w
aiphss
w
w
.
a
Edisi Penutup
i
p
kabar
h
s
s
.
o
r
Juni 2016
AIPHSS:
Lessons Learned, Achievements & Sustainability
Australian Government Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
g
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
Australia O k t o Indonesia b e r 2Partnership 0 1 2 – J u Australian ni 2016 for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Aid
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian AID
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
Daftar Isi Berita Utama “Penguatan sistem kesehatan melalui Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) merupakan suatu pendekatan baru untuk memperkuat sistem kesehatan nasional yang sejalan dengan program-program Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Karena itu menjadi penting, bagaimana pusat dan daerah menjaga kesinambungan program ini dengan kekuatan yang dimiliki saat ini. Saya yakin kita bisa melanjutkan program ini walaupun harus dengan berbagai perubahan dari cara berpikir, cara mengerjakan dan tentunya juga sumber dana yang berbeda ....” —Sekjen Kemenkes RI, dr Untung Suseno Sutardjo, M.Kes
Sinkronisasi RPJMN dan RPJMD Sub Sektor Kesehatan “Kompleksitas persoalan dan kesinambungan bukan semata soal tantangan pembiayaan tetapi juga perubahan dalam organisasi dan budaya kerja itu sendiri. Sinkronisasi memastikan kontribusi daerah terhadap RPJMN tanpa mengabaikan kondisi spesifik daerah (kondisi wilayah dan konteks sosial budaya), visi dan misi kepala daerah, proksi indikator tingkat daerah dan target daerah. Disinilah letak penting dari sinkronisasi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah”. — Dr. drg Theresia Ronny Andayani, MPH. Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas.
1 Penguatan Sistem Kesehatan: Mimpi Bersama yang Harus di Tuntaskan dengan Kepemilikan dan Keberlanjutan! 5 Sinkronisasi Rpjmn dan Rpjmd Sub Bidang Kesehatan: Pilihan Prioritas dan Strategis bagi Penguatan Sistem Kesehatan Nasional 8 Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Daerah Terintegrasi
1
Perencanaan & Penganggaran Kesehatan Terintegrasi
Peningkatan Sumber Daya Manusia Kesehatan Melalui Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) di Flores Timur.
“Kebutuhan akan perencanaan dan penganggaran daerah yang terintegrasi merupakan salah satu pilihan kebijakan strategis dalam implementasi sistem perencanaan dan penganggaran berbasis bukti sehingga kebutuhan pembangunan kesehatan yang bersifat multi-sektor dan multi-level bisa diwujudkan”.
Tantangan besar yang dihadapi Pemerintah Pusat dan Daerah (PEMDA) adalah bagaimana meningkatkan kualifikasi tenaga perawat & bidan tanpa harus meninggalkan tempat tugas mereka dan pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu. Khususnya bagi mereka yang bertugas di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) serta Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) seperti pelosok kabupaten Flores Timur. Pelaksanaan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) merupakan terobosan penting dari Kementerian Kesehatan untuk merespon tantangan tersebut.
—Dr. Slamet, MHP, Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian Kesehatan RI.
5
11 Piloting Instrumen Akreditasi Puskesmas: Upaya Memajukan Layanan Kesehatan yang Berkualitas 14 Penguatan Sistem Rujukan Regional dan Kabupaten 18 Konsep Standar Pelayanan 21 Sistem Kesehatan Daerah: Belajar dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) 24 Penguatan Sistem Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
8
— Dr. Yosep Usen Aman, Kepala Dinas Kesehatan Flores Timur.
27 Perencanaan dan Peningkatan Sumber Daya Manusia Kesehatan Melalui Pendidikan Jarak Jauh 29 Pengayaan Model Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan 33 National – Provincial – District Health Account: Melacak Biaya Kesehatan
27
37 Penguatan Indonesia Case Based Group (Ina Cbgs): Kunci Sukses Penggunaan Sumber Daya Terstandart Dalam Pelayanan Kesehatan dan Pemerataan Jangkauan Mutu Pelayanan Kesehatan 40 Health Technologies Assesment (Hta) dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional ( Jkn)
EDISI PENUTUP | iii
Penguatan Sistem Kesehatan:
Mimpi Bersama yang Harus di Tuntaskan dengan Kepemilikan dan Keberlanjutan! Seseorang yang telah memiliki kesehatan pastinya memiliki harapan, dan ia yang memiliki harapan pasti akan memiliki segalanya. — Anonim
S
istem kesehatan yang kuat memberikan harapan bagi warga negara untuk meningkatkan martabat dan kualitas hidup. Inilah bahasa sederhana yang bisa mewakili mimpi besar yang hendak diwujudkan oleh Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS), sebuah program kemitraan bilateral yang mendedikasikan seluruh sumber daya dan waktu bagi penguatan sistem kesehatan nasional dan daerah. Melalui komitmen, dedikasi dan kerja keras, Program AIPHSS telah mendukung Kementerian Kesehatan dalam upaya-upaya penguatan sistem kesehatan pada empat building blocks yaitu Sumber Daya Manusia Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Tata Kelola dan Kepemimpinan serta Penyampaian layanan. Dari sejumlah focus group discussion (FGD yang dilakukan dengan sejumlah stakeholders di daerah terbukti betapa strategis dan inspiratif pencapaian yang dihasilkan program ini, yakni antara lain:
• Kegiatan dukungan Program AIPHSS telah memicu timbulnya keterlibatan para pihak lintas dinas dan badan daerah, serta kelompok-kelompok masyarakat sehingga pentingnya Sistem Kesehatan bisa menjadi isu penting bagi daerah. • Program AIPHSS sangat membantu penguatan sistem kesehatan melalui perubahan pola pikir,
menyeimbangkan program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), • Dukungan technical assistances yang memberikan ruang bagi transfer of knowledge sehingga banyak pihak terpapar isu-isu teknis dan kebijakan kesehatan. • Kehadiran para penanggung jawab dan pengelola program bersama para ahli dari pusat ke daerah sampai ke tingkat puskesmas menyebabkan kesehatan menjadi perhatian pemerintahan daerah termasuk legislatif • District Health Account (DHA) yang menampilkan profil penganggaran kesehatan di daerah, akan dijadikan standar oleh Bappeda dalam pengalokasian anggaran kesehatan
EDISI PENUTUP | 1
dalam APBD; bahkan akan dijadikan model untuk urusan/bidang selain kesehatan. Perubahan yang terjadi sebagaimana dirasakan dan diungkapkan oleh para stakeholders dalam FGD tersebut, tentunya tidak lepas dari perubahan dan perbaikan yang terjadi di tingkat nasional terkat dengan kebijakan, manajemen, kelembagaan dan sumber daya kesehatan. Ini tentunya menjadi kontribusi yang sangat luar biasa besar karena hasilnya tidak semata bagi kemajuan bidang kesehatan tetapi tentu saja berkontribusi terhadap sektor atau bidang lain. Dengan demikian, kesehatan memainkan peranan strategis
2 | KABAR AIPHSS
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan.
Jejak Langkah Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (Aiphss) Walaupun AIPHSS baru diluncurkan secara resmi pada bulan Januari 2013, namun secara programatik, kontribusi AIPHSS dalam penguatan Sistem Kesehatan di Indonesia telah mulai sejak Oktober 2012 dengan fokus pada: • Penguatan pelayanan kesehatan dasar, terutama puskesmas
• Penguatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan • Penguatan sistem pembiayaan kesehatan • Penguatan regulasi dan governance di sektor kesehatan Pada level nasional, fokus utama program ini adalah pada penyusunan kebijakan, pedoman dan teknologi untuk kemudian diimplementasi di daerah. Sementara di tingkat daerah sendiri, AIPHSS memfokuskan pada lahirnya inovasi-inovasi terkait penguatan layanan kesehatan sesuai kebutuhan masing-masing daerah berdasarkan karakteristik sosial budaya dan wilayahnya.
Sebagai sebuah kemitraan yang setara dan saling menginspirasi, AIPHSS dalam kerja-kerjanya lebih memainkan peran sebagai katalisator dalam mendukung berbagai program nasional dan daerah baik dalam pengembangan kebijakan maupun yang sifatnya program teknis dalam rangka percepatan dan perubahan itu sendiri. Hal ini dilakukan melalui “flexible funding” dan penyediaan technical assistances yang melibatkan orang-orang yang pakar dibidangnya baik yang ada di level nasional maupun internasional sehingga memungkinkan adanya respons yang cepat terhadap berbagai perubahan kebijakan maupun lahirnya sebuah kebijakan baru termasuk berbagai kegiatan inovatif di tingkat daerah. Secara programatik, dengan total dukungan dana sebesar AUD. 14.1 Million atau Rp. 30 milyar yang diterima Kementerian Keuangan Republik Indonesia dari kemitraan ini selama periode 2013-2014 (belum termasuk anggaran 2015 yang realisasi pencairan masih dalam tahap proses dan rencana anggaran 2016 yang juga belum dicairkan karena mengalami restrukturisasi) banyak hal telah dikerjakan oleh AIPHSS selama lebih dari 3,5 tahun dan menunjukkan perkembangan serta hasil yang memuaskan. Sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan sepanjang Oktober 2012 hingga April 2016, antara lain: • Health Sector Review (HSR) untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
• Institusionalisasi District Health Account (DHA) • Piloting instrument akreditasi puskesmas • Dukungan pada penyusunan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 • Perencanaan SDM Kesehatan berdasar Workload Indicator of Staff Need (WISN) • Survei kematian ibu dan pemberdayaan masyarakat untuk penurunan Angka Kematian Bayi • Sistem rujukan regional provinsi dan kabupaten • Peraturan daerah tentang Implementasi Sistem Kesehatan Nasional di tingkat Provinsi dan Kabupaten • Peraturan gubernur dan Peraturan Bupati tentang SDM Kesehatan Namun karena program ini akan segera berakhir setahun lebih cepat dari yang rencana awal, Juni 2017, maka hal ini tidak saja berimplikasi secara serius
terhadap mimpi besar yang hendak diwujudkan tetapi juga terhadap sejumlah aktifitas program yang sedang dan akan dilaksanakan hingga bulan Juni 2017 mendatang.
Mimpi yang Belum Selesai AIPHSS Sustainability Strategy Workshop yang di gelar pada 16 Februari 2016 lalu merupakan forum transisi AIPHSS yang bersifat lintas stakeholders, yang bertujuan menyusun strategi keberlanjutan pasca berakhirnya AIPHSS. Forum ini terlaksana karena adanya pemahaman dan komitmen yang kuat dari semua stakholders utamanya dari pihak Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia bersama pengelola program AIPHSS terhadap pentingnya menjamin kesinambungan program AIPHSS untuk mendukung penguatan Sistem Kesehatan Nasional. John Burrough, DFAT Counsellor Rural Development and Health, dalam
EDISI PENUTUP | 3
sambutannya menggaris bawahi optimisme dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia terkait keberlanjutan program penguatan sistem kesehatan di Indonesia. Komitmen kuat diatas nampak sekali dalam sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Sekjen Kemenkes RI), dr Untung Suseno Sutardjo, M.Kes., saat membuka lokakarya ini. Selain mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Australia (DFAT) atas dukungan yang telah diberikan bagi penguatan sistem kesehatan di Indonesia, Sekjen Kemenkes RI juga mengapresiasi gagasan dan kerja-kerja penguatan sistem kesehatan melalui AIPHSS, terutama karena program ini memperkenalkan pendekatan baru untuk memperkuat sistem kesehatan nasional tetapi sejalan dengan programprogram Kemenkes RI. Dalam sambutan ini juga, Sekjen Kemenkes RI menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan yang akan menjaga kesinambungan program pasca berakhirnya AIPHSS bulan Juni 2016 mendatang. Senada dengan Sekjen Kemenkes RI, Dr. Budihardja Singgih selaku Technical Director AIPHSS, dalam presentasi overview of AIPHSS menyatakan bahwa program AIPHSS memiliki modalitas keberlanjutan dan kepemilikan yang kuat, ini ditandai dengan komitmen dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah direncanakan alokasinya untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan kunci paska berakhirnya program AIPHSS dalam empat bulan mendatang. Dalam pemaparannya, Budihardja Singgih menegaskan pentingnya pendekatan sistem dalam menyikapi isu-isu kesehatan termasuk beberapa pokok pikiran yang ditawarkan untuk memframe penyusunan strategi keberlanjutan ini. Beberapa pokok pikiran tersebut, yakni:
4 | KABAR AIPHSS
“
Banyak yang sudah kita hasilkan dari Sekretaris Jenderal kerjasama iniKementerian dalam mendukung penguatan sistem Kesehatan RI, Dr Untung Suseno kesehatan nasional kita. … Karena itu menjadi Sutarjo, MKes serta dihadiri oleh penting, bagaimana kita menjaga kesinambungan sejumlah undangan dari stakeholders program ini dengan kekuatan kita sendiri dan terkait, antara lain: Badan Pengawasan dengan keadaan yang kita miliki saat ini. Saya yakin Obat dan makanan (BPOM); badan kita bisa melanjutkan program ini walaupun harus dengan berbagai perubahan dari cara berpikir, cara mengerjakan dan tentunya juga sumber dana yang berbeda ….
”
Dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes.
• Melembagakan proses penguatan system kesehatan baik di pusat maupun di daerah dalam koridor pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. • Political commitment dari pimpinan di masing-masing jenjang untuk menguatkan sistem kesehatan searah dengan kebijakan menuju Pembangunan Indonesia Sehat melalui pendekatan Paradigma Sehat berbasis keluarga • Sustainability didukung dengan kesinambungan penganggaran penguatan sistem kesehatan dengan prinsip penganggaran berbasis kinerja. • Kesinambungan aspek teknis dari program-program yang belum selesai dan kelanjutan dari berbagai program yang telah selesai Untuk penajaman, isu-isu tersebut dikemas dalam lima sesi pembahasan, masing-masing: • Evidence based policy and planning (Perencanaan dan kebijakan berbasis bukti) • Advancing quality Health Care (Memajukan pelayanan yang berkualitas) • Health governance (Tata kelola kesehatan)
• Strengthening human resource for health (Penguatan Sumber Daya Manusia Kesehatan) • Comprehensive health financing (Pembiayaan kesehatan yang komprehensif) Komitmen, dedikasi, kerja keras dan kebersamaan yang begitu kuat dari seluruh stakeholders serta pencapaian yang luar biasa dari kerja-kerja selama 3,5 tahun untuk mendukung penguatan sistem kesehatan nasional, sekaligus rasa optimisme yang kuat dari Pemerintah Australia terhadap komitmen dan kemampuan Pemerintah Indonesia terhadap kesinambungan program ini maka tentu saja hal ini menjadi kesuksesan sekaligus kebanggaan bersama pemerintah dan rakyat dari kedua bangsa, Australia dan Indonesia. Tentu saja, bagi pengelola program ini bersama semua stakeholders, 3,5 tahun dalam AIPHSS adalah waktu yang sangat luar biasa untuk sebuah kebersamaan TETAPI TERLALU SEDIKIT untuk sebuah mimpi besar bersama yang belum selesai.
SINKRONISASI RPJMN DAN RPJMD SUB BIDANG KESEHATAN:
Pilihan Prioritas dan Strategis bagi Penguatan Sistem Kesehatan Nasional
H
asil mengejutkan dari kegiatan Health Sector Review (Tinjauan Sektor Kesehatan) 2014 yang dilakukan oleh BAPENAS dengan dukungan dana dari Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) dijelaskan bahwa ± 70% permasalahan kesehatan terkait erat dengan permasalahan non-kesehatan, seperti ketersediaan infrastruktur, tingkat kesejahteraan keluarga, tingkat pendidikan, dan kesetaraan gender.
Lebih jauh lagi, Health Sector Review ini juga menemukan bahwa salah satu yang menjadi sumber penyebab dari masalah yang ditemukan adalah kebijakan dan implementasi otonomi daerah yang masih tumpang tindih, khususnya berkaitan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta masih lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah berkaitan dengan pembuatan kebijakan,
perencanaan, implementasi dan pengawasan. Hasil Health Sector Review tentu saja sangat membantu dalam memahami kompleksitas persoalan dan tantangan yang dihadapi Pemerintah Indonesia di sektor kesehatan sekaligus membantu dalam memahami dan meletakkan posisi dan peran sektor atau bidang lain secara skala prioritas dalam pembangunan sektor kesehatan. Dengan kata lain, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bukan lagi satu-satunya aktor utama atau ujung tombak dalam pembangunan di sektor kesehatan, karena penanganan persoalan di sektor kesehatan mesti didekati secara multi-sektor dan juga multi-level pemerintahan sesuai kewenangan dan bidang masing-masing. Untuk memaksimalkan dan mengefektifkan peran multi sektor dan multi-level pemerintahan terkait isu-isu dan agenda reformasi sektor kesehatan, khususnya penguatan sistem kesehatan maka pendekatan sistemik mulai dari tahapan perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi menjadi kunci. Kemeterian Kesehatan sebagai pihak yang paling berkepentingan, melalui dukungan program AIPHSS telah
EDISI PENUTUP | 5
melakukan koordinasi dan kerjasama yang kuat dengan sejumlah kementerian dan pemerintah daerah terutama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS yang memiliki kewenangan dan fungsi dibidang perencanaan pembangunan nasional.
Modul Perencanaan Pembangunan Bidang Kesehatan Kunci Sinkronisasi Rpjmn dan Rpjmd Koordinasi dan kerjasama yang kuat antara Kemenkes RI dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dalam kerjasama dan dukungan dari AIPHSS sejak tahun 2014, telah
menghasikan sejumlah kebijakan dan program dalam upaya mendorong dan mengefektifkan peran sektor lain dan pemerintah daerah terhadap isu strategis dalam penguatan sistem kesehatan nasional. Melalui kegiatan AIPHSS Sustainability Strategy Workshop yang di gelar pada 16 Februari 2016, Theresia Ronny Andayani selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas, sebagai salah satu penyaji, dalam paparannya menjelaskan bahwa ada tiga isu kritis yang menjadi perhatian BAPPENAS dalam upaya mendorong dan mengefektifkan peran sektor lain dan pemerintah daerah di sektor kesehatan, khususnya untuk mengawal konsistensi daerah terhadap isu, kebijakan dan program sektor kesehatan dalam penyusunan RPJMD yaitu:
6 | KABAR AIPHSS
1. Menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yaitu: Memastikan daerah dalam penyusunan RPJMDnya melakukan sinkronisasi (adopsi/ translasi) terhadap sasaran pokok, arah kebijakan, strategi, indikator dan target dalam RPJMN tanpa mengabaikan situasi spesifik daerah (kondisi wilayah dan sosial budaya), visi dan misi kepala daerah, proksi indikator tingat daerah dan target daerah. Hal ini penting untuk memastikan kontribusi signifikan daerah terhadap RPJMN. 2. Kapasitas Perencanaan di level Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
hal ini kapasitas petugas perencana dan proses perencanaan di daerah. 3. Kewenangan yang dimiliki sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah; UU No. 36 tentang Kesehatan; UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara; Standart Pelayanan Minimal (SPM), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Pengetahuan tenaga perencana terhadap berbagai regulasi diatas menjadi kunci penting dalam kerja-kerja perencanaan itu sendiri. Terkait dengan isu kritis diatas, melalui dukungan program AIPHSS, salah satu program strategis yang sedang dikerjakan oleh BAPPENAS adalah penguatan konsistensi antara RPJMN dan RPJMD dengan tujuan:
1. Melakukan advokasi dan sosialisasi pentingnya sinkronisasi RPJMN dan RPJMD; 2. Penyusunan pedoman penyusunan perencanaan di bidang kesehatan dan gizi masyarakat yang berbasis bukti; 3. Penguatan kapasitas sumber daya manusia di daerah dalam perencanaan pembangunan kesehatan. Terkait tujuan diatas, sejumlah kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan adalah: 1. Penyusunan modul perencanaan pembangunan bidang kesehatan; 2. Pelatihan fasilitator tingkat pusat; 3. Uji coba modul di tingkat daerah; 4. Sosialisasi RPJMN dan asistensi perencanaan di tingkat daerah
Kegiatan penyusunan modul sudah berlangsung sejak November 2015 lalu oleh tim BAPPENAS bersama sejumlah pakar, dan ditargetkan pada bulan Maret 2016 dilakukan uji coba di tingkat daerah sebelum di finalisasi. Modul ini ditargetkan sudah selesai di desiminasikan ke 3 region (Indonesia Barat, Tengah dan Timur) pada akhir Mei 2016 dengan prioritas penggunaannya sebagai instrumen dalam penyusunan RPJMD bagi daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada tahun 2016. Sementara sasaran penggunaan modul ini adalah instansi perencanaan di daerah serta perguruan tinggi lokal sebagai tenaga ahli dalam penyusunan RPJMD. Modul ini nantinya menjadi acuan bagi daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam menyusun:
1. Sasaran dan target pembangunan kesehatan di daerah; 2. Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan di daerah; 3. Indikator program dan kegiatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; 4. Rencana pembangunan yang pelaksanaannya melibatkan lintas sektor di daerah.
Mengawal Keberlanjutan Sinkronisasi Rpjmn dan Rpjmd bagi Penguatan Sistem Kesehatan Nasional Berbicara mengenai keberlanjutan, tidak semata-mata bicara soal anggaran. Perencanaan sendiri memiliki dimensi yang tidak kalah kompleks. Isu-isu terkait kapasitas perencana di daerah, ketersediaan data dan informasi yang up-to-date dan memadai untuk kepentingan perencanaan, technical assistance dari ahli perencanaan, modul panduan dan buku kerja perencanaan hingga akuntabilitas perencanaan itu sendiri. Ini menjadi penting sekali karena isu kesehatan tidak saja terkait dengan sektor kesehatan dan kesalahan
dalam perencanaan sama artinya mempertaruhkan nyawa manusia. Memperhatikan isu-isu di atas dan untuk memastikan keberlanjutan sistem perencanaan berbasis bukti dan sikronisasi berkelanjutan antara RPJMN dan RPJMD terkait dengan penguatan sektor kesehatan, maka beberapa isu yang menjadi perhatian adalah: 1. Financing, yaitu ketersediaan anggaran terkait sosialisasi dan pelatihan;
“
... Kompleksitas persoalan dan keberlanjutan Sekretaris Jenderal Kementerian bukan semata soal tantangan pembiayaan tetapi Kesehatan RI, Dr Untung Suseno organisasi dan budaya kerja juga perubahan dalam Sutarjo, MKes serta dihadiri oleh itu sendiri. ... Sinkronisasi memastikan kontribusi sejumlah undangan dari stakeholders daerah terhadap RPJMN tanpa mengabaikan kondisi terkait, antara lain: Badan Pengawasan spesifik daerah (kondisi Obat dan makanan (BPOM); badanwilayah dan social budaya), visi dan misi kepala daerah, proksi Indikator tingkat daerah dan target daerah. Disinilah letak penting dari sinkronisasi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah.
”
Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani. MPH, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas
2. Facilitation, yakni menjamin ketersediaan pelatih dengan kualitas yang terjamin; 3. Demand, yaitu membangkitkan keinginan perencana untuk terus belajar terkait penyusunan RPJMD; 4. Expertise, yakni menjaga agar pengetahuan yang dimiliki terus ter up-date dengan cara perluasan pelibatan stakeholders yang memiliki pengetahuan dan skill yang up-to-date;
8. Antisipasi Penggantian Tenaga Perencana Daerah melalui kegiatan pelatihan regular dan online learning. Ini menjadi isu krusial mengingat tugas perencanaan masih menjadi domain struktural BUKAN fungsional sehingga orang-orangnya gampang sekali berganti/diganti. Selain itu,
5. Unfinished Agendas dengan mengintegrasikan perencanaan ke dalam sistem dan memperluas jangkauan; 6. External Facilitator , dengan melatih akademisi dan melakukan sertifikasi. Ini penting agar tenaga ahli perencanaan senantiasa tersedia; 7. Kebutuhan Sinkronisasi yaitu, ketersediaan pos dana bagi sinkronisasi dalam alokasi Dana Dekonsentrasi;
implikasi lain dari perencanaan menjadi domain structural adalah perencaan menjadi terjebak dalam ego sektoral. 9. Pengembangan melalui integrasi nomenklatur RKPD, Up-dating perencanaan untuk kebutuhan perubahan indikator), penyediaan data base Kabupaten/Kota dan clearing house.
EDISI PENUTUP | 7
Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Daerah Terintegrasi
K
ebutuhan akan perencanaan dan penganggaran daerah yang terintegrasi merupakan salah satu pilihan kebijakan strategis dalam implementasi sistem perencanaan dan penganggaran berbasis bukti sehingga kebutuhan pembangunan kesehatan yang bersifat multi-sektor dan multi-level bisa di wujudkan. Hal ini mengacu pada hasil kegiatan Health Sector Review (Tinjauan Sektor Kesehatan) 2014 yang dilakukan BAPPENAS dengan dukungan Program Kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS), dijelaskan bahwa ± 70% permasalahan kesehatan terkait erat dengan permasalahan nonkesehatan1 (Lihat juga halaman lain bulletin ini dibawah judul: Sinkronisasi RPJMN dan RPJMD Sub Bidang Kesehatan; Pilihan Prioritas Dan Strategis Bagi Penguatan Sistem Kesehatan Nasional).
http://aiphss.org/id/indonesia-health-sectorreview-2014-menelaah-sektor-kesehatan-denganlebih-seksama/
1
8 | KABAR AIPHSS
Dua dari empat ciri perencanaan dengan pendekatan berbasis bukti adalah: 1). Memposisikan Bappenas sebagai koordinator umum perencanaan di tingkat nasional dan Bappeda sebagai koordinator umum (leading sector) perencanaan di tingkat daerah dengan tugas tambahan mengintegrasikan perencanaan dari berbagai Kementerian/Lembaga di tingkat nasional atau SKPD/Badan (BAPPENAS); 2). Memperkuat peran provinsi dan akademisi/pakar lokal (BAPPEDA). Pendekatan perencanaan dan penganggaran kesehatan terintegrasi merupakan penyusunan rencana program/kegiatan dan keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja yang didasarkan pada prinsip supply and demand tanpa mengabaikan prinsip efisiensi alokasi dana. Dalam konteks provinsi dan kabupaten/kota, perencanaan dan penganggaran terintegrasi dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran di lingkungan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) untuk menghasilkan Rencana Kerja Anggaran SKPD (RKA SKPD) dengan klasifikasi anggaran menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Integrasi perencanaan dan penganggaran bertujuan memperkuat kerjasama dan dukungan dari SKPD lain, selain untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penyediaan dana.
Hambatan dan Upaya Mengatasi Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), dr. Slamet, MHP, dalam paparan materinya pada kegiatan AIPHSS Sustainability Strategy Workshop yang digelar pada 16 Februari 2016 menjelaskan, Kemenkes mengalami beberapa hambatan terkait upaya mendorong sistem perencanaan dan penganggaran kesehatan daerah terintegrasi. Oleh karenanya Kemenkes RI, melalui dukungan pembiayaan yang bersumber dari APBN, AIPHSS, BAPPENAS, Kerjasama antar Kementerian/Lembaga, dan juga
Adapun materi penunjang, berupa: 1. Anti Korupsi 2. Building Learning Commitment (BLC) 2. Memperkuat dukungan bukti dan data melalui:
melalui koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, BKN dan Pemerintah Daerah tengah berupaya mengatasi hambatan yang ada. Adapun hambatan dan upaya yang telah dan sedang dilakukan Kemenkes RI, sebagai berikut: 1. Masalah kapasitas sumber daya manusia dalam hal perencanaan dan penganggaran belum memadai. Upaya intervensi yang dilakukan: a. Penyusunan Pedoman Perencanaan Terintegrasi b. Pendidikan dan Pelatihan Petugas Perencana c. Bimbingan Teknis Kepada Daerah d. Jabfung Perencana untuk menarik minat e. Peraturan rotasi pegawai Pemda Penyusunan modul panduan perencanaan dan penganggaran terintegrasi dibuat tidak saja berisi aspek-aspek dan materi penting terkait perencanaan dan penganggaran tetapi juga memasuk aspek atau materi lain. Karenanya modul tersebut disusun atas dua bagian, yakni: 1). Bagian pertama
modul berisi materi dasar berupa: Kebijakan kesehatan dan kebijakan tata kelola pemerintahan; 2). Bagian kedua modul berisi materi inti terkait perencanaan dan pengangaran dan materi penunjang, sbb: 1. Pengantar Perencanaan dan Konsep Dasar Perencanaan & Penganggaran Kesehatan Yang Terintegrasi 2. Pola Pikir Dalam Penyusunan Rencana dan Anggaran Pembangunan Kesehatan Daerah Kabupaten/ Kota) 3. Analisis Situasi (dalam Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Kesehatan Kab/ Kota yang terintegrasi) 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (Pembangunan Kesehatan Daerah Kabupaten/ Kota) 5. Penyusunan Instrumen 6. Penyusunan Dokumen Rencana Kerja Pembangunan Kesehatan Daerah
a. Pengembangan sistem E-Renggar b. Survei Kesehatan Nasional dan Survey Khusus c. Pengembangan Pelaporan terpadu d. Integrasi Data Lintas Sektor 3. Pengalokasian yang belum tepat dan kerja sama lembaga swasta dan lembaga pemerintah belum optimal sehingga promotif dan preventif masih perlu diprioritaskan untuk mengimbangi kuratif/rehabilitative. Intervensi dilakukan melalui: a. Pendekatan Keluarga untuk mendorong Promosi/Preventif b. Mendorong kerjasama Lintas Sektoral Untuk Promosi/ prefentif, misalnya, melalui Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) c. Penyusunan Indikator SPM yang menitik beratkan promosi/ preventif d. Memperkuat forum Integrasi Program, seperti Rakerkesda, Rakerkesnas dan Musrenbangnas 4. Perubahan kebijakan / kepentingan. Intervensi dilakukan melalui: a. Pendekatan kepada DPR untuk mendapat dukungan politis b. Pendekatan ke Bappenas dan Kemenkeu untuk mendapat
EDISI PENUTUP | 9
dukungan program dan pembiayaan c. Pendekatan ke Kemendagri dan stakeholder lainnya untuk mendapat dukungan pelaksanaan Selain intervensi terhadap hambatan yang diangkat di atas, beberapa kegiatan lain yang juga telah dan sedang di kerjakan dengan dukungan dari AIPHSS, adalah: 1. Penyusunan draft Modul 2. Policy Dialogue Perencanaan Kesehatan Daerah 3. Lokakarya Modul Perencanaan Kesehatan Daerah 4. Pembekalan untuk delapan Kab./ Kota AIPHSS 5. Piloting modul di Jawa Timur dan NTT 6. Finalisasi Modul
Menjaga Keberlanjutan Untuk merawat keberlanjutan/ kesinambungan kegiatan ini, Kementrian Kesehatan RI telah merencanakan sejumlah kegiatan dengan pembiayaan penuh dari APBN, sbb: • Pelatihan TOT tingkat Provinsi di Indonesia dengan pembiayaan dari
10 | KABAR AIPHSS
DIPA Biro Perencanaan dan Penganggaran Kemenkes RI • Pelatihan tingkat Kab/Kota dengan pembiayan yang bersumber dari Dekon Setjen • Bimbingan Teknis dan pemantauan dengan pembiayaan dari DIPA Biro Perencanaan dan Penganggaran Kemenkes RI Dari pemaparan materi oleh penyaji, beberapa catatan sebagai masukan kritis juga disampaikan oleh pembahas, dalam hal ini Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menekankan pentingnya perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi dalam menyikapi kompleksitas persoalan yang dihadapi sektor kesehatan. Publik yang semakin kritis akan hak-haknya tentu akan selalu mempertanyakan kinerja sektor kesehatan, jika hasil nyata yang dilihat hanyalah semakin meningkatnya orang sakit dan meninggal
sementara dari sisi anggaran semakin hari semakin mengalami peningkatan. Karenanya perencanaan berbasis bukti, performance based budgeting dan pengawasan harus benar-benar diperhatikan. Dari sisi perencanaan berbasis bukti, harus benar-benar bisa menampakkan kompleksitas persoalan yang ada dengan fakta lapangan dan data-data scientific dan indikator-indikator yang ditetapkan harus mampu menjelaskan supply and demand. Demikian pula dengan kinerja anggaran dan pengawasan. Karena itu modul panduan perencanaan dan buku kerjanya dan tenaga perencana harus dipastikan benar-benar mampu untuk merekam kompleksitas permasalahan yang ada. Catatan kritis lain untuk pengawasan adalah, pentingnya pengalokasian anggaran yang cukup untuk kebutuhan perencanaan dan pengawasan. Jika dibandingkan dengan sektor lain seperti di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang memiliki alokasi anggaran untuk perencanaan dan pengawasan untuk hal-hal yang sifatnya teknis dan dikerjakan oleh konsultan. Sektor kesehatan masih sangat minim, bahkan nyaris tidak ada alokasinya untuk kebutuhan technical assistance. Padahal kesalahan perencanaan di sektor kesehatan langsung berdampak pada kesehatan dan nyawa manusia.
PILOTING INSTRUMEN AKREDITASI PUSKESMAS:
Upaya Memajukan Layanan Kesehatan yang Berkualitas
K
eberadaan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) menjadi salah satu unsur vital dalam reformasi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam sistem rujukan berjenjang. Hal ini karena Puskesmas memainkan peran penting sebagai “gate keeper” dalam sistem rujukan berjenjang, dimana Puskesmas berperan sebagai penyedia layanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama ( RJTP) maupun Rawat Inap Tingkat pertama (RITP) sebelum ke Rumah Sakit. Selain menyediakan layanan kesehatan dasar sebagai bagian dari UKP, Puskesmas diharapkan dapat secara efektif mengkoordinasikan keluhan dari peserta BPJS Kesehatan serta peserta dari perusahaan asuransi kesehatan swasta. Sayangnya, profil Puskesmas masih jauh dari tuntutan peran dan fungsi yang diatur. Puskesmas belum mampu dan efektif melaksanakan peran dan fungsi sebagaimana tertuang dalam peraturan tersebut oleh karena kompleksitas persoalan yang dihadapi, seperti: Masih buruknya pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP); Masyarakat masih mencari perawatan (kuratif) dan rehabilitasi dibandingkan langkahlangkah pencegahaan dan promotif; Masih rendahnya kualitas penyedia layanan kesehatan dan manajemen sumber daya manusia di Puskesmas; Pelayanan kesehatan di Puskesmas belum memenuhi standar yang ditetapkan; Tidak tertibnya manajemen pengumpulan, klasifikasi dan distribusi data di Puskesmas; Persoalan manajemen pendanaan dan keuangan akibat alokasi pendanaan kesehatan yang terbatas.
Revitalisasi Peran Puskesmas: Mengembalikan Peran Vital Puskesmas Kepmenkes RI No. 128 tahun 2004 mengatur secara tegas 3 fungsi utama Puskesmas, yakni: Pertama, sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) primer ditingkat pertama di wilayahnya; Kedua, sebagai pusat penyedia data dan informasi kesehatan di wilayah kerjanya sekaligus dikaitkan dengan perannya sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di wilayahnya, dan; Ketiga, sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) primer/tingkat pertama yang berkualitas dan berorientasi pada pengguna layanannya. Dengan demikian Puskesmas memiliki 2 peran vital: Pertama, sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer, artinya, Puskesmas memainkan peran utama dalam layanan promotif dan preventif dengan sasaran kelompok dan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Kedua, Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan perseorangan primer yang berarti Puskesmas berperan sebagai gate keeper atau kontak pertama dari pelayanan kesehatan untuk sistem rujukan berjenjang. Puskesmas berperan sebagai penyedia layanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama ( RJTP) maupun Rawat Inap Tingkat pertama (RITP) sebelum ke Rumah Sakit sesuai dengan standard EDISI PENUTUP | 11
pelayanan medik. Vitalnya peran Puskesmas diatas menjadi sebuah keharus untuk menata kembali Puskesmas sesuai sehingga benar-benar siap melaksanakan peran dan fungsinya. Dalam kegiatan Sustainability Strategy Workshop yang di gelar pada tanggal 16 Februari 2016 oleh Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strenthening (AIPHSS), Dr KM Taufiq. MMR yang mewakili Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Ditjen Pelayanan Kesehatan dalam pemaparannya menjelaskan bahwa akreditasi Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan salah satu upaya untuk memastikan bahwa Puskesmas telah siap melaksanakan fungsi dan perannya. Karena itu Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar sejak tahun 2011 telah mulai melakukan akreditasi terhadap Puskesmas sebagai bentuk implementasi nyata atas salah satu Misi RPJMN 2010-2014 yaitu “Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan” Untuk kebutuhan akreditasi ini, sejumlah kegiatan yang telah dilakukan Kemenkes RI sepanjang tahun 2011 hingga saat ini, antara lain: Penyusunan konsep akreditasi Puskesmas; Pengumpulan instrumen akreditasi di beberapa provinsi; Pertemuan pembahasan konsep akreditasi dengan lintas program dan lintas sektor. Rangkaian kegiatan tersebut menghasilkan sejumlah output, berupa: Draft awal standar dan instrumen akreditasi Puskesmas dan klinik pratama, draft awal mekanisme akreditasi dan, pelaksanaan uji coba draft awal instrumen akreditasi di beberapa lokasi uji coba di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Semarang, Jepara, Magelang dan, Tegal) Sebagai kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2014, beberapa kegiatan telah laksanakan, yakni: Penyusunan NSPK dengan dana dari APBN dan dana dukungan program
12 | KABAR AIPHSS
AIPHSS; Penyiapan dana pelatihan dan workshop melalui Dana Dekonsentrasi 2015; Sosialisasi dan advokasi; Penyiapan sarana, prasarana dan alat dengan sumber pendana berasal dari DAK dan TP; Uji Coba Implementasi Akreditasi di delapan Kabupaten dari dua Provinsi ( Jatim dan NTT) dengan dukungan sumber dana dari Program AIPHSS. Beberapa output yang dihasilkan dari kegiatan diatas,
Program AIPHSS; Bimtek pelaksanaan uji coba akreditasi Puskesmas; Pertemuan review NSPK akreditasi Puskesmas; Diseminasi hasil uji coba implementasi akreditasi Puskesmas Adapun tujuan dari dilaksanakannya uji coba akreditasi Puskesmas adalah:Mendapatkan input terkait materi teknis standar dan instrumen akreditasi Puskesmas dan perbaikan
adalah terlaksananya uji coba implementasi akreditasi Puskesmas di daerah uji coba AIPHSS dan juga tersusunnya sejumlah draft, antara lain: Standar dan instrumen akreditasi Puskesmas; Pedoman survei akreditasi Puskesmas; Pedoman pendampingan akreditasi Puskesmas; Pedoman penyusunan dokumen Puskesmas; Kurikulum dan GBPP pelatihan TOT surveior dan TOT pendamping; Roadmap akreditasi Puskesmas. Untuk tahun 2015, Sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan Kemenkes RI, adalah: Implementasi Akreditasi FKTP dimana ada 100 PKM telah terakreditasi; Pelatihan calon surveiyor dan calon pendamping akreditasi di delapan kabupaten ujicoba dengan sumber pembiayaan dari AIPHSS; Pelaksanaan uji coba implementasi akreditasi Puskesmas (operasional tim pendamping dan surveior) di delapan kabupaten uji coba dengan sumber pembiayaan dari
NSPK akreditasi Puskesmas; Mendapatkan input terkait pelaksanaan dan materi teknis pelatihan pendamping dan surveior, teknis pelaksanaan pendampingan dan survei, waktu yang dibutuhkan untuk pendampingan dan survei; Sejauhmana mampu laksana akreditasi Puskesmas; Upaya perbaikan manajemen pelayanan & mutu serta kinerja Puskesmas; Hasil uji coba sebagai bahan untuk standarisasi implementasi akreditasi Puskesmas. Dari ujicoba yang dilakukan, beberapa pembelajaran berharga yang bisa dihasilkan adalah: Standar dan instrumen akreditasi mampu diaplikasikan oleh Puskesmas, dari 16 Puskesmas ujicoba enam Puskesmas lulus akreditasi, di Puskesmas yang belum lulus terdapat perbaikan proses kinerja apabila dibandingkan pra dan pasca akreditasi; Dengan diterapkannya akreditasi mulai dari persiapan, pendampingan sampai dengan penilaian terjadi peningkatan kinerja UKM dan UKP pada semua
C. PENDAMPINGAN PASCA AKREDITASI (Sekali dalam 6 bulan), meliputi: Tl rekomendasi hasil survei; Bimtek; Penilaian pra survei; Pengusulan Dalam pedoman teknis ini juga diatur jelas mengenai peran aktor/ stakeholders dalam proses implementasi akreditasi Puskesmas, sbb:
Puskesmas ujicoba; Pelaksanaan pendampingan akreditasi Puskesmas membutuhkan waktu tujuh (7) sampai dengan delapan (8) bulan sebelum Puskesmas tersebut siap disurvei; Pembiayaan akreditasi mulai dari pendampingan dan survei diperkirakan bernilai 80 s.d 120 juta Rupiah per Puskesmas; Komitmen dan peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sangat diperlukan agar Puskesmas di wilayahnya dapat lulus akreditasi; Penyempurnaan terhadap NSPK Akreditasi Puskesmas.
Kebijakan & Strategi Kesinambungan Akreditasi Puskesmas Mengembalikan peran vital Puskesmas sebagaimana diamanatkan Kepmenkes RI No. 128 tahun 2004 dan kebutuhan penguatan sistem kesehatan, membutuhkan kerja keras dan kerja sama berbagai stakeholders lintas sektor dan multi-level. Kemenkes RI telah dan sedang melakukan sejumlah upaya bagi keberlanjutan revitalisasi peran Puskesmas, utamanya dengan berakhirnya program AIPHSS. Beberapa program atau kegiatan dan agenda untuk menjamin keberlanjutan revitalisasi Puskesmas dimaksud, sbb: 1. Akreditasi FKTP ditetapkan sebagai unsur pengakuan eksternal setelah dinilai oleh Lembaga Independen bahwa Puskesmas dan FKTP lainnya telah memberikan pelayanan sesuai dengan standar berdasaarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akreditasi Puskesmas dijadikan sebagai salah satu Indikator Kinerja Program (IKP) Kementerian Kesehatan tahun 2015 – 2019. 3. Dikeluarkannya Permenkes 46 tahun 2015 sebagai acuan dalam pelaksanaan Akreditasi Puskesmas dan FKTP lainnya. 4. Adanya pedoman teknis yang telah teruji dilapangan terkait dengan pelaksanaan akreditasi sudah berjalan selama ini. Pedoman teknis dimaksud terdiri atas beberapa pentahapan, sbb: A. PENDAMPINGAN PRA AKREDITASI yang dilakukan rata-rata selama enam bulan, dengan jenis kegiatan meliputi: Lokakarya, Workshop, Pendampingan , Pendampingan penyusunan dokumen, Pendampingan implementasi, Pendampingan penilaian pra survei, Pengusulan survei. B. SURVEI, yang terdiri atas 2 tahapan. Tahap pertama, mencakup Pelaksanaan survei, dengan alokasi waktu untuk masing-masing: a). Puskesmas (3 hari efektif) menyangkut Administrasi UKM, UKP; b). Klinik (2 hari efektif) menyangkut Administrasi dan UKP; c). Prakttik Perseorangan dr/drg (2 hr efektif) menyangkut Administrasi dan UKP. Tahap kedua, mencakup penetapan status akreditasi oleh KA. FKTP (3 hari efektif)
1. KEMENKES RI, meliputi: Dukungan KAFKTP; Pembuatan NSPK; Penyusunan Roadmap Tingkat Pusat; Penganggaran Pembiayaan (Dekon, APBN, DAK ); Sosialisasi dan Advokasi; Peningkatan Teknis SDM 2. KEMENDAGRI, KEMENKEU, KEMENKOKESRA, BAPPENAS, meliputi: Dukungan Kebijakan dan Pembiayaan, dan; Dukungan Sosialisasi dan Advokasi ke Pemda 3. DINKES PROVINSI, meliputi: Pelatihan Pendamping Akreditasi Kab/Kota; Penyusunan Roadmap Akreditasi Tingkat Provinsi; Bimbingan Teknis dan Supervisi 4. DINKES KAB/KOTA, yakni melakukan pendampingan pra akreditasi yang meliputi: Lokakarya penggalangan komitmen; Workshop pengenalan standar dan instrumen; Self Assessment; Pendampingan Penyusunan Dokumen; Pendampingan Implementasi & Penilaian Pra Survei; Penyusunan Road map Akreditasi tingkat Kab/kota; Pengusulan Survei; Penganggaran Implementasi dengan APBD maupun DAK nonfisik; Bimbingan dan Supervisi 5. PUSKESMAS, yakni Pelaksanaan Akreditasi FKTP, meliputi: Pembentukan tim mutu; Penyusunan Dokumen; Implementasi; Evaluasi Implementasi. EDISI PENUTUP | 13
Penguatan Sistem Rujukan Regional dan Kabupaten
S
ejak tahun 2014, pemerintah Indonesia telah melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) di semua provinsi, termasuk Jawa Timur. Terkait hal ini maka sistem rujukan kesehatan menjadi hal yang sangat urgent untuk dibenahi segera karena hal ini bukan semata berkaitan dengan kesinambungan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan kesehatan primer, di puskesmas hingga ke tingkat pelayanan kesehatan tersier, di rumah sakit, tetapi lebih pokok lagi, sistem rujukan sangat diperlukan untuk memastikan setiap individu menerima pelayanan kesehatan yang optimal di tingkat pelayanan kesehatan yang sesuai dan dapat mengakses fasilitas kesehatan pada waktu yang tepat sesuai standart pelayanan kesehatan dan kebutuhan medis. Hal ini tegas diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pada Pasal 11 ayat (1) yang mewajibkan setiap pemberi pelayanan kesehatan untuk merujuk pasien bila keadaan penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Walaupun ada pengecualian, namun pengecualian tersebut sifatnya terbatas, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) bahwa yang dimaksudkan dengan alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semata-mata karena
14 | KABAR AIPHSS
pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis. Definisi sistem rujukan sendiri, sebagaimana diatur pada pasal 3 Permenkes ini menyebutkan, Sistem rujukan adalah Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Sementara di pasal 4 Permenkes ini, mengatur bahwa sistem rujukan yang menganut azas berjenjang, yakni pelayanan kesehatan dimulai dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) dan sesuai kebutuhan medis. Pada pasal ini diatur bahwa pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama; Dan, pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama. Mengenai tata cara rujukan, dalam Permenkes ini, sebagaimana Pasal (7, 8, 9 dan, 10) dikenal dua (2) jenis rujukan, yaitu rujukan vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah rujukan antar fasilitas pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan dimana rujukan itu sendiri bisa berasal dari fasilitas kesehatan yang lebih rendah ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Sementara rujukan horizontal adalah rujukan antar fasilitas pelayanan kesehatan yang setingkat dimana rujukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien oleh karena adanya keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap pada fasilitas pelayanan kesehatan yang diakses awal pasien.
Sistem Rujukan Regional dan Daerah: Belajar dari Pengalaman Jawa Timur Demikian pentingnya pengaturan mengenai sistem rujukan ini, maka Kemenkes RI melalui Dinas Kesehatan Jawa Timur (Dinkes Jatim) dengan dukungan Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), melalui serangkaian kegiatan membantu Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengembangkan pedoman sistem rujukan kesehatan di Jawa Timur berdasarkan hasil studi kasus di beberapa Kabupaten di Jawa Timur (Kabupaten Sampang, Bangkalan, Situbondo, dan Bondowoso). Pengalaman sukses Provinsi Jawa Timur dalam hal pengembangan sistem rujukan regional tidak lepas dari berbagai tantangan dan kendala yang
ALUR RUJUKAN NASIONAL
–FKTP– PKM (Horizontal)
–FKTL– RS di Kab/Kota (Horizontal)
–FKTL– RS Regional (Horizontal)
–FKTL– RS Rujukan Provinsi
–FKTL– RS Rujukan Nasional
Keterangan:
: : : :
Rujukan Rujuk balik Rujukan kondisi tertentu (Gawat Darurat dan Bencana) Rujukan karena alasan tertentu (Kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas) : Rujuk balik alasan tertentu
EDISI PENUTUP | 15
disebabkan oleh berbagai aspek, sebagaimana paparan materi presentasi Dr Herlin Ferliana, MKes, Kepala Bidang Yankes Dinkes Provinsi Jawa Timur yang mewakili Kadis Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam kegiatan AIPHSS Sustainability Strategy Workshop yang di gelar pada 16 Februari 2016 lalu. Sejumlah tantangan yang pernah dihadapi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, antara lain: 1). Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagian besar belum terstandar. Capaian Mutu Pelayanan PKM dan RS di Jawa Timur < 20 % dari total fasilitas layanan kesehatan yang ada; 2). Kab/Kota belum semuanya mempunyai sistem rujukan yang mengatur prosedur rujukan dan alur rujukan; 3). Belum semua Prosedur, Alur, Pencatatan dan Pelaporan Rujukan dilaksanakan dengan baik oleh Kab/ Kota; 4). Belum adanya pembinaan dan pengawasan yang kontinyu terkait sistem rujukan; 5). Kepatuhan sistem rujukan yang dapat berdampak pada tidak bisa diklaim ke BPJS. Namun pada akhirnya kerjasama yang digagas dengan program AIPHSS ini berhasil membantu Pemerintah Provinsi Jawa Timur menghasilkan sebuah Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 118/359/KPTS/013/2015 tentang Pelaksanaan Sistem Rujukan Regional di Provinsi Jawa Timur, menggantikan SK Gubernur sebelumnya, yakni SK Gubernur No.188/786/KPTS/013/2013. SK Gubernur yang baru ini, membagi wilayah Provinsi Jawa Timur kedalam delapan (8) Regional. SK Gubernur yang baru ini dihasilkan setelah melewati 7 tahapan proses peningkatan dan pengembangan sistem rujukan, yakni: 1. Pengembangan instrumen penilaian untuk puskesmas dan rumah sakit, termasuk ToT (training of trainer) untuk Diskusi Kelompok Terarah (DKT); 16 | KABAR AIPHSS
2. Penilaian fasilitas kesehatan dan DKT, termasuk pemetaan fasilitas kesehatan, DKT untuk puskesmas, rumah sakit, komunitas dan Dinkes Provinsi dan Kabupaten serta analisis hasil assessment; 3. Diseminasi hasil penilaian dan DKT melalui lokakarya di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 4. Pengembangan model sistem rujukan, termasuk proses diseminasi dan finalisasi model sistem rujukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 5. Diseminasi model sistem rujukan melalui lokakarya di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 6. Uji coba sistem rujukan, termasuk monitoring and evaluation, draft dan pengkajian pedoman sistem rujukan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 7. Finalisasi pedoman sistem rujukan, termasuk lokakarya untuk hasil pelaksanaan model sistem rujukan. Regionalisasi sistem rujukan kesehatan adalah penataan sistem rujukan dengan membagi wilayah provinsi kedalam beberapa regional, dimana setiap regional mempunyai rumah sakit yang mampu mengampuh beberapa rumah sakit dari beberapa rumah sakit dari kabupaten/kota sekitarnya. Dan untuk Provinsi Jawa Timur, melalui SK Gubernur No. 118/359/ KPTS/013/2015, regionalisasi sistem rujukan yang dibagi kedalam 8 regional, sbb: 1) RSU Dr Saiful Anwar Malang; 2) RSU Haji Surabaya; 3) RSUD Ibnu Sina Gresik; 4) RSUD Sidoarjo; 5) RSUD Jombang; 6) RSUD Iskak Tulung Agung; 7) RSU Dr Soedono Madiun; 8) RSUD Dr Soebandi Jember. Selain itu juga SK Gubernur ini telah mengatur alur rujukan regional sebagai pelaksanaan teknis atas amanat pasal
(7, 8, 9 dan 10) Permenkes RI No. 1 Tahun 2012. Selain menghasilkan SK. Gubernur, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga dalam rangka mengefektifkan sistem rujukan regional tersebut, sejumlah kegiatan lain yang telah di kerjakan sepanjang tahun 2014 dan 2015 adalah: 1). Assessment di Faskes dan FGD di Masyarakat. 2). Menyusun Buku Petunjuk Teknis Regionalisasi Sistem Rujukan; 3). Menyusun Model Sistem rujukan dan Monitoring Evaluasi (RS Soebandi Jember dan RS Haji Surabaya); 4). Monitoring dan Evaluasi Sistem Rujukan; 5). Penyusunan Pedoman Rujukan UKM; 6). Penyusunan Pergub Sistem Rujukan; 7). Perda Upaya Kesehatan. Dari hasil monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas sistem rujukan, ditemukan adanya kemajuan antara lain: 1. Beberapa kab/kota mulai membuat sistem rujukan yang diintegrasikan dg sistem rujukan regional; 2. Sudah dilakukan prosedur administrasi dan prosedur klinis terkait proses rujukan; 3. Format Rujukan menggunakan format BPJS bukan Format pada Pedoman Sistem Rujukan; 4. Evaluasi kemampuan FKTP (rujukan 15 %) dievaluasi oleh BPJS karena terkait pembiayaan; 5. Rujuk balik sebagian besar tidak dilakukan; 6. Pencatatan Kasus Rujukan di Puskesmas tidak dilakukan rekapitulasi dan evaluasi; 7. Kasus yang masih dirujuk oleh RS Rujukan Regional ke RS Rujukan Provinsi , karena terkait sarana, prasarana dan SDM subspesialistik. Namun demikian, sejumlah kendala juga masih muncul dalam implementasi sistem rujukan regional, sbb: 1). Lemahnya koordinasi antara RS Regional dengan RS yang diampu; 2). Belum adanya keterlibatan fasilitas kesehatan swasta (RS dan FKTP) dalam sistem rujukan; 3). Sistem pencatatan dan pelaporan rujukan belum optimal terutama terkait dengan SIM RS dan
Rekam Medik RS belum berjalan dengan baik; 4). Sistem komunikasi rujukan belum berjalan dengan optimal; 5). Peran Dinas Kesehatan Kab/Kota belum berjalan dengan baik dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan monev sistem rujukan.
Mengawal Keberlanjutan Implementasi Sistem Rujukan Regional di Jawa Timur Untuk memastikan efektifitas dan keberlanjutan dari implementasi sistem rujukan regional di Jawa Timur beberapa hal penting yang masih perlu dilakukan, antara lain: 1. Komitmen Anggaran APBD Provinsi Jawa Timur untuk kebutuhan evaluasi berkelanjutan terhadap pelaksanaan sistem rujukan regional
dimana memerlukan inovasi terkait monitoring dan evaluasi terpadu. 2. Integrasi sistem Informasi antara Fasilitas layanan kesehatan dasar dan rujukan sehingga data bisa lebih valid sebagai bahan rekomendasi sebuah kebijakan kesehatan. 3. Kerjasama dan koordinasi yang efektif dengan BPJS; 4. Dukungan Anggaran Sarana, Prasarana RS Rujukan Regional karena Dana APBN TP saat ini menjadi DAK, sementara alokasi anggaran pusat pada tahun 2016 tidak fokus pada RS Rujukan Regional 5. Penyediaan anggaran dan kebijakan untuk Puskesmas dalam upaya menstandarisasi SDM, sarana, prasarana fasilitas kesehatan sesuai PMK 75 Tahun 2015
EDISI PENUTUP | 17
Konsep Standar Pelayanan
P
eraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, pada Pasal 1 angka (6) mengatur bahwa Standart Pelayanan Minimal (SPM) adalah suatu ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sementara, pada Pasal 1 angka (8) dijelaskan, bahwa pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Lahirnya PP No. 65 Tahun 2005 tentang SPM ini merupakan pelaksanaan terhadap ketentuan pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib
18 | KABAR AIPHSS
pemerintahan berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan (Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota). PP No. 65 Tahun 2005 merupakan pedoman yang wajib menjadi acuan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga Pemerintah NonDepartemen dalam penyusunan SPM dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Standar Pelayanan Minimal dalam Konteks Otonomi Daerah Secara konseptual, SPM merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri/ Pimpinan Lembaga Non Departemen sebagai alat dan pedoman bersama Pemerintah Daerah dalam penyelengaraan urusan wajib pemerintahan guna menjamin akses dan mutu pelayanan dasar yang merata kepada masyarakat secara nasional. Untuk ini, dalam penerapannya, pemerintahan daerah berkewajiban: 1) Menjadikan SPM sebagai salah satu acuan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 2) Menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri. 3) Menuangkan Rencana pencapaian SPM kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD); 4) Memasukkan target tahunan pencapaian SPM ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD),
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain, SPM merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pertanggungjawaban terkait penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam konteks UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004, Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) didasarkan pada Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana diatur oleh Pasal (9, 10, 11, 12 dan 13) UU No. 23 Tahun 2014 dengan berlandaskan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. kriteria externalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kementerian Kesehatan sebagai bidang pemerintahan yang secara teknis bertanggungjawab dalam urusan kesehatan, dalam melaksanakan ketentuan mengenai SPM telah memiliki sejumlah perangkat kebijakan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang; 2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan;
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 317 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembiayaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan UU No. 23 Tahun 1992, dan UU No. 23 Tahun 2014 yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004, dan maka secara otomatis, implementasi SPM memerlukan penyesuaian-penyesuaian mengikuti spirit dan isi dari kedua UU tersebut dan juga RPJMN 2015 – 2019 dan Rencana Strategis Kementerian Keseehatan 2015 – 2019 serta berbagai kebijakan terkait lainnya. Dalam kegiatan AIPHSS Sustainability Strategy Workshop yang di gelar pada 16 Februari 2016, Prof. Ahmal Taher, selaku Staff Khusus Menteri Bidang Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dalam presentasinya menjelaskan bahwa, Kementerian Kesehatan, sejak dua tahun lalu telah merumuskan SPM Bidang Kesehatan, namun hingga ini belum final karena harus melakukan penyesuaian dengan berbagai regulasi, termasuk UU No. 23 Tahun 2014. Penyesuaian ini wajib dilakukan dalam rangka menciptakan sinkronisasi dan harmonisasi ditingkatan kebijakan dan juga kelembagaan. Dan untuk ini membutuhkan koordinasi yang kuat dengan bidang lain pemerintahan baik yang membidangi hal teknis maupun non teknis. Saat ini Kemenkes RI bersama stakeholders terkait dan juga dalam kerjasama dengan Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) tengah menyusun SPM Provinsi dan SPM Kabupaten/Kota. SPM Provinsi meliputi: 1. Persentase Satuan Pendidikan Menengah dan Satuan Pendidikan Khusus Mendapatkan Promosi Kesehatan;
EDISI PENUTUP | 19
2. Persentase Promosi Kesehatan Melalui Media Massa; 3. Persentase Satuan Pendidikan Menengah dan Satuan Pendidikan Khusus Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Persentase Satuan Pendidikan Dasar mendapatkan Promosi Kesehatan. Sementara, untuk SPM Kabupaten/ Kota, meliputi: 1. Persentase Puskesmas dan Pustu Melaksanakan Promosi Kesehatan. 2. Persentase Puskesmas yang melakukan Promosi Kesehatan untuk Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan, 3. Persentase Ibu Hamil Mendapatkan Pelayanan Antenatal Sesuai Standar di Puskesmas dan Jaringannya, 4. Persentase Ibu Bersalin Mendapatkan Pelayanan Persalinan Sesuai Standar di Puskesmas dan jaringannya, 5. Persentase Bayi Baru Lahir Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Sesuai Standar di Puskesmas dan Jaringannya, 6. Persentase Usia Bawah Lima Tahun (Balita) Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Sesuai Standar di Puskesmas dan Jaringannya, 7. Persentase Siswa Satuan Pendidikan Dasar Mendapatkan Skrining Kesehatan Sesuai Standar,
20 | KABAR AIPHSS
8. Persentase Usia 15 –19 tahun Mendapatkan Skrining Kesehatan Sesuai Standar di Puskesmas dan Jaringannya, 9. Persentase Usia 20 – 59 tahun Mendapatkan Skrining Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sesuai Standar di Puskesmas dan Jaringannya, 10. Persentase Usia 60 tahun Keatas Mendapatkan Skrining Kesehatan Sesuai Standar di Puskesmas, 11. Persentase terduga Tuberkulosis Mendapatkan Pemeriksaan Tuberkulosis Sesuai Standar di Puskesmas dan RSUD, 12. Persentase Terduga HIV dan AIDS Mendapatkan Pemeriksaan HIV-AIDS Sesuai Standar di Puskesmas dan RSUD, 13. Persentase Satuan Pendidikan Dasar Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Lingkungan, 14. Persentase Pasar Rakyat Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Lingkungan, 15. Persentase Respons Verifikasi terhadap SKDR dalam Waktu Kurang dari 24 Jam. Dari segi isi, beberapa isu baru yang sedang di bahas untuk dimasukkan dalam draft SPM bidang kesehatan, antara lain: Penyakit Tidak Menular, seperti kanker payudara, kanker servix,
diabetes, orang dengan gangguan jiwa yang dipasung, dan darah tinggi. Masuknya beberapa issue baru tersebut, salah satunya didasarkan pada faktor resiko ikutan yang ditimbulkan. Issue lainnya juga yang dibahas secara mendalam antara lain: Sumber daya manusia dan implikasi pembiayaannnya; Pembiayaan, khususnya mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK); Pengadaan/penyediaan obat dan alat kesehatan. Demikian halnya juga dengan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan SPM. Pertanyaan mengenai siapa yang merekam/membuat laporan kegiatan, siapa yang mengawasi, siapa yang menilai, siapa yang memfasilidasi laporan dan bagaimana memfalidasi laporan tersebut adalah issu penting dari monitoring dan evaluasi agar fungsi SPM menjadi sia-sia. Sistem monitoring dan evaluasi berjenjang harus masuk menjadi satu kesatuan dengan SPM itu sendiri. Sementara methodology dan tools monitoring harus benar-benar menjamin objektifitas dalam monitoring dan evaluasi mengingat capaian SPM merupakan tolok ukur untuk menilai keberhasilan seorang kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 73 tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Suksesnya penyusunan dan penerapan SPM bidang kesehatan oleh pemerintah daerah tidak lepas dari sejumlah faktor antara lain: 1. Kesiapan regulasi terutama yang diamanatkan oleh UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan UU no 23 tahun 1992 dan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Pembiayaan Kesehatan 3. Komitmen Pemerintah Daerah 4. Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia Kesehatan.
SISTEM KESEHATAN DAERAH (SKD):
Belajar dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Sistem Kesehatan Daerah (SKD) merupakan suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan pada hakekatnya merupakan wujud sekaligus metode penyelenggaraan kesehatan daerah.
P
entingnya SKD, bukan semata-mata karena Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mengamanatkan pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah. Namun jauh lebih penting dari itu, melalui SKD, kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan masyarakat akan dapat lebih terakomodir. SKD juga merupakan ruang sekaligus bentuk pengakuan terhadap potensi pelaku dibidang kesehatan yang dimiliki daerah (pemerintah, masyarakat, swasta) yang dengan SKD ini diikat dalam komitmen dan tujuan yang sama sebagaimana prinsip dasar SKN, yakni : Perikemanusiaan; Hak Azasi Manusia; Adil dan merata; Pemberdayaan dan kemandirian Masyarakat; Kemitraan; Pengutamaan dan manfaat; Tata kepemerintahan yang baik.
EDISI PENUTUP | 21
Interkoneksi Stakeholders di Bidang Kesehatan, Kunci Sukses SKD di Timor Tengah Utara Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2015 tentang Sistem Kesehatan Daerah (SKD), di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan hasil kerjasama yang efektif antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) TTU, melalui Dinas Kesehatan Kabupaten TTU dengan Program Kemitraan Indonesia Australia Untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS), Kementerian Kesehatan RI dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Latar belakang dari lahirnya Perda tersebut adalah dalam rangka memperkuat implementasi SKN dalam pelaksanaan Desentralisasi di Kabupaten TTU. Karenanya, semangat dari SKD adalah menghimpun berbagai upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya menjadi roh dalam penyusunan Perda SKD di Kab. TTU, dimana keberadaan dan peran masing-masing aktor yang menjadi pelaku dibidang kesehatan yang ada di daerah serta keterpaduan antar aktor menjadi salah satu aspek penting yang dikelola melalui Perda ini
22 | KABAR AIPHSS
sehingga peran-peran yang ada menjadi semakin maksimal tetapi juga efektif. Sebagai payung hukum daerah, Perda ini harus mampu memberikan perhatian serius terhadap hubungan (interkoneksi) antar berbagai lembaga, kelompok, masyarakat termasuk individu sehingga SKD yang dihasilkan memberikan ruang-ruang peran serta hubungan yang benar-benar jelas dan produktif, terutama terkait dengan 4 hal penting :
1. Stewardship. Dengan ditetapkannya Perda SKD maka peran Pemda menjadi lebih jelas dalam pelaksanaan dan penguatan sistem kesehatan melalui fungsi-fungsi pembinaan, koordinasi, pengawasan, law enforcement;
2. Financing. Perda SKD menjadi payung hukum untuk mengintegraskan berbagai sumber pembiayaan kesehatan didaerah, baik dari sumber pemerintah termasuk pembiayaan melalui JKN maunpun swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR). 3. Health Care Delivery. Perda SKD yang dihasilkan harus mampu mendorong pertumbuhan, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk melalui keterlibatan swasta. Sehingga keterbatasan fasilitas layanan bisa lebih dapat segera diatasi;
4. Resource Generation. Perda SKD juga akan mendorong pertumbuhan fasilitas pendidikan di bidang kesehatan serta mencari cara-cara inovatif untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya manusia di bidang kesehatan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kejelasan peran, hubungan (interconnection) antar berbagai pelaku pembangunan bidang kesehatan akan sangat membantu kesuksesan implementasi SKD dan juga tentunya akan meringankan beban yang harus dipikul Pemerintah Daerah dalam penguatan subsistem kesehatan dalam SKD, yakni: 1). Subsistem Upaya Kesehatan; 2). Subsistem Pembiayaan Kesehatan; 3). Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan; 4). Subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan; 5). Subsistem Pemberdayaan Masyarakat; 6). Subsistem Regulasi Manajemen Kesehatan. Karena itu, sejak proses awal perumusan Perda ini, keterlibatan dan dukungan dari keterwakilan berbagai stakeholders baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat menjadi salah satu concern selain tentunya technical assistance dari para pakar yang didanai oleh program AIPHSS. Para stakeholders yang terlibat, antara lain: Anggota Badan Legislasi DPRD
Kabupaten TTU, Bagian Hukum, BP2KB, BPMPD, Bagian Keuangan Daerah, Badan Kepegawaian Daerah dan perwakilan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain keterwakilan unsur stakeholders, penyusunan Perda ini juga melewati tahapan yang ketat dan panjang sebagai bagian dari quality control terkait proses dan dan content termasuk accountability-nya. Proses yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan sejak Agustus hingga Desember 2015 telah melewati sedikitnya sepuluh (10) tahapan penting, yakni :
4. Konsultasi publik draft naskah akademik tingkat kabupaten Tahap II; 5. Konsultasi publik terhadap Ranperda tentang SKD, tahap I; 6. Seminar dan Lokakarya Penyelarasan Ranperda SKD; 7. Konsultasi draft Ranperda SKD ke Dinas Kesehatan Propinsi NTT; 8. Pembahasan Ranperda di Sidang III DPRD Kab. TTU; 9. Asistensi Draft Ranperda SKD ke Biro Hukum Propinsi NTT; 10. Pertemuan Finalisasi Ranperda dan Ranperbup SKD.
1. Lokakarya penyamaan persepsi tentang sistem kesehatan; 2. Assessment dan analisis masalah kesehatan serta analisis terhadap 7 (tujuh) sub sistem kesehatan yang bersifat khas daerah dan telaah peraturan perundang-undangan terkait Sistem Kesehatan; 3. Konsultasi publik draft naskah akademik tingkat kabupaten Tahap I;
Pembelajaran (Lessons Learned) Proses panjang dari kerjasama Pemda TTU dengan Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) terutama dalam penyusunan Perda SKD, telah menghasilkan pembelajaran menarik dan inspiratif bagi Dinas Kesehatan dan semua stakeholders yang terlibat.
Pertama, pembelajaran yang dihasilkan bukan saja mengenai pentingnya penguatan sistem kesehatan daerah tetapi lebih jauh lagi adalah pentingnya kerjasama lintas sektor/ bidang, karena permasalahan dan intervensi penguatan di bidang kesehatan memerlukan kerjasama dan dukungan dari bidang-bidang non kesehatan dan juga dukungan aktor swasta dan masyarakat. Kedua, penyusunan SKD didasari dengan pemikiran atau konsep SKD yang harus (a) komprehensif, yaitu mencakup semua elemen atau fungsi system kesehatan, (b) integratif, yaitu kejelasan bagaimana interaksi dan sinkronisasi antara fungsi system kesehatan, (c) dibawah kendali pemerintah daerah, yaitu kejelasan peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai pembina kesehatan wilayah, termasuk mengendalikan berfungsinya system kesehatan di daerah.
EDISI PENUTUP | 23
Penguatan Sistem Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
S
umber daya Manusia (SDM) merupakan komponen kunci di semua bidang pembangunan, tidak terkecuali pembangunan di bidang kesehatan. SDM kesehatan merupakan tulang punggung yang akan menentukan sukses dan tidaknya pelaksanaan reformasi sistem kesehatan. Dari berbagai studi yang dilakukan, SDM kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% terhadap keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Karena itu, sebagai komponen penentu, sumber daya manusia kesehatan mesti di rencanakan dan dikelola dengan sebaik-baik agar kebutuhan SDM bisa terjawab baik dari sisi kuantitas, kualitas maupun jenis kebutuhan distribusi secara merata. Disinilah letak penting dari perencanaan dan pengembangan SDM Kesehatan sebagai salah satu subsistem dalam reformasi sistem kesehatan di Indonesia. Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan meliputi, perencanaan tenaga kesehatan itu sendiri, pendidikan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan mutu yang mencakupi 13 jenis tenaga kesehatan, yakni: Dokter Spesialis, Dokter Umum, Dokter Gigi, Perawat, Bidan, Perawat Gigi, Apoteker, Assisten Apoteker, Sanitarian, Tenaga Gizi, Tenaga Kesehatan Masyarakat, Tenaga Keterapian Fisik dan Tenaga Keteknisan Medis.
Landasan Kebijakan Perencanaan dan Pengembangan Sdm Kesehatan Dalam sesi paparan mengenai Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan, pada kegiatan Sustainability Strategi Workshop Program AIPHSS, yang berlangsung di Jakarta, tanggal 16 Februari 2016 lalu, Emmilya Rosa, SKM, MKM, yang hadir mewakili Kepala Badan Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Kemenkes RI, menjelaskan, bahwa Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan merupakan jawaban terhadap mandat dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam UU No. 23 Tahun 2014, khususnya pasal 9 ayat (3) diatur, bahwa bidang kesehatan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren, artinya urusan wajib yang dikerjakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dan terkait dengan pengaturan tersebut, pada pasal 16 ayat (1) UU ini juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk: 1) Menetapkan norma, standart dan kriteria dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan; 2) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sementara, UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pada Pasal 13, menegaskan, bahwa pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, baik dalam jumlah, jenis maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin pembangunan kesehatan. Dan Pasal 14 ayat (2) menegaskan bahwa perencanaan tenaga kesehatan di susun secara berjenjang (mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
24 | KABAR AIPHSS
Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No. 33 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kebutuhan SDM Kesehatan Di Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Permenkes Ri No. 33 Tahun 2015; Kunci Harmonisasi dan Sinkronisasi Antar Bidang dan Antar Level Pemerintahan dalam Penyusunan Rencana Kebutuhan Sdm Kesehatan
Pemerintah Daerah Provinsi, hingga ke Pemerintah Pusat) berdasarkan ketersediaan tenaga kesehatan dan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan dan upaya kesehatan. Lebih lanjut dalam paparan materinya, dijelaskan, bahwa untuk bisa menjawab amanat dari ke 2 UU diatas, Kemenkes RI melalui perencanaan program yang telah disusun, telah menetapkan sejumlah indikator dan target yang bisa menjawab secara nyata terhadap apa yang diamanatkan oleh kedua UU diatas. Sedikitnya ada tiga (3) indikator dan target yang telah dibuat untuk menjawab amanat dari kedua UU tersebut, yakni: 1. Jumlah tenaga kesehatan yang didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Dimana, pada tahun 2015, dari target yang ditetapkan sebanyak 950, tetapi realisasinya mencapai 3.611. Sementara untuk tahun 2016, target yang ditetapkan sebanyak 20.600; 2. Jumlah dokumen perencanaan sumber daya manusia kesehatan jangka menengah dan panjang, dimana pencapaiannya sesuai target yaitu dua (2) dokumen, sementara ditahun 2016 ditargetkan tiga (3) dokumen; 3. Jumlah tenaga kesehatan yang melaksanakan intership. Target yang
ditetapkan untuk tahun 2015 adalah 6.500 orang tetapi realisasinya mencapai 8.312. Dan ditahun 2016 target yang di tetapkan sebanyak 6.500 orang. Dari indikator dan target yang ditetapkan, khususnya indikator dan target no. 2 diatas, maka sepanjang tahun 2015, sejumlah kegiatan telah dilaksanakan untuk mencapai indikator dan target tersebut. Beberapa diantaranya, terutama yang dilakukan dalam skema kerjasama dengan AIPHSS adalah: 1. Penerapan Metode Perencanaan SDM Kesehatan, termasuk aplikasi methode perencanaan SDM Kesehatan; 2. Pengembangan jenis fasilitas kesehatan dan aplikasinya. Sebenarnya masih banyak kegiatan lain yang telah direncanakan tetapi, sayangnya beberapa kegiatan yang telah direncanakan tersebut tidak bisa atau tidak dapat di selesaikan oleh karena adanya kebijakan pengurangan anggaran (budget-cut) oleh pihak Pemerintah Australia (DFAT). Namun demikian, terlepas dari semua itu, salah satu hasil penting dari kegiatan diatas, yang menjawab kebutuhan perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan adalah adalah lahirnya Peraturan
Lahirnya Permenkes RI No. 33 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kebutuhan SDM Kesehatan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota merupakan respons Kementerian Kesehatan, terhadap luasnya cakupan terkait perencanaan dan pengembangan SDM Kesehatan dimana membutuhkan sistem, metode dan dan pendekatan yang tepat termasuk harmonisasi dan integrasi dengan sistem perencanaan dan pengembangan SDM oleh bidang lain yang berwenang mengurusi hal-hal non kesehatan terkait SDM kesehatan. Ini untuk memastikan rencana kebutuhan SDM Kesehatan yang dibuat benar-benar tepat dan sesuai kebutuhan pada masing-masing level pemerintahan, baik dari segi jumlah, jenis, mutu, kualifikasi dan sebarannya. Untuk kebutuhan diatas, maka tujuan dari diterbitkannya Permenkes RI No. 33 Tahun 2015 ini adalah:
1). Memperkuat Sinergi/ Harmonisasi Kebijakan Antar Kementerian Dan Lembaga Terkait Dan Antar Level Pemerintahan. Permenkes RI No. 33 Tahun 2015 ini merupakan penyempurnaan terhadap Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 81 Tahun 2004 yang sudah tidak relevan akibat terjadinya perubahan kebijakan , terutama dengan diberlakukannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. EDISI PENUTUP | 25
Pemberlakuan ke 2 UU tersebut menuntut dilakukannya perubahan terhadap Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 81 Tahun 2004 guna menjawab dua (2) kebutuhan: a) Untuk mengatasi berbagai kendala internal di Kementerian Kesehatan terutama terkait kapasitas terkait kapasitas perencana di tingkat daerah, sistem informasi manajemen SDM Kesehatan dan integrasi antar pemangku kepentingan, pembinaan perencanaan SDM Kesehatan dan dukungan kebijakan di tingkat daerah terkait dengan perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan; b) Mengatasi kendala eksternal karena adanya perbedaan kebijakan diantara beberapa kementerian dan lembaga terkait (Kemendagri, Kementerian PAN dan BKN) mengenai sistem, metode dan unsur-unsur dalam perhitungan kebutuhan SDM. Dengan demikian agar tercipta harmoni antar kebijakan, maka melalui Permenkes RI No. 33 Tahun 2015, ada tiga (3) metode yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan, yakni: i) Metode Analisis Beban Kerja (ABK) Kesehatan dan Standart Ketenagaan Minimal, untuk perencanaan tahunan; ii) Metode Ratio Tenaga Kesehatan dibandingkan dengan Jumlah Penduduk, untuk kepentingan perencanaan jangka menengah. Dengan diakomodirnya ketiga metode diatas kedalam Permenkes ini maka sinergi/harmonisasi kebijakan antar kementerian dan lembaga terkait dan antar level pemerintahan bisa diwujudkan. Saat ini ujicoba implementasi Permenkes RI No. 33 Tahun 2015 telah selesai dilaksanakan di dua (2) propinsi wilayah kerja AIPHSS, masing-masing Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Dan untuk tahun 2016, dengan menggunakan anggaran dari APBN, 26 | KABAR AIPHSS
Kemenkes akan melaksanakan pembekalan fasilitator tingkat pusat. Selanjutnya akan di lakukan sosialiasi di tingkat provinsi dan diharapkan provinsi dapat melakukan sosialisasi ke Kabuaten/Kota dengan menggunakan dana dekonsentrasi.
2). Menyediakan Panduan Penyusunan Rencana Kebutuhan SDM Kesehatan tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Panduan ini sebagai acuan dalam penyusunan dokumen perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan secara berjenjang bagi para pemangku kepentingan yang bertanggungjawab dan berwenang dalam manajemen SDM Kesehatan baik ditingkat institusi maupun wilayah. Sebagai panduan, melalui Permenkes ini diatur secara terang dan tegas, mengenai: a) Tim Perencana Kebutuhan SDM Kesehatan. Dimana disetiap level tingkatan Pemerintahan (Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat) dibentuk tim koordinasi dan fasilitasi tenaga kesehatan yang di pimpin oleh Dinas Kesehatan. b) Metode Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan, dibagi atas dua, yakni: i). Berdasarkan Institusi, menggunakan methode ABK Kesehatan dan Metode Standart Ketenagaan Minimal sebagaimana diatur oleh Permenkes No. 75 Tahun 2014; Permenkes No. 56 Tahun 2015,
dan Permenkes 340 Tahun 2010; ii). Berdasarkan wilayah, menggunakan methode Ratio Penduduk, yakni Ratio Tenaga Kesehatan terhadap jumlah penduduk di suatu wilayah; c) Pendekatan. Proses penyusunan rencana kebutuhan SDM Kesehatan, menggunakan dua pendekatan sekaligus yakni Top-Up dan BottomUp Planning. Pendekatan Top-Up Planning digunakan untuk hal-hal yang terkait dengan kebijakan, fasilitasi, advokasi dan metode. Sedangkan Bottom-Up Planning untuk kebutuhan penyusunan rencana kebutuhan SDM Kesehatan, rekapitulasi berjenjang, dan evaluasi hasil rekapitulasi dan rencana kebutuhan SDM Kesehatan; d) Tahapan Proses dan Mekanisme penyusunan Dokumen Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan. Menjelaskan mengenai tahapan kegiatan sebagai proses dan mekanisme yang harus dilalui dalam masing-masing pendekatan yang dipakai (Top-Up Planning dan Bottom-Up Planning). Pembelajaran penting yang di peroleh dari implementasi Permenkes RI No. 33 Tahun 2015 dan aplikasi metode perencanaan SDM Kesehatan adalah terciptanya koordinasi dan sinergi lintas level, lintas sector dan lintas program dan juga terakomodirnya kebutuhan dari masing-masing level pemerintahan terkait perencanaan dan pendayagunaan SDM Kesehatan.
Peningkatan Sumber Daya Manusia Kesehatan Melalui Pendidikan Jarak Jauh (PJJ):
Belajar dari Pengalaman Flores Timur
S
ebagaimana diatur dalam UU 36 2014 tentang Tenaga Kesehatan bahwa jenjang minimum tenaga kesehatan, termasuk perawat dan bidan adalah setingkat Ahli Madya atau setara Diploma III. Namun kenyataannya hingga saat ini masih terdapat lebih dari 116.000 tenaga perawat dan bidan yang memberikan pelayanan kesehatan dengan ijasah setara Sekolah Menengah Atas dan Diploma I atau belum setara Diploma III. Tantangan besar yang dihadapi Pemerintah Pusat dan Daerah (PEMDA) adalah bagaimana meningkatkan kualifikasi tenaga perawat dan bidan tanpa harus meninggalkan tempat tugas mereka di Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit maupun layanan kesehatan lainnya. Sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu, terutama bagi mereka yang bertugas di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) serta Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) seperti pelosok Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Timur. Pelaksanaan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) merupakan terobosan penting dari Kementerian Kesehatan untuk merespon isu diatas. Lahirnya program PJJ adalah bagian dari skema kerjasama Kementerian Kesehatan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur (Pemda Kab. Flotim) melalui Program Kemitraan Indonesia-Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) sejak tahun 2013. Dengan dukungan Program AIPHSS, sejak pertengahan tahun 2013 PJJ telah di implementasikan dengan baik di Flores Timur (Flotim) dimana Pemda Flotim mendapatkan satu (1) kelas untuk peningkatan kualifikasi pendidikan ke jenjang DIII EDISI PENUTUP | 27
Keperawatan. Melalui PJJ ini, lulusan pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang kualifikasinya sederajat SMA dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan Diploma III Keperawatan, tanpa meninggalkan tugas sehari-hari. Pada angkatan pertama dididik 39 perawat yang mengikuti Program PJJ D3 Keperawatan. Dalam implementasinya, program PPJ memeiliki sedikit perbedaan dengan model pembelajaran di Universitas Terbuka. Proses belajar mengajar dalam PJJ didesain oleh Politeknik Kesehatan Kemkes Kupang dengan dukungan Technical Assistance dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kemenkes RI, Dirjen Pendidikan Tinggi dan Program AIPHSS dengan menggunakan pembelajaran terstruktur yang dilaksanakan dalam 8 (delapan) slot yang terbagi menjadi 8 kali tutorial online/tatap muka dan 8 kali pembelajaran mandiri, untuk setiap mata kuliah. Proses pengembangan PJJ keperawatan ini bersamaan dengan proses pengembangan PJJ Kebidanan yang kemudian berlaku secara nasional, meliputi langkah/tahapan sebagai berikut: 1. Pengembangan modul; 2. Pengembangan Sistem Pembelajaran (design) oleh Poltekes Kupang sebagai technical assistance;
28 | KABAR AIPHSS
3. Pengembangan content, struktur dan SDM penyelenggara; 4. Monitoring dan Evaluasi. Dengan Program PJJ D3 Keperawatan, dan D3 Kebidanan ini, semua Daerah dapat menyusun Rencana Peningkatan Tenaga Perawat dan Bidan menjadi D3 Perawat dan D3 Bidan sehingga memenuhi persyaratan minimal Tenaga Kesehatan Indonesia, bekerja sama dengan Poltekkes Kemkes yang memperoleh ijin menyelenggarakan Program ini. Peningkatan dilakukan secara progresif, dalam waktu cepat, dimana para Perawat dan Bidan tersebut selama mengikuti pendidikan tetap dapat memberikan pelayanan. Sementara itu Program ini juga memberikan dampak sampingan, efek positif bagi tenaga Perawat dan Bidan yang ada, terbangunnya ruang diskusi di dalam internal Puskesmas atau RS antar sejawat untuk mendiskusikan apa yang sedang dipelajari dengan konteks riil pada layanan Puskesmas, termasuk mempelajari model belajar jarak jauh, serta pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran.
Memastikan Keberlanjutan PJJ di Flores Timur Beberapa langkah telah diambil Pemkab Flotim untuk memastikan keberlanjutan paska berakhirnya dukungan AIPHSS, yaitu :
1. Mempercepat peningkatan tingkat pendidikan semua Perawat dan Bidan menjadi D3, dengan dukungan Pemda; 2. Menyediakan Dana dalam APBD sebagai komplemen bagi biaya APBN yang disediakan oleh Pusat Diklat SDMK untuk menudukung Kelas D3, selama sisa waktu, setelah AIPHSS mendukung pembiayaan selama 4 semester. 3. Menyediakan Dana dalam APBD Tahun 2016 sebesar Rp 834.524.900,- untuk membiayai secara penuh penyelenggaraan PJJ Kebidanan bagi 83 orang, dan tahun-tahun berikutnya sampai selesai seluruh Perawat dan Bidan menjadi D3 4. Meningkatkan koordinasi dengan Poltekkes Kemkes Kupang untuk menjaga kelancaran proses belajar mengajar, sekaligus menjaga kualitas lulusan. Langkah-langkah ini dapat dirumuskan secara baik, dan kemudian dieksekusi dengan baik, sehingga ketika Program Kemitraan ini selesai tetap dapat dilanjutkan secara baik oleh Pemerintah Indonesia, baik Pusat maupun daerah; karena para pihak terkait di Pusat, Poltekkes Kupang, dan Pemda Flotim, serta Support Program AIPHSS melakukan koordinasi dengan baik, dalam tingkat kebijakan hingga tingkat operasional.
Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan merupakan salah satu prioritas Kementerian Kesehatan RI yang didukung oleh Pemerintah Australia melalui program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS).
Pengayaan Model Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan
P
engayaan model Sistem Informasi SDM Kesehatan atas SI-SDMK yang ada, merupakan bagian dari intervensi terhadap persoalan utama di bidang SDM Kesehatan, yaitu:
1. Belum adanya rencana induk mengenai jumlah, kompetensi, dan produksi SDM Kesehatan; 2. Masih terjadinya maldistribusi tenaga kesehatan; 3. Belum sesuainya mutu dan produktifitas tenaga kesehatan dengan tuntutan kebutuhan; 4. Masih lemahnya kompetensi tenaga untuk kesehatan masyarakat.
EDISI PENUTUP | 29
Pengayaan model sistem informasi SDM Kesehatan menjadi sangat strategis terutama untuk kebutuhan jangka panjang karena akan mengatasi tiga dari empat temuan masalah penting di sub bidang pengelolaan SDM Kesehatan, yakni : 1. Lemahnya sistem informasi sumber daya manusia (SDM) kesehatan; 2. Lemahnya perencanaan SDM kesehatan; baik perencanaan pada institusi maupun perencanaan kewilayahan; 3. In-efisiensi dan ‘mis-match’ pengangkatan dan penempatan SDM Kesehatan.
Cetak Biru (Blue Print) Pengayaan Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI-SDMK) Untuk memastikan intervensi melalui pengayaan model sistem informasi SDM Kesehatan dapat benar-benar efektif dan membantu dalam mengatasi kompleksitas persoalan SDM Kesehatan sebagaimana digambarkan diatas, maka program Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) dan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, telah meluncurkan Cetak Biru Pengayaan Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI-SDMK) pada tahun 2014 lalu. Sistem Informasi SDMK ini merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS)
30 | KABAR AIPHSS
Dalam cetak biru tersebut, dijabarkan bahwa informasi minimal yang dibutuhkan dalam SI-SDMK terdiri dari dua bagian yaitu : 1. Informasi SDMK, dalam hal ini meliputi : jenis, jumlah, kompetensi dan pemerataan SDM Kesehatan; 2. Informasi upaya pengembangan dan pemberdayaan SDMK, dalam hal ini mencakup: perencanaan, pengembangan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan mutu. Prinsip Pengayaan Model Sistem Informasi SDM Kesehatan, dibanding SI-SDMK yang telah ada, adalah : menjadi lebih lengkap, akurat dan tepat waktu dalam rangka
mendukung sistem informasi geospasial. Dalam penyelenggaraan Informasi geospasial dasar (Peta Dasar) seluruh sektor menggunakan satu peta dasar yang sama untuk Sistem Informasi Geografis yang dikembangkan agar dapat saling memanfaatkan atribut yang dihasilkan oleh masing-masing sektor sebagai bahan analisis. Sistem Informasi Geospasial ini dikelola langsung oleh Badan Informasi Geospasial, yang berkedudukan di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam kerangka Kemitraan Indonesia Australia untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) beberapa pencapaian sepanjang tahun 2014 – Mei 2016, sbb:
1. Meningkatnya kemampuan pengelola data dan informasi SDMK dalam hal Sistem Informasi Geografis. Melalui kerjasama dengan Diklat Geospasial, Badan Informasi Geospasial, Cibinong, Bogor. Sebanyak sepuluh (10) orang pengelola dan dan informasi telah dilatih di Diklat Geospasial. 2. Tersusunnya Blueprint pengayaan model dan konten Sistem Informasi SDMK sebagaimana dijelaskan diatas. Proses ini melibatkan seluruh satuan kerja di lingkungan Badan PPSDMK dan juga satuan kerja lain di lingkungan Kementerian Kesehatan, termasuk juga melibatkan Kementerian dan Lembaga terkait antara lain:
EDISI PENUTUP | 31
Ditjen Dikti, BKN, Kemendagri, Konsil Kedokteran Indonesia dan Komite Farmasi Nasional, serta Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia. 3. Tersedianya Aplikasi SI-SDMK yang Diperkaya dan Manualnya, sesuai blueprint pengayaan model dan konten Sistem Informasi SDMK, dan Pengadaan alat bantu penentu titik koordinat fasilitas layanan kesehatan; 4. Telah dilatihnya Petugas Pusat dan Daerah; dan Uji Coba pada 3 (tiga) Kabupaten dan dua Provinsi lokasi AIPHSS 5. Rekonsiliasi Data dan Informasi SDMK Nasional Dengan SI-SDMK yang telah Diperkaya ini maka Daerah dapat mempercepat perekaman data dan update data SDMK yang berada dan bekerja di wilayah kerjanya, juga Pusat : per-individu SDMK dengan
32 | KABAR AIPHSS
menggabungkan data-data yang tersedia pada KKI, MTKI, dan KFN; secara lengkap dan mudah sehingga pengambilan keputusan terkait SDMK dapat dilakukan secara komprehensif, akurat, tepat, dan cepat.
Keberlanjutan Merawat Sistem Informasi SDM Kesehatan yang Diperkaya/ Disempurnakan Strategi yang diterapkan guna merawat dan terus mengembangkan Sistem Informasi SDM Kesehatan yang telah Diperkaya ini, adalah dengan melaksanakan seluruh tahapan terkait dengan Implementasi Aplikasi, Monitoring dan Evaluasi Implementasi dan pemberlakuan secara nasional yang didanai melalui APBN, termasuk dana Dekonsentrasi untuk tingkat Propinsi.
Provincial Health Account (PHA) Dan District Health Account (DHA):
Melacak Biaya Kesehatan Daerah
D
alam praktek, banyak negara hanya menggunakan National Health Account namun Indonesia melakukan inovasi dengan menyusun health account tingkat Provinsi yang disebut Provincial Health Account (PHA) dan tingkat Kabupaten yang disebut District Healt Account (DHA). Fakta ini merupakan hal yang luar biasa, dan ini tidak lepas dari komitmen Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dalam membangun sistem kesehatan nasional yang lebih kuat. Inovasi PHA dan DHA ini menjadi inovasi yang luar biasa karena secara spesifik memberikan informasi tentang siapa yang membiayai pelayanan kesehatan di tingkat EDISI PENUTUP | 33
Provinsi dan Kabupaten, berapa banyak dana itu diserap, oleh jenis layanan yang mana, dan siapa yang diuntungkan dari pengeluaran kesehatan tersebut. Informasi ini sangat berguna karena akan memberikan dasar bagi perencanaan dan pengambilan keputusan yang
terpenuhi, DHA dapat digunakan untuk menunjukkan apakah dana tersebut dialokasikan sesuai kebutuhan kesehatan dan prioritas daerah. Di sisi lain, jika persentase wajib tersebut belum terpenuhi, DHA dapat digunakan untuk menunjukkan dimana
menanggung pengeluaran kesehatan lebih banyak, apakah sektor publik atau swasta. Semua informasi yang dihasilkan dari PHA & DHA ini dapat digunakan untuk kebutuhan advokasi apabila dibutuhkan tambahan dana kesehatan dan untuk bidang apa
berbasis bukti sehingga pada gilirannya, dapat meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas pemerintahan lokal. Dari perspektif hukum, menurut UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, 10% dari anggaran Kabupaten harus dialokasikan untuk kesehatan. Disini, PHA & DHA dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah kewajiban tersebut telah terpenuhi atau belum. Jika kewajiban tersebut telah
kesenjangannya dan seberapa besar kesenjangan tersebut. Dari perspektif ekuitas, PHA & DHA dapat digunakan untuk menunjukkan siapa yang diuntungkan dari pengeluaran kesehatan, dan apakah pembiayaan kesehatan telah memenuhi tujuannya, yaitu tersedianya pendanaan yang cukup untuk melindungi orang miskin. DHA juga dapat menunjukkan siapa yang
dana tambahan tersebut diperlukan. Juga untuk kebutuhan advokasi terkait pengalokasian pembiayaan kesehatan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menyumbang pada penguatan sistem kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik kabupaten.
34 | KABAR AIPHSS
Jejak Langkah AIPHSS dalam Penguatan Sistem Pembiayaan Kesehatan Institusionalisasi sistem pembiayaan kesehatan adalah salah satu kebutuhan dari penguatan sistem kesehatan nasional melalui sistem pembiayaan kesehatan guna membantu Kementerian Kesehatan agar dapat memanfaatkan data berbasis bukti dan informasi secara up to date. Kebijakan nasional terutama yang terkait dengan pembiayaan kesehatan dalam rangka peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. Intitusionalisasi pembiayaan kesehatan ini dilakukan dengan mengembangkan National Health Account dan bank data di tingkat
nasional dan Pengembangan Health Account di tingkat Propinsi/ Kabupaten. Kerjasama yang produktif selama dua tahun (20122014) antara Kemenkes RI dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan dukungan Program Kemitraan Indonesia Australia Untuk Penguatan Sistem Kesehatan (AIPHSS) pada akhirnya menghasilkan draft akhir dokumen NHA 2011 dengan methodologi SHA 1.0. Setelah dokumen NHA 2011 dihasilkan maka proses selanjut adalah pelaksanaan pelatihan menggunakan instrumen WHO versi terbaru (SHA 2011); Diseminasi hasil NHA ditingkat Pusat; Kegiatan pengembangan PHA dan DHA yang mencakup: Integrasi modul DHA dengan NHA; Pelatihan, dan; Sosialisasi hasil kepada pengambil
kebijakan di daerah. Selanjutnya adalah kegiatan penyusunan modul PHA dan pelatihan PHA di tingkat Pusat. Dari input dan rangkaian proses diatas menghasilkan tiga pencapaian, masing-masing : Produksi NHA tahun 2012 sampai dengan 2014; Terbentuknya tim PHA Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur dimana tim ini mampu menyusun PHA; kemudian terbentuknya tim DHA di delapan Kabupaten wilayah AIPHSS yang juga telah menghasilkan dokumen analisa DHA yakni kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Ngada, Sumba Barat Daya (SBD), Flores Timur (Flotim), Bondowoso, Sampang, Bangkalan dan Situbondo. Sebagai lanjutan, terkait NHA adalah melengkapi data riil sektor BUMN yang akan digunakan untuk
EDISI PENUTUP | 35
melengkapi dan mengkoreksi data NHA Indonesia. Sementara untuk produksi NHA tahun 2015 diusulkan pada tahun 2016; Pengadaan Server/Bank Data NHA/PHA/DHA pada tahun anggaran 2016. Sementara kegiatan terkait PHA/DHA adalah pelatihan PHA bagi provinsi yang belum dilatih dan melakukan pendampingan; Pelatihan Petugas Provinsi untuk melatih DHA bagi Kabupaten/Kota dan melakukan pendampingan; Penyesuaian instrumen PHA/DHA agar terintegrasi dengan NHA.
Mengembangkan PHA & DHA Dibutuhkan komitmen jangka panjang dari para pengambil kebijakan di berbagai sektor sebagai kunci untuk menjaga keberlangsungan PHA/DHA. Komitmen tersebut harus secara nyata diwujudkan dalam bentuk pelembagaan tim PHA/DHA melalui regulasi dan juga alokasi sumber daya keuangan dan sumber daya manusia untuk PHA/DHA dengan menyediakan pendanaan yang memadai dari APBD. Selain itu, keberlanjutan PHA/DHA juga membutuhkan interaksi antara pembuat kebijakan dan tim teknis PHA/DHA yang memungkinkan tim untuk merespon kebutuhan kebijakan tertentu melalui kerja-kerja analisis sub-sektor yang lebih mendalam sesuai kebutuhan. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan PHA dan DHA di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur beserta delapan Kabupaten yakni kabupaten Timur Tengah Utara, Ngada, Sumba Barat Daya, Flores Timur, Bondowoso, Sampang, Bangkalan dan Situbondo akan menjadi pembelajaran penting untuk kebutuhan replikasi pengembangan PHA/DHA di seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota lain di Indonesia, dan tentunya melalui komitmen dan dukungan kuat dari Pemerintah Pusat dan Daerah.
36 | KABAR AIPHSS
PENGUATAN INDONESIA CASE BASED GROUP (INA CBGs):
Kunci Sukses Penggunaan Sumber Daya Terstandart Dalam Pelayanan Kesehatan dan Pemerataan Jangkauan Mutu Pelayanan Kesehatan Apa dan Mengapa
P
embiayaan pelayanan kesehatan dengan tepat, baik itu pelayanan yang bersifat kuratif, preventif dan/atau promotif merupakan salah satu subsistem kunci yang sangat menentukan kesuksesan implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN). Negara sebagai pengemban tanggungjawab perlindungan hak rakyat atas kesehatan sebagai azasi, berkewajiban memastikan ada dan bekerjanya suatu sistem pembiayaan yang benar-benar mampu menjamin mutu dan efektivitas pelayanan kesehatan terhadap pasien. Dengan kata lain, sistem pembiayaan kesehatan yang baik akan memastikan dan menjamin, utamanya, prinsip keadilan bagi peserta JKN terkait kontribusi pembiayaan selain menjamin hak dan kewajiban dari para pihak yang harus bertanggungjawab) dalam penyediaan dan pemenuhan layanan kesehatan, dalam hal ini: 1). BPJS sebagai penyelenggaran jaminan kesehatan; 2). Fasilitas layanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, dll) baik negeri maupun swasta sebagai pemberi/penyedia layanan; 3). Pemerintah (Nasional dan Daerah), sebagai pelaksana mandate/amanat konstitusi dan Undang-Undang (sebagai fungsi regulator dan fungsi perlindungan social dibidang pelayanan
kesehatan melalui berbagai kebijakan, program dan pembiayaan pemenuhan layanan di bidang kesehatan). Sistem pembiayaan kesehatan adalah upaya perlindungan terhadap prinsip keadilan dalam kontribusi pembiayaan guna memastikan adanya perlindungan terhadap mutu dan efektivitas layanan kesehatan dan juga resiko beban pembiayaan kesehatan (keuangan) yang harus dipikul peserta JKN. Dengan demikian maka, peserta JKN bisa membayar secara adil tanpa memperburuk keadaan finansial dan tanpa harus membebani fasilitas layanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, dll) baik negeri maupun swasta sebagai pemberi/ penyedia layanan. Karenanya, dengan pemberlakuan JKN, maka sumber pembiayaan kesehatan tidak semuanya dibebankan kepada peserta BPJS. Sumber dana untuk pengobatan akan di-cover oleh skema JKN. Sementara pembiayaan preventif dan promotif akan bersumber dari Biaya Operasional Kesehatan (BOK) dan program lain yang pembiayaannya bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Untuk mendukung pelayanan rumah sakit yang lebih baik, maka Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan menetapkan Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) sebagai sistem pembayaran dalam JKN. INA-CBGs
sendiri merupakan sistem klasifikasi/ pengelompokan beberapa jenis penyakit dan prosedur/tindakan dalam satu pelayanan di suatu rumah sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan mutu dan efektivitas pelayanan terhadap pasien. Sistem ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dengan kata lain sistem INA-CBGs ini merupakan sistem pemerataan jangkauan yang berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan. Terkait Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013, INA CBGs telah ditetapkan sebagai metode pembayaran prospektif dalam JKN yakni pembayaran/biaya ditentukan dan disepakati sebelum pelayanan diberikan dimana biaya layanan diatur berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur/tindakan yang dikaitkan dengan biaya perawatan. Setiap satu kelompok memiliki ciri klinis dan pemakaian sumber daya/biaya perawatan yang sama/mirip dan berlaku tarif paket yang meliputi seluruh komponen biaya rumah sakit. Sistem INA-CBGs ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah diterapkan sebagai metode pembayaran pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas di
EDISI PENUTUP | 37
ALUR SISTEM INA-CBG DI RS > Klaim
Informasi Klinis
Catatan Kasus
Klasifikasi
(prosedure, diagnosis)
CBG Grouper Info Demografi
Sist. Info. RS
Software
(e.g. ID, age, sex, LOS, Do4, DoD, etc,)
Besaran Tarif INA-DRG/CBGs
Clinical Costing Modelling
Kode INA-CBGs
Costing • Dasar Pengelompokan dengan menggunakan: - ICD – 10 untuk Diagnosa (14.000 kode) - ICD – 9 CM untuk Prosedur/Tindakan (7.500 kode) • Dikelompokkan menjadi 1077 kode group INA-CBG (789 kode rawat inap dan 288 kode rawat jalan)
Area Pengembangan dan Peningkatan
• Pengelompokan dijalankan dengan menggunakan UNU-Grouper dari UNU-IIGH
fasilitas kesehatan tingkat lanjut dan kemudian di adopsi untuk progam JKN dengan dilakukan perubahan di sana-sini untuk dilakukan penyesuaian sehingga dapat diterapkan kedalam sistem layanan kesehatan yang digunakan dalam program JKN. Dalam kegiatan Sustainability Strategy Workshop yang diselenggarakan Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), Dr. Donald Pardede MPPM selaku Staff Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa proses penyesuaian sudah dilakukan oleh pengembang INA-CBG dengan bantuan konsultan dari Tim UN University tahun 2011-2013 atas fasilitasi dari AIPHSS. Dimana proses yang dilakukan tersebut berhasil membuat revisi (up-dating tarif) INA-CBG sehingga sesuai dengan konsep JKN. Hasil ini yang sangat penting sekali, karena 38 | KABAR AIPHSS
ketepatan, keakurasian di dasarkan oleh data medik, data demografik dan data klinis yang baik. Donald Pardede menambahkan bahwa diwaktu sebelumnya tanpa diagnosa pasien yang datang berobat bisa membayar mahal di rumah sakit karena yang dihitung adalah BILL sehingga seluruh pelayanan yang diberikan dihitung sebagai beban dan totalitas biaya tersebut kemudian dihitung sebagai pelayanan. Dalam sistem INA CBGs kini hal tersebut tidak lagi dipakai, karena berlaku tarif paket, dimana diagnose itu berada dalam satu kelompok yang di groupkan dengan arti yang sama, sumber daya yang sama. Inilah yang menjadi pembentuk biaya. Karena itu, data medik, info klinis, info demografik menjadi penting untuk menentukan ke kelompok mana beban biaya tersebut di klasifikasikan. Sistem INA CBGs ini secara tidak langsung menjadi sangat membantu dalam
perbaikan pengelolaan data-data medik di Indonesia. Terkait penyesuaian sistem INA CBGs dengan sistem JKN sebagaimana di atas, maka terdapat komponen penting yang dilakukan pengembangan dan hal itu telah dan sedang dikerjakan saat ini dengan dukungan dari dari Pemerintah Australia melalui program AIPHSS, yakni: 1) Klasifikasi. Komponen ini menggunakan sistem algoritme cara berpikir dan cara pengelompokkan instrumentatif yang diadopsi dari sistem UNU Grouper kemudian dibuatkan norma-norma berbasis konteks lokal agar sesuai dengan konteks dan kebutuhan terkini di Indonesia. Norma-norma lokal ini berkaitan dengan tindakan medis seperti diagnose, dan sebagainya yang terkait;
2) Grouper. Yakni pengelompokan berdasarkan kode-kode INA CBGs yang sudah dibuat dan klaifikasikan. Sehingga grouper ini tidak terlalu sulit karena hanya bersifat instrumentatif dan terkait dengan software; 3) Costing. Ini terkait dengan pembiayaan/biaya, dimana dari kode-kode INA CBGs dibuatkan clinical costing modeling untuk pengelompokkan pembiayaannya. Pada tahun 2013, masih dengan dukungan dari Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strenghtening (AIPHSS), DRG expert Dr. Ric Marshall telah melakukan telaah terhadap implementasi INA-CBGs dalam implementasi Jamkesmas. Dari hasil telaah tersebut ditemukan bahwa gambaran kekuatan dan kelemahan implementasi sistem INA-CBGs di Indonesia. Berdasarkan telaah tersebut kemudian dilakukanlah revisi terhadap klasifikasi yang ada sehingga menjadi lebih adaptif dengan konteks Indonesia. Pada sisi komponen Grouper juga di identifikasi masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dari grouper
INA-CBGs di Indonesia. Dan hal ini telah di fasilitasi oleh AIPHSS melalui dukungan expert, dalam hal ini DRG expert dari Thailand (Prof Supasit dkk) melalui dua kali kegiatan workshop (terutama ttg klasifikasi) bagi penguatan teknis pembayaran INA-CBGs tahun 2016. Sayangnya satu kegiatan, yakni, Benchmarking study implementasi DRG system belum dapat dilaksanakan karena program AIPHSS akan segera berakhir sehingga membutuhkan dukungan/komitmen pemerintah untuk melanjutkan pembiayaan sehingga kegiatan benchmarking study ini dapat dilaksanakan. Kegiatan ini sangat penting karena tujuannya adalah untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan klasifikasi dalam INA- CBGs dan pendalaman kalibrasi costing, monitoring evaluasi dan data analisis.
menyisakan sejumlah kegiatan penting yang harus diselesaikan untuk memastikan bahwa pengembangan/ penyesuaian sistem INA-CBGs sudah benar-benar adaptatif dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN). Karenanya dibutuhkan alternative pembiayaan terutama yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) agar kegiatan yang direncanakan bisa berjalan dengan baik. Kegiatan pengembangan sesuai dengan rencana pengembangan INA-CBG selama 5 tahun meliputi:
Memastikan Kesiapan dan Keberlanjutan Implementasi Sistem Ina-Cbgs
Sumber dana APBN tahun 2016 masih terbatas, karenannya developing partner serta network masih menjadi kebutuhan.
1) Penyusunan grouper yang memenuhi kondisi/ norma lokal Indonesia; 2) Costing adjustment dan updating tariff, setiap 2 tahun sekali; 3) Pengembangan sistem monev dan audit coding INA-CBG; 4) Penguatan analisis data.
Dengan berakhirnya program AIPHSS pada akhir Juni 2016, tentu saja masih
DEVELOPMENT OF INA CBG 2015-2019
2015
1. Updating tariff 2. Refinement of Algoritm
2016 1. Developing monitoring system 2. Developing INA Grouper 3. Capacity building
2017
2018
1. Developing INA Grouper
1. Finalizing INA Grouper
2. Updating tariff
2. Setting manual
3. Capacity building
3. Piloting INA Grouper
2019
1. Implementation INA Grouper 2. Presentation of ICD 11 dan ICHI
Area penting: • Technical capacity improvement on classification/grouping • Development of Indonesia local norm grouper • Technical capacity improvement on audit coding (internal and eksternal)
EDISI PENUTUP | 39
Health Technologies Assesment (Hta) dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Health Technologi Assessment (HTA) atau Penapisan Teknologi Kesehatan adalah sebuah pendekatan multidisiplin, termasuk epidemiologi klinis, ekonomi kesehatan, biostatistik dan metode penelitian kualitatif yang sesuai yang digunakan untuk memberikan informasi terhadap pembuatan kebijakan dan keputusan dalam pelayanan kesehatan, terutama mengenai cara terbaik untuk mengalokasikan dana yang terbatas untuk intervensi dan teknologi kesehatan. Pendekatan ini dapat dilakukan pada tingkat nasional maupun daerah dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dengan HTA diharapkan perkembangan teknologi akan lebih mudah dikawal sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sebanyakbanyaknya.
S
ebagai sebuah pendekatan yang multi disiplin, kerja-kerja terkait HTA memerlukan beragam sumber daya, keterampilan dan kapasitas untuk melaksanakan analisis yang outputnya dapat berupa laporan penilaian, tinjauan cepat, pedoman klinis atau konsolidasi dari tinjauan-tinjauan (review) yang dihasilkan oleh lembaga40 | KABAR AIPHSS
lembaga lain. Penggunaan HTA banyak sekali, mulai dari pemberian uji edar, hingga penggunaan teknologi kesehatan yang tepat guna dan cost effective, serta pemanfaatan oleh pihak ke-3 dalam asuransi kesehatan. HTA dapat menjadi unsur acuan untuk menyusun suatu kebijakan, memecahkan persoalan dan untuk membuat suatu proyek. HTA dapat
digunakan, antara lain: 1). Sebagai bahan utama untuk menyusun kebijakan terkait program pemerintah yang ternyata tidak efektif sehingga harus diubah, atau terkait standar pelayanan tertentu yang dapat mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang lebih besar atau berdampak besar pada masyarakat: 2). Sebagai bahan pemecah masalah dalam
mencari metode yang paling cost effective di dalam bidang kedokteran/ kesehatan. Dalam hal ini akan lebih tercermin HTA sebagai jembatan dalam menyatukan berbagai pemikiran menjadi suatu solusi yang menguntungkan. Dalam keadaan ini HTA akan melakukan atau mengkaji metaanalisis. 3). Sebagai dasar suatu proyek, misalnya sebuah rumah sakit
yang ingin membeli sebuah teknologi, maka HTA bisa membantu dalam menentukan berbagai jenis alat disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan, kemampuan masyarakat dan kemampuan pelayanan yang sudah ada di daerah tersebut. Proses yang digunakan untuk HTA tentu saja berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu lembaga ke lembaga lain, tergantung undangundang, ruang lingkup dan sumber daya yang tersedia. Namun satu kesamaan yang dimilliki semua lembaga HTA adalah seperangkat persyaratan lokal yang harus dicantumkan dalam laporan HTA. Meskipun ada standar internasional untuk HTA, tetapi aplikasinya perlu di lokalisasi untuk mempertimbangkan sumber data, nilai-nilai dan preferensi serta informasi biaya lokal. Di Indonesia HTA mulai berkembang pada tahun 2000 dengan dibentuknya tim HTA Departemen Kesehatan yang bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik. Lalu pada
tahun 2001 dibentuk Subdirektorat Penapisan Teknologi di dalam Direktorat Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik yang bertindak sebagai leader dalam HTA. Tujuannya adalah supaya Indonesia tidak lagi menjadi tempat pembuangan atau percobaan teknologi kesehatan. Di lain pihak sesuai dengan fungsinya, Badan POM juga mempunyai tim sejenis HTA yang tugasnya mengkaji obat yang akan diedarkan. Tim tersebut memang sudah ada lebih awal dari tim HTA di Ditjen Pelayanan Medik. Masing-masing tim HTA tersebut walaupun tidak saling berkoordinasi, namun kedua tim tersebut memiliki kewenangan yang berbeda. Tim Badan POM dikaitkan dengan perijinan edar obat sedangkan Tim HTA Depkes mengkaji semua teknologi kesehatan yang cakupannya lebih luas.
Health Technologies Assesment Sebagai Alat Kendali Mutu dan Kendali Biaya Salah satu prinsip penting dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang telah di implementasikan sejak 1 Januari 2014 adalah prinsip KENDALI MUTU DAN KENDALI BIAYA. Prinsip ini juga secara eksplisit diatur dalam Pasal 49 No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Pengaturan lebih jauh mengenai prinsip KENDALI MUTU KENDALI BIAYA juga diatur dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013, dengan pengaturan khusus melalui Bab VI, Pasal 33-38. Pasal 33 Permenkes No. 71 Tahun 2013, mengatur, bahwa dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya, Menteri Kesehatan berwenang melakukan: a) penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
b) pertimbangan klinis (clinical advisory); c) penghitungan standar tarif; d) monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan. Monotoring dan evaluasi ini dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan telah sesuai dengan kewenangan dan standar pelayanan medis yang ditetapkan oleh Menteri. Sementara Pasal 34 mengatur tentang keharusan HTA dalam rangka pengembangan penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan untuk peningkatan mutu dan efisiensi biaya serta penambahan manfaat jaminan kesehatan. HTA dilakukan berdasarkan usulan dari asosiasi fasilitas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Sementara Penilaian atas HTA dilakukan oleh Tim Health Technology Assessment (HTA) yang dibentuk oleh Menteri, yang mana bertugas melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan kesehatan lain dengan biaya tinggi, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan mengenai kelayakan pelayanan kesehatan untuk dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan yang dijamin.
Seperti Apa Wajah Hta di Indonesia Kedepannya? Pertanyaan penting dan mendasar tentang HTA dalam konteks JKN, khususnya lagi terkait amanat pasal 33 Permenkes diatas adalah: SEPERTI APA WAJAH HTA DI INDONESIA KEDEPANNYA? Didepan telah dijelaskan sedikit mengenai apa itu HTA, mengapa menjadi penting dan penerapannya yang berbeda-beda. Program Australia Indonesia Partnership for Health EDISI PENUTUP | 41
Systems Strengtehning (AIPHSS) bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia turut mendukung upaya penajaman pemahaman untuk implementasi HTA di Indonesia. Dukungan diberikan dengan menyediakan bantuan teknis dalam melakukan tiga hal penting yakni evaluasi klinis (clinical evaluation), evaluasi ekonimis (economic evaluation) dan analisa institusi (Institutional analysis). Dalam kegiatan Sustainability Strategy Workshop Program AIPHSS di Jakarta bulan Februari 2016 yang lalu, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH yang juga adalah salah satu dari tim HTA AIPHSS, menjelaskan bahwa inti dari HTA dalam konteks Indonesia terdiri dari tiga bagian yakni: 1. Menjamin suatu teknologi kesehatan secara nyata objective dibutuhkan peserta JKN dan atau penduduk Indonesia serta tersedia secara adil dan bertanggungjawab. 2. Keputusan diambil oleh para ahli dengan luas dan seriusnya kebutuhan layanan kesehatan dan kemampuan sistem ( JKN/SKN) mendanai layanan tersebut 3. Menjadi prioritas JKN Atas dasar Pasal 33 ayat (1) Permenkes No. 71 Tahun 2013, maka Menteri Kesehatan sejak 2 tahun lalu (2014) telah membentuk yang namanya Komisi Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) dimana KPTK ini bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kesehatan, dan dalam kerja-kerjanya di fasilitasi oleh P2JK. KPTK ini terdiri atas Tim Inti
42 | KABAR AIPHSS
yang berjumlah 9 orang dan Anggota Ad-Hoc yang jumlahnya berkisar 10 – 15 orang, dimana komposisinya disesuaikan dengan topic yang akan di nilai. Sembilan orang Tim Inti KPTK terdiri atas, 3 orang akademisi (doctor yang bereputasi tinggi, ekonom, epidemiolog spesialis); 3 orang klinis/praktisi yang memiliki pengalaman di bidangnya minimal 20 tahun, 1 orang wakil public (pasien/konsumen) yang juga memilii pengalaman mewakili public minimal 10 tahun, 1 orang wakil dari tenaga kesehatan non klinis (apoteker atau teknisi medis) dan, 1 orang wakil dari Pemerintah. KPTK inilah yang bertugas untuk menilaai dan memutuskan suatu teknologi (terapi/tindakan) dijamin oleh JKN, urutan jaminannya atau bahkan ditolak, mealui sebuah proses dan prosedur yang terbuka dan transparan. Selain kriteria atau persyaratan umum diatas, persyaratan khusus yang wajib dipenuhi tim inti KPTK adalah: Menguasai methode riset kuantitatif dan kualitatif, berkomitmen untuk mengikuti seluruh persidangan penilaian yang digelar, memahami dan menghayati prinsip evaluasi ekonomi , obyektif (tidak memiliki konflik kepentingan), mampu menjaga rahasia sebelum keputusan dibuat dan, bersedia menandatangani pakta integritas. Saat ini KPTK mempunyai tugas utama yang dibagi dalam 2 periode masa: 1. Masa Transisi (2016 – 2026): a) Membangun kapasitas di Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Universitas dan Pusat
Studi, dalam rangka mempersiapkan sumber daya yang mampu melakukan assessment (HTA). b) Melakukan assessment sebagai proses pembelajaran dan membina pusat studi diluar Kemenkes untuk melakukan assessment; c) Melakukan penilaian (Appraisal) atas hasil Assesment 2. Masa Final/Permanen (2026 dan seterusnya): a) Melakukan penilaian/Appraisal (Sementara assessment dilakukan diluar KPTK) Dalam melakukan tugas penilaian, ada sejumlah komponen yang menjadi sasaran penilaian, yakni: 1. Prioritas utama pada paket/layanan manfaat yang baru atau berbiaya besar, berupa: a) Prosedur Diagnosa b) Terapi obat atau non obat/ tindakan medis c) Intervensi pencegahan (UKM) d) Hal-hal baru sebagai antisipatif 2. Adapun kriteria penilaiannya, sbb: a) Efektifitas b) Efisiensi (biaya efektif dan terjangkau) c) Ekuitas dan egalitarian d) Etika/Agama e) Terjangkau sistem
Kontak kami:
Implementing Service Provider (ISP) Office Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2 Jakarta Selatan, INDONESIA 12950 Telp +62 21 526 1289 Fax + 62 21 368 20064 Email:
[email protected]
Implementing Service Provider (ISP)– Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9 Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950
Website: www.aiphss.org
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Program AIPHSS adalah sebuah program kemitraan antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia terkait penguatan sistem pembiayaan kesehatan dan tenaga kerja kesehatan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan dasar. Program ini didanai oleh Pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan dikelola langsung oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di masing-masing provinsi dan kabupaten sasaran.