Agribisnis dalam Kancah Diplomasi Ekonomi Dr. Andriyono Kilat Adhi
Pendahuluan Sektor perikanan dan kelautan Indonesia memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, terutama sebagai sumber devisa ekspor serta penyediaan lapangan kerja bagi para nelayan. dan bagi Uni Eropa, Indonesia merupakan mitra dagang yang potensial untuk produk perikanan dan kelautan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah establishment/perusahaan pengolah perikanan yang mempunyai approval number untuk melakukan ekspor produk perikanan dan kelautan ke negara anggota Uni Eropa. Komoditi andalan ekspor hasil perikanan dari Indonesia ke UE antara lain; Swordfish, Ikan Marlin, Tuna (baik fresh, loins maupun dalam bentuk tuna kaleng), Oil fish, Udang (black tiger shrimps maupun black pink shrimps) serta frog legs. Dalam era globalisasi sistem perdagangan, maka persaingan diperkirakan akan semakin ketat dan oleh karena itu, sektor perikanan dituntut untuk terus meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di pasaran global. Seperti diketahui, perdagangan internasional komoditi perikanan serta kelautan tidak hanya ditentukan oleh faktor “supply and demand” semata-mata, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh berbagai perjanjian internasional maupun perkembangan kebijaksanaan di negara-negara mitra dagang, terutama UE. Permasalahan utama ekspor produk perikanan Indonesia ke UE adalah kualitas dan mutu yang tidak sesuai dengan standard yang diberlakukan di Eropa. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya perusahaan pengolah perikanan (establishment) Indonesia dalam daftar Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Komisi Eropa sejak pertengahan tahun 2003, dengan frekuensi yang cenderung meningkat. Penyebabnya antara lain, karena ekspor ikan tuna dengan kandungan histamin yang tinggi, swordfish tercemar logam berat (cadmium dan mercury), udang tercemar antibiotik chloramphenicol dan nitrofurans, serta produk ikan yang mengandung bacteri E. coli. Tercantumnya establishment Indonesia dalam daftar RASFF tersebut, menunjukkan bahwa produk perikanan Indonesia dianggap membahayakan konsumen di negara anggota UE, sehingga Komisi Eropa melalui DG Sanco melakukan tindakan pencegahan saat masuk ke pelabuhan di Eropa.
R1_Refleksi AGB.indd 183
07/04/2010 19:04:35
184
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Makalah ini bermaksud untuk memberikan gambaran tentang peran agribisnis dalam diplomasi ekonomi dengan mengambil kasus perkembangan ekspor perikanan dan kelautan Indonesia ke UE, yakni dengan memperhatikan beberapa aspek terkait antara lain ketentuan yang berlaku dan standard mutu bagi produk komoditi perikanan dan kelautan yang masuk UE. Selain itu juga, dipaparkan mengenai penanganan komoditi perikanan di dalam negeri dan komunikasi diplomasi yang dijalin dalam menjembatani dan mengatasi permasalahan yang muncul. Dengan adanya pemaparan permasalahan tentang situasi dan keadaan aktual ekspor produk perikanan Indonesia ke UE, maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi bagi upaya-upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produk ekspor perikanan serta langkah-langkah yang seyogyanya ditempuh guna memanfaatkan potensi pasar UE secara optimal.
Masalah Ekspor Produk Perikanan Indonesia di UE Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor utama komoditi perikanan ke UE, namun terlihat bahwa daya saing di pasaran Eropa masih sangat lemah. Hal ini terutama disebabkan karena masih kuatnya sistem proteksi dan tingginya tarif bea masuk bagi komoditi perikanan yang diberlakukan oleh UE, sehingga akses pasar bagi komoditi perikanan dari Indonesia sangat sulit. Ekspor hasil perikanan Indonesia ke UE juga mendapatkan saingan yang cukup berat dari beberapa negara ASEAN lain terutama Malaysia, Thailand dan Vietnam. Nilai impor udang beku UE yang berasal dari Indonesia tercatat mempunyai laju pertumbuhan rata-rata 44,62 % per tahun. Sedangkan volume impornya meningkat rata-rata 42,33 % per tahun. Selain itu, pangsa pasar komoditi udang beku dari Indonesia selama periode 1998-2003 juga mengalami kenaikan, yakni sebagai pemasok (termasuk impor intra UE) ke 19 (1,66 %) pada tahun 1998, menjadi pemasok peringkat ke 5 (4,88 %) pada tahun 2001. Negara pesaing Indonesia di UE adalah Argentina dengan pangsa 10,21 %, India 6,23 %, Bangladesh 6,06 %, dan Belanda 5,05 %. Keempat negara tersebut mempunyai peranan sebesar 27,55 % dari total impor udang beku UE. Walaupun saat ini Indonesia telah menjadi salah satu pemasok yang patut diperhitungkan oleh negara-negara pengekspor lainnya, terutama bagi negara ASEAN, tetapi saat ini produk udang beku Indonesia masih dihadapkan oleh masalah-masalah standard yang cukup memprihatinkan. Seperti diketahui,
R1_Refleksi AGB.indd 184
07/04/2010 19:04:35
Dr. Andriyono Kilat Adhi
185
pada bulan September 2001, UE mengeluarkan keputusan untuk melakukan pengawasan yang ketat melalui pemeriksaan consignment pengiriman udang yang berasal dari Indonesia secara sampling terhadap kemungkinan tercemar antibiotik Chloramphenicol. Dilain pihak, untuk melindungi daya saing sektor perikanan, UE juga memberlakukan sistem quota dan tarif bea masuk yang tinggi. Tarif bea masuk impor produk perikanan yang diberlakukan oleh UE cenderung lebih tinggi dari tarif yang dikenakan oleh negara maju lain. Sebagai contoh: tarif bea masuk ikan tuna kalengan di Amerika Serikat adalah 6%, sedang di UE sebesar 24%. Tarif bea masuk ini juga diberlakukan secara diskriminatif dimana negara-negara anggota ACP (African, Carribean and Pacific Countries) mendapatkan keringanan atau bahkan pembebasan bea masuk impor. Berkaitan dengan ekspor produk perikanan Indonesia ke UE, permasalahannya tidak hanya dipengaruhi oleh hambatan tarif yang diskriminatif, tetapi juga disebabkan karena faktor persyaratan kualitas dan mutu produk perikanan yang sangat tinggi di UE. Hal tersebut telah disadari oleh pelaku bisnis perikanan di Indonesia, mengingat Uni Eropa tentu mengharapkan memperoleh produk perikanan yang berkualitas baik serta tidak membahayakan konsumen di negaranya.
Perkembangan Ekspor Produk Perikanan ke UE dan Implikasinya a. Peningkatan Jumlah Establishment yang terkena alert system Mengingat UE sangat concern dengan masalah kebersihan dan kesehatan, maka UE memberlakukan alert system dengan ketat. Dengan demikian, hal utama yang harus diperhatikan adalah mutu produk tersebut harus terbebas dari cemaran residu antibiotik. Sertifikat kesehatan harus benar-benar sesuai dengan kondisi barang yang dikirim, karena kalau tidak sesuai, maka produk tersebut akan ditahan di salah satu pelabuhan masuk. Apabila terbukti mengandung zat atau bakteri yang dianggap membahayakan, maka produk tersebut akan dimusnahkan. Sejak awal tahun 2004 telah cukup banyak produk perikanan Indonesia yang terdeteksi mengandung mikroba, logam berat, histamine serta terkontaminasi antibiotik chloramphenicol maupun nitrofurans dan masuk dalam daftar RASFF. Akibatnya Uni Eropa telah mengambil tindakan untuk menolak dan mengembalikan ke negara asal atau memusnahkannya. Hal ini,
R1_Refleksi AGB.indd 185
07/04/2010 19:04:35
186
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
tentunya menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi eksportir perikanan Indonesia. Mengingat seriusnya masalah tersebut serta menyangkut kelangsungan ekspor produk perikanan Indonesia, telah disampaikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan dan instansi terkait lainnya serta para eksportir agar dapat bekerjasama dalam menangani masalah tersebut dengan menyusun secara rinci serangkaian corrective actions terhadap permasalahan dalam sektor perikanan.
b. Penyebab Tingginya Perusahaan yang terkena RASFF Peringatan terhadap kurang sesuainya mutu produk perikanan Indonesia, karena faktor sanitasi dan kesehatan yang masuk ke negara anggota UE, telah berulang kali disampaikan kepada Competent Authority (CA) di Indonesia. Penanganan yang serius dalam upaya memperbaiki sistem proses produksi perikanan telah disampaikan oleh DG Sanco, karena Indonesia masih dianggap sebagai harmonized country. Dengan demikian, Komisi Eropa masih menganggap bahwa CA Indonesia akan memperbaiki sistem produksi yang mengacu pada standard yang ditetapkan sesuai regulasi Komisi Eropa. Seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan Indonesia yang mendapat alert system dari pelabuhan masuk negara anggota UE, maka Komisi Eropa telah mengirimkan Tim Inspektur Veteriner untuk melakukan regular monitoring terhadap aktivitas CA. Evaluasi tersebut dilakukan untuk melihat pelaksanaan apakah sistem produksi perikanan di Indonesia telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Uni Eropa. Hal ini mengingat bahwa sejak pertengahan tahun 2003, telah terdapat 38 notifikasi RASFF dari 277 perusahaan pengolah produk perikanan di Indonesia. Notifikasi tersebut berkaitan dengan persoalan sanitasi, baik masalah residu, kontaminasi mikroba, parasit, logam berat, serta masalah serius dengan tingginya kandungan histamine pada produk tuna yang masuk ke UE. Dari hasil kunjungan Tim Inspeksi Veteriner ke Indonesia tersebut, banyak sekali temuan yang berhasil diperoleh yang antara lain: • Secara detil disebutkan adanya kekurangan dalam struktur, susunan organisasi serta kompetensi Competent Authority dalam menjalankan fungsinya. Hal ini terlihat dalam system pengawasan, prosedur khusus pemberian approval number serta sistem registrasi vessel yang mengolah produk perikanan.
R1_Refleksi AGB.indd 186
07/04/2010 19:04:35
Dr. Andriyono Kilat Adhi
187
• Berkaitan dengan sistem kontrol, baik yang dilakukan oleh laboratorium pusat maupun yang berada di daerah, belum mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh Komisi Eropa. Terlihat dari pelaksanaan kontrol terhadap kualitas produk, baik melalui uji organoleptik untuk tingkat kesegaran produk perikanan maupun dalam sampling kandungan histamin yang harus dilakukan sesuai dengan CD 91/493/EEC, yakni penentuan sampel paling tidak berjumlah 9 buah dalam satu batch. • Sehubungan dengan establishment yang mempunyai approval number untuk ekspor produk perikanan ke UE, tercatat beberapa kelemahan yang menyangkut masalah serius dalam layout, design, dan struktur perusahaan tersebut. Hal ini terlihat dari tidak sesuainya beberapa hal, seperti ruang untuk memasak dan ruang ganti dengan persyaratan yang ditentukan oleh UE. • Demikian juga dengan residue monitoring plan, telah dilaksanakan di berbagai tingkat, baik pabrik makanan, farm maupun lokasi produksi perikanan. Namun demikian, walaupun segala bentuk antibiotik telah dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi tidak terdapat kontrol secara resmi dari pemerintah serta lembaga penanggungjawabnya. Secara umum disimpulkan oleh Tim Inspeksi, bahwa Competent Authority Indonesia tidak melakukan fungsi pembinaan dan fungsi kontrol terhadap produk perikanan yang dihasilkan, baik dalam pelaksanaan, penyelenggaraan dan penentuan standard oleh perusahaan pengolah yang berlaku secara nasional. Hal tersebut diperkuat dengan terlihat banyaknya kelemahan di berbagai bidang, termasuk kasus penemuan produk yang secara hygienis tidak memenuhi syarat serta banyaknya establishment Indonesia yang masuk dalam daftar RASFF. Melalui diplomasi yang terjalin secara intensif, UE meminta agar Indonesia dapat segera mengatasi berbagai permasalahan baik tentang banyaknya perusahaan yang masuk daftar RASFF serta penanganan secara tuntas masalah tingginya kandungan histamine pada produk tuna. Langkah yang harus segera dilakukan oleh CA Indonesia adalah melakukan review secara menyeluruh terhadap Approval number (berjumlah 277) yang telah dikeluarkan. Hal ini didasarkan pada tingkat kemampuan CA dalam melakukan kontrol, monitoring dan pembinaan terhadap perusahaan yang mendapatkan masalah berkaitan dengan sanitasi dan kesehatannya. Selain itu, terhadap perusahaan pengolah perikanan yang aktivitasnya sangat rendah atau cenderung tidak melakukan kegiatan ekspor, maka perlu
R1_Refleksi AGB.indd 187
07/04/2010 19:04:35
188
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
dilakukan review secara menyeluruh. Semakin sedikit jumlah perusahaan yang mempunyai approval number, maka kontrol CA akan semakin mudah, sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan kualitas dan mutu yang dipersyaratkan oleh UE. Mengingat lokasi perusahaan tersebar dari Sabang sampai Merauke, maka lembaga yang mengeluarkan sertifikat kesehatan juga diserahkan kepada laboratorium penguji/sertifikasi mutu (LPPMHP) di tingkat provinsi. Dalam pelaksanaannya, CA secara regular harus melakukan verifikasi terhadap sertifikat mutu yang dihasilkan oleh LPPMHP. Berdasarkan keadaan tersebut, fungsi kontrol yang seharusnya dilakukan oleh CA menjadi terhambat, mengingat banyaknya perusahaan yang mempunyai Approval Number tersebut.
c. Ancaman Suspend oleh DG Sanco Berdasarkan temuan Tim Inspeksi Veteriner dan semakin meningkatnya jumlah perusahaan pengolah perikanan Indonesia yang masuk dalam daftar RASFF Komisi Eropa, serta respon yang kurang cepat dari CA terhadap action plan dalam upaya mengatasi masalah alert, baik histamin, kontaminasi logam berat mercury dan cadmium, mikroba dan antibiotik, maka dalam pertemuan non formal antara pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Komisi Eropa, disampaikan serangkaian alternatif kebijakan yang akan dilakukan. Kebijakan tersebut berupa : • Men-suspend semua impor produk perikanan dari Indonesia karena adanya tekanan dan permintaan dari negara anggota. (Setelah terjadinya kasus keracunan yang menimpa 5 orang di Belgia yang mengkonsumsi tuna loins yang terkontaminasi histamine). • CA melakukan suspend sendiri terhadap perusahaan pengolah produk perikanan yang masuk dalam RASFF. Hal ini disampaikan mengingat Komisi Eropa tidak menginginkan terjadinya suspend bagi ekspor produk perikanan Indonesia. Mengingat seriusnya permasalahan yang terkait dengan ekspor produk perikanan Indonesia ke UE, diperlukan adanya koordinasi dan kerjasama yang erat pejabat instansi terkait untuk dapat meningkatkan prosedur pengawasan sanitasi produk perikanan, baik tuna maupun produk perikanan lainnya seperti swordfish dan udang, agar memenuhi standard kesehatan dan sanitasi sesuai dengan Regulasi UE (Council Directive No. 91/493/EEC). Walaupun Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pengawasan
R1_Refleksi AGB.indd 188
07/04/2010 19:04:35
Dr. Andriyono Kilat Adhi
189
sejak dari proses penangkapan dan pengolahan sebelum diekspor ke negara anggota UE, namun proses pencemaran masih terjadi baik pada saat proses penanganan maupun distribusi di UE. Selain itu Komisi Eropa mengharapkan adanya aktivitas CA Indonesia sebagai berikut : • Adanya jaminan tertulis dari Pemerintah Indonesia untuk menangani secara serius permasalahan yang menyangkut kontaminasi histamin pada ikan tuna, logam berat pada swordfish serta dapat meningkatkan prosedur pengawasan sanitasi produk perikanan, sehingga memenuhi standard kesehatan dan sanitasi sesuai dengan Regulasi. • Competent Authority di Indonesia dapat mengadakan evaluasi ulang terhadap perusahaan pengolah dan eksportir produk perikanan yang mendapat approval number dari UE. Menurut laporan tim inspeksi FVO, banyak pabrik pengolah produk perikanan, selain tidak mengerti juga tidak menerapkan standard hygienis yang diminta UE. Selain itu juga, diharapkan agar instansi yang terkait dengan kegiatan ekspor produk komoditi perikanan dan kelautan, agar menerapkan secara tegas sistem pengawasan terhadap kualitas produk ekspor perikanan sesuai standard UE.
d. Audit Menyeluruh terhadap Establishment dan Pemberitahuan tentang Izin Ekspor Kembali Perusahaan yang Terkena Suspend Sementara Atas rekomendasi DG Sanco maka Competent Authority Indonesia telah melakukan self suspension terhadap perusahaan pengolah perikanan yang berulang kali terkena RASFF. Hal ini untuk menghindari langkah yang akan dilakukan oleh Negara Anggota UE melakukan embargo terhadap seluruh ekspor produk perikanan yang berasal dari Indonesia. Dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan terhadap beberapa establishment yang “bermasalah”, maka diputuskan untuk melakukan suspend sementara terhadap 16 perusahaan pengolah perikanan. Competent Authority di Jakarta menyarankan agar ke 16 perusahaan tersebut memperbaiki system proses produksi perikanan agar sesuai dengan standard serta persyaratan yang berlaku di UE. Setelah melakukan overall audit terhadap perusahaan tersebut, maka diusulkan oleh Competent Authority, agar 9 perusahaan yang dinilai comply dengan standard yang berlaku di UE, untuk mengekspor kembali produk perikanannya. Hal ini disampaikan dengan pertimbangan bahwa sistem
R1_Refleksi AGB.indd 189
07/04/2010 19:04:35
190
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
produksi serta pengolahan produk perikanan telah sesuai dengan sistem yang berlaku di UE. Selain itu, DG Sanco juga mempersoalkan serangkaian fakta yang terdapat di lapangan, bahwa beberapa perusahaan pengolah perikanan (di luar 16 yang mendapat suspend sementara oleh CA di Jakarta) masuk dalam daftar RASFF untuk histamin dan cadmium. Dengan demikian, Komisi Eropa berpendapat bahwa CA melalui Laboratorium Penguji Mutu (LPPMHP) di provinsi belum menjalankan mekanisme fungsi kontrol dengan baik seperti yang diharapkan oleh DG Sanco. Terlihat dengan jelas, bahwa DG Sanco telah memasang rambu-rambu persyaratan yang belum dapat dipenuhi oleh CA di Jakarta. Peraturan dan Persyaratan yang disampaikan oleh Komisi Eropa tersebut mempersulit posisi CA di Jakarta sebagai lembaga yang diakui sederajat dengan DG Sanco di Indonesia.
Kesimpulan dan Saran Tindak Lanjut Kesimpulan Dari serangkaian penjelasan terhadap gambaran keadaan ekspor produk perikanan dan kelautan Indonesia di UE saat ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : • Terdapat indikasi bahwa sejumlah establishment memiliki lebih dari satu approval number sebagai ijin untuk melakukan ekspor hasil perikanan ke pasar UE. Hal ini diperkirakan dapat menyulitkan CA dalam menjalankan fungsinya sebagai pembina, pengawas, fasilitator utama serta meningkatkan kinerja perusahaan pengolah produk perikanan dalam proses produksinya untuk tujuan ekspor ke UE. • Kurangnya upaya koordinasi, kerjasama, dan fasilitasi antara DKP dan instansi terkait lainnya dalam menangani permasalahan perikanan secara kesuluruhan menyebabkan kurangnya informasi dan fasilitasi kepada eksportir dalam meningkatkan proses produksinya, secara kualitas maupun kuantitas terutama untuk pasar UE. • Rendahnya kuota ekspor tuna kaleng ke UE dibandingkan dengan kapasitas produksi ikan tuna Indonesia, sangat merugikan perkembangan industri pengalengan tuna yang cenderung semakin berkurang jumlahnya. Hal ini tentu saja dapat dimanfaatkan negara-negara lain untuk meningkatkan produksinya, baik secara legal maupun secara illegal fishing.
R1_Refleksi AGB.indd 190
07/04/2010 19:04:35
Dr. Andriyono Kilat Adhi
191
Saran Tindak lanjut Berkaitan dengan hal tersebut di atas, serta untuk menjaga reputasi dan kredibilitas serta kelangsungan ekspor produk perikanan Indonesia ke UE, maka perlu adanya komitmen pihak terkait dengan mengadakan evaluasi ulang terhadap perusahan pengolah dan eksportir produk perikanan yang mendapat approval number dari UE. Selain itu diharapkan agar Competent Authority Indonesia dapat menjalankan fungsinya secara serius baik untuk melakukan suspend sementara atau men-delisted perusahaan yang terbukti tidak memenuhi standard UE serta melakukan monitoring dan audit perusahaan tersebut, sampai memperlihatkan kembali kinerjanya sesuai dengan persyaratan UE, yakni melalui: • Competent Authority Indonesia menjamin dapat menjalankan fungsinya secara serius untuk melakukan pemeriksaan kualitas produk perikanan sebelum keluar dari Indonesia. Hal ini diperlihatkan dengan pengeluaran sertifikat kesehatan yang dilengkapi dengan hasil analitis laboratorium secara lengkap. • Memperbaiki kelemahan kinerja Competent Authority dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga monitoring tersebut, serta meningkatkan kemampuan SDM-nya. • Mengkaji ulang sistem registrasi freezer dan fishing vessels agar sesuai dengan persyaratan/standard mutu, sanitasi, dan hygiene. • Untuk mempermudah koordinasi, kelancaran, dan peningkatan fasilitasi kepada establishment, seyogyanya institusi pemberi approval number serta lembaga yang menangani promosi dan ekspor perikanan sebaiknya dapat disatukan. • Mengingat seriusnya permasalahan kelangsungan ekspor produk perikanan Indonesia ke UE, maka diharapkan adanya program perbaikan sektor perikanan yang didukung kerjasama yang erat dari berbagai pihak, yang dimotori oleh perwakilan Indonesia yang menangani agribisnis sebagai mata hati intelijen pasar. Dengan demikian, perlu adanya koordinasi kebijakan dan langkah-langkah terpadu antardepartemen terkait dengan menggunakan prinsip Indonesia Incorporated.
R1_Refleksi AGB.indd 191
07/04/2010 19:04:35
R1_Refleksi AGB.indd 192
07/04/2010 19:04:37