Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-es sential-community-welfare/
“Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for seeking Essential Community Welfare By “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for seeking Essential Community Welfare By Ali M.A.Rachman
Abstract
“Aeroplane – Commuter Mode” is based on human ecology, anthropology and sociology, rural sociology and agriculture in my teaching class and in research note finding. This mode is expression product both teaching and research that I had done. Mostly my fieldwork research to collect data toward rural community such as forest community, farmer of palm oil, paddy field farmer, offshore small fishers community, transmigration program of rural community, city community or urban society since the year 1969 up to now.
I think “aeroplane –communter mode” be the best use to test in order to help students researcher to collect useful data of his thesis or dissertation in appropriate utility. This mode is also will be useful and at least of alternative need in research for community welfare as a whole in application. It is also suggestion that good to test too as compliment to bottom up planning and development programs theory known in global era today .
The framework “aeroplane – commuter mode” is a holism approach in subject matter be based on five component ( 1) ‘Traditional Knowledge and Modern Knowledge synthesis and its tract ’ as the body of the aeroplane and commuter movement with (2) ‘Public Policy’,(3) ‘Wisdom’ as part of front and back of ‘Aeroplane’ or as the head of ‘Commuter’ and , (4) ‘Eco Technology’, (5) ‘Inheritance Economic’ as wing of aeroplane and both of them is still remain with the body and its tract of commuter function.
page 1 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
I have noted here to encourage “ aeroplane –commuter mode “ to whom great desire in writing post colonial community such as rural community and city community in Indonesia today. I hope all of our effort will be contribution to the state in production of filter forum and necessary reaction toward External Social Environment(ESE) which not suitable with a nation unity, element of essential cultural core of community welfare for the whole as nation freedom. Data collection focus is to strategic village –city development today.
Judul “Aeroplane – Commuter Mode” atau ditulis dengan ‘Airplane – Commuter Mode’ seperti tertera di atas saya ajarkan kepada calon S3 PSL IPB dalam tahun 2014. Situasi kelas pada umumnya adalah mahasiswa senior dalam bidang tugas kerja masing-masing. Dalam diskusi saya mendengar mereka menghadapi banyak masalah social –budaya- economi dalam memerankan tugasnya dalam masyarakat. PSL salah satu harapan mereka yang mungkin dapat mencari jawaban untuk membantu tugas mereka itu setelah selesai disertasinya.
Ketika saya minta mereka menuliskan rancangannya harapannya dan fikiran sementara disertasinya saya dapat menangkap kira-kiranya harapan-terpendam itu. Oleh karena itu saya coba sajikan ‘essential cultural core’(inti sosiobudaya pokok). Saya gunakan pemikiran para antropolog kenamaan yang ada, diantara mereka telah tiada lagi, telah kembali menemui tuhannya, namun pemikiran mereka sangat cemerlang dan telah banyak mengingatkan diri kita dalam kehati.hatian dalam rekayasa. Perlu disadari apabila mengajarkan dan menerapkan rekayasa yang tidak tepat entah apa saja namanya dalam pembangunan konon, yang mungkin sering dibanggakan, kemungkinan berakibat fatal amat besar bagi kemandirian masyarakat itu. Tentu saja pembangunan seperti ini saya yakin kita tidak inginkan.
Setelah saya renungkan dan menggunakan pengalaman saya sejak belajar mengajar dan belajar penelitian serta melaksanakan tugas lapang sejak sebagai asisten di Bagian Sosiologi Pedesaan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor(IPB) tahun 1968 bahkan hingga kini setelah Professor mengajari saya bahwa dalam menggerakkan pembangunan masyarakat tampaknya banyak kecerobohan yang agaknya tidak disadari bahwa ‘essencial cultural core’ amat penting tetapi terlupakan. Dalam hal ini program pembangunan selalu mengejar ‘target’ yang tidak bersentuhan bahkan tidak sambung menyambung dengan inti
page 2 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
sosiobudaya masyarakat yang terkena program pembangunan itu. Saya yakin hal ini sudah tidak asing lagi disadari sebagai ‘fallacy’ atau ‘bias’(cf Ali M.A.Rachman 2012, “ Pengetahuan BaRu bagi Kesejahteraan Masyarakat” disingkat “RUMAS”, Bogor: IPB Press). Namun penelitian terus berusaha membetulkannya tetapi terletak pula kepada adanya ‘external social environment’(disingkat ESE atau Lingkungan Sosial Luar disingkat LSL) yang tidak kalah penting berpengaruh dalam pembangunan Indonesia sejak Pelita I(Pembangunan Lima Tahun Pertama) tahun 1969, era Presiden Soeharto (cf Ali M.A.Rachma 2013 “Membangun Kembali Dunia Baru Indonesia, Bogor: IPB Press).
Memang disadari globalisasi itu mengandung ESE hampir tidak dapat dihindarkan. Namun diyakini pengaruh buruknya ESE dalam globalisasi itu dapat diatasi dengan memperkuat kemandirian dengan tekad berpedomankan ‘essential cultural core’ yang kuat yang tersimpan di dalam dada masyarakat sebagai keperibadian bangsa. Apabila keperibadian bangsa ini diajarkan kembali yang selama ini mungkin telah redup mudah-mudahan dapat jadi semangat baru. Pada giliran berikutnya diharapkan globalisasi benar-benar tidak ditakuti tetapi turut serta bersambungan dengan inti sosiobudaya namun sifatnya yang memperkuat ‘essential cultural core’. Dengan kata lain tetap menolak yang tidak sesuai dengan ‘essential cultural core’ itu. Berbagai kasus seputar ‘kedukaan’ menggerakkan masyarakat dalam berbagai program mencapai kesejahteraan masyarakat telah dialami, diceritakan, didiskusikan para mahasiwa dalam kelas PSL yang saya utarakan di atas.
Selama tugas mengajar, saya memberi informasi dan mengajak mahasiswa bersama-sama memahami apa artinya dalam kenyataan ‘ desa-kota’ dalam pembangunan dan bagaimana strategi pembanunan sebaiknya dilakukan agar masyarakat tumbuh ‘viability’.
‘Viability’ itu merupakan upaya para antropolog yang berpengalaman lapangan luas dan kenamaan sekaliber Margaret Mead dkk yang tidak asing lagi bagi para antropolog setelah generasinya. Para antropolog senior ini memberi jalan memahami dengan mendefinisikan ‘village’, ‘villager’ dan ‘village structure’. Defini itu yang kemudian saya selaraskan dalam pelajaran sebagai hubungan pembangunan desa- kota kini. Dalam hal ini saya berfikir baik desa maupun kota tidak statis, pasti akan tetap mengalami perubahan. Namun perubahan itu seidealnya dijalani sebagai perubahan ‘alami’ dengan nama lain ‘viability’ yang identik dengan kalau diumpamakan seperti menumbuhkan bibit tanaman secara kondusif memerlukan pupuk yang wajar. Tentu saja pemikirqn program pembangunan dalam hal ini tidak terlepas dari upaya sadar terpeliharanya ‘essential cultural core’ yang telah diutarakan terlebih dahulu di atas. Hubungan
page 3 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
desa-kota seperti itu paling tidak terdiri dari komponen (1) ‘ physical attributes of the village’ yang dalam hal ini dasarnya ‘village’ dan arah tumbuh kembangnya ‘city’ sehingga jadi ’desa- kota’. Komponen ini lengkap dengan (completeness) yang terdiri dari ‘population size’ (besar kecilnya populasi), ‘composition’(susunan dan bentuknya physic desa-kota itu), ‘houses’(perumahan, letak dan keteraturan tersusunnya dsb), ‘bounded terrytory’( batas-batas alami, buatan yang menyangkut hak dan aturan kesepakatan nilai-nilai dan norma dsb), ‘resources’(dalam hal ini seperti sumber air untuk minum, mencuci, pengelolaannya dsb), ‘site permanence degree of’ ( tingkat atau derajat kebolehan dalam nilai-nilai dan norma yang diakui dalam masyarakat) dikaitkan dengan’(2) villager’ yang merupakan ‘cohesiveneness’ menuju perubahan kearah terbangunnya‘city’ secara alami yang penghuninya secara physic kondusif hidup bersama dengan nilai-nilai dan norma yang mereka taati bersama) mencapai kesejahteraan bersama. Minimal dalam komponen kedua ini telah diyakini kebersamaan itu perubahannya tidak menyimpang dari nilai-nilai dan norma yang melebihi potensi semasa berada dalam anggota ‘village’. Dengan kata lain hubungan interaksi tetap menjaga komunikasi masih utama dalam bentuk ‘face to face’ walaupun mereka disebut ‘orang kota’. Alangkah janggalnya terasa apabila bertetangga tanpa sapa di kota. Kalau ini terjadi kurang mesra sebagai penduduk kota dan dinilai dari sisi moral tanpa sapa sudah kurang pas dalam hidup bersama dan dianggap cenderung menyimpang. Meskipun di kota keluarga cenderung keluarga ‘nuclear’ (inti) saja namun tidak heran ‘ extended family’( keluarga besar) tetap terpelihara.
Pada dasarnya komponen ‘villager’ tetap villager sebagai mana aslinya dari ‘village’ apabila di kota atau village jadi city ia tetap akan cohesiveness dalam semua bidang kehidupan setelah berubah jadi kota dengan memegang teguh nilai-nilai dan norma asli village yang disana sini yang berubah hanyalah dinamikanya. Mereka tetap menjaga pola kebersamaan dalam bentuk (3) ‘structure/organization’ yang kondusif sebagai bentuk perubahan yang ‘viability’ dan yang ‘inclusiveness’ sebagai komponen ketiga dari definisi village yang ‘viability ‘ tumbuh kembang . Ketiga komponen di atas merupakan matrik yang berubah sepanjang ada treatment atau suatu rekayasa dengan berbagai nama termasuk kefahaman kita dalam pembangunan yang mungkin saja menjadi ‘fallacy’ tanpa tumbuh kembang dari ‘inner cultural core’ masyarakat yang terkena sasaran rekayasa itu.
Pembicaraan ‘essential cultural core’, external social environment dan ‘viability’ desa-kota merupakan tiga rangkaian yang tidak lepas satu sama lain. Berbagai bangsa di dunia yang telah berhasil memandirikan bangsanya dalam globalisasi tampak memiliki strategi tertentu. Tulisan ini tidak membibicarakan strategi bangsa –bangsa itu tetapi diyakini bangsa-bangsa yang telah memenangkan global itu tentu memasang strategi untuk sukses mereka. Bagi kita bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara ini tentu tidak akan mau dipandang tidak mandiri.
page 4 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
Alasannya sederhana saja masih banyak kearifan yang terpendam yang patut dijaga dan digali dari dalam bangsa sendiri yang potensial jadi modal bangsa mandiri dan mungkin sekali potensi itu amat besar seperti misalnya dalam hal mengatur, menata kehidupan bangsa menjadi sejahtera tidak tergantung dengan bangsa lain. Saling belajar boleh-boleh saja tetapi dalam rangka mengembangkan , membangun diri bangsa sendiri hendaklah diajarkan kepada anak bangsa.
Sehubungan fikiran di atas yang sifatnya menjaga marwah bangsa dan harga diri perlu melakukan penelitian (research ) yang datanya otentik ‘alami’- ‘viability’ dalam semua bidang kehidupan ‘holism’ yang diberi nama ‘aeroplane –communter mode’.
Saya gunakan judul ‘aeroplane – commuter mode’ karena teringat akan dua system. Pertama system ‘commuter’ yang kini digunakan dalam system perkereta apian. ‘Commuter’ kalau dijalankan dalam relnya tidak usah ganti kepala kereta api(lokomotif) seperti kereta api zaman dahulu karena kereta api modern sekarang depan dan belakangnya berfungsi sama yaitu tetap maju. Pokoknya depan dan belakang tetap jadi kepala. Pergantian itu secara teratur bila kereta api telah sampai di tujuan. Dengan kata lain tidak ada istilah kepala kereta api(lokomotif) lagi untuk menarik gerbong karena belakangpun bisa jadi depan untuk menarik gerbong. Kedua, kata ‘aeroplane’ menunjukkan bagaikan pesawat terbang bergerak di udara. Dengan kata lain model ‘ aeroplane –commuter mode’ merupakan sarana bergerak maju seolah-olah tanpa halangan dengan cara berfikir sederhana yaitu apabila berjalan di ‘rel bumi’ mudah maju dan mundur dan apabila mau lebih cepat dapat terbang di ‘rel udara’.
‘Aeroplane – Commuter Mode’ dapat berguna sehubungan dengan isi konsep berfikirnya merupakan hasil lakonan pengalaman dalam masa panjang yang merupakan dan menjadi falsafah sesuatu ‘masyarakat bangsa’ yang membangun bangsanya. Tentu bentuk falsafah masyarakat bangsa itu tergali dari masyarakat dalam proses belajar mengajar dalam kehidupan yang beradaptasi dan seleksi dalam lingkungan sendiri.
Pada 17 Agustus 2015 Indonesia telah merdeka genap berusia 70 tahun. Sudah pasti kesempatan evaluasi, muhasabah diri yang tidak boleh dilupakan tentang apa yang sudah dicapai, apa bentuk pencapaian itu sudah memuaskan yaitu kesejahteraan bagi segenap bangsa, merata adil dan bijaksana ? ‘Aeroplane –Commuter Mode’ dimaksudkan bentuk upaya memahami dari sisi penelitian untuk
page 5 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
melihat kembali tentang sejauhmana telah terjawab pertanyaan tersebut. Upaya penelitian ini patut dilakukan sebagai sarana evaluasi diri, untuk memahami sebagai bangsa yang relative usia dewasa merdeka.
Disadari telah banyak upaya dalam perjalanan kemerdekaan ini guna mencapai kemakmuran bersama itu bagi segenap warga bangsa. Upaya-upaya itu terutama tentunya berwujud ‘knowledge’ pengetahuan sebagai guna mencapai kesejahteraan bersama tersebut yang tepat dan cukup agar tindakan nyata dalam mencapai kesejahteraan itu tidak meleset.
Ada tertanam kebiasaan dari dalam masyarakat sehubungan dengan pengetahuan itu. Pengetahuan kesejahteraan asal dari dalam masyarakat itu telah membuktikan masyarakat bersangkutan sejahtera karenanya. Para pendiri Negara bangsa Indonesia ini dalam mendirikan bangsa merdeka telah sedikit sebanyaknya telah memperhitungkan pengetahuan yang bersumber dari dalam masyarakat tersebut. Mari kita bangga dan hormati para pendiri bangsa ini yang telah bertungkus lumus merumuskan pemikiran mereka menyatukan seluruh masyarakat yang aneka ragam menjadi satu bangsa besar yang telah merdeka jaya hingga era global kini. ‘Aeroplane –Communter Mode’ satu upaya menggali kembali pengetahuan tersebut yang konon merupakan tradisi generasi tua. Seharusnya perlu diteruskan hingga kini agar keberlanjutan jaya bangsa mandiri berterusan dalam semua era.
Mengenal dan kembali kepada pengetahuan tradisi bukan berarti mundur untuk kembali kepada kondisi sebelum merdeka tetapi pengetahuan ini merupakan kearifan bangsa yang menjadikan bengsa ini merdeka dan diharapkan lebih berjaya dan terhormat dengan pengetahuan akar bangsa sendiri yang menghasilkan kekuatan sendiri yang selama ini terpendam. Bangsa dengan pengetahuan sendiri mencapai kesejahteraannya adalah bangsa besar. Ini bukan berarti menolak segala yang baharu. Memadukannya ada caranya(Cf Ali M.A Rachman, 2012 Pengetahuan BaRu bagi Kesejahteraan Masyarakat(disingkat RUMAS), Bogor: Penerbit IPB Press ). Pada era global kini pengetahuan tradisi ini yang tentunya jadi dasar dan sumber inti sosiobudaya bangsa dapat dipadukan dengan hasil-hasil penelitian universitas dengan cara menseimbangkannya tanpa melemahkan pengetahuan tradisi itu. ‘Aeroplane –Communter Mode’ menjaga perimbangan tersebut dengan menempatkan pengetahuan tradisi itu sebagai inti(core) sehingga pemahaman dalam hal revolusi diperlunak dengan ‘coevolusi’ yaitu budaya bangsa tetap terjaga, modernisasi terus berjalan secara wajar. Dengan kata lain menerima era globalisasi tetapi seleksi tidak membawa malapetaka bagi anak bangsa. Di dalam ‘Aeroplane –Commuter Mode’ tempatnya diumpamakan badan pesawat terbang dan kalau pada kereta api diumpamakan sebagai seluruh rangkaian kereta api dari
page 6 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
rel, gerbong hingga lokomotifnya atau seluruh ‘commuter’.
Difahami bahwa ‘bagian depan dan bagian belakang’ communter berperan sebagai lokomotif Itu berarti amat penting karena akan membawa penumpang dalam gerbong. Dari lokomotiflah seluruh rangkaian berjalan dengan tertib mencapai tujuan seluruh penumpang kereta api. Dengan kata lain gerbong dan seluruh isinya berupa penumpang amat tergantung kepada lokomotif ini. Bila lokomotif mogok penumpang tidak sampai tujuan. Hal yang sama apabila diumpamakan dengan kapal terbang. Pentingnya depan dan belakang kapal terbang diibaratkan dengan kemudi kapal terbang dan ekor yang juga mengatur perjalanan kapal terbang.
Konsep ‘Aeroplane-Commuter Mode’ memilih kapal terbang juga sebagai umpama turut memerankan pengetahuan mensejahterakan seluruh bangsa. Khususnya dalam hal ini perumpamaan agar penumpang selamat bahagia, sejahtera mencapai tujuan perjalanannya dengan tetap selamat. Namun baik kereta api maupun kapal terbang perlu dilengkapi dengan ‘pengetahuan’ khusus yaitu yang berbentuk ‘arif’ dan ‘bijak’. Selanjutnya kedua pengetahuan ini kita beri nama ‘Kearifan tempatan’(Local Wisdom) dan ‘Kebijakan umum’(Public policy).
Kereta api menjadi ‘Communter’ dan penumpang terbang dengan pesawat terbang dapat diumpakan percepatan mencapai tujuan penumpang. Oleh karena itu apa yang dikenal dengan nama revolusi( gerak cepat merubah) mencapai tujuan tidak selalu tercapai cepat dan selamat. Sering sekali membawa ekses buruk menimbulkan celaka berkepanjangan yang dalam hal ini bila diteliti mendalam misalnya termasuk revolusi hijau yang dibanggakan . Oleh karena itu perlu dicari jalan selamat sejak awalnya ketika hendak memasuki modernisasi itu karena unsur modernisasi ditenggarai lebih mudah mengisi dengan revolusi tetapi terlupakan ekses negatifnya..
Jalan keluar yang moderat yang mungkin besar sekali akan lebih selamat ialah dengan mengisi ‘pengetahuan’ untuk mensejahterakan masyarakat bangsa dengan dasar-dasar ‘coevolusi’. Ini merupakan upaya jalan tengah karena coevolusi berisi pengetahuan tradisi yang telah menjalani uji coba yang panjang dalam adaptasi dan telah menjalani seleksi yang berkelanjutan ( perhatikan juga konsep sustainability masa ini dalam modernisasi).
page 7 / 8
Ali M. A. Rachman's blog | “Aeroplane-Commuter Mode” A Research Forum for se Copyright Ali Rachman
[email protected] http://ali_rachman.staff.ipb.ac.id/2015/05/20/aeroplane-commuter-mode-research-forum-seeking-ess ential-community-welfare/
Pesawat terbang diumpakan pula idaman cepat mencapai tujuan selamat sejahtera makmur merata adil bagi seluruh bangsa (gemah ripah loh jinawi tatatenterem kerta raharja). Sekali lagi percepatan ini tetap tidak melupakan ‘coevolusi’ yang unsure-unsurnya pengetahuan bersumber inti sosiobudaya masyarkat. Bidang yang tercatat penting sekali sebagai hajat masyarakat banyak adalah ekonomi dan teknologi. Selayang pandang saja kedua bidang ini sudah tidak diragukan lagi menjadi tuntutan, hajat, harapan masyarakat, orang banyak untuk mencukupkannya sebagai upaya mencapai hidup dalam hidup sejahtera. Agar kedua bidang ini tidak meleset(bias/fallacy pencapaiannya perlu dikontrol dengan ‘coevolusi’ yaitu dengan label ‘eco technology( teknologi bersumber ekosistem) dan ‘inheritance economic’(ekonomi tradisi warisan ). Kedua bidang ini diperankan sayap kapal terbang dan masih diperankan seluruh rangkaian ataupun kalau oleh ‘commuter’ perlu diciptakan ‘ commuter’ model baru yang ‘bersayap’?).
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya menggali potensi masyarakat sendiri sebagai modal pembangunan bangsa yang telah merdeka dewasa ini berusia 70 tahun. Hendaknya ihtiar apapun perlu dicari dalam menggali kekuatan sendiri. Data abash dan akurat sangat diperlukan karena adanya data memudahkan rencana dan program pembangunan berjalan di atas rel yang insya Allah pasti. Peran ini tidak lain dipercayakan kepada institusi pendidikan yang sangat perlu membangun keperibadian bangsa sejak sekolah paling dasar hingga Perguruan Tinggi(PT) dalam mendidik anak bangsa yang kelak menjadi pewaris bangsa dan yang menjayakannnya. Khusus kepada PT para pemikir alumninya tentu haruslah berkualitas patriotik mengemban amanah bangsa dalam bidang ilmu dan terapannya bebas dari polusi sebagai akibat yang tidak sesuai bagi tumbuh kembangnya bangsa apalagi yang kalau ada terang-terangan merusak bangsa. Tentu saja sangat nyata peranan pemegang kebijakan dalam hal pemerintah terkait yang hendaknya turut serta bahu membahu bersama institusi pendidikan yang hari ini kalau benar sudah dirasakan lemah segeralah sadari untuk perkuatannya.
Wallahua’lam bissowab.
page 8 / 8