Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Agama Sebagai Pilar Dasar Konservasi Lingkungan [caption id="attachment_176" align="alignleft" width="150"]
Nursalim, S.Pd.I[/caption]
Pernahkah terbesit dalam pikiran kita, sebuah pertanyaan, di manakah kita tinggal sekarang ini?. Pertanyaan tersebut terdengar sangat sederhana tetapi sarat makna. Mungkin sebagian orang beranggapan pertanyaan tersebut aneh dan tidak memerlukan jawaban. Padahal sebaliknya pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dan komitmen yang tinggi untuk tetap menjaga Bumi dan alam sekitarnya. Manusia lahir, tumbuh berkembang, dan meninggal di Bumi. Planet yang sangat indah dan menawan hati. Berbagai keindahan telah disajikan Allah di Bumi. Naas, bumi tercinta ini telah dinodai. Tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab telah merusak Bumi, mengotori Bumi, dan membuat Bumi kehilangan pesonanya. Terkadang manusia tidak sadar dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap bumi. Manusia ibarat kacang yang lupa akan kulitya. Manusia tidak berterima kasih dengan Bumi yang telah berjasa banyak dalam kehidupannya. Manusia memang egois. Manusia hanya mementingkan keinginan dan kebutuhan hidupnya. Realitas tersebut benar adanya. Aktivitas-aktivitas industri yang ceroboh atas nama kapitalisme liberal yang serakah telah mencederai pesona Bumi. Alat transportasi yang tidak ramah lingkungan ciptaan manusia telah disadari berbagai ahli perubahan iklim sebagai salah satu penyebab utama krisis lingkungan di Bumi ini. Para ahli perubahan iklim dunia seringkali mengingatkan manusia bahwa perlunya tindakan cepat secara global untuk menyelamatkan lingkungan. Pernyataan tersebut seharusnya menjadi peringatan keras bagi manusia untuk bersikap lebih arif dan bijak terhadap lingkungan sekitar. Sikap apatis terhadap lingkungan merupakan bencana untuk bumi dan sikap yang arif dan bijak terhadap lingkungan adalah wujud terima kasih manusia terhadap Bumi yang elok ini. Beberapa buku telah mengupas tentang Lingkungan Hidup, namun kebanyakan buku-buku tersebut hanya sebatas melihat lingkungan hidup dari sisi praktis yaitu aspek pengelolaan dan ekologi pembangunan secara umum. Sedangkan buku karangan Mudhofir Abdullah ini mengupasnya dari sisi yang berbeda, yaitu sisi teoritis dan ilmiah di mana konservasi lingkungan berbasis syari’ah dan menggagas konsep konservasi lingkungan sebagai tujuan
1/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
tertinggi syari’ah menjadi ide utamanya. Meskipun mau tidak mau tetap tidak bisa dilepaskan dari sisi praktisnya.
Pada buku ini, penulis mengawali dengan banyak paparan ilmiah mengenai krisis lingkungan yang terjadi di Bumi. Disamping memaparkan pula tanggung jawab agama terhadap lingkungan. Bagi penulis buku ini, konservasi lingkungan berbasis syari’ah dan konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah merupakan dua paradigma penting yang harus dikembangkan secara intensif. Konservasi lingkungan berbasis syari’ah dan konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah bukan semata-mata hanya bermotif penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan secara syar’i, namun lebih dari itu memiliki tujuan spiritual, yaitu membangkitkan semangat beribadah kepada allah melalui alam sekitar. Begitu istimewanya alam dan lingkungan bagi penulis buku ini, hingga penulis buku ini memaparkannya dalam satu kajian buku yang komprehensif. Sekilas alasan tersebut terasa sangat sederhana, namun beberapa kajian lingkungan dalam buku ini muncul dari berbagai alasan sederhana yang berguna untuk penyelamatan lingkungan hidup. Pandangan penulis mengenai konsep konservasi lingkungan hidup berbasis syari’ah dan konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah tidak terlepas dari beberapa karyakarya terdahulu. Diantaranya adalah karya Yusuf Qardhawi yang berjudul “Riayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam”. Buku lain yang juga mempengaruhi pandangan penulis buku ini adalah “Towards an Islamic Jurispundence of the Environment: Fiqhul Bi’ah fil Islam” karya Musthafa Abu Sway, Religion and The Order of Nature karya Sayyed Hossein Nasr, Islamic Enviromental Ethics, Law, and Society karya Mawill Y Izz den, Islam and Echology: A Bestowed Trust karya Richard C Foltz, Earth in the Balance: Echology and the Human Spirit karya al Gore, Resource and Enviromental Management karya Bruce Mitchel dan masih banyak karya lainnya yang mempengaruhi pandangan penulis dalam buku ini. Pada buku ini, penulis memaparkan krisis lingkungan dan segala bentuk destruktifnya secara rinci. Paparan tersebut dapat memberikan pemahaman kepada manusia yang hidup bahwa krisis lingkungan itu realitas dan akut dalam kehidupan masa kini. Jonathan Bate melukiskan kondisi alam di era milenium ketiga era masehi sebagai alam yang sangat kritis di mana pencemaran udara hasil industrialisasi massif telah memerangkap panas sehingga menjadikan planet bumi lebih panas. Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan, menciutnya hutan, meluasnya padang pasir, munculnya penyakit-penyakit baru, terancam punahnya biodversity, dan perubahan iklim secara ekstrim. Analisis Bate terhadap alam mengharuskan manusia untuk sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Disamping perlunya diambil langkah
2/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
penyelamatan lingkungan secara global. Penulis juga memaparkan bahwa akar-akar dari krisis lingkungan yang terjadi di era kekinian adalah krisis spiritual, krisis alamiah, dan krisis multidimensi yang dialami oleh banyak negara di belahan dunia. Krisis spriritual sangat terpengaruh dengan krisis kesadaran untuk menjaga alam semesta dari segala bentuk kerusakan. Krisis alamiah dipengaruhi oleh peristiwa alam yang terjadi. Lawrence Joseph memaparkan bahwa aktivitas matahari sangat mempengaruhi cuaca bumi. Banyaknya sunspot yang turun ke bumi menyebabkan banyaknya badai terjadi di bumi mulai dari badai katrina, badai rita, dan badai wilma. Krisis multidimensi dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. KTT Bumi di Stockholm mengidentifikasi bahwa penyebab utama degradasi lingkungan hidup adalah over population. Karena itu, diperlukan gagasan untuk konservasi lingkungan. Gagasan konservasi lingkungan versi penulis ini sangatlah baik. Penulis memaparkan bahwa konservasi lingkungan dapat dimulai melalui konservasi sumber daya alam, pembangunan berkelanjutan terhadap lingkungan, dan menumbuhkan kesadaran kritis interpendensi lingkungan. Di sisi lain penulis buku ini juga menawarkan kepada manusia yang hidup mengenai penyelamatan lingkungan berbasis ekoteologi. Istilah ekoteologi dipahami sebagai bentuk teologi konstruktif yang membahas interelasi antara agama dan alam, terutama dalam permasalahan lingkungan. Ekoteolgi inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar dasar konservasi lingkungan. Ekoteologi berkaitan erat dengan teologi. Karena ekoteologi berasal dari dua kata yaitu eco dan teologi. Masing-masing teologi mempunyai sandaran yang berbeda. Teologi islam semuanya bersandar pada tauhid. Tauhid menjadi penopang perbuatan setiap manusia baik itu atas nama kebaikan, keterbukaan, ataupun kepasrahan. Allah, alam dan manusia mempunyai keterkaitan yang sangat erat di mana di dalamnya terdapat relasi antara sang pencipta dengan ciptaannya. Allah sebagai pusat alam semesta mempunyai wakil di dunia. Bahasa al-Qur’an menyebutnya khalifatullah fil ardhi. Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi bukanlah raja yang bisa memperlakukan seenaknya bumi sebagai subyek kerangka dari khalifatullah fil ardhi. Manusia harus berbuat berdasarkan tauhid bukan nafsu pribadi. Terlebih dalam konteks lingkungan hidup.
Memperlakukan Alam dengan Qalbu Pada buku ini, penulis memaparkan solusi lain untuk konservasi lingkungan yaitu ekosofi. Ekosofi berawal dari akar-akar kearifan (Wisdom) dalam hubungannya dengan masalah lingkungan. Ekosofi merupakan penggabungan kata ecology dengan philosophy. Meskipun definisi ekosofi tergolong baru dalam dunia intelektual masa kini. Sejatinya, gagasan-gagasan ini sudah muncul dalam tradisi-tradisi sufi di masa lampau. Kajian-kajian ekosofi lebih mengarahkan manusia untuk lebih membumi. Manusia yang lebih membumi mempunyai pandangan bahwa spesies manusia adalah bagian organik dari bumi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
3/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Kedalaman pengalaman, kedalaman wawasan, kedalaman komitmen, tidak akan lahir dari manusia yang menutup diri dari kepedulian untuk menjaga lingkungan. Ketiga hal tersebut akan lahir jika manusia mempunyai rasa kepedulian dan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Salah satu prinsip manusia membumi yang diungkapkan oleh Arne Naess adalah manusia tidak memiliki hak untuk mengurangi kekayaan dan keragamannya kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Satu prinsip yang dikemukakan oleh Arne Naess ini merupakan prinsip yang tepat untuk menjaga lingkungan. Ironis sekali, sekarang ini prinsip ini tidak digunakan karena manusia mengambil kekayaan di alam raya ini berdasarkan nafsu dan ambisinya. Perkembangan sains dan tekhnologi memang tak terbendung lagi. Banyak alat-alat canggih yang bermunculan. Ironisnya, munculnya alat-alat tersebut tidak dibarengi dengan pertimbangan kelestarian lingkungan hidup. Idealnya, pertimbangan kelestarian lingkungan hidup perlu diperhatikan. Misalkan, banyak sekali alat-alat transportasi sekarang ini yang tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran udara dan mengakibatkan bumi semakin panas. Perlu diingat, sains dan teknologi diciptakan bukan untuk membuat rusak lingkungan melainkan untuk pemanfaatan dan pengelolaan alam. Meskipun teknologi adalah ciptaan manusia yang jauh dari kata sempurna tetap saja kelestarian lingkungan hidup menjadi harga mati jika manusia ingin menyelamatkan bumi ini dari krisis lingkungan. Pandangan dunia sangat berpengaruh terhadap perubahan lingkungan. Berabad-abad manusia digiring pada paradigma manusia menguasai alam demi kesejahteraannya. Farncis Bacon menyatakan secara gamblang bahwa dunia diciptakan untuk manusia bukan manusia untuk dunia. Wajar saja jika abad tersebut adalah abad di mana mekanistik sangat berkuasa. Aliran mekanistik bukan tanpa kritik. Tokoh-tokoh ekosofi tasawuf sangat gencar mengkritik tokoh mekanistik. Tokoh-tokoh ekosofi tasawuf berpendapat bahwa apa yang dipaparkan tokoh-tokoh mekanistik kurang tepat. Dalam pandangan ekosofi tasawuf antara allah, kosmos, dan manusia mempunyai relasi yang kuat. Relasi tersebut diwujudkan dengan saling menjaga dan memelihara tatanan yang sudah digariskan oleh Tuhan semesta alam. Perdebatan antara aliran antropokosmisme dan antroposentrisme juga membawa dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Antropokosmisme berpendapat bahwa manusia adalah bagian organik dari alam artinya manusia sebagai penakluk alam semesta. Tokohnya yang sangat terkenal adalah Tu Wei. Paham ini ditentang Antroposentrisme. Ironisnya, paham ini juga seringkali mengalami pembusukan dari dalam yaitu ketika manusia mengalami krisis spiritual seperti yang disampaikan oleh Nasr. Nasr memaparkan seringkali Antroposentrisme dikalahkan oleh keserakahan ekonomi dan keinginan untuk menguasai segala sesuatu. Karena itu, penulis buku ini berharap Antroposentrisme konsisten di jalannya sehingga tujuan untuk menjaga lingkungan menjadi mudah direalisasikan. Harmoni relasi antara Tuhan, kosmos, dan manusia merupakan satu kunci untuk menjaga lingkungan. Pandangan ini lebih dikenal dengan relasi model tauhid seperti yang dipaparkan oleh Sachiko Murata. Ibarat tiga sudut segitiga di mana Allah berada di puncak dan merupkan sumber yang menciptakan kedua sudut yang ada di bawahnya. Dalam perspektif Yusuf Qardhawi tiga sudut segitiga itu dapat dipaparkan dalam tiga tujuan hidup manusia yaitu untuk mengabdi kepada allah, sebagai khalifatullah fil ardhi dan untuk membangun peradaban yang
4/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
etis di bumi. Pernyataan Qardhawi menunjukkan bahwa relasi tauhid adalah model relasi yang tepat antara Tuhan, kosmos, dan manusia. Buku ini juga memaparkan dengan baik mengenai konsepsi agama (Tasawuf) dalam menangani masalah konservasi lingkungan. Pengkaitan ini berkaitan erat dengan elemenelemen yang ada dalam tasawuf yang konstruktif dalam konservasi lingkungan. Elemen tasawuf yaitu aspek faqr, fiqr dan dzikr, shabr, zuhd, dan al-hubb. Penting utnuk dicatat bahwa secara keseluruhan tasawuf mengajarkan akhlaq atau etika yang baik kepada allah, alam, dan sesama manusia. Pernyataan ini menunjukkan tasawuf sangat memperhatikan konservasi lingkungan dan kewajiban seseorang yang menempuh jalan tasawuf untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan. Bahkan ibnul Qayyim menyatakan bahwa Tasawuf adalah esensi ajaran agama sehingga menjaga menjaga lingkungan menjadi kewajiban bagi siapa saja yang menempuh jalan tasawuf. Konsep Faqr dalam dunia tasawuf mempunyai energi yang positif terhadap kehidupan. Sekilas kata tersebut tampak mencerminkan kondisi yang tidak wajar. Sejatinya tidak seperti itu, faqr dalam konteks konservasi lingkungan terletak pada potensi manusia yang dapat menumbuhkan kecakapan untuk tidak rakus dan semena-mena terhadap sumber daya lingkungan. Konsep fiqr dan dzikr dalam konservasi lingkungan adalah merefleksikan sikap reflektif terhadap alam dan penciptanya. Sikap iman seseorang kepada sang pencipta akan berpengaruh terhadap sikap orang tersebut terhadap alam dan lingkungannya. Konsep shabr ini berarti menahan nafsu untuk melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat. Termasuk di dalamnya terhadap alam dan lingkungan sekitar. Konsep zuhd dalam konservasi lingkungan adalah sikap untuk mengarahkan keinginan pada hal yang lebih baik dan berusaha untuk memalingkan dari hal-hal yang berbau kesenangan belaka. Relevansi konsep zuhd terhadap konservasi lingkungan terletak pada dunia melihat kembali kearifan konsumsi dan produksi yang lebih adil, seimbang, berkelanjutan, dan peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup. Di sisi lain, konsep hubb dalam konservasi lingkungan mengandung arti cinta dan kasih terhadap lingkungan. Cinta kasih akan menghasilkan berbagai sikap kebajikan dan memberikan kesadaran akan buruknya sebuah kejahatan. Dari beberapa konsep ekosofi tasawuf di atas, sejatinya penulis buku ini menghendaki adanya integralitas antara spiritual dan pemikiran untuk menyelamatkan alam dan lingkungan dalam rangka beribadah kepada allah swt.
Upaya Untuk Mendapatkan Legitimasi Hukum Pada bab ini, penulis memaparkan secara jelas pentingnya legitimasi hukum untuk konservasi lingkungan. Argumen-argumen legitimasi hukum tentang konservasi lingkungan dibangun atas prinsip-prinsip maslahah dan maqasidus syari’ah. Dua paradigma yang di breakdown dari ushul fiqh tersebut dapat memberikan satu alternatif dalam menangani masalah konservasi lingkungan. Melalui dua paradigma tersebut setidaknya titik fokus konservasi lingkungan menjadi jelas yaitu analisa teori-teori maslahah dan maqasidus syari’ah guna melindungi ad dharuriyah al khamsah pada kerangka teori eko-ushul fiqh.
5/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Paradigma eko-ushul fiqh sebagai satu alternatif baru menyuguhkan tiga hal penting dalam konteks konservasi lingkungan. Pertama meningkatkan kapasitas ushul fiqh terkait dukungan terhadap konservasi lingkungan meskipun harus mengkritik prinsip-prinsip yang sudah ada yang tidak relevan dan membuat prinsip-prinsip baru berdasarkan argumen-argumen yang aktual. Kedua, mengeksplorasikan konsep maslahat dan maqasidus syari’ah untuk konservasi lingkungan. Ketiga, memperluas cakupan maslahat yang bukan menurut al-Ghazali dan asSyatiby saja tetapi maslahat apa saja yang memiliki dimensi kebaikan dan kemanfaatn. Seperti teknologi yang ramah lingkungan dan menghindari pencemaran lingkungan. Lingkungan mempunyai tempat terhormat dalam lingkup syari’ah. Tidak sedikit dari ayat-ayat alQur’an yang membahas mengenai lingkungan hidup dan larangan untuk membuat kerusakan di dalamnya. Bahkan Murad F Hoffman menyatakan bahwa secara eksternal banyal surahsurah al-Qur’an yang dinamai dengan nama hewan atau fenomena alam. Analisa Hoffman menunjukkan bahwa pentingnya menjaga lingkungan sekitar sesuai dengan ayat-ayat lingkungan dan sura-surah lingkungan yang tertera dalam kitab suci al-Qur’an. Manusia mengenal nama surah an Nahl, as Syams, al Qamar, an Nur, al Anfal dan lain sebagainya. Jika dicermati nama-nama surah tersebut merupakan komponen lingkungan yang membentuk ekosistem alam semesta. Al Qur’an menyebut aspek-aspek lingkungan dalam beberapa ayatnya. Misalkan ar Rum (30:41), al Waqiah (56:68-70), al A’raf (7:56), dan al An’am (6:38). Keempat ayata tersebut mengurai krisis lingkungan yang terjadi di alam semesta dan penyebabnya adalah perbuatan manusia. Padahal dalam beberapa hadist rasul seringkali mengingatkan sahabatnya untuk menjaga lingkungan. Rasul bersabda “lestarikan bumi karena ia adalah ibumu”. Rasul juga bersabda “barang siapa yang menebang pohon (tanpa alasan yang membenarkan), Tuhan akan mengirimnya ke neraka”. Menurut penulis buku ini, hadis yang disampaikan oleh Rasul cukup mewakili visi ekologis dari islam tentang perlindungan lingkungan. Perspektif maqasidus syari’ah yang penulis kaji dalam buku ini memberikan wacana kepada publik untuk menyadari akan pentingnya konservasi lingkungan. Beberapa tokoh islam sudah mengawalinya seperti Yusuf Qardhawi, Mustafa Abu Sway. Di masa kini dikenal M Fadhlun Khalid dan Ibrahim Ozdemir sebagai penulis buku sekaligus pemerhati lingkungan. Kedua penulis ini belakangan memperkaya kajiannya pada konsep maslahat dan maqasidus syari’ah sebagai solusi konservasi lingkungan. Prinsip maslahat dan maqasidus syari’ah berintikan ‘kebaikan dan kemanfaatan’ dan ‘tujuan-tujuan hukum’ menjadi tujuan konsep konservasi lingkungan berbasis syari’ah yang digagas oleh penulis buku ini. Konsep maslahat mungkin terlihat kuno. Padahal konsep ini masih relevan terhadap konservasi lingkungan karena maslahat berjalan atas asas kemanfaatan yang sewajarnya. Yusuf Qardhawi menyebut bahwa menjaga lingkungan sam halnya dengan menjaga ad dharuriyah al khamsah. Rasionalitasnya jika aspek ad dharuriyah al khamsah rusak maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda. Yusuf Qardhawi tampaknya memegang teguh prinsip as-Syatibi di mana pemeliharaan atas ad dharuriyah al khamsah adalah kemutlakan yang tidak bisa ditawar lagi. Pemeliharaan tersebut meliputi pemeliharaan atas keberadaannya dan pemeliharaan atas kepunahannya.
6/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Berbeda denganYusuf Qardhawi yang sangat hati-hati dalam fatwanya, Mustafa Abu Sway secara tegas memanifestasikan spirit maqasidus syari’ah ditransformasikan ke dalam spirit untuk menjaga alam dan lingkungan sekitar. bahkan Mustafa Abu Sway memaparkan menjaga lingkungan itu wajib hukumnya dan menjadi tujuan tertinggi syari’ah. Prinsip Mustafa Abu Sway menegaskan bahwa perlunya penerapan konsep maqasidus syari’ah dalam menanggulangi krisis lingkungan secara global. Jadi konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah mengahruskan sebuah perubahan mendasar orientasi fiqh, teologi, dan doktrin-doktrin islam ke arah yang lebih ekologis. Terkait dengan teori maqasidus syari’ah dan maslahat, setidaknya konsep konservasi lingkungan dalam perspektif eko-ushul fiq dapat dirumuskan dalam dua jalan. Pertama, melakukan redefinisi tentang dosa, hukum halal haram, baik dan jelek, etis dan tidak etis, benar dan salah, dengan memasukkan di dalamnya unsur lingkungan. Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa maslahat dan mafsadat tidak hanya dipahami untuk manusia saja melainkan untuk kepentingan lingkungan juga. Kedua, mempelajari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu geografi, ilmu lingkungan, ilmu fisika, dan perangkat lainnya untuk menjaga kelestarian lingkungan setara nilainya dengan memahami dan mempelajari ilmu agama. Pada buku ini, penulis memaparkan fiqih dan konservasi lingkungan pada posisi yang penting. Penetapan hukum untuk menjaga alam dan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan guna melestarikan elemen-elemen dasar kehidupan. Elemen kehidupan tersebut meliputi proteksi terhadap manusia, perlakuan etis terhadap binatang, pelestarian tanaman sebuah kewajiban kolektif, tanah dari eksploitasi menuju kelestarian, air dan vitalitasnya sebagai elemen sakral dalam kehidupan, udara dan proteksi terhadapnya dari polusi, serta pemberlakuan konsep Hima dalam menjaga lingkungan.
Agama dan Konservasi Lingkungan Konservasi adalah amanah dari allah untuk manusia. Manusia sebagai khalifatullah fil ardh harus memahami relasi anatara dirinya dengan tuhan dan relasinya dengan lingkungan. Konservasi yang dilakukan manusia melalui pemeliharaan, pemanfaatan secara wajar, dan rehabilitasi akan memberikan efek positif terhadap lingkungan. Tidak hanya itu, argumenargumen yang dibangun atas dasar pelestarian lingkungan akan bermanfaat bagi lingkungan hidup. Termasuk di dalamnya argumen tentang ekoteologi, ekosofi, dan eko-ushul fiqh. Krisis lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim secara global memerlukan penanganan yang serius karena mengancam kehidupan umat manusia. Konservasi lingkungan berbasis syari’ah merupakan konsep islam yang secara strategis mampu menyumbangkan konsepkonsep utama tentang konservasi lingkungan. Konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah dapat menjadi pilar penyangga bagi program-program aksi penanganan krisis lingkungan yang terjadi di tingkat lokat, regional, ataupun global. Di sisi lain, penulis buku ini juga meyakini perlunya ulama islam melakukan modernisasi ekologis melalui pemutakhiran contens pemahaman syari’ah tentang konservasi lingkungan.
7/8
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Khazanah konservasi lingkungan yang berintikan maqasidus syari’ah dan maslahah harus menjadi sikap manusia untuk menjaga lingkungan. Penempatan konservasi lingkungan berdasarkan pada konsep maslahat dan maqasidus syari’ah menunjukkan bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Konstruksi pemikiran yang ada dalam islam mencerminkan respon islam terhadap segala aspek permasalahan dalam kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah lingkungan yang menjadi tujuan tertinggi dari konservasi lingkungan berbasis syaria’ah. Gagasan inilah yang penulis angkat dalam buku ini untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran ekologis. Pada buku ini, penulis memberikan yang relevan untuk menanggulangi krisis lingkungan masa kini. Pertama, ulama harus memiliki kepekaan terhadap krisis lingkungan dan memberikan sumbangsih pemikiran baik melalui karya maupun tindakan. Kedua, konservasi lingkungan sebagai tujuan syari’ah yang belum populer di mata umat islam merupakan hambatan bagi penguatan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Ketiga, konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah sebagai instrumen etika lingkungan harus ditindak lanjuti dengan gerakan politik lingkungan. Keempat, karena tidak ada satupun negara yang mampu mengatasi krisis lingkungan sendirian maka diperlukan kerjasama yang baik lintas negara. Kelima, penguatan spiritual dan intelektual diperlukan terutama di kalangan elit strategis umat islam untuk menjadi penggerak konservasi lingkungan berbasis syari’ah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penulis buku ini menginginkan konservasi lingkungan berbasis syari’ah tidak berhenti pada sebuah wacana saja melainkan paradigma baru yang menggugah manusia untuk menyelamatkan lingkungan dengan melakukan tindakan nyata. Demikianlah, Mudhofir Abdullah memaparkan konsep konservasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi syari’ah. Buku ini ditulis secara runtut dengan tata bahasa yang mudah dimengerti. Buku ini juga ditulis berdasarkan kajian kitab klasik dan kajian kitab modern. Mengingat masih sangat jarang buku yang mengulas konservasi lingkungan berbasis syari’ah, maka buku ini sangat layak dibaca untuk semua kalangan, terutama yang peduli terhadap lingkungan hidup agar memahami ajaran-ajaran agama tentang penyelamatan lingkungan. Buku ini juga dilengkapi cover yang menarik dengan hiasan-hiasan yang indah.
8/8 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)