ADOPSI IOVASI IHERET DI UIVERSITAS BADAR LAMPUG
BUDHI WASKITO
SEKOLAH PASCASARJAA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2010
PERYATAA MEGEAI TESIS DA SUMBER IFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Adopsi Inovasi Inherent di Universitas Bandar Lampung adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010 Budhi Waskito NIM I352080061
ABSTRACT BUDHI WASKITO. The Innovation Adoption of Inherent in Bandar Lampung University. Under direction of AIDA VITAYALA S HUBEIS and AMIRUDDIN SALEH. Indonesian Higher Education Network (inherent) was the innovation of learning technology based on information and communication technology that developed by the General Directorate of Higher Education since 2006. The objectives of this research were to analyze the innovation adoption level of inherent in Bandar Lampung University (UBL), to analyze the correlation between lecture characteristics and the innovation adoption level of inherent in UBL, to analyze the correlation between inherent innovation characteristics and the innovation adoption level of inherent in UBL and to analysis the correlation between the university characteristics and inherent innovation characteristics and the innovation adoption level of inherent in UBL. Data was analyzed by descriptive and inferential statistic with rank Spearman test for inferential statistic. The result of this research showed the innovation adoption level of inherent in UBL was very low for online learning material utilization and low for video-conference utilization. The correlation between independent variables (lecture, innovation and university characteristics) and dependent variables (online learning material and video-conference utilization) were positive, but on innovation complexity for video-conference utilization was negative. Increasing the innovation adoption level of inherent on learning process in UBL could not be done by the general policy because the independent variable that had significant correlation with the innovation adoption level of inherent in UBL were different between online learning material utilization and video-conference utilization. Key words: inherent, innovation adoption, learning process
RIGKASA BUDHI WASKITO. Adopsi Inovasi Inherent di Universitas Bandar Lampung. Di bawah bimbingan: AIDA VITAYALA S HUBEIS dan AMIRUDDIN SALEH. Indonesian Higher Education etwork (Inherent) merupakan inovasi teknologi pembelajaran berbasis information and communication technology (ICT) yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sejak tahun 2006. Inovasi ini diharapkan mampu mentransformasi teknologi pembelajaran manual ke arah yang berbasis ICT. Aplikasi inherent yang menunjukkan bentuk transformasi proses pendidikan adalah aplikasi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan fasilitas video-conference, e-library, bahan ajar dan diseminasi hasil penelitian online. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis tingkat adopsi inovasi inherent di Universitas Bandar Lampung, (2) menganalisis hubungan antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent di Universitas Bandar Lampung, (3) menganalisis hubungan antara karakteristik inovasi inherent dan tingkat adopsi inovasi inherent di Universitas Bandar Lampung dan (4) menganalisis hubungan antara karakteristik perguruan tinggi dan tingkat adopsi inovasi inherent di Universitas Bandar Lampung. Adopsi inovasi inherent dalam penelitian ini dibatasi pada dua fasilitas inovasi inherent, yaitu bahan ajar online dan fasilitas video-conference. Penelitian dilaksanakan di Universitas Bandar Lampung. Pengambilan dan analisis data dilaksanakan selama dua bulan, yaitu Mei hingga Juni 2010. Populasi penelitian ini dibatasi pada dosen tetap Universitas Bandar Lampung yang mengajar pada jenjang pendidikan strata satu. Penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana dan ditentukan sebesar 50 persen dari populasi. Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan dibuat dalam instrumen penelitian yang berbentuk kuesioner. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung di lapangan, wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder dikumpulkan dengan pengambilan basis data khususnya di UBL dan instansi lain yang relevan. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Alat uji statistik inferensial yang digunakan adalah korelasi rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tingkat adopsi inovasi inherent di UBL tergolong sangat rendah untuk pemanfaatan bahan ajar online dan tergolong rendah untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent, (2) Karakteristik dosen memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent di UBL. Hubungan nyata positif antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL terjadi dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent, (3) Karakteristik inovasi inherent memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent, kecuali karakteristik kerumitan dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online adalah keuntungan relatif, kerumitan inovasi, kemudahan inovasi untuk dicoba dan kemudahan inovasi untuk dilihat. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki
hubungan nyata positif dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent adalah kesesuaian dan (4) Karakteristik perguruan tinggi UBL memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent. Karakteristik perguruan tinggi UBL yang memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online adalah penyediaan sarana dan prasarana, sedangkan untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent adalah dukungan pimpinan. Saran yang dapat dirumuskan dari kesimpulan penelitian ini adalah (1) Tingkat pemanfaatan bahan ajar online dan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan, (2) Karakteristik dosen (keterampilan komputer dan kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT) perlu ditingkatkan guna mendorong peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL, namun untuk peningkatan pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent kurang sehingga karakteristik internal dosen perlu dieksplorasi secara lebih mendalam khususnya yang memiliki hubungan nyata dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL, (3) Tingkat pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan melalui peningkatan kualitas keterampilan komputer dosen, kesiapan dosen melaksanakan pembelajaran berbasis ICT, keuntungan relatif inovasi inherent, kemudahan inovasi inherent untuk dicoba, kemudahan inovasi inherent untuk dilihat, serta penyediaan sarana dan prasarana dan (4) Tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan melalui peningkatan dukungan pimpinan UBL khususnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendorong pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent secara terintegrasi dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan di UBL.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
ADOPSI IOVASI IHERET DI UIVERSITAS BADAR LAMPUG
BUDHI WASKITO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJAA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA
Judul Tesis
: Adopsi Inovasi Inherent di Universitas Bandar Lampung
Nama
: Budhi Waskito
NIM
: I352080061
Program Studi
: Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010
Tanggal Lulus: 19 Agustus 2010
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Adopsi Inovasi Inherent di Universitas Bandar Lampung ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Amirudddin Saleh, MS sebagai anggota komisi pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu dan keikhlasan selama proses pembimbingan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dan saran. Begitu pula, kepada Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS sebagai dosen pengasuh mata kuliah Kolokium yang telah memberikan bimbingan kepada penulis pada saat penyusunan usulan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta, Koriyati dan kedua anakku tersayang, Zidan Muktafa Kamal dan Zaida Nafilia atas kesabaran, keikhlasan dan dorongannnya yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis. Begitupula untuk kedua orang tuaku serta keluarga besar yang telah memberi dukungan dan do’anya. Tak lupa, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Yusuf S. Barusman, MBA yang telah memberikan peluang dan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi, serta kepada Bapak Dr. Agus Wahyudi, MS dan Drs. Harpain, MAT yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis untuk melanjutkan S2 di IPB. Demikian pula, kepada rekan-rekan KMP 2008 dan tempat kerja yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih atas perhatian, pengertian dan bantuannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi Universitas Bandar Lampung guna meningkatkan mutu proses pembelajaran dan bagi siapa saja yang membaca dan memerlukannya. Bogor, Agustus 2010
Budhi Waskito
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 28 April 1975 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Sudarmanto dan Umiyatin. Penulis menikah pada tahun 2002 dengan Koriyati dan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Zidan Muktafa Kamal yang lahir pada tahun 2003 dan Zaida Nafilia yang lahir pada tahun 2006. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA 1 Ponorogo dan pada tahun yang sama diterima di Program Studi Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis lulus dari Program Studi Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1999. Pada tahun 2003 penulis mulai bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Bandar Lampung. Melalui beasiswa BPPS, pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister pada Program Pascasarjana, Program Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiv
PENDAHULUAN .................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
7
Jaringan Perguruan Tinggi Indonesia (Inherent) ............................... Teori Adopsi Inovasi .......................................................................... Inherent dan Inovasi Pendidikan Tinggi ........................................... Hasil Penelitian yang Relevan dan State of the Art ...........................
7 9 13 16
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ...................................
21
Kerangka Pemikiran .......................................................................... Hipotesis Penelitian ............................................................................
21 22
METODE PENELITIAN .......................................................................
23
Desain Penelitian ............................................................................... Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. Populasi dan Sampel ......................................................................... Data dan Instrumentasi ...................................................................... Definisi Operasional .......................................................................... Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi ............................................ Pengumpulan Data ............................................................................ Analisis Data .....................................................................................
23 23 23 24 25 27 29 30
KONDISI UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG .............................
31
Sejarah dan Letak Kampus ................................................................ Fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Proses Pembelajaran ..................................................................................... Karakteristik Dosen ........................................................................... Karakteristik Perguruan Tinggi ........................................................
31 32 33 38
ADOPSI INOVASI INHERENT DI UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG ............................................................................................
48
Karakteristik Inovasi Inherent ............................................................ Adopsi Inovasi Inherent .................................................................... Hubungan antara Karakteristik Dosen, Karakteristik Inovasi Inherent, Karakteristik Perguruan Tinggi dan Adopsi Inovasi Inherent ..........
48 57 63
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
77
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
77 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
79
LAMPIRAN ...........................................................................................
82
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis keputusan adopsi inovasi ........................................................
11
2 Klasifikasi pembelajaran jarak jauh ................................................
15
3 Pengambil keputusan adopsi inovasi inherent ................................
16
4 Definisi operasional dan indikator pengukuran variabel penelitian.
25
5 Koefisien Cronbach alpha hasil uji coba kuesioner ........................
29
6 Program studi yang diselenggarakan UBL ......................................
31
7 Rataan skor karakteristik dosen UBL ..............................................
34
8 Rataan skor karakteristik perguruan tinggi UBL ............................
39
9 Rataan skor karakteristik inovasi inherent ......................................
47
10 Rataan skor tingkat adopsi inovasi inherent di UBL .......................
58
11 Hubungan antara karakteristik dosen, karakteristik perguruan tinggi, karakteristik inovasi dan adopsi inovasi inherent di UBL ..
63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tahapan proses keputusan inovasi .................................................
12
2 Pembelajaran jarak jauh tradisional ................................................
14
3 Pembelajaran jarak jauh berbasis internet .......................................
14
4 Kerangka pemikiran penelitian .......................................................
22
DAFTAR LAMPIRA Halaman 1 Kuesioner penelitian ........................................................................
83
2 Hasil uji coba validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian ..........
91
3 Hasil analisis korelasi rank Spearman ............................................
103
1
PEDAHULUA Latar Belakang Indonesian Higher Education etwork (Inherent) merupakan inovasi teknologi pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT) yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) tahun 2006. Inovasi ini diharapkan mampu mentransformasi teknologi pembelajaran manual ke arah yang berbasis ICT. Inovasi ini dikembangkan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi melalui peningkatan komunikasi antar perguruan tinggi sehingga ketimpangan antar perguruan tinggi tidak begitu jauh. Berbagai hal yang diijinkan untuk didistribusikan atau dikomunikasikan oleh perguruan tinggi melalui inherent adalah pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, manajemen institusi perguruan tinggi dan news (Ditjen Dikti 2006). Pengembangan inovasi inherent secara umum mencoba berbagai transformasi pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi yang berbasis pada ICT. Berbagai transformasi ini dapat dilihat pada berbagai kegunaan dari fasilitas inherent tersebut. Fasilitas jaringan inherent dapat dimanfaatkan oleh perguruan tinggi untuk keperluan pembelajaran jarak jauh (distance learning), khususnya berbasis
ICT
dengan
memanfaatkan
fasilitas
video‐conference
atau
video‐streaming (Ditjen Dikti 2008b). Selain itu, pemanfaatan inherent akan
menghemat
waktu
dan
biaya
yang
dibutuhkan
untuk
berkomunikasi
antarperguruan tinggi. Pengembangan fasilitas inherent pada dasarnya merupakan rencana perubahan berencana terhadap proses pendidikan tinggi di Indonesia dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia sehingga dapat sejajar dengan mutu pendidikan tinggi di dunia internasional. Proses pendidikan tinggi yang direncanakan mengalami perubahan akibat pengembangan inherent di antaranya adalah perkuliahan, penelusuran pustaka, pencarian bahan ajar online dan diseminasi hasil penelitian dan pengabdian pada masyarakat sivitas akademika. Aplikasi inherent yang dapat menunjukkan bentuk perubahan proses pendidikan tersebut adalah aplikasi pembelajaran jarak jauh, e-library, bahan ajar dan diseminasi hasil penelitian online.
2
Pengembangan inovasi inherent yang dilakukan oleh Ditjen Dikti hingga tahun 2008 belum sepenuhnya menyentuh seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Mengingat sangat banyaknya jumlah perguruan tinggi yang ada di Indonesia dan ketersediaan dana yang terbatas, Ditjen Dikti melakukan suatu program hibah kompetisi (PHK) untuk menentukan perguruan tinggi mana yang berhak lebih dahulu untuk mengembangkan inovasi inherent. Program Hibah Kompetisi yang diselenggarakan tersebut adalah PHK Teknologi Informasi dan Komunikasi (Ditjen Dikti 2007). Program Hibah Kompetisi Teknologi Informasi dan Komunikasi yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti terkait dengan pengembangan inovasi inherent diselenggarakan sejak tahun 2006. Selama tiga tahun pelaksanaan program (20062008), jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang telah terhubung dengan inherent adalah sebanyak 175 perguruan tinggi (Ditjen Dikti 2006, 2007, 2008a). Universitas Bandar Lampung (UBL) merupakan salah satu perguruan tinggi swasta yang berhasil mendapatkan PHK Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk komponen K3 pada tahun 2007 (Ditjen Dikti 2007) sehingga UBL memasuki era baru dalam proses pembelajaran mengingat telah tersedia berbagai peralatan ICT untuk melaksanakan berbagai aplikasi inherent. Mengingat inherent merupakan suatu terobosan baru dalam dunia pendidikan, maka inherent bagi UBL dapat dianggap sebagai suatu inovasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Rogers (2003) bahwa inovasi adalah sebuah ide, hal yang praktis atau obyek yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau unit adopsi lainnya. Keberadaan inovasi inherent di UBL merupakan hal baru bagi kalangan sivitas akademika khususnya dalam pemanfaatan jaringan komputer. Inovasi inherent memberikan alternatif teknologi pembelajaran berbasis ICT bagi sivitas akademika untuk melakukan komunikasi elektronik khususnya dengan berbagai pihak yang terkait dengan bidang pendidikan, yaitu dengan menggunakan teknologi internet atau teknologi inherent. Ditjen Dikti (2008a) menyatakan komunikasi elektronik bagi perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent dapat dilakukan dengan basis IP (IP based application) sehingga tidak melalui internet. Keberadaan inherent memberikan peluang yang lebih besar
3
kepada UBL untuk mengembangkan dan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT yang dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Peluang pengembangan proses pembelajaran berbasis ICT yang dimiliki UBL dengan memanfaatkan infrastruktur inovasi inherent pada prinsipnya dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi di UBL apabila inovasi inherent tersebut dimanfaatkan UBL sesuai dengan peruntukannya. Hasil penelitian mengenai proses pembelajaran berbasis ICT (pembelajaran jarak jauh) sebagai dampak teknologi terhadap perencanaan pendidikan yang dilakukan Godschalk dan Lacey (2001) menyimpulkan pembelajaran jarak jauh akan menjadi suatu hal yang sangat penting di masa depan walaupun dalam pengembangannya terdapat berbagai hambatan. Berdasarkan hal ini, maka sangat menarik untuk diteliti sejauh mana tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL mengingat berbagai sumberdaya atau fasilitas inovasi inherent telah tersedia di UBL. Informasi mengenai tingkat adopsi inovasi inherent di UBL merupakan suatu hal yang sangat penting guna melihat seberapa jauh pemanfaatan inovasi inherent di UBL sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan proses pembelajaran berbasis ICT di UBL secara lebih terstruktur khususnya dalam pemanfaatan fasilitas inovasi inherent guna mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi di UBL secara berkelanjutan. Sooknanan et al. (2002) mengatakan faktor kunci yang dapat dilakukan untuk mempercepat implementasi atau proses adopsi teknologi komputer dalam kegiatan pendidikan adalah dengan mengikutsertakan guru (dosen) yang berkompeten dalam proses perencanaan pendidikan. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL sangat ditentukan keputusan dosen. Keputusan dosen untuk mengadopsi inovasi inherent guna mendukung proses pembelajaran merupakan indikator penting yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi di UBL. Faktor-faktor penting yang menentukan keputusan dosen dalam mengadopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran perlu diketahui secara baik sehingga dapat dijadikan informasi guna memanfaatkan inovasi inherent secara lebih baik sesuai dengan peruntukannya.
4
Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan pemanfaatan ICT diketahui bahwa keputusan adopsi inovasi oleh individu (dosen) terhadap suatu inovasi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (Marwan 2008, Chitanana et al. 2008) dan eksternal (Teo et al. 2007, Marwan 2008, Godschalk & Lacey 2001). Faktor internal yang dimaksud di sini adalah karakteristik adopter dalam hal ini adalah dosen, sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah karakteristik inovasi dan karakteristik perguruan tinggi. Sesuai dengan tahapan keputusan inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (2003), faktor internal dan eksternal pengambil keputusan memiliki hubungan terhadap keputusan inovasi adopter. Tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL memiliki hubungan dengan faktor internal dan eksternal dosen sebagai unit yang mengadopsi. Berkaitan dengan hal tersebut sangat menarik untuk diteliti sejauh mana tingkat hubungan yang terjadi antara faktor internal dan eksternal dosen dengan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Hal ini akan bermanfaat bagi UBL untuk menentukan langkah-langkah strategis guna mengembangkan pemanfaatan inovasi inherent khususnya dalam proses pembelajaran di masa depan. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan beberapa permasalahan berkaitan dengan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL, yaitu: 1. Sejauh mana tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL? 2. Sejauh mana hubungan antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL? 3. Sejauh mana hubungan antara karakteristik inovasi inherent dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL? 4. Sejauh mana hubungan antara karakteristik perguruan tinggi dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL?
5
Tujuan Penelitian Permasalahan yang dihadapi UBL terkait dengan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran secara ilmiah dapat diatasi melalui kegiatan penelitian sehingga penelitian mengenai adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL perlu untuk dilakukan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik inovasi inherent dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik perguruan tinggi dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL dapat dilihat dari dua hal, yaitu manfaat secara teori dan manfaat secara praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teori mampu memberikan tambahan informasi mengenai adopsi inovasi, khususnya adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi kegiatan penelitian lanjutan yang lebih luas dan lebih mendalam mengenai adopsi inovasi inherent di Indonesia. 2. Secara praktis mampu memberikan masukan kepada pimpinan UBL mengenai tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran berikut faktorfaktor yang mempengaruhinya sehingga dapat dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan bagi peningkatan mutu proses pembelajaran.
6
7
TIJAUA PUSTAKA Jaringan Perguruan Tinggi Indonesia (Inherent) Sejalan dengan kebijakan pengembangan pendidikan tinggi yang tertuang dalam dokumen Higher Education Long Term Strategy 2003-2010, pada tahun 2006 Ditjen Dikti meluncurkan program pengembangan sistem dan jaringan informasi
pendidikan
menghubungkan
tinggi
seluruh
yang
perguruan
direncanakan tinggi
di
secara
Indonesia,
bertahap yaitu
akan dengan
pengembangan inherent (Ditjen Dikti 2006). Inherent dirancang untuk menghubungkan seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia pada masa yang akan datang. Pada awalnya, jaringan ini dimulai dengan menghubungkan tiga puluh dua perguruan tinggi yang berlokasi di setiap provinsi di Indonesia dan Ditjen Dikti Jakarta. Tiga puluh tiga simpul tersebut berfungsi sebagai simpul lokal pada tingkat provinsi. Simpul-simpul lokal tersebut diharapkan dapat memfasilitasi sambungan untuk universitas-universitas di sekitar lokasi dalam daerahnya masing-masing (Ditjen Dikti 2006). Simpul lokal sebagai tahap pengembangan inherent yang dilakukan Ditjen Dikti terbagi menjadi tiga kategori, yaitu advanced networks, medium networks dan basic networks. Advanced etwork mengelola IP address sebesar 384 Kelas C dan 128 kelas C untuk cadangan. Advanced network terdiri atas delapan simpul, yaitu Ditjen Dikti, UI, ITB, UNDIP, UGM, UNIBRAW, ITS dan UT. Medium etwork mengelola IP Address sebesar dua puluh empat Kelas C. Medium etwork ini terdiri atas dua puluh satu simpul, yaitu Universitas Syiahkuala, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Jambi, Universitas Bengkulu, Universitas Sriwijaya, Universitas Riau, Universitas Lampung, Untirta, Untan, Unmul, Unpar, Unlam, Unhas, Univ Taduloko, Univ Haluoleo, Unsrat, Univ Negeri Gorontalo, Unud, Unram dan Undana. Basic etwork mengelola IP address sebesar delapan kelas C. Basic network ini terdiri atas empat simpul, yaitu Uncen, Unpatti, UnKhair dan Unipa. Koneksi ke inherent dapat dilakukan dengan menghubungkan perguruan tinggi asal (kota/provinsi) ke simpul lokal terdekat, yaitu dekat secara geografis. Koneksi ke inherent dilakukan melalui tiga tahapan yaitu koneksi fisik (layer satu dan layer dua), koneksi logik (layer tiga dan empat) dan layer lima (aplikasi).
8
Koneksi fisik ke inherent dapat dilakukan sesuai dengan lokasi perguruan tinggi yang akan bergabung, yaitu satu kota dengan simpul lokal dan antarkota dengan simpul lokal. Koneksi ke inherent bagi perguruan tinggi yang terletak satu kota dengan simpul lokal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu wireless, multi protocol layer switch (MPLS), leased line atau fiber optics. Koneksi bagi perguruan tinggi yang terletak di luar kota dengan simpul lokal dapat dilakukan dengan cara wireless, MPLS, leased line, fiber optic atau satelit (Dirjen Dikti 2008b). Setelah terhubungkan secara fisik dengan jaringan inherent, maka dibuat penyesuaian untuk interkoneksi antara jaringan perguruan tinggi yang akan menyambung ke inherent dengan jaringan di dalam inherent yang akan mengalokasikan IP address dan membuat kebijakan routing (routing policy). Alokasi masing masing perguruan tinggi yang terhubung ke inherent sangat bergantung dengan kondisi jaringan setempat. Inherent dibuat untuk dapat mengakomodasi keperluan dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Transaksi elektronik seperti e-mail, web dan aplikasi lainnya yang berbasis IP (IP based application) bagi perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent dapat dan harus dilakukan melalui inherent (tidak melalui internet). Ditjen Dikti (2006) menyatakan bahwa dalam pengembangan inherent tidak hanya perguruan tinggi saja yang dapat bergabung dan memanfaatkan jaringan inherent. Pihak yang dapat bergabung dengan inherent tersebut terbagi menjadi dua, yaitu pihak internal (Perguruan Tinggi dan Ditjen Dikti/Depdiknas) dan pihak eksternal (pemkab/pemkot/pemprov, internet atau lembaga pemerintah lainnya). Ditjen Dikti/Depdiknas dan Perguruan Tinggi baik PTN maupun PTS sebagai pihak internal dapat memanfaatkan jaringan inherent ini untuk keperluan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Simpul lokal ataupun simpul lain yang terhubung melalui simpul lokal dilarang menjual koneksi inherent kepada institusi yang bukan lembaga pendidikan. Pihak eksternal yang terdiri dari pemkab/pemkot/pemprov, internet atau lembaga pemerintah lainnya di luar perguruan tinggi dapat memanfaatkan bandwidth inherent untuk tujuan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
9
Selain kedua pihak tersebut, lembaga penelitian khususnya yang berada di dalam Kementerian Riset dan Teknologi atau lembaga penelitian yang berada pada sekretariat negara dapat juga tergabung dan memanfaatkan inherent. Lembaga penelitian yang dimaksud, misalnya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa), Lembaga Eikman dan lembaga-lembaga penelitian lainnya yang sejenis. Ditjen Dikti menerapkan empat kebijakan routing IP (IP Routing Policy) dalam inherent, yaitu routing antar inherent, routing antar inherent dengan NREN (National Research and Education Network) di luar negeri, routing antara inherent dengan internet, dan routing antara inherent dengan ISP Indonesia (Ditjen Dikti 2006). Routing antar anggota inherent terbuka tidak ada filter, kecuali ada satu network yang membebani jalur, misalnya karena ada virus atau worm. Routing antar inherent dengan NREN di luar negeri dimungkinkan apabila ada salah satu anggota inherent mempunyai kerjasama dengan NREN di luar negeri, misalnya Internet2 (jaringan antar universitas di Amerika), GEANT (jaringan antar universitas di Eropa), Singaren (jaringan antar universitas di Singapore) dan AARnet (jaringan antar universitas di Australia). Routing inherent dengan internet tidak diperkenankan secara langsung, akan tetapi perguruan tinggi dapat menggunakan jalur internetnya sendiri atau sharing dengan yang lain melalui sharing bandwidth via proxy server. Routing antara inherent dengan ISP Indonesia dapat dilakukan melalui IIX (Indonesia Internet eXchange). Teori Adopsi Inovasi Inovasi adalah sebuah ide, hal yang praktis, atau obyek yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau unit adopsi lainnya. Persepsi mengenai kebaharuan dari ide tersebut ditentukan oleh reaksi individu atau unit adopsi lainnya terhadap ide tersebut. Sebuah ide yang terlihat baru bagi seseorang, maka ide tersebut merupakan sebuah inovasi (Rogers 2003). Tingkat kebaharuan dari sebuah inovasi (innovativeness) tersebut diekspresikan dalam beberapa hal, yaitu pengetahuan (knowledge), persuasi (persuation) dan keputusan untuk mengadopsi (a decision to adopt).
10
Perbedaan kecepatan adopsi seseorang terhadap sebuah inovasi dapat dipengaruhi oleh persepsi seseorang terhadap karakteristik dari inovasi tersebut. Rogers (2003) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi seseorang terhadap suatu inovasi. Lima karakteristik
tersebut
adalah
keuntungan
relatif,
kesesuaian,
kerumitan,
kemudahan untuk dicoba, dan kemudahan dilihat hasilnya. Sebuah inovasi yang dipersepsikan seseorang memiliki kelebihan dalam hal relative advantage, compatibility, trialability, observability serta lebih sederhana (less complexity) akan diadopsi lebih cepat dibandingkan dengan inovasi lainnya. Definisi lima karakteristik inovasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Keuntungan relatif (Relative Advantage) adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari pada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat. 2. Kesesuaian (Compatibility) adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalamanpengalaman terakhir dan kebutuhan adopter. Ide yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai. 3. Kerumitan (Complexity) adalah derajat kerumitan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru. 4. Kemudahan untuk dicoba (Trialability) adalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumberdaya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diujicobakan dalam skala yang lebih kecil.
11
5. Kemudahan untuk dilihat (Observability) adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi. Sistem sosial belum memiliki pengaruh penting lainnya dalam difusi ideide baru. Inovasi dapat diadopsi (adopted) atau ditolak (rejected) oleh seseorang sebagai anggota dari sebuah sistem atau keseluruhan sistem sosial, dimana keputusan adopsi ditentukan oleh keputusan bersama atau oleh kekuasaan. Dari dua hal tersebut, Rogers (2003) membagi keputusan inovasi menjadi tiga jenis, yaitu optional innovation-decisions, collective innovation-decisions dan authority innovation-decisions (Tabel 1). Tabel 1 Jenis keputusan adopsi inovasi Keputusan Adopsi Inovasi
Keterangan
Optional innovationdecisions
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh seseorang secara bebas terhadap keputusan anggota lainnya dalam sebuah sistem sosial. Keputusan individu kemungkinan dipengaruhi oleh norma dan jaringan komunikasi antar individu.
Collective innovationdecisions
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh konsensus antara anggota sebuah sistem sosial. Seluruh unit dalam sistem sosial biasanya harus mengkonfirmasi terhadap keputusan yang dibuat oleh sistem sosial tersebut.
Authority innovationdecisions
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh beberapa orang yang relatif sedikit dari sebuah sistem yang memiliki kekuasaan, status atau keahlian teknik.
Sumber: Rogers (2003) Proses keputusan inovasi adalah proses yang dilakukan oleh seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai dari pencarian informasi awal dari sebuah inovasi, penentuan sikap terhadap inovasi, pembuatan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, dan pengkonfirmation keputusan. Rogers (2003) menggambarkan bahwa proses keputusan inovasi terjadi dalam lima tahapan (Gambar 1).
12
Saluran-Saluran Komunikasi Kondisi Awal: 1. Kegiatan sebelumnya 2. Kebutuhan yang dirasakan/masalah 3. Kebaharuan ide (innovativeness) 4. Norma sistem sosial
II. PERSUATION
I. KNOWLEDGE
III. DECISION
IV. IMPLEMENTATION
1. Mengadopsi
Karakteristik Pengambil Keputusan: 1. Karakteristik sosial ekonomi 2. Variabel individu 3. Perilaku komunikasi
V. CONFIRMATION Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian Tidak melanjutkan
2. Menolak
Melanjutkan menolak
Persepsi mengenai karakteristik inovasi: 1. Relative advantage 2. Complexity 3. Compatibility 4. Trialability 5. Observability
Gambar 1 Tahapan proses keputusan inovasi Kelima tahapan proses keputusan inovasi seperti tersaji pada Gambar 1 memiliki ciri yang khusus. Tahap pertama, Pengetahuan-Knowledge terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tahap kedua, Bujukan-Persuation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap inovasi. Tahap ketiga, Keputusan-Decisions terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya melakukan kegiatan yang mengarah pada sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap keempat, Penggunaan-Implementation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya menentukan untuk menggunakan ide baru tersebut. Tahap yang kelima, Konfirmasi-Confirmation terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinannya dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi.
13
Hasil review teori difusi inovasi yang dilakukan Straub (2009) mengatakan bahwa dalam proses introduksi teknologi, teori difusi inovasi secara khusus dapat mempengaruhinya dalam tiga proses. Pertama, mengingat adopsi merupakan hal yang kompleks, maka proses pembangunan sosial merupakan hal yang pertama harus dilakukan. Kedua, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda berkaitan
dengan
teknologi
yang
dapat
mempengaruhi
proses
adopsi.
Ketiga/terakhir, keberhasilan pelaksanaan adopsi teknologi harus memperhatikan dengan serius berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kognitif, emosi dan konteks. Inherent dan Inovasi Pendidikan Tinggi Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan jarak jauh sebagai pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lain. Pembelajaran jarak jauh adalah proses pendidikan formal dimana mayoritas proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa terjadi pada tempat yang berbeda. Proses pembelajaran dalam hal ini dapat terjadi secara langsung (synchronous) maupun tidak langsung (asynchronous). Pertukaran informasi dan proses komunikasi melalui berbagai media (Proctor 2005). Pembelajaran jarah jauh adalah proses pembelajaran yang dihasilkan dari penggunaan teknologi dimana pengajar dan yang diajar tidak perlu pergi ke suatu tempat untuk melaksanakan proses pembelajaran. Pengertian ini meliputi proses pembelajaran tidak bersamaan antara pengajar dan yang diajar baik tempat maupun waktu (asynchronous learning) dan pembelajaran yang terjadi pada waktu yang bersamaan namun pada tempat yang berbeda (synchronous learning) (Negash et al. 2008). Perkembangan teknologi internet telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar dalam metode pembelajaran khususnya dalam penyampaian materi dengan memanfaatkan teknologi internet. Pemanfaatan teknologi internet dalam proses pembelajaran telah memunculkan model baru proses pembelajaran yang berbentuk pembelajaran jarak jauh. Berdasarkan teknologi yang digunakan dalam
14
pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, Singh (2008) mengklasifikasi dua model pembelajaran jarah jauh yang dilakukan di India, yakni pembelajaran jarah jauh tradisional (Gambar 2) dan pembelajaran jarak jauh berbasis internet (Gambar 3). Akses utama melalui Pos Pelajaran (Materi pembelajaran dicetak terlebih dahulu)
Kebebasan dari konvensional Interaksi terbatas pada pusat studi atau pusat pembelajaran jarak jauh
Pelajar pasif mempelajari materi yang diterima
Gambar 2 Pembelajaran jarak jauh tradisional Akses utama melalui Internet Pelajaran (Materi pembelajaran yang dihasilkan dihubungkan melalui hyper links)
Gambar 3
Fleksibilitas waktu, tempat, dan frekwensi dalam belajar
Pembelajaran oleh pelajar aktif
Interaksi tidak terbatas pada isi, pengajar, maupun kelompok pelajar
Pembelajaran jarak jauh berbasis internet
Wilcox (2008) mengklasifikasikan model pembelajaran jarak jauh berdasarkan dua faktor, yaitu kehadiran (presence) dan proses komunikasi elektronik (e-communication) yang terjadi antara pendidik dan peserta didik. Kehadiran menerangkan bahwa antara dosen dan mahasiswa hadir secara fisik maupun maya (virtual) dalam suatu proses pembelajaran dalam waktu yang bersamaan. Komunikasi elektronik merupakan proses komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam suatu proses pembelajaran yang menggunakan media komunikasi elektronik atau tidak. Berdasarkan dua faktor tersebut, Negash dan Wilcox (2008) mengklasifikasikan pembelajaran jarak jauh menjadi enam tipe (Tabel 2).
15
Tabel 2 Klasifikasi pembelajaran jarak jauh Tipe
Kehadiran
Komunikasi Elektronik
Nama
I
Ya
Tidak
Tatap muka (Face to face)
II
Tidak
Tidak
Belajar sendiri (SelfLearning)
III
Tidak
Ya
Pembelajaran dalam waktu yang tidak sama (Asynchronous)
IV
Ya
Ya
Pembelajaran dalam waktu yang sama (Synchronous)
V
Kadangkadang
Ya
Campuran/Turunan dari Tipe III (Blended/Hybridasynchronous)
VI
Ya
Ya
Campuran/Turunan dari Tipe IV (Blended/Hybridsynchronous)
Sumber: Negash dan Wilcox (2008) Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 31 ayat 3) menjelaskan bahwa pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Bentuk pendidikan jarak jauh yang dimaksud mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, TV dan/atau berbasis jaringan komputer. Perkembangan pemanfaatan ICT dalam pendidikan tinggi di Indonesia telah menimbulkan berbagai tantangan dan persoalan dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Pemecahan berbagai tantangan dan persoalan pendidikan tinggi memerlukan pemikiran yang mendalam dan pendekatan baru yang progresif. Gagasan baru sebagai hasil pemikiran kembali haruslah mampu memecahkan persoalan yang tidak terpecahkan hanya dengan cara yang tradisional atau komersial. Gagasan dan pendekatan baru yang memenuhi ketentuan inilah yang dinamakan dengan inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan adalah suatu perubahan baru, dan secara kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan (Sa’ud 2008).
16
Merujuk pemikiran Rogers (2003) dan Sa’ud (2008), meskipun teknologi pembelajaran berbasis ICT sejenis inherent telah lama dikembangkan di negara lain, namun bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia inherent dapat dianggap suatu inovasi karena merupakan suatu hal yang baru dikembangkan, khususnya dalam kegiatan pendidikan tinggi. Inherent merupakan suatu inovasi pendidikan tinggi berbasis ICT yang sengaja diciptakan untuk mengatasi berbagai persoalan guna meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Inovasi inherent di UBL yang menjadi kajian penelitian ini apabila dilihat dari keputusan adopsi inovasi (Rogers 2003) merupakan inovasi yang diputuskan atau diadopsi tidak secara langsung oleh individu dosen UBL (optional innovation-decisions), namun keputusan adopsi inovasi inherent ini pertama kali dibuat berdasarkan otoritas dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (authority innovation-decisions) yang berlanjut pada keputusan adopsi inovasi oleh pimpinan UBL (collective innovation-decisions) (Tabel 3). Tabel 3 Pengambil keputusan adopsi inovasi inherent Keputusan Adopsi Inovasi
Pengambil Keputusan Adopsi Inovasi Inherent
Authority innovation-decisions
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Collective innovation-decisions
Pimpinan Universitas Bandar Lampung
Optional innovation-decisions
Dosen Universitas Bandar Lampung
Hasil Penelitian yang Relevan dan State of the Art Berkaitan dengan pemanfaatan ICT dalam pendidikan tinggi, secara umum dosen dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dosen yang memanfaatkan ICT dan dosen yang belum memanfaatkan ICT dalam proses pendidikan tinggi. Marwan (2008) mengungkapkan bahwa kasus dosen di Politeknik Negeri Pontianak yang memanfaatkan ICT dalam proses pembelajaran karena berbagai alasan, di antaranya adalah ketersediaan fasilitas ICT, dapat mengakses bahan ajar online secara lebih mudah, dapat meningkatkan kualitas komunikasi dengan mahasiswa dan dapat mengembangkan jejaring dengan rekan sejawat. Dosen yang belum memanfaatkan ICT memiliki berbagai alasan, yaitu kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan ICT, kurangnya tenaga
17
teknis ICT di perguruan tinggi, kurangnya insentif yang diberikan oleh perguruan tinggi apabila memanfaatkan ICT dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belum semua dosen (100%) dapat mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk keperluan proses pembelajaran di perguruan tinggi. Dosen yang mengadopsi teknologi informasi secara umum melakukan hal tersebut karena dorongan pribadi (faktor internal dosen), sedangkan dosen yang tidak mengadopsi disebabkan karena kebijakan lembaga pendidikan tinggi yang tidak mendukung (faktor eksternal dosen). Universitas Terbuka di Hongkong telah mengembangkan proses pembelajaran online (Online Learning Environment – OLE) untuk menyampaikan berbagai mata kuliah kepada mahasiswa secara online dengan sistem asynchrounously. Sistem pembelajaran online ini memuat lima bidang utama yang disampaikan dalam berbagai mata kuliah, yaitu berita, jadwal, alat interaksi, bahan ajar dan tugas. Hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa terhadap keberadaan pembelajaran online (OLE) di Universitas Terbuka di Hongkong (Yang & Lau 2006) menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa menerima secara positif dan dapat menggunakan secara nyaman sistem pembelajaran online (OLE) yang dilakukan oleh Universitas Terbuka di Hongkong. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu alternatif proses pembelajaran yang sangat menarik dan dapat menggantikan proses pembelajaran yang ada saat ini (traditional face-to-face instruction). Hasil penelitian terkait transformasi model pembelajaran yang dilakukan Holbein (2008) mengungkapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh kemungkinan tidak diperlukan oleh semua mahasiswa. Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh yang efektif memerlukan tahapan pemikiran antara dosen dan mahasiswa. Bagi mahasiswa yang masih memerlukan pertemuan tatap muka, struktur dan model pembelajaran yang disertai dengan interaksi baik verbal maupun nonverbal kemungkinan tidak nyaman dengan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran jarak jauh belum sepenuhnya (100%) dapat menggantikan model pembelajaran yang ada saat ini (traditional face-to-face instruction). Kompromi antara dosen dan mahasiswa
18
merupakan hal yang sangat penting untuk dapat diterapkannya proses pembelajaran jarak jauh di suatu perguruan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sooknanan et al. (2002) mengenai difusi inovasi dalam bidang pendidikan yang dilakukan di Trinidad dan Tobago menjelaskan bahwa pendidik (guru) yang memiliki kompetensi secara teknologi dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya dalam pembuatan keputusan pemerintah. Faktor kunci yang dapat dilakukan untuk mempercepat implementasi atau proses adopsi
teknologi
komputer
dalam
kegiatan
pendidikan
adalah
dengan
mengikutsertakan guru yang berkompeten dalam proses perencanaan pendidikan. Hodge et al. (2006) mengatakan bahwa faktor yang berperan penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran jarak jauh adalah mahasiswa dan lingkungan sosial. Berkaitan dengan hal ini maka terdapat komponen penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, yaitu konsep kepercayaan, pengembangan kelompok masyarakat, kemahasiswaan dan sosialisasi. Hasil penelitian mengenai adopsi dan difusi sistem informasi sumberdaya manusia di Singapura yang dilakukan Teo et al. (2007) mengatakan bahwa karakteristik organisasi memiliki peranan yang relatif penting dalam keputusan adopsi dibandingkan dengan dua variabel lainnya. Salah satu karakteristik organisasi yang paling dominan adalah dukungan pimpinan puncak (top management). Dua variabel selain karakteristik organisasi adalah karakteristik inovasi dan karakteristik lingkungan. Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka secara garis besar inisiatif organisasi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mempercepat proses adopsi teknologi baru. Berkaitan dengan adopsi pembelajaran jarak jauh dalam kegiatan pendidikan tinggi, Godschalk dan Lacey (2001) mengatakan bahwa mayoritas responden yakin bahwa pembelajaran jarak jauh akan menjadi suatu hal yang penting, namun hanya sedikit mata kuliah yang dapat dijalankannya. Hambatan penting yang terjadi dalam adopsi pembelajaran jarak jauh adalah kebutuhan fakultas yang sangat tinggi, kurangnya kompensasi untuk pengembangan mata kuliah, rendahnya daya tarik fakultas, ketidaksesuaian dengan isi mata kuliah dan kurang memadainya dukungan teknik yang diberikan. Peningkatan tingkat adopsi
19
pembelajaran jarak jauh perlu memperhatikan empat faktor, yaitu perubahan kepemimpinan
(generational
change),
program
survival,
penyesuaian
kelembagaan (institutional conformity) dan tuntutan kepraktisan (practice demand). Berkaitan dengan hasil penelitian ini, Godschalk dan Lacey (2001) mengatakan bahwa penerapan teknologi untuk memperbaiki pendidikan harus dimulai dan direncanakan oleh profesional yang berorietasi pada masa depan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor kepemimpinan yang profesional dari sebuah lembaga merupakan suatu faktor yang sangat menentukan kecepatan adopsi teknologi pembelajaran dalam sebuah perguruan tinggi. Berdasarkan analisis berbagai hasil penelitian yang terkait dengan adopsi inovasi dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh, dapat disimpulkan bahwa dalam membuat keputusan mengenai adopsi suatu inovasi (mengadopsi atau tidak) banyak faktor yang menjadi pertimbangan oleh pengambil keputusan. Berdasarkan hasil telaah berbagai hasil penelitian diketahui bahwa secara umum keputusan adopsi inovasi oleh individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (Marwan 2008, Chitanana et al. 2008) dan eksternal (Teo et al. 2007, Marwan 2008, Godschalk & Lacey 2001). Faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam adopsi inovasi pada umumnya diteliti sendiri-sendiri baik faktor internal maupun eksternal sehingga sangat sulit untuk menentukan faktor manakah sebenarnya yang menjadi kunci utama yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini menganalisis secara simultan faktor internal dan eksternal dosen sebagai pengambil keputusan
adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran.
Hubungan berbagai faktor dan dominasi setiap faktor dalam mempengaruhi keputusan adopsi inovasi diharapkan dapat ditemukan dalam penelitian ini sehingga memudahkan dalam perumusan kebijakan guna meningkatkan dan mempercepat adopsi inovasi, khususnya adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran.
20
21
KERAGKA PEMIKIRA DA HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Hasil penelitian Marwan (2008) dan Sooknanan et al. (2002) menunjukkan bahwa dosen perguruan tinggi merupakan aktor (pengambil keputusan) utama yang sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan ICT dalam proses pendidikan. Dosen dalam adopsi inovasi inherent layak dijadikan sebagai aktor utama pengambil keputusan untuk meningkatkan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Berdasarkan telaah berbagai hasil penelitian terkait dengan pemanfaatan ICT dalam dunia pendidikan diketahui bahwa keputusan adopsi inovasi oleh individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (Marwan 2008, Chitanana et al. 2008) dan eksternal (Teo et al. 2007, Marwan 2008, Godschalk & Lacey 2001). Faktor internal dosen terdiri atas keterampilan komputer dan kesiapan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Faktor eksternal dosen dijelaskan dengan dua kriteria, yaitu karakteristik inovasi dan karakteristik perguruan tinggi. Sesuai tahapan keputusan inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (2003), faktor internal dan eksternal pengambil keputusan memiliki hubungan terhadap keputusan inovasi. Tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran dijadikan sebagai variabel terikat, sedangkan faktor internal dan eksternal dosen merupakan variabel bebas. Faktor internal yang dijadikan variabel dalam penelitian ini adalah karakteristik dosen yang dibatasi pada dua indikator, yaitu keterampilan komputer dan kesiapan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Faktor eksternal yang dijadikan sebagai variabel penelitian adalah karakteristik inovasi dan karakteristik perguruan tinggi. Variabel karakteristik inovasi dalam penelitian ini adalah lima karakteristik inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (2003), yaitu keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat. Variabel karakteristik perguruan tinggi dijelaskan oleh tiga indikator, yaitu dukungan pimpinan, sosialisasi keberadaan inherent, serta dukungan penyediaan sarana dan prasarana, pelatihan dan tenaga teknik. Variabel tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran dilihat dari dua indikator, yaitu pemanfaatan fasilitas bahan ajar online dalam proses
22
pembelajaran
dan
pemanfaatan
fasilitas
video-conference
dalam
proses
pembelajaran. Hasil akhir yang diharapkan dari adanya adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran adalah terwujudnya kegiatan pendidikan tinggi yang berkualitas. Namun demikian, penelitian ini tidak melihat sampai ke dampak akhir tersebut. Penelitian dibatasi atau hanya dilakukan sampai batas diketahuinya tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya di UBL. Hubungan antar variabel dan dampak akhir dari proses adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL dapat dilihat pada Gambar 4. Karakteristik Dosen (X1) X1.1. Keterampilan komputer X1.2. Kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT
X2.1. X2.2. X2.3. X2.4. X2.5.
Karakteristik Inovasi (X2) Keuntungan relatif Kerumitan Kesesuaian Kemudahan untuk dicoba Kemudahan untuk dilihat
Adopsi Inovasi Inherent (Y) Y1. Pemanfaatan bahan ajar online Y2. Pemanfaatan fasilitas videoconference
H2
Karakteristik Perguruan Tinggi (X3) X3.1. Dukungan pimpinan X3.2. Sosialisasi keberadaan inherent X3.3. Penyediaan sarana dan prasarana X3.4. Pengadaan pelatihan X3.5. Penyediaan tenaga teknik Keterangan:
H1
Pendidikan Tinggi yang Berkualitas
H3
= Batasan penelitian
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian (Gtambar 4), penelitian ini menguji tiga hipotesis mengenai hubungan antara variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL, yaitu: H1 : Terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL. H2 : Terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik inovasi inherent dan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL. H3 : Terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik perguruan tinggi dan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL.
23
METODE PEELITIA Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis tentang hubungan tiga variabel (karakteristik dosen, karakteristik inovasi dan karakteristik perguruan tinggi) dengan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Ruslan (2008) menyatakan bahwa penelitian deskriptif dapat dilakukan guna meneliti gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih. Artherton dan Klemmack (1982) dalam Ruslan (2008) mengatakan bahwa penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei dapat dilakukan untuk mencari hubungan dua variabel atau lebih. Nasution (2003) mengatakan bahwa penelitian survei dapat digunakan dalam penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif maupun eksplanatori. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian didesain sebagai survei deskriptif eksplanatori. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak September 2009 yang dimulai dari tahap penyusunan proposal. Pengambilan dan analisis data dilakukan selama dua bulan, yaitu pada Bulan Mei hingga Juni 2010. Pengambilan data penelitian dilaksanakan di UBL. Populasi dan Sampel Populasi adalah kumpulan semua hal (orang, perusahaan dan sebagainya) yang dipertimbangkan dengan baik. Karakteristik penting dari populasi adalah berisi semua elemen yang menarik perhatian. Populasi dapat dibatasi atau tidak dalam hal ukuran (Ashenfelter et al. 2003). Berdasarkan pengertian ini, maka populasi penelitian ini dibatasi pada dosen tetap Universitas Bandar Lampung yang mengajar pada jenjang pendidikan strata satu dan pernah memanfaatkan inovasi inherent. Berdasarkan data Laporan Evaluasi Diri Berbasis Program Studi (EPSBED) yang dimuat dalam situs http://www.evaluasi.or.id diketahui bahwa jumlah dosen tetap yang mengajar di Program Studi Jenjang S1 UBL adalah sebanyak 103 orang yang mengajar pada 12 program studi jenjang S1. Dua program studi jenjang S1 UBL meliputi Program Studi Manajemen, Program
24
Studi Akuntansi, Program Studi Teknik Sipil, Program Studi Teknik Mesin, Program Studi Teknik Arsitektur, Program Studi Ilmu Hukum, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Program Studi Ilmu Administrasi Niaga, Program Studi Teknik Informatika, Program Studi Sistem Informasi, Program Studi Ilmu Komunikasi dan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (Perencanaan dan Pengembangan Pengembangan UBL 2010). Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 103 orang. Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih untuk dianalisis. Pemilihan sampel ini merupakan suatu hal yang sangat penting. Berbagai metode pengambilan sampel tersedia namun hal kunci yang harus diingat bahwa sampel dari sebuah populasi dapat menggambarkan tentang populasi tersebut (Ashenfelter et al. 2003). Berdasarkan hal ini, maka sampel penelitian adalah sebagian dari dosen tetap Universitas Bandar Lampung yang mengajar pada jenjang pendidikan strata satu dan pernah memanfaatkan inovasi inherent. Penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana dan ditentukan sebesar 50 persen dari populasi sehingga jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 52 orang. Pengambilan sampel dilakukan sebesar 50 persen dengan maksud agar diperoleh data yang mendekati dengan kondisi yang sebenarnya. Data dan Instrumentasi Berdasarkan cara perolehannya, data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, yaitu berupa pendapat dosen mengenai variabel penelitian yang diduga memiliki hubungan dengan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran, termasuk data mengenai adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran seperti yang tersaji pada Gambar 4. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibuat dalam instrumen penelitian yang berbentuk kuesioner (Lampiran 1). 2. Data sekunder, yaitu berupa profil UBL dan data lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder ini akan diambil dari dokumen yang dikeluarkan oleh UBL maupun instansi lainnya yang relevan.
25
Definisi Operasional Jogiyanto
(2008)
mengatakan
bahwa
variabel
penelitian
harus
didefinisikan agar jelas makna dan pengukurannya. Definisi operasional dan indikator pengukuran dari variabel penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Variabel Keterampilan komputer
Definisi operasional penelitian
dan
Definisi Operasional 1.
Kesiapan melaksanakan pembelajaran berbasis ICT
Tingkat kesiapan dosen UBL dalam melaksanakan proses pembelajaran yang berbasis ICT dengan memanfaatkan inovasi inherent
1.
Keuntungan relatif
Tingkat inovasi inherent dirasakan lebih baik dibandingkan dengan ide lain yang digantikannya
1.
2.
2.
2. 3. 4.
Tingkat kerumitan inovasi inherent untuk dipahami dan digunakan dibandingkan dengan teknologi yang digantikannya
1. 2.
3.
Kesesuaian
Kemudahan untuk dicoba
Tingkat inovasi inherent dirasakan sebagai sesuatu yang konsisten dengan nilai– nilai yang berlaku di UBL, pengalaman-pengalaman terakhir dan kebutuhan adopter Tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba pada keadaan sumberdaya yang terbatas
pengukuran
variabel
Indikator Pengukuran
Tingkat keterampilan dosen UBL menggunakan komputer untuk proses pembelajaran
Kerumitan
indikator
1.
2.
1.
2.
Kemampuan dosen menggunakan komputer dasar (Chitanana et al. 2008) Kemampuan dosen menggunakan internet (Chitanana et al. 2008) Keperluan dosen mengikuti pelatihan pemanfaatan inovasi inherent Keperluan dosen terhadap dukungan tenaga teknik untuk memanfaatkan inovasi inherent Peningkatan mutu proses pembelajaran (Premkumar dan Roberts 1999 dalam Teo et al. 2007) Kemudahan pelaksanaan proses pembelajaran (Teo et al. 2007) Peningkatan efektivitas proses pembelajaran (Teo et al. 2007) Pengurangan biaya operasional proses pembelajaran (Teo et al. 2007) Kerumitan penggunaan (Grover 1993 dalam Teo et al. 2007) Kerumitan pengembangan (Parthasarathy & Bhattacherjee 1998 dalam Teo et al. 2007) Kerumitan untuk dipelajari (Parthasarathy & Bhattacherjee 1998 dalam Teo et al. 2007) Nilai dan kepercayaan organisasi (Premkumar & Ramamurthy 1995 dalam Teo et al. 2007) Infrastruktur teknologi informasi yang telah tersedia (Teo & Wong 1997 dalam Teo et al. 2007) Kemudahan inovasi inherent dicoba dengan menggunakan peralatan teknologi informasi yang telah tersedia di UBL Keperluan peralatan tambahan untuk mencoba inovasi inherent
26
Tabel 4 Lanjutan Variabel Kemudahan untuk dilihat
Dukungan pimpinan
Definisi operasional
Indikator Pengukuran
Tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain.
1.
Tingkat dukungan pimpinan puncak (top management) perguruan tinggi dalam pemanfaatan inherent untuk kepentingan proses pembelajaran
1.
2.
2.
3.
Sosialisasi keberadaan inherent
Tingkat sosialisasi keberadaan inovasi inherent di UBL
1. 2.
3.
Kemudahan inovasi inherent dilihat dan diakses di seluruh ruang kampus Kemudahan inovasi inherent dilihat dan diakses di luar kampus Antusias pimpinan puncak dalam pemanfaatan inovasi inherent (Premkumar & Roberts 1999 dalam Teo et al. 2007) Kesadaran pimpinan puncak akan keuntungan dari inovasi inherent (Teo et al. 2007) Ketersediaan peraturan pemanfaatan inovasi inherent yang dibuat oleh pimpinan puncak Sosialisasi inovasi inherent oleh pimpinan puncak Sosialisasi inovasi inherent oleh pengelola inherent di UBL (Pusat Komputer) Sosialisasi inovasi inherent oleh dosen
Penyediaan sarana dan prasarana
Tingkat penyediaan sarana dan prasarana yang dilakukan perguruan tinggi untuk mendukung pemanfaatan inovasi inherent
Ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung pemanfaatan inovasi inherent
Pengadaan pelatihan
Tingkat pengadaan pelatihan yang diselenggarakan UBL untuk mendukung pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran
Ketersediaan pelatihan bagi dosen untuk memanfaatkan inovasi inherent
Penyediaan tenaga teknik
Tingkat penyediaan tenaga teknik yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk mendukung pemanfaatan inovasi inherent
Ketersediaan tenaga teknik untuk membantu dosen dalam pemanfaatan inovasi inherent
Pemanfaatan bahan ajar online
Tingkat pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent oleh dosen UBL dalam proses pembelajaran
1. 2. 3.
Pemanfaatan fasilitas videoconference
Tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent oleh dosen UBL dalam proses pembelajaran
1.
2.
Frekwensi dosen UBL mencari ide pembuatan bahan ajar Frekwensi dosen UBL men-download bahan ajar Frekwensi dosen UBL mengunggah bahan ajar Frekwensi dosen UBL mengikuti kuliah umum melalui fasilitas videoconference inovasi inherent Frekwensi dosen UBL mengikuti seminar melalui fasilitas videoconference inovasi inherent
27
Pengukuran variabel penelitian yang disajikan pada Tabel 4 dilakukan dengan menggunakan skala ordinal. Variabel keterampilan komputer, kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT, keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba, kemudahan untuk dilihat, dukungan pimpinan, sosialisasi keberadaan inherent, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan pelatihan serta penyediaan tenaga teknik diukur dengan menggunakan empat alternatif jawaban, yaitu skor 1 = sangat tidak setuju, skor 2 = tidak setuju, skor 3 = setuju dan skor 4 = sangat setuju. Variabel pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent diukur dengan menggunakan empat alternatif jawaban, yaitu skor 1 = tidak pernah, skor 2 = kadang-kadang, skor 3 = sering dan skor 4 = selalu. Kategori pengukuran variabel penelitian ini terdiri dari empat kategori, yaitu sangat rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Nasution (2003) mengatakan bahwa alat ukur atau kuesioner penelitian pada umumnya harus memenuhi dua syarat utama, yaitu alat ukur tersebut harus valid (sahih) dan harus reliable (dapat dipercaya). Suatu alat pengukur dikatakan valid jika alat itu mengukur apa yang harus diukur oleh alat itu. Alat pengukur dikatakan reliable jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan senantiasa menunjukkan hasil yang sama. Jadi alat yang reliable secara konsisten akan memberikan hasil ukuran yang sama. Salah satu ukuran validitas untuk sebuah kuesioner adalah apa yang disebut sebagai validitas konstruk (construct validity). Kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan untuk mengukur suatu hal, dikatakan valid jika setiap butir pertanyaan yang menyusun kuesioner tersebut memiliki keterkaitan yang tinggi. Ukuran keterkaitan antar butir pertanyaan ini umumnya dicerminkan oleh keajegan korelasi jawaban antar pertanyaan. Pertanyaan yang memiliki korelasi rendah dengan butir pertanyaan yang lain, dinyatakan sebagai pertanyaan yang tidak valid. Metode yang sering digunakan untuk memberikan penilaian terhadap validitas kuesioner adalah korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total, sehingga sering disebut sebagai inter item-total correlation. Formula yang
28
digunakan untuk menghitung korelasi produk momen tersebut adalah sebagai berikut:
ri=
∑nj=1xij- x i tj - t
2 ∑n t - t 2 ∑nj=1xij- x i j=1 j
keterangan: ri = korelasi antara butir pertanyaan ke-i dengan total skor xij = skor responden ke-j pada butir pertanyaan i xi = rata-rata skor butir pertanyaan i tj = total skor seluruh pertanyaan untuk responden ke-j t = rata-rata total skor
Berdasarkan hasil uji kuesioner terhadap 10 orang, diketahui bahwa korelasi antar butir pertanyaan dengan skor total dari masing-masing variabel penelitian bernilai lebih besar dari 0,5 (Lampiran 2) sehingga instrumen penelitian ini dinyatakan sudah valid. Jogiyanto (2008) mengatakan bahwa reliabilitas suatu alat ukur (kuesioner) menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurnya. Reliabilitas berhubungan dengan akurasi (accurately) dari pengukurnya. Suatu pengukur dikatakan reliabel jika dapat dipercaya. Supaya dapat dipercaya, maka hasil dari pengukuran harus akurat, presisi dan konsisten. Dikatakan konsisten jika beberapa pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda. Besarnya tingkat reliabilitas dalam hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien reliabilitas. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur koefisien reliabilitas dari suatu alat ukur adalah melalui pendekatan koefisien konsistensi internal (coeficient of internal consistency) dari alat ukur. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan konsistensi internal item-item di alat ukur. Ukuran koefisien konsistensi internal diukur dengan menggunakan koefisien Cronbach alpha. Formula untuk menghitung koefisien Cronbach alpha adalah sebagai berikut: ∑ki=1 Si2 k r= 1
k-1 ST2
keterangan: r = koefisien Cronbach alpha k = banyaknya butir pertanyaan Si2 = ragam skor butir pertanyaan ke-i ST2 = ragam skor total
29
Berdasarkan hasil uji kuesioner terhadap 10 orang responden contoh diketahui bahwa nilai Cronbach alpha dari setiap variabel penelitian menunjukkan nilai Cronbach alpha berada pada kisaran 0,708 sampai dengan 0,821 (Tabel 5). Mengingat nilai Cronbach alpha kuesioner penelitian bernilai lebih besar dari 0,666 maka dapat dikatakan bahwa kuesioner penelitian ini adalah reliabel. Tabel 5 Koefisien Cronbach alpha hasil uji coba kuesioner Variabel Penelitian Karakteristik Dosen (X1): X1.1. Keterampilan komputer X1.2. Kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT
Koefisien Cronbach Alpha 0,778 0,809
Karakteristik Inovasi (X2) X2.1. Keuntungan relatif X2.2. Kerumitan X2.3. Kesesuaian X2.4. Kemudahan untuk dicoba X2.5. Kemudahan untuk dilihat
0,785 0,821 0,806 0,803 0,842
Karakteristik Perguruan Tinggi (X3) X3.1. Dukungan pimpinan X3.2. Sosialisasi keberadaan inherent X3.3. Penyediaan sarana dan prasarana X3.4. Pengadaan pelatihan X3.5. Penyediaan tenaga teknik
0,763 0,818 0,763 0,812 0,708
Adopsi Inovasi inherent dalam proses pembelajaran (Y): Y1. Pemanfaatan bahan ajar online Y2. Pemanfaatan fasilitas video-conference
0,784 0,776
Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi langsung di lapangan, wawancara
dan pengisian kuesioner. Data sekunder
dikumpulkan dengan pengambilan basis data khususnya di UBL dan instansi lain yang relevan.
30
Analisis Data Data primer penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif menggunakan nilai rata-rata skor jawaban responden yang dikonsultasikan dengan nilai interval atau rentang skor sesuai dengan jumlah alternatif jawaban dari kuesioner, sedangkan alat analisis inferensial yang digunakan adalah uji korelasi rank Spearman. Formula untuk menghitung korelasi rank Spearman adalah sebagai berikut: 6 ∑ d2 rs = 1 n (n2 -1)
keterangan: rs = Nilai korelasi rank Spearman d2 = Selisih setiap pasangan rank n = Jumlah pasangan rank untuk Spearman
31
KODISI UIVERSITAS BADAR LAMPUG Sejarah dan Letak Kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi di Provinsi Lampung yang didirikan oleh Yayasan Administrasi Lampung (YAL) yang memulai kegiatannya sejak 1972, dengan mendirikan Akademi Administrasi Niaga. Universitas Bandar Lampung beroperasi sejak tahun 1984 dengan tiga fakultas yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ekonomi. Penambahan fakultas di UBL dilakukan secara bertahap, yaitu Fakultas Hukum pada tahun 1987, Program Pascasarjana pada tahun 1997, Fakultas Ilmu Komputer pada tahun 2000 dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada tahun 2009. Program studi yang diselenggarakan UBL hingga saat ini terdiri atas 15 program studi dengan rincian 12 program studi jenjang S1 dan tiga program studi jenjang S2 (Tabel 6). Tabel 6 Program studi yang diselenggarakan UBL Fakultas/Program
Program Studi
Jenjang
Fakultas Ekonomi
Manajemen Akuntansi
S1 S1
Fakultas Teknik
Sipil Mesin Arsitektur
S1 S1 S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Ilmu Administrasi Negara Ilmu Administrasi Niaga Ilmu Komunikasi
S1 S1 S1
Fakultas Hukum
Ilmu Hukum
S1
Fakultas Ilmu Komputer
Sistem Informasi Teknik Informatika
S1 S1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Pendidikan Bahasa Inggris
S1
Program Pascasarjana
Manajemen Ilmu Hukum Teknik Sipil
S2 S2 S2
Sumber: Perencanaan dan Pengembangan UBL 2010
32
Kampus tempat penyelenggaraan proses pembelajaran di Universitas Bandar Lampung terletak di dua lokasi, yaitu Kampus A dan Kampus B. Kampus A terletak di Jalan Z.A. Pagar Alam No. 26 Labuhan Ratu Bandar Lampung, sedangkan Kampus B terletak di Jalan Z.A. Pagar Alam No. 89 Labuhan Ratu Bandar Lampung. Fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Proses Pembelajaran Perkembangan ICT secara nyata telah mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran di UBL. Perubahan nyata dari adanya perkembangan ICT dalam proses pembelajaran di UBL terlihat dari perubahan bentuk bahan ajar yang digunakan dosen dalam proses pembelajaran. Sebelum adanya ICT, bahan ajar dosen yang digunakan dalam proses pembelajaran berbentuk transparansi yang disampaikan dalam proses pembelajaran dengan bantuan alat Over Head Projector (OHP). Sejak UBL menerapkan kebijakan penggunaan LCD Projector sebagai pengganti OHP, maka secara otomatis bentuk bahan ajar transparansi mulai ditinggalkan dan berganti dalam bentuk softcopy dengan format power point. Perolehan dana hibah untuk pengembangan management information system (MIS) yang diperoleh UBL dari Technological and Proffessional Development Sector Project (TPSDP) telah mempercepat pengembangan infrastruktur (hardware) ICT di UBL guna mendukung proses pembelajaran. Perangkat lunak yang mulai dikembangkan oleh UBL adalah digital library (digilib). Teknologi internet yang berkembangan secara cepat dalam segala bidang kehidupan secara nyata telah dimanfaatkan UBL guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar. Fasilitas internet guna mendukung proses pembelajaran di UBL disediakan di berbagai lokasi kampus khususnya perpustakaan dan laboratorium. Namun demikian, akses internet juga dapat dilakukan melalui fasilitas hot spot yang disediakan oleh pihak universitas dengan bandwidth yang sangat memadai yaitu 1 Mbps. Fasilitas internet ini dalam proses pembelajaran banyak digunakan oleh sivitas akademika guna mencari informasi guna mendukung proses pembelajaran. Bagi dosen fasilitas internet ini banyak digunakan sebagai media untuk mencari data dan informasi guna penyusunan
33
bahan ajar, bahkan ada juga yang menggunakannya untuk pencarian bahan ajar sebagai bahan pertimbangan dosen dalam melakukan pembelajaran. Fasilitas ICT di UBL semakin lengkap dalam mendukung proses pembelajaran setelah UBL menjadi salah satu pemenang PHK TIK Komponen K3 pada tahun 2007. Perolehan hibah ini telah menjadikan UBL sebagai salah satu perguruan tinggi yang terhubung dengan inherent sehingga memiliki peluang yang besar guna memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di inherent guna mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran. Berbagai fasilitas yang disediakan inherent dalam proses pembelajaran di antaranya adalah aplikasi pembelajaran jarak jauh dengan fasilitas video-conference, e-library, bahan ajar dan diseminasi hasil penelitian online. Karakteristik Dosen Proses pembelajaran di perguruan tinggi pada saat ini tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ICT. Pemanfaatan teknologi internet (homepage) dan alat presentasi merupakan contoh pemanfaatan teknologi informasi yang sekarang ini sudah menjadi suatu hal yang sangat umum. Berkaitan dengan hal ini, banyak perguruan tinggi yang telah mengeluarkan investasi yang cukup besar guna memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan teknologi komputer dalam dunia pendidikan tidak akan berfungsi secara efektif apabila pengajar (dosen) sebagai peran kunci dalam pendidikan tinggi tidak dapat memanfaatkan ICT secara optimal (Marwan 2008) sehingga dapat dikatkan bahwa dosen merupakan salah satu faktor kunci yang sangat menentukan dalam proses adopsi inovasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan tinggi. Inherent sebagai inovasi teknologi pembelajaran berbasis ICT memiliki berbagai aplikasi yang diharapkan mampu meningkatkan mutu proses pembelajaran. Namun demikian, berbagai aplikasi inherent tersebut tidak memiliki nilai guna bagi perguruan tinggi apabila dosen dosen sebagai aktor utama dalam proses pembelajaran tidak memahami dan menguasai pengetahuan dan keterampilan mengenai ICT. Chitanana et al. (2008) mengatakan bahwa dalam pengembangan proses pembelajaran berbasis ICT (e-learning) diperlukan dosen yang memiliki keterampilan menggunakan komputer dasar dan internet.
34
Selain itu, juga dituntut kesiapan dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Dua karakteristik dosen berkaitan dengan proses pembelajaran berbasis ICT seperti yang dikemukakan oleh Chitanana et al. (2008) diperkirakan sangat diperlukan dosen UBL guna memanfaatkan inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Berkaitan dengan hal ini, maka kondisi dua karakteristik dosen UBL tersebut perlu diketahui guna pemanfaatan inovasi inherent yang diperoleh UBL sejak tahun 2007. Selain itu, dengan mengetahui kondisi karakteristik dosen yang diperlukan dalam proses pembelajaran berbasis ICT, maka UBL diharapkan akan dapat mengembangkan karakteristik dosen yang diperlukan untuk pemanfaatan proses pembelajaran berbasis ICT khususnya pemanfaatan inovasi inherent. Pengukuran kondisi dua karakteristik dosen UBL dilakukan dengan melihat persepsi dosen terhadap pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan dua karakteristik tersebut, yaitu sebanyak 11 pernyataan untuk keterampilan komputer dasar dan enam pernyataan untuk kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Hasil penghitungan rataan skor dosen terhadap dua karakteristik dosen UBL secara detil disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Rataan skor karakteristik dosen UBL Karakteristik Dosen Keterampilan komputer dasar Kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT Total rataan skor
Rataan Skor* 3,17 1,95 2,56
Keterangan: * Rentang skor 1,00 – 1,75 = sangat rendah; 1,76 – 2,50 = rendah; 2,51 – 3,25 = tinggi; 3,26 – 4,00 = sangat tinggi
Keterampilan Komputer Dasar Berdasarkan pendapat dosen UBL terhadap dua indikator utama yang mencerminkan keterampilan komputer dasar dosen (keterampilan menggunakan program MS Office dan internet) diketahui bahwa dosen UBL tidak ada yang memiliki keterampilan komputer dasar dengan kategori sangat rendah. Jumlah dosen UBL yang memiliki keterampilan komputer dasar dengan kategori rendah adalah sebanyak 21,15 persen, kategori tinggi sebanyak 26,92 persen dan kategori sangat tinggi sebanyak 51,92 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa dalam
35
pelaksanaan proses pembelajaran berbasis ICT, keterampilan komputer dasar dosen UBL perlu ditingkatkan lagi mengingat masih ada dosen yang tingkat keterampilan komputer dasarnya dalam kondisi rendah. Mengingat perkembangan teknologi komputer terjadi relatif cepat, maka kemampuan komputer dasar dosen UBL ini perlu selalu ditingkatkan sehingga kemampuan komputer dasar yang dimiliki dosen UBL selalu terkini dan sesuai dengan perkembangan teknologi komputer tersebut. Nilai rataan skor dosen UBL terkait dengan pernyataan mengenai keterampilan komputer dasar menunjukkan nilai sebesar 3,17 (Tabel 7) sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat keterampilan komputer dasar dosen UBL berdasarkan hasil penelitian ini adalah tergolong pada tingkat tinggi. Hasil ini mengindikasikan bahwa mayoritas dosen UBL menguasai keterampilan komputer dasar sebagai bekal untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Rataan keterampilan komputer dasar dosen UBL yang tergolong tinggi tersebut pada dasarnya terjadi karena adanya perubahan pemanfaatan alat bantu pengajaran yang digunakan dosen dari OHP menjadi LCD projector sehingga menuntut dosen dengan sendirinya dituntut untuk menguasai keterampilan komputer dasar khususnya program MS Office (MS Word, MS Excel dan MS Power Point). Selain itu, penyediaan fasilitas internet guna mendukung proses pembelajaran di UBL di berbagai lokasi kampus khususnya perpustakaan dan laboratorium, serta pemasangan fasilitas hot spot telah merangsang dosen untuk mempelajari kemampuan internet secara lebih mendalam. Peningkatan keterampilan komputer dasar dan internet dosen UBL secara kelembagaan dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Komputer UBL sehingga dosen UBL memiliki kesempatan untuk belajar komputer dasar dan internet secara lebih mendalam sehingga diharapkan mampu mengusai keterampilan komputer dasar dan internet secara lebih baik. Selain itu, peningkatan keterampilan komputer dasar dan internet dosen UBL juga didukung dengan penyediaan fasilitas kredit pemilikan komputer (note book) oleh YAL sehingga diharapkan setiap dosen memiliki komputer sendiri dan pada akhirnya terbiasa dengan pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran.
36
Kesiapan Melaksanakan Proses Pembelajaran Berbasis ICT Hasil penelitian untuk melihat pendapat dosen mengenai kesiapan dosen UBL melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT menunjukkan bahwa sebanyak 23,08 persen dosen memiliki tingkat kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT yang sangat rendah dan 76,92 persen dalam kategori rendah. Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan skor tingkat kesiapan dosen UBL dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT sebesar 1,95 sehingga dapat dikatakan bahwa kesiapan dosen UBL melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT adalah rendah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dosen UBL tidak siap untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk menaikkan tingkat kesiapan dosen tersebut. Rendahnya
tingkat
kesiapan
dosen
UBL
melaksanakan
proses
pembelajaran berbasis ICT pada dasarnya terjadi karena kemandirian dosen dalam memanfaatkan inovasi inherent dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini terlihat dari mayoritas pendapat dosen yang mengatakan masih memerlukan pendampingan tenaga teknik untuk dapat memanfaatkan fasilitas inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Selain itu, mayoritas dosen juga mengatakan bahwa masih perlu mengikuti pelatihan mengenai pemanfaatan inovasi inherent khususnya dalam proses pembelajaran. Pendampingan tenaga teknik yang masih diperlukan oleh mayoritas dosen UBL dalam memanfaatkan inovasi inherent pada dasarnya menunjukkan bahwa dosen belum memiliki kesiapan memanfaatkan inovasi inherent secara mandiri dalam proses pembelajaran. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan pemanfaatan internet dimana mayoritas dosen UBL mampu memanfaatkan internet secara mandiri tanpa perlu pendampingan tenaga teknik. Berdasarkan hal ini, maka kemandirian dosen UBL dalam memanfaatkan inovasi inherent perlu ditingkatkan melalui berbagai pelatihan mengingat mayoritas dosen UBL mengatakan bahwa masih perlu pelatihan yang lebih mendalam mengenai pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pelatihan pemanfaatan inovasi inherent yang terstruktur dalam hal ini sangat diperlukan guna meningkatkan pemahaman dosen UBL mengenai teknik dan cara memanfaatkan inovasi inherent sehingga tingkat kesiapan dosen melaksanakan
37
proses pembelajaran berbasis ICT khususnya inovasi inherent dapat ditingkatkan dan pada akhirnya inovasi inherent yang berhasil diperoleh UBL dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Kondisi yang terjadi pada tingkat kesiapan dosen UBL dalam melaksanakan proses pemanfaatan berbasis ICT khususnya inovasi inherent dapat dipahami mengingat inovasi inherent merupakan inovasi teknologi pembelajaran berbasis ICT yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan teknologi informasi yang telah digunakan UBL selama ini, yaitu internet. Internet merupakan teknologi ICT yang telah lama digunakan UBL dalam mendukung proses pembelajaran, sedangkan inherent merupakan teknologi pembelajaran berbasis ICT yang baru dikembangkan di UBL sejak diperolehnya hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi yang diselenggarakan Ditjen Dikti pada tahun 2007. Namun demikian, infrastruktur inovasi inherent tersebut baru dapat digunakan dan dimanfaatkan pada tahun 2008 sehingga dapat dipahami apabila dosen UBL mayoritas belum siap melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT khususnya berbasis inovasi inherent. Kontradiksi kondisi karakteristik dosen UBL seperti yang terlihat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa penguasaan keterampilan komputer dasar dan internet belum menjamin adanya kesiapan dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Hal ini tampak dari tingkat keterampilan komputer dasar dan internet dosen UBL yang tinggi namun memiliki tingkat kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT yang rendah. Hasil penelitian mengenai dua karakteristik dosen UBL terkait pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran ternyata memiliki kesesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan Chitanana et al. (2008) mengenai peluang dan tantangan pelaksanaan e-learning di Zimbabwe yang mengatakan bahwa meskipun mayoritas dosen (95%) memiliki keterampilan dasar komputer dan internet untuk pelaksanaan e-learning, namun hanya 30 persen dosen yang menyatakan sangat siap (very much prepared) untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Dosen yang menyatakan tidak siap (not prepared) untuk melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT sebanyak 38 persen dan sebanyak 32 persen menyatakan agak siap (somewhat prepared).
38
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa pelatihan guna meningkatkan kemandirian dosen UBL dalam pemanfaatan inherent mutlak dilakukan sehingga tingkat kesiapan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT meningkat. Peningkatan kesiapan dosen UBL dalam melakukan proses pembelajaran berbasis ICT di UBL dalam hal ini inherent diharapkan dapat meningkatkan dan mengoptimalkan pemanfaatan inovasi inherent yang telah tersedia di UBL guna terwujudnya pendidikan tinggi yang berkualitas. Karakteristik Perguruan Tinggi Penelitian yang dilakukan Teo et al. (2007) mengenai adopsi dan difusi sistem informasi sumberdaya manusia di Singapura mengatakan bahwa karakteristik organisasi memiliki peranan yang relatif penting dalam keputusan adopsi inovasi dibandingkan dengan karakteristik inovasi dan karakteristik lingkungan eksternal organisasi. Hasil ini menunjukkan bahwa karakteristik organisasi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan organisasi dalam mengintroduksi inovasi dalam proses kegiatannya. Karaktersitik perguruan tinggi dalam penelitian ini merupakan faktor eksternal dosen sebagai adopter inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Karakteristik perguruan tinggi yang dilihat dalam penelitian ini dibatasi pada lima karakteristik, yaitu dukungan pimpinan perguruan tinggi, sosialisasi keberadaan inherent, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan pelatihan dan penyediaan tenaga teknik. Pengukuran kondisi karakteristik UBL terkait dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dilakukan dengan melihat pendapat dosen terhadap pernyataan mengenai lima karakteristik UBL tersebut. Dukungan pimpinan dan sosialisasi keberadaan masing-masing dilihat berdasarkan lima pernyataan. Penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan pelatihan dan penyediaan tenaga teknik masing-masing diukur dengan menggunakan tiga pernyataan. Hasil pengukuran lima karakteristik UBL terkait pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran yang dinyatakan dalam rataan skor nilai jawaban atau pendapat dosen UBL disajikan pada Tabel 8.
39
Tabel 8 Rataan skor karakteristik perguruan tinggi UBL Karakteristik Perguruan Tinggi Dukungan pimpinan Sosialisasi keberadaan inherent Penyediaan sarana dan prasarana Pengadaan pelatihan Penyediaan tenaga teknik Total rataan skor
Rataan Skor* 1,93 2,67 3,17 1,46 3,21 2,49
Keterangan: * Rentang skor 1,00 – 1,75 = sangat rendah; 1,76 – 2,50 = rendah; 2,51 – 3,25 = tinggi; 3,26 – 4,00 = sangat tinggi
Dukungan Pimpinan Berdasarkan pendapat dosen mengenai dukungan pimpinan UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran diketahui bahwa sebanyak 26,92 persen dosen menyatakan bahwa dukungan pimpinan UBL sangat rendah, 61,54 persen menyatakan rendah dan sebanyak 11,54 persen menyatakan tinggi. Rataan skor dukungan pimpinan UBL seperti disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai sebesar 1,93 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat dukungan pimpinan UBL dalam proses adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong rendah. Rendahnya tingkat dukungan pimpinan UBL dalam proses adopsi inovasi inherent di UBL dapat dijelaskan oleh tiga indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat dukungan pimpinan tersebut, yaitu antusias pimpinan puncak dalam pemanfaatan inovasi (Premkumar & Roberts 1999 dalam Teo et al. 2007), kesadaran pimpinan puncak akan keuntungan dari inovasi (Teo et al. 2007) dan peraturan pemanfaatan inovasi yang dibuat oleh pimpinan puncak. Rendahnya tingkat dukungan pimpinan UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent dalam hal ini terjadi karena pimpinan UBL terlihat kurang antusias dalam mendorong pemanfaatan inovasi inherent tersebut. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya kebijakan atau peraturan yang mengatur pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Keberadaan inovasi inherent di UBL belum dimanfaatkan secara optimal oleh pimpinan UBL dalam mendukung berbagai proses pembelajaran melalui berbagai kebijakan terkait dengan proses pembelajaran.
40
Kondisi rendahnya tingkat dukungan pimpinan UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent tersebut berpotensi menghambat pemanfaatan inovasi inherent tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Yap (1989) dalam Teo et al. (2007) bahwa pimpinan puncak organisasi yang memiliki perspektif lebih luas memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi peluang pemanfaatan ICT serta mendukung adopsi inovasi dengan visi yang strategis sehingga keberadaan pimpinan yang visioner sangat penting guna mendukung pemanfaatan inovasi khususnya ICT. Mengingat dukungan pimpinan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi dalam organisasi (Teo et al. 2007), maka pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL berpotensi untuk tidak berkembang dengan baik di masa mendatang apabila kondisi dukungan pimpinan tidak mengalami perubahan. Hal ini diperkuat oleh Godschalk dan Lacey (2001) mengatakan bahwa faktor kepemimpinan yang profesional dari sebuah lembaga merupakan suatu faktor yang sangat menentukan kecepatan adopsi teknologi pembelajaran dalam sebuah perguruan tinggi. Dampak akhir apabila dukungan pimpinan UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent di UBL tidak berubah adalah inovasi inherent tidak akan mampu dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya dan kemungkinan akan menjadi suatu hal yang tidak berguna khususnya dalam mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Berdasarkan hasi penelitian ini, maka di masa mendatang dukungan pimpinan UBL khususnya yang terkait dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran harus ditingkatkan sehingga berbagai peralatan ICT inovasi inherent yang ada di UBL dapat dimanfaatkan secara optimal guna mendukung proses pembelajaran yang lebih bermutu di masa depan. Sosialisasi Keberadaan Inherent Rogers (2003) menggambarkan bahwa dalam lima tahapan proses keputusan inovasi, saluran-saluran komunikasi memiliki pengaruh terhadap lima tahapan proses keputusan inovasi mulai dari pencarian informasi awal dari sebuah inovasi, penentuan sikap terhadap inovasi, pembuatan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, dan pengkonfirmation keputusan. Sosialisasi keberadaan inovasi inherent di UBL merupakan saluran komunikasi
41
yang sangat penting dalam proses adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat dosen terhadap pernyataan-pernyataan terkait dengan sosialisasi keberadaan inherent di UBL diketahui bahwa 36,54 persen dosen menyatakan bahwa tingkat sosialisasi inherent di UBL tergolong rendah, 50 persen dosen menyatakan tinggi dan sebanyak 13,46 persen menyatakan sangat tinggi. Jika dilihat dari nilai rata-rata pendapat dosen (Tabel 8), terlihat bahwa rataan skor tingkat sosialisasi keberadaan inherent menunjukkan nilai sebesar 2,67 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat sosialisasi keberadaan inherent di UBL adalah tergolong tinggi. Tingginya tingkat sosialisasi keberadaan inherent di UBL dalam penelitian ini dapat dijelaskan oleh pelaku sosialisasi yang dilakukan oleh elemen perguruan tinggi, yaitu pimpinan puncak (Teo et al. 2007), pengelola inherent di UBL (Pusat Komputer) dan dosen. Tingginya tingkat sosialisasi keberadaan inherent di UBL tersebut dapat terjadi karena sosialisasi keberadaan inherent di UBL tidak hanya dilakukan oleh satu pelaku saja. Pelaku yang menjadi aktor dalam sosialisasi inovasi inherent di UBL dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pimpinan UBL, Pusat Komputer UBL dan dosen yang sudah mengetahui keberadaan inovasi inherent terlebih dahulu. Hal lain yang mendorong tingginya tingkat sosialisasi keberadaan inovasi inherent ini adalah adanya program sosialisasi inovasi inherent yang wajib dilakukan oleh UBL dalam hal ini Pusat Komputer sebagai UPT pelaksana hibah PHK TIK K3 yang diperoleh UBL sebagai bagian kegiatan hibah yang telah menjadi kesepakata antara UBL dan Ditjen Dikti sebagai pemberi dana hibah. Program sosialisasi yang menjadi kewajiban Pusat Komputer ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama untuk para pimpinan UBL dan tahap kedua untuk dosen dan karyawan. Saluran komunikasi yang digunakan dalam sosialisasi keberadaan inovasi inherent di UBL dilakukan secara lisan dan tertulis. Sosialisasi secara lisan dilakukan dalam berbagai kesempatan seperti dalam lokakarya sosialisasi inherent, rapat, diskusi dan berbagai kesempatan yang memungkinkan oleh tiga aktor tersebut. Sosialisasi secara tertulis dilakukan oleh Pusat Komputer UBL melalui surat pemberitahuan kepada pimpinan program studi
khususnya
42
mengenai pelaksanaan kuliah umum atau seminar yang dilakukan pihak lain di luar UBL melalui fasilitas video-conference inovasi inherent. Sosialisasi
keberadaan
inherent
di
UBL
yang
tergolong
tinggi
mengindikasikan bahwa keberadaan inovasi inherent di UBL telah diketahui oleh dosen UBL yang merupakan faktor kunci pelaksanaan proses pembelajaran berbasis ICT. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa inovasi inherent telah tersosialisasi di kalangan dosen UBL dengan baik sehingga dimungkinkan dosen UBL untuk mengadopsi inovasi inherent guna mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran. Penyediaan Sarana dan Prasarana Ketersediaan sarana dan prasarana inherent merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi untuk dapat memanfaatkan inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat dosen UBL mengenai ketersediaan sarana dan prasarana inherent di UBL diketahui bahwa sebanyak 1,92 persen dosen menyatakan bahwa tingkat penyediaan sarana dan prasarana inherent di UBL tergolong rendah, sebanyak 59,62 persen menyatakan tinggi dan 38,46 menyatakan sangat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor jawaban untuk masing-masing responden terkait dengan tingkat penyediaan sarana dan prasarana inovasi inherent di UBL adalah sebesar 3,17 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat penyediaan penyediaan sarana dan prasarana inovasi inherent di UBL tergolong tinggi. Tingginya tingkat penyediaan sarana dan prasarana inovasi inherent seperti terlihat dari pendapat dosen UBL pada dasarnya merupakan hal yang wajar mengingat UBL merupakan salah satu salah satu perguruan tinggi swasta yang berhasil mendapatkan PHK Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk komponen K3 pada tahun 2007 (Ditjen Dikti 2007). Kondisi ini membawa konsekuensi tersedianya berbagai sarana dan prasarana inovasi inherent di UBL secara lengkap sesuai dengan apa yang diprogramkan Ditjen Dikti dalam pengembangan inovasi inherent di Indonesia.
43
Sarana dan prasarana inovasi inherent secara umum terdiri dari hardware dan software sebagaimana sarana dan prasarana ICT lainnya. Secara umum hardware inovasi inherent yang digunakan untuk pemanfaatan video-conference inherent terdiri atas video input (camera video atau webcam), video output (monitor komputer atau proyektor), audio input (microphones), audio output (speaker atau headphone) dan media transfer data (LAN). Salah satu software yang digunakan dalam video-conference adalah Access Grid dan yang terbaru dari software tersebut adalah Access Grid 3.2 beta 1. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana inovasi inherent baik hardware maupun software di UBL bukan merupakan suatu permasalahan mengingat tingkat penyediaan sarana dan prasarananya tergolong tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa UBL memiliki peluang yang sangat besar untuk memanfaatkan inovasi inherent guna mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran. Pengadaan Pelatihan Berdasarkan hasil pendapat dosen UBL diketahui bahwa sebanyak 80,77 persen dosen menyatakan bahwa tingkat pengadaan pelatihan pemanfaatan inherent dalam proses pembelajaran di UBL sangat rendah, sedangkan sisanya (19,23 %) menyatakan rendah. Hasil ini mengindikasikan bahwa mayoritas dosen UBL mempersepsikan bahwa tidak pernah dilakukan pelatihan terkait dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hasil rataan skor jawaban dosen terkait pengadaan pelatihan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL (Tabel 8) menunjukkan bahwa tingkat pengadaan pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL sangat rendah. Hal ini dapat dikatakan mengingat nilai rata-rata skor jawaban responden adalah sebesar 1,46. Kondisi pengadaan pelatihan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran yang sangat rendah di UBL akan mendorong tingkat pengetahuan dan keterampilan dosen UBL dalam memanfaatkan sarana dan prasarana inovasi inherent juga sangat rendah sehingga berpotensi untuk menghambat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Kondisi ini terjadi mengingat pengembangan inovasi inherent di Indonesia masih tergolong dini,
44
yaitu dilakukan sejak tahun 2006 dimana pelatihan pemanfaatan inovasi inherent yang dilakukan Ditjen Dikti terhadap tenaga teknis di berbagai perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent juga masih sangat terbatas pelaksanaannya sehingga berdampak pada sangat rendahnya tingkat pengadaan pelatihan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hasil penelitian Marwan (2008) mengungkapkan bahwa salah satu alasan kenapa dosen belum memanfaatkan ICT dalam proses pembelajaran adalah karena kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan ICT. Berdasarkan hasil penelitian dan apa yang dikatakan Marwan (2008), maka pengetahuan dan keterampilan dosen UBL dalam memanfaatkan inovasi inherent perlu ditingkatkan melalui pengadaan pelatihan yang komprehensif sehingga dosen UBL memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai guna memanfaatkan inovasi inherent dalam mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran. Pusat Komputer UBL sebagai pengelola inovasi inherent di UBL perlu secara teratur melakukan pelatihan bagi dosen UBL khususnya mengenai pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran.
Penyediaan Tenaga Teknik Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 3,85 persen dosen UBL menyatakan bahwa tingkat penyediaan tenaga teknik dalam pemanfaatan inovasi inherent di UBL tergolong rendah, sebanyak 61,54 persen dosen menyatakan tinggi dan 34,61 persen dosen menyatakan sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8, diketahui bahwa rata-rata nilai skor jawaban responden terkait dengan dukungan penyediaan tenaga teknik dalam proses pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL adalah sebesar 3,21 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat dukungan penyediaan tenaga teknik dalam adopsi inovasi inherent di UBL tergolong tinggi. Tingginya tingkat penyediaan tenaga teknik di UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent ini dapat terjadi karena mayoritas dosen UBL baru mengenal inovasi inherent sehingga perlu didampingi oleh tenaga teknik dalam setiap proses pembelajaran yang memanfaatkan inovasi inherent. Penyediaan tenaga teknik dalam pemanfaatan inovasi inherent di UBL dilakukan agar dosen UBL bersedia
45
memanfaatkan inovasi inherent guna mendukung proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Marwan (2008) bahwa kurangnya tenaga teknis ICT di perguruan tinggi merupakan salah satu penyebab dosen perguruan tinggi belum memanafaatkan ICT dalam proses pembelajaran. Dukungan penyediaan tenaga teknik yang tinggi ini dalam pemanfaatan inovasi inherent diharapkan mampu mendorong dosen UBL untuk mau memanfaatkan berbagai fasilitas inovasi inherent yang telah ada di UBL sehingga sarana dan prasarana yang telah ada tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi lima karakteristik UBL terkait dengan pemanfaatan inovasi inhrerent dalam proses pembelajaran sebagaimana disajikan pada Tabel 8 menunjukkan kondisi yang kontradiksi mengingat karakteristik tersebut berada dua kutub yang berbeda, yaitu kondisi rendah dan tinggi. Dua karakteristik yang berada pada kondisi yang rendah atau sangat sangat rendah adalah dukungan pimpinan dan pengadaan pelatihan, sedangkan tiga karakteristik yang berada pada kondisi yang tinggi adalah sosialisasi keberadaan inovasi inherent, penyediaan sarana dan prasarana dan penyediaan tenaga teknik. Kontradiksi kondisi karakteristik UBL terkait pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran pada dasarnya menunjukkan suatu kejanggalan mengingat lima karakteristik tersebut merupakan karakteristik internal UBL yang menjadi tanggung jawab pimpinan UBL. Namun demikian, kondisi tersebut apabila ditelusuri lebih jauh dapat menjadi hal yang wajar mengingat karakteristik UBL terkait dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran tersebut terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal UBL. Karakteristik UBL yang meningindikasikan kondisi yang rendah dalam hal ini terlihat hanya dipengaruhi oleh kondisi internal UBL, sedangkan karakteristik UBL yang mengindikasikan kondisi yang tinggi dipengaruhi oleh faktor ekternal UBL. Faktor eksternal UBL yang mempengaruhi kondisi karakteristik internal UBL adalah Ditjen Dikti melalui pelaksanaan program hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi. Karakteristik internal UBL yang dipengaruhi oleh Ditjen Dikti dalam hal ini adalah sosialisasi keberadaan inovasi inherent, penyediaan sarana dan prasarana dan penyediaan tenaga teknik.
46
47
ADOPSI IOVASI IHERET DI UIVERSITAS BADAR LAMPUG Karakteristik Inovasi Inherent Karakteristik inovasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi seseorang terhadap sebuah inovasi. Karakteristik inovasi inherent yang dilihat dalam penelitian ini mengacu pada lima karakteristik inovasi yang dikemukakan oleh Roger (2003), yaitu keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat. Pengukuran kondisi lima karakteristik inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL dilakukan dengan melihat persepsi dosen UBL terhadap pernyataan-pernyataan terkait dengan masing-masing karakteristik inovasi inherent tersebut. Jumlah pernyataan untuk keuntungan relatif dan kerumitan masing-masing sebanyak lima pernyataan, kesesuaian dan kemudahan untuk dicoba masing-masing sebanyak dua pernyataan dan kemudahan untuk dilihat dengan tiga pernyataan. Hasil pengukuran yang dinyatakan dengan rataan skor untuk masing-masing karakteristik inovasi inherent disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Rataan skor karakteristik inovasi inherent Karakteristik Inovasi Inherent Keuntungan relatif Kerumitan Kesesuaian Kemudahan untuk dicoba Kemudahan untuk dilihat
Rataan Skor* 3,27 3,38 2,58 1,83 1,22
Keterangan: * Rentang skor 1,00 – 1,75 = sangat rendah; 1,76 – 2,50 = rendah; 2,51 – 3,25 = tinggi; 3,26 – 4,00 = sangat tinggi
Keuntungan Relatif Berdasarkan persepsi dosen UBL terhadap lima pernyataan terkait dengan keuntungan relatif inovasi inherent dalam proses pembelajaran, diketahui bahwa sebanyak 63,46 persen dosen menyatakan bahwa keuntungan relatif inovasi inherent adalah tergolong tinggi, sedangkan sebanyak 36,54 persen dosen menyatakan sangat tinggi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa mayoritas dosen mempersepsikan bahwa inovasi inherent berpotensi untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran mengingat tidak ada dosen yang mempersepsikan
48
keuntungan relatif inovasi inherent dengan kategori sangat rendah dan rendah. Hasil pengukuran rataan skor keuntungan relatif inovasi inherent di UBL menunjukkan nilai sebesar 3,27 sehingga dapat dikatakan bahwa keuntungan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong dalam kategori sangat tinggi. Tingkat keuntungan relatif inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL yang tergolong sangat tinggi tersebut dapat dijelaskan dengan empat indikator, yaitu peningkatan kualitas proses pekerjaan (Premkumar dan Roberts 1999 dalam Teo et al. 2007), memudahkan pekerjaan, peningkatan efektivitas pekerjaan dan pengurangan biaya operasional (Teo et al. 2007). Pemanfaatan inovasi inheret dalam proses pembelajaran dipersepsikan dosen UBL akan meningkatkan kualitas, kemudahan dan efektivitas proses pembelajaran yang dilakukan karena pemanfaatan inherent membuka akses informasi dengan pihak lain dibandingkan dengan proses pembelajaran yang selama ini dilakukan. Pihak lain yang dimaksud adalah perguruan tinggi lain di Indonesia yang sudah terkoneksi dengan inherent. Keuntungan yang dirasakan dosen UBL terhadap pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran secara khusus terlihat apabila memanfaatkan bahan ajar online dan fasilitas videoconference inovasi inherent. Fasilitas bahan ajar online inovasi inherent pada dasarnya berfungsi sebagai tempat dosen untuk mencari ide ataupun berbagai informasi mengenai bahan ajar yang sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan. Ketersediaan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent dipersepsikan dosen UBL akan mempermudah dan mempercepat pencarian ide dan pembuatan bahan ajar untuk keperluan perkuliahan sehingga berharap dapat membuat bahan ajar dengan kualitas yang baik dalam waktu yang relatif cepat. Ketersediaan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent ini pada prinsipnya sangat menguntungkan dosen UBL dalam pembuatan bahan ajar yang selalu diperlukan dalam setiap melakukan pengajaran. Interaksi antar perguruan tinggi di Indonesia yang telah terhubung dengan inherent yang diselenggarakan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent berpotensi membuka informasi terbaru yang selama ini mungkin tidak diketahui oleh dosen UBL sehingga mutu proses pembelajaran berpotensi untuk
49
ditingkatkan melalui pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut. Peningkatan kualitas proses pembelajaran sebagai dampak dari pemanfaatan video-conference inovasi inherent di antaranya adalah perbaikan dan pengayaan materi yang digunakan dalam proses pembelajaran. Selain itu, pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut akan menambah dan meningkatkan kualitas jejaring kerjasama antar dosen khususnya bagi perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent. Fasilitas video-conference inovasi inherent terlihat mampu mendorong mobilitas dari para pengguna khususnya dosen dalam mengikuti seminar, kuliah umum dan berbagai acara diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent karena dosen tidak perlu datang secara langsung ke lokasi atau kampus tempat penyelanggaraan kegiatan tersebut dilaksanakan. Fasilitas video-conference inovasi inherent membantu dosen untuk mengikuti kegiatan kuliah umum dan berbagai acara diskusi yang diselenggarakan pihak lain tersebut dengan mudah, yaitu dengan datang ke ruang video-conference inovasi inherent yang ada di UBL. Keikutsertaan dosen UBL dalam mengikuti kegiatan seminar, kuliah umum dan diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi lain di Indonesia melalui fasilitas video-conference telah meningkatkan kemudahan dosen mengikuti kegiatan tersebut. Apabila tidak ada fasilitas video-conference, dosen UBL harus mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan akomodasi serta meluangkan waktu khusus guna mengikuti kegiatan di perguruan tinggi lain tersebut. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent memberikan keuntungan bagi dosen dalam penghematan biaya dan waktu apabila mengikuti seminar, kuliah umum dan diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi lain di Indonesia.
50
Kerumitan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 53,85 persen dosen UBL menyatakan bahwa tingkat kerumitan inovasi inherent dalam proses pembelajaran tergolong sangat tinggi, sebesar 40,38 persen menyatakan tinggi dan 5,77 persen menyatakan rendah. Rataan skor tingkat kerumitan inovasi inherent seperti disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata skor nilai jawaban responden untuk tingkat kerumitan inovasi inherent di UBL adalah sebesar 3,38 sehingga tingkat kerumitan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL adalah tergolong sangat tinggi. Kondisi tingkat kerumitan inovasi inherent yang tergolong tinggi berdasarkan persepsi dosen UBL dalam hal ini dapat dijelaskan melalui tiga indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kerumitan inovasi inherent tersebut, yaitu kerumitan penggunaan (Grover 1993 dalam Teo et al. 2007), kerumitan pengembangan dan kerumitan untuk dipelajari (Parthasarathy & Bhattacherjee 1998 dalam Teo et al. 2007). Inovasi inherent yang dikembangkan Ditjen Dikti sejak tahun 2006 diketahui menggunakan teknologi berbasis ICT yang memiliki perbedaan dengan teknologi pembelajaran berbasis ICT yang selama ini telah digunakan di UBL. Pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yang telah lama digunakan di UBL dirasakan lebih mudah digunakan dibandingkan dengan inherent mengingat penggunaan internet di UBL dapat diakses oleh dosen dengan mudah tanpa berbagai persyaratan, sedangkan akses penggunaan inherent memerlukan penggunaan IP address yang dirasakan dosen UBL sebagai suatu hal yang rumit. Selain itu, keterbatasan jumlah IP address yang dimiliki UBL cenderung mempersulit dosen UBL untuk mempelajari inovasi inherent secara lebih mendalam karena harus berbagi dan bergantian dengan dosen lain. Kerumitan lain yang dirasakan dosen UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran terlihat dari penggunaan software khususnya dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent, contohnya software yang digunakan dalam hal ini adalah Access Grid. Kerumitan pemanfaatan software Access Grid tersebut pada dasarnya terjadi karena mayoritas dosen UBL baru mengenal software tersebut sehingga perlu belajar untuk dapat menggunakannya.
51
Pengembangan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL secara sarana dan prasarana dapat dilakukan, namun dalam implementasinya terlihat rumit. Kerumitan pengembangan inovasi inherent ini dapat terjadi mengingat inherent menggunakan teknologi jaringan yang berada di luar jaringan internet dimana akses jaringan tersebut tidak hanya ditentukan oleh UBL, namun juga ditentukan oleh pihak lain di luar UBL. Universitas Lampung (Unila) sebagai simpul lokal untuk Provinsi Lampung dalam hal ini sangat menentukan dapat tidaknya UBL mengakses inovasi inherent. Jika jaringan inherent di Unila mengalami kerusakan, maka secara otomatis UBL tidak dapat terhubung ke inherent karena sistem jaringan komputer inherent yang digunakan adalah jenis seri. Berdasarkan kondisi ini, maka akses inherent di UBL akan dapat berfungsi dengan baik apabila simpul lokal (Unila) juga berfungsi sehingga pengembangan inherent di masa depan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pihak eksternal UBL. Penyambungan dan pemutusan akses jaringan inherent sebagai saluran utama pemanfaatan inherent dalam hal ini sangat ditentukan oleh kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dari Surat Direktur PT. Aplikanusa Lintasarta (2010) kepada Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pendidikan
Kementerian
Pendidikan
Nasional
mengenai
“Pemberitahuan Pemutusan Koneksi Jardiknas Zona Perguruan Tinggi.” Surat PT. Aplikanusa Lintasarta (2010) yang secara resmi telah memutus dan mengisolir koneksi inherent sejak 26 Januari 2010 tersebut membuktikan bahwa pengembangan inherent dalam proses pembelajaran di UBL merupakan proses yang sangat rumit mengingat akses inherent sangat ditentukan oleh kebijakan Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional. Pemanfaatan teknologi jaringan komputer dalam inovasi inherent merupakan faktor utama yang menjadi alasan mayoritas dosen UBL yang mengatakan bahwa tingkat kerumitan inovasi inherent tergolong sangat tinggi. Hal ini dapat dipahami mengingat mayoritas dosen UBL memiliki latar belakang di luar bidang ilmu komputer sehingga merasa sulit untuk mempelajari teknologi jaringan komputer dalam inovasi inherent.
52
Kesesuaian Berdasarkan pendapat dosen UBL terhadap kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL diketahui bahwa sebanyak 3,84 persen dosen menyatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL adalah tergolong sangat tinggi, sebanyak 42,31 persen dosen menyatakan tinggi dan 53,85 persen menyatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL tergolong rendah. Nilai rata-rata jawaban dosen UBL terhadap tingkat kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan nilai sebesar 2,58 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong dalam kategori tinggi. Tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent yang terjadi di UBL dapat dijelaskan melalui dua indikator, yaitu nilai dan kepercayaan organisasi (Premkumar & Ramamurthy 1995 dalam Teo et al. 2007) dan infrastruktur teknologi informasi yang telah tersedia (Teo & Wong 1997 dalam Teo et al. 2007). Pemanfaatan ICT yang berkembang pada berbagai bidang ternyata juga menyentuh pada bidang kegiatan pendidikan tinggi termasuk di UBL. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi (SimPerTi) yang dilaksanakan UBL pada tahun 2000 merupakan terobosan awal yang dilakukan UBL guna memanfaatkan ICT dalam pelaksanaan proses pendidikan tinggi khususnya di UBL. Pengembangan SimPerTi di UBL meliputi berbagai proses pendidikan tinggi baik untuk kepentingan administrasi maupun untuk kepentingan proses pembelajaran. Kondisi ini membuktikan bahwa inherent sebagai inovasi pembelajaran berbasis ICT memiliki kesesuaian dengan nilai dan kepercayaan yang dikembangkan UBL terkait dengan pemanfaatan ICT dalam kegiatan pendidikan tinggi. Tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent dengan nilai dan kepercayaan yang dikembangkan oleh UBL didukung dengan diperolehnya hibah pengembangan management information system (MIS) oleh UBL dari Technological and Proffessional Development Sector Project (TPSDP) pada tahun 2005 guna mempercepat pengembangan infrastruktur (hardware dan software) ICT di UBL. Salah satu pengembangan teknologi berbasis ICT yang
53
dihasilkan dari diperolehnya hibah TPSDP tersebut adalah terbentuknya pengembangan perangkat lunak untuk perpustakaan, yaitu digital library (digilib) yang memiliki kesesuaian dengan salah satu aplikasi inovasi inherent dalam hal ini adalah fasilitas e-library. Teo dan Wong (1997) dalam Teo et al. (2007) mengatakan bahwa indikator penting untuk melihat tingkat kesesuaian inovasi berbasis ICT dalam suatu organisasi adalah ketersediaan infrastruktur ICT. Inovasi inherent yang dikembangkan Ditjen Dikti diketahui memerlukan infrastruktur ICT yang khusus baik hardware maupun software-nya sehingga pengembangan inovasi inherent tersebut dilakukan Ditjen Dikti melalui penyelenggaraan program hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi guna mengembangkan infrastruktur ICT di perguruan tinggi di Indonesia sejak tahun 2006. Pelaksanaan program hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi komponen K3 yang diselenggarakan Ditjen Dikti pada tahun 2007 secara langsung telah membuat UBL memiliki infrastruktur ICT yang diperlukan dalam pengembangan inovasi inherent. Ketersediaan infrastruktur ICT yang diperlukan dalam pengembangan inovasi inherent di UBL dalam hal ini menjadi salah satu pendorong tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL. Kemudahan untuk Dicoba Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 50 persen dosen UBL mempersepsikan bahwa tingkat kemudahan untuk dicoba inovasi inherent adalah rendah, sedangkan 50 persen lainnya mempersepsikan tingkat kemudahan untuk dicoba dari inovasi inherent dalam proses pembelajaran adalah sangat rendah. Rataan skor jawaban dosen terhadap pernyataan terkait tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran seperti tersaji pada Tabel 9 menunjukkan nilai sebesar 1,83. Berdasarkan rata-rata skor jawaban ini maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL tergolong rendah. Rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL menurut pendapat dosen terjadi karena inovasi inherent tersebut hanya dapat dicoba dengan peralatan ICT yang khusus untuk inherent. Hal ini dapat terjadi karena IP address yang dimiliki UBL untuk koneksi ke
54
inherent jumlahnya masih sangat terbatas. Berbagai peralatan ICT yang telah tersedia di UBL, baik di ruang perpustakaan, laboratorium komputer dan ruang kelas hingga saat ini belum mampu digunakan untuk mencoba inovasi inherent. Dosen UBL yang ingin mencoba inovasi inherent tidak dapat secara mudah mencobanya pada peralatan ICT yang mudah dijangkau oleh dosen sehingga harus mencobanya pada ruang khusus yang disediakan oleh UBL untuk pemanfaatan inovasi inherent. Hal lain yang mendorong rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba adalah dosen tidak dapat mengakses inherent melalui note book yang dimilikinya. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL harus ditingkatkan khususnya melalui perbaikan teknologi inovasi inherent sehingga inovasi ini mudah diakses pada berbagai peralatan ICT yang tersedia dan mudah dijangkau yang ada di kampus dan secara khususnya pada note book yang umum dimiliki dosen secara pribadi. Inovasi inherent di UBL hingga saat ini masih belum bisa dicoba pemanfaatannya pada setiap waktu sehingga dosen harus menyediakan waktu khusus untuk dapat mencobanya sebab waktu untuk mencoba inovasi inherent sangat tergantung pada perguruan tinggi lain yang terhubung ke inherent. Kondisi ini dapat dipahami mengingat pemanfaatan inovasi inherent merupakan teknologi berbasis ICT yang salah satu fungsinya adalah untuk menjalin komunikasi antar perguruan tinggi melalui jaringan komputer sehingga waktu mencobanya sangat dipengaruhi oleh pihak di luar UBL. Hal ini merupakan salah satu penyebab yang mendorong rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa fleksibilitas waktu untuk dicoba dari inovasi inherent merupakan hal yang harus diperhatikan guna meningkatkan tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran. Kemudahan untuk Dilihat Berdasarkan pendapat dosen UBL terhadap kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran, diketahui terdapat sebanyak 13,46 persen dosen menyatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi untuk dilihat di UBL tergolong rendah dan sebanyak 86,54 persen menyatakan tergolong sangat rendah.
55
Rataan skor nilai jawaban responden untuk tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran di UBL adalah sebesar 1,22 (Tabel 9) sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran di UBL tergolong sangat rendah. Infrastruktur inovasi inherent di UBL ditempatkan di salah satu ruang tertentu sehingga pemanfaatannya hanya dapat dilakukan di ruang tersebut. Dosen UBL yang ingin melihat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dengan demikian harus datang ke ruang tersebut sebab akses inovasi inherent belum dapat dilakukan dari tempat lain. Hal ini terjadi karena jumlah IP address yang dimiliki UBL untuk koneksi ke inherent masih sangat terbatas. Mengingat dosen memiliki berbagai kesibukan, maka dosen UBL menjadi sangat sulit untuk melihat hasil pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran karena tempat untuk dapat mengakses inovasi inherent masih sangat terbatas dan tidak dapat dilakukan di lokasi lain tempat dosen melakukan aktivitas. Fleksibilitas tempat untuk melihat hasil inovasi inherent ternyata menjadi penyebab utama mengapa mayoritas dosen UBL menyatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat berada dalam kategori sangat rendah. Berbeda dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yang dapat diakses dari berbagai tempat, baik di kampus maupun di luar kampus. Akses internet di kampus UBL diketahui dapat diakses dari seluruh ruang baik menggunakan komputer milik UBL maupun dengan menggunakan note book yang dimiliki dosen melalui fasilitas hot spot. Kondisi ini menyebabkan mayoritas dosen UBL masih menganggap internet lebih mudah diakses dibandingkan dengan inovasi inherent sehingga sangat wajar apabila tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat hasilnya di UBL tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa karakteristik inovasi inherent yaitu kemudahan untuk dilihat berpotensi untuk menghambat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya di UBL sehingga teknologi inovasi inherent perlu disempurnakan khususnya dalam hal kemudahan untuk diakses dari berbagai tempat. Pengembangan inovasi inherent dalam proses pembelajaran memerlukan peningkatan fleksibilitas tempat akses inovasi inherent sehingga dosen dapat mengakses dan mudah melihat hasil
56
pemanfaatan inovasi inherent dari berbagai tempat dimana dosen melakukan aktivitas. Lima karakteristik inovasi inherent seperti disajikan pada Tabel 9 mengindikasikan bahwa persepsi dosen UBL terhadap inovasi inherent dalam proses
pembelajaran
menunjukkan
hasil
yang
kontradiksi
berdasarkan
kecenderungan arah kondisi masing-masing karakteristik inovasi inherent tersebut. Karakteristik inovasi inherent yang cenderung berada dalam tingkat tinggi hingga sangat tinggi adalah keuntungan relatif, kerumitan dan kesesuaian. Karakteristik kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat cenderung berada pada tingkat rendah hingga sangat rendah. Rogers (2003) mengatakan bahwa sebuah inovasi yang dipersepsikan seseorang memiliki kelebihan dalam hal keuntungan relatif, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba, kemudahan untuk dilihat, serta lebih sederhana (less complexity) akan diadopsi lebih cepat dibandingkan dengan inovasi lainnya. Hasil penelitian terkait persepsi dosen UBL terhadap inovasi inherent dalam proses pembelajaran seperti disajikan pada Tabel 9 apabila dikonsultasikan dengan apa yang dikatakan Rogers tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua karakteristik inovasi inherent sejalan dengan teori tersebut. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki kecenderungan searah dengan apa yang dikatakan Rogers adalah keuntungan relatif dan kesesuaian inovasi, sedangkan tiga karakteristik inovasi inherent lainnya (kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat) menunjukkan kondisi yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Rogers tersebut. Kontradiksi kondisi tiga karakteristik inovasi inherent dengan apa yang dikatakan Rogers (2003) terkait hubungan antara persepsi seseorang terhadap inovasi dan kecepatan inovasi untuk diadopsi, secara umum dapat dikatakan berpotensi untuk menghambat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya di UBL. Berkaitan dengan hal ini, maka langkah perbaikan tiga karakteristik inovasi inherent tersebut perlu dilakukan supaya inovasi inherent lebih mudah dan cepat diadopasi oleh dosen UBL dalam proses pembelajaran. Kerumitan inovasi inherent yang tergolong sangat rumit perlu diperbaiki sehingga karakteristik inovasi inherent tersebut menjadi lebih mudah
57
digunakan
dosen
dalam
proses
pembelajaran.
Inovasi
inherent
harus
dikembangkan menjadi sebuah inovasi yang user friendly sehingga mudah digunakan oleh dosen. Kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dan dilihat hasilnya yang tergolong rendah dan sangat rendah dalam hal ini perlu diperbaiki sehingga inovasi inherent menjadi lebih mudah untuk dicoba dan dilihat hasilnya oleh dosen, yaitu melalui perbaikan inovasi inherent sehingga menjadi lebih fleksibel untuk peralatan ICT yang digunakan maupun tempat yang dapat digunakan untuk mengakses inovasi inherent tersebut. Adopsi Inovasi Inherent Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk ter-“internalisasi” dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan (Prayudi 2007). Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa berbagai fasilitas dan aplikasi inovasi inherent merupakan suatu media yang sangat baik yang dapat digunakan oleh dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah informasi guna mencapai proses pembelajaran yang bermutu. Inovasi inherent dapat berfungsi sebagai media bagi dosen dan mahasiswa dalam berbagi dan mengolah informasi dengan baik apabila berbagai aplikasi yang tersedia telah dimanfaatkan oleh dosen maupun mahasiswa. Hasil penelitian Marwan (2008) dan Sooknanan et al. (2002) mengatakan bahwa dosen perguruan tinggi merupakan aktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan ICT dalam proses pendidikan. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi inherent oleh dosen merupakan hal penting bagi berfungsinya inherent guna mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran di perguruan tinggi termasuk UBL. Pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dilakukan melalui berbagai bentuk, diantaranya adalah pemanfaatan fasilitas video-conference untuk pelaksanaan distance learning, bahan ajar dan hasil penelitian online serta e-library. Namun demikian tidak semua pemanfaatan inovasi inherent tersebut dilihat dalam penelitian ini. Bentuk pemanfaatan inovasi inherent yang dilihat tingkat adopsinya dalam penelitian ini adalah pemanfaatan bahan ajar online dan fasilitas video-conference inovasi inherent.
58
Pengukuran
tingkat
pemanfaatan
inovasi
inherent
dalam
proses
pembelajaran di UBL dilakukan dengan melihat persepsi dosen UBL terhadap pernyataan-pernyataan terkait dengan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran, yaitu bahan ajar online dan fasilitas video-conference. Tujuh pernyataan digunakan untuk mengukur tingkat pemanfaatan bahan ajar online, sedangkan untuk pemanfaatan fasilitas video-conference digunakan delapan pernyataan. Hasil penelitian yang menunjukkan rataan skor tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Rataan skor tingkat adopsi inovasi inherent di UBL Tingkat Adopsi Inovasi Inherent
Rataan Skor*
Pemanfaatan bahan ajar online Pemanfaatan fasilitas video-conference Total rataan skor
1,52 1,88 1,70
Keterangan: * Rentang skor 1,00 – 1,75 = sangat rendah; 1,76 – 2,50 = rendah; 2,51 – 3,25 = tinggi; 3,26 – 4,00 = sangat tinggi
Pemanfaatan Bahan Ajar Online Inovasi Inherent Pengukuran pendapat dosen UBL terhadap pemanfaatan bahan ajar online dalam proses pembelajaran menghasilkan rataan skor jawaban dosen sebesar 1,52 (Tabel 10). Hasil rataan skor jawaban ini mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL tergolong pada kategori sangat rendah sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent di UBL masih belum optimal. Sangat rendahnya tingkat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL mengindikasikan bahwa sangat sedikit sekali dosen UBL yang memanfaatkan bahan ajar online inovasi inherent. Kondisi ini dapat terjadi karena mayoritas dosen UBL dalam melakukan pencarian ide untuk pembuatan bahan ajar maupun pengunggahan bahan ajar belum memanfaatkan fasilitas inovasi inherent secara optimal. Pencarian ide guna pembuatan bahan ajar bagi mayoritas dosen UBL selama ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas internet yang telah tersedia di kampus UBL. Keterbatasan akses inherent diperkirakan menjadi penyebab mengapa tingkat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent sangat rendah. Bertolak belakang dengan akses inherent, akses internet di UBL terbuka sangat
59
luas dan dapat dilakukan dosen di seluruh ruang kampus melalui komputer yang telah disediakan maupun melalui note book dengan memanfaatkan fasilitas hot spot. Selain itu, kemudahan akses internet juga dapat dilakukan dosen di berbagai tempat di luar kampus termasuk dari rumah. Kemudahan dan fleksibilitas akses internet ini secara umum menjadi pendorong utama mengapa dosen lebih cenderung memanfaatkan internet dalam men-download maupun meng-upload bahan ajar untuk proses pembelajaran. Penggunaan teknologi internet yang lebih dominan dibandingkan dengan inovasi inherent dalam pencarian ide dan penyebaran bahan ajar secara online pada dasarnya dapat terjadi mengingat internet memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan inovasi inherent. Akses informasi internet tidak terbatas pada perguruan tinggi di Indonesia seperti halnya pada inovasi inherent, namun akses internet ini dapat menembus berbagai instansi dan lembaga baik di dalam maupun luar negeri sehingga dosen menjadi sangat leluasa melakukan pencarian ide guna pembuatan bahan ajar untuk proses pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa belum optimalnya pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent di UBL menunjukkan bahwa media inovasi inherent dalam menunjang proses pembelajaran khususnya penyediaan bahan ajar online belum mampu menggantikan fasilitas internet yang selama ini telah digunakan dosen guna mencari ide pembuatan bahan ajar maupun mengunggah bahan ajar untuk keperluan proses pembelajaran. Inovasi inherent perlu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mampu memberikan dampak yang relatif sama dibandingkan dengan internet khususnya dalam pemanfaatan bahan ajar online. Pemanfaatan Fasilitas Video-Conference Inovasi Inherent Berdasarkan pendapat dosen UBL terkait dengan pemanfaatan fasilitas inovasi inherent dalam proses pembelajaran diketahui sebanyak 48,08 persen dosen mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong sangat rendah, sebanyak 50 persen mengatakan rendah dan sebanyak 1,92 persen mengatakan tinggi. Hasil pengukuran tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan fasilitas
60
video-conference inovasi inherent di UBL tergolong rendah yang diindikasikan oleh rataan skor jawaban dosen UBL sebesar 1,88 (Tabel 10). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL belum dimanfaatkan
secara
optimal
sehingga
perlu
dilakukan
peningkatan
pemanfaatannya supaya fasilitas inovasi inherent tersebut benar-benar mampu meningkatkan mutu proses pendidikan tinggi khususnya di UBL. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL sifatnya bukan untuk menggantikan proses pembelajaran yang selama ini telah dilakukan dalam bentuk interaksi dosen dan mahasiswa di ruang kuliah. Pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam mendukung proses pembelajaran di UBL lebih cenderung bersifat sebagai pengayaan materi kuliah mengingat dosen dalam memanfaatkan fasilitas video-conference inovasi inherent lebih berperan hanya sebagai peserta dalam kegiatan seminar, kuliah umum atau diskusi yang dilaksanakan pihak lain di luar UBL. Walaupun keikutsertaan dosen UBL dalam berbagai seminar maupun kuliah umum melalui fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut hanya sebatas sebagai peserta, namun hal ini sangat bermanfaat bagi dosen khususnya dalam memperkaya pengetahuan dan peningkatan jejaring kerjasama melalui interaksi atau komunikasi dua arah dengan pembicara yang berada di tempat lain secara langsung. Interaksi dua arah secara langsung ini dapat terjadi karena video-conference inovasi inherent merupakan suatu teknologi telekomunikasi interaktif yang memungkinkan dua lokasi atau lebih untuk berinteraksi lewat video dan audio secara simultan. Peran dosen UBL yang mayoritas masih menjadi peserta dalam kegiatan seminar maupun kuliah umum melalui fasilitas video-conference inovasi inherent pada dasarnya dapat ditingkatkan menjadi penyaji apabila dosen UBL tersebut menginginkannya. Hal ini dapat dilakukan dosen UBL dengan mendaftar sebagai penyaji dalam kegiatan seminar maupun kuliah umum menentukan topik, hari dan tanggal pelaksanaan kepada admin inherent UBL dalam hal ini adalah Pusat Komputer UBL untuk diteruskan kepada pengelola inherent di Ditjen Dikti. Apabila Ditjen Dikti menyetujuinya, maka Ditjen Dikti akan mengagendakan
61
seminar maupun kuliah umum yang diusulkan tersebut dan mengundang perguruan tinggi di Indonesia untuk mengikuti kegiatan tersebut melalui internet. Rendahnya tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL dapat terjadi karena berbagai faktor. Ketidaksesuaian materi atau topik kegiatan kuliah umum, seminar maupun diskusi yang diselenggarakan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent merupakan salah satu faktor yang menjadi pendorong dosen UBL jarang untuk datang menghadiri kegiatan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut. Kegiatan seminar atau kuliah umum yang diselenggarakan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja yang berminat untuk menyelenggarakannya tanpa ada batasan atau persyaratan terkait dengan topik materi yang akan disampaikan sehingga topik kegiatan yang dilaksanakan menjadi sangat beragam. Kondisi ini menjadi bahan pertimbangan bagi mayoritas dosen UBL untuk memilih topik tertentu yang sesuai dengan bidang keahlian dosen apabila ingin mengikuti dan menjadi peserta seminar atau kuliah umum melalui fasilitas video-conference inovasi inherent. Dua pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL yang tergolong sangat rendah dan rendah seperti disajikan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa proses pembelajaran berbasis ICT di UBL belum dapat berjalan secara optimal seperti apa yang diharapkan dari pengembangan inovasi inherent. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian mengenai pembelajaran jarak jauh yang dilakukan Godschalk dan Lacey (2001) yang mengatakan bahwa proses pembelajaran jarak jauh berbasis ICT akan menjadi suatu hal yang penting, namun hanya sedikit mata kuliah yang dapat dijalankannya. Berkaitan dengan hal ini, maka pemanfaatan dua fasilitas inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL perlu ditingkatkan secara terstruktur dan terencana sebab proses pembelajaran berbasis ICT akan menjadi kecenderungan umum arah proses pembelajaran di masa depan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi yang sangat kontras dengan pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran di Universitas Terbuka di Hongkong. Hasil penelitian mengenai proses pembelajaran online di Universitas Terbuka di Hongkong yang dilakukan Yang dan Lau (2006) mengatakan bahwa
62
mayoritas mahasiswa menerima secara positif dan dapat menggunakan secara nyaman sistem pembelajaran online (OLE) yang dilakukan oleh Universitas Terbuka di Hongkong. Kondisi tersebut dapat dikatakan Yang dan Lau (2006) dengan berbagai alasan, di antaranya adalah sebagian besar mahasiswa (70%) setuju dan nyaman dengan adanya OLE, sebanyak 63 persen mahasiswa mengakui bahwa sangat mudah untuk mengakses OLE dan setuju bahwa adanya OLE sangat membantu studi mahasiswa, sebanyak 53 persen mahasiswa merasa dapat dengan mudah mengetahui standar kinerja yang diharapkan. Kontradiksi hasil penelitian ini dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yang dan Lau (2006) menunjukkan bahwa kondisi sangat rendah dan rendahnya pemanfaatan fasilitas inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL bukan merupakan indikator akhir yang dapat dijadikan sebagai ukuran kinerja pengembangan inovasi inherent di UBL. Namun demikian, hal ini merupakan indikator awal yang cukup baik yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan guna peningkatan pemanfaatan fasilitas inovasi inherent secara lebih terencana dan terstruktur mengingat pemanfaatan infrastruktur ICT dalam proses pembelajaran online secara nyata telah menunjukkan hasil yang positif khususnya di Universitas Terbuka di Hongkong. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa inherent sebagai inovasi pembelajaran berbasis ICT yang dikembangkan Ditjen Dikti sejak tahun 2006 telah memberikan peralatan ICT yang memungkinkan terjadinya transformasi proses pembelajaran dari tradisional ke arah proses pembelajaran berbasis ICT khususnya di UBL. Namun demikian, pengembangan infrastruktur ICT dalam proses pembelajaran ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal di UBL sehingga dapat dikatakan inovasi inherent ini merupakan suatu loncatan teknologi pembelajaran yang dilakukan Ditjen Dikti dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia khususnya di UBL. Hal ini dapat terjadi karena pengembangan inovasi inherent yang dilakukan Ditjen Dikti tidak diikuti dengan proses lanjutan khususnya terkait dengan pemanfaatan infrastruktur ICT inovasi inherent dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan kebijakan dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan di perguruan tinggi khususnya UBL.
63
Hubungan antara Karakteristik Dosen, Karakteristik Inovasi, Karakteristik Perguruan Tinggi dan Adopsi Inovasi Inherent Sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar 4, penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara karakteristik dosen, karakteristik inovasi, karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Hubungan antara variabel bebas (karakteristik dosen, karakteristik inovasi inherent dan karakteristik perguruan tinggi) dan variabel terikat (adopsi inovasi inherent: pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video conference) dilihat dengan menggunakan alat uji statistik korelasi rank Spearman. Hasil perhitungan korelasi rank Spearman antara karakteristik dosen, karakteristik inovasi, karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hubungan antara karakteristik dosen, karakteristik perguruan tinggi, karakteristik inovasi dan adopsi inovasi inherent di UBL Variabel Bebas
Adopsi Inovasi Inherent Pemanfaatan Bahan Pemanfaatan Fasilitas Ajar Online Video-Conference
Karakteristik Dosen: Keterampilan komputer Kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT
0,785** 0,306*
0,096 0,022
Karakteristik Inovasi: Keuntungan relatif Kerumitan Kesesuaian Kemudahan untuk dicoba Kemudahan untuk dilihat
0,350* 0,405** 0,266 0,317* 0,357**
0,095 - 0,061 0,273* 0,132 0,101
Karakteristik Perguruan Tinggi: Dukungan pimpinan Sosialisasi keberadaan inherent Penyediaan sarana dan prasarana Pengadaan pelatihan Penyediaan tenaga teknik
0,094 0,259 0,334* 0,077 0,164
0,328* 0,063 0,050 0,249 0,084
*Signifikan pada tingkat kepercayaan lima persen **Signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen
64
Hubungan antara Karakteristik Dosen dan Adopsi Inovasi Inherent Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa dua indikator karakteristik dosen menunjukkan pola hubungan yang sama dengan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran, baik dalam pemanfaatan bahan ajar online maupun pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Keterampilan komputer dasar dosen UBL dan kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT menunjukkan hubungan yang positif dengan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Hubungan positif antara karakteristik dosen dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran mengandung arti bahwa apabila tingkat keterampilan komputer maupun tingkat kesiapan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT mengalami kenaikan yang diindikasikan oleh kemandirian dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT, maka tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran juga mengalami kenaikan. Berdasarkan klasifikasi tingkat hubungan antar dua variabel yang dikemukakan Riduwan dan Sunarto (2007), diketahui bahwa tingkat hubungan antara karakteristik dosen dan adopsi inovasi inherent menunjukkan tingkat hubungan yang berbeda untuk dua pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Dua karakteristik dosen terlihat memiliki tingkat hubungan yang sangat lemah dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Namun demikian, hubungan yang sangat lemah ini tidak terjadi pada pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT memiliki tingkat hubungan yang lemah dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent, sedangkan keterampilan komputer dasar memiliki tingkat hubungan yang kuat dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Perbedaan tingkat hubungan yang terjadi antara karakteristik dosen dan adopsi inovai inherent dalam proses pembelajaran di UBL menunjukkan bahwa keterampilan komputer dasar dosen dan kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT sangat menentukan tingkat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dibandingkan dengan pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa dua
65
karakteristik dosen tersebut sangat penting bagi dosen dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent sehingga peningkatan tingkat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dapat dilakukan melalui peningkatan dua karakterstik dosen tersebut. Selain itu, hasil ini mengindikasikan bahwa dua karakteristik dosen tersebut sangat lemah digunakan untuk meningkatkan tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hipotesis pertama penelitian ini (H1) adalah terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) diketahui bahwa hipotesis pertama penelitian ini diterima khususnya untuk pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent pada tingkat kepercayaan satu persen untuk karakteristik keterampilan komputer dan pada tingkat kepercayaan lima persen untuk karakteristik kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Namun demikian, hipotesis pertama penelitian ini ditolak untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent baik pada tingkat kepercayaan satu maupun lima persen. Penerimaan hipotesis pertama penelitian dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent membuktikan bahwa terdapat hubungana nyata positif antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Meskipun hipotesis pertama penelitian ini diterima, namun tingkat kepercayaan antara dua karakteristik dosen tersebut berbeda. Keterampilan komputer memiliki hubungan sangat nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent pada tingkat kepercayaan satu persen, sedangkan kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT memiliki hubungan nyata pada tingkat kepercayaan lima persen. Hubungan nyata positif antara karakteristik dosen UBL dan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent pada dasarnya dapat dipahami karena pemanfaatan bahan online merupakan kegiatan yang berdampak pada kinerja dosen secara langsung khususnya dalam perkuliahan. Dosen yang tidak memiliki bahan ajar dapat dipastikan tidak dapat memberikan perkuliahan dengan baik sehingga dosen terpacu untuk mencari bahan ajar dengan mutu yang baik.
66
Ketersediaan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent dalam hal ini tidak akan dapat dimanfaatkan oleh dosen dengan baik apabila dosen tidak memiliki keterampilan komputer dasar dan kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT. Berdasarkan hal ini, maka hubungan nyata positif antara karakteristik dosen (keterampilan komputer dan kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT) dan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent mengindikasikan bahwa dua karakteristik dosen tersebut sangat diperlukan dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL. Nilai probability yang dihasilkan dari korelasi rank Spearman dalam pemanfaatan fasilitas video-conference dalam proses pembelajaran menunjukkan nilai sebesar 0,497 untuk keterampilan komputer dan 0,878 untuk kesiapan dosen melaksanakan pembelajaran berbasis ICT (Lampiran 3). Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa tidak terbukti terdapat hubungan yang nyata positif antara karakteristik dosen dan pemanfaatan video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hipotesis pertama penelitian ini ditolak dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Penolakan hipotesis ini terjadi karena nilai probability dua karakteristik dosen tersebut lebih besar dari 0,05. Penolakan atas hipotesis penelitian pertama khususnya dalam pemanfaatan fasilitas
video-conference inovasi
inherent
mengindikasikan
bahwa dua
karakteristik dosen (keterampilan komputer dan kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT) tidak dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hal ini dapat dikatakan karena meskipun hubungan antara karakteristik dosen dan adopsi inovasi inherent (pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent) tersebut positif, namun hubungan tersebut terjadi secara tidak nyata pada tingkat kepercayaan satu maupun lima persen. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan eksplorasi yang lebih mendalam terhadap karakteristik internal dosen selain dua karakteristik tersebut sehingga diperoleh karakteristik individu dosen apa yang memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL.
67
Dua karakteristik dosen UBL secara nyata tidak menunjukkan hubungan positif dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent baik pada tingkat kepercayaan satu maupun lima persen. Kondisi ini terjadi karena dosen UBL mayoritas dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent berperan sebagai peserta dalam kegiatan seminar, kuliah umum dan diskusi yang diselenggarakan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent sehingga dua karakteristik dosen tersebut tidak digunakan secara khusus oleh dosen dalam memanfaatkan fasilitas video-conference inovasi inherent. Selain itu, mengingat fasilitas video-conference inovasi inherent masih relatif baru, maka dukungan tenaga teknik dalam pemanfaatan fasilitas ini masih sangat dominan sehingga dua karakteristik dosen tersebut kurang begitu penting dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Namun demikian, tingkat keterampilan komputer dan kesiapan dosen UBL dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT perlu ditingkatkan khususnya dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent mengingat tidak selamanya dosen UBL hanya berperan sebagai peserta dalam kegiatan seminar, kuliah umum atau diskusi melalui fasilitas video-conference inovasi inherent sebab dosen UBL juga memiliki peluang untuk menjadi pembicara atau pelaksana dari seminar, kuliah umum dan atau diskusi yang dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas video-conference inovasi inherent. Perbedaan hasil uji hipotesis mengenai hubungan antara karakteristik dosen dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran seperti terlihat dalam penelitian ini (Tabel 11) menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL tidak dapat dilakukan dengan mendasarkan pada dua karakteristik dosen yang dikemukakan oleh Chitanana et al. (2008) khususnya untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent sehingga karakteristik internal dosen UBL perlu dieksplorasi lebih mendalam sehingga peningkatan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL dapat dilakukan dengan karakteristik dosen yang tepat. Namun demikian, dua karakteristik dosen yang dikemukakan Chitanana et al. (2008) tersebut dapat digunakan sebagai dasar guna mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL.
68
Hubungan antara Karakteristik Inovasi Inherent dan Adopsi Inovasi Inherent Karakteristik inovasi inherent yang dijadikan dasar dalam penelitian ini merujuk pada lima karakteristik inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (2003), yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemudahan untuk dicoba, dan kemudahan untuk dilihat hasilnya. Hasil perhitungan korelasi rank Spearman antara karakteristik inovasi inherent dan adopsi inovasi inherent (pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent) disajikan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjadi adalah positif, kecuali hubungan antara satu karakteristik inovasi inherent (kerumitan) dan adopsi inovasi inherent (pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent). Empat karakteristik inovasi inherent (keuntungan relatif, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat) memiliki pola hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent (pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent) mengandung arti bahwa apabila kondisi empat karakteristik tersebut meningkat, maka tingkat adopsi inovasi inherent juga cenderung untuk meningkat. Satu karakteristik inovasi inherent (kerumitan) memiliki pola hubungan yang kontradiktif dengan adopsi inovasi inherent yang diindikasikan oleh pola hubungan positif untuk pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent, namun memiliki pola hubungan negatif untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Pola hubungan negatif yang terjadi ini mengandung arti bahwa jika tingkat kerumitan inovasi inherent meningkat, maka tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL cenderung menurun. Hasil penelitian terkait pola hubungan antara karakteristik inovasi inherent dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL terlihat mendukung apa yang dikatakan Rogers (2003) bahwa sebuah inovasi yang dipersepsikan seseorang memiliki kelebihan dalam hal keuntungan relatif, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba, kemudahan untuk dilihat serta lebih sederhana (less complexity) akan diadopsi lebih cepat dibandingkan dengan inovasi lainnya. Namun demikian ada satu karakteristik yang menunjukkan pola
69
hubungan yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Rogers (2003) tersebut, yaitu karakteristik inovasi kerumitan pada pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Kontradiktif pola hubungan antara karakteristik inovasi kerumitan dan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL tersebut menunjukkan bahwa semakin rumit inovasi inherent, maka pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent semakin meningkat. Ketidaksesuaian pola hubungan yang terjadi pada karakteristik kerumitan inovasi inherent dalam hubungannya dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dengan apa yang dikatakan Rogers (2003) tersebut sebenarnya merupakan suatu kejanggalan apabila dilihat dari apa yang dikatakan Rogers tersebut. Namun demikian, kejanggalan yang terjadi ini pada dasarnya dapat dipahami mengingat bahan ajar merupakan kebutuhan pokok yang menjadi pegangan dosen dalam melakukan proses pembelajaran sehingga kerumitan pemanfaatan tidak menjadi penghalang bagi dosen, asal bahan ajar yang diperlukan dapat diperoleh. Tingkat kerumitan inovasi inherent dalam kaitannya dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dalam hal ini justru menambah rasa ingin tahu dosen untuk memanfaatkan lebih jauh fasilitas bahan ajar online inovasi inherent yang ada. Pemanfaatan bahan ajar online oleh dosen UBL pada dasarnya telah lama dilakukan khususnya dalam pencarian ide guna penyusunan bahan ajar melalui fasilitas internet yang telah tersedia di kampus UBL. Mengingat pemanfaatan bahan ajar online melalui fasilitas internet dirasakan dosen memberikan banyak keuntungan, maka pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent dengan tingkat kerumitan yang tinggi tetap menjadi daya tarik bagi dosen UBL. Berdasarkan tingkat hubungan yang terjadi antara karakteristik inovasi inherent dan adopsi inovasi inherent, diketahui bahwa pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent memiliki tingkat hubungan lemah dan cukup kuat berdasarkan klasifikasi tingkat hubungan antara dua variabel yang dikemukakan oleh Riduwan dan Sunarto (2007), sedangkan untuk pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent memiliki tingkat hubungan yang sangat lemah dan lemah. Karakteristik inovasi yang memiliki tingkat hubungan yang lemah dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent adalah keuntungan relatif,
70
kesesuaian, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat; sedangkan kerumitan memiliki tingkat hubungan yang cukup kuat. Karakteristik inovasi yang memiliki tingkat hubungan yang sangat lemah dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent adalah keuntungan relatif, kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat; sedangkan kesesuaian memiliki tingkat hubungan yang lemah. Hipotesis kedua penelitian ini (H2) adalah terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik inovasi inherent dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Berdasarkan nilai probability (nilai p) masingmasing karakteristik inovasi inherent (Tabel 11) terlihat bahwa tidak semua karakteristik inovasi inherent yang membenarkan atau menerima hipotesis kedua penelitian ini. Secara teori, hipotesis kedua penelitian ini akan diterima apabila nilai probability dari masing-masing karakteristik inovasi inherent tersebut bernilai kurang atau sama dengan 0,05 untuk tingkat kepercayaan lima persen dan kurang atau sama dengan 0,01 untuk tingkat kepercayaan satu persen. Uji hipotesis kedua penelitian ini (H2) pada tingkat kepercayaan satu persen menunjukkan bahwa hipotesis kedua penelitian ini diterima khususnya dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent walaupun tidak untuk semua karakteristik inovasi inherent, karakteristik inovasi inherent yang menerima hipotesis ini adalah kerumitan dan kemudahan untuk dilihat. Bertentangan dengan kondisi dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent, hipotesis kedua penelitian ini ditolak dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent untuk semua karakteristik inovasi mengingat nilai probability lima karakteristik inovasi dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent bernilai lebih besar dari satu persen. Berbeda dengan uji hipotesis pada tingkat kepercayaan satu persen, uji hipotesis pada tingkat kepercayaan lima persen menunjukkan hasil yang berbeda. Pada tingkat kepercayaan lima persen, hipotesis kedua penelitian ini diterima baik dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent maupun fasilitas videoconference inovasi inherent walaupun tidak untuk semua karakteristik inovasi (Tabel 11). Penerimaan hipotesis kedua penelitian ini pada tingkat kepercayaan lima persen terjadi karena nilai probability karakteristik inovasi kurang dari lima
71
persen. Karakteristik inovasi yang mendukung diterimanya hipotesis kedua penelitian ini dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent adalah keuntungan relatif dan kemudahan untuk dicoba. Karakteristik inovasi inherent yang mendukung diterimanya hipotesis kedua penelitian dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent pada tingkat kepercayaan lima persen adalah kesesuaian mengingat nilai probability kesesuaian inovasi inherent menunjukkan nilai sebesar 0,05. Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara karakteristik inovasi inherent dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran (pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent) di UBL dapat dikatakan bahwa karakteristik inovasi inherent kunci yang dapat dijadikan bahan pertimbangan pengambilan kebijakan guna meningkatkan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL tidak sama untuk pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dan pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent mengingat dua jenis adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran tersebut mengindikasikan kondisi yang berbeda sehingga peningkatan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL tidak dapat dilakukan melalui kebijakan yang bersifat umum, namun kebijakan yang diambil harus disesuaikan dengan sasaran yang diinginkan sehingga kebijakan tersebut dapat menjadi lebih operasional. Kebijakan peningkatan tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL merujuk pada hasil penelitian ini harus dilakukan dengan peningkatan karakteristik inovasi inherent kesesuaian sebagai dasar pengambilan kebijakan, namun hal ini tidak dapat diberlakukan dalam peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent mengingat karakteristik tersebut bukan karakteristik kunci pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Karakteristik inovasi inherent kunci yang dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dalam hal ini adalah keuntungan relatif, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat.
72
Hubungan antara Karakteristik Perguruan Tinggi dan Adopsi Inovasi Inherent Karakteristik perguruan tinggi dijadikan sebagai salah satu variabel yang diuji dalam penelitian ini berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Teo et al. (2007) bahwa karakteristik organisasi memiliki peranan yang relatif penting dalam keputusan adopsi inovasi. Lima karakteristik perguruan tinggi (UBL) yang digunakan untuk menguji hipotesis ketiga penelitian ini (H3), yaitu dukungan pimpinan, sosialisasi keberadaan inherent, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan pelatihan dan penyediaan tenaga teknik. Hipotesis ketiga penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik perguruan tinggi dan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hasil analisis korelasi rank Spearman antara karakteristik perguruan tinggi (UBL) dan adopsi inovasi inherent di UBL yang disajikan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjadi antara karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent di UBL menunjukkan pola hubungan yang sama baik antara pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent, yaitu pola hubungan yang positif. Pola hubungan positif antara karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent di UBL tersebut mengandung arti bahwa apabila tingkat kualitas karakteristik perguruan tinggi UBL meningkat, maka tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL juga akan meningkat baik dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent maupun dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Tabel 11 menunjukkan bahwa meskipun hubungan yang terjadi antara karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent di UBL menunjukkan pola yang sama, namun tingkat keeratan hubungan yang terjadi berbeda-beda. Karakteristik perguruan tinggi yang memiliki tingkat hubungan (korelasi rank Spearman) dari yang tertinggi dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent berturut-turut adalah penyediaan sarana dan prasarana (0,334), sosialisasi keberadaan inherent (0,259), penyediaan tenaga teknik (0,164), dukungan pimpinan (0,094) dan pengadaan pelatihan (0,077). Karakteristik perguruan tinggi UBL dalam pemanfaatan fasilitas video-conference yang memiliki tingkat
73
hubungan (korelasi rank Spearman) dari yang tertinggi adalah dukungan pimpinan (0,328), pengadaan pelatihan (0,249), penyediaan tenaga teknik (0,084), sosialisasi keberadaan inherent (0,063) dan penyediaan sarana prasarana (0,050). Berdasarkan klasifikasi tingkat keeratan hubungan antar variabel (Riduwan & Sunarto 2007) dapat dikatakan bahwa tingkat hubungan antara karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL terdiri dari dua klasifikasi, yaitu tingkat hubungan yang sangat lemah dan lemah. Perbedaan tingkat hubungan yang terjadi antara karakteristik perguruan tinggi dan adopsi inovasi inherent seperti terlihat dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa peningkatan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan kebijakan yang sama khususnya dalam peningkatan tingkat kualitas karakteristik perguruan tinggi mengingat pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dan fasilitas video-conference inovasi inherent memiliki perbedaan dalam dominasi karakteristik perguruan tinggi. Uji hipotesis ketiga penelitian (H3) yang dilakukan pada tingkat kepercayaan lima persen menunjukkan bahwa hipotesis ketiga penelitian ini diterima walaupun hanya pada salah satu karakteristik perguruan tinggi untuk masing-masing adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Karakteristik perguruan tinggi UBL yang memiliki hubungan nyata (p < 0,05) positif dengan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran, yaitu penyediaan sarana dan prasarana untuk pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dan dukungan pimpinan perguruan tinggi untuk pemanfaatan fasilitas video-conference
inovasi
inherent
(Tabel
11).
Hasil
penelitian
ini
mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan faktor ekternal dosen UBL yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi inherent di UBL antara pemanfaatan bahan ajar online dan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL. Penyediaan sarana dan prasarana dikatakan memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent pada tingkat kepercayaan lima persen karena nilai probability korelasi rank Spearman yang terjadi bernilai kurang dari lima persen, yaitu sebesar 0,15. Empat karakteristik perguruan tinggi lainnya (dukungan pimpinan, sosialisasi keberadaan inherent,
74
pengadaan pelatihan dan penyediaan tenaga teknik) tidak memiliki hubungan nyata (p > 0,05) positif dengan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. Dukungan pimpinan dikatakan memiliki hubungan nyata dengan pemanfaaan
fasilitas
video-conference
inovasi
inherent
dalam
proses
pembelajaran di UBL karena memiliki nilai probability (nilai p) kurang dari lima persen, yaitu sebesar 0,018. Empat karakterisitik perguruan tinggi lainnya (sosialisasi keberadaan inherent, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan pelatihan dan penyediaan tenaga teknik) memiliki nilai probability lebih besar dari lima persen sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis ketiga penelitian ini ditolak pada empat karakteristik perguruan tinggi yang dimaksud. Hasil uji hipotesis ketiga penelitian pada tingkat kepercayaan lima persen dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL memperkuat hasil penelitian yang dilakukan Teo et al. (2007) dimana dikatakan bahwa salah satu karakteristik organisasi yang paling dominan dan memiliki peranan yang relatif penting dalam keputusan adopsi adalah dukungan pimpinan puncak (top management). Perbedaan karakteristik perguruan tinggi UBL yang berhubungan nyata dengan adopsi inovasi inherent di UBL pada dasarnya dapat terjadi mengingat kegiatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent memiliki perbedaan dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL. Pemanfaatan bahan ajar online merupakan kegiatan yang telah lama dilakukan dosen UBL melalui teknologi internet, sedangkan pemanfaatan fasilitas videoconference inovasi inherent merupakan suatu hal yang sangat baru bagi dosen UBL. Kondisi ini membawa konsekuensi bahwa dukungan pimpinan dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent tidak menjadi faktor yang berhubungan nyata mengingat kegiatan pemanfaatan bahan ajar online sudah menjadi kebiasan dosen dalam mempersiapkan bahan ajar untuk perkuliahan sehingga menjadi wajar apabila karakteristik yang berhubungan nyata positif adalah penyediaan sarana dan prasarana.
75
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa karakteristik perguruan tinggi UBL yang dapat digunakan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan tingkat adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL adalah berbeda untuk masing-masing jenis adopsi inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa peningkatan pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dapat dilakukan berdasarkan karakteristik perguruan tinggi yang memiliki hubungan nyata dengan adopsi inovasi inherent yang akan ditingkatkan, yaitu karakteristik penyediaan sarana dan prasarana untuk peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent dan karakteristik dukungan pimpinan untuk peningkatan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent.
76
77
KESIMPULA DA SARA Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tingkat adopsi inovasi inherent di UBL tergolong sangat rendah untuk pemanfaatan bahan ajar online dan tergolong rendah untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. 2. Karakteristik dosen memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent di UBL. Hubungan nyata positif antara karakteristik dosen dan tingkat adopsi inovasi inherent di UBL terjadi dalam pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent. 3. Karakteristik inovasi inherent memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent, kecuali karakteristik kerumitan dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online adalah keuntungan relatif, kerumitan inovasi, kemudahan inovasi untuk dicoba dan kemudahan inovasi untuk dilihat. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent adalah kesesuaian. 4. Karakteristik perguruan tinggi UBL memiliki hubungan positif dengan adopsi inovasi inherent. Karakteristik perguruan tinggi UBL yang memiliki hubungan nyata positif dengan pemanfaatan bahan ajar online adalah penyediaan sarana dan prasarana, sedangkan untuk pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent adalah dukungan pimpinan.
Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa saran, yaitu: 1. Tingkat pemanfaatan bahan ajar online dan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan sesuai dengan peruntukannya sehingga inovasi inherent diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan tinggi khususnya di UBL.
78
2. Karakteristik
dosen
(keterampilan
komputer
dan
kesiapan
dosen
melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT) perlu ditingkatkan guna mendorong peningkatan pemanfaatan bahan ajar online inovasi inherent di UBL, namun untuk peningkatan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent kurang dapat digunakan sehingga karakteristik internal dosen perlu dieksplorasi secara lebih mendalam khususnya mengenai karakteristik internal dosen yang memiliki hubungan nyata dengan pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL. 3. Tingkat pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan melalui peningkatan kualitas keterampilan komputer dosen, kesiapan dosen melaksanakan pembelajaran berbasis ICT, keuntungan relatif inovasi inherent, kemudahan inovasi inherent untuk dicoba, kemudahan inovasi inherent untuk dilihat, serta penyediaan sarana dan prasarana. 4. Tingkat pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent di UBL perlu ditingkatkan melalui peningkatan dukungan pimpinan UBL khususnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendorong pemanfaatan fasilitas video-conference
inovasi
inherent
secara
pembelajaran yang dilaksanakan di UBL.
terintegrasi
dengan
proses
79
DAFTAR PUSTAKA Jurnal Godschalk DR, Lacey L. 2001. “Learning at a Distance: Technology Impacts on Planning Education.” Journal of Planning Education and Research Vol. 20. No. 4:476-489. Hodge E, Bosse MJ, Faulconer J, Fewell M. 2006. “Mimicking Proximity: The Role of Distance Education in Forming Communities of Learning.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning Vol. 3. No. 12:33-14. Holbein MF. 2008. “From Traditional Delivery to Distance Learning: Developing the Model.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 8:43-48. Marwan A. 2008. “Teachers’ Perceptions of Teaching with Computer Technology: Reasons for Use and Barriers in Usage.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 5. No. 6: 35-42. Singh U. 2008. “Internet –A Technological Channel for better Distance Higher Education in India.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning Vol. 5. No. 7: 51-58. Sooknanan P, Melkote SR, Skinner EC. 2002. “Diffusion of an Educational Innovation in Trinidad and Tobago: The Role of Teacher Attitudes and Perceptions toward Computers in the Classroom.” The International Journal for Communication Studies Vol. 64 (6):557-571. Straub ET. 2009. “Understanding Technology: Theory and Future Directions for Informal Learning.” Review of Educational Research Vol. 79, No. 2: 625-649. Teo TSH, Lim GS, Fedric SA. 2007. “The Adoption and Diffusion of Human Resources Information Sytems in Singapore.” Asia Pacific Journal of Human Resources Vol. 45(1): 44-62. Yang HH, Lau FC. 2006. “Perceptions of Students on Online Distance Learning in Hongkong.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning. Vol. 3. No. 8:3-14.
Buku Ashenfelter O, Levine PB, Zimmerma DJ. 2003. Statistics and Econometrics: Methods and Applications. New York: John Wiley & Sons, Inc. Jogiyanto HM. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi: Pedoman dan Contoh Melakukan Penelitian di Bidang Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta: Andi Offset. Nasution S. 2003. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Cetakan keenam.
80
Riduwan, Sunarto. 2007. Pengantar Statistika untuk Penelitian: Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Alfabeta. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5th Edition. New York: The Free Press. Ruslan R. 2008. Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sa’ud US. 2008. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Dokumen [Ditjen Dikti] Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2006. “Jaringan Pendidikan Tinggi Indonesia: Panduan Operasi Versi 2006.000.” [Draft]. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. ____________________________________________. 2007. “Surat Ditjen Dikti Nomor 2784/D/T/2007 perihal Hasil Evaluasi Program Hibah Kompetisi TIK 2007.” Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. ____________________________________________. 2008a. “Surat Ditjen Dikti Nomor 1664/D/T/2008 perihal Hasil Evaluasi Program Hibah Kompetisi TIK 2008.” Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. ____________________________________________. 2008b. “Pengembangan Kapasitas Institusi Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di Perguruan Tinggi Swasta: Panduan Penulisan Proposal.” Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Perencanaan dan Pengembangan Pengembangan UBL. 2010. “Profil Universitas Bandar Lampung.” Bandar Lampung: Perencanaan dan Pengembangan Universitas Bandar Lampung. PT. Aplikanusa Lintasarta. 2010. “Surat Direktur PT. Aplikanusa Lintasarta Nomor 184/LA/000/2010 perihal Pemberitahuan Pemutusan Koneksi Jardiknas Zona Perguruan Tinggi.” Jakarta: PT. Aplikanusa Lintasarta. Internet Chitanana L, Makaza D, Madzima K. 2008. “The Current State of E-learning at Universities in Zimbabwe: Opportunities and Challenges. International Journal of Education and Development using ICT.” Vol. 4, No. 2. Open Journal System. http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id= 450&layout=html [1 Maret 2010]. Negash S, Wilcox MV. 2008. “E-Learning Classifications: Differences and Similarities.” Dalam, Handbook of Distance Learning for Real-Time and Asynchronous Information Technology Education. Information Science Reference. http://books.google.co.id/books?id=Cz4aIXq5z8YC&printsec =frontcover&dq=distance+learning&lr=#v=onepage&q=&f=false [29 Oktober 2009].
81
________, Whitman ME, Wosxczynski AB, H. Mattort H. 2008. “Handbook of Distance Learning for Real-Time and Asynchronous Information Technology Education. Information Science Reference.” http://books.google.co.id/books?id=Cz4aIXq5z8YC&printsec=frontcove r&dq=distance+learning&lr=#v=onepage&q=&f=false [29 Oktober 2009]. Prayudi YY. 2007. “Proses Pembelajaran.” http://prayudi.wordpress.com/ 2007/05/15/proses-pembelajaran/ [16 Juni 2010]. Proctor DW. 2005. “Accessibility of Technology in Higher Education. Encyclopedia of Distance Learning.” Idea Group Reference. http://www.scribd.com/doc/20072999/Encyclopedia-ofDistance-learning [29 Oktober 2009].
82
83
Lampiran 1 Kuesioner penelitian Nomor Responden: ................
KUESIOER PEELITIA ADOPSI IOVASI IHERET DI UIVERSITAS BADAR LAMPUG
BUDHI WASKITO
SEKOLAH PASCASARJAA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2010
84
BAGIA I IDETITAS RESPODE Nama
: ..............................................................................
Umur
: ............ tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki/Wanita (Coret yang tidak perlu)
Pendidikan Formal
: S1 bidang ............................................................. S2 bidang ............................................................. S3 bidang .............................................................
Fakultas
: ..............................................................................
Tahun Masuk UBL
: ..............................................................................
85
BAGIA II ADOPSI IOVASI IHERET DALAM PROSES PEMBELAJARA Seberapa sering Bapak/Ibu melakukan kegiatan seperti yang tercantum dalam pernyataan-pernyataan di bawah ini dalam dua tahun terakhir? Jawablah dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling sesuai! No
Pernyataan
1
Saya mencari ide untuk pembuatan bahan ajar dari internet Saya mencari ide untuk pembuatan bahan ajar dari inherent Saya tidak menggunakan inherent untuk mencari ide guna pembuatan bahan ajar Saya men-download bahan ajar dari internet Saya tidak men-download bahan ajar dari inherent Saya meng-upload bahan ajar ke internet Saya tidak meng-upload bahan ajar ke inherent Saya mengikuti semua kuliah umum yang diselenggarakan pihak lain melalui fasilitas video-conference inherent Saya mengikuti kuliah umum dengan topik yang sesuai dengan bidang saya melalui video-conference inherent Saya mengajak mahasiswa untuk mengikuti semua kuliah umum melalui video-conference inherent Saya mengajak mahasiswa untuk mengikuti kuliah umum dengan topik yang sesuai dengan mata kuliah melalui video-conference inherent Saya mengikuti semua seminar yang diselenggarakan pihak lain melalui fasilitas video-conference inherent Saya mengikuti seminar dengan topik yang sesuai dengan bidang saya melalui fasilitas video-conference inherent Saya mengajak mahasiswa untuk mengikuti semua seminar melalui video-conference inherent Saya mengajak mahasiswa untuk mengikuti seminar dengan topik yang sesuai dengan mata kuliah melalui video-conference inherent
2 3 4 5 6 7 8
9
10
11
12
13
14
15
Skor Jawaban Tidak Kadang- Sering Selalu Pernah kadang (1) (2) (3) (4) (1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
86
BAGIA III KARAKTERISTIK DOSE Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu mengenai pernyataan-pernyataan yang ada di bawah ini? Jawablah dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling sesuai!
No
1 2 3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14
15
16
17
Pernyataan
Saya dapat menggunakan program MS Word secara mandiri (tanpa bantuan orang lain) Saya dapat menggunakan program MS Excel secara mandiri (tanpa bantuan orang lain) Saya menggunakan program MS Excel untuk mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan sehari-hari Saya dapat menggunakan program MS Power Point secara mandiri (tanpa bantuan orang lain) Saya menggunakan program MS Power Point untuk mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan sehari-hari Saya dapat mengirim informasi melalui email secara mandiri (tanpa bantuan orang lain) Saya dapat melampirkan file dalam e-mail secara mandiri (tanpa bantuan orang lain) Saya dapat membaca pesan yang dikirim orang lain melalui e-mail secara mandiri Saya dapat mencari informasi (browsing) di internet Saya dapat men-download file dari internet Saya dapat meng-upload file ke internet Saya perlu mengikuti pelatihan untuk memanfaatkan bahan ajar online inherent Saya perlu didampingi tenaga teknik untuk memanfaatkan bahan ajar online inherent Saya perlu mengikuti pelatihan untuk menyelenggarakan kuliah umum yang memanfaatkan video-conference inherent Saya perlu didampingi tenaga teknik untuk menyelenggarakan kuliah umum yang memanfaatkan video-conference inherent Saya perlu pelatihan untuk menyelenggarakan seminar yang memanfaatkan video-conference inherent Saya perlu didampingi tenaga teknik untuk menyelenggarakan seminar yang memanfaatkan video-conference inherent
Sangat Tidak Setuju (1)
Skor Jawaban Tidak Setuju Setuju
Sangat Setuju
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (1)
(2) (2)
(3) (3)
(4) (4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
87
BAGIA IV KARAKTERISTIK IOVASI IHERET Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu mengenai pernyataan-pernyataan di bawah ini? Jawablah dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling sesuai! Skor Jawaban No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12
13
14
15 16 17
Pernyataan
Pemanfaatan fasilitas inherent akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran Pemanfaatan fasilitas inherent akan memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran Pemanfaatan fasilitas inherent akan meningkatkan efektivitas proses pembelajaran Pemanfaatan fasilitas inherent akan mengurangi biaya operasional proses pembelajaran Pemanfaatan fasilitas inherent tidak meningkatkan mutu proses pembelajaran Teknologi inherent sulit untuk digunakan dalam proses pembelajaran Teknologi inherent mudah digunakan dalam proses pembelajaran Pengembangan teknologi inherent dalam proses pembelajaran merupakan proses yang rumit Teknologi inherent sulit untuk dipelajari Teknologi inherent mudah untuk dipelajari Pemanfaatan inherent sesuai dengan nilai dan kepercayaan yang dikembangkan dalam proses pembelajaran di UBL Pemanfaatan inherent sesuai dengan infrastruktur teknologi informasi yang telah ada di UBL Fasilitas inherent dapat dicoba dalam proses pembelajaran dengan menggunakan peralatan teknologi informasi yang telah dimiliki UBL Fasilitas inherent dapat dicoba dalam proses pembelajaran di UBL tanpa menggunakan peralatan tambahan Inherent dapat diakses dan digunakan di seluruh ruangan yang ada di dalam kampus UBL Inherent tidak dapat diakses di seluruh ruangan kampus UBL Inherent dapat diakses dan digunakan di luar kampus UBL
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (1)
(2) (2)
(3) (3)
(4) (4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
88
BAGIA V KARAKTERISTIK PERGURUA TIGGI Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu mengenai pernyataan di bawah ini? Jawablah dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling sesuai! Skor Jawaban No
1 2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
14
Pernyataan
Pimpinan UBL sangat antusias mendukung pemanfaatan bahan ajar online inherent Pimpinan UBL sangat antusias mendukung pemanfaatan video-conference inherent untuk penyelenggaraan kuliah umum Pimpinan UBL sangat antusias mendukung pemanfaatan video-conference inherent untuk penyelenggaraan seminar Pimpinan UBL menyadari keuntungan pemanfaatan fasilitas inherent dalam proses pembelajaran Pimpinan UBL membuat peraturan terkait dengan pemanfaatan fasilitas inherent dalam proses pembelajaran Pimpinan UBL aktif mengajak dosen untuk memanfaatkan fasilitas inherent untuk keperluan proses pembelajaran Pusat Komputer UBL aktif mensosialisasikan fasilitas inherent kepada dosen baik secara lisan maupun tertulis Pusat Komputer UBL aktif mengundang dosen untuk menghadiri kuliah umum yang diselenggarakan pihak lain melalui videoconference inherent Pusat Komputer UBL aktif mengundang dosen untuk menghadiri seminar yang diselenggarakan melalui video-conference inherent Dosen UBL yang mengetahui fasilitas inherent secara aktif memberitahu dosen UBL lainnya UBL menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pemanfaatan bahan ajar online inherent UBL menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan kuliah umum melalui video-conference inherent UBL menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan seminar melalui videoconference inherent UBL mengadakan pelatihan bagi dosen terkait dengan pemanfaatan fasilitas bahan ajar online inherent
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
89
No 15
16
17
18
19
Pernyataan UBL tidak pernah menyelenggarakan pelatihan bagi dosen terkait pemanfaatan bahan ajar online inherent UBL menyediakan tenaga teknik bagi dosen dalam pemanfatan fasilitas bahan ajar online inherent UBL menyediakan tenaga teknik bagi dosen dalam pelaksanaan kuliah umum melalui videoconference inherent UBL menyediakan tenaga teknik bagi dosen dalam pelaksanaan seminar melalui videoconference inherent UBL tidak pernah menyelenggarakan pelatihan bagi dosen terkait pemanfaatan video-conference inherent
(1)
Skor Jawaban (2) (3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
90
91
Lampiran 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian Adopsi Inovasi inherent dalam proses pembelajaran (Y) Y1. Pemanfaatan bahan ajar online Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel pemanfaatan bahan ajar online PT P1
.797**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.006
N P2
10
Pearson Correlation
.438
Sig. (2-tailed)
.206
N P3
10 .883**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.001
N P4
10 .875**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.001
N P5
10 .635*
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.049
N P6
10 .851**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.002
N P7
10 .681*
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.030
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel pemanfaatan bahan ajar online Cronbach's Alpha N of Items .784
8
92
Y2. Pemanfaatan fasilitas video-conference Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel pemanfaatan fasilitas video-conference PT P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.795** .006
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.933** .000
N P3
10
Pearson Correlation
.407
Sig. (2-tailed)
.243
N P4
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.777** .008
N P5
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.687* .028
N P6
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.927** .000
N P7
10
Pearson Correlation
.529
Sig. (2-tailed)
.116
N P8
10
Pearson Correlation
.628
Sig. (2-tailed)
.052
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel pemanfaatan fasilitas videoconference Cronbach's Alpha N of Items .776
9
93
Karakteristik Dosen (X1) X1.1. Keterampilan komputer Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel keterampilan komputer dosen PT P1 Pearson Correlation
.568
Sig. (2-tailed)
.087
N
10 .765**
P2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.010
N
10 .828**
P3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.003
N
10 .777**
P4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.008
N
10 .831**
P5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.003
N
10
P6 Pearson Correlation
.498
Sig. (2-tailed)
.143
N
10 .944**
P7 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .927**
P8 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .893**
P9 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .894**
P10 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .966**
P11 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel keterampilan komputer dosen Cronbach's Alpha N of Items .778
12
94
X1.2. Kesiapan melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT PT P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.837** .003
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.735* .016
N P3
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.987** .000
N P4
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.909** .000
N P5
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.754* .012
N P6
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.987** .000
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel kesiapan dosen melaksanakan proses pembelajaran berbasis ICT Cronbach's Alpha N of Items .809
7
95
Karakteristik Inovasi (X2) X2.1. Keuntungan relatif Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel keuntungan relatif PT .761*
P1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.011
N
10 .701*
P2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.024
N
10 .914**
P3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .751*
P4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.012
N
10
P5 Pearson Correlation
.547
Sig. (2-tailed)
.102
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel keuntungan relatif Cronbach's Alpha N of Items .785
6
96
X2.2. Kerumitan Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel kerumitan PT .794**
P1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.006
N
10 .811**
P2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.004
N
10 .918**
P3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .952**
P4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N
10 .876**
P5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.001
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel kerumitan Cronbach's Alpha N of Items .821
6
X2.3. Kesesuaian Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel kesesuaian PT P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.685* .029
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.843** .002
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel kesesuaian Cronbach's Alpha N of Items .806
3
97
X2.4. Kemudahan untuk dicoba Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel kemudahan untuk dicoba PT P1
.818**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.004
N P2
10 .705*
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.023
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel kemudahan untuk dicoba Cronbach's Alpha N of Items .803
X2.5.
3
Kemudahan untuk dilihat
Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel kemudahan untuk dilihat T P1
.826**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.003
N P2
10 .924**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.000
N P3
10 .791**
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.006
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel kemudahan untuk dilihat Cronbach's Alpha N of Items .842
4
98
Karakteristik Perguruan Tinggi (X3) X3.1. Dukungan pimpinan Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel dukungan pimpinan T P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.822** .004
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.727* .017
N P3
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.728* .017
N P4
10
Pearson Correlation
.543
Sig. (2-tailed)
.199
N P5
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.639* .047
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel dukungan pimpinan Cronbach's Alpha N of Items .763
6
99
X3.2. Sosialisasi keberadaan inherent Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel sosialisasi keberadaan inherent T P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.820** .004
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.848** .002
N P3
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.937** .000
N P4
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.941** .000
N P5
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.723* .018
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel sosialisasi keberadaan inherent Cronbach's Alpha N of Items .818
6
100
X3.3.
Penyediaan sarana dan prasarana
Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel penyediaan sarana dan prasarana PT P1
Pearson Correlation
.588
Sig. (2-tailed)
.074
N P2
10
Pearson Correlation
.881**
Sig. (2-tailed)
.001
N P3
10
Pearson Correlation
.588
Sig. (2-tailed)
.074
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel penyediaan sarana dan prasarana Cronbach's Alpha N of Items .763
X3.4.
10
Pengadaan pelatihan
Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel pengadaan pelatihan PT P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.843** .002
N P2
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.745* .013
N P3
10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.718* .019
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel penyediaan sarana dan prasarana, pelatihan, serta tenaga teknik Cronbach's Alpha N of Items .812
10
101
X3.5.
Penyediaan tenaga teknik
Korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson correlation) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total untuk variabel penyediaan tenaga teknik PT P1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.778** .008
N P2
10
Pearson Correlation
.556
Sig. (2-tailed)
.095
N P3
10
Pearson Correlation
.509
Sig. (2-tailed)
.133
N
10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Koefisien alpha dari Cronbach untuk variabel penyediaan tenaga teknik Cronbach's Alpha N of Items .708
10
102
103
Lampiran 3 Hasil analisis korelasi rank Spearman
Y1 Spearman's rho
X11
.096
.000
.497
52
52
*
.022
.028
.878
52
52
*
.095
.011
.504
52
52
**
-.061
.003
.667
52
52
Correlation Coefficient
.266
.273*
Sig. (2-tailed)
.057
.050
52
52
*
.132
.022
.350
52
52
**
.101
.009
.475
52
52
Correlation Coefficient
.094
.328*
Sig. (2-tailed)
.508
.018
52
52
Correlation Coefficient
.259
.063
Sig. (2-tailed)
.064
.656
52
52
*
.050
.015
.724
52
52
Correlation Coefficient
.077
.249
Sig. (2-tailed)
.588
.075
52
52
Correlation Coefficient
.164
.084
Sig. (2-tailed)
.246
.554
52
52
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X12
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X21
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X22
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X23
N X24
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X25
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X31
N X32
N X33
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X34
N X35
Y2 **
N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.785
.306
.350
.405
.317
.357
.334