dihasilkan, tingkat perlindungan relatif (Relative Percent Survival), titer antibodi, dan rerata waktu kematian (Mean Time to Death). Pengaruh vaksinasi terhadap pertumbuhan spesifik juga diamati. Metode vaksinasi ini terdiri dari tiga metode (rendam, oral, dan injeksi) dan kontrol dengan tiga ulangan. Vaksinasi rendam (P1) dilakukan dengan merendam ikan uji dalam bak berisi vaksin polivalen dengan kepadatan 107 sel/ml selama lima menit. Vaksinasi oral (P2) dilakukan dengan memasukkan 0,1 ml vaksin melalui mulut ikan uji dengan dosis 107 sel/ikan. Vaksinasi injeksi (P3) dilakukan dengan menginjeksikan 0,1 ml vaksin dengan kepadatan 107 sel/ikan secara intraperitoneal. Seminggu setelah vaksinasi dilakukan booster dan seminggu setelah booster dilakukan uji tantang. Titer antibodi dari awal vaksinasi hingga setelah uji tantang juga diamati. Pada saat uji tantang semua perlakuan diinfeksi dengan cara injeksi intraperitoneal bakteri A. hydrophila isolat JTP2 dengan kepadatan 3,24 x 105 sel/ikan (LD70). Pengamatan sintasan, tingkat perlindungan relatif, dan rerata waktu kematian dilakukan selama 14 hari setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan vaksin polivalen meningkatkan sintasan (P<0,05) hingga 40,0-87,5% dimana kontrol (nonvaksinasi) hanya 13,3%. Vaksinasi juga dapat menunda rerata waktu kematian ikan (P<0,05). Metode vaksinasi paling efektif adalah metode injeksi intraperitoneal dengan nilai sintasan mencapai 87,5% tingkat perlindungan relatif 86,1%, dan rerata waktu kematian ikan 282 jam (12 hari). Akan tetapi vaksinasi tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan. Kata kunci : A. hydrophila, Clarias sp., MAS, vaksin polivalen, vaksinasi
ix
Abstract EFFICACY OF POLYVALENT VACCINES OF Aeromonas hydrophila ISOLATED FROM EAST JAVA IN AFRICAN CATFISH (Clarias sp.) MEEZAN ARDHANU ASAGABALDAN 08/269597/PN/11331 The aims of this research were to determine the most effective method of vaccination in controlling Motile Aeromonas Septicemia (MAS) in African catfish. The effectiveness vaccination methods were evaluated by survival rate (SR), relative percent survival (RPS), antibody titers, and mean time of death (MTD). The effect of vaccination to specific growth was also observed. This vaccination method consists of three treatments (immersion, oral, and injection) and a control in three replications. Immersion vaccination (P1) was done by dipping the fish in vaccine suspended in water at 107 cells/ml for five minutes. Oral vaccination (P2) was done by feeding 0,1 ml vaccine directly through the fish covum oris at a dose of 107 cells/fish. Injection vaccination (P3) was done by injecting 0,1 ml of vaccine at a dose of 107 cells/fish intraperitoneally. A week after vaccination the second vaccination (booster) was conducted and one week after booster the fish was challenged by intraperitoneally injection of A. hydrophila JTP2 at a dose of LD70 (3.24x105 cells/fish). Antibody titers were observed before, after vaccination, and after challenge test. Observations of the survival rate, the relative percent survival, and the mean time of death were done for 14 days after infection. The result showed that the use of polyvalent vaccines increased the survival rate (P <0.05), 40.0-87.5% comparing with control (nonvaccinated), 13.3%. Vaccination also delayed the mean time of death of fishes (P <0,05). The most effective methods was intraperitoneally injection with the values of survival rate reached 87.5% with the relative percent survival level was 86.1%, and the mean time of death was 282 hours (12 days). However, vaccination was not affected on the fish growth rate. Keywords: A. hydrophila, Clarias sp., MAS, polyvalent vaccines, vaccination
x
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lele dumbo (Clarias sp.) banyak disukai oleh masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan gurih, disamping itu harganya relatif murah dibandingkan jenis ikan lainnya. Hal tersebut menyebabkan permintaan terhadap lele dumbo meningkat, dan mendorong para petani ikan untuk mengintensifkan budidayanya. Namun intensifikasi sering menghadapi kendala salah satunya adalah penyakit. Penyakit yang sering ditemukan pada lele dumbo adalah MAS (Motile Aeromonad Septicaemia), atau dikenal juga sebagai penyakit bercak merah yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Angka et al., 1982). Penyakit MAS dapat menyebabkan kematian benih ikan lele dumbo antara 80-100% dalam waktu yang relatif singkat (Ghufran & Kordi, 2004). Penanggulangan penyakit yang disebabkan bakteri A. hydrophila telah banyak dilakukan yaitu dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik yang umum digunakan adalah oxytetracycline, oxolinic acid, erytromycin, streptomycin dan chloramphenicol (Angka, 1997). Penanggulangan dengan menggunakan antibiotik tersebut telah menunjukkan hasil yang baik. Namun dipihak lain pemakaian antibiotik/antibakterial pada budidaya akan meningkatkan isolat bakteri yang resisten terhadap antibiotik tersebut (Inglis et al., 1997). Wang & Silva (1999), mengatakan bahwa penelitian tentang resistensi dari bakteri A. hydrophila terhadap antibiotik mendapatkan hasil dimana sebanyak 80 galur dari bakteri A. hydrophila resisten terhadap antibiotik bacitracin dan ampicilin serta sensitif terhadap antibiotik chloramphenicol, neomycin, streptomycin, dan kombinasi trimethoprim dengan sulfamethoxazole. Vaksinasi merupakan salah satu pencegahan terhadap penyakit ikan dengan merangsang kekebalan ikan yang divaksin terhadap suatu penyakit tertentu pada ikan. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat efisien karena dengan cara ini dapat diperoleh kekebalan hanya dengan sekali atau dua kali pemberian vaksin sampai ikan dipanen. Selain itu vaksinasi tidak menimbulkan efek samping bagi ikan seperti halnya pada penggunaan antibiotik (Supriyadi & Rukyani, 1990). Menurut Plumb (1984), usaha vaksinasi untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri A. hydrophila mempunyai prospek yang baik tetapi masih
1
terdapat beberapa masalah. Salah satu masalah yang ditimbulkan yaitu adanya heterogenitas antigenik dari bakteri tersebut. Audibert & Lise (1993), juga menambahkan bahwa terjadinya varietas yang luas dari strain dan partikel antara bakteri yang berbeda membuat masalah untuk pengembangan vaksin yang sesuai. Terjadinya sejumlah serotipe dan berbagai strain yang sering ditemui pada spesies Aeromonas (Swain et al., 2002). Untuk mengatasi hal itu, Plumb (1984) berpendapat adanya kemungkinan pembuatan vaksin monovalen dengan aplikasi terbatas atau vaksin polivalen dengan aplikasi yang lebih luas. Penelitian efikasi vaksin ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya (Permana, 2013) dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk antibodi anti antigen H didapat satu isolat yang mampu bereaksi silang dengan empat antigen yang patogen (> 50%), dan menghasilkan nilai aglutinasi ≥ 27 yaitu isolat A. hydrophila dari daerah Pare, Jawa Timur sampel ke-2 (JTP2). Sedangkan untuk antibodi anti antigen O, juga didapat isolat bakteri dari daerah Pare, Jawa Timur sampel ke-3 (JTP3) yang mampu bereaksi silang dengan seluruh antigen patogen (> 50%) dan menghasilkan nilai aglutinasi 27. Isolat-isolat antigenik tersebut menjadi dasar dari penelitian ini baik dalam pembuatan vaksin polivalen maupun menguji seberapa pengaruhnya dalam mengendalikan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada lele dumbo (Clarias sp.) B. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh vaksin polivalen Aeromonas hydrohila yang diberikan dengan berbagai metode yaitu injeksi intraperitoneal, rendaman, dan oral terhadap sintasan, tingkat perlindungan relatif (RPS), titer antibodi, rerata waktu kematian (MTD), dan pertumbuhan lele dumbo (Clarias sp.) 2. Mengetahui metode vaksinasi polivalen Aeromonas hydrophila yang paling efektif untuk untuk menanggulangi MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada lele (Clarias sp.)
2
C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan vaksin dan metode vaksinasi untuk mencegah penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada lele (Clarias sp.). D. Waktu dan Tempat Penelitian efikasi vaksin polivalen A. hydrophila pada lele (Clarias sp.) ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 – Juni 2013. Pembuatan vaksin polivalen dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan UGM. Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Basah Penyakit Ikan Jurusan Perikanan UGM.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. A. hydrophila A.1. Klasifikasi A. hydrophila A. hydrophila termasuk dalam famili Vibrionaceae dan genus Aeromonas (Holt, 1977). Mikroorganisme ini secara normal dapat ditemukan dalam lingkungan perairan (Robinson et al. 2000). Bakteri ini memiliki nama sinonim A. formicans dan A. liquefaciens (Sismeiro et al. 1998). Klasifikasi bakteri A. hydrophila menurut Kried & Holt (1984), adalah sebagai berikut: Filum
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Pseudanonadeles
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Aeromonas
Spesies
: Aeromonas hydrophila
A.2. Karakteristik Aeromonas hydrophila A. hydrophila umumnya hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama A. hydrophila adalah berbentuk batang, berdiameter 0,3-1,0 µm dan panjang 1,0-3,5 µm (Aoki, 1999), bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, dan bersifat motil (bergerak aktif) karena memiliki satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya (Ghufran & Kordi, 2004). Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan gas. Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang (Isohood & Drake, 2002). A. hydrophila merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar. Infeksi A. hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air yang terkontaminasi dan ketika host tersebut telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh kerena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al.,
4
1985). Bakteri A. hydrophila menyebabkan penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) atau penyakit bercak merah. Bakteri ini menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo, (Clarias glariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy) dan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi (80-100%) dalam waktu 1-2 minggu. Pengendalian bakteri ini sulit karena memiliki banyak strain dan selalu ada di air serta dapat menjadi resisten terhadap obat-obatan (Kamiso & Triyanto 1993).
Gambar 1.1. Aeromonas hydrophila berbentuk batang dan bersifat Gram negatif (Anonim, 2013a) A.3. Patogenesa A. hydrophila A. hydrophila menghasilkan ECP (Extracellular Product) yang banyak mengandung aktivitas enzimatik. ECP ini mengandung sedikitnya aktivitas haemolitik dan proteolitik yang merupakan penyebab utama patogenitas pada ikan (Austin & Austin, 1993). Bakteri ini juga menghasilkan racun yang diidentifikasi sebagai enterotoxin, proteases, dan haemolysin. Racun ini menyebabkan kerusakan sistemik sampai sistem hematopoiotik dan hati yang akhirnya menyebabkan kematian (Angka, 1990). A. hydrophila diduga juga memproduksi eksotoksin dan endotoksin, yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini. Eksotoksin merupakan komponen
5
protein terlarut, yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa spesies bakteri tertentu baik gram positif maupun gram negatif, yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri gram negatif. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membrane) bakteri Gram negatif (Syamsir 2008). Eksotoksin yang diproduksi oleh A. hydrophila meliputi hemolisin, protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lecithinase dan leucocidin. Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil persediaan nutrient inang untuk berkembangbiak (Angka 2001). A. hydrophila dapat memanfaatkan albumin, kasein, fibrinogen, dan gelatin sebagai substrat protein. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bakteri ini bersifat proteolotik (Shotts et al. 1985), sehingga berpotensi besar sebagai patogen ikan. Adanya enzim proteolitik akan merusak dinding intenstin, sehingga terjadi penebalan dinding, udem dan semi transparan (Munro 1982). Ketika A. hydrophila masuk ke dalam tubuh inang, maka toksin yang dihasilkan akan menyebar melalui aliran darah menuju organ. Enterotoksin merupakan suatu toksin ekstraseluler bakteri yang khususnya menyerang saluran gastrointestinal. Lechitinase adalah enzim yang menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama aktif melisiskan selsel darah merah, sedangkan leucocidin adalah enzim yang dapat membunuh sel-sel darah putih (Pleczar & Chan 1988). A. hydrophila memiliki struktur dinding sel berupa lipopolisakarida (LPS) yang dikenal sebagai endotoksin. Menurut Syamsir (2008), LPS dapat menyebabkan peradangan, demam, penurunan kadar besi, dan pembekuan darah. Angka (2001) menambahkan bahwa LPS dapat menyebabkan shock pada inang. Endotoksin akan dilepaskan ke lingkungan hanya apabila bakteri tersebut mati dan mengalami lisis.
6
Disamping mampu memproduksi eksotoksin dan endotoksin sebagai faktor virulensi, A. hydrophila patogen juga memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui aktifitas adhesins. Adhesins ini bersifat sangat selektif, hanya mampu mengenali rantai polimer D-mannosa dan L-sucosa yang terletak pada permukaan sel eukariot. Dengan menempelnya A. hydrophila pada permukaan sel inang, kemungkinan besar sel inang tersebut akan terinfeksi (Austin & Austin, 1993). A. hydrophila berpotensi menyebabkan infeksi saluran gastrointestinal pada manusia. Strain A. hydrophila dapat menyebabkan kasus enteropathogenik, khususnya pada anak-anak, orang tua dan penderita immunocompromised (rusaknya sistem imun akibat infeksi patogen). Beberapa gejala diare akibat A. hydrophila penyebab gastroenteritis berkaitan erat dengan diproduksinya enterotoksin oleh A. hydrophila (Trower et al., 2000).
B. Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) B.1. Gejala Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) Menurut Herwig (1979), A. hydrophila adalah penyebab penyakit ikan yang dikenal dengan haemorrhagic septicemia, motile aeromonas septicaemia, ulcer disease atau red sore, red pest, dan infectious dropsy. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan jumlah populasi ikan yang menderita stres. Ciri lainnya yaitu ikan berwarna gelap abnormal, memperlihatkan banyaknya gejala hemoragi subkutan dan distensi abdominal. Hemoragi (perdarahan) juga terjadi pada organ internal, ginjal dan limpa (Herwig, 1979). Priminarti (1991) menambahkan, gejala penyakit bercak merah ini ditandai dengan adanya bercak merah pada seluruh tubuh, insang berwarna suram atau kebiruan, exopthalmia (bola mata menonjol keluar), pendarahan pangkal sirip punggung, dada perut dan ekor, juga terjadinya prolapsus dan pendarahan pada anus, oedema abdominal yang disertai dengan adanya transudat berwana kemerah-merahan, hilang nafsu makan, gangguan keseimbangan tubuh dan akhirnya mati dalam waktu 3-4 hari setelah infeksi. Menurut Sniezko & Axelrod (1971), infeksi bakteri A. hydrophila yang menyebabkan haemorrhagic septicaemia terjadi dalam empat tingkatan berbeda, yaitu:
7
1. Akut, merupakan septicaemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tandatanda yang terlihat, dan ditandai dengan pembengkakan organ dalam. 2. Sub akut, terlihat gejala dropsi, lepuh, abses, dan perdarahan pada sisik. 3. Kronis, terlihat gejala tukak, bisul, dan abses yang kejadiannya berlangsung lama. 4. Laten, tidak memperlihatkan gejala penyakit, namun pada organ dalam didapatkan bakteri penyebab penyakit. B.2. Pengendalian Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) Dalam pengendalian penyakit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu lingkungan perairan (fisik, kimia & biologi), teknik yang dipakai dan faktor sosial ekonomi agar tindakan yang dilakukan menguntungkan dan dapat diterima oleh masyarakat. Beberapa teknik pemberian obat-obatan dalam penanggulangan penyakit antara lain melalui perendaman, makanan dan suntikan (Herman, 1972). Infeksi motil aeromonas merupakan contoh klasik dari stress-borne disease. Kematian ikan yang disebabkan oleh infeksi motil aeromonas ini sangat tergantung pada tingkat keparahan permasalahan/stres lingkungan yang diderita ikan. Apabila permasalahan lingkungan yang ada dengan cepat diperbaiki, kasus ini sering kali mereda dengan sendirinya tanpa pemberian antibiotik. Walaupun demikian, pengobatan dengan menggunakan antibiotik merupakan cara pengendalian yang tidak ekonomis (Noga, 2000).
C. Sistem Pertahanan Ikan C.1. Sistem Pertahanan Non Spesifik Pertahanan non spesifik tidak ditujukan terhadap mikrobia tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikrobia dan dapat memberikan respon secara langsung (Baratawidjaja, 2004). Pada pertahanan non spesifik, jaringan yang terlibat adalah mucus, sisik, epidermis, dan dermis (Anderson, 1974). Sistem pertahanan non spesifik berfungsi untuk melawan segala jenis patogen yang menyerang bahkan terhadap beberapa penyebab penyakit non hayati. Sistem pertahanan ini bersifat
8
permanen atau selalu ada dan tidak perlu dirangsang terlebih dahulu, sehingga sering menentukan suatu jenis ikan lebih tahan terhadap suatu patogen dibanding jenis ikan lain (Kamiso & Triyanto, 1990). Sistem imun non spesifik terdiri dari tiga aspek yaitu pertahanan fisik/mekanik, pertahanan biokimia, petahanan humoral dan pertahanan selular (Baratawidjaja, 2004). Anderson (1974), menambahkan bahwa respon ini meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit seperti monosit, netrofil, eosinofil dan basofil). C.2. Sistem Pertahanan Spesifik Sistem pertahanan spesifik dibagi menjadi dua yaitu pertahanan seluler (cell-mediated) dan pertahanan humoral (antibody-mediated). Pertahanan seluler bereaksi secara kontak langsung dari sel ke sel untuk mempertahankan tubuh dari serangan virus, bakteri, dan parasit yang telah menyerang inang dan juga terhadap sel tumor. Pertahanan humoral bereaksi melalui produksi protein atau immunoglobulin atau antibodi yang ikut beredar ke seluruh tubuh bersama cairan darah dan limfa. Antibodi akan bereaksi apabila bertemu antigen yaitu dengan menetralisirnya (Almendras, 2001). Organ yang berperan dalam pertahanan spesifik adalah sebagai berikut: 1. Ginjal pada ikan dewasa merupakan organ hematopoietic dan pembentuk sel limfoid (Rijkers, 1980). 2. Limfa merupakan organ yang berperan dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma (Anderson, 1974). 3. Thymus berperan dalam pembentukan antibodi (Anderson, 1974). Pertahanan humoral diprakarsai oleh golongan limfosit yang disebut sel-sel B yang bila diaktifasi menjadi sel-sel plasma yang memproduksi antibodi sedangkan pengenalannya dilakukan setelah antigen diproses oleh makrofag, kemudian makrofag memberikan pesan melalui presentasi antigen kepada limfosit (Anderson, 1974). Antibodi merupakan salah satu molekul yang dibentuk sebagai respon spesifik suatu hewan terhadap protein asing atau patogen. Pada saat pertama kali ikan terpapar pada patogen atau protein asing, maka antibodi akan dibentuk dan
9
akan berfungsi pada infeksi patogen sejenis berikutnya. Pemaparan terhadap patogen pada konsentrasi sub-lethal sangat diperlukan bagi ikan untuk membentuk suatu sistem imun yang kuat (Irianto, 2005). Pembentukan respon imun dimulai oleh stimulasi patogen (antigen). Setelah terjadi aktivasi antigenik, melalui proses fagositosis makrofag yang merupakan pertahanan pertama akan menghancurkan antigen tersebut, mengirimkan sandisandi ke sel-sel limfosit. Sel limfosit berproliferasi membentuk sel T (respon imun seluler) dan sel B (respon imun humoral). Sel T akan membentuk sel efektor yang berperan dalam respon pertahanan yang diperantai sel. Sel efektor ini berpartisipasi dalam eliminasi benda asing melalui suatu proses fagositosis. Sedangkan sel B akan membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain membentuk antibodi terhadap suatu patogen, sel B juga membentuk sel memori terhadap patogen tersebut. Dengan adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respon sekunder terhadap patogen yang sama (Fitria, 2009). Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel tersebut berasal dari sel yang sama seperti sel B (Baratawidjaja, 2004). Sedangkan pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Pada unggas, sel yang disebut bursal sell atau sel B akan bermigrasi dan berdeferensiasi menjadi sel B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak ada kloaka. Pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dan ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya (Baratawidjaja, 2004). Ikan tidak memiliki sumsum tulang, maka fungsi hematopoeisis tidak berlangsung di dalam sumsum tulang. Ginjal merupakan organ limfoid penting pada ikan teleostei. Pada ginjal, ditemukan adanya limfosit mirip sel T dan sel B yang menunjukkan peran jaringan limfoid ginjal dalam mekanisme pertahanan tubuh (Irianto, 2005).
10
D. Vaksin dan Vaksinasi Menurut Kuby (2007), vaksin berasal dari bahasa latin "vacca" yang berarti cow atau sapi. Istilah ini ditetapkan oleh Louis Pasteur sebagai penghargaan kepada Edward Jenner yang mempelopori ide vaksinasi saat menangani masalah small pox pada tahun 1798 yang menyerang manusia. Vaksin adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme, yang sifat patogenitasnya telah dihilangkan dan digunakan untuk merangsang pembentukan sistem kekebalan tanpa menyebabkan penyakit (Tizard 1988). Menurut Kordi & Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu sel-sel terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limfosit (Anderson, 1974). Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid clostridium (Soeripto, 2001). Pembuatan vaksin A. hydrophila perlu mempertimbangkan berbagai hal, antara lain antigen yang heterogen, imunitas yang relatif rendah, dan aplikasinya di lapangan. Ada dua jenis vaksin A. hydrophila, yaitu yang berupa vaksin hidup atau bakteri yang dilemahkan dan vaksin mati yaitu seluruh sel atau bagian tertentu saja yang dilemahkan (Ward, 1982). Vaksin polivalen merupakan vaksin yang memiliki beberapa antigen yang dibuat dari campuran beberapa isolat bakteri (Nitimulyo & Triyanto, 1991) sehingga vaksin polivalen ini banyak digunakan karena dapat dipakai untuk vaksinasi lebih dari satu strain penyakit. Penelitian dengan menggunakan vaksin polivalen telah dilakukan beberapa peneliti diantaranya adalah Osman et al. (2009), Silva et al. (2009), Sun et. al (2011), dan Bailone et al. (2010). Menurut Lund et al. (2001), penggunaan vaksin multivalen atau polivalen memberikan hasil yang jauh lebih baik daripada penggunaan vaksin monovalen. Hal tersebut terlihat dari nilai Relative Percent Survival (RPS) ikan yang diberi vaksin polivalen lebih tinggi daripada nilai RPS ikan yang diberi vaksin monovalen sehingga dapat disimpulkan bahwa efikasi vaksin polivalen lebih tinggi daripada vaksin monovalen. Hasil penelitian Kamiso et al.. (2005), menunjukkan penggunaan vaksin polivalen Vibrio
11
dapat meningkatkan nilai sintasan (survival rate) dan tingkat perlindungan relatif (RPS) pada benih ikan kerapu tikus. Vaksinasi adalah tindakan memasukkan antigen berupa virus atau agen penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehat dengan maksud untuk merangsang kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu yang bersangkutan terhadap infeksi penyakit di alam. Vaksin dibagi atas vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya. Vaksin inaktif adalah vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat imunogenitas (Tizard 1988). Vaksinasi dapat dilakukan secara intraperitorial, intramuskular, peroral, pencelupan, perendaman, dan penyemprotan. Menurut Anderson (1974), cara intraperitorial lebih disukai karena antigen cepat diserap, namun perlu dilakukan secara cermat agar tidak mengenai usus karena dapat menimbulkan pendarahan dan kehilangan antigen. Penyuntikan secara intramuskular sering menyebabkan kerusakan pada daerah otot tempat suntikan, tetapi teknik ini dapat menstimulasi antibodi lebih konstan. Teknik peroral dinilai lebih menguntungkan karena dapat memvaksin ikan dalam jumlah banyak, namun perlu dicari cara yang aman untuk mencegah kerusakan antigen serta distribusi vaksin harus merata. Gould et al. (1976) mencoba vaksinasi dengan cara pencelupan secara langsung. Dengan cara ini, bakteri dapat diserap dalam jumlah banyak oleh insang, tetapi ikan dapat mengalami stres karena waktu pencelupan relatif singkat. Lamers et al. (1985) mencoba metode perendaman menurut Thune (1980). Metode tersebut efektif menimbulkan imunitas karena antigen lebih lama kontak dengan ikan. Modifikasi dari metode pencelupan dan penyemprotan, yaitu ikan ditaruh dalam wadah dan diberi air setengah badan ikan agar ikan mudah digeser pada waktu disemprot dengan vaksin (Ward, 1982).
12
E. Lele Dumbo (Clarias sp.) Ikan lele merupakan ikan yang hidup di perairan tawar. Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1989) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Telestoi
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidae
Gambar 1.2. Ikan lele dumbo (Clarias sp.)
Famili
: Clariidae
(Anonim, 2013b)
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Ikan lele hidup di perairan tawar dan tenang seperti danau, waduk, telaga, genangan-genangan kecil seperti kolam ikan. Ikan lele mempunyai organ insang tambahan yang memungkinkan ikan ini mengambil oksigen dari udara di luar air. Oleh karena itu, ikan lele dapat bertahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen. Ikan lele juga relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik. Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin, misalnya di bawah 20oC, pertumbuhannya agak lambat. Pada ketinggian di atas 700 m seperti di daerah pegunungan, pertumbuhan ikan lele kurang begitu baik (Suyanto, 2006). Agustina et al., (2010) menyatakan bahwa syarat atau parameter kualitas air yang optimal untuk budidaya lele dumbo yaitu suhu berkisar 22oC–34oC (dengan suhu optimum yaitu 30oC). Oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan lele > 1 mg/l, dan CO2 maksimal 12 mg/l.Nilai amoniak yang dapat ditoleransi hewan akuatik berkisar 0,1–1 mg/l, nitrit maksimal 0,1 mg/l dan salinitas untuk budidaya lele berkisar antara 0-15 ppm, serta salinitas yang optimum untuk pertumbuhan lele yaitu 6 ppm. Ikan lele bersifat nokturnal yaitu aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubanglubang atau tempat aliran air yang tenang. Oleh karena itu, ikan lele aktif mencari makan pada malam hari. Ikan lele bersifat karnivora (pemakan daging) ikan lele
13
juga memakan sisa-sisa bahan organik yang membusuk dan kotoran manusia (Suyanto, 2006).
F. Hipotesis Penggunaan vaksin polivalen Aeromonas hydrophila dengan cara injeksi intraperitoneal merupakan metode yang paling efektif dalam mencegah terjadinya penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicaemia) pada ikan lele (Clarias sp.).
14
III.
METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan A.1. Alat a. Pemeliharaan ikan uji: bak fiber tampung ukuran 1x1x1,2 m, ember dengan volume 15L , saringan air, dan jaring ikan b. Uji LD70: mikropipet, spuit, sentrifuge, spektrofotometer, tabung reaksi, mikrotube, yellow tip, blue tip, vortex, gelas ukur, mikroskop, dan erlenmeyer c. Pembuatan vaksin polivalen: bunsen, jarum ose, spektrofotometer, drigalski, mikropipet, blue tip, vortex, inkubator, timbangan digital, petridisk, kompor listrik, refrigerator, spuit 10 ml dan Waterbath shaker d. Uji titer antibodi: sentrifuge, mikrodilution, vortex, yellow tip, mikropipet, mikrotiter plate, garpu mikrotiter, mikrotube, dan lempeng mikrodilution e. Vaksinasi: spuit, sentrifuge, refrigerator, dan tabung reaksi f. Uji kualitas air: WQC (Water Quality Checker), dan termometer A.2. Bahan a. Pemeliharan ikan uji: Ikan lele (Clarias sp.) ukuran 5-7 cm dan pakan ikan komersial (Pokphan 781-1) b. Uji LD70: medium (TSA), Tryptone Soya Broth (TSB), Phosphate Buffer Saline (PBS), GSP Agar, BaCl2 1%, H2SO4 1%, aquades, dan isolat bakteri A. hydrophila kode JTP2 c. Pembuatan vaksin polivalen: isolat bakteri A. hydrophila kode JTP2 dan JTP3, medium (TSA), Tryptone Soya Broth (TSB), Phosphate Buffer Saline (PBS), GSP Agar dan formalin 3% d. Vaksinasi: Phosphate Buffer Saline (PBS), antigen H JTP2, dan antigen O JTP3 e. Uji titer Antibodi: serum darah, EDTA 10%, Phosphate Buffer Saline (PBS), antigen H JTP2, dan antigen O JTP3 A.3. Isolat Bakteri Isolat A. hydrophila yang digunakan dalam pembuatan vaksin polivalen adalah isolat JTP2 dengan mortalitas 80% dan isolat JTP3 dengan mortalitas 20%.
15
Kedua isolat tersebut telah dilakukan uji imunogenesitasnya dan dapat digunakan sebagai kandidat vaksin polivalen. B. Tata Laksana Penelitian B.1. Revirulensi A. hydrophila A. hydrophila yang digunakan untuk uji tantang adalah isolat bakteri yang memiliki sifat patogenesitas tertinggi yaitu isolat JTP2 (80%). Sebelum melakukan uji tantang, dilakukan revirulensi dahulu untuk mengembalikan virulensi. Revirulensi dilakukan dengan cara injeksi intraperitonial, dengan dosis 0,1 ml dengan kepadatan 108 sel/ml, pada tiga ekor ikan lele berukuran 7-9 cm. Ikan lele yang telah diinfeksi dipelihara dalam bak fiber ukuran 40x30x20 cm dan diamati gejala penyakitnya. Setelah ada ikan yang mati atau memiliki gejala penyakit yang parah maka dilakukan isolasi A. hydrophila dari ginjal menggunakan ose steril pada medium selektif GSP agar dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pemurnian. Setelah dilakukan pemurnian, isolat tersebut dikultur ke dalam tabung reaksi yang berisi medium TSB 5 ml dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. Revirulensi dilakukan sebanyak tiga kali dengan metode yang sama. B.2. Uji LD70 Uji ini dilakukan pada ikan lele (Clarias sp.) menggunakan bakteri A. hydrophila isolat JTP2 hasil virulensi. Uji ini bertujuan untuk mengetahui LD70 yang akan digunakan untuk infeksi pada uji tantang. Bakteri A. hydrophila isolat JTP2 dikultur pada medium TSB pada suhu 30oC selama 24 jam. Kepadatan bakteri diukur dengan metode Mc Farland (Lampiran 1) sebagai standar. Kemudian bakteri diencerkan untuk mendapatkan kepadatan injeksi 102, 104, 106, dan 108 sel/ikan yang diberikan secara injeksi intraperitonial. Uji LD70 dilakukan pada ember volume 15 L dengan perlakuan sebagai berikut: P0 P1 P2 P3 P4
: tanpa infeksi patogen (PBS) : dosis 102 sel/ikan. : dosis 104 sel/ikan. : dosis 106 sel/ikan. : dosis 108 sel/ikan.
16
Masing-masing perlakuan menggunakan 10 ekor ikan lele dumbo dengan tiga ulangan. Setelah infeksi, ikan dipelihara selama 5-7 hari dengan pengamatan gejala klinis dan mortalitas. LD70 ditentukan menggunakan metode Dragstedt Behrens berdasarkan kematian ikan uji selama pengamatan. Log Dosis Ikan uji ∑ Mati (n-r) ∑ r (X) (n) (r) .......... ......... ....... ..... ... .........
......
.......
.....
...
.......
Total (T) .......
Mortalitas (∑r / T) x 100% ..........
.......
.......
............
∑ n-r
Perhitungan : Mortalitas (%) = LD70 = Antilog m m = X1 + d
(%
∑
X 100%
% ) %
Keterangan : m = Log LD70 X1 = log dosis bakteri di bawah LD70 d = selisih log dosis di bawah LD70 dan di atas LD70 % X1 = persentase kematian kumulatif pada dosis di bawah LD70 (% X1+1) = persentase kematian kumulatif pada dosis di atas LD70 Hasil yang diperoleh dari uji LD70 digunakan untuk penyuntikan ikan pada uji tantang. B.3. Pembuatan Vaksin Polivalen Isolat A. hydrophila yang dipilih sebagai kandidat vaksin adalah isolat JTP2 dan JTP3. Isolat bakteri kode JTP2 dibuat antigen H, sedangkan isolat JTP3 dibuat antigen O. Masing-masing isolat A. hydrophila dikultur dalam TSB 10 ml, kemudian divorteks dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 300C. Masingmasing isolat sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam medium TSA pada petridisk (Ө=15cm), dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C. Bakteri yang telah tumbuh pada medium TSA tersebut kemudian dipanen dengan cara menambahkan PBS ke dalam medium tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi (lampiran 2.1).
17
B.3.1. Pembuatan Antigen H Isolat JTP2 dibuat antigen H dengan cara menambahkan formalin sebanyak 3% pada bakteri yang telah dipanen dalam tabung reaksi, kemudian digojok selama 24 jam dengan menggunakan waterbath shaker (lampiran 2.2). Bakteri hasil panen disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit kemudian dibuang supernatannya. Pelet yang tertinggal dicuci dengan PBS dan disentrifuge kembali dengan kecepatan dan waktu yang sama. Pencucian dilakukan tiga kali agar antigen yang dihasilkan benar-benar bersih dari formalin. B.3.2. Pembuatan Antigen O Untuk pembuatan antigen O, isolat bakteri JTP3 yang telah dipanen dalam tabung reaksi direndam dalam air dengan suhu 1000C selama 30 menit (Lampiran 2.3), kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit kemudian dibuang supernatannya. Pelet yang tertinggal dicuci dengan PBS dan disentrifuge dengan kecepatan dan waktu yang sama. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali. B.3.3. Uji Viabilitas Uji viabilitas dilakukan dengan mengkultur vaksin polivalen isolat JTP2 dan JTP3 pada medium GSP kemudian diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam. Apabila pada uji viabilitas bakteri tidak tumbuh, maka siap digunakan untuk imunisasi.
B.4. Vaksinasi B.4.1. Rancangan Percobaan Metode
penelitian
yang
digunakan
adalah
metode
eksperimental.
Rancangan percobaan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah : K : Kontrol, tidak divaksin, disuntik PBS P1: Vaksinasi rendam dengan dosis 107 sel/ml P2: Vaksinasi oral dengan dosis 107 sel/ikan P3: Vaksinasi intraperitoneal dengan dosis 107 sel/ikan
18
Vaksinasi dilakukan 2 kali yaitu pada saat awal pemeliharaan dan seminggu setelah vaksinasi pertama (booster I). Vaksinasi dilakukan dengan metode injeksi intraperitonial sebanyak 0,1 ml/ikan, dengan perendaman 5 menit dan secara oral sebanyak 0,1 ml/ikan. Perlakuan kontrol dilakukan tanpa vaksinasi. B.4.2. Titer Antibodi Pengujian titer antibodi dilakukan pada saat sebelum ikan divaksin, sehari sebelum booster, sehari sebelum uji tantang, 1 minggu setelah uji tantang, dan 2 minggu setelah uji tantang. Darah (hasil bleeding) disentrifus pada kecepatan 1500 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan serum. Uji titer antibodi dimulai dengan mengisi 25 μl PBS pada mikrotiter plate sumuran no. 2-12. Kemudian serum sebanyak 25 μl ditambahkan pada sumuran no.1 dan 2. Pengenceran berseri dilakukan dengan mengambil 25 μl campuran PBS dengan serum dari sumuran no. 2 dan dimasukkan pada sumuran no. 3, begitu seterusnya sampai no. 11 kemudian 25 μl antigen polivalen (isolat JTP2 dan JTP3) ditambahkan ke dalam masingmasing sumur termasuk sumur no. 12 dengan kepadatan 107 sel dan digoyangkan pada posisi mendatar selama 3 menit agar campuran homogen dan didiamkan selama 1 jam untuk kemudian disimpan di refrigerator selama 24 jam. Nilai titer antibodi ditentukan dengan melakukan pengamatan pada setiap sumur hingga pada pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi. B.4.3. Uji Tantang Uji tantang ikan lele setelah divaksinasi dilakukan selama dua minggu setelah booster. Uji ketahanan dilakukan dengan cara menginfeksi ikan menggunakan bakteri A. hydrophila isolat JTP2 secara injeksi intraperitonial dengan dosis yang didapat dari uji LD70. Ikan dipelihara dalam ember (15L) dengan kepadatan 10 ekor/ember untuk setiap perlakuan. Selanjutnya ikan dipelihara selama 14 hari. Selama pemeliharaan kematian dan gejala penyakit diamati setiap 8 jam selama 14 hari. Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan sebelum vaksinasi dan pada akhir penelitian. B.4.4. Pengamatan Kualitas Air Pengecekan kualitas air dilakukan dengan pengambilan sampel kualitas air sebanyak dua kali, saat tebar dan saat panen. Pengujian kualitas air dilakukan pada
19
pagi hari pukul 10.00 WIB. Kualitas air yang diamati adalah Dissolved Oxigen (DO), pH dan CO2, menggunakan WQC serta ammonia menggunakan metode nessler. Suhu juga dilakukan pengamatan mengguanakan termometer. B.4.5. Pemeliharaan dan Pemberian Pakan Pakan diberikan dua kali sehari secara ad libithum. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah pakan pelet komersial. Selama pemeliharaan, air tidak dialirkan dan dilakukan pergantian air 3 hari sekali untuk menjaga kualitas air.
C. Perhitungan C.1. Sintasan (Survival Rate/SR) SR (Survival Rate) atau presentase kelulushidupan ikan pada sautu populasi dihitung dengan cara sebagai berikut: SR =
∑ ikan pada saat panen × 100% ∑ ikan awal tebar
C.2. Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate/SGR) Laju pertumbuhan panjang dan berat spesifik ikan dihitung dengan mengunakan rumus: SGR =
ln YT − ln Yt × 100% T−t
Keterangan: G : Laju pertumbuhan panjang atau berat spesifik (%) YT : Panjang (cm) atau berat (g) individu akhir Yt : Panjang (cm) atau berat (g) individu awal T-t : Selisih waktu periode pengamatan (hari)
C.3. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS) Menghitung nilai RPS (Relative Percent Survival) sebagai berikut: =1−
Presentase kematian ikan yang divaksin × 100% Presentase kematian ikan yang tidak divaksin
C.4. Rerata Waktu Kematian (Mean Time of Death/MTD)
Menghitung nilai MTD (Mean Time of Death) adalah sebagai berikut: =
∑
24
∑
Keterangan: a = Waktu kematian (hari) b = Jumlah kematian (ekor)
20
D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Titer antibodi dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Data untuk SR, SGR, dan RPS dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA) untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan. Apabila data yang telah dianalisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui metode vaksinasi yang terbaik.
21
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian A.1. Revirulensi Bakteri A.hydrophila Pengembalian virulensi bakteri A. hydrophila isolat JTP2 dilakukan tiga kali dan reisolasi dilakukan di medium GSP agar. Hasil pengamatan yang didapat bahwa terjadi peningkatan waktu kematian. Pada revirulensi I, waktu kematian ikan uji adalah 5 hari dengan gejala bintik merah, pendarahan pada mulut dan sekitar perut serta anus. Setelah di reisolasi, kemudian diinjeksi kembali secara intraperitonial. Revirulensi II menunjukkan bakteri A. hydrophila mengakibatkan kematian 3 hari setelah infeksi. Waktu kematian ikan uji untuk revirulensi III adalah 2 hari dengan menunjukkan gejala yang sama. Hasil reisolasi bakteri A.hydrophila isolat JTP2 bisa dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.1. Bakteri A. hydrophila isolat JTP2 revirulensi III yang berbentuk batang-batang kecil setelah dilakukan pengecatan gram A.2. Uji LD70 Uji LD70 merupakan uji yang bertujuan untuk menentukan dosis bakteri A. hydrophila yang akan digunakan dalam uji efikasi vaksin polivalen. Hasil pengamatan uji LD70 A.hydrophila isolat JTP2 adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Mortalitas lele dumbo (ekor) yang diinfeksi A. hydrophila isolat JTP2 Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total 0 0 0 Kontrol 0 2 2 3 2 10 sel/ikan 7 104 sel/ikan
4
5
3
12
10 sel/ikan
7
6
7
20
108 sel/ikan
10
10
10
30
6
22
A.2.1. Perhitungan Hasil Uji LD70 Data mortalitas lele digunakan untuk menghitung LD70 menggunakan metode Dragstedt Behrens. Perhitungan LD70 A. hydrophila isolat JTP2 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Perhitungan LD70 A.hydrophila isolat JTP2 pada lele dumbo Dosis Log Ikan ∑ mati (n-r) ∑ r ∑ (n-r) Total Dosis Uji (r) (T) (X) (n) 0 30 0 30 0 53 53 K 2 30 7 23 6 41 47 102 4 4 30 12 18 19 28 47 10 6 6 30 20 10 39 10 49 10 8 8 30 30 0 69 0 69 10
Mortalitas (∑r / T) x 100% 0.00 12.77 40.43 79.59 100.00
Perhitungan : LD70 = Antilog m m = X1 + d
(%
= 4 + (6-4) =4+2
, ,
,
% ) % ,
,
= 4 + (2 × 0.755) = 4 + 1,51 m = 5,51 LD70 = Antilog 5,51 = 3,24 x 105 sel/ikan Berdasarkan hasil perhitungan LD70 diketahui bahwa konsentrasi yang dapat mematikan 70% populasi ikan lele (Clarias sp.) adalah 3,24 x 105 sel/ikan, sehingga infeksi pada uji tantang dengan isolat JTP2 adalah 3,24 x 105 sel/ikan. A.2.2. Pengamatan Gejala Klinis Hasil pengamatan menunjukkan adanya gejala klinis akibat infeksi bakteri A. hydrophila pada ikan lele (Clarias sp.) sebelum kematian seperti menyendiri, pasif, dan berada di permukaan. Terjadi pendarahan bagian anus, mulut dan juga perut (Gambar 4.2), kulit mengelupas, dan exopthalmia. Gejala klinis internal menunjukkan ginjal dan usus berwarna pucat.
23
Gambar 4.2. Gejala klinis eksternal lele dumbo yang terserang bakteri A. hydrophila isolat JTP2 selama uji LD70, a. pendarahan pada anus, b. bintik merah A.3. Uji Tantang A.3.1. Sintasan (Survival Rate/SR) Sintasan lele selama uji tantang berkisar antara 13-87%. Sintasan lele tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (injeksi) yaitu sebesar 87,50%. Sintasan lele terendah terdapat pada perlakuan K (kontrol) yaitu sebesar 13,33%. Hasil pengamatan sintasan lele selama uji tantang disajikan dalam Tabel 4.3. Hasil analisis sidik ragam sintasan lele yang diuji tantang dengan A. hydrophila isolat JTP2 dari data yang telah diuji homogenitasnya (Lampiran 3) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Hasil uji DMRT menunjukan bahwa perlakuan K berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2, dan P3, sedangkan perlakuan P1 dan P3 tidak beda nyata. Perlakuan P2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap P1 dan P3. Hasil tersebut menunjukkan vaksinasi dengan perlakuan P1, P2, dan P3 mampu meningkatkan sintasan lele terhadap infeksi A. hydrophila, namun pada perlakuan P2 sintasan lele yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan perlakuan P1 dan P3. Tabel 4.3. Sintasan/SR (%) lele dumbo setelah uji tantang dengan A. hydrophila Ulangan Kode Perlakuan Rata-Rata Perlakuan 1 2 3 K Kontrol 20 10 10 13.33 ± 5.77c P1 Rendam 66.7 66.7 83 72.13 ± 9.41a P2 Oral 30 40 50 40.00 ± 10.00b P3 Injeksi 100 87.5 75 87.50 ± 12.50a *Nilai rataan dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
24
A.3.2. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS) Tingkat perlindungan relatif lele dumbo dalam penelitian ini berkisar antara 30-86%. Rerata RPS tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (injeksi) yaitu sebesar 86,11%, sedangkan rerata RPS terendah terdapat pada perlakuan P2 (oral) yaitu sebesar 30,09%. Hasil RPS lele selama uji tantang disajikan dalam Tabel 4.4. Hasil analisis sidik ragam RPS lele selama uji tantang dari data yang telah diuji homogenitasnya (Lampiran 4) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Hasil uji DMRT menunjukan bahwa perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3. Hasil tersebut menunjukkan tingkat perlindungan relatif perlakuan P1 (injeksi) dan P3 (rendam) lebih baik dari P2 (oral). Tabel 4.4. Tingkat perlindungan relatif/RPS (%) lele dumbo selama uji tantang
Rendam
1 58.33
Ulangan 2 62.96
3 81.11
P2
Oral
12.50
33.33
44.44
30.09 ± 16.21b
P3
Injeksi
100.00
86.11
72.22
86.11 ± 13.89a
Kode
Perlakuan
P1
Rata-Rata Perlakuan 67.47 ± 12.04a
*Nilai rataan dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
A.3.3. Titer Antibodi Titer antibodi menunjukkan adanya peningkatan setelah vaksinasi I, dan vaksinasi II (booster) untuk semua perlakuan, baik K (kontrol), P1 (rendam), P2 (oral), maupun P3 (injeksi). Namun, ikan yang divaksin memiliki peningkatan titer antibodi yang sangat signifikan dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan titer antibodi tertinggi terjadi pada perlakuan P3 (Injeksi) yaitu dari 22 sebelum vaksinasi menjadi 28 setelah booster, kemudian dilanjutkan dengan perlakuan P1 (rendam), P2 (oral), dan terendah adalah K (kontrol) yaitu 22 menjadi 23. Hasil titer antibodi menunjukkan adanya penurunan setelah uji tantang. Hasil uji titer antibodi yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5.
25
Tabel 4.5. Titer antibodi lele dumbo yang divaksin dengan berbagai metode vaksinasi selama penelitian Sebelum Setelah Setelah Setelah Kode Perlakuan Vaksinasi Vaksinasi Booster Uji tantang (Hari ke-0) (Hari ke-7) (Hari ke-14) (Hari ke-28) 2 3 K Kontrol 2 2 23 22 P1
Rendam
22
24
26
23
P2
Oral
22
23
24
22
P3
Injeksi
22
26
28
25
A.3.4. Rerata Waktu Kematian (Mean Time of Death/MTD) dan Gejala Penyakit Rerata waktu kematian (MTD) lele dumbo selama uji tantang berkisar antara 168,6-282 jam. MTD tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (injeksi) yaitu sebesar 282 jam sedangkan MTD terendah terdapat pada perlakuan K (kontrol) yaitu sebesar 168,6 jam. Hasil pengamatan MTD lele dumbo selama uji tantang disajikan dalam Tabel 4.6. Hasil analisis sidik ragam MTD yang diuji tantang dengan A. hydrophila isolat JTP2 dari data yang telah diuji homogenitasnya (Lampiran 5) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Hasil uji DMRT menunjukan bahwa perlakuan K berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2, dan P3, sedangkan perlakuan P1 dan P3 tidak beda nyata (P>0,05). Perlakuan P2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap P1 dan P3. Hasil tersebut menunjukkan vaksinasi dengan perlakuan P1, P2, dan P3 mampu meningkatkan MTD terhadap infeksi A. hydrophila, namun pada perlakuan P1 dan P3 MTD lele yang dihasilkan lebih lama dibandingkan perlakuan P2. Tabel 4.6. Rerata waktu kematian/MTD (jam) lele dumbo selama uji tantang Kode
Perlakuan
K
Ulangan
Rata-Rata Perlakuan
1
2
3
Kontrol
159,0
170,7
176,0
168.6 ± 8,69c
P1
Rendam
276,0
252,0
288,0
272.0 ± 18,33a
P2
Oral
226,3
200,0
225,6
217.3 ± 14,98b
P3
Injeksi
-
288,0
276,0
282.0 ± 8,49a
*Nilai rataan dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
26
Hasil pengamatan gejala klinis menunjukkan adanya infeksi bakteri A. hydrophila pada ikan lele (Clarias sp.) selama uji tantang. Perubahan tingkah laku lele sebelum kematian menjadi menyendiri, pasif, dan berada di permukaan. Gejala klinis eksternal menunjukkan perubahan morfologi seperti pendarahan bagian ventral, bintik-bintik merah, kulit mengelupas, dan sirip geripis (Gambar 4.3). Gejala klinis internal menunjukkan ginjal dan usus berwarna pucat serta produksi cairan berlebih sehingga perut membesar (Gambar 4.4).
Gambar 4.3. Gejala klinis eksternal lele dumbo yang terserang A. hydrophila isolat JTP2 selama uji tantang, a. kulit mengelupas, b. sirip geripis, c. bintik-bintik merah di bagian ventral
Gambar 4.4. Gejala klinis internal lele dumbo yang terserang A. hydrophila isolat JTP2 selama uji tantang, a. produksi cairan tubuh berlebih, b. organ usus berwarna pucat
27
A.3.5. Pertumbuhan A.3.5.1. Pertumbuhan Berat Laju pertumbuhan berat spesifik berkisar antara 4,5-5,5%. Rerata pertumbuhan berat spesifik tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (injeksi) yaitu sebesar 5,5%, sedangkan rerata pertumbuhan berat spesifik terendah terdapat pada K (kontrol) yaitu sebesar 4,61%. Hasil analisis sidik ragam dari data yang telah diuji homogenitasnya (Lampiran 6) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat spesifik pada perlakuan K, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil pengamatan laju pertumbuhan spesifik berat lele selama penelitian disajikan dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7. Laju pertumbuhan berat spesifik (%) pada lele dumbo Kode
Perlakuan
K P1 P2 P3
Kontrol Rendam Oral Injeksi
1 2.22 3.84 4.16 5.38
Ulangan 2 7.17 6.6 5.12 5.08
3 6.07 5 4.56 6.05
Rata-Rata Perlakuan 5.15 ± 2.60a 5.15 ± 1.38a 4.61 ± 0.48a 5.50 ± 0.50a
*Nilai rataan dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
A.3.5.2. Pertumbuhan Panjang Laju pertumbuhan panjang spesifik berkisar antara 1,5-1,8%. Rerata pertumbuhan panjang spesifik tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (rendam) yaitu sebesar 1,78% sedangkan rerata pertumbuhan panjang spesifik terendah terdapat pada perlakuan P3 (injeksi) yaitu sebesar 1,49%. Hasil analisis sidik ragam dari data yang telah diuji homogenitasnya (Lampiran 7) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan panjang spesifik pada perlakuan K, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil pengamatan laju pertumbuhan spesifik panjang lele selama penelitian disajikan dalam Tabel 4.8. Tabel 4.8. Laju pertumbuhan panjang spesifik (%) pada lele dumbo Ulangan Kode Perlakuan Rata-Rata Perlakuan 1 2 3 K Kontrol 0.58 2.33 2.11 1.67 ± 0.95a P1 Rendam 1.63 2.05 1.67 1.78 ± 0.23a P2 Oral 1.86 1.3 1.55 1.57 ± 0.28a P3 Injeksi 1.26 1.54 1.68 1.49 ± 0.21a *Nilai rataan dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
28
A.4. Kualitas Air Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut (DO) berkisar antara 0.5-4 ppm, pH 6-7, suhu pemeliharaan antara 25-28oC (Tabel 4.9.) Tabel 4.9. Kualitas air selama pemeliharaan Kode
Perlakuan
K
Parameter DO (ppm)
Suhu (⁰C)
pH
Ammonia (ppt)
Kontrol
1.77 - 3.68
25.3 - 27.5
7.05 - 7.08
0.038
P1
Rendam
1.18 - 3.68
25.3 -27.6
7.08 - 7.13
0.046
P2
Oral
0.49 - 3.68
25.3 - 28
6.97 - 7.08
0.047
P3
Injeksi
0.53 - 3.68
25.3 - 27.1
7.04 - 7.08
0.044
B. Pembahasan Penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) dapat menyebabkan kematian benih ikan lele dumbo antara 80-100% dalam waktu yang relatif singkat (Ghufran & Kordi, 2004). Vaksinasi merupakan salah satu pencegahan terhadap penyakit ikan dengan merangsang kekebalan ikan yang divaksin terhadap suatu penyakit tertentu pada ikan. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat efisien dan juga tidak menimbulkan efek samping bagi ikan seperti halnya pada penggunaan antibiotik (Supriyadi & Rukyani, 1990). Pengembangan vaksin dari daerah Jawa Timur dilakukan untuk mencegah penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) pada lele dumbo (Clarias sp.) yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila yang ada di Jawa Timur. Penelitian sebelumnya melakukan uji imunogenesitas isolat A. hydrophila dari berbagai daerah di Jawa Timur (Lampiran 8) sebagai kandidat vaksin. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa isolat A. hydrophila yang dapat digunakan untuk vaksin adalah isolat A. hydrophila dari daerah Pare (JTP). Hasil uji LD70 menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri yang dapat mematikan 70% populasi ikan adalah 3,24 x 105 sel/ikan. Konsentrasi tersebut digunakan dalam efikasi vaksin polivalen. Bakteri A. hydrophila yang digunakan termasuk dalam kategori bakteri virulen karena memiliki nilai LD70 sebesar 105 sel/ikan (Mittal et al., 1980). Stevenson (1988) mengelompokkan isolat A.
29
hydrophila dengan LD50 sebesar 104-105 sel/ml dinyatakan virulen, sedangkan isolat A. hydrophila dengan LD50 sebesar 107 sel/ml dinyatakan nonvirulen. Penelitian Supriyadi (1986), menunjukkan bahwa lele sangat rentan terinfeksi oleh bakteri A. hydrophila. Hal ini ditunjukkan dalam penelitiannya salah satunya
menggunakan ikan
lele
(Clarias batrachus)
dan ikan
gurame
(Osphronemus gouramy), yang ditantang melalui injeksi peritoneal dengan tiga level dosis yaitu 103, 105, dan 107 sel/ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi berada pada konsentrasi 105 sel/ikan dengan hasil bahwa ikan gurami lebih resisten dari pada ikan lele. Sementara itu Rajan et al., (2001) juga melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada jevenil ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan 50% sebesar 4,4–6 x 106 sel/ikan melalui penyuntikan injeksi intramuskular dan injeksi intraperitoneal. Akhlagi (1999) melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (ukuran 4-5 cm) menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5 x 106 sel/ikan melalui injeksi intramuscular, intraperitoneal, dan intravenal. Penelitian lain yang dilakukan. Isnansetyo (1996) menyebutkan bahwa untuk menyuntik A. hydrophila pada Clarias sp. berukuran 10 cm membutuhkan 8,88 x 108 sel/ml untuk mematikan 80 % populasi ikan, kematian total terjadi pada penyuntikan ikan dengan kepadatan 1010-1011 sel/ml. Perbedaan tingkat keganasan antara A. hydrophila yang digunakan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian lain diduga karena perbedaan strain A. hydrophila yang digunakan (Mulia & Purbomartono, 2007). Hasil uji efikasi vaksin pada ikan lele telah membuktikan bahwa vaksinasi dapat meningkatkan sintasan. Hal ini terjadi karena meningkatnya sistem pertahanan tubuh secara sepesifik pada ikan yang divaksin, sehingga diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila aktif, ikan-ikan yang divaksin lebih mampu bertahan hidup dibandingkan ikan yang tidak divaksin. Kondisi ini dipertegas dengan meningkatnya produksi titer antibodi pada ikan yang divaksin dibandingkan yang tidak divaksin, yang pada akhirnya mampu melindungi ikan terhadap serangan bakteri penyebab penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh nyata pemberian vaksin terhadap sintasan ikan. Mulia (2007) menggunakan vaksin A. hydrophila jenis
30
antigen O (AgO) dan antigen H (AgH) pada gurami, hasil sintasan mencapai 56,0058,00%, dibandingkan kontrol 10,00%. Olga & Aisiah (2007) menggunakan vaksin produk ekstraseluler A. hydrophila dengan dosis 2,5-10 µg pada ikan patin dan memberikan tingkat perlidungan 44,87-92,31%. Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen Aeromonas salmonicida menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin monovalen pada vaksinasi ikan spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan tingkat perlindungan yang lebih baik. Ada tiga faktor utama yang saling mempengaruhi untuk menentukan efektivitas suatu vaksin, yaitu sifat dan bentuk antigen, ukuran ikan, dan metode pemberian vaksin (Ellis, 1988). Hasil uji sidik ragam dari masing-masing pengamatan sintasan lele selama uji tantang, tampak bahwa antar metode pemberian vaksin menunjukkan beda nyata (P<0,05). Metode yang paling baik dari hasil penelitian ini adalah metode injeksi intraperitoneal dengan sintasan mencapai 87,5%, dilanjutkan dengan metode rendaman (72,13%), kemudian metode oral (40%) dan sintasan terendah didapat dari perlakuan yang tidak diberi vaksin (kontrol) yaitu 13,33%. Ellis (1988) menambahkan bahwa sampai saat ini metode suntikan intraperitonial merupakan metode paling baik dalam merangsang sistem kekebalan humoral dan seluler dengan baik. Namun, modifikasi dan peningkatan teknik yang digunakan pada metode perendaman (Zhou et al., 2002) memberikan efek imunogenisitas yang sama dengan metode suntikan. Hal ini sesuai dengan penelitian ini dimana metode vaksinasi injeksi peritonial tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan vaksinasi rendaman. Triyanto et al. (1996) menyatakan bahwa tingkat perlindungan relatif (RPS) yang baik dari suatu vaksin di atas 50 %. Hasil uji sidik ragam pada tingkat perlindungan relatif (RPS) selama penelitian menunjukkan bahwa ada beda nyata (P<0,05) antar perlakuan. RPS tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan injeksi yaitu 86,11%, kemudian disusul oleh rendaman (67,47%), sedangkan RPS terendah ditunjukkan oleh perlakuan oral yaitu 30,09%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evelyn (1984), bahwa pada umumnya tingkat perlindungan tertinggi diperoleh dari vaksinasi secara injeksi, disusul rendaman, kemudian baru oral. Hasil ini menunjukkan bahwa metode vaksinasi sejalan dengan hasil titer antibodi dan dikuatkan oleh hasil sintasan ikan pada masing-masing metode vaksinasi, sehingga
31
metode vaksinasi terbaik selama penelitian ini didapat pada metode vaksinasi injeksi secara intraperitonial. Penelitian lain tentang tingkat perlindungan relatif (RPS) suatu vaksin telah dilakukan oleh Nitimulyo (1997) dimana vaksin polivalen A. hydrophila menghasilkan rerata RPS sebesar 40,52%. Penelitian lain yang dilakukan Osman et al. (2009) menghasilkan RPS sebesar 72% dengan vaksin polivalen A. hydrophila secara oral dan 81 % dengan vaksin polivalen secara rendaman. Peningkatan titer antibodi pada ikan yang divaksin mengindikasikan adanya pengaktifan respon imun spesifik terhadap antigen (whole cell A. hydrophila). Nilai titer antibodi menunjukkan seberapa besar antigen menstimulasi respon imun. Semakin tinggi respon imun terhadap antigen maka produksi antibodi semakin tinggi. Meskipun demikian tinggi rendahnya titer antibodi bukan merupakan satusatunya ukuran terhadap perlindungan penyakit (Nitimulyo, 1990). Hasil titer antibodi dengan menggunakan ikan lele dumbo sebagai ikan uji menunjukkan bahwa vaksin polivalen A. hydrophila cenderung meningkatkan produksi antibodi. Hal ini terbukti dengan nilai titer antibodi ikan yang divaksin relatif lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak divaksin. Perlakuan vaksinasi dengan metode injeksi menunjukkan memiliki titer antibodi yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini juga sesuai dengan beberapa penelitian lainnya seperti pada vaksin polivalen vibrio (Kamiso et al., 2005) dan vaksin A. hydrophila (Mulia et al., 2010). Hal tersebut disebabkan antigen lebih efektif masuk ke dalam tubuh dan akan mudah direspon oleh sel-sel imun. Berbeda dengan metode rendaman dimana Ellis (1988) menyatakan bahwa antigen masuk melalui pori-pori tubuh ikan seperti kulit dan linea lateralis dengan insang sebagai jalur utama masuknya antigen atau metode oral dimana sebagian antigen ada yang terdegradasi oleh enzim enzim pencernaan di saluran pencernaan seperti protease, amilase, dan lipase. Titer antibodi lele menurun setelah uji tantang. Namun pada umumnya jumlah titer antibodi akan meningkat setelah masuknya antigen dalam tubuh (Tizard, l988). Penurunan antibodi ini dipicu oleh kerja limfosit yang berfungsi menghasilkan antibodi mengalami penurunan karena aktivitasnya terganggu dengan adanya infeksi. Aktivitas antibodi ini akan tertekan dalam waktu yang relatif
32
singkat dengan masuknya bakteri A. hydrophila sebagai antigen dalarn jumlah yang relatif banyak. Imunogenisitas suatu antigen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran, kompleksitas, dan bentuk antigen. Ukuran antigen merupakan faktor yang paling penting dalam imunogenisitas antigen. Sebagian besar antigen yang imunogenik (imunogen) memiliki berat molekul 10 kDa atau lebih. Bentuk antigen juga mempengaruhi imunogenisitas antigen. Antigen yang tidak mudah larut air lebih imunogenik dibanding antigen yang mudah larut air karena antigen yang tidak larut air akan siap ditangkap oleh makrofag sebagai sel yang bertugas memperkenalkan antigen (antigen presenting cells, APC) kepada sel T (Madigan et al., 2003). Akhlagi et al. (1996) menambahkan juga bahwa ukuran ikan yang memberikan daya tahan maksimal artinya mampu membentuk antibodi tertinggi adalah ikan yang berukuran lebih besar dari 2,1 gram. Hasil uji sidik ragam pada rerata waktu kematian (MTD) lele dumbo selama penelitian menunjukkan bahwa ada beda nyata (P<0,05) antar perlakuan. MTD tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan injeksi yaitu 282 jam (11,75 hari) kemudian disusul oleh rendaman yaitu 272 jam (11,3 hari), oral mencapai 217 jam (9 hari), dan MTD terendah ditunjukkan oleh perlakuan kontrol (tanpa vaksinasi) yaitu 168,6 jam (7 hari). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat meningkatkan ketahanan hidup lele terhadap A. hydrophila, dibandingkan dengan perlakuan yang tidak divaksinasi. Peningkatan MTD pada lele yang divaksinasi terjadi karena vaksin tersebut meningkatkan ketahanan tubuh lele dan menimbulkan kekebalan aktif (Kordi & Ghufran, 2004) terhadap infeksi A. hydrophila selama uji tantang. Penelitian lain yang dilakukan Nitimulyo & Triyanto (1991) menunjukkan bahwa RWK lele dumbo yang diberi vaksin polivalen secara rendaman mencapai 7,9 hari dan oral sebesar 4,5 hari. Olga dkk. (2011) menjelaskan bahwa vaksinasi selain menurunkan kematian ikan juga dapat membuat rerata waktu kematian lele dumbo yang divaksin lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pertumbuhan merupakan proses yang terjadi dalam tubuh organisme yang menyebabkan pertambahan berat atau panjang dalam jangka waktu tertentu (Effendi, 2002). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
33
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur dan ukuran ikan sedangkan faktor eksternal meliputi ketersediaan makanan bagi ikan dan kondisi perairan (Lagler et al., 1977). Laju pertumbuhan spesifik baik panjang dan berat antara perlakuan vaksinasi dengan kontrol (tanpa vaksinasi) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian vaksin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ikan. Menurut Nitimulyo dkk. (1997), pertumbuhan lebih dipengaruhi keadaan lingkungan daripada vaksinasi. Solichah (2004) menambahkan bahwa pemberian vaksin polivalen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ikan. Efektifitas vaksinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah kualitas air. Kualitas air dapat mempengaruhi fisiologi ikan dalam hubungannya dengan pembentukan antibodi (Isnansetyo, 1996). Kisaran suhu optimal untuk kegiatan budidaya ikan adalah berada pada kisaran 25-30oC, dan pH antara 6,5-8,6 (Effendie, 2003). Suhu air selama pemeliharaan ini berkisar antara 25,3-280C, pH berkisar antara 6,97-7,13 dan kandungan ammonia antara 0,0380,047 ppt. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas air masih dalam kondisi normal dalam pemeliharaan ikan. Agustina et al., (2010) menambahkan bahwa syarat atau parameter kualitas air yang optimal untuk budidaya lele dumbo yaitu suhu berkisar 22oC-34oC (dengan suhu optimum yaitu 30oC). Oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan lele > 1 mg/l, dan CO2 maksimal 12 mg/l.Nilai amoniak yang dapat ditoleransi hewan akuatik berkisar 0,1-1 mg/l, nitrit maksimal 0,1 mg/l dan salinitas untuk budidaya lele berkisar antara 0-15 ppm, serta salinitas yang optimum untuk pertumbuhan lele yaitu 6 ppm. Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar 0,5-3,68 ppm. Kandungan DO tersebut masih dalam kisaran normal untuk kelangsungan hidup lele dumbo. Secara umum lele memiliki alat pernafasan tambahan (arborescent organ) yang terletak di bagian kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah (Najiyati, 1992). Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, ikan lele dapat hidup pada air dengan kadar oksigen yang rendah. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan faktor penyebab kematian lele dumbo dalam penelitian ini.
34
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Pemberian vaksin polivalen dengan metode rendaman, oral, dan injeksi intraperitoneal dapat meningkatkan sintasan (SR), tingkat perlindungan relatif (RPS), titer antibodi, dan rerata waktu kematian (MTD) tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan spesifik lele (Clarias sp.) baik panjang maupun berat selama 14 hari pemeliharaan 2. Metode pemberian vaksin terbaik untuk untuk menanggulangi MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada lele (Clarias sp.) adalah metode vaksinasi injeksi intraperitoneal dengan nilai sintasan 87,5%, RPS 86,11%, dan MTD 282 jam.
B. Saran Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji efikasi vaksin polivalen A. hydrophila skala lapangan dengan waktu penelitian yang lebih lama, kurang lebih 2-3 bulan untuk melihat sejauh mana efektivitas vaksin dalam penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicaemia) pada lele (Clarias sp.). Selanjutnya, penelitian ini disarankan untuk dicobakan pada ikan air tawar lain, seperti gurami, karper, tawes, maupun nila.
35
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013a. Aeromonas hydrophila. . Diakses 9 Juli 2013. Agustina, Z., Muntamah, F. Lusianti, B. Fajri I. A., F. Maulana. 2010. Perbaikan Kualitas Daging Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) Melalui Manipulasi Media Pemeliharaan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Akhlagi, M. 1999. Passive immunization of fish against vibriosis, comparison of intraperitoneal, oral and immersion routes. Aquaculture 180: 191-205. Akhlagi, M., Munday B.L., & R.J Whittington. 1996. Comparison of passive and active immunization of fish against streptococcosis (enterococcosis). J. of Fish. Dis., 19: 251-258. Almendras, JME. 2001. Immunity and biological methods of disease prevention and control. In: Health management in aquaculture. G.D. Liopo, C.R. Lavilla and E.R. Cruz Lacierda (Eds.). Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center, Philippines:111-136. Anderson, D.P. 1974. Fish Immunology. In S.F. Snieszko, H.R Axelrod (Ed). Disease of Fishes. TFH Publication Ltd., Hongkong. Angka, S.L. 1990. The pathology of walking catfish, Clarias batrachus infected intraperitoneally with Aeromonas hydrophila. Asian Fish. Sci 3: 343-351. Angka, S.L. 1997. Antibiotic Sensitivity and Pathogenicity of Aeromonas and Vibrio Isolates in Indonesia. In T.W. Flegel and I.H. MacRae (eds.), Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila: 339-347 Angka, S.L. 2001. Studi Karakterisasi dan Patologi Aeromonas hydrophila pada ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Angka, S.L., Pramono, S.U., Pasaribu, F.H., dan M. Alifuddin. 1982. Isolasi dan Identifikasi Jasad Renik Penyebab Epidemi Penyakit Bercak Merah Ikan di Jawa Barat. Bulletin Perikanan: 1-14 Aoki, T. 1999. Motile Aeromonads (Aeromonas hydrophila). Journal Laboratory of Genetics and Biochemistry 11: 427-435. Audibert, F. M and L. D. Lise. 1993. Adjuvant: Current Status, Clinical Perspectives and Future Prospects. Immunology Today 14: 218-284. Austin, B. & Austin D. A. 1993. Bacterial Fish Pathogens, Disease in Farm and Wild Fish 2nd. Ellis Herwood, London. Baratawidjaja, K.G., 2004. Imunologi Dasar edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Craffmaster Printers Inc. Opelica, Alabama. Dooley, J., R. Lallier, D.H. Shaw, & Trust T.J. 1985. Electrophoretic and immunochemical analyses of the lipopolycaccharides from various strains of Aeromonas hydrophila. J Bacterial 164: 263-269 Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta: 73-84
36
Ellis, A. E. 1988. General Principle of Fish Vaccination: A. E Ellis (ed). Academic Press. London. Evelyn, T.P.T., 1984. Immunization against pathogenic vibriosis. Symposium on Fish Vaccination, O.I.E. Fish Diseases Commission, p: 121-150. Ghufran M, & Kordi K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. PT. Rineka Cipta dan PT. Bina Adiaksara, Jakarta. Gould, R., W.R. Antipa, and D.F. Amed, 1979. Immersion Vaccination of Sock Eye Salmon (Onchorhynchus nerca) with Two Pathogenic Strains of Vibrio anguillarium. In R.J. Robert (Ed.). Microbal Diseases of Fishes. Acad. Press, London. Gould, R., W.R. Antipa, and D.F. Amed, 1979. Immersion vaccination of sock eye salmon (Onchorhyncus nerca) with two pathogenic strains of Vibrio anguillarum in: R.J. Robert (Ed.). Microbial Diseases of Fishes. Academy Press, London Herman, R.L. 1972. The Principles of Therapy in Fish Diseases. Disease of Fish. Symposia of the Zoological Society of London. Number 30. in: LE Mawdwsley-Thomas (Eds). Academic Press, New York: 141-151. Herwig, N. 1979. Handbook of Drugs and Chemicals Used in the Treatment of Fish Disease. Charles C. Thomas, United States of America. Holt, J.G. 1977. The Shorter Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 8 th ed. The William and Wilkins Company, Baltimore. p: 129-130 Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T Staley. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Williams and Wilkins Company, United States of America Baltimore. Inglis, V., S. Z. Abdullah, S. L. Angka., S. Chinabut., Md. B. R. Chowdury., E. M. Leano., I. H. MacRae, A. Sasongko, T. Somsiri and A. V. Yambot. 1997. Survey of Resistance to Antibacterial Agents used in Aquaculture in Five South East Asian Countries. In T. W. Flegel and I. H. MacRae (eds), Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila. p: 331-337 Irianto, A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm 83-145. Isnansetyo, A. 1996. Penambahan vitamin C pada Pakan Lele Dumbo (Clarias sp.) Untuk Meningkatkan Tanggap Kebal Terhadap Vaksin Aeromonas hydrophila. Jurnal Perikanan (J Fish Sci) 7 (1):1-10. Isohood, J.H., M. Drake. 2002. Review: Aeromonas species in foods. J Food Protection 65: 575-582. Kamiso H.N., A. Isnansetyo, Triyanto, dan M. Murdjani, dan L. Sholichah. 2005. Efektivitas vaksin polivalen untuk mengendalikan vibriosis pada kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Fish. Sci. VII (2): 95-100. Kamiso, H. N. dan Triyanto.1990. Vaksinasi monovalen dan polivalen vaksin untuk mengatasi serangan aeromonas hydrophila pada ikan lele (Clarias sp.). Jurnal Ilmu Pertanian (Agricultural Science). 4: 447-46. Kamiso, H.N., 1986. Differences in pathogenecity and pathology of Vibrio anguillarum in chum salmon (Oncorchynchus keta) and English sole (Parophyrs vetulus) under laboratory conditions. Ph.D. Thesis, OSU, Corvallis, 116p Kuby. 2007. Immunology 6th Edition. W.H. Freemason Company, New York.
37
Lagler, K.f., J.E. Bardach, R.R. Miller and D.R.M. Pasino. 1977. Ichthyology, 2nd ed. John Willey and Sons, New York. 36p. Lamers, C.H.J & M.H.J De Haas. 1985. Antigen localization in the lymphoid organs of carp (Cyprinus carpio). Cell Tissue Res. 242: 491-498 Lund, V., J.A. Arnesen & G. Eggset. 2002. Vaccine Development for Atypical Furunculosis in Spotted Wolffish Anarchicas minor O.: Comparison of Efficacy of Vaccine Containing Different Strains of Atypical Aeromonas salmonicida. Aquaculture 204: 33-44. Madigan, M.T., J.M. Martinko, dan J. Parker.2003. Brock Biology of Microorganisms, Tenth edition. Prentice Hall, Pearson education, Inc., New Jersey. 1019p. Mulia, D. S., & C. Purbomartono. 2007. Perbandingan Efikasi Vaksin Produk Intra dan Ekstraseluler Aeromonas hydrophila Untuk Menanggulangi Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) Pada Lele Dumbo (Clarias sp.). Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) IX (2) : 173-181. Mulia, D.S. 2007. Keefektivan vaksin Aeromonas hydrophila untuk mengendalikan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada gurami (Osphronemus gouramy lac.). Jurnal Pembangunan Pedesaan. 7 (1): 43-52. Mulia, D.S., C. Purbomartono, A. Isnansetyo, dan Murwantoko. 2010. Uji Lapang Penggunaan Vaksin Polivalen Aeromonas hydrophila Pada Gurami (Osphronemus gouramy Lac.). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian UGM-Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Yogyakarta 24 Juli 2010. Munro, A.L. 1982. The Pathogenesis of Bacterial Disease of Fishses. in: Robert RJ. Microbial Diseases of Fish. Academic Press, London. 151p Najiyati, S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya, Jakarta, 49 hlm. Nitimulyo, K. H. 1990. Vaksinasi Penyakit Bakterial Pada Ikan. PAUBioteknologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nitimulyo, K.H. 1997. Uji lapang penggunaan vaksin Aeromonas hydrophila pada lele dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Perikanan UGM (GMU J. Fish Sci.) I (2): 17-24. Noga, E.J. 2000. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Jowa State University Press, United States of America Olga & S. Aisiah. 2007. Vaksin protein produk ekstraseluler Aeromonas hydrophila untuk meningkatkan tanggap kebal patin (Pangasius hypophthalmus) terhadap Motile Aeromonas Septicemia (MAS). Sains Akuatik. 10(2): 105110. Osman, K. M., L. A. Mohamed., E. H. A. Rahman., & W. S. Soliman. 2009. Trial for Vaccination of Tilapia Fish against Aeromonas and Pseudomonas Infection Using Monovalent, Bivalent and Polivalent Vaccines. World Journal Of Fish And Marine Sciences 1 (4): 297-304. Permana, H. I. 2013. Uji Imunogenisitas Antigen H dan O Beberapa Isolat Aeromonas Hydrophila sebagai Kandidat Vaksin. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Skripsi.
38
Pleczar, M.J. & E. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Plumb, J. A. 1984. Immunization of Warm Water Fish against Five Important Pathogens. Symposium on Fish Vaccination, O.I.E, Paris Priminarti, M. 1991. Penentuan Lethal Dose 50 Bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan Mas (Cyprinus carpio). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. (skripsi) Rajan, P.R., Lopez, C., Lin, J.H.-Y. and Yang, H.-L. 2001. Vibrio alginolyticus infection in cobia (Rachycentron canadum) cultured in Taiwan. Bulletin of the European Association of Fish Pathologists 21: 228–234. Rijkers, G.T. 1980. Introduction to fish immunology. Develop. & Com. Immunol. 5: 527 534 Robinson, R.K., Blatt K., & Patel P.D. 2000. Encyclopedia of Foods Microbiology. Academic Press, New York Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Binacipta, Jakarta. Saanin, H. 1989. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bima Cipta, Jakarta. Shotts. 1985. Extracellular Proteolityc Activity of Aeromonas hydrophila, Complex. J Fish Patol 20: 37-44 Sismeiro, O., Trotot P., Biville F., Vivares C., and Danchin A. 1998. Aeromonas hydrophila adenylyl cyclase: a new class of adenylyl cyclase with thermophilic properties and sequences similiarities to proteins from hyperthermophilic archaebacteria. J Bakterial 180: 3339-3344 Snieszko, H.R Axelrod. 1971. Disease of Fishes. TFH Publication Ltd., Hongkong. Soeripto 2001. Vaksin bakteri untuk ternak. Infovet edisi 083: 40-41. Solichah, L. 2004. Vaksin Polivalen Untuk Pengendalian Vibriosis Pada Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Skripsi) Stevenson, R. M. W. 1998. Vaccination againts Aeromonas hydrophila. In: Fish Vaccination. A.E. Ellis. (Ed). Academic Press, London p: 112-123. Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa, Bandung. 233 hlm. Supriyadi, H., & Rukyani, A. 1990. Imunoprofilaksis dengan cara Vaksinasi pada Usaha Budidaya Ikan. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 64-70. Suyanto, S.R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya, Jakarta. Swain, P., S.K. Nayak, A. Sahu, P.K. Meher, B.K. Mishra. 2002. High antigenic cross-reaction among the bacterial species responsible for disease of cultured freshwater fishes and strategies to overcome it for specific serodiagnosis. Journal of Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Diseases 26: 199-211. Thune, R.L., Stanley L.A., & Cooper R.K. 1993. Pathogenesis of gram negative bacterial infections in warmwater fish. in: Faisal M., Hetrich F.M., editor Annual review of fish disease. Pergamon Press, New York: 37-68. Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya. Triyanto, Kamiso H.N., Isnansetyo A. & Murwantoko. 1997. Pembuatan antigen murni untuk memproduksi polivalen antibodi dan vaksin Aeromonas hydrophila. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/1 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1996/1997. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. 37 hlm.
39
Trower, C.J., Abo S., Majeed K.N., & Itzstein M.V. 2000. Bacterial Pathogenicity. Journal of Med Microbial 49: 121-126 Wang C, JL Silva. 1999. Prevalence and characteristics of Aeromonas species isolated from processed channel catfish. Journal of Food Protection 62: 30-34. Ward. P.D. 1982. The Development of Bacterial Vaccines for Fish. In: R.J. Robert (Ed.) Microbal Diseases of Fish. Acad, London Zhou, Y.C., Hui H., Jun W., Ben Z., & Yong Q.S. 2002. Vaccination of the grouper, Epinephelus awoara, against vibriosis using the ultrasonic technique. Aquaculture 203: 229-238.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Kurva standar McFarland Densitas (x 108 sel/ml)
1,5
3
6
9
12
15
18
21
24
27
Absorbansi
0,192
0,299
0,474
0,599
0,741
0,935
1,040
1,180
1,257
1,360
Grafik Mc Farland 30
y = 21.46x - 3.687 R² = 0.990
27 24
Densitas
21 18 15 12 9 6 3 0 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
Absorbansi
Lampiran 2. Dokumentasi selama penelitian
Gambar 1. Pemanenan A. hydrophila isolat JTP2 pada medium TSA petridisik
42
Gambar 2. Pembuatan antigen H A. hydrophila isolat JTP2
Gambar 3. Pembuatan antigen O A. hydrophila isolat JTP3
Gambar 4. Hasil vaksin polivalen A. hydrophila isolat JTP2 dan JTP3
43
Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam Sintasan/Survival Rate (SR) Uji Homogenitas Sintasan/Survival Rate (SR) No
Rendam 66.7 66.7 83.3 216.7 72.2 9.6 91.9 3 2
1 2 3 ∑ Rata-rata sd (S) Varian(S2) Jml. data (n) dk (n-1)
=
2 1
=
Perlakuan
=
2 2
=
s2 =
∑( . ∑ .
s2 = 95.36 2 2
2 3
=
1/dk 0.5 0.5 0.5 0.5 2
2 2 2 2 8
Si2 91.9 100 156.3 33.3 381.44
2)
= ( 10)( − (
Kontrol 20 10 10 40 13.3 5.8 33.3 3 2
2 4
dk
Rendam Oral Injeksi Kontrol ∑
s2 =
Perlakuan Oral Injeksi 30 100 40 87.5 50 75 120 262.5 40 87.5 10 12.5 100 156.25 3 3 2 2
=(
dk. Si2 183.7 200 312.5 66.67 762.87
log Si2 1.96 2 2.19 1.52 7.68
dk. Log Si2 3.9 4 4.38 3.04 15.36
). log s2
= (8) x log (95.36) = 15.83 .
2 (0.95, 3)
2)
= ( 10)(15.83 − (15.36) 2 =2.30 x 0.475 2 = 1.094
= 7.814727764
Untuk α = 5%, dari daftar distribusi 2 dengan db =(4-1)= 3 didapat ( . , ) = 7.81 ternyata bahwa 2 = 1.094 < ( . , ) = 7.81 sehingga hipotesis yang menyatakan varians homogen diterima dalam taraf α = 5%.
44
One-way ANOVA Sintasan/Survival Rate (SR) Source C1 Error Total
DF 3 8 11
S = 9.723
SS 9895.6 756.3 10651.9
MS 3298.5 94.5
R-Sq = 92.90%
F 34.89
P 0.000
R-Sq(adj) = 90.24%
* P-value < P (0.05) = ada beda nyata
Duncan's Multiple Range Test for SurvivalRate Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 94.53667 Number of Means Critical Range
2 18.31
3 19.08
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A A A B C
87.500
3
Injeksi
72.133 40.000 13.333
3 3 3
Rendam Oral Kontrol
45
4 19.51
Lampiran 4. Hasil uji sidik ragam Tingkat Perlindungan Relatif/Relative Percent Survival (RPS) Uji Homogenitas RPS No 1 2 3 ∑ Rata-rata sd (S) Varian(S2) Jml. data (n) dk (n-1)
Perlakuan Rendam Oral Injeksi ∑
Rendam 58.3 63.0 81.1 202.40 67.47 12.04 144.936 3 2
dk
1/dk 0.5 0.5 0.5 1.5
2 2 2 6
Perlakuan Oral 12.5 33.3 44.4 90.27 30.09 16.22 262.99 3 2
Si2 144.936 262.9887 192.9012 600.8259
∑( . 2) ∑ s2 = 200.2753
log Si2 2.161176 2.419937 2.285335 6.866448
B = 8 x log (200.2753) B = 13.80976
= ( 10)( − (
.
Untuk α = 5%, dari daftar distribusi 2 = 0.177<
dk. Log Si2 4.322352 4.839874 4.57067 13.7329
). log s2
2 (0.95, 2)= 5.99
2)
2 = Ln 10 x (13.80976-13.7329) 2 = 2.30 x (0.076868) 2 = 0.177
ternyata bahwa
dk. Si2 289.872 525.9774 385.8025 1201.652
=(
s2 = 2
Injeksi 100 86.1 72.2 258.33 86.11 13.89 192.90 3 2
2
dengan db =(3-1)= 2 didapat
2(0.95, 2)= 5.99
2 (0.95, 2) = 5.99 sehingga hipotesis yang menyatakan
varians homogen diterima dalam taraf α = 5%.
46
One-way ANOVA: Relative Percent Survival (RPS) Source C1 Error Total
DF 2 6 8
S = 14.15
SS 4883 1202 6084
MS 2441 200
F 12.19
R-Sq = 80.25%
P 0.008
R-Sq(adj) = 73.67%
* P-value < P (0.05) = ada beda nyata
Duncan's Multiple Range Test for RPS Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 200.2703 Number of Means Critical Range
2 28.27
3 29.30
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A A A
86.11
3
Injeksi
67.47
3
Rendam
B
30.09
3
Oral
47
Lampiran 5. Hasil uji sidik ragam Rerata Waktu Kematian/Mean Time of Death (MTD) Uji Homogenitas MTD No
Rendam 276 252 288 816.00 272.00 18.33 336.00 3 2
1 2 3 ∑ x sd (S) Varian(S2) Jml. data (n) dk (n-1)
=
2 1
=
Perlakuan
=
2 2
=
∑( . ∑
2 3
=
1/dk 0.5 0.5 1 0.5 2.5
2 2 1 2 7
Si2 336.00 224.46 72.00 75.59 708.05
2)
= ( 10)( − (
dk. Si2 672.00 448.92 72.00 151.19 1344.11
log Si2 2.53 2.35 1.86 1.88 8.61 =(
B = 8 x log (192.0155) B = 15.98335
s2 = 192.0155 2
Kontrol 159 170.6667 176 505.67 168.56 8.69 75.59 3 2
2 4
dk
Rendam Oral Injeksi Kontrol ∑ s2 =
Perlakuan Oral Injeksi 226.2857 288 200 276 225.6 651.89 564.00 217.30 282.00 14.98 8.49 224.46 72.00 3 2 2 1
.
2)
2 = Ln 10 x (15.98335-15.36925) 2 = 2.30 x (0.6141) 2 = 1.414
Untuk α = 5%, dari daftar distribusi
( .
2
, )
dk. Log Si2 5.05 4.70 1.86 3.76 15.37
). log s2
= 7.81
dengan db =(4-1)= 3 didapat
( .
, )
= 7.81
ternyata bahwa χ2 = 1.414 < χ2(0.95,3) = 7.81 sehingga hipotesis yang menyatakan varians homogen diterima dalam taraf α = 5%.
48
One-way ANOVA: Mean Time of Death (MTD) Source C1 Error Total
DF 3 7 10
S = 13.86
SS 22505 1344 23849
MS 7502 192
F 39.07
R-Sq = 94.36%
P 0.000
R-Sq(adj) = 91.95%
* P-value < P (0.05) = ada beda nyata
Duncan's Multiple Range Test for MeanTimeofDeath Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 7 Error Mean Square 192.0724 Harmonic Mean of Cell Sizes 2.666667 4 30.11
Number of Means Critical Range
2
3
28.38
29.51
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A A A B C
282.00
2
Injeksi
272.00 217.30 168.57
3 3 3
Rendam Oral Kontrol
49
Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam Laju Pertumbuhan Spesifik/Spesific Growth Rate (SGR) Berat Uji Homogenitas SGR berat No
Rendam 3.84 6.60 5.00 15.44 5.15 1.38 1.91 3 2
1 2 3 ∑ x sd (S) Varian(S2) Jml. data (n) dk (n-1)
=
2 1
=
Perlakuan
=
2 2
=
∑( . ∑
s2 = 2.29 2
2 3
=
1/dk 0.5 0.5 0.5 0.5 2
2 2 2 2 8
Si2 1.91 0.23 0.25 6.76 9.15
2)
= ( 10)( − (
Kontrol 2.22 7.17 6.07 15.47 5.16 2.60 6.76 3 2
2 4
dk
Rendam Oral Injeksi Kontrol ∑
s2 =
Perlakuan Oral Injeksi 4.16 5.38 5.12 5.08 4.56 6.05 13.84 16.51 4.61 5.50 0.48 0.50 0.23 0.25 3 3 2 2
dk. Si2 3.83 0.46 0.50 13.52 18.30 =(
B = 8 x log (2.29) B = 2.87 .
log Si2 0.28 -0.64 -0.60 0.83 -0.13
dk. Log Si2 0.56 -1.28 -1.21 1.66 -0.27
). log s2
2 (0.95, 3)= 7.81
2)
2 = Ln 10 x (2.87-(-27)) 2 = 2.30 x (3.14) 2 = 7.229
Untuk α = 5%, dari daftar distribusi 2 dengan db =(4-1)= 3 didapat ( . , ) = 7.81 ternyata bahwa χ2 = 7.229 < 2 (0.95, 3)= 7.81 sehingga hipotesis yang menyatakan varians homogen diterima dalam taraf α = 5%.
50
One-way ANOVA: Spesific Growth Rate (SGR) Berat Source C1 Error Total
DF 3 8 11
S = 1.512
SS 1.22 18.30 19.52
MS 0.41 2.29
R-Sq = 6.26%
F 0.18
P 0.908
R-Sq(adj) = 0.00%
*P-value > P (0.05) = tidak ada beda nyata
51
Lampiran 7. Hasil uji sidik ragam Laju Pertumbuhan Spesifik/Spesific Growth Rate (SGR) Panjang Uji Homogenitas SGR panjang No
Rendam 1.63 2.05 1.67 5.35 1.78 0.23 0.05 3 2
1 2 3 ∑ x sd (S) Varian(S2) Jml. data (n) dk (n-1)
=
2 1
=
Perlakuan
=
2 2
=
∑( . ∑
s2 = 0.27 2
2 3
=
1/dk 0.5 0.5 0.5 0.5 2
2 2 2 2 8
Si2 0.05 0.08 0.05 0.91 1.08
2)
= ( 10)( − (
Kontrol 0.58 2.33 2.11 5.02 1.67 0.95 0.91 3 2
2 4
dk
Rendam Oral Injeksi Kontrol ∑ s2 =
Perlakuan Oral Injeksi 1.86 1.26 1.30 1.54 1.55 1.68 4.71 4.49 1.57 1.50 0.28 0.21 0.08 0.05 3 3 2 2
dk. Si2 0.10 0.15 0.09 1.81 2.17 =(
B = 8 x log (0.27) B = -4.5386 .
log Si2 -1.28 -1.11 -1.34 -0.04 -3.77
dk. Log Si2 -2.56 -2.23 -2.67 -0.08 -7.54
). log s2
2 (0.95, 3)= 7.81
2)
2 = Ln 10 x (-4.5386-(-7.54112)) 2 = 2.30 x (3.002512) 2 = 6.914
Untuk α = 5%, dari daftar distribusi 2 dengan db =(4-1) = 3 didapat ( . , ) = 7.81 ternyata bahwa χ2 = 6.914 < 2 (0.95, 3)= 7.81 sehingga hipotesis yang menyatakan varians homogen diterima dalam taraf α = 5%.
52
One-way ANOVA: Spesific Growth Rate (SGR) Panjang Source DF SS MS F P C1 3 0.141 0.047 0.17 0.911 Error 8 2.167 0.271 Total 11 2.307 S = 0.5204 R-Sq = 6.10% R-Sq(adj) = 0.00% *P-value > P (0.05) = tidak ada beda nyata
Lampiran 8. Isolat A. hydrophila dari daerah Jawa Timur Kode Isolat Asal Isolat Banyuwangi, Jawa Timur JTB1 Banyuwangi, Jawa Timur JTB2 Situbondo, Jawa Timur JTS1 Tulungagung, Jawa Timur JTT1 Tulungagung, Jawa Timur JTT2 Pare, Jawa Timur IPK1 Banyuwangi, Jawa Timur JTB3 Pare, Jawa Timur JTP1 Banyuwangi, Jawa Timur JTB4 Banyuwangi, Jawa Timur JTB5 Banyuwangi, Jawa Timur JTB6 Tulungagung, Jawa Timur JTT3 Situbondo, Jawa Timur JTS2 Situbondo, Jawa Timur JTS3 Banyuwangi, Jawa Timur JTB7 Banyuwangi, Jawa Timur JTB8 Situbondo, Jawa Timur JTS4 Situbondo, Jawa Timur JTS5 Tulungagung, Jawa Timur JTT4 Pare, Jawa Timur JTP2 Banyuwangi, Jawa Timur JTB9 Tulungagung, Jawa Timur JTT5 Tulungagung, Jawa Timur JTT6 Situbondo, Jawa Timur JTS6 Tulungagung, Jawa Timur JTT7 Banyuwangi, Jawa Timur JTB10 Banyuwangi, Jawa Timur JTB11 Pare, Jawa Timur JTP3
53