TESIS
PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014
SRI UTAMI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014
SRI UTAMI NIM 1392161040
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana
SRI UTAMI NIM 1392161040
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 APRIL 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001
dr. A.A. Sagung Sawitri, MPH NIP. 196809141999032001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 20 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1174/UN14.4/HK/2015, Tanggal 20 April 2015
Ketua
: Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
Anggota
:
1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH 2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD 3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA (K) 4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Nama
: Sri Utami
NIM
: 1392161040
Program Studi
: Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis
: Prediktor Kematian Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali Periode Tahun 2006-2014
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan di Universitas Udayana dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Denpasar, Maret 2015
Sri Utami
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama dan utama penulis panjatkan puji syukur kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Prediktor Kematian Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali Periode Tahun 2006-2014” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, sebagai pembimbing I dan juga Ketua Program Studi Magister Imu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, dan dukungan selama proses pembelajaran khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH sebagai pembimbing II yang dengan segala perhatian dan kesabarannya memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf karyawan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bimbingan dan dukungannya selama menempuh pendidikan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada penguji tesis ini, yaitu Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD., Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA (K), dan Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si yang telah memberikan masukan dan koreksinya terhadap tesis ini. Penulis juga sampaikan banyak terima kasih kepada seluruh mentor Field Research Training Program (FRTP) atas segala bimbingan dan dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Agus Bintang Suryadhi,
M.Kes. selaku Direktur RSUD Badung, Bapak Ketut Buana, Amd.Kep. selaku pemegang program klinik VCT RSUD Badung, dan dr.Yogi Prasetya selaku Direktur Bali Medica Clinic (BMC) yang telah memberi ijin dan dukungannya kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada The Kirby Institute, University of New South Wales, Sydney, Australia yang telah memberikan bimbingan dan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih sedalamdalamnya kepada orang tua, keluarga, teman seperjuangan FRTP 2014, serta seluruh teman Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan V atas doa dan dukungan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan baik. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Penulis
ABSTRAK PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014 Kematian pada infeksi HIV masih menjadi permasalahan kesehatan global. Di Indonesia, terdapat 142.961 pasien terinfeksi HIV dengan 43.677 (30,6%) pasien mendapatkan terapi ARV. Informasi kematian pada pasien HIV di Indonesia masih terbatas, terutama yang dihasilkan dari penelitian longitudinal. Selain itu, hasil penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden dan prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Bali. Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada 575 rekam medis pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV periode Januari 2006 hingga Juli 2014 di RSUD Badung, Bali dan sateli Bali Medika Clinic (2011-2014). Analisis KaplanMeier digunakan untuk mengetahui incidence rate dan median time kematian dan Cox Proportional Hazard Model digunakan untuk mengidentifikasi prediktornya. Variabel yang dianalisis meliputi karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan ARV saat pasien memulai terapi. Penelitian ini terdiri dari 59,3% pasien populasi umum dan 40,7% laki-laki seks dengan laki-laki (LSL). Insiden kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV adalah 10,1 per 100 person years (PY) (95% CI: 8,0-12,6), dengan median time kematiannya terjadi pada 0,28 tahun (IQR: 0,07-1,09). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pasien laki-laki (aHR: 3,7; 95% CI: 1,7-8,0), dengan tingkat pendidikan rendah (aHR: 2,0; 95% CI: 1,2-3,4), melalui penularan heteroseksual (aHR: 3,4; 95% CI: 1,1-10,6) dan penasun (aHR: 6,2; 95% CI:1,427,9), serta tidak memiliki pendamping minum obat (aHR: 4,5; 95% CI: 2,7-7,5) berhubungan dengan peningkatan risiko kematian. Pasien pada stadium klinis III dan IV (aHR: 4,5; 95% CI: 1,7-12,1) dan memiliki berat badan rendah (aHR: 0,96; 95% CI: 0,93-0,98) juga berhubungan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Insiden kematian pasien dengan terapi ARV di Bali masih tinggi dengan risiko yang meningkat di periode awal terapi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan diagnosis dini, terapi dini, dan pemantauan klinis terutama pada tiga bulan pertama pengobatan merupakan faktor yang dapat meningkatkan clinical outcome yang lebih baik.
Kata kunci: Analisis survival, Pasien HIV, Kematian, Bali, Indonesia
ABSTRACT PREDICTORS OF MORTALITY AMONG HIV PATIENTS AFTER ANTIRETROVIRAL (ARV) THERAPY INITIATION AT BADUNG GENERAL HOSPITAL BALI, BETWEEN 2006-2014
Mortality among HIV patients remained a global health problem. In Indonesia, there were 142, 961 people living with HIV but only 43,677 (30.6%) on antiretroviral (ARV) treatment. Existing research into factors related to mortality rates among HIV patients in Indonesia is limited and inconsistent. This study aims to explore the incidence and predictors of mortality among HIV patients on ARV treatment in Badung. The study design was a retrospective cohort study using secondary data collected on 575 HIV patients accessing ARV treatment between January 2006 and July 2014 in Badung General Hospital, Bali and the satellite clinic Bali Medika (2011-2014). Kaplan-Meier analysis was used to describe incidence rate and median time to mortality and Cox Proportional Hazard Model was used to identify its predictors. Analysis variables were socio-demographic characteristics, clinical characteristics, and ARV access site. Study population consisted of 59.3% patients from general population and 40.7% patients identified as MSM. The mortality rate was 10.1/100 person-years (PY) (95%CI: 8.0-12.6), with median time of death of 0.28 years (IQR: 0.071.09). Multivariate analysis indicated that being male (aHR: 3.7; 95% CI: 1.78.0), having a lower education (aHR: 2.0; 95% CI: 1.2-3.4), being of heterosexual orientation (aHR: 3.4; 95% CI: 1.1-10.6) and IDU (aHR: 6.2; 95% CI:1.4-27.9), and without adherence support (aHR: 4.5; 95% CI: 2.7-7.5) were associated with an increased risk of mortality. Patients at clinical stage III and IV (aHR: 4.5; 95% CI: 1.7-12.1) and presenting with a low weight (aHR: 0.96; 95% CI: 0.93-0.98) were also associated with higher risk of mortality. The overall mortality rate of patient on ARV therapy in Bali was highest in the early stages of ARV treatment. Study findings indicate that increasing of early diagnosis, treatment initiation, and clinical monitoring especially on the first three months of treatment would be an enabling factor for better clinical outcomes.
Keywords: Survival analysis, HIV patient, Mortality, Bali, Indonesia
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM…………………………………………………….
ii
PRASAYARAT GELAR………………………………………………
iii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………….
iv
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………..
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………
vi
UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………...
vii
ABSTRAK……………………………………………………………...
ix
ABSTRACT……………………………………………………………..
x
DAFTAR ISI…………………………………………………………...
xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………...
xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….
xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………...
xviii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...
1
1.1 Latar belakang………………………………………………
1
1.2 Rumusan masalah…………………………………………...
5
1.3 Tujuan penelitian……………………………………………
6
1.3.1 Tujuan umum……………………………………….
6
1.3.2 Tujuan khusus………………………………………
6
1.4 Manfaat penelitian…………………………………………..
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………
9
2.1 Epidemi kematian HIV/AIDS di Indonesia…………………
9
2.2 Terapi antiretoviral (ARV) ………………………………...
10
2.3 Prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV..
15
2.3.1 Karakteristik demografi………………………………
16
2.3.2 Karakteristik klinis…………………………………...
18
2.3.3 Karakteristik sosial…………………………………...
27
2.3.4 Karakteristik layanan ARV………………………...
34
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN………………………………………………
36
3.1 Kerangka berpikir…………………………………………...
36
3.2 Konsep penelitian…………………………………………....
38
3.3 Hipotesis……………………………………………………..
39
BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………..
41
4.1 Rancangan penelitian………………………………………..
41
4.2 Lokasi dan waktu penelitian………………………………...
41
4.3 Penentuan sumber data………………………………………
42
4.3.1 Populasi penelitian…………………………………..
42
4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi………………………...
42
4.3.3 Sampel penelitian……………………………………
43
4.4 Variabel penelitian…………………………………………..
44
4.4.1 Variabel penelitian…………………………………..
44
4.4.2 Definisi operasional………………………………....
45
4.5 Instrumen penelitian………………………………………....
51
4.6 Prosedur pengumpulan data…………………………………
51
4.6.1 Jenis data yang dikumpulkan………………………..
51
4.6.2 Cara pengumpulan data……………………………...
52
4.6.3 Pengolahan data……………………………………..
52
4.7 Teknik analisis data………………………………………….
53
4.7.1 Analisis univariat…………………………………....
53
4.7.2 Analisis bivariat……………………………………..
54
4.7.3 Analisis multivariat…………………………………
55
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………
56
5.1 Karakteristik pasien…………………………………………
56
5.2 Proporsi, insiden, dan median time kematian……………….
62
5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS 65
dengan terapi antiretroviral (ARV)………………………… 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV)……………...
68
BAB VI PEMBAHASAN……………………………………………...
72
6.1 Besaran masalah kematian pasien HIV/AIDS………………
72
6.2 Faktor yang berperan dalam memprediksi kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral di Bali……………...
76
6.3 Faktor yang tidak terbukti berperan dengan kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral……………………...
84
6.4 Keterbatasan penelitian……………………………………...
87
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………………………………….
89
7.1 Simpulan………………………………………………….....
89
7.2 Saran…………………………………………………………
89
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
92
LAMPIRAN …………….……………………………………………..
103
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Target terapi ARV…………………………………………
11
Tabel 2.2 Pedoman terapi ARV di Indonesia………………………..
12
Tabel 4.1 Perhitungan sampel penelitian…………………………….
44
Tabel 4.2 Definisi operasional………………………………………..
45
Tabel 5.1 Karakteristik pasien terapi ARV berdasarkan sosiodemografi dan layanan ARV …………………………
58
Tabel 5.2 Karakteristik klinis pasien berdasarkan event pada awal dan akhir pengamatan…………………………………………...
61
Tabel 5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral…………………………………
66
Tabel 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral…………………………………
70
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 3.1 Konsep prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV……………………………………………...
38
Gambar 5.1 Skema seleksi sampel penelitian…………………………
56
Gambar 5.2 Jumlah pasien memulai terapi antiretroviral per tahun…..
57
Gambar 5.3 Kaplan-Meier estimasi kematian pada pasien dengan terapi antiretroviral………………………………………
63
Gambar 5.4 Kaplan-Meier median time kematian pada pasien yang mengalami kematian…………………………………….
64
Gambar 5.5 Kaplan-Meier median time kematian berdasarkan kebijakan pedoman ARV………………………………..
65
DAFTAR SINGKATAN
ADI
: AIDS Defining Illness
AIDS
: Acquired Immune Deficiency Syndrome
ART
: Antiretroviral Therapy
AZT
: Zidovudine
ARV
: Antiretroviral
CI
: Confidence interval
CST
: Care Support Treatment
D4T
: Stavudine
EFV
: Efavirenz
HAART
: Highly Active Antiretroviral Therapy
HIV
: Human Immunodeficiency Virus
HR
: Hazard Rasio
IDU
: Injecting Drug Users
IO
: Infeksi Oportunistik
IQR
: Interquartil Range
IMT
: Indeks Massa Tubuh
LSL
: Laki Seks dengan Laki
LTFU
: Loss to Follow Up
NAPZA
: Narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif
NNRTI
: Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
NRTI
: Nucleoside reverse transcriotase inhibitor
NVP
: Nevirapine
ODHA
: Orang dengan HIV/AIDS
PENASUN
: Pengguna narkoba suntik
PMO
: Pendamping Minum Obat
PSP
: Pekerja Seks Perempuan
SGOT
: Serum glutamic-oxaloacetic transaminase
SGPT
: Serum glutamic-pyruvic transaminase
TB
: Tuberculosis
TDF
: Tenofovir
UNAIDS
: United Nations AIDS
VCT
: Voluntary Counseling and Testing
WHO
: World Health Organisation
WPS
: Wanita Pekerja Seks
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Inform consent
Lampiran 2
Formulir pengumpulan data
Lampiran 3
Hasil analisis tambahan dengan STATA
Lampiran 3.1
Analisis deskriptif karakteristik pasien
Lampiran 3.2
Analisis besaran masalah kematian
Lampiran 3.3
Analisis lanjutan variabel independen
Lampiran 3.4
Analisis lanjutan rejimen awal terapi ARV
Lampiran 3.5
Analisis multivariat metode backward
Lampiran 4
Ethical clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Lampiran 5
Rekomendasi penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali
Lampiran 6
Rekomendasi penelitian dari Bakesbangpol Kabupaten Badung
Lampiran 7
Ijin penelitian dari RSUD Badung
Lampiran 8
Surat keterangan selesai melakukan penelitian dari RSUD Badung
Lampiran 9
Dokumentasi penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Angka kejadian dan kematian yang masih tinggi pada infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih menjadi permasalahan kesehatan global. Berdasarkan laporan UNAIDS disebutkan bahwa kasus HIV/AIDS secara global sebanyak 34 juta orang dengan 2,5 juta kasus infeksi baru, 14,8 juta orang memenuhi syarat pengobatan, 8 juta orang mendapat pengobatan, dan 1,7 juta kasus kematian karena AIDS. Infeksi baru HIV telah mengalami penurunan di beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan penurunan global sebesar 86%, namun dilaporkan meningkat di Bangladesh, Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka (UNAIDS, 2012). Kematian terkait AIDS telah mengalami penurunan sejak dilakukannya peningkatan terapi antiretroviral (ARV) yaitu dari puncaknya 2,3 juta di tahun 2005 menjadi 1,6 juta pada tahun 2012 dengan persentase penurunannya sebanyak 51% (UNAIDS, 2012; UNAIDS, 2013a). Proyeksi kematian HIV/AIDS menunjukkan bahwa jumlah kematian pasien HIV/AIDS akan tetap tinggi di masa mendatang (Bongaarts et al., 2009). Indonesia dilaporkan sebagai salah satu negara Asia yang mengalami peningkatan infeksi HIV cukup signifikan dengan jumlah kasus infeksi baru sebanyak 610.000 orang dan menduduki peringkat ketiga di Asia Pasifik setelah India dan Cina (UNAIDS, 2013b). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa hingga Juni 2014, 150.307 kasus masuk perawatan HIV dari 198.584 orang dengan HIV/AIDS, dengan penyebarannya yaitu 105.363 (70,10%)
orang memenuhi syarat pengobatan, 81.518 orang (77,37%) mendapat pengobatan, dan 14.704 (18,04%) kasus kematian karena AIDS. Pelaporan case fatality rate terkait AIDS memiliki kecenderungan proporsi yang menurun yaitu 3,79% di tahun 2012 turun menjadi 0,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Proporsi ini menunjukkan angka yang lebih kecil dari angka yang sesungguhnya karena banyak kematian terkait AIDS yang tidak diketahui mengingat tingginya kejadian loss to follow up yang mencapai 17,95%. Berdasarkan jumlah kasus yang dilaporkan, Provinsi Bali dengan jumlah kasus HIV 9.051 dan AIDS 4.261 menduduki urutan kelima setelah Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat; serta sebagai provinsi dengan AIDS case rate tertinggi ketiga (100,2 per 100.000 penduduk) setelah Papua dan Papua Barat. Berdasarkan 13.312 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan, sebanyak 5.802 pasien dengan terapi ARV, 3.598 pasien (62,01%) masih mengikuti terapi, 1.063 pasien (18,32%) loss to follow up, 664 pasien (11,44%) meninggal, 459 pasien (7,91%) rujuk keluar, dan 18 (0,31%) pasien diketahui menghentikan terapi ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Kematian pasien HIV/AIDS setelah mendapat terapi di Bali merupakan persentase kematian tertinggi ke tujuh di Indonesia. Angka ini masih berada di bawah persentase kematian nasional (18,04%), namun masih jauh dari target zero AIDS related death (ASEAN, 2011). Tiga kabupaten dengan jumlah kumulatif AIDS terbanyak di wilayah Provinsi Bali yang dilaporkan hingga Juni tahun 2014 yaitu Denpasar 2.113 kasus (49,59%), Buleleng 593 kasus (13,92%), dan Badung 550 kasus (12,91%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014).
Rumah Sakit Umum Badung adalah rumah sakit yang menyediakan layanan care support treatment (CST) di Wilayah Bali selatan sejak tahun 2006 dan merupakan rumah sakit dengan rekam medis yang baik terkait register pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV. Berkaitan dengan karakteristik pasien, selain sebagai penyedia layanan terapi ARV untuk masyarakat umum juga sebagai rujukan dari satelit Bali Medika Clinic (BMC) dengan salah satu pelayanan yang diberikan adalah perawatan HIV/AIDS untuk laki-laki seks dengan laki-laki (LSL) dan transgender. Hingga akhir Juli 2014, teridentifikasi 671 pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV dan sebanyak 76 pasien (11,33%) meninggal (RSUD Badung, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematian pada pasien HIV/AIDS setelah memulai terapi ARV di Kabupaten Badung masih sebagai masalah dalam program HIV. Terapi ARV mempunyai peran besar dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS, menurunkan angka kematian dan kesakitan, serta meningkatkan harapan masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Banyak penelitian pada program terapi ARV menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada enam bulan pertama memulai pengobatan (Tadesse et al., 2014). Penelitian di belahan negara Afrika, Eropa, Amerika, dan Asia telah melaporkan prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV namun masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten pada beberapa variabel. Variabel tersebut meliputi usia (Alvarez-Uria et al., 2013; Zheng et al., 2014), jenis kelamin (Badie et al., 2013; Odafe et al., 2012), berat badan (Miller et al., 2014; Tadesse et al., 2014), tekanan darah (Bloomfield et al., 2014; Jarrett et al., 2013), jumlah CD4 (Biadgilign et al., 2012; Miller et al., 2014), status fungsional
(Odafe et al., 2012; Wubshet et al., 2012), tuberculosis (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013), rejimen (Bekolo et al., 2013; Bock et al., 2013), faktor risiko penularan (Jarrett et al., 2013; Miller et al., 2014), penghasilan (Birbeck et al., 2011; Jarrett et al., 2013), pendamping minum obat (Lamb et al., 2012; Stringer et al., 2006), status pekerjaan (Cunningham et al., 2005; Wubshet et al., 2012)¸ status pernikahan (Kposowa, 2013; Tadesse et al., 2014), dan jarak tempat tinggal dengan layanan (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013). Penurunan kasus kematian pada pasien HIV/AIDS di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang baik, namun publikasi terkait prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV masih terbatas, terutama yang dihasilkan dari studi longitudinal. Sebagai upaya untuk perencanaan dan evaluasi program terapi ARV lebih lanjut, informasi prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV penting untuk dipahami. Ini juga merupakan salah satu strategi untuk mencapai keberhasilan program AIDS dan sebagai langkah untuk pencapaian Getting to Zero yang meliputi zero new infection, zero death from AIDS-related illness dan zero discrimination yang telah menjadi komitmen Indonesia dalam ASEAN Declaration pada tahun 2007 (ASEAN, 2011; WHO, 2012). 1.2 Rumusan masalah Rumusan masalah penelitian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014 meliputi hal berikut ini. 1.2.1 Bagaimana
karakteristik
sosiodemografi,
karakteristik
klinis,
karakteristik layanan ARV pasien pada saat mulai terapi ARV?
dan
1.2.2 Bagaimana kondisi klinis pasien pada akhir pengamatan? 1.2.3 Berapa incidence rate terjadinya kematian pada pasien? 1.2.4 Berapa incidence rate kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350)? 1.2.5 Berapa median time terjadinya kematian pada pasien? 1.2.6 Berapa median time kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350)? 1.2.7 Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat pada awal terapi ARV terhadap kematian? 1.2.8 Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis pasien yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, serta golongan NRTI dan NNRTI pada awal terapi ARV terhadap kematian? 1.2.9 Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan ARV yang meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan pedoman ARV pada awal terapi ARV terhadap kematian?
1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui kejadian dan prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014 adalah untuk mengetahui hal berikut ini. 1.3.2.1
Karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, dan karakteristik layanan ARV pasien pada saat mulai terapi ARV.
1.3.2.2
Kondisi klinis pasien pada akhir pengamatan.
1.3.2.3
Incidence rate terjadinya kematian pada pasien.
1.3.2.4
Incidence rate kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350).
1.3.2.5
Median time terjadinya kematian pada pasien.
1.3.2.6
Median time kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350).
1.3.2.7
Hubungan antara karakteristik sosiodemografi pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat pada awal terapi ARV terhadap kematian.
1.3.2.8
Hubungan antara karakteristik klinis pasien saat mulai terapi yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, serta golongan NRTI dan NNRTI pada awal terapi ARV terhadap kematian.
1.3.2.9
Hubungan antara karakteristik layanan ARV yang meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan pedoman ARV pada awal terapi ARV terhadap kematian.
1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan pengetahuan terkait faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretoviral (ARV) di Indonesia khususnya wilayah Bali yang dapat digunakan sebagai pengembangan penelitian berikutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.
Memberikan informasi baru bagi pasien HIV/AIDS terkait faktor yang dapat meningkatkan kejadian kematian setelah menerima terapi antiretroviral.
2.
Memiliki implikasi penting terhadap proses monitoring dan evaluasi program sehingga memberikan acuan dalam keberhasilan program HIV/AIDS di Bali.
3.
Memberikan informasi baru bagi layanan care support treatment (CST) di Provinsi Bali untuk menggalakkan berbagai program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemi kematian HIV/AIDS di Indonesia Sejak tahun 2000, HIV/AIDS di Indonesia masih menjadi epidemi di beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi HIV >5%) yaitu pada pengguna napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), LSL (laki-laki suka seks dengan laki-laki), dan waria. Beberapa laporan terakhir menunjukkan bahwa jumlah orang yang dilaporkan HIV positif bertambah dengan cepat. Situasi ini salah satunya disebabkan oleh kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik bersama dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Hasil surveilans Kementerian Kesehatan di beberapa provinsi menggambarkan bahwa prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu yaitu berkisar 21% – 52% pada penasun, 1% - 22% pada WPS, 3% - 17% pada waria (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Berkaitan dengan kematian pasien HIV/AIDS, temuan kasus kematian sejak awal ditemukannya HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan yaitu 1 kasus kematian di tahun 1987, terus mengalami peningkatan hingga puncaknya di tahun 2012 yang mencapai 1.475 kematian, dan mulai menurun di tahun 2013 yaitu 721 kematian dan 175 kematian hingga Juni 2014. Secara kumulatif kasus kematian yang dilaporkan hingga Juni 2014 sejumlah 9.760 kematian dengan laporan terbanyak pada laki-laki (56,18%). Berdasarkan kategori umur, laporan kasus kematian terbanyak berada pada rentang umur 20-29 tahun (30,07%) dan umur 30-39 tahun (29,60%) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Case fatality rate AIDS yang dilaporkan berdasarkan tahun mengalami perkembangan yang naik turun yaitu mencapai puncaknya 18,16% di tahun 2000, mengalami penurunan 4,94% di tahun 2001, terus mengalami peningkatan hingga tahun 2004 yaitu 13,86%, dan mulai menurun kembali mencapai 0,04% pada laporan Juni 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa case fatality rate pada pasien HIV/AIDS di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang baik. 2.2 Terapi antiretoviral (ARV) Prognosis infeksi HIV telah mengalami perbaikan secara dramatis setelah ditemukannya
pengobatan
terhadap
orang
yang
terinfeksi
human
immunodeficiency virus (HIV) dengan menggunakan obat anti-HIV yang dikenal dengan terapi antiretroviral (ARV). Standar Pengobatan terdiri dari minimal kombinasi tiga obat (sering disebut "highly active antiretroviral therapy " atau HAART) yang menekan replikasi HIV. ARV memiliki potensi baik untuk mengurangi angka kematian dan morbiditas di antara orang yang terinfeksi HIV, dan meningkatkan kualitas hidup mereka (WHO, 2014a). Terapi antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk menekan replikasi HIV harus digunakan seumur hidup. Pada enam bulan sejak memulai terapi ARV diharapkan terjadi perkembangan klinis dan imunologi yang baik karena merupakan masa yang kritis dan penting, bahkan terkadang terjadi toksisitas obat. Berbagai faktor mempengaruhi perbaikan klinis maupun imunologis tersebut sehingga diperlukan adanya pemantauan pada pasien yang sudah mulai terapi ARV untuk menunjang keberhasilan terapi ARV tersebut. Pemantauan tersebut meliputi pemantauan klinis, pemantauan laboratoris, pemantauan pemulihan
jumlah CD4, dan pemantauan kematian dalam terapi ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2011b).
Secara umum target terapi ARV dijelaskan pada tabel
berikut ini. Tabel 2.1 Target Terapi ARV Target Klinis
Uraian Kualitas hidup penderita ditingkatkan seoptimal mungkin dan dipertahankan tetap optimal selama mungkin. Umur harapan hidup penderita diharapkan dapat diperpanjang selama mungkin sejauh diupayakan oleh manusia secara wajar, rasional, dan manusiawi.
Imunologis
Status imun yang terganggu diusahakan untuk dipulihkan. Jumlah limfosit total diusahakan dan dipertahankan >1200 dan atau CD4 ditingkatkan dan dipertahankan >500 sel/mm3.
Virologis
Jumlah virus dapat ditekan paling tidak di bawah 400 kopi per ml atau idealnya di bawah 50 kopi per ml dan dipertahankan tetap rendah selama mungkin.
Terapeutik
Obat ARV dapat diterima oleh tubuh penderita dengan efek samping dan resistensi seminimal mungkin
Epidemiologis
Transmisi infeksi HIV menurun bermakna. Perjalanan epidemiologi HIV harus dapat diubah. Sumber : (Nasronudin, 2007)
2.2.1 Perkembangan pedoman terapi antiretroviral (ARV) di Indonesia Pedoman untuk pengobatan pasien HIV/AIDS terkait pemberian ARV terus diperbaharui secara periodik yang mengacu pada perkembangan ilmiah untuk mencapai kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang lebih baik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa saat mulainya terapi adalah ketika jumlah CD4 seseorang turun di bawah 500 sel/µL dan segera untuk ibu hamil, pasangan HIV-positif pada pasangan serodiskordant (berbeda status HIVnya), anak di bawah lima tahun dan orang-orang dengan HIV terkait TB dan
Hepatitis B (UNAIDS, 2013a). Perkembangan pedoman pemberian terapi ARV di Indonesia dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 2.2 Pedoman Terapi ARV di Indonesia Populasi Target
Pedoman Terapi ARV 2007 Odha tanpa gejala klinis CD4 ≤200 sel/mm3. (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV.
Pedoman Terapi ARV 2011 CD4 ≤350 sel/mm3.
Odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV.
a. Semua pasien CD4 ≤200 sel/mm3. b. Stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4.
Perempuan hamil dengan HIV.
a. Stadium klinis 1 atau 2 dan CD4 <200 sel/mm3. b. Stadium klinis 3 dan CD4 <350 sel/mm3. c. Stadium klinis 4 berapapun jumlah CD4.
a. Stadium klinis 2 bila CD4 ≤350 sel/mm3, atau b. Stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4. Semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis.
Odha dengan koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV.
Adanya gejala TB aktif dan CD4 <350 sel/mm3.
Mulai terapi berapapun jumlah CD4.
Odha dengan koinfeksi Tidak ada rekomendasi Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang khusus. Hepatitis B (kronis belum pernah mendapat aktif), berapapun terapi ARV. jumlah CD4. Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, 2011b) Perkembangan terkini terkait pedoman pemberian ARV di Indonesia adalah mengacu pada surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 129 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa “inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4, dapat diberikan kepada mereka yang HIV (+) yaitu: ibu hamil, pasien koinfeksi tuberculosis, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi hepatitis
B dan C, pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten”. Adanya perubahan kebijakan ini membawa dampak pada penurunan jumlah kasus kematian pada pasien HIV/AIDS. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pelaporan persentase kematian pasien HIV/AIDS setelah terapi ARV yang telah menunjukkan adanya penurunan yaitu 20,5% di tahun 2011, 18,59% di tahun 2013, dan 18,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2011a; Kementerian Kesehatan RI, 2013a; Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pelaporan menurunnya kematian
pasien HIV/AIDS di Indonesia ini sesuai dengan hasil laporan UNAIDS yang menunjukkan bahwa pengobatan HIV yang lebih awal dapat mencapai manfaat ARV dalam mengurangi angka kematian dan morbiditas diantara orang yang terinfeksi HIV (UNAIDS, 2013a). 2.2.2 Situasi terapi antiretroviral (ARV) Pada akhir tahun 2011, terapi ARV mencapai 8 juta orang HIV/AIDS dan pertama kalinya sebagian besar (54%) pasien yang memenuhi syarat ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah menerima ARV. Secara global, kesenjangan antara jumlah orang yang menerima ARV dan jumlah orang yang memenuhi syarat untuk ARV adalah sebesar 46%. Di Asia Pasifik, kesenjangannya mencapai 54% (UNAIDS, 2012). Pada Desember 2012, diperkirakan 9,7 juta orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menerima terapi antiretroviral, meningkat dari 1,6 juta lebih di tahun 2011. Berdasar pedoman WHO 2010, 61% (57-66%) dari semua orang yang memenuhi syarat untuk pengobatan HIV di negara berpenghasilan rendah dan
menengah telah memperoleh terapi antiretroviral pada tahun 2012. Namun berdasar pedoman WHO 2013, 9,7 juta orang yang menerima ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah tersebut hanya mewakili 34% (32-37%) dari 28,6 (26,5-30,9) juta orang yang memenuhi syarat pada tahun 2013 (UNAIDS, 2013a) . Di tahun 2014, WHO melaporkan bahwa lebih dari 28 juta orang yang layak mendapatkan terapi ARV dan 11,7 juta orang yang telah mengakses ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2014b). Pencapaian terapi ARV di Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik. Kesenjangan antara jumlah pasien yang memenuhi syarat ARV (105.363) dengan yang menerima ARV( 81.518) sebesar 22,63% (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Capaian ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,41% dari 97.602 pasien yang memenuhi syarat ARV dan 73.774 yang menerima ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2013a). Peningkatan capaian orang yang menerima ARV ini juga diikuti dengan laporan penurunan persentase kematian pasien HIV/AIDS setelah terapi ARV yaitu 19,94% di tahun 2013 menjadi 18,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2013a; Kementerian Kesehatan RI, 2014). 2.3 Prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) Sejak digencarkannya terapi antiretroviral (ARV), jumlah pasien yang terdaftar dalam terapi ARV meningkat di banyak negara berkembang. Namun banyak penelitian terkait program ARV yang menunjukkan bahwa angka kematian pasien HIV/AIDS lebih tinggi terjadi pada enam bulan pertama memulai pengobatan dan menurun di tahun berikutnya (Alvarez-Uria et al., 2013; Tadesse
et al., 2014). Pada penelitian di Brazil dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka kematian mencapai 64,7% pada tiga bulan pertama penggunaan ARV dengan tingkat kematian mencapai 75,4 per 1000 orang-tahun (Grinsztejn et al., 2009). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa tingkat kematian pasien HIV/AIDS pada enam bulan pertama mulai ARV adalah adalah 16,7 per 100 orang-tahun, 7 per 100 orang-tahun selama semester kedua, 4,5 per 100 orangtahun selama tahun kedua, 3 per 100 orang-tahun selama tahun ketiga, 3,4 per 100 orang-tahun selama tahun keempat, dan 1,7 per 100 orang-tahun selama tahun kelima (Alvarez-Uria et al., 2013). Tingginya angka kematian pada awal pemakaian ARV ini karena pada enam bulan pertama pengobatan ARV merupakan masa kritis yang memungkinkan untuk terjadi toksisitas obat (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Proyeksi kematian HIV/AIDS
menunjukkan bahwa jumlah kematian
pasien HIV/AIDS akan tetap tinggi di masa mendatang yaitu karena 33 juta orang saat ini telah terinfeksi dan sekitar 2,7 juta pasien terinfeksi HIV baru setiap tahunnya (Bongaarts et al., 2009). Namun puncak angka kematian akan lebih rendah dari puncak tingkat insiden karena waktu kelangsungan hidup antara infeksi dan kematian akibat AIDS bervariasi secara substansial antara individu, juga didukung karena adanya pengobatan yang dapat mengurangi angka kematian. Prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV telah dilaporkan dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan di luar negeri. Namun masih terdapat beberapa laporan hasil penelitian yang menunjukkan hasil kontradiktif antara satu penelitian dengan penelitian lainnya. Hasil analisis
penelitian yang berkaitan dengan prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV diuraikan sebagai berikut. 2.3.1 Prediktor karakteristik demografi 2.3.1.1 Usia Kematian AIDS terkonsentrasi di kalangan orang dewasa muda dan anak-anak. Alasan epidemi terjadi diantara orang dewasa muda adalah terkait hubungan seksual yang merupakan modus dominan penularan HIV. Proporsi dari semua kematian akibat AIDS jauh lebih tinggi diantara orang dewasa berusia 1559 dibandingkan kelompok usia lainnya. Proyeksi untuk tahun 2030 menunjukkan bahwa proporsi kematian AIDS pada usia 15-59 akan tetap pada level saat ini. Pengecualian untuk kecenderungan umum pada negara-negara dengan penurunan yang relatif cepat dalam kejadian HIV(Bongaarts et al., 2009). Laju progresivitas infeksi HIV salah satunya dipengaruhi oleh umur. Peningkatan umur berkaitan dengan pemulihan kekebalan dan besarnya stresor tiap individu (Nasronudin, 2007). Sistem imun akan menjadi matang di usia dewasa dan akan menurun kembali saat usia lanjut (Sielma, 2012). Hal ini memicu bahwa memulai ART di usia yang lebih tua memiliki risiko lebih besar untuk meninggal dibandingkan usia muda. Penelitian di 35 negara di Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan Afrika menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (aHR: 1,4; 95% CI: 1,2-1,6) (Miller et al., 2014). Penelitian di Cina menemukan bahwa pasien dengan ART pada usia yang lebih tua (>45 tahun) berada pada risiko lebih besar untuk meninggal dari usia 18-29 tahun (Zheng et al., 2014). Hal yang sama juga disampaikan dalam penelitian sebelumnya bahwa usia tua meningkatkan risiko kematian (Bekolo et
al., 2013; Jarrett et al., 2013). Namun temuan berbeda didapatkan pada penelitian di India dan Ethiopia yang menyatakan bahwa umur pasien saat menerima terapi ARV tidak berpengaruh terhadap kematian (aHR: 1,00) (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014). 2.3.1.2 Jenis kelamin Laju progresivitas infeksi HIV dan besarnya stressor juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Pada saat sebelum masa reproduksi, sistem imun lelaki dan perempuan sama dan sistem imun antara keduanya mulai berbeda ketika memasuki masa reproduksi. Pada wanita telah diproduksi hormon estrogen yang mempengaruhi sintesis IgG dan IgA menjadi lebih banyak (meningkat) sehingga menyebabkan wanita lebih kebal terhadap infeksi. Pada pria telah diproduksi hormon androgen yang bersifat imunosupresan sehingga memperkecil risiko penyakit autoimun tetapi tidak membuat lebih kebal terhadap infeksi (Nasronudin, 2007; Sielma, 2012). Oleh karena itu laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap kematian. Angka kematian kasar secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki (8,6 per 100 orang-tahun; 95% CI: 7,3-9,9) dibandingkan dengan perempuan (1,7 per 100 orang-tahun; 95% CI: 0,9-3,16). Dalam analisis cox proporsional, hazard rasio (HR) untuk pria dibandingkan dengan wanita adalah 4,55 (95% CI: 2,318,93) (Badie et al., 2013). Hal ini sependapat dengan beberapa hasil penelitian di Ethiopia bahwa laki-laki memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013). Namun pada penelitian sebelumnya di Nigeria menunjukkan hasil yang bertentangan bahwa jenis kelamin
tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (HR: 1,29; 95% CI: 0,891.86; p: 0,172) (Odafe et al., 2012). 2.3.2 Prediktor karakteristik klinis 2.3.2.1 Stadium klinis Infeksi HIV pada stadium II akhir dan awal stadium III meningkatkan terjadinya sindrom wasting pada 46% kasus yang ditandai dengan penurunan berat badan lebih dari 10% disertai berbagai gejala kelemahan umum yang berkepanjangan. Keadaan ini potensial mendorong ke status imunokompromise yang mengancam jiwa penderita. Bila gangguan metabolisme dan imunologis pada infeksi HIV tetap berlangsung dan tidak dikendalikan, maka respon terhadap stresor biologis dan psikologis potensial meningkatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder sehingga jatuh ke stadium AIDS. Sindrom wasting sangat menentukan cepat atau lambatnya kematian pada infeksi HIV & AIDS (Nasronudin, 2007). Sebuah penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa angka kematian pada pasien dengan stadium klinis III dan IV adalah 60,40 per 100 orang-tahun (95% CI: 51,02–71,50) (Wubshet et al., 2013). Penelitian di Kamerun menemukan bahwa pasien dengan stadium klinis 3 (aHR: 3,55; 95% CI: 1,82-6,91) dan 4 (aHR: 6,13; 95% CI: 2,82-13,29) memiliki outcome terburuk (Bekolo et al., 2013). Temuan ini sependapat dengan penelitian sebelumnya di Nigeria dan Ethiopia bahwa stadium klinis 3 dan 4 memiliki risiko lebih besar untuk meninggal dibandingkan dengan stadium 1 dan 2 (Biadgilign et al., 2012; Odafe et al., 2012).
2.3.2.2 Berat badan Pasien terinfeksi HIV sering mengalami gangguan asupan nutrien sehingga akan mempengaruhi status nutrisi (makronutrien dan mikronutrien) serta sistem imun orang dengan infeksi HIV & AIDS. Perubahan status nutrisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti anoreksia, hipermetabolik, infeksi kronis, demam, penurunan intake nutrient, mual, muntah, diare, malabsorpsi, peningkatan kebutuhan maupun kehilangan nutrien, depresi, efek samping obat, radiasi, dan kemoterapi. Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat, stress metabolic akibat infeksi akan menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh organ vital. Penurunan berat badan 10-20% dari semula akan sangat mengurangi kemampuan daya tahan tubuh dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bahkan kehilangan 40% berat badan dapat menyebabkan kematian (Nasronudin, 2007). Hal ini dibuktikan pada penelitian di Ethiopia bahwa pasien yang melaporkan kehilangan >10% dari berat badan mereka pada awal terapi adalah 5 kali lebih mungkin meninggal dibandingkan dengan pasien yang tidak (HR: 4,93; 95% CI: 1,20–20,41) (Biadgilign et al., 2012). Disebutkan juga bahwa pasien dengan berat badan rendah (<40 kg) memiliki dua kali risiko terhadap kematian (HR: 2,4; 95% CI: 1,24-4,55) (Tadesse et al., 2014). Temuan yang sama juga didapatkan dalam penelitian lain di Tanzania (Mossdorf et al., 2011). Terkait dengan hal ini, penelitian di Boston menggunakan ukuran yang lebih spesifik bahwa indeks massa tubuh (IMT <18) meningkatkan risiko kematian (HR: 5,84; p <0,01) (Jarrett et al., 2013; Paton et al., 2006). Berbeda dengan beberapa hasil penelitian di atas, penelitian yang dilaksanakan di beberapa
negara di Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia menyebutkan bahwa dalam analisis multivariat, indeks massa tubuh (IMT) tidak berhubungan dengan kematian (p 0,46) (Miller et al., 2014). 2.3.2.3 Tekanan darah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab paling umum kedua pada kematian di antara HIV seropositif setelah kematian karena AIDS (May, 2010). Tren ini telah disertai dengan pergeseran dalam perawatan jangka panjang untuk memasukkan perhatian risiko kardiovaskuler pada pasien HIV. Berkaitan dengan hal tersebut diketahui bahwa tekanan darah rendah yaitu systole <100 mmHg (IR: 5,2; 95% CI: 4,8-5,7) dan diastole <60 mmHg (IR: 9,2; 95% CI: 8,3-10,2) memiliki hubungan yang tinggi terhadap angka insiden kematian. Berdasarkan analisa proportional hazard model baik laki-laki (HR: 3,19; 95% CI: 2,14-4,74) maupun perempuan (HR: 2,76; 95% CI: 1,98-3,83), tekanan darah systole <100 atau tekanan darah diastole <60 memiliki risiko terbesar terhadap kematian, dibandingkan dengan rentang tekanan darah normal. Dalam adjusted analisis diketahui bahwa efek tekanan darah tinggi lebih kecil dari efek tekanan darah rendah (Bloomfield et al., 2014). Terkait dengan tekanan darah tinggi, penelitian di Boston menyatakan bahwa hipertensi tidak memiliki hubungan dengan risiko kematian (HR: 1,18; p: 0,46) (Jarrett et al., 2013). 2.3.2.4 Viral load Viral load adalah istilah yang menggambarkan jumlah salinan material genetik HIV (RNA) per mililiter (kopi/ml). Tes viral load mengukur jumlah HIV dalam sampel kecil darah dan merupakan salah satu tes yang akan dilakukan secara teratur untuk memantau kesehatan dan membantu untuk keputusan
pengobatan. Semakin tinggi viral load, maka semakin cepat progresivitas HIV menjadi AIDS (Carter & Hughson, 2014). Hal ini dibuktikan pada penelitian di Boston yang menyatakan bahwa viral load HIV yang semakin tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian (HR: 1,81, p: <0,01) (Jarrett et al., 2013). Namun dalam penelitian lainnya menyatakan bahwa viral load tidak memiliki hubungan dengan risiko kematian (p: 0,727) (Ingle et al., 2014; Paton et al., 2006). 2.3.2.5 Jumlah CD4 Limfosit T-CD4 bertugas mengatur reaksi sistem kekebalan tubuh manusia yang mengawali, mengarahkan untuk pengenalan serta pemusnahan terhadap berbagai mikroorganisme termasuk virus. Pada infeksi HIV justru limfosit T ini yang diintervensi dan mengalami infeksi serta dirusak oleh HIV sehingga jumlahnya cenderung terus menurun (normal 600-1200 sel/mm³). Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui batas kritis ≤200 sel/mm³ berarti kondisi ini telah memasuki stadium AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinis. Manifestasi klinis dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4 ≥500 sel/mm³) atau saat terjadi penurunan sedang (CD4 200-500 sel/mm³), penurunan berat (CD4 ≤200 sel/mm³). Proses ini akan berjalan berkesinambungan dengan jumlah limfosit T-CD4 yang akan semakin rendah sehingga membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinis AIDS hingga sepsis (Nasronudin, 2007). Penelitian di Nigeria menemukan bahwa pasien yang memiliki karakteristik awal saat ARV dengan CD4 <50 sel/mm³ memiliki risiko dua kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan pasien yang memiliki CD4 >350
sel/mm³ (sHR: 2,84; 95% CI: 1,20-6,71) (Odafe et al., 2012). Penelitian Fox et al. di Amerika menemukan bahwa mereka yang memulai ART dengan jumlah CD4 500 dengan orang yang memiliki CD4 50 cell/ml maka risiko kematian satu tahun pada ART berkurang sebesar 54% (6,8 vs 12,5%) (Fox et al., 2013). Beberapa hasil penelitian lain di Sub-sahara Afrika, Ethiopia, Amerika, dan India juga menunjukkan hasil yang konsisten bahwa jumlah CD4 yang semakin rendah merupakan faktor yang berhubungan dengan kematian (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Miller et al. bahwa tidak ditemukan adanya hubungan kematian terhadap kondisi awal CD4 pasien (p: 0,27) (Miller et al., 2014). 2.3.2.6 Kadar hemoglobin Orang dengan infeksi HIV sering mengalami trombositopenia yang dikarenakan kompleks imun merusak trombosit akibat kehilangan kendali (Nasronudin, 2007). Pada pasien HIV/AIDS, anemia adalah kelainan hematologi yang biasa ditemui dan yang juga memiliki dampak signifikan pada hasil klinis dan kualitas hidup. Terkait kadar haemoglobin (Hb), beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa kadar hemoglobin memiliki keterkaitan dengan kematian namun memiliki perbedaan standar pada batasan kadar hemoglobin yang meningkatkan terjadinya kematian. Pada penelitian di Ethiopia menemukan bahwa pasien dengan anemia (Hb <11 g/dl) memiliki risiko dua kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan pasien yang tidak anemia (HR: 1,9; 95% CI: 1,01-3,52) (Tadesse et al., 2014). Pada penelitian sebelumnya di Kamerun menyebutkan bahwa dalam analisis multivariat, pasien dengan kadar hemoglobin
<10 g/dl (aHR: 2,50;
95% CI: 1,69-3,69) tetap bermakna dikaitkan dengan
kematian setelah disesuaikan untuk jenis kelamin, usia, dan waktu (Bekolo et al., 2013). 2.3.2.7 Infeksi oportunistik HIV memiliki angka kematian yang tinggi dimana hal yang dapat mengancam kehidupan pasien HIV tidak hanya berasal dari virus tetapi juga dipengaruhi infeksi oportunistik dan komplikasi yang juga dapat menyebabkan kematian (Centers of diseases control prevention, 2009). Bila HIV diikuti oleh koinfeksi oleh virus lain, bakteri, jamur, protozoa maka akan terjadi kematian yang lebih cepat dan difus. Kondisi ini disebut apoptosis patologis difus dipercepat (Nasronudin, 2007). Selain itu, odha yang mengalami infeksi oportunistik seperti tuberculosis, pneumonia, diare, infeksius, dermatitis, herpes simpleks, herpes zoster, meningitis, juga sepsis akan semakin memperjelek status nutrisinya (Nasronudin, 2007). Pernyataan ini didukung oleh penelitian Paton et al., di Singapura bahwa dalam analisis univariat
jumlah infeksi oportunistik ≥3
memiliki risiko kematian 3 kali lebih besar dibandingkan dibawahnya (HR: 3,42; 95% CI: 1,36-8,58; p: 0,009), namun dalam analisis multivariat jumlah infeksi oportunistik secara statistik menjadi tidak bermakna (Paton et al., 2006). Hal ini juga didukung oleh penelitian di Cina bahwa dari semua penyebab kematian, 66,1% kematian disebabkan oleh penyakit terkait AIDS dengan penyebab terbanyak infeksi oportunistik (92,4%). Tubercle bacillus, infeksi penicillium marneffei dan pneumocystis carinii merupakan tiga penyebab utama kematian terkait infeksi oportunistik (Feng et al, 2013; Grant et al., 2014).
Pasien HIV yang menjalani pengobatan antituberkulosis dalam 3 bulan setelah inisiasi ART disebutkan memiliki risiko kematian 2,55 kali dibandingkan pasien yang tidak menjalani terapi tuberculosis (Alvarez-Uria et al., 2013). Kematian pada pasien dengan tuberculosis saat inisiasi ART adalah 54,61 (95% CI: 46,01–64,80) per 100 orang-tahun (Wubshet et al., 2013). Hal yang sama juga disampaikan pada penelitian di Iran bahwa kehadiran infeksi tuberculosis saat memulai ART memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Badie et al., 2013; Wubshet et al., 2012). Temuan yang berbeda disampaikan pada penelitian di Ethiopia bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status tuberculosis positif atau negatif terhadap kejadian kematian (Tadesse et al., 2014). Berkaitan dengan kematian pasien HIV/AIDS berdasarkan penyebabnya, penelitian di Brazil dan Amerika Serikat membedakannya berdasarkan penyakit karena AIDS (AIDS defining illness) dan bukan karena AIDS (Non-AIDS defining illness). Diketahui bahwa kematian pasien HIV/AIDS di rumah sakit Brazil didominasi oleh AIDS-defining illness (ADI) sebesar 61,8% sedangkan pada rumah sakit di Amerika Serikat didominasi oleh non-AIDS defining illness (nonADI) sebesar 55,6%. Analisis multivariat pada sub kelompok tersebut menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS dengan ADI memiliki risiko lebih tinggi terhadap terjadinya kematian (HR: 2,26; 95% CI: 1,09-4,67; p: 0,02) (Grinsztejn et al., 2009). 2.3.2.8 Status fungsional Kondisi fungsional tubuh (kerja, ambulatori, dan baring) saat terapi ARV memiliki hubungan yang positif terhadap stadium penyakit. Pasien dalam kondisi baring pada saat mulai terapi memiliki risiko empat kali lebih besar terhadap
kematian dibandingkan pasien dengan dalam kondisi bekerja (HR: 4,09; 95% CI: 2,12–7,90) (Biadgilign et al., 2012). Pendapat ini juga didukung oleh beberapa penelitian di Ethiopia yang menjelaskan bahwa kondisi fungsional ambulatori maupun baring memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Wubshet et al., 2013; Wubshet et al., 2012). Penelitian di Nigeria menunjukkan hasil yang bertentangan bahwa kondisi fungsional tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna terhadap kematian baik ambulatori (sHR: 1,11; 95% CI: 0,61-2,01; p: 0,734) maupun baring (sHR: 2,27 ; 95% CI: 0,82-6,31; p: 0,116) (Odafe et al., 2012). 2.3.2.9 Rejimen dasar ARV Paduan terapi ARV merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat sehingga secara tidak langsung hal ini memberikan dampak pada keberhasilan pengobatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Pasien yang memiliki satu atau lebih obat dalam kombinasi substitusinya memiliki outcome yang lebih baik (Bekolo et al., 2013). Selain itu, penggunaan jenis rejimen dasar lini pertama NRTI dan NNRTI dalam pengobatan juga berpengaruh terhadap besarnya kematian. NRTI merupakan tulang punggung dari semua jenis rejimen lini pertama, memiliki efikasi dan toleransi obat yang relevan dengan kepatuhan dan resistensi obat serta kematian dan loss to follow up. Penelitian di Lesotho terkait perbandingan efektifitas penggunaan NRTI diketahui bahwa toksisitas tertinggi terdapat pada penggunaan stavudin dan memiliki outcome positif terbaik terdapat pada penggunaan tenofovir (Jouquet et al., 2011). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Kamerun yang menyatakan bahwa penggunaan golongan NRTI yaitu tenofovir (TDF), zidovudine (AZT), atau
stavudine (D4T) tidak memiliki perbedaan terhadap terjadinya kematian (Bekolo et al., 2013). NNRTI jenis EFV atau NVP digunakan dalam semua rejimen lini pertama dan memiliki toksisitas ataupun toleransi obat yang lebih relevan. Sebuah penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa efavirenz (EFV) memiliki efikasi dan kemampuan toleransi lebih superior dibandingkan dengan nevirapine (NVP) (Bock et al., 2013). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian di Kamerun yang menyatakan bahwa pasien yang diobati dengan NNRTI jenis nevirapine (NVP) (HR: 0,37; 95% CI: 0,25-0,56; p <0,0001) memiliki outcome yang lebih baik dibandingkan efavirenz (EFV) (Bekolo et al., 2013). Pada penelitian di Ethiopia justru menemukan bahwa rejimen awal ARV tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (Wubshet et al., 2012). 2.3.2.10 Status rawat Status rawat (hospitalised status) merupakan salah satu gambaran klinis pasien HIV/AIDS yang menunjukkan prediktor independen kematian pada pasien HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Nigeria bahwa berdasarkan angka kematian secara keseluruhan, 31,8% pengamatan dilakukan pada pasien rawat inap. Rawat inap di rumah sakit ≤3 hari menjadi salah satu prediktor independen kematian (AOR: 13,8; 95% CI: 1,1–17,8) (Ogoina et al., 2012). Hasil yang sama juga disampaikan dalam penelitian di Amerika Serikat (Grant et al., 2014).
2.3.3 Prediktor karakteristik sosial 2.3.3.1
Faktor risiko penularan Prevalensi HIV di Asia pada orang yang menyuntikkan narkoba
mencapai 28% (UNAIDS, 2013a). Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia bahwa prevalensi HIV tertinggi terjadi pada kelompok pengguna jarum suntik (IDU) 36,4% diikuti pada pekerja seks (9,0%), LSL (8,5%), dan populasi umum (0,3%) (UNAIDS, 2012). Ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan mereka yang terinfeksi melalui penggunaan jarum suntik memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Selain itu, kematian yang tinggi pada penasun juga berhubungan dengan karakteristik pribadi yaitu beberapa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kematian di kalangan IDU karena
overdosis narkoba yaitu risiko
toksisitas meningkat pada penggunaan obat yang berlebih (Krentz et al., 2005). Hal ini dibuktikan pada penelitian di Cina bahwa penggunaan jarum suntik (AOR: 1,65; 95% CI: 1,28-2,14) dan transfusi darah (AOR: 2,18; 95% CI: 1,18-3,99) secara signifikan memiliki tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi melalui penularan heteroseksual (Zheng et al., 2014). Hasil yang sama juga ditemukan pada sebuah penelitian di Boston bahwa ada kecenderungan peningkatan risiko kematian pada mereka yang tertular HIV melalui penggunaan narkoba suntikan (HR: 1,49; p: 0,08) (Jarrett et al., 2013). Namun penelitian lain menemukan bahwa dalam analisa multivariat penularan melaui penggunaan jarum suntik terhadap kematian menjadi tidak bermakna (p: 0,10) (Miller et al., 2014). Homoseksual
merupakan kelompok orientasi seksual minoritas yang
cenderung mendapatkan stigma di masyarakat yang berdampak pada rendahnya
akses pencarian kesehatan bagi kelompok ini. Sebuah penelitian di Chicago membuktikan bahwa diskriminasi berkaitan dengan meningkatnya kejadian kematian (Barnes et al., 2008). Berkaitan dengan infeksi HIV, perilaku seks tanpa perlindungan pada LSL merupakan rute transmisi virus yang efisien (Kposowa, 2013), sehingga kematian pada homoseksual juga lebih tinggi dibandingkan heteroseksual. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Amerika Serikat bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit terkait HIV (p <0,001) berbeda berdasar orientasi seksual. Analisis survival multivariat berdasar semua penyebab mengungkapkan bahwa risiko kematian selama masa tindak lanjut lebih tinggi untuk LSL daripada laki-laki heteroseksual (aHR: 3,59; 95% CI: 1,91–6,74), setelah penyesuaian untuk kemungkinan perbedaan individu demografi, perilaku kesehatan, dan status kesehatan awal. Analisis dalam model kedua, ditemukan bahwa angka kematian yang disebabkan HIV meningkat 157,4 kali lebih tinggi di antara LSL daripada laki-laki heteroseksual (Cochran & Mays, 2011). 2.3.3.2
Status pernikahan Salah satu keuntungan utama pernikahan adalah jaringan seksual yang
stabil. Jaringan seksual memainkan peran penting dalam penyebaran dan akuisisi penyakit menular seksual (PMS).
Individu dengan banyak pasangan seksual
memiliki risiko lebih tinggi dari PMS (termasuk AIDS) dibandingkan mereka dengan mitra yang dapat dipercaya (suami/istri), sehingga mereka yang belum menikah dan bercerai memiliki jaringan seksual yang lebih mengarah ke lebih banyak mitra seksual yang pada gilirannya mengangkat risiko tertular HIV/AIDS dan kemudian meninggal karena perilaku tersebut. Selain itu, status menikah juga berkaitan dengan integrasi sosial bahwa menikah dianggap yang paling
terintegrasi untuk kestabilan hubungan sosial yaitu pernikahan menawarkan bentuk kekompakan dan dukungan, bentuk kontrol sosial untuk membatasi jumlah mitra seksual (Adimora & Schoenbach, 2005). Hal ini dibuktikan pada sebuah penelitian di Amerika Serikat bahwa pasien HIV/AIDS yang bercerai memiliki risiko 4,3 kali lebih besar untuk meninggal (ARR: 4,321; 95% CI: 2,978-6,269) dan pasien dengan status single/ belum menikah berisiko 13 kali lebih besar untuk meninggal (ARR: 13,092; 95% CI: 9,652-17,757) dibandingkan orang yang sudah menikah (Kposowa, 2013). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Kamerun, Ethiopia, Cina, dan India yang menunjukkan bahwa status pernikahan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kematian (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Zheng et al., 2014). 2.3.3.3
Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya stresor
sehingga akan menentukan kemampuan mekanisme coping (mekanisme menghadapi perubahan yang diterima) (Nursalam, 2009). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Hal ini menjadi dasar adanya perubahan perilaku kesehatan, termasuk perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior) dan perilaku kesehatan lingkungan di tiap individu (Mubarok, 2011). Sebuah penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa pasien dengan pendidikan rendah (tidak atau tingkat pendidikan dasar) memiliki risiko kematian yang meningkat tiga kali lebih besar dibandingkan orang yang menempuh
pendidikan SMP atau lebih tinggi (HR: 2,61; 95% CI: 1,17-5,80) dan (HR: 2,67; 95% CI: 1,28-5,48) (Tadesse et al., 2014). Hal ini juga sependapat dengan hasil penelitian sebelumnya (Biadgilign et al., 2012). 2.3.3.4
Status pekerjaan Status HIV memiliki dampak negatif pada status sosial ekonomi yaitu
keterbatasan individu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Penelitian menunjukkan bahwa 45% pasien HIV tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena individu yang terinfeksi HIV sering didiskriminasi di tempat kerja sehingga menyebabkan penghentian atau pengunduran diri dan pada akhirnya berdampak pada menurunnya kemampuan finansial. Status ekonomi yang rendah menentukan akses terhadap pengobatan HIV yaitu penundaan dalam memulai pengobatan (American Psychological Association, 2014). Pada akhirnya hal ini berdampak pada meningkatnya tingkat morbiditas dan mortalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan korelasi antara status sosial ekonomi yang rendah dan kematian lebih awal dari HIV/AIDS (Cunningham et al., 2005). Laporan yang berbeda didapatkan pada beberapa hasil studi lainnya bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kematian pada pasien HIV (p: 0,788) (Biadgilign et al., 2012; Wubshet et al., 2012). 2.3.3.5
Penghasilan Penghasilan menentukan kemampuan seseorang dalam mengakses
pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan pada sebuah studi di daerah pedesaan Zambia bahwa kemiskinan secara signifikan menjadi prediktor terhadap kematian (Birbeck et al., 2011). Hal ini sependapat dengan hasil penelitian di Boston yang menemukan bahwa risiko kematian meningkat pada
mereka yang hidup dengan penghasilan <$10,000 (HR: 2,0; p <0,01) (Jarrett et al., 2013). Namun penelitian di Kamerun menemukan hal yang berlawanan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dengan risiko mortalitas (Bekolo et al., 2013). 2.3.3.6
Pendamping minum obat (PMO) PMO merupakan orang terdekat yang dapat mengingatkan pasien untuk
selalu meminum obat ARV dan dapat berasal dari keluarga maupun petugas kesehatan. Upaya mengoptimalkan dan meningkatkan efektifitas coping alamiah serta program pendampingan terbukti dapat mengendalikan progresivitas penyakit infeksi HIV. Proses pendampingan diharapkan dapat mengurangi derajat beratnya stres (Nasronudin, 2007). Penelitian di perkotaan Zambia menemukan bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian selama pemakaian ARV (Stringer et al., 2006). Kepatuhan tidak terlepas dari tugas pendamping minum obat. Berkaitan dengan hal ini, ketersediaan kelompok pendukung (RRadj: 0,81; 95% CI: 0,70-0,93), peer educators (RRadj: 0,84; 95% CI: 0,74–0,96) dan alat pengingat (RRadj: 0,81; 95% CI: 0,66-0,98) secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat kematian yang lebih rendah. Namun ketersediaan <2 ataupun >2 pendamping minum obat tidak berhubungan terhadap laporan angka kematian (Lamb et al., 2012). 2.3.3.7
Kepatuhan Salah satu faktor utama yang dapat menurunkan tingkat kematian pasien
HIV/AIDS adalah kepatuhan terhadap ARV (Handayani et al., 2013). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan pasien yang mematuhi aturan pengobatan atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah
dokter (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Kepatuhan diakui sebagai faktor penting dalam keberhasilan terapi pada pasien HIV/AIDS, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi, peningkatan jumlah CD4, meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis ARV harus diminum (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Penelitian di perkotaan Zambia menemukan bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian selama pemakaian ARV (Stringer et al., 2006). Hal ini didukung penelitian lain di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa risiko peningkatan viral load menurun dengan durasi penekanan virus yang lebih lama dari setiap tingkat kepatuhan (OR 1,07 untuk tingkat kepatuhan <80%; OR 1,09 untuk tingkat kepatuhan 80% - <95%; OR 0,61 untuk tingkat kepatuhan >95%) (Lima et al., 2010). 2.3.3.8
Jarak tempat tinggal dengan layanan Tingkat loss to follow up lebih tinggi terjadi pada orang-orang dari
daerah pedesaan. Hal ini dibuktikan pada penelitian di India yang menyebutkan bahwa tinggal di daerah perkotaan merupakan faktor yang berhubungan terhadap penurunan risiko kematian (aHR: 0,82; 95% CI: 0,68-1), namun tidak memiliki hubungan yang bermakna antara kematian dengan tempat tinggal yang berada dekat dengan pusat terapi ARV (95% CI: 0,87-1,30) (Alvarez-Uria et al., 2013). Temuan yang berbeda didapatkan pada penelitian di Kamerun yang menemukan bahwa pasien yang tinggal dengan jarak lebih dari lima km dari klinik mengalami penurunan 38% angka kematian dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam
jarak lima km ke klinik (HR: 0,62; 95% CI: 0,43-0,88; p <0,007) (Bekolo et al., 2013). 2.3.4 Karakteristik layanan ARV 2.3.4.1
Entry point Entry point (pintu masuk) dalam layanan ARV dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu prediktor terjadinya kematian pada pasien HIV/AIDS. Sebuah penelitian di Sub Sahara Afrika membuktikan bahwa entry point efektif dalam mengidentifikasi infeksi HIV yaitu layanan tuberculosis memberikan kontribusi untuk mengidentifikasi 10% dari semua pasien yang terinfeksi HIV dengan CD4 <350 sel/mm3. Asumsi ini dapat digunakan sebagai pemberitahuan terkait infeksi HIV hingga terjadinya kematian (Bwire et al., 2006). 2.3.4.2
Jenis tempat layanan ARV Jenis tempat layanan dalam pemberian terapi ARV dibedakan dalam
kategori rumah sakit utama dan satelit. Pada umumnya rumah sakit utama memiliki sumber daya yang lebih baik dan bisa memutuskan kelayakan pasien untuk terapi ARV. Pasien pada rumah sakit satelit memiliki waktu tunggu lebih lama terkait waktu mulainya terapi ARV dibandingkan pasien pada situs utama. Keterlambatan dalam inisiasi terapi ARV pada pasien memiliki implikasi terhadap kematian dini, loss to follow up, dan hasil lainnya selama masa tindak lanjut (Hoffmann et al., 2013). Pendapat ini didukung oleh penelitian di Nigeria yang menyatakan bahwa pasien pada situs rumah sakit utama mencapai pemulihan kekebalan yang lebih baik berdasarkan jumlah CD4 pada 12 minggu (p <0,001) dan 24 minggu (p <0,001). Perbandingan kematian pada situs rumah sakit utama
dengan satelit adalah 2,3% dibandingkan 5,0% (p <0,001) (Okonkwo et al., 2014). 2.3.4.3
Kebijakan pedoman ARV Penerapan kebijakan pemberian ARV secara tidak langsung memberikan
kontribusi terhadap kematian pasien HIV/AIDS. Adanya perubahan kebijakan dalam pedoman terapi ARV merupakan salah satu langkah pengembangan pelayanan ARV dengan mengacu pada perkembangan ilmiah untuk mencapai kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang lebih baik. Salah satu indikator perbedaan pedoman pemberian ARV adalah berdasarkan jumlah CD4 saat mulai terapi. Pada penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa jumlah CD4 yang tinggi saat mulai terapi mampu menurunkan kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV sebesar 54% (Fox et al., 2013). Hal ini juga didukung beberapa hasil penelitian lainnya bahwa bahwa jumlah CD4 yang semakin rendah saat mulai terapi merupakan faktor yang berhubungan dengan kematian (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013). Penelitian di Kamerun melakukan perbandingan outcome berdasarkan perbedaan jumlah CD4 saat mulai ARV. Diketahui bahwa perbandingan persentase kematian antara kelompok CD4 <350 di awal treatment dan kelompok CD4 <250 di awal terapi adalah 9,52% dan 26,09%, namun relative risk kematian tidak berbeda secara signifikan (Holtedahl et al., 2014).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka berpikir Terapi antiretroviral (ARV) digunakan untuk menekan replikasi virus HIV, dengan targetnya yaitu terjadi perkembangan klinis dan imunologis ke arah yang lebih baik sehingga mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan pada pasien HIV/AIDS. Keberhasilan pengobatan ini dipengaruhi oleh penggunaan rejimen ARV dan kepatuhan pengobatan pada tiap individu. Selain keberhasilan pengobatan, kualitas dan umur harapan hidup penderita HIV/AIDS juga dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pasien, baik secara demografi maupun klinis. Karakteristik demografi dan klinis pasien yang dimaksud adalah usia, jenis kelamin, status fungsional, stadium klinis, berat badan, tekanan darah, kadar hemoglobin, jumlah CD4, viral load, dan infeksi oportunistik. Kondisi individu tersebut sangat menentukan status imunitas, progresivitas penyakit dan penerimaan tubuh terhadap penyakit. Jika faktor-faktor tersebut menunjukkan respon yang baik maka akan diikuti status imunitas tubuh yang baik sehingga progresivitas penyakit dalam tubuh dapat ditekan dan pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidup pasien. Keberhasilan kondisi tubuh dalam menekan progresivitas penyakit juga ditentukan oleh kondisi sosial dan layanan ARV yang mendukung. Hal ini bergantung pada faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, penghasilan, status pekerjaan, adanya pendamping minum obat, jarak tempat
tinggal dan klinik yang terjangkau serta didukung tempat layanan ARV dan kebijakan pedoman pemberian ARV yang berlaku. Secara spesifik, kondisi faktor sosial dan lingkungan yang mendukung akan mampu memberikan pengaruh terhadap dukungan secara psikologis dan psikososial. Adanya dukungan tersebut akan menentukan besarnya stress dalam tubuh dan efektifitas coping alamiah tiap individu sehingga akan berpengaruh positif terhadap kualitas maupun umur harapan hidup penderita HIV & AIDS. Sehingga untuk mencapai kualitas hidup yang baik pada pasien HIV/AIDS ditentukan oleh adanya respon positif berbagai faktor yang mampu memberikan efek positif terhadap progresivitas penyakit dalam tubuh dan membantu dalam keberhasilan pengobatan ARV.
3.2 Konsep penelitian Variabel independen
Karakteristik sosiodemografi: - Usia - Jenis kelamin - Faktor risiko penularan - Status pernikahan - Pendidikan - Status pekerjaan - Pendamping minum obat (PMO) - Penghasilan - Jarak rumah dengan klinik Variabel dependen Karakteristik klinis: - Berat badan - Kadar hemoglobin - Jumlah CD4 - Stadium klinis - Status fungsional - Infeksi oportunistik - Golongan NRTI - Golongan NNRTI
Kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV -
- Tekanan darah - Viral load Karakteristik layanan ARV: - Jenis tempat layanan ARV - Kebijakan pedoman ARV
Keterangan: = Diteliti = Tidak diteliti
Gambar 3.1 Konsep prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV
Berdasarkan gambar 3.1 di atas dapat dijelaskan bahwa variabel independen yang diteliti sebagai prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV adalah yang berasal dari rekam medis pasien yang meliputi karakteristik sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat; karakteristik klinis yaitu berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, serta golongan NRTI dan NNRTI; dan layanan ARV yaitu jenis tempat layanan dan kebijakan pedoman ARV. Variabel yang diteliti sebagai prediktor merupakan variabel yang didapatkan pada saat mulai terapi ARV dan akan dilakukan analisis secara survival. Variabel viral load, tekanan darah, penghasilan, dan jarak rumah dengan klinik tidak tersedia dalam rekam medis sehingga variabel tersebut tidak diteliti dalam penelitian ini. 3.3 Hipotesis Hipotesis penelitian pada pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014 adalah sebagai berikut. 1.
Ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi pasien saat mulai terapi yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat terhadap kematian.
2.
Ada hubungan antara karakteristik klinis pasien saat mulai terapi yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, dan golongan NRTI dan NNRTI terhadap kematian.
3.
Ada hubungan antara karakteristik layanan ARV saat mulai terapi yang meliputi jenis tempat layanan ARV dan kebijakan pedoman ARV terhadap kematian.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian Rancangan penelititian ini menggunakan analisis data kohort secara retrospektif pada pasien HIV/AIDS yang mendapat terapi ARV periode tahun 2006-2014 di klinik VCT Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang berasal dari rekam medis pasien, baik data pasien yang masih hidup maupun yang telah mengalami kematian. 4.2 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di klinik VCT Sekar Jepun Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali pada periode bulan Januari sampai Maret 2015. RSUD Badung merupakan rumah sakit utama pemerintah Kabupaten Badung dimana sejak bulan Maret 2005 mulai dilengkapi dengan klinik VCT Sekar Jepun yang memberikan pelayanan terapi ARV untuk masyarakat umum. Klinik ini memiliki 13 petugas kesehatan yang terdiri dari tiga dokter, tiga perawat, empat petugas klinik, dan satu petugas farmasi serta dua petugas yang meresepkan ARV (RSUD Badung 2014). Bali Medica Clinic (BMC) merupakan satelit dari RSUD Badung yang juga memberikan pelayanan terapi ARV pada laki-laki seks dengan laki-laki (LSL). Klinik swasta ini berada di bawah Yayasan Bali Peduli (YBP) dengan ketersediaan satu dokter sekaligus sebagai direktur klinik, dua perawat sekaligus sebagai konselor, satu konselor, dan dua orang teknisi laboratorium serta didukung adanya petugas penjangkau (Bali Medica Clinic 2010).
Dipilihnya rumah sakit ini sebagai lokasi penelitian karena sebagai rumah sakit dengan jumlah pasien HIV tertinggi ketiga di wilayah Provinsi Bali, memiliki dua kelompok pasien yaitu masyarakat umum dan LSL, serta didukung memiliki rekam medis lengkap terkait kunjungan pasien HIV untuk pengobatan ARV. 4.3 Penentuan sumber data 4.3.1 Populasi penelitian Populasi target penelitian ini adalah semua pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV dengan populasi terjangkaunya adalah semua pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUD Badung Bali tahun 2006-2014. Jumlah populasi dalam penelitian hingga 31 Juli 2014 adalah 671 pasien. 4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi 4.3.2.1 Kriteria inklusi Pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV dengan penggunaan rejimen lini satu antara periode 1 Januari 2006 sampai 31 Juli 2014. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi Pasien dengan umur <15 tahun, wanita hamil, dan pasien dengan kunjungan klinik hanya satu kali dikeluarkan dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan karena jumlah wanita hamil dan anak usia <15 tahun yang terdaftar dalam register ARV di klinik VCT RSUD Badung sedikit. Apabila dua kelompok ini dimasukkan dalam analisis akan mengacaukan sebaran data dalam analisis. Pasien dengan kunjungan satu kali dilakukan eksklusi karena penelitian
memperhitungkan waktu pengamatan pada setiap pasien sehingga apabila dimasukkan dalam analisis akan mendapatkan waktu analisis nol. 4.3.3 Sampel penelitian Sampel merupakan populasi studi yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi yang terpilih untuk menjadi subyek penelitian. Perhitungan jumlah sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap dua incidence rate (uji proporsi pada dua kelompok) berikut ini.
Dengan asumsi: n
= besar sampel penelitian = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu
k
= rasio kelompok tidak terpapar dengan kelompok terpapar di populasi = proporsi kematian pada kelompok kontrol = proporsi kematian pada kelompok yang terpapar Berdasarkan perhitungan rumus tersebut dengan menggunakan α = 5%,
β = 90%, dan
= 0,18 yang didapat berdasarkan proporsi kematian pasien
HIV/AIDS yang menjalani terapi di Indonesia, maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari HR hasil penelitian terdahulu yaitu :
Tabel 4.1 Perhitungan sampel penelitian Nama Peneliti & Variabel Outcome HR Zhu et al., (2013) Umur Kematian 1,63 Bekolo et al., (2013) Stadium Klinis Alvarez-Uria et al., (2013) Jumlah CD4 Tadesse et al., (2014) Kadar Haemoglobin
n1 = n2
2n
0,18 0,32
70
140
Kematian 2,0
0,18 0,36
50
100
Kematian 1,89
0,18 0,34
58
116
Kematian 1,9
0,18 0,34
58
116
Sampel minimal untuk penelitian ini berdasarkan perhitungan di atas yaitu 70 pasien dengan asumsi bahwa 70 pasien untuk kelompok yang meninggal dan 70 pasien untuk kelompok yang tidak meninggal. Namun dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi sejumlah 76 pasien yang meninggal dan 595 pasien yang masih dalam pengobatan ARV sehingga jumlah sampel minimal sudah terpenuhi. Penggunaan semua sampel yang menerima terapi ARV didasarkan pada pertimbangan bahwa jumlah variabel prediktor yang diteliti banyak serta kelengkapan rekam medis pada sampel sehingga untuk tidak mengurangi kekuatan dari penelitian ini memerlukan sampel yang lebih besar. 4.4 Variabel penelitian 4.4.1 Variabel penelitian Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kematian pada pasien HIV yang menjalani terapi ARV dengan event date-nya adalah
tanggal ketika pasien dinyatakan meninggal saat menjalani terapi ARV. Data baseline-nya diambil dari rekam medik pada pasien yang memulai terapi ARV dengan variabel independen yang diteliti meliputi: 1) usia; 2) jenis kelamin; 3) berat badan; 4) kadar hemoglobin; 5) jumlah CD4; 6) stadium klinis; 7) status fungsional; 8) infeksi oportunistik; 9) rejimen awal ARV (NRTI dan NNRTI); 10) faktor risiko penularan; 11) status pernikahan; 12) pendidikan; 13) status pekerjaan; 14) pendamping minum obat; 15) tipe layanan ARV, dan 16) kebijakan ARV. 4.4.2 Definisi operasional Definisi operasional variabel dijelaskan berdasarkan tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Definisi operasional Definisi Operasional Variabel independen Variabel
Karakteristik sosiodemografi
Karakteristik pasien pada saat terapi yang dikategorikan berdasarkan kondisi sosiodemografi pasien meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan pendamping minum obat.
Skala Pengukuran Sesuai masingmasing subvariabel
Alat Ukur Formulir pengumpulan data
Catatan tentang Rencana Analisis Sesuai masing-masing sub variabel
Definisi Operasional
Skala Pengukuran
Alat Ukur
Usia
Usia pasien HIV/AIDS saat memulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Interval (dalam tahun)
Formulir pengumpulan data
Median, IQR
Jenis kelamin
Jenis kelamin pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Nominal 1. Perempuan 2. Laki-laki
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Perempuan = 0 b. Laki-laki = 1 c. Missing = 9 (Tadesse et al., 2014)
Faktor risiko penularan
Cara penularan virus HIV kepada pasien saat pertama kali yang tercatat di rekam medis. Penularan heteroseksual dalam salah satu faktor risiko penularan dalam penelitian ini berkaitan dengan pasangan suami istri, bukan terkait pekerja seks perempuan.
Nominal 1. Homoseksual 2. Heteroseksual 3. Biseksual 4. Perinatal 5. Transfusi darah 6. Napza suntik 7. Pasangan odha
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Homoseksual = 0 b. Heteroseksual = 1 c. IDU = 2 d. Missing = 9 (Miller et al., 2014)
Status pernikahan
Status pernikahan pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARVyang tercatat di rekam medis.
Nominal 1. Menikah 2. Belum menikah 3. Janda/ Duda
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Menikah = 0 b. Belum menikah/ bercerai = 1 c. Missing = 9 (Wubshet et al., 2012)
Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Ordinal 1. Perguruan Tinggi 2. SMA 3. SMP 4. SD 5. Tidak sekolah
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Pendidikan tinggi (SMP/ lebih tinggi) =0 b. Pendidikan rendah (SD/ tidak sekolah) =1 c. Missing = 9 (Tadesse et al., 2014)
Variabel
Catatan tentang Rencana Analisis
Variabel
Definisi Operasional
Skala Pengukuran
Alat Ukur
Catatan tentang Rencana Analisis
Status pekerjaan
Status pekerjaan pasien terkait bekerja atau tidak saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Nominal 1. Bekerja 2. Tidak Bekerja
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Bekerja = 0 b. Tidak Bekerja = 1 c. Missing = 9 (Zheng et al., 2014)
Pendamping minum obat
Keberadaan seseorang yang bertugas untuk mendampingi dan mengingatkan untuk minum obat yang tercatat di rekam medis.
Nominal 1. Ada 2. Tidak ada
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Ada = 0 b. Tidak ada = 1 c. Missing = 9 (Lamb et al., 2012)
Karakteristik klinis
Kumpulan variabel yang menunjukkan kondisi klinis pasien yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI, kepatuhan dan status rawat inap pasien.
Sesuai masingmasing subvariabel
Formulir pengumpulan data
Sesuai masing-masing sub variabel
Berat badan
Berat badan pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Interval (dalam kg)
Formulir pengumpulan data
Median, IQR
Variabel
Definisi Operasional
Skala Pengukuran
Alat Ukur
Catatan tentang Rencana Analisis
Kadar hemoglobin
Kadar hemoglobin pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Interval (dalam gr/dl)
Formulir pengumpulan data
Jumlah CD4
Jumlah CD4 pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Interval (dalam sel/ mm3)
Formulir pengumpulan data
Stadium klinis
Status stadium klinis pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV berdasarkan kategori WHO yang tercatat di rekam medis.
Ordinal 1. Stadium I (Asimptom atik) 2. Stadium II (Gejala ringan) 3. Stadium III (Gejala sedang) 4. Stadium IV (AIDS)
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Stadium I & II = 0 b. Stadium III & IV = 1 c. Missing = 9 (Wubshet et al., 2013)
Status fungsional
Status fungsional pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Ordinal 1. Kerja 2. Ambulatori 3. Baring
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Kerja = 0 b. Ambulatori = 1 c. Baring = 2 d. Missing = 9 (Biadgilign et al., 2012)
Nominal 1. Tenofovir (TDF) 2. Zidovudine (AZT) 3. Stavudine (D4T) Nominal 1. Efavirenz (EFV) 2. Nevirapine (NVP)
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Tenofovir = 0 b. Zidovudine = 1 c. Stavudin = 2 d. Missing = 9 (Jouquet et al., 2011)
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Efavirenz = 0 b. Nevirapine = 1 c. Missing = 9 (Bock et al., 2013)
Golongan Golongan NRTI NRTI yang digunakan saat memulai terapi ARV yang tercatat dalam rekam medis. Golongan Golongan NNRTI NNRTI yang digunakan saat memulai terapi ARV yang tercatat dalam rekam medis.
Median, IQR
Median, IQR
Definisi Operasional Keberadaan infeksi yang dialami pasien HIV/AIDS saat mulai terapi ARV yang tercatat di rekam medis.
Skala Pengukuran Nominal 1. Tuberculosis 2. Kandidiasis 3. Diare 4. Meningitis Cryptococal 5. Pneumonia Pneumocyctis 6. Cytomegalovirus 7. Penicilliosis 8. Herpes zooster 9. Herpes simpleks 10. Toxoplasmosis 11. Hepatitis 12. Lainnya
Alat Ukur Formulir pengumpulan data
Catatan tentang Rencana Analisis Kategorikal: a. Tidak ada IO = 0 b. IO selain tuberculosis = 1 c. Tuberculosis & lainnya = 2 d. Missing = 9 (Tran et al., 2013)
Kepatuhan
Skala kepatuhan pasien dalam minum obat ARV yang diukur berdasarkan persentase dosis yang diminum yang tercatat dalam rekam medis pada akhir pengamatan.
Ordinal: 1. Kepatuhan >95% 2. Kepatuhan 80-95% 3. Kepatuhan <80%
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Kepatuhan >95% = 0 b. Kepatuhan 80-95% =1 c. Kepatuhan <80% = 2 d. Missing = 9 (Kementerian Kesehatan RI, 2011c)
Status rawat inap
Status riwayat rawat inap pasien selama menjalani terapi ARV yang tercatat dalam rekam medis.
Nominal: 1. Tidak 2. Awal terapi 3. Selama terapi
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Tidak = 0 b. Awal terapi = 1 c. Selama terapi = 2
Variabel Infeksi oportunistik (IO)
Variabel
Definisi Operasional
Skala Pengukuran
Alat Ukur
Catatan tentang Rencana Analisis
Karakte ristik layanan ARV
Karakteristik pasien berdasarkan layanan ARV pada saat mulai terapi yang meliputi kebijakan pedoman ARV, entry point, dan jenis tempat layanan.
Sesuai masingmasing subvariabel
Formulir pengumpulan data
Sesuai masing-masing sub variabel
Kebijakan pedoman ARV
Kebijakan pedoman ARV yang berlaku pada saat pasien melakukan pengobatan ARV yang dilihat berdasarkan tanggal pasien mulai ARV.
Nominal: 1. Pedoman CD4 ≤350 saat mulai ARV 2. Pedoman CD4 ≤200 saat mulai ARV
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Pedoman CD4 ≤350 saat mulai ARV = 0 b. Pedoman CD4 ≤200 saat mulai ARV = 1 c. Missing = 9 (Kementerian Kesehatan RI, 2011b)
Entry point
Tempat layanan yang mengirim pasien ke layanan terapi ARV yang tercatat dalam rekam medis.
Nominal: 1. KIA 2. Datang sendiri 3. LSM 4. Jangkauan 5. Praktik swasta 6. Rawat jalan 7. Rujukan 8. Rawat inap
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Datang sendiri = 0 b. LSM/ Jangkauan = 1 c. Praktik swasta = 2 d. Rawat jalan = 3 e. Rujukan = 4 f. Rawat inap = 5 (Kementerian Kesehatan RI, 2011c)
Jenis tempat layanan ARV
Jenis tempat Nominal layanan yang 1. Rumah dimanfaatkan sakit utama sebagai terapi 2. Satelit ARV oleh pasien, dilihat berdasarkan rumah sakit utama dan satelit.
Formulir pengumpulan data
Kategorikal: a. Rumah sakit utama = 0 b. Satelit = 1 c. Missing = 9 (Okonkwo et al., 2014)
Definisi Skala Alat Catatan tentang Operasional Pengukuran Ukur Rencana Analisis Variabel dependen Event Periode waktu Nominal Formulir Nominal pasien meninggal berdasarkan pengumyang tercatat di tanggal pasien pulan rekam medis. meninggal data Sebagai start point adalah tanggal pertama pasien memulai terapi ARV dan end point adalah tanggal pasien meninggal. Sebagai sensor adalah pasien yang loss to follow up, rujuk keluar, dan pasien yang masih hidup hingga akhir pengamatan. *Missing merupakan data pasien yang tidak lengkap dalam catatan rekam medis Variabel
4.5 Instrumen penelitian Instrumen yang digunakan adalah formulir pengumpulan data yang berisi variabel-variabel yang diteliti dan merupakan instrumen yang sudah diuji coba untuk mengumpulkan data rekam medis yang dibutuhkan. Pada instrumen pengumpulan data
masing-masing
pasien diberi kode
sehingga
tidak
mencantumkan nama pasien. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan pasien. 4.6 Prosedur pengumpulan data 4.6.1 Jenis data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan yaitu data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV di klinik VCT RSUD Badung Bali periode tahun 2006-2014. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan
kebutuhan penelitian yaitu data usia, jenis kelamin, berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, rejimen ARV (golongan NRTI dan NNRTI), status rawat, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, pendamping minum obat, kepatuhan, entry point, jenis tempat layanan ARV, kebijakan pedoman ARV, kondisi klinis pada akhir pengamatan, serta tanggal mulai terapi, tanggal kunjungan terakhir, dan tanggal meninggal pasien. 4.6.2 Cara pengumpulan data Data yang dikumpulkan berasal dari rekam medis tiap pasien yang kemudian dilakukan ekstraksi ke dalam formulir pengumpulan data. Data hardcopy dalam bentuk formulir pengumpulan data tersebut selanjutnya dilakukan input data ke dalam bentuk microsoft excel untuk kemudahan analisis. Untuk menjaga kerahasiaan data tersebut, dalam proses ekstraksi data tidak mencantumkan nama pasien HIV/AIDS dan digantikan dengan nomer register nasional pasien. Data akan disimpan dalam file yang bersifat rahasia yang hanya bisa diakses oleh peneliti dan pihak lain yang relevan dengan penelitian ini. 4.6.3 Pengolahan data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah berikut ini. a. Editing Proses editing dilakukan dengan memeriksa kelengkapan data terhadap data yang sudah terkumpul, memeriksa kesinambungan data, dan keseragaman data. Apabila ditemukan data yang kurang jelas atau kurang lengkap, maka akan dilihat kembali rekam medis.
b. Cleaning Cleaning data dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap data yang telah dimasukkan ke komputer untuk dilakukan pembersihan data dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. c. Coding Variabel yang sudah terkumpul pada saat pengumpulan data selanjutnya dikategorikan dan diberikan skor untuk memudahkan dalam analisis. d. Entering Dilakukan dengan memasukkan data yang telah dikategorikan dalam Microsoft Excel ke dalam format STATA versi 12.0. e. Tabulating Hasil analisis data dengan STATA versi 12.0 disajikan dalam bentuk tabel untuk kemudian diinterpretasikan secara deskriptif. 4.7 Teknik analisis data 4.7.1 Analisis univariat Karakteristik sosiodemografi, klinis (awal dan akhir pengamatan), dan karakteristik pelayanan ARV dapat diketahui dengan melakukan analisis data secara deksriptif pada variabel usia, jenis kelamin, berat badan, jumlah CD4, kadar hemoglobin, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI, status rawat, kepatuhan minum obat, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, pendamping minum obat, entry point, jenis tempat layanan ARV, dan kebijakan pedoman ARV sehingga menghasilkan distribusi frekuensi, persentase, median, dan interquartil range (IQR).
Selain itu, analisis univariat juga dilakukan dengan analisis survival untuk mengetahui median time dan incidence rate terjadinya kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV dengan menggunakan analisis KaplanMeier. Data missing akan menjadi sensor dalam analisis survival ini. 4.7.2 Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox proportional hazard model untuk melihat kemaknaan tiap variabel independen terhadap terjadinya kematian sebelum dimasukkan dalam model analisis multivariat. Variabel yang dilakukan dengan analisis ini adalah variabel pada awal terapi ARV meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, jumlah CD4, kadar hemoglobin, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, pendamping minum obat, tipe layanan ARV, dan kebijakan ARV. Pada analisis ini diperoleh crude hazard ratio (HR) dan p value dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai HR digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap terjadinya kematian. Bila HR >1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti meningkatkan risiko kematian, bila HR <1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti menurunkan risiko terjadinya kematian, dan bila HR = 1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tidak berhubungan terhadap terjadinya kematian. Nilai p digunakan untuk melihat kemaknaan variabel independen terhadap terjadinya kematian. Nilai p untuk variabel dengan lebih dari 2 kategori diperoleh dengan melakukan test parm untuk skala nominal dan test trend untuk skala ordinal. Pada saat analisis untuk memperoleh p value, data pasien yang missing
dikeluarkan dari model analisis sehingga data missing tidak mempengaruhi hasil analisis. Analisis dikatakan signifikan bila p value <0,05. 4.7.3 Analisis multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk melihat variabel yang secara independen berhubungan terhadap kejadian kematian melalui analisis cox regresi. Pada analisis ini, peneliti menentukan batas nilai p yang dimasukkan dalam analisis multivariat yaitu <0,25. Variabel dengan p value <0,25 dianalisis secara bersama-sama kedalam satu model cox regression dengan menggunakan metode backward. Metode backward dilakukan dengan mengeluarkan satu persatu variabel yang tidak signifikan di tiap model analisis. Nilai p untuk variabel dengan kategori lebih dari dua diperoleh melalui test parm untuk variabel skala nominal dan test trend untuk variabel skala ordinal. Setelah model akhir variabel yang signifikan telah diperoleh, variabel yang telah dikeluarkan dimasukkan kembali dalam model analisis untuk menguji kembali tingkat signifikansinya. Variabel yang signifikan adalah variabel yang mempunyai pvalue <0,05 setelah melalui tahapan analisis di tiap model. Pada model akhir ini diperoleh adjusted hazard rasio yang digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap kejadian kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV setelah dilakukan pengontrolan pada variabel lainnya.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik pasien Jumlah pasien yang tercatat menerima terapi ARV di Klinik VCT RSUD Badung mulai tahun 2006 hingga Juli 2014 sebanyak 671 pasien. Berdasarkan jumlah tersebut, terdapat 83 pasien hanya mengunjungi klinik sebanyak satu kali, dua pasien usia <15 tahun, dan 11 pasien wanita hamil sehingga dilakukan eksklusi pada ketiga kelompok ini. Didapatkan total pasien yang memenuhi kriteria eligibilitas sebagai sampel penelitian sejumlah 575 pasien dengan status akhir meliputi 13,2% pasien mengalami kematian, 15,3% loss to follow up (LTFU), 4,7% rujuk keluar, dan 66,8% pasien masih melakukan terapi (Gambar 5.1). Pasien HIV/AIDS mulai terapi ARV 1 Januari 2006 – 31 Juli 2014 : 671 pasien
Jumlah observasi = 575 (85,69%) pasien 1. Mati = 76 (13,2%) 2. LTFU = 88 (15,3%) 3. Rujuk keluar = 27 (4,7%) 4. Masih dalam terapi ARV= 384 (66,8%) 5.
96 (14,3%) data eksklusi 1. 83 (12,4%) pasien melakukan kunjungan 1 kali 2. 2 (0,3%) pasien usia <15 tahun 3. 11 (1,6%) wanita hamil
Gambar 5.1 Skema seleksi sampel penelitian
Berdasarkan 575 pasien yang diamati dari rekam medis, diketahui bahwa jumlah pasien yang memulai terapi ARV di RSUD Badung terus mengalami peningkatan tiap tahun dengan jumlah layanan ARV tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu 181 (31,48%) pasien dan tahun 2014 sebanyak 144 (25,04%) pasien seperti yang tersaji pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Jumlah pasien memulai terapi antiretroviral per tahun
Karakteristik pasien pada penelitian ini diuraikan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan ARV. Karakteristik sosiodemografi dan layanan ARV diambil berdasarkan data awal pasien memulai terapi yang disajikan dengan membandingkan pasien yang mati dan hidup, sedangkan karakteristik klinis diambil dari data awal pasien memulai terapi dan data akhir pengamatan.
Perbandingan karakteristik sosiodemografi dan layanan ARV secara lengkap disajikan pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1 Karakteristik pasien terapi ARV berdasarkan sosiodemografi dan layanan ARV Karakteristik
Mati n (%)
Hidup n (%)
Total n (%)
Sosiodemografi Usia* (n = 575) Median (IQR) 33,5 (28,5-41,5) 30 (25-37) 31 (26-38) Jenis kelamin (n = 575) Perempuan 10 (13,2) 100 (20,0) 110 (19,1) Laki-laki 66 (86,8) 399 (80,0) 465 (80,9) Faktor risiko penularan (n = 569) Homoseksual 5 ( 6,6) 227 (46,1) 232 (40,8) Heteroseksual 67 ( 88,2) 255 (51,7) 322 (56,6) Penasun 4 (5,2) 11 (2,2) 15 (2,6) Status pernikahan (n = 507) Menikah 14 (50,0) 151 (31,5) 165 (32,5) Belum menikah/ bercerai 14 (50,0) 328 (68,5) 342 (67,5) Pendidikan (n = 575) Pendidikan tinggi 49 (64,5) 441 (88,4) 490 (85,2) Pendidikan rendah 27 (35,5) 58 (11,6) 85 (14,8) Status pekerjaan (n = 575) Bekerja 53 (69,7) 367 (73,5) 420 (73,0) Tidak bekerja 23 (30,3) 132 (26,5) 155 (27,0) Pendamping minum obat (n = 575) Ada 28 (36,8) 213 (42,7) 241 (41,9) Tidak ada 48 (63,2) 286 (57,3) 334 (58,1) Layanan ARV Kebijakan pedoman ARV (n =575) Pedoman CD4 ≤350 25 (32,9) 388 (77,8) 413 (71,8) Pedoman CD4 ≤200 51 (67,1) 111 (22,2) 162 (28,2) Entry point (n = 575) Datang sendiri 7 (9,2) 60 (12,0) 67 (11,7) LSM/Jangkauan 5 (6,6) 59 (11,8) 64 (11,1) Praktik swasta 39 (51,3) 167 (33,5) 206 (35,8) Rawat jalan 8 (10,5) 75 (15,0) 83 (14,4) Rujukan 12 (15,8) 72 (14,4) 84 (14,6) Rawat inap 5 (6,6) 66 (13,3) 71 (12,4) Jenis tempat layanan (n = 575) Rumah sakit utama 71(93,4) 270 (54,1) 341 (59,3) Satelit 5 (6,6) 229 (45,9) 234 (40,7) *Uji Shapiro-Wilk: tidak berdistribusi normal sehingga menggunakan median
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar pasien yang mati dan hidup memiliki karakteristik sosiodemografi dan layanan ARV yang sama, kecuali untuk kebijakan pedoman ARV bahwa pada pasien yang mati sebagian besar (67,1%) memulai terapi pada saat berlaku pedoman ARV dengan CD4 ≤200 sedangkan sebagian besar (77,8%) pasien yang hidup memulai terapi pada masa berlaku pedoman ARV dengan CD4 ≤350. Secara spesifik, diketahui bahwa pasien yang mengalami kematian pada sampel penelitian ini memiliki median umur 33,5 (IQR: 28,5-41,5) tahun, 86,8% pada laki-laki, sebagian (50%) sudah menikah, dan 88,2% melalui penularan heteroseksual. Kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan pendidikan tinggi (64,5%), bekerja (69,7%), dan tidak memiliki pendamping minum obat (63,2%). Pasien yang mengalami kematian sebagian besar melalui entry point praktik swasta (51,3%) dan berasal dari rumah sakit utama (93,4%). Berkaitan dengan karakteristik klinis pasien, semua variabel klinis disajikan dari data awal pengamatan (saat mulai terapi) dan akhir pengamatan, kecuali untuk variabel kepatuhan dan status rawat inap yang disajikan dalam satu periode pengamatan seperti pada Tabel 5.2. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa pasien yang mengalami kematian secara keseluruhan tidak ada perbedaan kondisi klinis antara awal terapi dan akhir pengamatan. Pada awal memulai terapi, median berat badan pasien yang mengalami kematian adalah 47 (IQR: 44-53) kg dan meningkat menjadi 48 (IQR: 45-53) kg di akhir pengamatan, median hemoglobin 11,6 (IQR: 10-13,6) gr/dl pada awal dan 10,4 (9-13,1) gr/dl di akhir pengamatan, serta memiliki median CD4 yang sama yaitu 18 sel/mm3 pada awal (IQR: 6-62) dan akhir pengamatan (IQR: 6-79). Pasien yang mengalami kematian
baik pada awal terapi maupun pada akhir pengamatan sebagian besar berada pada stadium III dan IV (90,8% pada awal dan 92,1% pada akhir pengamatan), dalam status fungsional ambulatori (51,3% pada awal dan 50% pada akhir pengamatan), memiliki infeksi oportunistik berjenis selain tuberculosis (72,4% pada awal dan 47,4% pada akhir pengamatan) dengan tiga infeksi terbanyak adalah kandidiasis (64,6%), pneumonia pneumocyctis (14%), dan toxoplasmosis (6%). Secara detail, gambaran jenis infeksi oportunistik pada pasien yang memulai terapi ARV dapat dilihat pada Tabel 5 (Lampiran 3.1). Berdasarkan rejimen yang digunakan, pada awal maupun akhir pengamatan sebagian besar pasien menggunakan golongan NRTI jenis AZT (64,5% pada awal dan 39,5% pada akhir pengamatan) dan golongan NNRTI jenis NVP (69,7% pada awal dan 53,9% pada akhir pengamatan). Pada awal terapi, tidak ada pasien yang menggunakan golongan protease inhibitor (PI), sedangkan di akhir pengamatan terdapat 6 orang yang menggunakan golongan PI dan masih hidup. Status rawat inap dan kepatuhan disajikan pada akhir pengamatan yaitu sebagian besar pasien (85,7%) memiliki tingkat kepatuhan baik (kepatuhan >95%) dan hanya sebagian kecil (19,3%) pasien yang memiliki riwayat rawat inap.
Tabel perbandingan karakteristik klinis secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini. Tabel 5.2 Karakteristik klinis pasien berdasarkan event pada awal terapi dan akhir pengamatan Karakteristik
Awal mulai terapi) (n¹) Mati Total n (%) n (%)
Akhir pengamatan (n²) Mati Total n (%) n (%)
Berat badan* (n¹ = 572; n² = 569) Median (IQR) 47 (44-53) 55 (47-61) 48 (45-53) Hemoglobin* (n¹ = 481; n² = 473) 11,6 (10-13,6) 13,7 (12-15,1) 10,4 (9-13,1) Median (IQR) CD4* (n¹ = 565; n² = 557) 18 (6-62) 128 (26-296) 18 (6-79) Median (IQR) Stadium klinis (n¹ = n² = 575) Stadium I &II 7 (9,2) 307 (53,4) 6 (7,9) Stadium III &IV 69 (90,8) 268 (46,6) 70 (92,1) Status fungsional (n¹ = n² = 575) Kerja 14 (18,4) 387 (67,3) 20 (26,3) Ambulatori 39 (51,3) 145 (25,2) 38 (50,0) Baring 23 (30,3) 43 (7,5) 18 (23,7) Infeksi oportunistik (n¹ = n²= 575) Tidak ada 13 (17,1) 306 (53,2) 33 (43,4) IO selain TB 55 (72,4) 230 (40,0) 36 (47,4) TB dan lainnya 8 (10,5) 39 (6,8) 7 (9,2) Golongan NRTI (n¹ = n² = 575) TDF 9 (11,8) 246 (42,8) 25 (32,9) AZT 49 (64,5) 288 (50,1) 30 (39,5) D4T 18 (23,7) 41 (7,1) 21 (27,6) Golongan NNRTI (n¹= 575; n²= 569) EFV 23 (30,3) 284 (49,4) 35 (46,1) 53 (69,7) 291 (50,6) 41 (53,9) NVP 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) Protease Inhibitor (PI) Kepatuhan** (n = 477) Kepatuhan >95% 24 (85,7) Kepatuhan 80-95% 4 (14,3) Kepatuhan <80% 0 (0,0) Status rawat inap** (n = 575) Tidak 66 (86,8) Awal terapi 5 (6,6) Selama terapi 5 (6,6) n¹: sampel awal mulai terapi; n²: sampel akhir pengamatan *Uji Shapiro-Wilk: tidak berdistribusi normal sehingga menggunakan median **disajikan dalam satu periode pengamatan
57 (50-65) 14,2 (12,7-15,4) 279 (110-432)
296 (51,5) 279 (48,5) 490 (85,2) 66 (11,5) 19 (3,3) 474 (82,4) 90 (15,7) 11 (1,9) 330 (57,4) 191 (33,2) 54 (9,4) 354 (62,2) 215 (37,8) 6 (100,0) 446 (93,5) 19 (4,0) 12 (2,5) 464 (80,7) 70 (12,2) 41 (7,1)
Berkaitan dengan keberhasilan terapi, dari Tabel 5.2 di atas diketahui bahwa terdapat peningkatan kondisi klinis pasien secara keseluruhan di akhir pengamatan yaitu pada berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, status fungsional, dan infeksi oportunistik. Terkait stadium klinis pasien, persentase stadium klinis II dan IV di akhir pengamatan nampak mengalami peningkatan, namun jika dilihat berdasarkan perbandingan persentase tiap stadium pada awal terapi dan akhir pengamatan diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase pada stadium klinis I dan III dan penurunan persentase pada stadium klinis II dan IV yang secara detail dapat dilihat pada Tabel 4 (Lampiran 3.1). 5.2 Proporsi, insiden dan median time kematian Pada analisis ini didapatkan proporsi, insiden, dan median time kematian dalam periode pengamatan delapan tahun dengan median time pengamatan 0,73 tahun (IQR: 0,25-1,83). Dalam periode pengamatan tersebut, tercatat sebanyak 76 (13,2%) pasien yang mengalami kematian dengan proporsi spesifik berdasarkan waktu yaitu 46,1% kematian terjadi pada tiga bulan pertama penggunaan ARV, 15,8% pada enam bulan pertama, 11,8% pada tahun pertama, dan mengalami penurunan di tahun berikutnya. Selain itu juga diketahui bahwa proporsi kematian di tiap tahun cenderung mengalami penurunan yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7 (Lampiran 3.2). Incidence rate kematian pasien yang menjalani terapi antiretroviral di RSUD Badung adalah 10,1 per 100 person years (p.y) (95% CI: 8,0-12,6). Secara spesifik diketahui bahwa insiden kematian lebih banyak terjadi pada laki-laki (11,2 per 100 p.y), melalui penularan heteroseksual (11,8 per 100 p.y), dengan tingkat pendidikan rendah (24,2 per 100 p.y), berada pada stadium klinis III dan
IV (15,2 per 100 p.y), serta dengan kondisi fungsional baring (25,2 per 100 p.y). Insiden spesifik di tiap variabel ini disajikan pada Tabel 5.3. Hasil analisis Kaplan-Meier terkait median time kematian disajikan pada Gambar 5.3 dimana survival time yang dapat dianalisis adalah interquartile range (IQR). Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa dari keseluruhan pasien yang diamati, 25% pasien dengan terapi ARV mengalami kematian pada tahun ke 3,48 sedangkan median time kematian pasien sampai akhir pengamatan belum tercapai.
Gambar 5.3 Kaplan-Meier estimasi kematian pada pasien dengan terapi antiretroviral
Berdasarkan analisis lebih lanjut pada pasien yang mengalami kematian, hasil analisis Kaplan-Meier menunjukkan median time pada pasien yang mengalami kematian adalah 0,28 tahun (IQR: 0,07-1,09) seperti yang disajikan pada gambar 5.4. Hal ini berarti bahwa setengahnya kematian tersebut terjadi pada quarter pertama (0,28 tahun).
Gambar 5.4 Kaplan-Meier median time kematian pada pasien yang mengalami kematian
Analisis lebih lanjut juga dilakukan berdasarkan kebijakan pedoman ARV yang berlaku, didapatkan bahwa masa ketika berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤350 memiliki insiden rate kematian (7,8 per 100 p.y) yang lebih rendah dibandingkan pada saat berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤200 (11,7 per 100 p.y). Median time kematian pada kedua kelompok tidak tercapai, namun saat berlaku kebijakan CD4 ≤200 didapatkan 25% kematian terjadi pada 2,5 tahun sedangkan survival time pada saat berlaku kebijakan CD4 ≤350 belum tercapai. Hal ini juga didukung laporan insiden kematian berdasarkan tahun yang cenderung mengalami penurunan, secara detail dapat dilihat pada Tabel 8 (Lampiran 3.2).
Gambar 5.5 Kaplan-Meier median time kematian berdasarkan kebijakan pedoman ARV
5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) Analisis bivariat dilakukan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan ARV pada awal mulai terapi. Berdasarkan hasil analisis bivariat cox proportional hazard regression pada Tabel 5.3, diketahui bahwa variabel yang secara independen mampu memprediksi kejadian kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV yaitu karakteristik sosiodemografi meliputi usia, faktor risiko penularan, pendidikan, dan pendamping minum obat; karakteristik layanan ARV meliputi tipe layanan ARV dan kebijakan pedoman ARV; serta karakteristik klinis pada berat badan, hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, dan golongan NRTI.
Tabel 5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral Variabel Usia*
Rate kematian per 100 p.y (95% CI) -
Analisis bivariat Unadjusted HR (95% CI) p value 1,04 (1,02-1,06) 0,001
Jenis kelamin Perempuan 6,1 (3,3-11,3) 1,00 11,2 (8,7-14,2) 1,69 (0,87-3,28) Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual 3,3 (1,4-8,0) 1,00 Heteroseksual 11,8 (9,3-15,1) 6,51 (2,60-16,32) 10,7 (4,0-28,6) 7,15 (1,90-27,00) Penasun Status pernikahan Menikah 3,8 (2,3-6,5) 1,00 0,89 (0,41-1,94) Belum menikah/ bercerai 4,1 (2,4-6,9) Pendidikan Pendidikan tinggi 7,6 (5,7-10,1) 1,00 24,2 (16,6-35,2) 3,36 (2,09-5,38) Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja 12,1 (9,3-15,9) 1,00 7,2 (4,8-10,9) 0,73 (0,44-1,21) Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada 5,8 (4,0-8,4) 1,00 17,6 (13,3-23,4) 2,24 (1,37-3,67) Tidak Tipe layanan ARV RS utama 11,8 (9,3-14,8) 1,00 3,3 (1,4-7,9) 0,15 (0,06-0,38) Satelit Kebijakan ARV Pedoman CD4 ≤350 7,8 (5,3-11,5) 1,00 11,7 (8,9-15,4) 3,10 (1,85-5,19) Pedoman CD4 ≤200 0,94 (0,91-0,96) Berat badan* 0,82 (0,71-0,96) Haemoglobin* 0,99 (0,99-0,10) CD4* Stadium klinis Stadium I&II 2,3 (1,1-4,9) 1,00 15,2 (11,9-19,2) 9,10 (4,16-19,92) Stadium III&IV Status fungsional Kerja 3,7 (2,2-6,2) 1,00 Ambulatori 13,9 (10,2-19,0) 5,75 (3,09-10,65) 25,2 (16,7-37,9) 12,12 (6,12-23,98) Baring Infeksi Oportunistik Tidak ada 5,3 (3,1-9,1) 1,00 IO selain TB 12,4 (9,5-16,1) 3,82 (2,05-7,09) 12,6 (6,3-25,2) 3,58 (1,47-8,69) TB dan lainnya Golongan NRTI TDF 6,8 (3,5-13,0) 1,00 AZT 9,3 (6,9-12,2) 2,88 (1,39-5,96) D4T 19,3 (12,2-30,7) 6,73 (2,93-15,47) Golongan NNRTI EFV 10,3 (6,8-15,5) 1,00 NVP 9,9 (7,6-13,0) 1,47(0,89-2,43) *data kontinyu sehingga tidak menampilkan rate kematian
p grup 0,001 0,124
0,124 <0,001 <0,001 0,004 0,763 0,763 <0,001 <0,001 0,225 0,225 0,001 0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,011 <0,001
<0,001 0,011 <0,001 <0,001
<0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,005 <0,001 0,004 <0,001 0,133 0,133
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.3 di atas diperoleh bahwa setiap bertambahnya satu tahun usia pasien maka kematian meningkat 1,04 kali (HR = 1,04; 95% CI: 1,02-1,06). Faktor risiko penularan juga sebagai prediktor kematian bahwa pasien dengan penularan heteroseksual dan melalui jarum suntik lebih mungkin untuk mengalami kematian dibandingkan dengan pasien homoseksual dengan HR 6,51 (2,60-16,32) dan HR 7,15 (1,90-27,00) untuk masing-masing kategori. Pasien dengan pendidikan rendah (SD atau tidak sekolah) memiliki risiko 3,36 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi (HR = 3,36; 95% CI: 2,09-5,38). Selain itu, pasien yang tidak memiliki pendamping minum obat memiliki risiko dua kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan yang mempunyai pendamping minum obat (HR = 2,24; 95% CI: 1,37-3,67), dan pasien yang berasal dari klinik BMC (satelit) justru sebagai protektif terhadap kematian dibandingkan yang berasal dari RSUD Badung (rumah sakit utama) (HR = 0,15; 95% CI: 0,06-0,38). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi pada saat berlaku kebijakan CD4 ≤200 memiliki risiko tiga kali lebih besar dibandingkan mereka yang memulai terapi pada kebijakan CD4 ≤350 (HR = 3,10; 95% CI: 1,85-5,19). Hal ini seiring dengan variabel CD4 bahwa setiap peningkatan 10 cell/mm3 CD4 menurunkan kematian sebesar 10% (HR = 0,99; 95% CI: 0,99-0,10). Selain itu, berat badan (HR = 0,94; 95% CI: 0,91-0,96) dan kadar haemoglobin (HR = 0,82; 95% CI: 0,71-0,96) juga sebagai protektif terhadap kematian, bahwa setiap peningkatan satu kilogram berat badan maka menurunkan risiko kematian sebesar 6% dan setiap peningkatan satu gr/dl kadar
hemoglobin akan menurunkan risiko kematian sebesar 18%. Karakteristik klinis juga ditentukan berdasarkan stadium dan status fungsional pasien yaitu pasien pada stadium III dan IV memiliki risiko mencapai sembilan kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan mereka yang berada pada stadium I dan II (HR = 9,10; 95% CI: 4,16-19,92) dan pasien dalam kondisi fungsional baring memiliki risiko terbesar terhadap kematian yang mencapai 12 kali dibandingkan dalam kondisi fungsional kerja (HR = 12,12; 95% CI: 6,12-23,98). Pasien yang memulai terapi disertai dengan infeksi oportunistik berisiko lebih besar terhadap kematian dibandingkan mereka yang tidak, namun risikonya lebih besar pada jenis infeksi oportunistik non tuberculosis (HR = 3,82; 95% CI: 2,05-7,09) dibandingkan infeksi oportunistik tuberculosis (HR = 3,58; 95% CI: 1,47-8,69). Berdasarkan rejimen awal yang digunakan, hanya penggunaan golongan NRTI di awal terapi yang berperan sebagai prediktor terhadap kematian yaitu zidovudine (AZT) memiliki risiko 2,9 kali (HR = 2,88; 95% CI: 1,39-5,96) dan stavudine (D4T) mencapai hampir tujuh kali (HR = 6,73; 95% CI: 2,93-15,47) lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan penggunaan tenofovir (TDF). 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang berhubungan (mampu memprediksi) terhadap kematian setelah menghilangkan efek variabel confounding yaitu dengan menggunakan cox proportional hazard model dengan metode backward. Analisis ini dilakukan pada variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p <0,25. Namun variabel status fungsional, kebijakan, dan tipe layanan tidak diikutkan dalam analisis. Hal ini dikarenakan setelah dilakukan
uji korelasi antar variabel menggunakan Kendall’s rank correlation diketahui bahwa status fungsional memiliki hubungan positif kuat dengan stadium klinis (p value = 0,667) dan tipe layanan memiliki hubungan negatif kuat dengan risiko penularan (p value = -0,949) sehingga untuk menghindari adanya efek multikolinearitas antar variabel maka hanya dipilih salah satu variabel yang dimasukkan dalam analisis multivariat diantara variabel yang memiliki hubungan kuat tersebut. Pertimbangannya adalah stadium klinis lebih menunjukkan indikator kondisi klinis pasien dan risiko penularan lebih mempunyai implikasi terhadap program sehingga kedua variabel ini yang diikutkan dalam analisis. Berkaitan dengan kebijakan pedoman ARV, hasil analisis variabel ini sudah terwakilkan dalam variabel CD4 yang dianalisis berdasarkan skala kontinyu yang menggambarkan keterkaitan nilai CD4 terhadap kematian. Oleh karena itu, variabel yang dimasukkan dalam model analisis multivariat meliputi usia, jenis kelamin, risiko penularan, pendidikan, status pekerjaan, pendamping minum obat, berat badan, hemoglobin, CD4, stadium klinis, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI. Tabel 5.4 menyajikan variabel yang secara statistik berhubungan dengan kematian yang dibentuk dari 10 model analisis multivariat dengan menggunakan metode backward. Tes asumsi analisis cox regression telah dilakukan pada model akhir analisis ini dengan p value 0,205 yang berarti bahwa data ini fit dengan model cox regression.
Tabel 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral Variabel Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Berat badan Pendamping minum obat Ada Tidak
Adjusted Hazard Ratio (95% CI)
p value
p grup 0,001
1,00 3,74 (1,75-8,00)
0,001 0,012
1,00 3,36 (1,08-10,64) 6,22 (1,39-27,89)
0,037 0,017 0,007
1,00 2,03 (1,22-3,38)
0,007 0,003
1,00 4,53 (1,69-12,13) 0,96 (0,93-0,98)
0,003 0,003
1,00 4,50 (2,70-7,49)
<0,001
0,003 <0,001
Berdasarkan independen variabel yang dimasukkan ke dalam model regresi, diketahui bahwa variabel yang terbukti sebagai prediktor terhadap kematian pasien HIV/AIDS yaitu jenis kelamin, risiko penularan, pendidikan, pendamping minum obat, berat badan, dan stadium klinis. Laki-laki dengan HIV/AIDS memiliki risiko terhadap kematian lebih besar hampir empat kali lipat dibandingkan perempuan (HR = 3,74; 95% CI: 1,75-8,00) dan pasien yang memulai terapi dengan faktor risiko penularan heteroseksual dan penasun juga mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan pasien dengan penularan homoseksual (HR = 3,36; 95% CI: 1,08-10,64 dan HR = 6,22; 95% CI: 1,3927,89). Selain itu, pasien dengan pendidikan rendah (SD atau tidak sekolah) memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan pasien dengan pendidikan tinggi (menyelesaikan sekolah menengah atau di atasnya) (HR = 2,03; 95% CI: 1,22-3,38). Berdasarkan kondisi klinisnya, pasien
yang memulai terapi pada stadium III dan IV mempunyai risiko terjadi kematian yang lebih besar hingga 4,5 kali dibandingkan mereka yang memulai terapi pada stadium I dan II (HR = 4,53; 95% CI: 1,69-12,13). Diketahui juga bahwa setiap peningkatan 1 kg berat badan pasien mampu menurunkan kematian sebesar 4% (HR = 0,96; 95% CI: 0,93-0,98). Selain beberapa kondisi di atas, pendamping minum obat (PMO) juga memiliki andil penting dalam menurunkan kematian pasien HIV/AIDS bahwa pasien yang tidak memiliki PMO memiliki risiko 4,5 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan individu yang mempunyai PMO (HR = 4,50; 95% CI: 2,70-7,49).
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Besaran masalah kematian pasien HIV/AIDS Pada delapan tahun periode pengamatan terhadap kohort pasien HIV/AIDS RSUD Badung ditemukan bahwa proporsi kejadian kematian pasien dengan terapi antiretroviral masih besar dengan insiden yang masih tinggi dan risiko terjadinya kematian relatif lebih tinggi pada tiga bulan pertama pengobatan dibandingkan periode berikutnya. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam periode pengamatan tersebut tercatat sebanyak 13,2% pasien mengalami kematian. Jika dibandingkan dengan data nasional, proporsi kematian di RSUD Badung masih di bawah angka nasional yang dilaporkan Kementerian Kesehatan RI yaitu 18,04% kematian dari pasien yang menerima ARV dalam periode 27 tahun (tahun 1987 sampai Juni 2014) (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Akan tetapi jika dibandingkan dengan temuan di beberapa negara lainnya, persentase ini masih menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 11,7% di Nepal yang merupakan negara berpendapatan rendah (Bhatta et al., 2013), 10,3% di Kamerun yang merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah (Bekolo et al., 2013), dan 13% di Cina yang merupakan negara berpendapatan menengah ke atas (Zhu et al., 2013). Kematian dalam penelitian ini adalah kematian yang tercatat dalam rekam medik. Pencatatan status kematian pada rekam medik dilakukan apabila status kematian diketahui secara jelas terutama terkait waktu terjadinya kematian. Namun apabila status kematian tidak diketahui, maka dicatat sebagai loss to follow up. Diketahui bahwa terdapat tujuh pasien yang status awalnya LTFU kemudian diketahui meninggal. Hal ini
memungkinkan bahwa proporsi kejadian kematian dalam penelitian ini underestimate, dimungkinkan terdapat kematian yang statusnya tidak diketahui dari 88 (15,3%) pasien dengan status akhir LTFU. Kondisi yang sama juga ditemukan pada insiden kematian yang masih tinggi. Incidence rate kematian pada penelitian ini didapatkan sebesar 10,1 per 100 p.y (95% CI: 8,0-12,6). Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan insiden kematian di beberapa wilayah Asia lain seperti Cina 6,3 per 100 p.y (Zhu et al., 2013), India 7 per 100 p.y (Alvarez-Uria et al., 2013), dan Nepal 6,3 per 100 p.y (Bhatta et al., 2013). Besarnya incidence rate kematian dalam penelitian ini dimungkinkan karena adanya keterlambatan dalam diagnosa status HIV yang berdampak pada keterlambatan memulai terapi ARV. Kondisi ini bisa dilihat pada nilai median CD4 sampel penelitian yang hanya mencapai 128 cell/mm3 ( CD4 <200 cell/mm3) dan hampir sebagian sampel (46,6%) berada pada stadium klinis lanjut (stadium klinis III dan IV) pada saat memulai terapi ARV. Adanya perbedaan pedoman pemberian ARV yang menggunakan batas CD4 sebagai acuan juga merupakan salah satu penentu perbedaan status mortalitas. Sebelum tahun 2012, Indonesia masih menggunakan pedoman terapi ARV dengan CD4 ≤200 yang kemudian di awal tahun 2012 baru menerapkan pedoman ARV pada CD4 ≤350. Hal ini berbeda kondisi dengan negara lain yang telah lebih awal memulai terapi ARV dengan CD4 ≤350 cell/mm3. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut berdasarkan periode berlakunya pedoman ARV tersebut, diketahui bahwa masa ketika berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤350 memiliki insiden rate kematian (7,8 per 100 p.y) yang lebih rendah dibandingkan pada saat berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤200 (11,7 per 100 p.y). Selain itu,
diketahui juga bahwa insiden kematian di tiap tahunnya, baik sebelum tahun 2011 atau setelahnya cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum telah ada perbaikan infrastruktur berkaitan dengan meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat yaitu orang cenderung segera datang ke layanan kesehatan ketika ada kecurigaan sakit. Penurunan insiden kematian ini didukung percepatannya melalui perubahan kebijakan terkait batas nilai CD4 pada awal terapi (awalnya CD4 diberikan ≤200 sel/mm3 menjadi ≤350 sel/mm3) berperan dalam penurunan kematian, namun efeknya belum bisa diamati secara jelas karena ada perbedaan waktu pengamatan. Temuan lain menunjukkan bahwa perbedaan kejadian incidence rate kematian di masing-masing negara juga ditentukan oleh adanya perbedaan tingkat kepatuhan minum obat, karakteristik pasien, dan kualitas pelayanan (Mageda et al., 2012; Sieleunou et al., 2009). Kondisi proporsi dan insiden kematian yang masih tinggi ini mengindikasikan masih perlu adanya peningkatan cakupan inisisasi dini terapi ARV untuk meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Indonesia khususnya Bali. Berkaitan dengan waktu terjadinya kematian, median time secara keseluruhan dalam penelitian ini tidak tercapai hingga akhir pengamatan namun median time diantara pasien yang mengalami kematian ditemukan terjadi pada quarter pertama. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam delapan tahun pengamatan, terdapat 25% sampel yang menjalani terapi ARV hanya sampai pada 3,5 tahun yang kemudian mengalami kematian. Belum tercapainya median time kematian pada penelitian ini dimungkinkan karena waktu pengamatan yang pendek pada 56,5% sampel yang memulai terapi pada tahun 2013 dan 2014 sehingga dalam hal ini membutuhkan waktu pengamatan yang lebih panjang atau meningkatkan
jumlah sampel penelitian sehingga bisa mencapai median time tersebut. Akan tetapi diantara pasien yang mengalami kematian, diketahui bahwa median time terjadi pada 0,28 tahun yang berarti setengahnya kematian tersebut terjadi pada quarter pertama. Kondisi median time kematian di 0,28 tahun ini lebih cepat bila dibandingkan temuan di beberapa negara lain yaitu 0,52 tahun di India (AlvarezUria et al., 2013) dan 1,8 tahun di Eropa dan Amerika Utara (May, 2010). Di sisi lain juga diketahui bahwa kematian yang lebih tinggi terjadi pada tiga bulan pertama pemakaian ARV yaitu 46,1%, menurun menjadi 15,8% di enam bulan pertama, dan terus mengalami penurunan di tahun berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa angka kematian pasien HIV/AIDS lebih tinggi terjadi pada tiga bulan pertama dibandingkan di enam bulan pertama dan di tahun berikutnya pengobatan yang dikaitkan dengan toksisitas obat (Alvarez-Uria et al., 2013; Grinsztejn et al., 2009; Tadesse et al., 2014). Kondisi kematian yang relatif lebih
tinggi pada tiga bulan pertama
pengobatan jika dibandingkan enam bulan pertama dan periode tahun berikutnya, serta lebih cepat dibandingkan median kematian di India, Eropa, dan Amerika menunjukkan bahwa tiga bulan pertama pengobatan ARV merupakan masa kritis sehingga diperlukan pemantauan yang lebih intensif pada periode ini. 6.2 Faktor yang berperan dalam memprediksi kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral di Bali Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin, stadium klinis, berat badan, faktor risiko penularan, pendidikan, dan pendamping minum obat di awal terapi mampu memprediksi kematian pasien HIV/AIDS. Penjelasan detail dari masing-masing risiko akan dibahas berikut ini.
Laki-laki dengan HIV/AIDS diketahui memiliki peluang 3,7 kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan perempuan. Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di Nepal (Bhatta et al., 2013), Iran (Badie et al., 2013), dan Ethiopia (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013) juga mengemukakan hal yang sama terkait risiko kematian yang lebih besar pada laki-laki, walaupun beberapa studi lain juga menemukan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan terhadap kematian (Alemu & Sebastián, 2010; Odafe et al., 2012). Pada beberapa penelitian, hal ini dikaitkan dengan adanya perbedaan perilaku pencarian kesehatan bahwa laki-laki cenderung lebih sedikit untuk memeriksakan kesehatannya (Makwiza et al., 2009; NHS Health Scotland, 2014). Hal tersebut bertentangan dengan kondisi budaya di Asia bahwa terdapat kecenderungan perempuan yang justru sebagai pihak termarginalisasi dibandingkan laki-laki yang memungkinkan akses perempuan terhadap layanan kesehatan lebih rendah. Akan tetapi risiko kematian pada laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan yang berkaitan dengan kondisi laki-laki memulai terapi pada stadium lanjut, dikarenakan pada penelitian ini pasien perempuan yang ditemukan melalui penularan heteroseksual dimungkinkan adalah penularan dari suami (pasangan odha) sehingga perempuan tersebut terdeteksi lebih dini ketika diketahui status HIV pada pasangannya. Adanya keterlambatan diagnosa pada laki-laki dikarenakan adanya stigma di masyarakat terkait penyakit infeksi HIV yang menyebabkan pasien tersebut menunda-nunda untuk datang ke klinik VCT. Hal ini didasari bahwa setting heteroseksual penelitian ini adalah heteroseksual pada populasi umum. Diketahui bahwa pada perempuan yang mendapatkan terapi, sebagian besar (98,18%) memiliki faktor risiko penularan melalui heteroseksual
dan sisanya (1,82%) melalui IDU. Diantara perempuan heteroseksual, terdeteksi 9 (8,3%) pasien merupakan pasangan odha yang sebagian besar (66,7%) memulai terapi pada stadium I dan II. Pada laki-laki heteroseksual, sebagian besar (83,18%) memulai terapi pada stadium III dan IV (Tabel 10; Lampiran 3.3). Stadium klinis menunjukkan indikator yang baik dalam prognosis kesehatan pasien HIV/AIDS. Pasien yang memulai terapi pada stadium III dan IV mempunyai risiko terjadi kematian yang lebih besar hingga 4,5 kali dibandingkan mereka yang memulai terapi pada stadium I dan II. Temuan ini didukung beberapa penelitian lain yang telah dilakukan di Nepal (Bhatta et al., 2013), Kamerun (Bekolo et al., 2013), Ethiopia (Biadgilign et al., 2012; Wubshet et al., 2013), Tanzania (Mageda et al., 2012), dan Nigeria (Biadgilign et al., 2012), walaupun terdapat juga penelitian yang menemukan tidak adanya keterkaitan (Wubshet et al., 2012). Pasien yang berada pada stadium II akhir dan awal stadium III meningkatkan terjadinya sindrom wasting yang berpotensi mendorong ke status imunokompromise yang mengancam jiwa penderita (Nasronudin, 2007). Hal ini bisa ditunjukkan bahwa dari 268 (46,6%) pasien yang memulai terapi di stadium III dan IV, sebagian besar (90,8%) mengalami kematian. Jumlah CD4 merupakan salah satu indikator penting lain yang mampu menunjukkan kondisi klinis pasien tanpa harus disertai keberadaan manifestasi klinis. Hasil analisis multivariat penelitian ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan jumlah CD4 terhadap kematian. Hal ini dikarenakan jumlah CD4 berkaitan dengan stadium klinis saat mulai ARV yaitu apabila stadium klinis dan jumlah CD4 pada saat mulai terapi keduanya dimasukkan dalam model maka CD4 menjadi tidak signifikan. Namun apabila stadium klinis dikeluarkan dari
model, didapatkan jumlah CD4 menjadi signifikan dengan nilai adjusted hazard ratio 5,38 (95% CI: 2,08-1,94) yang berarti bahwa pasien dengan CD4 <200 sel/mm3 memiliki risiko 5,38 kali terhadap kematian dibandingkan pasien dengan CD4 ≥200 sel/mm3 (Tabel 24; Lampiran 3.5). Sedangkan apabila CD4 dikeluarkan dari model, maka didapatkan stadium klinis bermakna terhadap kematian (Tabel 25; Lampiran 3.5). Hal ini dikarenakan jumlah CD4 dan stadium klinis keduanya mencerminkan hal yang sama yaitu fase perjalanan penyakit pada saat memulai ARV. Diketahui bahwa 93,80% pasien pada stadium III dan IV memiliki jumlah CD4 <200 sel/mm3 dan kematian terjadi pada median CD4 18 sel/mm3. Kondisi klinis tubuh yang berkaitan dengan stadium juga dikaitkan dengan status fungsional pasien yang mempunyai hubungan positif terhadap stadium. Hal ini bisa ditunjukkan bahwa dari 77,5% pasien stadium awal (stadium I dan II) merupakan pasien dengan status fungsional kerja dan 97,67% pasien stadium lanjut (stadium III dan IV) merupakan pasien dengan status fungsional baring. Jika dikaitkan terhadap kematian, terdapat 81,6% kematian yang terjadi pada kondisi fungsional ambulatori dan baring. Berdasarkan kondisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kematian sangat dipengaruhi oleh kondisi klinis pasien yang jelek di awal terapi yang bisa ditunjukkan dari stadium klinis, jumlah CD4, dan status fungsionalnya. Kondisi klinis yang jelek juga ditemukan pada mereka yang memiliki riwayat pendidikan rendah (Biadgilign et al., 2012), diketahui bahwa 71,76% pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah berada pada stadium lanjut (stadium III dan IV). Pasien dengan tingkat pendidikan rendah (SD atau tidak
sekolah) berisiko dua kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang sama juga ditemukan pada penelitian di Ethiopia (Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014), sedangkan penelitian di Nigeria (Okonkwo et al., 2014) dan Nepal (Bhatta et al., 2013) tidak menemukan adanya hubungan antar keduanya. Adanya hubungan tingkat pendidikan terhadap kematian juga dikaitkan dengan adanya perbedaan penerimaan informasi yang mengarah pada perbedaan perilaku kesehatan dan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior) (Mubarok, 2011; National Poverty Center, 2007). Besarnya persentase pasien yang terdiagnosa HIV di stadium III dan IV yang salah satunya dipicu karena pendidikan yang rendah mengindikasikan bahwa kesadaran tes HIV pada masyarakat
masih
rendah.
Keterlambatan
diagnosa
berdampak
pada
keterlambatan inisiasi terapi ARV sehingga sulit untuk mencapai perbaikan kondisi klinis secara optimal. Sangatlah penting untuk memperluas dan meningkatkan program konseling dan tes HIV untuk mencapai peningkatan cakupan deteksi dini HIV sehingga bisa mendapatkan pengobatan lebih awal. Penelitian ini juga menemukan bahwa setiap adanya peningkatan 1 kg berat badan pasien mampu menurunkan kematian sebesar 4% (HR = 0,96; 95% CI: 0,93-0,98). Hasil penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama bahwa berat badan yang rendah mempunyai hubungan yang signifikan terhadap meningkatnya kematian (Biadgilign et al., 2012; Mossdorf et al., 2011; Tadesse et al., 2014). Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya keterkaitan kematian dengan kondisi nutrisi tubuh dengan mengunakan ukuran indeks massa tubuh (IMT) (Chen et al., 2008; Jarrett et al., 2013; Paton et al., 2006), namun
pada penelitian ini data tentang tinggi badan pasien tidak tercatat dalam rekam medis sehingga peneliti hanya menggunakan ukuran berat badan untuk menggambarkan status nutrisi pasien. Gangguan asupan nutrisi pada pasien HIV akan mempengaruhi status nutrisinya. Berat badan yang rendah akan sangat mengurangi kemampuan daya tahan tubuh sehingga meningkatkan morbiditas pada stadium yang lebih lanjut dan risiko infeksi lainnya yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan mortalitas (Nasronudin, 2007). Hal ini dapat ditunjukkan dari median berat badan pasien yang mengalami kematian adalah 47 kg lebih rendah dibandingkan median berat badan pasien yang masih hidup (55 kg). Selain itu juga diketahui bahwa pasien dengan berat badan <45 kg berada pada kondisi klinis yang lebih jelek yaitu 89,0% memiliki CD4 <200 sel/mm3, 87,8% berada pada stadium III dan IV, serta 81,1% disertai dengan infeksi oportunistik. Temuan ini mengindikasikan bahwa pemantauan berat badan pasien secara berkelanjutan sangatlah penting yang juga merupakan salah satu indikator yang baik dalam menentukan kondisi klinis pasien. Berkaitan dengan risiko penularan, pasien yang memulai terapi melalui penularan heteroseksual memiliki 3,4 kali lebih besar terjadi kematian dan mereka dengan penularan penggunaan jarum suntik mempunyai risiko yang lebih besar hingga 6,2 kali dibandingkan pasien dengan penularan homoseksual. Risiko kematian yang lebih besar pada penularan heteroseksual dibandingkan homoseksual ini sama dengan hasil penelitian di Cina (Zheng et al., 2014), namun berbanding terbalik dengan temuan di Chicago dan Amerika Serikat yang dikaitkan dengan stigma pada kelompok orientasi seksual minoritas (Barnes et al., 2008; Cochran & Mays, 2011). Pengertian heteroseksual pada penelitian ini
menunjukkan heteroseksual pada masyarakat umum yang cenderung pada pasangan suami istri, bukan heteroseksual pada pekerja seks. Perbedaan risiko kematian antara homoseksual dan heteroseksual pada penelitian ini lebih didasari adanya perbedaan tempat layanan ARV yaitu 99,7% kelompok heteroseksual melakukan terapi ARV di rumah sakit utama (RSUD Badung) dengan kondisi 73,2% pada stadium III dan IV sedangkan 97,8% pasien LSL melakukan terapinya di satelit (BMC) dengan 92,1% pasien masih berada pada stadium I dan II. RSUD Badung merupakan rumah sakit utama pemerintah di Kabupaten Badung yang tergolong dalam pelayanan kesehatan tersier (rumah sakit rujukan) yang memiliki ketersediaan sumber daya kesehatan yang baik dengan sasaran pelayanan pada masyarakat umum, sedangkan BMC adalah klinik swasta berbasis komunitas yang tergolong dalam pelayanan kesehatan primer, lebih bersifat proaktif dengan didukung ketersediaan petugas penjangkau yang memadai serta sasaran pelayanan pada LSL. Perbedaan karakteristik pelayanan inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan kondisi klinis pasien diantara keduanya sehingga pasien yang melakukan pengobatan di BMC terdeteksi dalam kondisi klinis yang lebih baik dibandingkan pasien di RSUD Badung. Temuan ini sekaligus melengkapi hasil penelitian Okonkwo dkk. di Nigeria (Okonkwo et al., 2014) bahwa peran tempat layanan terhadap penurunan kematian tidak hanya terletak pada ketersediaan sumber daya yang lebih baik, namun adanya dukungan program penjangkauan terbukti efektif dalam keberhasilan deteksi dini HIV sehingga bisa mencapai keberhasilan pengobatan dan mampu menurunkan kematian.
Berkaitan dengan peningkatan risiko kematian yang tinggi pada penasun, temuan yang sama juga didapatkan pada penelitian di Cina (Zheng et al., 2014) dan Boston (Jarrett et al., 2013) , sedangkan penelitian Miller dkk. di 35 negara tidak menemukan adanya hubungan pada analisis multivariat (Miller et al., 2014). Kondisi yang mempengaruhi penasun memiliki risiko kematian yang lebih besar salah satunya karena penasun memulai pengobatan pada stadium lanjut yaitu 80% penasun memulai terapinya pada stadium III dan IV. Kondisi ini didukung risiko toksisitas obat yang meningkat akibat penggunaan obat melalui jarum suntik (Krentz et al., 2005; Mathers et al., 2013). Hal ini dapat dilihat bahwa penasun memiliki nilai median SGOT 36,5 (IQR: 32-41) unit/ml dan SGPT 38,5 (IQR: 29-41,5) unit/ml yang lebih tinggi di awal terapi jika dibandingkan median pada kelompok homoseksual (SGOT = 21 dan SGPT = 20) maupun heteroseksual (SGOT = 32 dan SGPT = 31), yang berarti bahwa penasun telah memiliki risiko toksisitas obat di awal terapi yang lebih besar. SGOT dan SGPT merupakan tes fungsi hati yang dapat menunjukkan adanya kerusakan atau radang pada jaringan hati, dengan kadar normal SGOT 5-40 unit/ml dan SGPT 535 unit/ml (Departemen Kesehatan RI, 2007). Selain itu, hal ini juga dikaitkan dengan adanya penurunan efektifitas ARV akibat interaksi antara obat ARV dengan penggunaan narkoba suntik (WHO Europe n.d.). Temuan ini menunjukkan bahwa penting untuk dilakukan pemantauan yang lebih intensif khususnya pada penasun dengan HIV/AIDS agar mereka bisa terhindar dari risiko kematian akibat toksisitas obat yang meningkat. Selain beberapa hal di atas, keberadaan pendamping minum obat (PMO) nyatanya juga memberikan pengaruh besar terhadap ketahanan hidup pasien
HIV/AIDS. Pasien yang tidak memiliki PMO memiliki risiko 4,5 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan mereka yang mempunyai PMO. PMO merupakan orang terdekat yang dapat mengingatkan pasien untuk selalu meminum obat ARV sehingga peran ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat. Penelitian di Ukraina dan hasil systematic review menyebutkan bahwa adanya pendamping minum obat merupakan salah satu metode efektif dalam meningkatkan kepatuhan minum ARV (Chaiyachati et al., 2014; Mimiaga et al., 2010). Hal ini juga didukung hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian selama pemakaian ARV (Stringer et al., 2006). Hal tersebut bisa ditunjukkan dalam kondisi penelitian ini bahwa sebagian besar (83,3%) pasien dengan kepatuhan buruk (kepatuhan <80%) adalah mereka yang tidak memiliki PMO dan 63,2% kematian terjadi pada pasien yang tidak memiliki PMO. Temuan ini mempunyai implikasi penting bahwa keberadaan PMO sebagai bagian dari program ARV sangatlah penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi sehingga mampu meningkatkan keberhasilan pengobatan. 6.3 Faktor yang tidak terbukti berperan dengan kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral Pada penelitian ini variabel yang tidak terbukti mempunyai hubungan signifikan secara statistik terhadap kematian meliputi usia, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI, status pekerjaan, serta status pernikahan. Usia adalah salah satu faktor penting dalam laju progresivitas infeksi HIV (Nasronudin, 2007), namun tidak terbukti pada penelitian ini walaupun dalam analisis bivariat menemukan adanya hubungan signifikan antara
peningkatan usia pasien terhadap peningkatan kematian. Tidak adanya hubungan usia dengan kematian ini juga didapatkan pada temuan penelitian di India (Alvarez-Uria et al., 2013) dan Ethiopia (Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014), namun bertentangan dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan hasil signifikan (Bekolo et al., 2013; Jarrett et al., 2013; Miller et al., 2014; Zheng et al., 2014). Tidak adanya hubungan usia dan kematian pada penelitian ini dapat dikaitkan dengan kondisi bahwa sebagian besar (80%) sampel penelitian ini didominasi usia dewasa muda (usia <40 tahun), dengan perbedaan median umur yang tidak terlalu jauh antara pasien yang mengalami kematian (33 tahun) dan pasien yang masih hidup (30 tahun). Sehingga dalam kondisi klinis yang sama, usia di awal pengamatan kurang dapat memprediksi besarnya risiko kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV. Hal yang sama juga terjadi pada kadar hemoglobin dan infeksi oportunistik (IO) bahwa pada analisis bivariat kedua kondisi klinis tersebut memiliki hubungan terhadap kematian, namun menjadi tidak bermakna pada analisis multivariat. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hemoglobin dan infeksi oportunistik tidak cukup sensitif untuk memprediksi kematian pasien. Infeksi oportunistik (IO) merupakan salah satu variabel yang berperan dalam kematian, diketahui bahwa angka kematian yang tinggi pada pasien HIV tidak hanya berasal dari virus tetapi juga dipengaruhi IO (Centers of diseases control prevention, 2009). Tidak adanya hubungan signifikan antara IO dan kematian pada penelitian ini bukan berarti IO tidak berperan sebagai prediktor, hal ini dikarenakan data IO yang tersedia dalam rekam medis tidak cukup sensitif untuk memprediksi kematian.
Sangatlah
penting
melihat
keterkaitan
kematian
berdasarkan
pengelompokan IO berdasarkan AIDS defining illness (ADI) dan non ADI (Grinsztejn et al., 2009), tetapi pengkategorian tersebut tidak dapat dilakukan pada penelitian ini karena data tidak cukup komplit untuk pengkategorian tersebut. Sebagai contoh adalah jenis IO kandidiasis. Pencatatan di rekam medis, IO jenis kandidiasis tidak dijelaskan secara spesifik, sedangkan dalam pengkategorian ADI dan non-ADI kandidiasis termasuk dalam kedua kategori tersebut yaitu kandidiasis orofaringeal tergolong sebagai Non-ADI dan kandidiasis pada bronkhus, trakea, dan paru tergolong sebagai ADI. Jika pengelompokan tetap dilakukan berdasarkan kategori tersebut ditakutkan menghasilkan kesalahan interpretasi (bias). Berkaitan dengan rejimen yang digunakan, tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan golongan NRTI dan NNRTI pada awal terapi terhadap kematian, temuan yang sama juga didapatkan pada penelitian di Kamerun (Bekolo et al., 2013) dan Etiopia (Wubshet et al., 2012). Walaupun demikian, penting untuk mengetahui kecenderungan risiko kematian pada penggunaan rejimen lini pertama dari golongan NRTI dan NNRTI yang bisa digunakan sebagai acuan dalam terapi ARV. Pada golongan NRTI, didapatkan penggunaan di awal terapi jenis tenofovir (TDF) sebanyak 246 (42,8%) pasien, jenis zidovudine (AZT) sebanyak 288 (50,1%) pasien, dan jenis stavudin (D4T) sebanyak 41 (7,1%) pasien. Diantara penggunaan golongan NRTI, berdasarkan nilai hazard rasio (HR) pada analisis bivariat diketahui bahwa risiko kematian yang lebih besar didapatkan pada penggunaan jenis D4T (HR: 6,73; 95% CI: 2,93-15,47) dan jenis AZT (HR: 2,88; 95% CI: 1,39-5,96) dibandingkan penggunaan jenis TDF. Dilihat berdasarkan insiden, kejadian kematian pada D4T
juga lebih tinggi dibandingkan jenis NRTI lainnya. Akan tetapi, jika dilakukan analisis spesifik berdasarkan jenis obat dan kondisi klinis tidak dijumpai ada perbedaan dalam hal jumlah CD <200 sel/mm3 dan stadium klinis III dan IV pada ketiga jenis obat golongan NRTI. Jika dilihat kondisi klinis berdasarkan kadar hemoglobin, proporsi penggunaan jenis D4T pada kadar hemoglobin ≤10 gr/dl lebih banyak yang mengalami kematian dibandingkan penggunaan obat jenis NRTI lainnya, namun jumlah kasusnya sedikit sehingga tidak konklusif. Berdasarkan kondisi tersebut maka dalam penelitian ini belum dapat disimpulkan apakah penggunaan jenis D4T ini memperburuk toksisitas obat. Pada golongan NNRTI, didapatkan penggunaan di awal terapi jenis efavirenz (EFV) sebanyak 284 (49,4%) pasien dan jenis nevirapine (NVP) sebanyak 291 (50,6%) pasien. Hasil analisis bivariat obat ARV golongan NNRTI tidak menunjukkan adanya keterkaitan sebagai prediktor kematian (p-value: 0,133). Jika dilihat berdasarkan nilai insiden spesifik, insiden kematian lebih besar terjadi pada penggunaan NNRTI jenis EFV (10,3 per 100 PY) dibandingkan NVP (9,9 per 100 PY). Berdasarkan analisis lebih lanjut karakteristik klinis pasien di awal terapi pada penggunaan obat golongan NNRTI, pasien yang mengalami kematian pada penggunaan jenis EFV dan NVP sebagian besar memulai terapi pada stadium lanjut, dengan nilai CD4 <200 sel/mm3, dan pada kadar hemoglobin >10 gr/dl (Tabel 20, 21, & 22; Lampiran 3.4). Berdasarkan perbandingan rejimen berdasarkan tingkat kepatuhan didapatkan bahwa semua jenis dari golongan NRTI dan NNRTI sebagian besar memiliki tingkat kepatuhan baik (kepatuhan >95%), namun hasil ini perlu dilakukan analisa lebih lanjut karena perbandingan tingkat
kepatuhan yang digunakan adalah kepatuhan pasien hanya dalam periode satu bulan di kunjungan terakhir ( Tabel 16; Lampiran 3.4). Penelitian ini juga tidak menemukan adanya hubungan status pekerjaan dan pernikahan di awal terapi terhadap kematian pasien HIV/AIDS seperti yang ditemukan pada penelitian lainnya (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2012; Zheng et al., 2014). 6.4 Keterbatasan penelitian Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis secara retrospektif sehingga kesalahan pencatatan data dapat terjadi. Event dalam penelitian ini adalah pasien yang dinyatakan meninggal dalam data rekam medis, tanpa memperhitungkan kemungkinan adanya kejadian kematian yang tidak tercatat khususnya pada 15,3% pasien yang loss to follow up. Hal ini menyebabkan proporsi kejadian kematian yang lebih kecil dari angka yang sesungguhnya pada penelitian ini. Selain itu, tidak semua variabel yang mempunyai peran penting terhadap kematian tersedia dalam data rekam medis sehingga tidak dapat diteliti, seperti data terkait penyebab kematian, data jenis infeksi oportunistik berdasarkan pengkategorian ADI dan Non ADI, viral load, tekanan darah, jarak tempat tinggal dengan layanan, serta faktor lain yang berkaitan dengan perilaku.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV dapat diprediksi berdasarkan karakteristik pasien di awal terapi yaitu pada pasien laki-laki, melalui penularan heteroseksual dan penasun, memiliki tingkat pendidikan rendah (SD atau tidak sekolah), pada stadium klinis lanjut (stadium III dan IV) dan memiliki berat badan rendah di awal terapi, serta tidak memiliki pendamping minum obat pada awal terapi. Nilai CD4, status fungsional, dan stadium klinis di awal terapi mencerminkan hal yang sama yaitu fase perjalanan penyakit pada saat memulai ARV yang ketiganya sebagai prediktor terhadap kematian. Tipe layanan pada awal terapi dalam setting penelitian ini memiliki hubungan positif dengan risiko penularan seksual. Sedangkan variabel usia, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik, status pernikahan, status pekerjaan, serta rejimen awal terapi tidak terbukti secara statistik sebagai prediktor kejadian kematian. Penyebab kematian spesifik penelitian ini tidak dapat dianalisis, namun diketahui bahwa kematian berkaitan dengan kondisi klinis pasien yang jelek. 7.2 Saran Temuan penelitian ini mempunyai manfaat terhadap keberhasilan pengobatan pasien HIV/AIDS di Indonesia untuk mencapai clinical outcome yang lebih baik yaitu dengan memperluas dan meningkatkan program konseling dan tes HIV untuk mencapai peningkatan deteksi dini HIV melalui kerja sama dengan
LSM, pembentukan organisasi (kelompok/kader) peduli AIDS, pengadaan program penjangkauan di setiap layanan ARV, serta program lain yang menyasar masyarakat luas. Fokus perhatian juga dibutuhkan pada program yang menyasar penasun dengan HIV/AIDS agar terhindar dari risiko toksisitas obat yaitu melalui program penyediaan jarum suntik steril pada kelompok penasun dan pengadaan pedoman tata laksana terapi ARV pada penasun yang lebih menekankan pada pemantauan kondisi klinis dan cek laboratorium yang intensif. Selain itu juga penting untuk melibatkan pendamping minum obat sebagai bagian dari program pengobatan sehingga mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi. Sebagai pendukung keberhasilan pengobatan, perlu ditekankan pada tatalaksana terapi ARV bahwa pemantauan yang lebih intensif diperlukan pada periode awal memulai terapi khususnya pada tiga bulan pertama pengobatan. Usulan terkait pencatatan infeksi oportunistik (IO) secara lebih spesifik pada rekam medis pasien juga diperlukan sehingga bisa diketahui peran pentingnya IO berdasar kategori AIDS defining illness (ADI) dan Non-ADI terhadap kematian yaitu melalui pedoman standar pencatatan yang harus diterapkan pada seluruh layanan ARV sehingga tersedia keseragaman sumber data secara lengkap di setiap layanan. Terkait temuan prediktor kematian pasien HIV/AIDS secara umum, diperlukan adanya perhatian khusus berupa konseling dan pemantauan kondisi klinis secara berkelanjutan terutama apabila terjadi pada pasien laki-laki dengan stadium III dan IV serta tidak mempunyai PMO. Berkaitan dengan penelitian lebih lanjut, diperlukan penelitian dengan desain prospektif atau menggunakan data primer melalui survei sehingga masalah keterbatasan data pada penelitian ini dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA Adimora, A.A. & Schoenbach, V.J. 2005. “Social Context, Sexual Networks, and Racial Disparities in Rates of Sexually Transmitted Infections” (The Journal of infectious diseases). 191 Suppl, pp.S115–22. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15627221 [Accessed December 17, 2014]. AETC National Resource Center. 2014. HIV Classification: CDC and WHO Staging Systems. Available at: http://www.aidsetc.org/guide/hivclassification-cdc-and-who-staging-systems [Accessed December 25, 2014]. Alemu, A.W. & Sebastián, M.S. 2010. "Determinants of Survival in Adult HIV Patients on Antiretroviral Therapy in Oromiyaa, Ethiopia" (Global health action). 3. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2967337&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed March 9, 2015]. Alvarez-Uria, G., Naik, P. K., Pakam, R., & Midde, M. 2013. "Factors Associated with Attrition, Mortality, and Loss to Follow up After Antiretroviral Therapy Initiation: data from an HIV cohort study in India" (Global health action). 6, p.21682. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3773168&tool =pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 27, 2.014]. American Psychological Association. 2014. HIV/AIDS & Socioeconomic Status. Available at: http://www.apa.org/pi/ses/resources/publications/factsheet-hivaids.aspx [Accessed December 18, 2014]. ASEAN. 2011. ASEAN Declaration of Commitment: Getting To Zero New HIV Infection, Zero Discrimination, Zero AIDS-Related Deaths. Available at: http://www.asean.org/archive/documents/19thsummit/ASEAN_Declaration_ of_Commitment.pdf [Accessed December 9, 2014]. Badie, B. M., Nabaei, G., Rasoolinejad, M., Mirzazadeh, A., & McFarland, W. 2013. "Early Loss to Follow-up and Mortality of HIV-Infected Patients Diagnosed After the Era of Antiretroviral Treatment Scale up: a Call for Reinvigorating the Response in Iran" (International journal of STD & AIDS). 24(12), 926–30. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23970628 [Accessed August 28, 2014]. Bali Medica Clinic. 2010. Bali Medika General Medical Practice. Available at: http://www.balimedika.com/index.html [Accessed March 10, 2015].
Barnes, L. L., de Leon, C. F. M., Lewis, T. T., Bienias, J. L., Wilson, R. S., & Evans, D. A. 2008. "Perceived Discrimination and Mortality in a PopulationBased Study of Older Adults" (American journal of public health). 98(7), 1241–7. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2424090&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 4, 2014]. Bekolo, C. E., Webster, J., Batenganya, M., Sume, G. E., & Kollo, B. 2013. "Trends in Mortality and Loss to Follow-up in HIV Care at the Nkongsamba Regional Hospital, Cameroon" (BMC research notes). 6, 512. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3937159&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 19, 2014]. Bhatta, L., Klouman, E., Deuba, K., Shrestha, R., Karki, D. K., Ekstrom, A. M., & Ahmed, L. A. 2013. "Survival on Antiretroviral Treatment among Adult HIV-Infected Patients in Nepal : a Retrospective Cohort Study in FarWestern Region , 2006 – 2011" (BMC Infectious Diseases). Available at: http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2334-13-604.pdf. Biadgilign, S., Reda, A. A., & Digaffe, T. 2012. "Predictors of Mortality among HIV Infected Patients Taking Antiretroviral Treatment in Ethiopia: a Retrospective Cohort Study" (AIDS research and therapy). 9(1), 15. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3403909&tool =pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 28, 2014]. Birbeck, G. L., Kvalsund, M. P., Byers, P. A., Bradbury, R., Mang’ombe, C., Organek, N., … Malama, C. 2011. "Neuropsychiatric and Socioeconomic Status Impact Antiretroviral Adherence and Mortality in Rural Zambia" (The American journal of tropical medicine and hygiene). 85(4), 782–9. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3183792&tool =pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed September 1, 2014].. Bloomfield, G. S., Hogan, J. W., Keter, A., Holland, T. L., Sang, E., Kimaiyo, S., & Velazquez, E. J. 2014. "Blood Pressure Level Impacts Risk of Death among HIV Seropositive Adults in Kenya: a Retrospective Analysis of Electronic Health Records" (BMC infectious diseases). 14, 284. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4046023&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 22, 2014]. Bock, P., Fatti, G., & Grimwood, A. 2013. "Comparing the Effectiveness of Efavirenz and Nevirapine for First-line Antiretroviral Therapy in a South African Multicentre Cohort" (International health). 5(2), 132–8. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24030113 [Accessed November 1, 2014].
Bongaarts, J., Pelletier, F., & Gerland, P. 2009. Global Trends in AIDS Mortality. Available at: http://www.popcouncil.org/uploads/pdfs/wp/pgy/016.pdf [Accessed September 22, 2014]. Brinkhof, M. W. G., Pujades-Rodriguez, M., & Egger, M. 2009. "Mortality of Patients Lost to Follow-up in Antiretroviral Treatment Programmes in Resource-Limited Settings: Systematic Review and Meta-analysis". (S. Emery, Ed.) PloS one, 4(6), e5790. Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0005790 [Accessed September 4, 2014]. Bwire, R., Nagelkerke, N. J. D., & Borgdorff, M. W. 2006. "Finding Patients Eligible for Antiretroviral Therapy Using TB Services As Entry Point for HIV Treatment" (Tropical medicine & international health : TM & IH). 11(10), 1567–75. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17002731 [Accessed December 12, 2014]. Carter, M., & Hughson, G. 2014. HIV & AIDS Information: Viral Load. Available at: http://www.aidsmap.com/Viral-load/page/1044622/ [Accessed November 11, 2014]. Centers of diseases control prevention. 2009. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections Among HIV-Exposed and HIVInfected Children. CDC, 58. Available at: http://www.cdc.gov/mmwr [Accessed June 1, 2014]. Chaiyachati, K. H., Ogbuoji, O., Price, M., Suthar, A. B., Negussie, E. K., & Bärnighausen, T. 2014. "Interventions to Improve Adherence to Antiretroviral Therapy: a Rapid Systematic Review" (AIDS (London, England)). 28 Suppl 2, pp.S187–204. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/journal_articles/13_improve_arv_adherence.pdf [Accessed March 10, 2015]. Chen, S. C.-C., Yu, J. K.-L., Harries, A. D., Bong, C.-N., Kolola-Dzimadzi, R., Tok, T.-S., … Wang, J.-D. 2008. "Increased mortality of male adults with AIDS related to poor compliance to antiretroviral therapy in Malawi" (Tropical medicine & international health : TM & IH). 13(4), pp.513–9. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18282238 [Accessed August 19, 2014]. Cochran, S. D., & Mays, V. M. 2011. "Sexual Orientation and Mortality among US Men Aged 17 to 59 Years: Results from the National Health and Nutrition Examination Survey III" (American journal of public health). 101(6), 1133–8. Available at: http://europepmc.org/articles/PMC3093261/?report=abstract [Accessed December 15, 2014].
Cunningham, W. E., Hays, R. D., Duan, N., Andersen, R., Nakazono, T. T., Bozzette, S. A., & Shapiro, M. F. 2005. "The Effect of Socioeconomic Status on the Survival of People Receiving Care for HIV Infection in the United States" (Journal of health care for the poor and underserved). 16(4), 655–76. Available at: http://muse.jhu.edu/journals/journal_of_health_care_for_the_poor_and_unde rserved/v016/16.4cunningham.html [Accessed December 18, 2014]. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, ed., Jakarta: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Available at: http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_HATI.pdf. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available at: http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf [Accessed September 1, 2014]. Feng, R., Ma, Y., Liu, Z., Zhang, F., Yang, Y., Huang, S., … He, Y. 2013. "Specific Causes of Death Among 381 AIDS Patients Who Died in Hospitals". Zhonghua liu xing bing xue za zhi = Zhonghua liuxingbingxue zazhi, 34(12), 1237–41. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24518028 [Accessed December 23, 2014]. Fox, M., McCarthy, O., & Over, M. 2013. "A Novel Approach to Accounting for Loss to Follow-up When Estimating the Relationship Between CD4 Count at ART Initiation and Mortality". (H. Nishiura, Ed.) PloS one, 8(7), e69300. Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0069300 [Accessed September 15, 2014]. Grant, P., Komarow, L., A, S., Sattler, F., Asmuth, D., Pollard, R., & Zolopa, A. 2014. "Clinical and Immunologic Predictors of Death after an Acute Opportunistic Infection: result from ACTG A5164". Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3767448&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 29, 2014].
Grinsztejn, B., Veloso, V. G., Friedman, R. K., Moreira, R. I., Luz, P. M., Campos, D. P., … Moore, R. D. 2009."Early Mortality and Cause of Deaths in Patients Using HAART in Brazil and the United States". AIDS (London, England), 23(16), 2107–14. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3790467&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 22, 2014]. Gudono. 2014. Analisis Data Multivariat Edisi 3. Yogjakarta: BPFE.
Handayani, R. S., Yuniar, Y., & Mulyani, U. A. 2013. "The Meaning of Antiretroviral for People Living with HIV – AIDS in Bandung , Cimahi , Denpasar , and Badung Districts". 227–235. Available at: http://www.spiritia.or.id. Hoffmann, C. J., Lewis, J. J., Dowdy, D. W., Fielding, K. L., Grant, A. D., Martinson, N. A., … Chaisson, R. E. 2013. "Mortality Associated with Delays Between Clinic Entry and ART Initiation in Resource-Limited Settings: Results of a Transition-State Model" ( Journal of acquired immune deficiency syndromes). (1999), 63(1), 105–11. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3647455&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 18, 2014]. Holtedahl, K., Salpou, D., Braaten, T., & Berved, Z. 2014. "Optimal Starting Point for Antiretroviral HIV Treatment in a Town in Cameroon: a Randomised Controlled Study" (BMC Public Health). 14, 828. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3647455&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 18, 2014]. Ingle, S. M., May, M. T., Gill, M. J., Mugavero, M. J., Lewden, C., Abgrall, S., … Sterne, J. A. C. 2014. "Impact of Risk Factors for Specific Causes of Death in the First and Subsequent Years of Antiretroviral Therapy among HIVInfected Patients" (Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of America). 59(2), 287–97. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4073781&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 22, 2014]. Jerene, D., Endale, A., Hailu, Y., & Lindtjørn, B. 2006. "Predictors of Early Death in a Cohort of Ethiopian Patients Treated with HAART" (BMC infectious diseases). 6, p.136. Available at: http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2334-6-136.pdf [Accessed March 7, 2015]. Jarrett, O. D., Wanke, C. A., Ruthazer, R., Bica, I., Isaac, R., & Knox, T. A. 2013. "Metabolic Syndrome Predicts All-Cause Mortality in Persons with Human Immunodeficiency Virus" (AIDS patient care and STDs). 27(5), 266–71. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3651687&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 22, 2014]. Jouquet, G., Bygrave, H., Kranzer, K., Ford, N., Gadot, L., Lee, J., … Cleary, S. 2011. "Cost and Cost-Effectiveness of Switching From d4T or AZT to a TDF-Based First-Line Regimen in a Resource-Limited Setting in Rural Lesotho". 58(3), 68–74. Available at: http://journals.lww.com/jaids/Abstract/2011/11010/Cost_and_Cost_Effective ness_of_Switching_From_d4T.21.aspx.
Kementerian Kesehatan RI. 2011a. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di Indonesia. Available at: http://www.aidsdatahub.org/sites/default/files/documents/Progress_Report_H IVAIDS_situation_Indonesia_Up_to_June_2011.pdf [Accessed December 10, 2014]. Kementerian Kesehatan RI. 2013a. Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia Tahun 2014, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011b. Pedoman Nasional Tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Available at: http://spiritia.or.id/Dok/pedomanart2011.pdf [Accessed September 15, 2014]. Kementerian Kesehatan RI. 2011c. Petunjuk Pengisian Format Pencatatan dan Pelaporan Pasien HIV/AIDS, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. 2013b. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Indonesia 2013-2017. Available at: http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/12/RAN-PPIA-2013-2017.pdf [Accessed September 22, 2014]. Kposowa, A. J. 2013. "Marital Status and HIV/AIDS Mortality: Evidence from The US National Longitudinal Mortality Study" (International Journal of Infectious Diseases : IJID : Official Publication of the International Society for Infectious Diseases). 17(10), e868–74. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1201971213001094 [Accessed December 17, 2014]. Krentz, H. B., Kliewer, G., & Gill, M. J. 2005. "Changing Mortality Rates and Causes of Death for HIV-Infected Individuals Living in Southern Alberta, Canada from 1984 to 2003" (HIV Medicine). 6(2), 99–106. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15807715 [Accessed November 6, 2014]. Lamb, M. R., El-Sadr, W. M., Geng, E., & Nash, D. 2012. "Association of Adherence Support and Outreach Services with Total Attrition, Loss to Follow-up, and Death among ART Patients in Sub-Saharan Africa" (PloS one). 7(6), e38443. Available at: http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.00 38443#pone-0038443-g001 [Accessed September 15, 2014].
Lima, V. D., Bangsberg, D. R., Harrigan, P. R., Deeks, S. G., Yip, B., Hogg, R. S., & Montaner, J. S. G. 2010. "Risk of Viral Failure Declines with Duration of Suppression on Highly Active Antiretroviral Therapy Irrespective of Adherence Level" (Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes). (1999), 55(4), 460–5. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2974791&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 22, 2014]. Mageda, K., Leyna, G.H. & Mmbaga, E.J.. 2012. "High Initial HIV/AIDS-Related Mortality and Its Predictors among Patients on Antiretroviral Therapy in the Kagera Region of Tanzania: A Five-Year Retrospective Cohort Study" (AIDS research and treatment). 2012, p.843598. Available at: http://www.hindawi.com/journals/art/2012/843598/ [Accessed March 6, 2015]. Makwiza, I., Nyirenda, L., Bongololo, G., Banda, T., Chimzizi, R., & Theobald, S.. 2009. "Who has Access to Counseling and Testing and Anti-retroviral Therapy in Malawi - an Equity Analysis" (International journal for equity in health) 8, p.13. Available at: http://www.equityhealthj.com/content/pdf/1475-9276-8-13.pdf [Accessed March 9, 2015]. Mathers, B. M., Degenhardt, L., Bucello, C., Lemon, J., Wiessing, L., & Hickman, M.. 2013. "Mortality among People Who Inject Drugs: a Systematic Review and Meta-Analysis" (Bulletin of the World Health Organization). 91(2), pp.102–23. Available at: http://www.who.int/bulletin/volumes/91/2/12-108282.pdf [Accessed March 10, 2015]. May, M. 2010. "Causes of Death in HIV-1-Infected Patients Treated with Antiretroviral Therapy, 1996-2006: Collaborative Analysis of 13 HIV Cohort Studies" (Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of America). 50(10), 1387–96. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3157754&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 5, 2014]. Miller, C. J., Baker, J. V, Bormann, A. M., Erlandson, K. M., Huppler Hullsiek, K., Justice, A. C., … Neaton, J. D. 2014. "Adjudicated Morbidity and Mortality Outcomes by Age Among Individuals with HIV Infection on Suppressive Antiretroviral Therapy" (PloS one). 9(4), e95061. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3984283&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 22, 2014].
Mimiaga, M. J., Safren, S. A., Dvoryak, S., Reisner, S. L., Needle, R., & Woody, G.. 2010. "“We Fear the Police, and the Police Fear Us”: Structural and Individual Barriers and Facilitators to HIV Medication Adherence among Injection Drug Users in Kiev, Ukraine" ( AIDS care). 22(11), pp.1305–13. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2952728/pdf/nihms224280.pdf [Accessed March 10, 2015]. Mossdorf, E., Stoeckle, M., Mwaigomole, E. G., Chiweka, E., Kibatala, P. L., Geubbels, E., … Battegay, M. 2011. "Improved Antiretroviral Treatment Outcome in a Rural African Setting is Associated with cART Initiation at Higher CD4 Cell Counts and Better General Health Condition" (BMC infectious diseases). 11(1), 98. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-2334/11/98 [Accessed October 8, 2014]. Mubarok, W. I. 2011. Promosi Kesehatan untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Nasronudin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. (J. Barakbah, E. Suwandojo, & Suharto, Eds.). Surabaya: Airlangga University Press. National Poverty Center. 2007. Education and Health. University of Michigan. Available at: http://www.npc.umich.edu/publications/policy_briefs/brief9/policy_brief9.pd f [Accessed March 9, 2015]. NHS
Health Scotland. 2014. Gender- Demographics. Available http://www.healthscotland.com/equalities/gender/demographics.aspx [Accessed March 9, 2015].
at:
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta.Rineka Cipta. Nursalam. 2009. Model Holistik Berdasar Teori Adaptasi (Roy dan PNI) Sebagai Upaya Modulasi Respons Imun (Aplikasi pada Pasien HIV & AIDS). Available at: http://ners.unair.ac.id/materikuliah/PNI-HOLISTIK-AIDS.pdf [Accessed September 24, 2014]. Odafe, S., Idoko, O., Badru, T., Aiyenigba, B., Suzuki, C., Khamofu, H., … Chabikuli, O. N. 2012. "Patients’ Demographic and Clinical Characteristics and Level of Care Associated with Lost to Follow-up and Mortality in Adult Patients on First-line ART in Nigerian Hospitals" (Journal of the International AIDS Society) 15(2), 17424. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3494164&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 28, 2014].
Ogoina, D., Obiako, R. O., Muktar, H. M., Adeiza, M., Babadoko, A., Hassan, A., … Tabi-Ajayi, E. 2012. "Morbidity and Mortality Patterns of Hospitalised Adult HIV/AIDS Patients in the Era of Highly Active Antiretroviral Therapy: A 4-year Retrospective Review from Zaria, Northern Nigeria" (AIDS Research and Treatment) 2012, 940580. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3457591&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 19, 2014]. Okonkwo, P., Sagay, A. S., Agaba, P. A., Yohanna, S., Agbaji, O. O., Imade, G. E., … Kanki, P. J. 2014. "Treatment Outcomes in a Decentralized Antiretroviral Therapy Program : A Comparison of Two Levels of Care in North Central Nigeria" (Hindawi Publishing Corporation). 2014. Available at: http://www.hindawi.com/journals/art/2014/560623/. Paton, N. I., Sangeetha, S., Earnest, A., & Bellamy, R. 2006. "The Impact of Malnutrition on Survival and the CD4 Count Response in HIV-Infected Patients Starting Antiretroviral Therapy" (HIV Medicine). 7(5), 323–30. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16945078 [Accessed August 13, 2014]. RSUD Badung. 2014. Laporan HIV/AIDS. Badung. RSUD Badung. 2014. Profil Layanan ART RSUD Badung. Badung. Sastroasmoro, S., & Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto. Sieleunou, I., Souleymanou, M., Schönenberger, A.-M., Menten, J., & Boelaert, M.. 2009. "Determinants of Survival in AIDS Patients on Antiretroviral Therapy in a Rural Centre in the Far-North Province, Cameroon" (Tropical medicine & international health : TM & IH). 14(1), pp.36–43. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19017309 [Accessed March 7, 2015]. Sielma. 2012. "Faktor yang Mempengaruhi Sistem Imun" (tesis). Jakarta. Available at: http://www.scribd.com. Somi, G., Keogh, S. C., Todd, J., Kilama, B., Wringe, A., Hombergh, J. Van Den, … Josiah, R. 2012. "Low Mortality Risk but High Loss to Follow-up Among Patients in the Tanzanian National HIV Care and Treatment Programme". 17(4), 497–506. doi:10.1111/j.1365-3156.2011.02952.x. Stringer, J. S. A., Zulu, I., Levy, J., Stringer, E. M., Mwango, A., Chi, B. H., … Sinkala, M. 2006. "Rapid Scale-up of Antiretroviral Therapy at Primary Care Sites in Zambia: Feasibility and Early Outcomes" (JAMA : The Journal of the American Medical Association). 296(7), 782–93. Available at: http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=203173 [Accessed September 18, 2014]..
Tadesse, K., Haile, F., & Hiruy, N. 2014. "Predictors of Mortality Among Patients Enrolled on Antiretroviral Therapy in Aksum Hospital, Northern Ethiopia: a Retrospective Cohort Study" (PloS one). 9(1), e87392. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3909114&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 24, 2014]. Tran, D. A., Ngo, A. D., Shakeshaft, A., Wilson, D. P., Doran, C., & Zhang, L. 2013. "Trends In and Determinants of Loss to Follow Up and Early Mortality in a Rapid Expansion of The Antiretroviral Treatment Program in Vietnam: Findings from 13 Outpatient Clinics" (PloS one). 8(9), e73181. Available at: http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0073181 [Accessed January 12, 2015]. UNAIDS, 2013a. Global Report 2013. Available at: http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/epidemiolo gy/2013/gr2013/UNAIDS_Global_Report_2013_en.pdf [Accessed September 21, 2014]. UNAIDS, 2013b. HIV in Asia and the Pacific UNAIDS report 2013. Available at: http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/unaidspubli cation/2013/2013_HIV-Asia-Pacific_en.pdf [Accessed September 21, 2014]. UNAIDS, 2012. UNAIDS World AIDS Day Report 2012. WHO, 2014a. Antiretroviral therapy. Available at: http://www.who.int/topics/antiretroviral_therapy/en/ [Accessed September 22, 2014]. WHO, 2014b. HIV/AIDS. Available at: http://www.who.int/topics/hiv_aids/en/ [Accessed August 26, 2014]. WHO, 2012. World AIDS Day :Getting to Zero. http://www.who.int/hiv/events/2012/world_aids_day/en/ September 15, 2014].
Available at: [Accessed
WHO Europe, HIV/AIDS Treatment and Care for Injecting Drug Users. Available at:http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0009/78138/E90840_Chap ter_5.pdf. Wubshet, M., Berhane, Y., Worku, A., & Kebede, Y. 2013. "Death and Seeking Alternative Therapy Largely Accounted for Lost to Follow-up of Patients on ART in Northwest Ethiopia : A Community Tracking Survey". 8(3), 1–7. Available at: http://www.plosone.org.
Wubshet, M., Berhane, Y., Worku, A., Kebede, Y., & Diro, E. 2012. "High Loss to Follow-up and Early Mortality Create Substantial Reduction in Patient Retention at Antiretroviral Treatment Program in North-West Ethiopia" (ISRN AIDS). 2012, 721720. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3767448&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 28, 2014]. Zheng, H., Wang, L., Wang, Q., Huang, P., Guo, W., Peng, Z., … Norris, J. 2014. "Incidence and Risk Factors for AIDS-Related Mortality in HIV Patients in China: a Cross-Sectional Study" (BMC public health). 14(1), 831. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4137099&tool =pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 13, 2014]. Zhu, H., Napravnik, S., Eron, J. J., Cole, S. R., Ma, Y., Wohl, D. A., Zhang, F.. 2013. "Decreasing excess mortality of HIV-infected patients initiating antiretroviral therapy: comparison with mortality in general population in China, 2003-2009" (Journal of acquired immune deficiency syndromes). (1999), 63(5), pp.e150–7. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3752313&tool=p mcentrez&rendertype=abstract [Accessed August 19, 2014].
Lampiran 1
PENJELASAN KEPADA PENGELOLA KLINIK VCT RSUD BADUNG “Prediktor Kematian Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Badung Bali Periode Tahun 2006-2014”
Terapi antiretroviral (ARV) digunakan untuk menekan replikasi virus HIV, dengan targetnya yaitu terjadi perkembangan klinis dan imunologis ke arah yang lebih baik sehingga mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan pada pasien HIV/AIDS. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Badung Bali periode tahun 2006-2014 dilakukan penelitian yang berbasis pada rekam medik. Karena penelitian ini menggunakan rekam medik dimana pasien-pasien yang ada dalam rekam medik tersebut sudah banyak yang tidak datang ke rumah sakit sehingga tidak memungkinkan bagi peneliti untuk meminta ijin secara langsung kepada pasien. Walaupun demikian, peneliti tetap akan melakukan pengambilan data dengan mengedepankan aspek etik sehingga tidak akan merugikan pasien yaitu dengan cara menuliskan kode inisial sebagai pengganti nama lengkap pasien dan akan ditempatkan pada tempat yang aman sehingga hanya bisa diakses oleh peneliti dan orang yang relevan dalam penelitian ini. Dalam kondisi dimana pasien tidak memungkinkan memberikan ijin secara langsung, pengelola klinik VCT rumah sakit dapat memberikan ijin pengambilan data setelah mempertimbangkan bahwa studi ini tidak bertentangan dengan etik. Secara tidak langsung, hal ini memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas data yang didapatkan. Anda dapat menyimpan lembaran
penjelasan ini sebagai informasi untuk Saudara sendiri. Apabila mempunyai pertanyaan lebih lanjut tentang penelitian ini, bisa menghubungi Sri Utami (pada telepon nomer 082132454046).
FORMULIR PERSETUJUAN
Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai “Prediktor Kematian pada Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Badung Bali Periode Tahun 2006-2014”. Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya
(atau telah dibacakan untuk saya) dan saya telah memahami tujuan
penelitian ini. Saya mengerti bahwa data penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya. Informasi mengenai identitas pasien (nama lengkap pasien) akan digantikan dengan nomor register nasional dan data akan tersimpan secara aman yang hanya bisa diakses oleh orang yang relevan. Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk memberikan ijin dalam penggunaan data ini setiap saat tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak-hak saya dan telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini atau mengenai peran serta saya dalam penelitian. Saya secara sukarela dan sadar bersedia
mewakili
institusi
dan
pasien
dalam
penelitian
ini
dengan
menandatangani formulir persetujuan menjadi subyek penelitian.
Badung,.................................. 2014
Peneliti
Pengelola Klinik VCT RSUD Badung
(..............................................)
(..............................................)
FORMULIR PENGUMPULAN DATA PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014
I. Keterangan Ringkas Penelitian ini berfokus pada lingkup kesehatan HIV/AIDS dengan tujuan penelitian untuk mengetahui prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Badung Bali periode tahun 2006-2014. Pengambilan data dilakukan dengan ekstraksi data sekunder yang diperoleh dari rekam medik pasien HIV/AIDS yang melakukan terapi ARV di klinik VCT RSUD Badung Bali. Data dalam formulir ini bersifat rahasia dengan tetap mempertahankan prinsip konfidensialitas pasien (penjaminan kerahasiaan) dengan cara menuliskan kode inisial sebagai pengganti nama lengkap pasien.
II. Petunjuk Pengisian Ekstraksi Data 1. Jenis jawaban pertanyaan ada yang diberi lingkaran “O “, dan ada yang dituliskan 2. Tuliskan tanda ( 0 ) bila responden tidak termasuk dalam poin pertanyaan 3. Tuliskan “Tidak ada” bila tidak tersedia jawaban pada rekam medis
DAFTAR PENGECEKAN EKSTRAKSI DATA 1. Nama pengesktrak data 2. Tgl/bulan/tahun ekstrak data 3. Tanda tangan pengekstrak data
4. Nama pemeriksa 5. Tgl/ bulan/tahun diperiksa 6. Tanda tangan pemeriksa
Catatan:
BAGIAN A: DEMOGRAFI PASIEN NO 101
VARIABEL
DATA
Nama pasien (*ditulis inisial 3 digit )
102
No rekam medik
103
No register nasional (*7 digit pertama adalah kode rumah sakit)
104
Umur pasien
…………………tahun Tgl:
105
Jenis kelamin
Bln:
Thn:
1. Perempuan 2. Laki-laki
106
Agama
107
Alamat tempat tinggal
108
Daerah asal
109
Perkawinan
1. Islam
4. Protestan
2. Hindu
5. Budha
3. Kristen
6. Lainnya:……………
1. Belum menikah 2. Menikah 3. Duda/ janda
110
Pendidikan
1. Tidak sekolah 2. SD/sederajat 3. SMP/sederajat 4. SMA/sederajat 5. Perguruan tinggi
111
Pekerjaan
1. Tidak bekerja 2. Bekerja, (sebutkan:…………………)
112
Risiko atau paparan (saat
1. Heteroseksual
kunjungan pertama)
2. Homoseksual 3. Biseksual 4. Perinatal 5. Transfusi darah 6. NAPZA suntik 7. Pasangan odha
BAGIAN B: STATUS HIV 201
Tanggal terdiagnosis HIV Tgl:
202
Tempat test HIV
203
Jenis test HIV
204
Entry point
Bln:
Thn:
1. Datang sendiri 2. LSM 3. Jangkauan 4. Praktik swasta 5. KIA 6. Rawat jalan 7. Rawat inap 8. Lainnya:
BAGIAN C: TERAPI ARV 301
Tempat ARV
302
Pengawas minum obat
1. Tidak ada (*loncat ke pertanyaan 303)
(PMO)
2. Ada (*lanjutkan ke pertanyaan 302 poin a dan b
a. Nama PMO b. Hubungan dengan klien 303
Nama rejimen original
BAGIAN D: FOLLOW UP MULAI START ARV (*Tersedia dalam lembar lampiran BAGIAN E: AKHIR FOLLOW UP 401
Meninggal a. Tanggal meninggal Tgl:
Bln:
Thn:
Tgl:
Bln:
Thn:
Tgl:
Bln:
Thn:
Tgl:
Bln:
Thn:
Tgl:
Bln:
Thn:
b. Penyebab
402
403
404
405
Gagal follow up
Stop pasti
Putus obat
Rujuk keluar
Klinik yang dituju PERIKSA KEMBALI: PASTIKAN DATA TERISI LENGKAP SESUAI DATA REKAM MEDIS
Lampiran : FOLLOW UP MULAI START ARV Tgl
Pemeriksaan
Status
Stadi
follow
fisik
fungsional
um
up
BB
TD
Hamil
IO
Status
PPK
ARV
TB Jenis
Obat
Adhe
Hasil laboratotium
rence Obat
Dosis
Tgl hasil CD4
Hb
Keterangan Pengisian tabel follow up mulai start ARV 1. Kolom status fungsional : tuliskan status fungsional pasien berdasar kode: 1. Kerja; 2. Ambulatori; 3. Baring 2. Kolom stadium: tulis stadium klinis WHO berdasar kode: 1. Asimptomatik; 2. Gejala ringan; 3. Gejala sedang; 4. AIDS 3. Kolom hamil: diisi status kehamilan ya/tidak 4. Kolom infeksi oportunistik: tuliskan IO selain TB, dengan kode IO meliputi kandidiasis (K); diare (D); meningitis cryptococal (Cr); pneumonia pneumocyctis (PCP); cytomegalovirus (CMV); penicilliosis (P); herpes zoster (Z); herpes simpleks (S); toxoplasmosis(T); hepatitis (H); lain-lain uraikan. 5. Kolom status TB: catat status TB dengan kode: 1. Tidak ada gejala TB; 2. Suspek TB; 3. Dalam terapi TB
Lampiran 3 Hasil Analisis Tambahan Lampiran 3.1 Analisis deskriptif karakteristik pasien Tabel 1. Perbandingan karakteristik klinis sampel penelitian berdasarkan event di awal mulai terapi Karakteristik Berat badan (n = 572) Median IQR Haemoglobin (n = 481) Median IQR CD4 (n = 565) Median IQR Stadium klinis (n = 575) Stadium I &II Stadium III &IV Status fungsional (n = 575) Kerja Ambulatori Baring Infeksi oportunistik (n = 575) Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI (n = 575) TDF AZT D4T Golongan NNRTI (n = 575) EFV NVP
Mati n (%)
Hidup n (%)
Total n (%)
47 44-53
55 48-62
55 47-61
11,6 10-13,6
13,8 12,1-15,1
13,7 12-15,1
18 6-62
174 36-308
128 26-296
7 (9,2) 69 (90,8)
300 (60,1) 199 (39,9)
307 (53,4) 268 (46,6)
14 (18,4) 39 (51,3) 23 (30,3)
373 (74,8) 106 (21,2) 20 (4,0)
387 (67,3) 145 (25,2) 43 (7,5)
13 (17,1) 55 (72,4) 8 (10,5)
293 (58,7) 175 (35,1) 31 (6,2)
306 (53,2) 230 (40,0) 39 (6,8)
9 (11,8) 49 (64,5) 18 (23,7)
237 (47,5) 239 (47,9) 23 (4,6)
246 (42,8) 288 (50,1) 41 (7,1)
23 (30,3) 53 (69,7)
261 (52,3) 238 (47,7)
284 (49,4) 291 (50,6)
Tabel 2. Perbandingan karakteristik klinis sampel penelitian berdasarkan event di akhir pengamatan Karakteristik Berat badan (n = 569) Median IQR Haemoglobin (n = 473) Median IQR CD4 (n = 557) Median IQR Stadium klinis (n = 575) Stadium I &II Stadium III &IV Status fungsional (n = 575) Kerja Ambulatori Baring Infeksi oportunistik (n = 575) Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI (n = 575) TDF AZT D4T Golongan NNRTI (n = 569) EFV NVP Protease Inhibitor (PI) Kepatuhan (n = 477) Kepatuhan >95% Kepatuhan 80-95% Kepatuhan <80% Status rawat inap (n = 575) Tidak Awal terapi Selama terapi
Mati n (%)
Hidup n (%)
Total n (%)
48 45-53
59 52-66
57 50-65
10,4 9-13,1
14,3 12,8-15,5
14,2 12,7-15,4
18 6-79
312 181-458
279 110-432
6 (7,9) 70 (92,1)
290 (58,1) 209 (41,9)
296 (51,5) 279 (48,5)
20 (26,3) 38 (50,0) 18 (23,7)
470 (94,2) 28 (5,6) 1 (0,2)
490 (85,2) 66 (11,5) 19 (3,3)
33 (43,4) 36 (47,4) 7 (9,2)
441 (88,4) 54 (10,8) 4 (0,8)
474 (82,4) 90 (15,7) 11 (1,9)
25 (32,9) 30 (39,5) 21 (27,6)
305 (61,1) 161 (32,3) 33 (6,6)
330 (57,4) 191 (33,2) 54 (9,4)
35 (46,1) 41 (53,9) 0 (0,0)
319 (64,7) 174 (35,3) 6 (100,0)
354 (62,2) 215 (37,8) 6 (100,0)
24 (85,7) 4 (14,3) 0 (0,0)
422 (94,0) 15 (3,3) 12 (2,7)
446 (93,5) 19 (4,0) 12 (2,5)
66 (86,8) 5 (6,6) 5 (6,6)
398 (79,8) 65 (13,0) 36 (7,2)
464 (80,7) 70 (12,2) 41 (7,1)
Tabel 3. Hasil uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk test Variabel Usia start ARV Berat badan awal pengamatan Berat badan akhir pengamatan CD4 awal pengamatan CD4 akhir pengamatan Hb awal pengamatan Hb akhir pengamatan
Jumlah Prob>z observasi 575 <0,001 572 <0,001
Keterangan
569
<0,001
Distribusi data tidak normal
565 557 481 473
<0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Distribusi data tidak normal Distribusi data tidak normal Distribusi data tidak normal Distribusi data tidak normal
Distribusi data tidak normal Distribusi data tidak normal
Tabel 4. Tabulasi silang stadium klinis pada awal dan akhir pengamatan Stadium klinis pada awal ARV Stadium I Row (%) Column (%) Stadium II Row (%) Column (%) Stadium III Row (%) Column (%) Stadium IV Row (%) Column (%) Total Row (%) Column (%)
Stadium klinis pada akhir pengamatan Stadium Stadium Stadium Stadium Total I II III IV 246 0 4 1 251 98,01 0,00 1,59 0,40 100 90,44 0,00 2,38 0,90 43, 65 23 21 11 1 56 41,07 37,50 19,64 1,79 100,00 8,46 87,50 6,55 0,90 9,74 2 2 142 8 154 1,30 1,30 92,21 5,19 100,00 0,74 8,33 84,52 7,21 26,78 1 1 11 101 114 0,88 0,88 9,65 88,60 100,00 0,37 4,17 6,55 90,99 19,83 272 24 168 111 575 47,30 4,17 29,22 19,30 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Tabel 5. Jenis infeksi oportunistik pada awal pengamatan Jenis infeksi oportunistik
Jumlah
Persentase
Pneumonia pneumocyctis (PCP) PCP dengan IO penyerta Kandidiasis Kandidiasis dengan IO penyerta Toxoplasmosis Toxoplasmosis dengan IO penyerta Bronkho pneumoni
2 33 44 117 2 13 11
0,8 13,2 17,6 46,8 0,8 5,2 4,4
Bronkhitis Hepatitis Hepatitis dengan IO penyerta Efusi pleura Efusi pleura dengan IO penyerta Herpes zooster Penicciliosis Dermatitis Diare Infeksi menular seksual
2 3 2 1 1 2 4 3 9 1
0,8 1,2 0,8 0,4 0,4 0,8 1,6 1,2 3,6 0,4
Total
250
100,0
Lampiran 3.2 Analisis besaran masalah kematian
Tabel 6. Proporsi kematian berdasarkan waktu Kematian berdasarkan waktu 3 bulan 6 bulan 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun Total
Jumlah 35 12 9 5 5 6 3 1 76
Persentase 46,1 15,8 11,8 6,6 6,6 7,9 3,9 1,3 100,0
Tabel 7. Proporsi kematian berdasarkan tahun Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Mati (%) 0 (0,00) 5 (41,67) 6 (37,50) 14 (45,16) 15 (31,91) 11 (20,37) 8 (9,09) 16 (8,84) 1 (0,69) 76 (13,22)
Status pasien Hidup (%) 2 (100,00) 7 (58,33) 10 (62,50) 17 (54,84) 32 (68,09) 43 (79,63) 80 (90,91) 165 (91,16) 143 (99,31) 499 (86,78)
Total (%) 2 (100,00) 12 (100,00) 16 (100,00) 31 (100,00) 47 (100,00) 54 (100,00) 88 (100,00) 181 (100,00) 144 (100,00) 575 (100,00)
Tabel 8.
Analisis Kaplan-Meier berdasarkan event, kebijakan pedoman ARV, dan tahun
Variabel
Time at risk
Incidence rate
Jumlah observasi
25%
681,98
0
499
-
-
-
73,03
1,041
76
0,068
0,282
1,096
Kebijakan ARV ≥2012 <2012
320,29 434,72
0,078 0,117
413 162
2,507
-
-
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
11,59 40,18 62,09 87,98 114,85 118,027 129,118 147,156 44,016 755,01
0 0,124 0,097 0,159 0,131 0,093 0,062 0,108 0,023 0,101
2 12 16 31 47 54 88 181 144 575
0,194 4,005 0,994 1,139 3,192 3,485
-
-
Event Tidak mati Mati
Survival time 50% 75%
Lampiran 3.3 Analisis lanjutan variabel independen
Tabel 9. Tabulasi silang variabel independen Variabel X 1) Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Total Status fungsional Kerja Ambulatori Baring Total Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Total Berat badan ≥55 45-54 <45 Total Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Total 2) Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Total
Variabel Y Stadium klinis (n (%)) Stadium I & II Stadium III & IV
Total n (%) -
52 (16,94) 255 (83,06) 307 (100,00)
58 (21,64) 210 (78,36) 268 (100,00)
300 (77,52) 6 (4,14) 1 (2,33) 307 (53,39)
87 (22,48) 139 (95,86) 42 (97,67) 268 (46,61)
110 (19,13) 465 (80,87) 575 (100,00) 387 (100,00) 145 (100,00) 43 (100,00) 575 (100,00) -
283 (57,76) 24 (28,24) 307 (53,39)
207 (42,24) 61 (71,76) 268 (46,61)
200 (69,69) 98 (46,45) 9 (12,16) 307 (53,67)
87 (30,31) 113 (53,55) 65 (87,84) 265 (46,33)
490 (100,00) 85 (100,00) 575 (100,00) 287 (100,00) 211 (100,00) 74 (100,00) 572 (100,00) -
211 (90,95) 21 (9,05) 87 (27,02) 235 (72,98) 3 (20,00) 12 (80,00) 301 (52,90) 268 (47,10) Faktor risiko penularan (n (%)) Homoseksual Heteroseksual Penasun
232 (100,00) 322 (100,00) 15 (100,00) 569 (100,00)
0 (0,00) 232 (50,54) 232 (40,77)
110 (100,00) 459 (100,00) 569 (100,00)
108 (98,18) 214 (46,62) 322 (56,59)
2 (1,82) 13 (2,83) 15 (2,64)
3)
Tipe layanan (n (%)) Satelit
RS utama Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Total 4)
5 (2,16) 321 (99,69) 15 (100,00) 341 (59,93) SGOT
Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun 5) Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Total Stadium klinis Stadium I &II Stadium III &IV Total Berat badan ≥55 45-54 <45 Total 6)
21 (18-27) 32 (23-49) 36,5 (32-41)
232 (100,00) 322 (100,00) 15 (100,00) 569 (100,00) -
>350
20 (15-29) 31 (20-49) 38,5 (29-41,5) CD4 (n (%)) 200-350 <200
2 (2,60) 75 (97,40) 77 (100,00)
32 (20,00) 128 (80,00) 160 (100,00)
71 (21,65) 257 (78,35) 328 (100,00)
105 (18,58) 460 (81,42) 565 (100,00)
71 (23,13) 6 (2,33) 77 (13,63)
150 (48,86) 10 (3,88) 160 (28,32)
86 (28,01) 242 (93,80) 328 (58,05)
307 (100,00) 258 (100,00) 565 (100,00)
57 (20,14) 18 (8,74) 2 (2,74) 77 (13,70) Tidak IO
Berat badan ≥55 45-54 <45 Total
227 (97,84) 1 (0,31) 0 (0,00) 228 (40,07) SGOT &SGPT (Median, IQR) SGPT
-
195 (67,94) 96 (45,50) 14 (18,92) 305 (53,32)
102 (36,04) 124 (43,82) 52 (25,24) 136 (66,02) 6 (8,22) 65 (89,04) 160 (28,47) 325 (57,83) Infeksi oportunistik (n (%)) IO non TB TB dan lainnya 74 (25,78) 103 (48,82) 51 (68,92) 228 (39,86)
18 (6,27) 12 (5,69) 9 (12,16) 39 (6,82)
283 (100,00) 206 (100,00) 73 (100,00) 562 (100,00)
287 (100,00) 211 (100,00) 74 (100,00) 572 (100,00)
7) Kepatuhan >95% Pendamping minum obat Ada Tidak ada Total
202 (45,29) 244 (54,71) 446 (100,00)
Kepatuhan (n (%)) Kepatuhan Kepatuhan 80-95% <80%
11 (57,89) 8 (42,11) 19 (100,00)
2 (16,67) 10 (83,33) 12 (100,00)
215 (45,07) 262 (54,93) 477 (100,00)
Tabel 10. Hasil strata faktor risiko penularan dengan stadium klinis berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
Faktor risiko penularan
Stadium (n (%)) Stadium I & II Stadium III & IV Total
Perempuan
Heteroseksual
45 (45,45)
54 (54,55)
99 (100,00)
Pasangan odha
6 (66,67)
3 (33,33)
9 (100,00)
Penasun Total
1 (50,00) 52 (47,27)
1 (50,00) 58 (52,73)
2 (100,00) 110 (100,00)
Homoseksual
211 (90,95)
21 (9,05)
232 (100,00)
Heteroseksual Penasun Total
36 (16,82) 2 (15,38) 249 (54,25)
178 (83,18) 11 (84,62) 210 (45,75)
214 (100,00) 13 (100,00) 459 (100,00)
Laki-laki
Tabel 11. Hasil strata faktor risiko penularan dengan stadium klinis berdasarkan tipe layanan Tipe layanan RSUD Badung
Satelit BMC
Faktor risiko penularan
Stadium (n (%)) Stadium I & II
Stadium III & IV Total
Homoseksual
2 (40,00)
3 (60,00)
5 (100,00)
Heteroseksual
86 (26,79
235 (73,21)
321 (100,00)
Penasun Total
3 (20,00) 91 (26,69)
12 (80,00) 250 (73,31)
15 (100,00) 341 (100,00)
Homoseksual
209 (92,07)
18 (7,93)
227 (100,00)
Heteroseksual Total
1 (100,00) 210 (92,11)
0 (0,00) 18 (7,89)
1 (100,00) 228 (100,00)
Tabel 12. Hasil uji kendall’s rank correlation Variabel Stadium klinis dan status fungsional
Kendall’s tau-b 0,667
Keterangan Positif kuat
Faktor risiko penularan dan tipe layanan
-0,949
Negatif kuat
Lampiran 3.4 Analisis lanjutan rejimen awal terapi ARV
Tabel 13. Hasil strata golongan NRTI terhadap kematian berdasarkan tahun Golongan NRTI
Mati
Hidup
Total
2006
AZT Total
0 (0,00) 0 (0,00)
2 (100,00) 2 (100,00)
2 (100,00) 2 (100,00
2007
AZT
5 (41,67)
7 (58,33)
12 (100,00)
Total
5 (41,67)
7 (58,33)
12 (100,00)
2008
AZT D4T Total
4 (30,77) 2 (66,67) 6 (37,50)
9 (69,23) 1 (33,33) 10 (62,50)
13 (100,00) 3 (100,00) 16 (100,00)
2009
TDF AZT D4T Total
1 (100,00) 8 (42,11) 5 (45,45) 14 (45,16)
0 (0,00) 11 (57,89) 6 (54,55) 17 (54,84)
1 (100,00) 19 (100,00) 11 (100,00) 31 (100,00)
2010
AZT D4T Total
7 (22,58) 8 (50,00) 15 (31,91)
24 (77,42) 8 (50,00) 32 (68,09)
31 (100,00) 16 (100,00) 47 (100,00)
2011
TDF AZT D4T Total
0 (0,00) 11 (23,40) 0 (0,00) 11 (20,37)
1 (100,00) 36 (76,60) 6 (100,00) 43 (79,63)
1 (100,00) 47 (100,00) 6 (100,00) 54 (100,00)
2012
TDF AZT D4T Total
0 (0,00) 5 (6,85) 3 (60,00) 8 (9,09)
10 (100,00) 68 (93,15) 2 (40,00) 80 (90,91)
10 (100,00) 73 (100,00) 5 (100,00) 88 (100,00)
2013
TDF AZT Total
7 (7,07) 9 (10,98) 16 (8,84)
92 (92,93) 73 (89,02) 165 (91,16)
99 (100,00) 82 (100,00) 181 (100,00)
2014
TDF AZT Total
1 (0,74) 0 (0,00) 1 (0,69)
134 (99,26) 9 (100,00) 143 (99,31)
135 (100,00) 9 (100,00) 144 (100,00)
Tahun
Event (n (%))
Tabel 14. Hasil strata golongan NRTI terhadap kematian berdasarkan tipe layanan Tipe layanan RSUD Badung
Satelit BMC
Golongan NRTI
Mati
Event (n (%)) Hidup
Total
TDF
6 (9,68)
56 (90,32)
62 (100,00)
AZT
47 (19,75)
191 (80,25)
238 (100,00)
D4T Total
18 (43,90) 71 (20,82)
23 (56,10) 270 (79,18)
41 (100,00) 341 (100,00)
TDF
3 (1,63)
181 (98,37)
184 (100,00)
AZT Total
2 (4,00) 5 (2,14)
48 (96,00) 229 (97,86)
50 (100,00) 234 (100,00)
Tabel 15. Hasil strata golongan NNRTI terhadap kematian berdasarkan tipe layanan Tipe layanan RSUD Badung
Satelit BMC
Golongan NNRTI
Event (n (%)) Mati
Hidup
Total
EFV
20 (20,62)
77 (79,38)
97 (100,00)
NVP
51 (20,90)
193 (79,10)
244 (100,00)
Total
71 (20,82)
270 (79,18)
341 (100,00)
EFV
3 (1,60)
184 (98,40)
187 (100,00)
NVP Total
2 (4,26) 5 (2,14)
45 (95,74) 229 (97,86)
47 (100,00) 234 (100,00)
Tabel 16. Proporsi kepatuhan berdasarkan penggunaan golongan NRTI dan NNRTI
Kepatuhan >95%
Kepatuhan (n (%)) Kepatuhan Kepatuhan 80-95% <80%
Total
Golongan NRTI TDF AZT D4T Total
205 (93,18) 222 (93,67) 19 (95,00) 446 (93,50)
8 (3,64) 10 (4,22) 1 (5,00) 19 (3,98)
7 (3,18) 5 (2,11) 0 (0,00) 12 (2,52)
220 (100,00) 237 (100,00) 20 (100,00) 477 (100,00)
Golongan NNRTI EFV NVP Total
228 (92,68) 218 (94,37) 446 (93,50)
10 (4,07) 9 (3,90) 19 (3,98)
8 (3,25) 4 (1,73) 12 (2,52)
246 (100,00) 231 (100,00) 477 (100,00)
Rejimen
Tabel 17. Hasil strata kejadian kematian dan stadium klinis berdasarkan penggunaan obat golongan NRTI Golongan NRTI
Status event
TDF
AZT
D4T
Stadium (n (%)) Stadium I & II
Stadium III & IV Total
Hidup
181 (76,37)
56 (23,63)
237 (100,00)
Mati
2 (22,22)
7 (77,78)
9 (100,00)
Total
183 (74,39)
63 (25,61)
246 (100,00)
Hidup
117 (48,95)
122 (51,05)
239 (100,00)
Mati Total
4 (8,16) 121 (42,01)
45 (91,84) 167 (57,99)
49 (100,00) 288 (100,00)
Hidup Mati Total
2 (8,70) 1 (5,56) 3 (7,32)
21 (91,30) 17 (94,44) 38 (92,68)
23 (100,00) 18 (100,00) 41 (100,00)
Tabel 18. Hasil strata kejadian kematian dan nilai CD4 berdasarkan penggunaan obat golongan NRTI Golongan NRTI
Status event
TDF
AZT
D4T
≥ 200 sel/mm3
CD4 (n (%)) <200 sel/mm3
Total
Hidup
152 (65,52)
80 (34,48)
232 (100,00)
Mati
1 (11,11)
8 (88,89)
9 (100,00)
Total
153 (63,49)
88 (36,51)
241 (100,00)
Hidup
78 (32,77)
160 (67,23)
238 (100,00)
Mati Total
3 (6,12) 81 (28,22)
46 (93,88) 206 (71,78)
49 (100,00) 287 (100,00)
Hidup Mati Total
2 (8,70) 1 (7,14) 3 (8,11)
21 (91,30) 13 (92,86) 34 (91,89)
23 (100,00) 14 (100,00) 37 (100,00)
Tabel 19. Hasil strata kejadian kematian dan kadar hemoglobin berdasarkan penggunaan obat golongan NRTI Golongan NRTI
Status event
TDF
AZT
D4T
Kadar Hb (n (%)) >10 gr/dl
≤10 gr/dl
Total
Hidup
214 (92,24)
18 (7,76)
232 (100,00)
Mati
4 (50,00)
4 (50,00)
8 (100,00)
Total
218 (90,83)
22 (9,17)
240 (100,00)
Hidup
199 (95,22)
10 (4,78)
209 (100,00)
Mati Total
14 (100,00) 213 (95,52)
0 (0,00) 10 (4,48)
14 (100,00) 223 (100,00)
Hidup Mati Total
7 (43,75) 0 (0,00) 7 (38,89)
9 (56,25) 2 (100,00) 11 (61,11)
16 (100,00) 2 (100,00) 18 (100,00)
Tabel 20. Hasil strata kejadian kematian dan stadium klinis berdasarkan penggunaan obat golongan NNRTI Golongan NNRTI
Status event
Stadium (n (%)) Stadium I & II Stadium III & IV Total
EFV
Hidup
186 (71,26)
75 (28,74)
261 (100,00)
Mati
4 (17,39)
19 (82,61)
23 (100,00)
Total
190 (66,90)
94 (33,10)
284 (100,00)
Hidup
114 (47,90)
124 (52,10)
238 (100,00)
Mati Total
3 (5,66) 117 (40,21)
50 (94,34) 174 (59,79)
53 (100,00) 291 (100,00)
NVP
Tabel 21. Hasil strata kejadian kematian dan nilai CD4 berdasarkan penggunaan obat golongan NNRTI Golongan NNRTI
Status event
EFV
NVP
≥ 200 sel/mm3
CD4 (n (%)) <200 sel/mm3
Total
Hidup
158 (61,72)
98 (38,28)
256 (100,00)
Mati
4 (17,39)
19 (82,61)
23 (100,00)
Total
162 (58,06)
117 (41,94)
279 (100,00)
Hidup
74 (31,22)
163 (68,78)
237 (100,00)
Mati Total
1 (2,04) 75 (26,22)
48 (97,96) 211 (73,78)
49 (100,00) 286 (100,00)
Tabel 22. Hasil strata kejadian kematian dan kadar hemoglobin berdasarkan penggunaan obat golongan NNRTI Golongan NNRTI
Status event
EFV
NVP
Kadar Hb (n (%)) >10 gr/dl
≤10 gr/dl
Total
Hidup
237 (94,80)
13 (5,20)
250 (100,00)
Mati
7 (70,00)
3 (30,00)
10 (100,00)
Total
244 (93,85)
16 (6,15)
260 (100,00)
Hidup
183 (88,41)
24 (11,59)
207 (100,00)
Mati Total
11 (78,57) 194 (87,78)
3 (21,43) 27 (12,22)
14 (100,00) 221 (100,00)
Lampiran 3.5 Analisis multivariat metode backward Tabel 23. Analisis multivariat metode backward Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Analisis Univariat HR (95% CI) P>|z| p grup 1,04 (1,02-1,06) 0,001 0,001 1,00 1,69 (0,87-3,28) 1,00 6,51 (2,60-16,32) 7,15 (1,90-27,00) 1,00 0,89 (0,41-1,94) 1,00 3,36 (2,09-5,38) 1,00 0,73 (0,44-1,21)
0,130
0,127
<0,001
0,422
0,413
0,763
X
<0,001
0,041
0,040
0,225
0,764
0,764
0,001
0,495
0,489
<0,001 0,011 <0,001 <0,001
0,021 0,196 0,924 0,298
0,020 0,188 X 0,236
<0,001
0,373
0,363
<0,001
0,437
0,440
0,133
0,282
0,278
0,763
<0,001
0,225
1,00 9,10 (4,16-19,92)
<0,001
1,00 1,47(0,89-2,43)
0,124
<0,001 0,004
0,001 <0,001 0,011 <0,001
1,00 2,84 (1,37-5,86) 7,12 (3,12-16,23)
Model 2 p value 0,013
0,124
1,00 2,24 (1,37-3,67) 0,94 (0,91-0,96) 0,82 (0,71-0,96) 0,99 (0,99-0,10)
1,00 3,82 (2,05-7,09) 3,58 (1,47-8,69)
Model 1 p value 0,013
<0,001 0,005
0,005 <0,001
0,133
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 23) Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 3 p value 0,013
Model 4 p value 0,014
Model 5 p value 0,014
Model 6 p value 0,017
Model 7 p value 0,016
Model 8 p value 0,902
0,120
0,112
0,112
0,123
0,108
0,001
0,404
0,507
X
0,035
0,034
0,034
0,042
0,043
0,002
0,023 0,207
0,020 0,270
0,017 0,325
<0,001 X
0,125
0,002
0,094
X
0,454
X
0,020 0,182
0,019 0,236
0,246
0,283
0,291
0,117
0,333
0,377
0,352
X
0,341
0,358
0,347
0,344
0,309
0,283
0,313
0,319
0,566
X
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 23) Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 9 p value X
Model 10 p value
Cek NRTI p value
Cek Usia p value 0,863
Cek Hb p value
Cek NNRTI p value
0,001
0,001
0,001
0,001
0,071
0,001
0,001
0,001
0,001
0,002
0,187
0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,042 0,169
0,002
<0,001
0,002
<0,001
0,087
0,093
X
0,093
<0,001
<0,001
0,833
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 23) Cek IO p value
Cek PMO p value
Cek risiko penularan p value
Cek pekerjaan p value
Cek CD4 p value
0,001
0,001
0,001
0,001
0,001
0,012
0,012
0,016
0,004
0,005
0,027
Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
0,001
0,005
0,204
<0,001
0,002
0,913
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,001
0,002
0,003
0,001
0,002
0,961 0,006
<0,001
<0,001
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 23) Variabel
Final model analisis multivariat Adjusted HR (95% CI) P>|z| p grup
Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Hemoglobin CD4 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
0,001 1,00 3,74 (1,75-8,00)
0,001 0,012
1,00 3,36 (1,08-10,64) 6,22 (1,39-27,89)
0,037 0,017
0,007 1,00 2,03 (1,22-3,38)
0,007
<0,001 1,00 4,50 (2,70-7,49) 0,96 (0,93-0,98)
<0,001 0,003
0,003
0,003 1,00 4,53 (1,69-12,13)
0,003
Tabel 24. Analisis multivariat metode backward dengan tidak memasukkan stadium klinis ke model Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 1 p value 0,013
Model 2 p value 0,013
Model 3 p value 0,013
Model 4 p value 0,015
Model 5 p value 0,016
Model 6 p value 0,015
0,097
0,091
0,100
0,093
0,097
0,081
0,627
0,611
X
0,045
0,040
0,039
0,039
0,050
0,051
0,813
X
0,590
0,555
0,627
X
0,017 0,196 0,279
0,017 0,190 0,284
0,021 0,171 0,253
0,021 0,200 0,259
0,014 0,193 0,132
0,012 0,240 0,146
0,366
0,339
0,279
0,312
X
0,381
0,305
0,296
0,301
0,330
0,293
0,274
0,278
0,285
0,298
0,518
X
X
X
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 24) Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 7 p value 0,016
Model 8 p value 0,986
Model 9 p value X
Cek NRTI p value
Cek NNRTI p value
Cek IO
0,051
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,049
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
0,012 0,267 0,226
<0,001 X 0,005
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,005
0,017
0,005
0,072
p value
0,489
X
0,138
0,896
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 24) Variabel
Cek PMO p value
Cek risiko p value
Cek pekerjaan p value
<0,001
<0,001
<0,001
Model Final AHR (95% CI)
p
p grup
Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
<0,001 1,00 4,45 (2,02-9,81)
<0,001
0,004
0,006
0,017
0,004
0,006 1,00 2,13 (1,24-3,63)
0,347
<0,001
<0,001
0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,001
0,157
<0,001
<0,001 1,00 2,84 (1,71-4,72) 0,93 (0,90-0,96)
<0,001
<0,001 0,001
1,00 5,38 (2,08-1,94)
0,001
Tabel 25. Analisis multivariat metode backward dengan tidak memasukkan jumlah CD4 pada model Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 1 p value 0,013
Model 2 p value 0,013
Model 3 p value 0,013
Model 4 p value 0,017
Model 5 p value 0,016
Model 6 p value 0,902
0,127
0,120
0,122
0,123
0,108
0,001
0,546
0,522
X
0,040
0,035
0,034
0,042
0,043
0,002
0,763
X
0,490
0,455
0,533
X
0,019 0,188 X
0,020 0,181
0,023 0,162
0,020 0,270
0,017 0,325
<0,001 X
0,236
0,246
0,257
0,117
0,125
0,002
0,363
0,333
0,352
X
0,381
0,343
0,347
0,344
0,309
0,094
0,280
0,285
0,566
X
X
0,319
Lanjutan model analisis multivariat (Tabel 25) Variabel Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
Model 7 p value X
Model 8 p value
Cek usia p value 0,863
Cek Hb
Cek IO
p value
Cek NRTI p value
0,001
0,001
0,001
0,071
0,001
0,001
0,001
0,001
0,002
0,187
0,001
0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,042 0,169
<0,001
<0,001
0,002
<0,001
<0,001
0,087
<0,001
0,002
p value
0,913
0,093
X
0,833
Lanjutan model analisi multivariat (Tabel 25) Variabel
Cek PMO p value
Cek Risiko p value
Cek kerja p value
0,001
0,001
0,001
Model final AHR (95% CI)
p
p grup
Usia Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Faktor risiko penularan Homoseksual Heteroseksual Penasun Status pernikahan Menikah Belum menikah/ bercerai Pendidikan Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pendamping minum obat Ada Tidak Berat badan Haemoglobin CD4 ≥200 sel/mm3 <200 sel/mm3 Stadium klinis Stadium I&II Stadium III&IV Infeksi oportunistik Tidak ada IO selain TB TB dan lainnya Golongan NRTI TDF AZT D4T Golongan NNRTI EFV NVP
0,001 1,00 3,74 (1,75-8,00)
0,012
0,012 1,00 3,38 (1,08-10,64) 6,22 (1,39-27,89)
0,005
0,007
0,001
0,012 0,037 0,017
0,005
0,007 1,00 2,03 (1,22-3,38)
0,007
0,204
<0,001
<0,001
<0,001
0,001
0,003
0,003
<0,001
0,003
0,002
<0,001 1,00 4,50 (2,70-7,49) 0,96 (0,93-0,98)
<0,001 0,003
0,003
0,003 1,00 4,53 (1,69-12,13)
0,003