1. 2. 3. 4. 5.
RESOLUSI PALANGKARAYA: Tidak ada hak adat, tidak ada REDD (p.1) YPD LETTER TO AUSTRALIAN DELEGATION (Yayasan Petak Danum) (p.7) Hentikan Proyek REDD Indonesia – Australia Di Wilayah Adat Dayak Kalimantan Tengah (Masyarakat adat Kabupaten Kapuas) (p.10) Stop the Indonesia – Australia REDD+ Project (Masyarakat adat Kabupaten Kapuas - EN) (p.12) Sikap AMAN Kalteng Mengenai REDD+ dan RTWP (AMAN) (p.13) Indigenous Peoples’ organisation demands “immediate moratorium” on REDD+ in Central Kalimantan (AMAN - EN) (p.17) Siaran Pers: Aliansi Masarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah (p.20)
RESOLUSI PALANGKARAYA: Tidak ada hak adat, tidak ada REDD Kamis, 30 Desember 2010 21:25 No Rigths – No REDD Kebijakan Perubahan Iklim - REDD Kalimantan Tengah Palangkaraya, 17 Desember 2010 Resolusi Pelangkaraya, 17 Desember 2010, hasil dari proses Dialog dan Lokakaya Kebijakan Program Perubahan Iklim – REDD dan Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah. Agenda ini melibatkan + 100 peserta dari para pihak terdiri dari Wakil Pemerintah Pusat (Dewan Nasional Perubahan Iklim - DNPI), Perusahaan Daerah, Perguruan Tinggi Universitas Pelangkaraya, CINTROP Unpar, Lembaga Adat Provinsi-Kabupaten, Kadamangan, Tokoh-tokoh Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Rakyat, Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan Tengah. Agenda 16 dan 17 Desember 2010, merefrensi ke dialog tingkat Kecamatan Mantangai (10-11 November 2010) dan Kabupaten Kapuas (2-3 Desember 2010). Bahwa sesungguhnya sumberdaya gambut setiap jengkal tanah, hutan, danau-danau, sungai-sungai, rawa-rawa dan kebun-kebun mengalirkan darah kami dan generasi sejak berabad-abad, menciptakan teknologi dan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk pengelola sumberdaya gambut dalam wujud kebun karet, kebun rotan, kebun purun, kebun pantung, hutan adat, sungai, tatah, handil, beje, danau yang mengalir dalam nafas kehidupan kami memberikan manfaat bagi pendidikan, kesehatan, kebudayaan yang miliki batas-batas yang melindungi kedaulatan dan kemerdekaan hak-hak kami menjaga wilayah gambut tetap lestari. (….sumber teks Piagam Gambut, 4 Desember 2010). Resolusi palangkaraya ini menjelaskan gambaran sesungguhnya sedang terjadi upaya yang sangat kuat dan sistematis dari Negara-negara maju melalui kerjasama bilateral dan multilateral melalui proyek pembangunan rendah karbon atau REDD di Kalimantan Tengah, mengancam kehidupan masyarakat adat atas hak-hak pengelolaan sumberdaya alam gambut. Ini bentuk baru dari upaya penggusuran dan mengalihkan hak masyarakat adat dari akses dan
1
kekayaan hutan gambut di Kalimantan Tengah. Sehingga, masyarakat adat mendesak untuk tidak melanjutkan proyek REDD bila tidak mengakui hak-hak masyarakat adat – tidak ada hak adat, maka akan pernah tidak ada REDD. Indonesia memiliki kawasan tropika basah hutan rawa gambut yang cukup luas. Selain kaya akan keanekaragaman hayati, setengah dari seluruh kawasan hutan rawa gambut merupakan sungai-sungai, danau-danau dan vegetasi hutan rawa yang endemic, mempunyai keunikan airnya berwarna hitam dikenal ekosistem air hitam. Karena kemampuannya untuk menyimpan air dalam jumlah besar, hutan rawa gambut berperan penting dalam mengurangi banjir dan menjamin pasokan air berkelanjutan. Data DepHut Tahun 1997, lahan gambut Indonesia, sekitar 38 juta hektar, meliputi Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pulau Kalimantan memiliki luas gambut + 5 juta hektar, 3,1 juta hektar terdapat di Kalimantan Tengah. Perubahan iklim adalah buah dari kegagalan pembangunan di negara maju dalam memproduksi emisi (pencemaran udara) dari proses ekploitasi sumberdaya alam dan pengembangan teknologi yang menghasilkan mesin produksi, otomotif, pertanian, perkebunan, rumah tangga dlsb. Berdasarkan Protokol Kyoto, Negara Industri dalam satu decade saja, emisi karbon dioksida (CO2) mereka tak banyak turun. Negara Amerika 20,6, Kanada 20,0, Australia 16,2 Rusia 10,6, Inggris 9,8, Malaysia 7,5, Prancis 6,0 China 3,8 dan Indonesia hanya 1,7 ton perkapita. Dampak dari perubahan iklim ini memberikan tekanan terhadap kehidupan manusia, salah satu contohnya, naiknya suku udara, naiknya permukaan laut, gelombang, kekeringan, krisis air sampai wabah penyakit yang meluas. Dampak ini pada umumnya di terima oleh; masyarakat adat, nelayan, petani, buruh, anak-anak, perempuan dan sector-sektor informal dan krisis berkepanjangan. Salah satu dari program kerjasama IAFCP ini adalah proyek REDD (Reduction Emission from Deforestatiton And Degradation atau Pengurangan emisi melalui pengurangan kerusakan Lahan Hutan Dan Penghindaran Penggundulan Hutan), diberi nama Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) dan berlokasi di kawasan Eks Proyek Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, direncanakan seluas 120.000 hektar – terletak di 14 Desa/Dusun Kecamatan Mantangai – Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Proyek ini bertujuan untuk melindungi dan merehabilitasi kawasan hutan gambut yang rusak. Kemudian rencana proyek iklim skema lain di Kalimantan Tengah, model Restorasi hutan seluas 250.000 hektar di wilayah Kabupaten Katingan. Kebijakan perubahan iklim di Kalimantan Tengah bertentangan dengan kebijakan pemberian ijin perkebunan kelapa sawit skala besar meng-konversi hutan di eks PLG + 360.000 hektar yang di bagikan kepads 23 unit perusahaan, dan ijin pertambangan lainnya. Praktek ini indikasi kuat pelanggaran hukum (UU 32/2009) dan tindak pidana korupsi. Selain di eks PLG, proses perijinan usaha tambang yang mengkonversi hutan juga terus di keluarkan oleh Pemerintah di banyak tempat. Dalam merespon terjadinya perubahan iklim, inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya gambut sejak turun temurun, merupakan bentuk Mitigasi dan Adaptasi sampai saat ini belum mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai solusi krisis iklim baik dari pemerintah, perguruan tinggi dan dunia international– justru sebaliknya – hak-hak masyarakat. Atas pengetahuan, kearifan, hukum adat serta kekayaan alam gambut terancam dan di gusur oleh hadirnya program perubahan iklim dengan skema REDD (120.000 hektar) dan perkebunan kelapa sawit sekala besa (380.000 hektar), Areal Konservasi BOSF Mawas (377.000 hektar). Inisiatif ini juga memiliki landasan hak-hak atas pengelolaan sumberdaya alam gambut yang secara turun temurun berjalan dengan sistem dan pengetahuan tradisional yang di yakininya berdasarkan aturan lokal (hukum adat) yang berlaku. Hak-hak atas sumberdaya alam, hak atas menentukan nasib sendiri telah mendapat pengakuan penuh di tingkat PBB (UNDRIP) dan Konstitusi Negara Indonesia – bahkan menjadi satu
2
kesepakatan pertemuan Tumbang Anoi 1894. Inisiatif masyarakat dilandasi Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam baik secara tradisi maupun budaya telah melekat sejak di lahirkan sebagai Hak Asasi Manusia untuk menentukan hidup dan kehidupannya secara turun temurun. Proses implementasi kebijakan perubahan iklim di Kalimantan Tengah, ditemukan indicator dan fakta yang kuat proyek ini telah melakukan beberapa hal yang menyangkut informasi dan kegiatan, diantaranya: 1. Proyek KFCP ini didanai oleh International Forest Carbon Initiative (IFCI), sebesar 30.000.000 dollar Australia. Komponen utama kegiatan, antara lain: sosialisasi REDD, pemantauan dan pengukuran baseline emisi GRK, pengembangan mekanisme pembayaran, peningkatan kapasitas manajemen dan teknis REDD serta kesiapannya. 2. Sejauh ini, informasi dari inisiatif proyek KFCP dan pembangunan rendah karbon tidak banyak diketahui publik luas, apalagi komunitas dikawasan hutan gambut yang terancam akan terpengaruh oleh proyek tersebut. 3. Implementasi Proyek REDD dimulai dengan Uji coba demontrasi, telah berjalan sejak tahun 2008 sampai saat ini (2010) mulai dari pekerjaan persiapan adminsitrasi sampai implementasi kegiatan di tingkat lapangan meliputi 14 Desa/Dusun Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas. 4. Melakukan rencana pembuatan tabat (penutupan pada jaringan tata air) berupa tabat (saluran tata air tradisonal yang dibuat masyarakat) pada 13 tatas yang berada di wilayah hak masyarakat adat. 5. Masyarakat setempat (14 Desa/Dusun) khawatir proyek REDD akan mengulangi permasalahan yang di hadapi. Pengalaman masyarakat dalam proyek pembangunan PLG 1 hektar di lahan gambut yang gagal, proyek konservasi BOSF Mawas, Proyek Wetland International, Proyek CARE International dan proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit dan sebagainya tidak membawa hasil dan manfaat berarti bagi masyarakat setempat, lebih cendrung merusak fungsi social, ekonomi budaya dan ekologi lingkungan dan tatanan kehidupan masyarakat adat setempat. 6. Melakukan kegiatan pemetaan wilayah desa, penyuluhan, pembentukan kelompok kerja di desa, pembayaran tenaga kerja yang terlibat dalam proyek --mendapatkan uang bagi penduduk dan penanaman pohon reforestasi seluas 25 hektar yang di rencanakan, dan baru 8 hektar yang di tanam di desa Mantangai Hulu. 7. Pelaksana proyek telah melakukan tekanan dan intimidasi terhadap warga yang tidak setuju dengan kehadiran proyek perubahan iklim REDD di Kecamatan Mantangai, karena proyek REDD ini mengancam hak-hak adat masyarakat setempat khususnya, umumnya masyarakat di 14 Desa/Dusun. 8. Tekanan dunia international atas Indonesia untuk persoalan isu perubahan iklim sangat kuat, sehingga Indonesia sebagai Negara yang kaya sumberdaya alam, dan memiliki kemampuan untuk posisi tawar tidak berdaya, sehingga mengeluarkan kebijakan sentralistik dan di paksakan agar mendapat dukungan pendanaan karbon 9. Mekanisme pembayaran pengurangan emisi yang di hasilkan melalui mekanisme fiscal (keuangan Negara) seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), dana pihak
3
ketiga, penyertaan pada alokasi APBN-APBD – ada peluang pengalihan dana kepada yang tidak berhak (atau kepentingan lain) atau indikasi korupsi. 10. Pandangan proyek perubahan iklim – REDD atas fungsi hutan hanya berfungsi sebagai penyerap karbon. Tetapi fungsi-fungsi hutan sebagai fungsi social, fungsi ekonomi, fungsi budaya, hukum dan politik kewilayahan bagi masyarakat adat. Situasi tersebut diatas,kebijakan perubahan iklim – REDD ini membawa dampak pada hak masyarakat adat dan pengetahuannya dalam pengelolaan sumberdaya gambut di Kalimantan Tengah, antara lain: 1. Posisi masyarakat adat dalam proyek kebijakan perubahan iklim hanya sebagai OBYEK dari sebuah scenario besar duna (sindikat) perdagangan karbon dan pencucian dosa-dosa negara kaya. 2. Status areal atau penetapan kawasan REDD adalah status kawasan Lindung, Taman Nasional, Restorasi yang menutup akses dan harus bebas dari kehadiran masyarakat. 3. Proyek Perubahan Iklim – REDD menciptakan Konflik baru sumberdaya alam di tingkat bawah, contohnya: konflik horisontal antara masyarakat dengan masayarakat, konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah hak-hak atas tanah dan sumberdaya alam – sementara negara penghasil emisi tidak bertanggungjawab. 4. Ancaman atas hak-hak masyarakat adat terhadap upaya pengalihan penghidupan masyarakat dari hutan – atau dikeluarkannya hak dan akses masyarakat dari sumberdaya hutan untuk beralih pada mata pencaharian lain. 5. REDD model baru untuk menggusur masyarakat dari akses sumberdaya hutan – setelah model Hutan Lindung, Taman Nasional dan Kawasan Cagar Alam. Menetapkan sebuah resolusi Palangkaraya pada tanggal 17 Desember 2010 dengan mempertegas pernyataan dan rekomendasi bagi para pihak sebagai berikut: 1) Keberadaan proyek perubahan iklim yang sesungguhkan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat setempat – justru sebaliknya mengancam hak masyarakat akan kehilangan aksesnya, maka proyek REDD tolak kehadirannya. Dan masyarakat berhak untuk mengajukan model lain di luar skema REDD yang dapat menjamin kehidupan masyarakat local yang di kelola secara mandiri dan berdaulat. 2) Negara-negara maju dan Pemerintah Indonesia sebaiknya belajar pada inisiatif masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya gambut merupakan salah satu pilihan tepat dalam solusi krisis iklim global. Sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat dalam proses Adaptasi dan Mitigasi dengan cara : menanam pohon, merehabilitasi dan menjaga hutan adat, bertani padi sawah, merehabilitasi kebun rotan, karet, membuat kolam beje dan keramba, membuat sekat bakar tradisional, membangun rumah terapung, rumah panggung, dan meramal situasi dan kondisi desa kedepan berdasarkan pengetahuan-keariafan local untuk tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya gambut.
4
3) Penindak tegas secara hukum bagi investor perkebunan kelapa sawit yang di duga melakukan pelanggaran UU dan konversi hutan gambut tanpa procedural yang yang berlaku. 4) Tata ruang desa/ wilayah adat yang telah di petakan secara bersama oleh masyarakat, agar menjadi acuan peta tata ruang wilayah Kabupaten dan Provinsi (RTRWP dan RTRWK) – sehingga konflik sumberdaya alam dapat di selesaikan dan hindari. 5) Menghentikan proyek perubahan iklim REDD dan segera mengembangkan ekonomi kerakyatan, pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan insentif bagi masyarakat dalam upaya penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah. Rekomendasi Bagi Pemerintah: 1) Pemerintah mempercepat proses penyelesaian RTRWP dan RTRWK status kawasan Kalimantan Tengah, dengan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat atas sumber kekayaan alam gambut yang telah di invesntarisasi di atas peta yang dibuat berdasarkan tata ruang desa dan antar desa. 2) Pemerintah segera mengakui kedaulatan masyarakat adat atas sumber-sumber kekayaan alam seperti tanah adat, hutan adat, sungai-sungai, danaudanau, tatas, handel, kolam tradisional (beje), kebun rotan, kebun karet, kebun purun, satwa yang dilindungi, tempat keramat, pahewan dan yang menyangkut tatanan social budaya dan tradisi masyarakat disebuah wilayah desa dan adat. 3) Mendesak kepada Pemerintah tidak mengeluarkan rekomendasi implementasi proyek REDD sebelum Pemerintah menyatakan secara tertulis tentang pengakuan hak-hak masyarakat atas sumberdaya gambut di wilayah adat desa dan antar desa. 4) Moratorium (mengentikan berjangka waktu) semua aktivitas proyek apapun di eks PLG, dan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat, hutan adat dan sumberdaya alam bersama masyarakat adat. Rekomendasi Bagi Perusahaan Swasa: 1) Mendesak segera kepada seluruh perusahaan perkebunan besar kelapa sawit yang berada di eks PLG dan sekitarnya agar menghentikan aktivitasnya dan mengembalikan hak-hak masyarakat atas tanah adat, hutan adat, kebun karet, kebun rotan, tatas, handel dan tempat-tempat keramat dengan segera tanpa syarat. 2) Memberitahukan kepada pihak swasta yang sedang merencanakan program perubahan iklim – REDD model Restorasi hutan di Kabupaten Katingan seluas 250.000 hektar, agar menghentikan rencana tersebut, karena akan mengancam hak-hak masyarakat adat di wilayah proyek. 3) Memperingatkan kepada pihak perusahaan yang mendapat bantuan pihak kepolisian setempat (Polsek, Polres dan Polda) agar tidak melakukan kriminalisasi - menggunakan pasal-pasal karet di KUHP kepada masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya atas tanah adat, hutan adat dlsb yang di
5
gusur dan di rampas akibat pelaksanaan proyek perkebunan kelapa sawit. Rekomendasi Bagi Masyarakat dan Lembaga Adat: 1) Mempertegas status wilayah adat di desa dan antar desa dalam Penetapan, pengukuhan tanah adat, hutan adat dan wilayah adat segera dilakukan di seluruh kerapatan adat masyarakat di eks PLG atas kekayaan sumberdaya gambut. 2) Mendorong Dewan Adat Dayak Kabupaten untuk memerintahkan Semua Damang di tiap Kecamatan segera melaksanakan Perda 16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak dan Pergub 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah. Hal yang mesti di perhatikan dalam penguatan Implementasi kedua kebijakan daerah ini; 1) Penguatan Kelembagaan Adat, 2) Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Pengurus Adat dan 3) Pengembangan Ekonomi untuk kesejahteraan. 3) Diperlukan kerjasama antar desa dalam upaya penyelamatan gambut di Kalimantan tengah yang di dukung oleh kebijakan pemerntah, pengembangan sumberdaya manusia, dan peningkatan ekonomi berbasis sumberdaya alam berkelanjutan 4) Mengembangkan Prinsip-prinsip bersama berbasis kearifan loal atas kekayaan sumberdaya gambut. untuk proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan seperti prinsip: Keadilan social, Penghargaan pengakuan terhadap pengetahuan local, pengetahuan adaptasi dan mitigasi secara proses kebudayaan telah terbangun sejak bertahun-tahun menciptakan teknologi, aturan hukum local, budidaya, bahasa local – prinsip pengakuan kedaulatan atas tanah adat, hutan adat, sungai, danau, tatas, handel, kebun karet, kebun rotan, purun, satwa; prinsip yang mengacu pada kerangka kerja PBB UNDRIP, ILO 169, dan FPIC. 5) Peluang masyarakat adat dalam proses pelibatan atas isu perubahan iklim, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan belum cukup untuk memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya alam gambut, sehingga upaya untuk memajukan skema lain di luar REDD menjadi penting untuk di persiapkan dan di perjuangkan bersama. Rekomendasi Bagi Perguruan Tinggi dan LSM: 1.
Perguruan tinggi, Akademisi dan LSM di harapkan dapat melakukan pendampingan proses pemberdayaan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam gambut dan pengetahuannya.
2.
Perguruan tinggi, Akademisi dan LSM dapat melakukan advokasi bersama hak-hak masyarakat atas tanah adat, hutan adat, dan sumberdaya alam lainnya, atas pengetahuan, teknologi, bahasa local dengan melibatkan masyarakat adat dilibatkan mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi.
3.
Perguruan tinggi, Akademisi dan LSM dalam merespon isu perubahan iklim – REDD sudah menjadi kewajiban untuk berpihak kepada hak-hak masyarakat adat Kalimantan Tengah atas tanah adat, hutan adat dan sumber kekayaan alam gambut lainnya yang telah lama di perjuangkan untuk
6
kedaulatan dan kesejahteraan. http://www.petakdanum.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82%3Aresolusi-pangkaraya&catid=37%3Asiaran-pers&Itemid=80&lang=id
YPD LETTER TO AUSTRALIAN DELEGATION Jumat, 25 Februari 2011 11:17 YPD LETTER TO AUSTRALIAN DELEGATION Yayasan Petak Danum Kalimantan Tengah Lembaga Pengkajian, PSDA Gambut-Lingkungan Hidup, Penguatan Kelembagaan, Hak Dasar Perekonomian, Sosial, Budaya dan Partisifasi Politik Masyarakat Sipil Jln. A. Yani Gang V No.102 RT.VIII Kelurahan Selat Hilir-Kecamatan Selat 73513 Kuala Kapuas Kabupaten Kapuas-Kalimantan Tengah, Indonesia Telp : 0513-22352 Mobile Phone 0813 4626 4225 Dasar Hukum : Akte Notaris No. 01/98, No.223/904/SOSPOL, Izin Domisili No.SK/167/KST/XI/1998 Ref: Nomor: 381.As/YPD-KT/Kps-XI/2010 Thursday, 24 February 2011 Kuala Kapuas To the Australian Delegation to Central Kalimantan February 2011, RE: Community Concerns with the KFCP Dear Delegation, It is with great pleasure that we welcome you to our Dayak country. We appreciate your efforts in supporting forest protection and peatland restoration to reduce emission from deforestation and peatlands in Indonesia. On behalf of community leaders in the Yayasan Petak Danum (YPD) network and following my visit to Canberra in November 2011, I would like to draw your attention to the following issues based on our independent monitoring and analysis of the KFCP activities in the districts of Mantangai and Timpah (with a total of fourteen villages and hamlets): 1. Bias reporting of the KFCP project progress – we understand that KFCP field staffs are paid on a performance-based basis and hence the incentive to engage in distorted positive reporting is high. We fear the effectiveness of the KFCP as a REDD+ pilot project will be compromised from the lack of accurate and reliable information to draw lessons from and to learn from, which should be the primary goal of a pilot project. 2. Lack of recognition and respect for customary (Indigenous) rights – our custom or adat has been in practice for a long time before the formation of the current regime and legal system. Its effectiveness and strength in ensuring the integrity and sustainability of the natural environment speaks for itself,
7
judging from the healthy state of the environment and forest in Kalimantan until externally imposed commercial exploitation started to devastate, damage and encroach on customary/Indigenous land and forests. Since then, our people have been progressively disempowered and impoverished through decades of destructive projects either imposed directly by the Government or indirectly, with their blessing, through the uncontrolled and often illegally issuing of permits and/or concessions through bribery and corruption, all done without giving any due respect or recognition to our custom and rights. To date the Government of Indonesia has yet to formally honour the land tenure and rights of the Dayak people. Therefore the KFCP, by collaborating with the Indonesian Government, inevitably also condones this lack of consideration and hence the continued undermining of our customs and rights. 3. Lack of recognition of the customary Dayak wisdom – since the destruction of our peatland and forests from the failed mega-rice project (PLG), we have worked hard to restore areas closed to our villages and in our traditional farms. We have many good examples of fire prevention strategy through careful planting of crops which are resilient to forest fire. We also have other traditional ways of fire management and conservation which have a proven 2 Laporan Khusus Temuan Projek KFCP Kalimantan Tengah – 21 Februari 2011 track record of effectiveness. We have offered our assistance to KFCP staff based on our traditional wisdom and knowledge but to no avail. Instead they prefer to pursue a strategy which we know will not work. 4. Missing the big picture of destruction – the KFCP project with a 120,000 hectares (half the size of Australian Capital Territory or ACT) project area pales in comparison with the 15.1 million hectares of the total area in central Kalimantan, at least 83% of which will be converted or destroyed through either oil palm, monoculture pulp plantations or mining permits issued by the relevant authorities. This amounts to 12.5 million hectares which is just under twice the size of Tasmania. Emissions from such a huge area will drastically overwhelm the insignificant and small reduction from the KFCP site, assuming that KFCP will eventually lead to emission reduction, which is an unrealistically optimistic assertion. 5. Absence of effective community consultation and engagement – to date, community consultation and engagement has focused primarily on facilitating project activities and getting the project off the ground. This does not represent a process or an attempt to seek free, prior informed consent. 6. Lack of inclusion of community input in the project and activity design – consultations and presentation as well as community meetings have been biased and focus only on getting the community to accept and participate in activities through monetary payment. All of the activities were externally designed and already planned with no room for community members to provide feedback or to give advice even when they have legitimate concerns and constructive input for the activities. Community participation and acceptance of the project are purely driven by the financial incentive involved, limiting the project’s sustainability and local ownership post project. 7. Lack of understanding of what REDD or Carbon is - Despite the supposedly extensive and comprehensive presentations and community meetings, most community members including many who have taken part in the project activities on a paid basis remained unclear about what REDD is and what carbon is and how their work or the project activities will contribute to emission reductions. As such their participation is far from constituting free, prior informed consent. 8. Lessons learnt not captured - Issues of concern raised by experienced concerned community leaders and individuals have so far not been taken seriously. Community Facilitators deliberately marginalise them as trouble makers who do not understand the project, rather than taking on board issues raised and
8
considering their suggestions in the project or activity design. This does not constitute full and effective participation of communities as expounded by the Cancun Agreement on REDD+. 9. No confidence in the international NGOs contracted to implement the pilot project – The engagement of existing international NGOs with working experience in the area by the Australian Government assumed a positive working relation with local communities. In the case of Borneo Orang Utan Survival (BOS), the relationship has been strained and estranged due to BOS’ complete disrespect for the Dayak’s rights to the remaining forests which they have claimed as conservation area, without consultation with local communities for orang utan rahabilitation. Both of the organisations have not had a track record of success in their previous restoration and conservation work, beyond carving out Indigenous land and forests in the name of conservation which are out of bound for the Dayak. The community is not confident that the NGOs have the skills or the relevant experience to carry out environmental restoration or any other project activities in the area, beyond being paid personnel of the project. 10. No confidence in the Community Facilitator (CF) – The community sees the same Central Kalimantan Peatland Project (CKPP) personnel being engaged for the KFCP with a different 3 Laporan Khusus Temuan Projek KFCP Kalimantan Tengah – 21 Februari 2011 project tag and hence are not convinced that KFCP will be any imporvement from the previous CKPP. They did not see any benefit from the CKPP beyond the payments they received for taking part in externally-conceived project activities. CKPP has left a bad taste amongst the Dayaks as it has resulted in some of their forests being taken away and the restoration work not yielding any sustainable environmental outcome. Therefore the use of a few Dayaks in the CF team offers little comfort to allay the fear of the community that they will end up losing more land and forests through the KFCP project. Besides, in the eyes of the local community, the Dayaks employed are not from the same area nor of the same tribe and are therefore considered to have little interest in the overall welfare of the local Dayak Ngaju beyond his or her own personal self interests. We raised the above issues in good faith in light of the financial assistance from the people of Australia, and to minimise the risk of conflicts in the community and between the various stakeholders. We raise these issues based on our extensive experience gained in the field and from protracted discussions and meetings we have had over the last year. They were obtained directly from YPD field work, from the farmers and rattan makers network and our partners in the KFCP project area. Many of the above issues, especially those in relation to the violation of customary/Indigenous rights, have been raised by YPD and one of our NGO allies, PUSAKA Jakarta, with the Government on three different occasions through the various KFCP workshops in 2010 as follows: · at the sub-district level in the auditorium of the Mantangai sub-district Administration on 10th to 11th November · at the District level at Hotel Raudah in Kuala Kapuas on December 2nd and 4th, and · at the provincial level between 17th and 18th December in the auditorium of the Governor office in Palangkaraya To date, those involved in the KFCP project have not provided any assurance to allay our fear that our basic rights and our rights to natural resource management will be guaranteed for the 120,000 hectares within the KFCP project area. We are now using the motto “No rights, No KFCP” to represent the Dayak sentiment, which is consistent with the Cancun Agreement on REDD+ which recognizes those rights. Since 2003, Yayasan Petak Danum has been supporting communities in 12 villages in the subdistrict of Mantangai through our Community-based Peatland Use Program in accordance with our traditional wisdom. The Plan is designed to reduce poverty and to restore the peatland. We have collected a lot of information from our program and we have a lot of experience in peatland management in response to the destructive mega-rice project. Our plea: As senior Government representatives from an advanced democratic country that respects and upholds human rights and justice; a Government that has so
9
courageously and yet humbly made the historical public apology to the Aboriginal people for the wrongs done to them, we appeal to your delegation to urge the Australian Government to withhold funding from the KFCP project until the issues raised in this letter are resolved. The most effective way to reduce emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia is for Australia, and other bilateral and multilateral donors as well as parties interested in REDD+ projects, to work with the Indonesian Government to rescind existing concessions in carbon rich forests and peatlands and impose an effective moratorium on future conversion concessions of natural forests whilst providing incentives to protect forests and to support lowcarbon human and economic development initiatives. 4 Laporan Khusus Temuan Projek KFCP Kalimantan Tengah – 21 Februari 2011 We fear that if the project goes ahead as it is, public funds from Australia will not only be at risk of being wasted in an ineffective emission reduction project, but Australia will be at risk of being blamed for causing: a. new conflicts within the Dayak Ngaju communities and conflicts between the community and the project as well as the district level government; b. the loss of the Dayak Ngaju’s rights and the loss of livelihood of an estimated 15,000 people in the 14 villages included in the KFCP project – specifically our rights to access natural resources in the peatland and peat forests which have been our traditional sources of livelihoods and which we have been entrusted through adat to sustain from generation to generation; c. The complete loss of the Dayak Ngaju traditional knowledge in the management of rivers (known as Handil and Tatas), streams and creeks in every aspects - from the conceptual, practical to the customary institution. Most of us watched with anguish the wholesale destruction of our land, our forests and our waterways in the duration of the failed mega-rice project (PLG) because we could not fight the violence and brutality of the military under Suharto. A courageous few were beaten up and went to jail for daring to challenge the Suharto Government. Since then our land and forests have been diminishing - destroyed from exploitative commercial activities as well as seized from us in the name of conservation. We were confused by the claims of both the exploiters and the conservationists. We have now learnt our lessons and we will no longer be standing by watching our Indigenous rights eroding away and our natural resources taken away from us. Thank you for your attention and we look forward to your co-operation and response. Yours sincerely, MULIADI, SE Executive Director http://www.petakdanum.org/index.php?option=com_content&view=article&id=83%3Aypd-letter-to-australian-delegation&catid=37%3Asiaranpers&Itemid=80&lang=id Hentikan Proyek REDD Indonesia – Australia Di Wilayah Adat Dayak Kalimantan Tengah Kami yang bertandatangan di bawah ini, Mantir Adat di Kadamangan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, telah melakukan pembicaraan serius pada tanggal 7 – 8 Juni 2011 bertempat di Desa Katunjung Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, hasil monitoring dan evaluasi perkembangan proyek REDD kerjasama Indonesia dan Australia yang di kerjakan oleh KFCP sejak tahun 2009 sampai saat ini Juni 2011, memberikan penilaian dan catatan kritis dari perkembangan proyek, antara lain: 1.
Proyek REDD sejak awal masuk bahkan jauh sebelum peninjauan lapangan (penetapan di atas kertas/peta) telah berada di wilayah Adat Masyarakat Dayak yang meliputi 14 Desa/Dusun di Kecamatan Timpah dan Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas. Penunjukan lokasi areal proyek + 120.000
10
2. 3.
4.
5.
6.
hektar tanpa melalui pemberitahuan dan konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat Dayak. Penunjukan lokasi berdasarkan surat tertanggal 20 Desember 2010 No. KT.12/II-KIM/2010 yang ditanda tangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Selama kehadiran proyek REDD membuat warga masyarakat menjadi resah dan konflik antar sesama warga yang berdampak pada hilangnya persaudaraan, saling curiga dan tidak ada lagi kedamaian yang tercipta di desa-desa. Implementasi proyek REDD, sering kali memberikan tekanan kepada masyarakat baik secara fisik dan fisikologis serta menjajikan UANG jutaan kepada setiap warga bila mendukung. Model seperti ini membuat warga semakin ter intimidasi dan terbuai dengan janji-janji UANG. Ini tidak baik bagi masyarakat hokum adat yang sedang dalam proses semangat kerjasama swadaya dalam melakukan rehabilitasi dan reforestasi paska eks PLG 1 juta hektar. Implementasi dan arahan program REDD yang dilakukan oleh pelaksana proyek menggunakan lembaga KFCP, Yayasan BOS, CARE International, Wetland, Perguruan Tinggi, lebih banyak memberikan tekanan pada warga untuk menutup akses dan pengabaian terhadap hutan adat, perkebunan, dan mata pencaharian perikanan yang berada klaim wilayah REDD. Proyek REDD sejak awal tidak pernah memberikan jaminan secara tertulis atas pengakuan wilayah adat masyarakat adat Dayak. Tetapi lebih banyak penekanan agar masyarakat hokum adat Ngaju untuk mengakui keberadaan areal proyek REDD. Ini merupakan sebuah tindakan tidak memiliki keadilan, kami tidak bisa menerima. Proyek REDD adalah akan dimiliki oleh Australia sebagai penyerap industri kotor Australia (emisi) dan jelas-jelas milik asing. Justru sebaliknya kami yang merupakan lahir dan besar sejak sebelum Negara ini merdeka tidak pernah mendapat keadilan atas wilayah kelola. Implementasi proyek REDD lebih banyak memberikan janji-janji manis kepada warga masyarakat hokum adat Dayak Ngaju, padahal kenyataannya semua itu lebih banyak bohong di tingkat lapangan. Laporan ke atasan semua baik, tetapi kenyataannya tidak benar. Ini tindakan manipulasi proyek REDD kepada masyarakat hokum adat.
Dengan situasi yang berkembang proyek REDD, sikap yang diambil oleh Mantir adalah: 1. Kami Mantir Adat Kadamangan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, menolak kehadiran Proyek REDD karena mengancam Hak dan Kehidupan Masyarakat Dayak di wilayah proyek REDD. 2. Mendesak Bapak Presiden RI. Soesilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia menghentikan Proyek yang telah mengabaikan hak dan mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat dayak. 3. Bapak Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono segera menetapkan melalui sebuah surat keputusan atas hak wilayah kelola masyarakat dayak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, yang telah lama memberikan sumbangan solusi krisis iklim di wilayah Gambut Kalimantan Tengah. 4. Bapak Presiden RI. Soesilo Bambang Yudhoyono segera mengakui inisiatif masyarakat hukum adat dayak dalam mengelola gambut melalui penanaman, rehabilitasi, pemeriharaan sungai, tatas kebun-kebun, hutan-hutan adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari solusi krisis iklim bumi (diluar mekanisme REDD). Masyarakat dayak telah melakukan perlindungan sumberdaya gambut dengan kearifan lokalnya. Kami tidak memerlukan hadirnya REDD, kami tidak perlu janji-janji. Apa yang kami lakukan untuk solusi krisis iklim untuk keselamatan umat manusia di dunia – bukan mencari dana karbon. Yang kami perlukan saat ini pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, peningkatan ketrampilan dan pengetahuan, penyediaan teknologi yang memadai dan tepat guna, kebijakan permodalan yang memadai dan dukungan rehabilitasi kebun-kebun serta hutan adat yang terbakar 3 tahun terakhir. Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. Katunjung, 8 Juni 2011
11
http://walhi.or.id/en/ruang-media/pernyataan-sikap/973-hentikan-proyek-redd-indonesia–australia Stop the Indonesia – Australia REDD+ Project Friday, 17 June 2011 18:02 administrator "We do not need the aid of REDD mechanism. We do not need promises of any kind. We have been doing what we have done as a solution to the climate crisis for the safety of all human beings in the world – not to seek carbon funds." Statement of our Stance Mantir Adat (Custom Keepers) of Kadamangan Mantangai District of Kapuas Central Kalimantan Stop the Indonesia – Australia REDD+ Project In the Customary Area of the Dayak People in Central Kalimantan We the undersigned Mantir Adat (Custom Keepers) of Kadamangan Mantangai, in the District of Kapuas in Central Kalimantan met and had serious discussions on 7th and 8th June 2011 at the village of Katunjung in the sub-district of Mantangai. Our statement is based on findings from the monitoring and evaluation of the development of the Indonesia- Australia REDD+ project known as the Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) since 2009 to the present in June 2011. We hereby provide our assessment and comments with respect to this pilot project: 1. Since the conception of the REDD+ project way before any consultation at the field level, the location as shown on the map then already suggested that it would be situated within the customary land involving 14 villages and hamlets in the sub-districts of Timpah and Mantangai in the district of Kapuas. The location of the 120,000 hectares project area had already been decided without notifying the community or having any consultation with the Dayak community. The site chosen was stated in the letter dated 20th December 2010 No. KT.12/II-KIM/2010 which was signed by the SecretaryGeneral of the Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia. 2. The REDD+ project has brought unrest and conflicts to the community. People who are affected by this project felt that they have lost the strong sense of community and kindred spirit because of the project. People are suspicious of each other and the tranquillity and peace which we once had in the villages are gone. 3. The implementation of the REDD project often bring pressure to the community – both physical and psychological because of the promise of millions of Rupiah to those who would support the project. This kind of model is intimidating as it is fuelled by the promise of money. This is not good for the community where in accordance with our custom, we have encouraged the people to rehabilitate and reforest the one million hectares of land damaged by the ex-Mega Rice Project in the spirit of community co-operation and self-reliance. 4. The implementation and direction of the REDD program through the use of the KFCP team, namely BOS Foundation, CARE International and the University have mostly added pressure to local people that their customary access and use of the forest, traditional farming, fishery and other livelihoods activities in the REDD project area have been ignored and eventually cease. 5. Right from the beginning, the REDD project had never given any written assurance that customary land tenure rights of the Dayak community would be recognised. There is however more pressure on the Dayak Ngaju community to recognise the existence of the REDD project site. This is an unfair deal which we cannot accept. The REDD project is clearly a foreign project owned by Australia to offset industrial pollution/dirty emission from Australia. When in reality, we the Dayak Ngaju people who were born and bred in this land way before this country became an independent state had never been given the justice of the land which we have been dependent on for our survival since time immemorial.
12
6.
The REDD project has made many sweet promised to the Dayak Ngaju customary landowners. However, all of these promises were empty at the grassroots level. Reports submitted to the top only told good things which are not true. This is an act of manipulation of the REDD project towards customary landowners.
With regards tot eh development of the REDD project to date, the stance adopted by the Mantir adapt are as follows: 1. We the Mantir Adat of Kadamangan Mantangai, district of Kapuas in the province of Central Kalimantan, reject REDD projects because it is a threat to the rights and the livelihoods of the Dayak community in the REDD project area 2. Urgently appeal to Bapak President of the Republic of Indonesia (RI), Soesilo Bambang Yudhoyono and the Prime Minister of to stop the project that has violated our rights and threatened the basis of survival for the Dayak community. 3. Appeal to Bapak President RI Soesilo Bambang Yudhoyono to immediately confirm through a Presidential Decree the rights of the Dayak community to their traditional land in the Aliran Sungai (DAS) Kapuas region, and to give due recognition that the Dayak community has long since been addressing the crisis of climate change through viable solution for the Central Kalimantan peatland. 4. Bapak President RI. Soesilo Bambang Yudhoyono to immediately recognise the initiatives of the Dayak customary landowners in peatland management through revegetation, rehabilitation, river management, food garden allocation, customary forests. Our long association and sustainable management of peatland should not be forgotten and ignored in any quest for solution to address the crisis of climate change, over and above REDD mechanism. The Dayak community has for a long time protected the natural resources of peatland based on local wisdom. We do not need the aid of REDD mechanism. We do not need promises of any kind. We have been doing what we have done as a solution to the climate crisis for the safety of all human beings in the world – not to seek carbon funds. What we really need at this point in time are free health services, free education, improvement to our skills and knowledge and access to relevant training; access to technology that are relevant to our needs as well as policy that support our effort to rehabilitate fired damaged gardens and forests. This is our stance which we would like to present to you. We thank you for your attention and we look forward to working in co-operation. Katunjung, 8 June 2011 Signed by: 1) Umbie Ipe Desa Mantangai Hulu, 2) Arthen. U. Sampah Desa Mantangai Tengah, 3) Yanmar Kurius Desa Kalumpang, 4) Sambung Desa Sei Ahas, 5) H. Arben anus Desa Katunjung, 6) Mudin Jaman Desa Katunjung, 7) Kanisius. B Desa Katunjung, 8) Tinus Desa Tumbang Muroi, 9) Zuda Dusun Tanjung Kalanis, 10) Simpei Desa Katimpun, http://csoforum.net/english/14-article/351-stop-the-indonesia-australia-redd-project.html Sikap AMAN Kalteng Mengenai REDD+ dan RTWP Friday, 24 June 2011 13:08
13
Berbagai Inisiatif REDD+ dan pembuatan RTRWP di Kalimantan Tengah tidak dilaksanakan secara transparan dan mengabaikan situasi-situasi yang berkembang di Komunitas-Komunitas Masyarakat Adat. Ketidakjelasan informasi dan tidak transparannya berbagai project REDD+ ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan di komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Kami, Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, menegaskan, bahwa Masyarakat Adat merupakan pemegang hak atas wilayah dan hutan adat. Masyarakat adat memiliki berbagai kearifan lokal yang selama ratusan telah terbukti berhasil menjaga, mengelola dan mempertahankan hutan secara arif dan lestari. Proyek-proyek pembangunan melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit, tambang, HTI dan pengembangan Lahan Gambut (PLG), merupakan penyebab utama kerusakan dan hilangnya hutan di Kalimantan Tengah. Sebagai Pilot Project REDD+, Propinsi Kalimantan Tengah menjadi sorotan dunia dan menjadi tujuan investasi REDD+. Berbagai inisiatif mulai dikembangkan, antara lain melalui: kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia yang dikenal sebagai project Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) dan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norway yang tertuang dalam LoI, yang menjadi project dengan dana terbesar terkait REDD+. Selain itu, terdapat banyak inisiatif-inisiatif lainnya yang melibatkan lembaga-lembaga internasional seperti The Clinton Foundation, WWF, FFI, BOS, CARE Internasional, Wetland dll. Sementara itu, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang seharusnya menjadi acuan dalam pengelolaan ruang di Kalimantan Tengah, belum tuntas di diskusikan. Proses-proses pembuatan RTRWP juga tidak melibatkan Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil. Hal ini menambah kerumitan persoalan di Kalimantan Tengah, yang akan berdampak pada implementasi REDD+. Menyikapi berbagai perkembangan di Kalimantan Tengah terkait REDD+ dan lain-lain, dengan ini, kami menyatakan, bahwa : Berbagai Inisiatif REDD+ dan pembuatan RTRWP di Kalimantan Tengah, tidak dilaksanakan secara transparan dan mengabaikan situasi-situasi yang berkembang di Komunitas-Komunitas Masyarakat Adat. Ketidakjelasan informasi dan tidak transparannya berbagai project REDD+ ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan di komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah belum memahami REDD+ dan berbagai inisiatif yang muncul dari upaya ini. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip dan Hak Masyarakat Adat, tidak dijalankan dalam berbagai proses REDD+ dan pembuatan RTRWP. Hal ini menyebabkan Masyarakat Adat hanya menjadi object dari inisiatif-inisiatif ini, tanpa dapat terlibat sebagai pengambil keputusan atas berbagai inisiatif yang akan berdampak terhadap wilayah, hutan dan kehidupan Masyarakat Adat. Belum tersedianya Strategi Daerah (Strada) REDD+ sebagai dampak dari belum ditetapkannya Strategi Nasional (Stranas) REDD+, menyebabkan ketidakjelasan acuan pelaksanaan REDD+ di Propinsi Kalimantan Tengah. Kelembagaan REDD+ yang dirancang di Kalimantan Tengah, tidak dibentuk dengan melibatkan Masyarakat Adat, sehingga tidak mengakomodir kepentingan
14
Masyarakat Adat. Selain itu, Kelembagaan yang ada saat ini belum mampu mengkoordinir dan mengatur semua inisiatif-inisiatif REDD+ di Kalimantan Tengah, sehingga terjadi pembiaran atas berbagai ketidakjelasan koordinasi dan informasi terkait inisiatif-inisiatif REDD+ ini. Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah mengandung ketidakjelasan wewenang dan fungsi antara Damang sebagai Kepala Adat dari Kelembagaan Adat Komunitas, dengan pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan adanya tumpang tindih otoritas di komunitas. Selain itu, tidak terdapat aturan tentang peningkatan kapasitas Damang dan Lembaga adat, untuk mampu mengelola Kelembagaan Adat untuk berhadapan dengan berbagai intervensi dari luar. Sementara itu, Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Propinsi Kalimantan Tengah tidak menjamin Hak-Hak Kolektif Masyarakat Adat atas ruang dan wilayah, karena hanya bertumpu pada hak atas tanah secara individual. Lebih jauh lagi, PerGub ini tidak disertai dengan petunjuk pelaksanaan dan pendanaan untuk implementasi di lapangan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dan memperhatikan situasi di komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, menyerukan : PENGHENTIAN SEMENTARA semua proses-proses pendanaan REDD+ di Kalimantan Tengah, sampai hal-hal mendasar yang menjadi syarat utama dipenuhi. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut : Adanya kepastian Hak-Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, termasuk hak-hak kolektif atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam seluruh proses perencanaan, implementasi dan monitoring terhadap pembangunan di Kalimantan Tengah yang akan berdampak pada kehidupan mereka, termasuk dalam hal ini REDD+ dan RTRWP, harus dipastikan, sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam FPIC (Free, Prior and Informed Consent). Sosialisasi, penyebaran dan penyampaian informasi kepada komunitas-komunitas Masyarakat Adat mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan di Kalimantan Tengah, harus dilakukan secara massive dan merata. Hal ini untuk menjamin keterlibatan penuh dan hak untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas. Pemerintah harus melakukan identifikasi dan inventarisasi pengetahuan-pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dalam pengelolaan hutan, sebagai modal dasar pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah. Hal ini sesuai dengan mandate yang ditetapkan dalam kebijakan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mendukung upaya-upaya identifikasi dan inventarisasi wilayah adat, yang dilakukan oleh komunitaskomunitas Masyarakat Adat melalui pemetaan-pemetaan partisipatif.
15
Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk segera melakukan sosialisasi dan konsultasi publik, yang melibatkan Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Kalteng, mengenai RTRWP Kalteng. Perda No. 16/2008, harus menjamin hak-hak kolektif Masyarakat Adat atas Kelembagaan Adat yang memiliki kedaulatan untuk mengatur wilayah adat dan komunitas adatnya sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah masing-masing. Pergub No. 13/2009 harus menjamin hak kolektif Masyarakat Adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Selain hal-hal tersebut, menyikapi keluarnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut, kami menyatakan sebagai berikut : Mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penundaan pemberian ijin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut. NAMUN, upaya ini tidak akan dapat berjalan efektif melalui Instruksi Presiden. Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan dan ijin-ijin yang telah dikeluarkan selama ini. UU No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menjadi pangkal persoalan kehutanan di Indonesia harus segera direvisi. Inpres No. 10 tahun 2011 harus diganti ke dalam bentuk kebijakan lain yang berdimensi publik, karena hal-hal yang diatur di dalam kebijakan ini berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini juga harus menetapkan kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai sukses dan gagalnya implementasi kebijakan ini di lapangan. Kebijakan mengenai kehutanan harus memperjelas tata kelola hutan di Indonesia, termasuk di dalamnya menjamin adanya kepastian hukum atas hak Masyarakat Adat atas sumberdaya hutan, baik yang ada di kawasan hutan maupun yang ada di luar kawasan hutan. Secara khusus, kami menuntut Pelaksanaan Inpres No. 2 tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks PLG 1 Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Secara substansi, Inpres ini hanya membolehkan 10 ribu hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam kenyataannya, terdapat 360 ribu hektar ijin untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan Eks PLG. Pelanggaran-pelanggaran ini harus ditindak secara hukum yang berlaku, termasuk dugaan terjadinya KKN dalam investasi-investasi ini. Demikian pernyataan ini kami buat bersama-sama. Wisma Soverdi, Palangkaraya, 17 Juni 2011 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah Sumber: http://www.aman.or.id/in/publikasi/buku/360-sikap-aman-kalteng-mengenai-redd-dan-rtwp.html http://csoforum.net/media-release/10-kertas-posisi/359-sikap-aman-kalteng-mengenai-redd-dan-rtwp-.html
16
Indigenous Peoples’ organisation demands “immediate moratorium” on REDD+ in Central Kalimantan Thursday, 23 June 2011 00:06 We, Indigenous Peoples of Central Kalimantan affirm that Indigenous Peoples have the right over land, territories and customary forest. Indigenous Peoples have traditional knowledge and innovations in managing and safeguarding our forest and have thereby sustained forest resources over the centuries... By Chris Lang Redd monitor, 22nd June 2011 - Members of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago – Central Kalimantan Chapter (AMAN Kalteng) have issued a statement demaning an “immediate moratorium of all REDD+ processes and investments in Central Kalimantan”, until a series of conditions are met. AMAN Kelteng’s statement can be downloaded here (pdf file 72.1 KB) and is posted in full, below. Central Kalimantan is the pilot province under the Indonesia-Norway US$1 billion REDD deal. As a REDD pilot province, Central Kalimantan faces two serious problems. The first is that deforestation is continuing. Last week activists from the Environmental Investigation Agency and Telepak uncovered a Malaysian plantation company illegally clearing forest in Central Kalimantan. The company denies that it was acting illegally and argues that it is therefore is not in breach of Indonesia’s moratorium on new forestry concessions. Meanwhile, Per Fredrik Ilsaas Pharo, of Norway’s International Climate and Forest Initiative, acknowledges that the forest clearance is illegal and argues that it is therefore not in breach of Indonesia’s moratorium. I know, this version of Catch 22 makes no sense to me either. The second problem in Central Kalimantan are the REDD projects that are supposed to be addressing the ongoing deforestation. AMAN Kalteng’s statement highlights a series of problems for indigenous people as REDD unfolds in Central Kalimantan: REDD+ and the Central Kalimantan Spatial Plan are not transparent. The principle of free, prior and informed consent has been “completely ignored” The National Strategy on REDD+ is unfinished – meaning that there is no Provincial Strategy either. The REDD+ governing body was established without the full and effective involvement of Indigenous Peoples and is unable to manage and coordinate the various REDD+ initiatives in Central Kalimantan. Provincial regulations on indigenous institutions and land rights fail to guarantee the rights of Indigenous Peoples. For example, the regulation on land rights only addresses individual land rights and not the collective land rights of indigenous communities. Anja Lillegraven, Project Coordinator Southeast Asia at the Rainforest Foundation Norway commented that, “The Rainforest Foundation Norway fully support the demands of AMAN Central Kalimantan, and we encourage Norway to focus on the fulfillment of the conditions listed in AMAN’s statement. AMAN pinpoints crucial elements which need to be addressed if REDD is going to succeed.”
17
When REDD-Monitor interviewed Abdon Nababan, Secretary General of AMAN, shortly after the announcement of the Indonesia-Norway deal last year, he described REDD as currently a threat, but added, “We want to change this threat to an opportunity.” A year later, it appears that REDD remains a threat. STATEMENT OF CONCERN ON REDD+ IN CENTRAL KALIMANTAN, INDONESIA: Indigenous Peoples Alliance of Archipelago – Central Kalimantan Chapter We, the members of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago -Central Kalimantan Chapter (AMAN Central Kalimantan) conducted on June 16-17, 2011 our Strategic Meeting to address concerns and problems related to REDD+ in the Central Kalimantan’s Provincial Spatial Plan. The Meeting was attended by members of the Local and Regional Chapters of AMAN Central Kalimantan and Indigenous Leaders from eleven districts. We, Indigenous Peoples of Central Kalimantan affirm that Indigenous Peoples have the right over land, territories and customary forest. Indigenous Peoples have traditional knowledge and innovations in managing and safeguarding our forest and have thereby sustained forest resources over the centuries. On the other hand, development projects such as oil palm plantations, industrial plantations, mining and the peat land mega project are the main drivers of deforestation in Central Kalimantan. As the Pilot Province for REDD+, Central Kalimantan has been on the global spotlight. It has become the target of REDD+ investments. Various initiatives have been developed such as the Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) between the Government of Indonesia and the Australian Government; and the Letter of Intent (LoI) between Indonesia and Norway that is by far the biggest REDD+ investment in Indonesia. In addition, there have been many other initiatives involving international organizations such as The Clinton Foundation, WWF, FFI, BOS, CARE International and Wetland etc. Meanwhile, the Central Kalimantan Provincial Spatial Plan is yet to be finalized as the reference for spatial management and allocation. However, indigenous peoples and civil society organizations are excluded in the on-going spatial planning processes. Responding to the current situation in Central Kalimantan concerning REDD+ and other development issues, we wish to highlight the following: Various initiatives on REDD+ and the preparation of the Central Kalimantan Spatial Plan are not being implemented in a transparent way. Information on the various initiatives and activities relating to REDD+ had not been shared to indigenous peoples, and thorough consultations are not taking place. This lack of interaction and engagement with indigenous communities is now resulting to confusion and chaos among indigenous communities. Indigenous communities in Central Kalimantan remain un-informed on the various initiatives that have emerged from the identification of Central Kalimantan as a REDD+ pilot area. Moreover, Free, Prior and Informed Consent (FPIC) as the principle and the right of Indigenous Peoples has been completely ignored in all REDD+ initiatives and the processes relating to the development of Central Kalimantan Spatial Plan. While indigenous peoples are seriously going to be impacted by these initiatives especially in relation to their right over their land, forest, territories, and their collective wellbeing, they are not involve in any decision making processes relating to REDD+ planning and activities.
18
The absence of the Provincial Strategies on REDD+ as a result of unfinished National Strategy on REDD+, causing uncertainty of reference for REDD+ implementation in Central Kalimantan. The REDD+ governance in Central Kalimantan was designed without full and effective involvement of Indigenous Peoples. In addition, the existing REDD+ governing body is not able to manage and effectively coordinate all of REDD+ initiatives in Central Kalimantan. This is resulting to continuous poor coordination and lack of information of REDD+ projects. Provincial Regulation No. 16 (2008) on the Dayak Indigenous Institutions in Central Kalimantan contains ambiguities of authority and does not distinguish functions between Damang as the Head of Indigenous institutions and the government institutions. This causes an overlap and conflicts in teh exercise of authority in the community. In addition, the Regulation does not provide provision for capacity building of indigenous institutions to tackle external affairs that concerns them among others. Meanwhile, Governor Regulation No. 13 (2009) on Indigenous Land and Land Rights of Indigenous Peoples in Central Kalimantan Province does not guarantee the collective rights of Indigenous Peoples over territories. This regulation only addresses individual land right. Furthermore, there is no implementation guideline and no funding is provided in the implementation of this Governor Regulation. Based on the above mentioned issues in Central Kalimantan, we, the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago – Central Kalimantan Chapter (AMAN Kalteng) call for the IMMEDIATE MORATORIUM of all REDD+ processes and investments in Central Kalimantan until the following conditions are met: Clear commitment from the government to recognize and protect the Rights of Indigenous Peoples in Central Kalimantan, including the collective rights to land, territories and natural resources, in accordance with the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. Establishment of mechanisms and inclusion of indigenous peoples in REDD+ bodies and precesses to ensure their full and effective participation in the entire process of planning, implementation and monitoring of development in Central Kalimantan, including REDD+ and provincial Spatial Plan, in accordance with Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Socialization and dissemination of information to Indigenous peoples in forms understood by them to be carried out in timely manner on all REDD+ projects in Central Kalimantan. This is to ensure a clear understanding of indigenous peoples of REDD+ and the initiatives, activities and plans relating to this to facilitate their effective engagement and involvement in decision-making processes relevant to REDD+ in Central Kalimantan. Government and other groups involved in piloting REDD in Central Kalimantan shall directly engaged with indigenous communities in the identification, documentation and inventory of traditional knowledge and innovations of Indigenous Peoples in forest management as the basis for forest management in Central Kalimantan. This is in accordance with the mandate set out in the policy of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Government of Central Kalimantan to recognize and support efforts by Indigenous peoples in the participatory mapping of their land and territories. Government of Central Kalimantan to immediately disseminate information and conduct public consultations regarding the Provincial Spatial Plan involving Indigenous Peoples and civili society. In addition, indigenous peoples duly designated representatives shall be part of governing bodies and other relevant processes related to the development of the Provincial Spatial Plan.
19
The Regulation/Provincial Regulation No. 16 (2008) should guarantee collective rights of Indigenous Peoples over political sovereignty of Indigenous Institutions to regulate and manage indigenous territories in accordance with customary laws. The Governor Regulation No. 13 (2009) should guarantee the collective rights of Indigenous peoples to lands, territories and natural resources. In addition to the above, the following are our concerns in responding to the Presidential Decree No.10 (2011) regarding Moratorium on Granting New Permit and Improving Governance on Primary Forest and Peat Lands: We, Indigenous Peoples indeed support government efforts to postpone the granting of new permit and to improve the governance fo primary forest and peat lands. However, this effort will not be able to run effectively through a mere Presidential Decree. The Indonesian government should conduct immediately a review of all policies related to forest management and existing permits. The Forestry Law No. 41 (1999) has been the fundamental cause of all forestry issues and conflicts in Indonesia, therefore it should be revised. The Presidential Decree should be with a stronger reliable policy that comes with clear criteria and indicators to be used in assessing the success and failure of its implementation on the ground. Policy on forestry should clarify the governance of forest in Indonesia, including the legal rights of Indigenous Peoples on forest resources; both in forests and non-forest areas. In particular, we demand full implementation of the Presidential Decree No. 2 (2007) regarding Rehabilitation and Revitalization of the Ex Central Kalimantan One Million Hectares Peat Land Mega Project that limits only to 10 thousand hectares for oil palm plantations in that area. In fact, permits have been granted for 360 thousand hectares for oil palm plantations. These violation including allegations of corruption in these investments should be addressed accordingly. 17 June 2011 Wisma Soverdi, Palangkaraya, Central Kalimantan Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago -Central Kalimantan Chapter (AMAN Central Kalimantan) Aliansi Masyarakat Adat Nuantara (AMAN) Kalimantan Tengah http://csoforum.net/english/14-article/356-indigenous-peoples-organisation-demands-immediate-moratorium-on-redd-in-central-kalimantan.html Aliansi Masarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah Siaran Pers Dalam Rangka Hari Masyarakat Adat Sedunia Untuk disiarkan pada 9 Agustus 2010. Masyarakat adat di Kalimantan Tengah sampai pada saat ini masih menghadapi berbagai persoalan yang kebanyakan adalah persoalan-persoalan klise bagi masyarakat adat, yakni adanya ketidakadilan sosial karena adanya agresi pembangunan terhadap tanah, wilayah dan sumber-sumber penghasilan masyarakat adat. Di beberapa wilayah, masih ada penyerebotan-
20
penyerobotan lahan yang dilakukan oleh industri ekstraktif terhadap wilayah kelola masyarakat adat, seperti perkebunan kelapa sawit yang semakin masif, pertambangan dan HPH, dimana industri-industri ini selain memberikan dampak negative terhadap sosial ekonomi masyarakat adat, dampak ekologi juga memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim dengan peningkatan emisi karbon dalam implementasinya Kondisi yang tidak memihak pada masyarakat adat ini, mendorong AMAN Kalteng memberikan respon untuk menyikapi berbagai persoalan yang ada, dimana dalam rangka hari masyarakat adat sedunia pada tanggal 9 Agustus 2010 ini kami menyuarakan: 1. Kami secara Nasional mengingatkan dan mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengadopsi deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang dikenal dengan UNDRIP (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples) dalam kebijakan nasional dan memproses Rancangan Undang-undang Masyarakat adat yang sekarang ini telah masuk di Program Legislasi Nasional (Peolegnas) serta AMAN Kalteng menuntut adanya revisi terhadap UU No.41/99 tentang kehutanan untuk kiranya ada pemisahan antara hutan Negara dan hutan Adat; 2. Dengan adanya Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 dan Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 Provinsi Kalimantan Tengah seharusnya secara implementasi memberikan dampak positif bagi masyarakat adat, dimana Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota diharapkan tidak menerbitkan ijinijin konsesi untuk kepentingan investasi di wilayah adat masyarakat, tanpa melalui persetujuan dari masyarakat adat secara keseluruhan; 3. Menyikapi issu perubahan iklim dan skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang sekarang sedang melanda Kalteng, sikap AMAN baik di nasional maupun di wilayah Kalteng sangat jelas, “No Right No REDD”, maka kami menyerukan untuk kiranya ada persetujuan dari masyarakat adat dimana proyek tersebut dilaksanakan dan pelibatan secara penuh masyarakat adat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan 4. Mendesak pemerintah Kabupaten Barito Timur untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang nyata untuk penyelesaian masalah antara komunitas Desa Sarapat, Kecamatan Dusun Timur atas konfliknya dengan PT. Sawit Graha Manunggal (SGM) dan meninjau kembali ijin yang diberikan terkait konsesi perkebunan sawit tersebut, karena disinyalir telah menjarah wilayah kelola masyarakat adat desa Sarapat dan menghilangkan berbagai situs penting serta keanekaragaman hayati didalam hutan adatnya; 5. AMAN kalteng mengumumkan bahwa telah terbentuk kesatuan baru masyarakat adat se Borneo yang bergabung dalam BIPA yakni “Borneo Indigenous Peoples Alliance” dimana dari kesatuan ini kami bekerja bersama-sama untuk menyusun program kerjasama menghadapi persoalanpersoalan masyarakat adat dalam membangun kedaulatan dan kehidupan masyarakat adat yang lebih baik. Palangka Raya, 9 Agustus 2010 Kontak : Simpun Sampurna, HP 081250813227 Mariaty A Niun, HP 081349120101 http://www.aman.or.id/in/berita-aman/7/211.html
21