SUMMARY
NURLISA ALIAS BUTET. Phenotypic Plasticity on Blood Cockle Anadara granosa L. as a Response to Environmental Pollution: a Case Study in Coastal Waters of Banten. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, and ASEP SAEFUDDIN.
Blood cockle Anadara granosa is a commercial bivalve inhabiting intertidal ecosystem. Coastal waters of Banten such Banten Bay, Bojonegara and Lada Bay, Panimbang are potential areas for blood cockle grow out. Banten Bay is a semi-closed waters facing North Coast of Java. Such industries as coal stockpile, fibre boat manufacturer, chemical industry, steel industry, and many others have been long existed there. Lada Bay geographically is located at the west coast of Banten Province and exposed to Sunda Strait. Anthrophogenic activity is signified by coal fueled power plant, operated in 2009. Anthrophogenic sewages become a problem and lead to environmental pollution. Mercury is one of the pollution source. Inspite of being exposed to polluted habitat, therein blood cockle withstands and reproduce annually. Resistancy to such harmful environmental condition does not take for granted, there must be mechanism controlling the ballance between stress and resistancy. Without controlling factor, blood cockle in both areas is certainly extinct. The factor should be universal for individuals and able to recognize type of stress to be responded briefly. Continuous stress directs the controlling factor to acquintedly recognize and respond it; consequently, the blood cockle may adapt with the condition. The controlling factor, however, gives divergent response to stress, depending on type and level of stress. The factor comprises celluler stress response expressing stress protein and being controlled by one or more gene family. The gene family usually expressed during stress is heat shock protein (Hsp) as cytoprotector. Overexpression of a member of such Hsp gene family as Hsp70 indicates ability of the gene to protect tissue and cell, therefore they withstand to stress. Subsquently, more complex organs are protected from stress. Overexpression of Hsp70 gene is a result of individual habituation to stress. Lack of expression indicates inability of the gene to protect cell, therefore, organism’s resistancy declined. The resistancy defines threshold onto stress-stimulating environmental parameter and provides choice of phenotypic changes as an adaptation strategy. Heterogenous environmental condition in Bojonegara and Panimbang waters may result in various stress responses in blood cockle. Bojonegara blood cockle has long been acquinted with heavy metal-contaminated waters, while Panimbang blood cockle is just exposed to environmental changes. Responses resulted from heterogenous environment are biochemical, physiological, and phenotypic responses. Biochemical and physiological responses appear in the short period of time and become a bottom line for phenotypic plasticity. Phenotypic plasticity occur for longer period of time and those characters are fixed. To support the notion that blood cockle in Bojonegara and Panimbang encounter harmful environment, yet they still survive therein, this research was,
thus, aimed at analyzing the ability of the blood cockle to develop phenotypic plasticity through Hsp70 gene expression, and spatial phenotypic variations. Additionally, tolerance limit of the cockle on mercury contamination through histological approach has been also studied. Prior to investigate the existence and characterization of Hsp70 gene, quantitative and qualitative standarization of mRNA materials should be conducted. Standarization comprises application of housekeeping gene as an internal control. The success of this step would facilitate target gene detection. βactin gene has been used as the housekeeping gene. Characterization of β-actin gene produced a specific gene for blood cockle with 353 bp nucleotide in length. cDNA amplification for β-actin gene resulted in high integrity and consistency product, therefore the gene is reliable to be used for internal control. Hsp70 gene showed mercury concentration-dependent expression and the expression varied on population of origin. Hsp70 gene increased on certain mercury concentration, the increasing trend was comparable for Bojonegara and Panimbang blood cockle. However, Hsp70 gene expression on Bojonegara blood cockle was higher. The tendency of Hsp70 gene expression correlated with gill histological analysis. At the certain mercury concentration which blood cockle expressed low Hsp70 gene level, gill injury occured as a necrosis. Habituation and adaptation gave rised to Bojonegara blood cockle developed the plasticity as it was exposed to higher mercury concentration. Heavy metal contamination in Panimbang is just a beginning, therefore, habituation level of blood cockle and other organisms to the condition is still subsided. As a consequence, Panimbang blood cockle has not yet been able to overcome the challenge from high mercury concentrations. Hsp70 gene in Panimbang blood cockle has not been capable to develop plasticity as a mean of adaptation. This research prooved that heterogenous condition of Bojonegara and Panimbang supported the existence of phenotypic variation despite blood cockle population from both areas has come from one genetic source. Phenotyic plasticity has been achieved on several characters measured. Plastic phenotype such as length, height, and width of shell is a self defence to protect blood cockle soft in response to environmental challenge. It requires much time to develop phenotypic plasticity, because the plasticity involved several factors (biochemical and physiological) and phases (acclimatization, adjustment, adaptive, and adaptation). Based on time preiod of pollution exposure on ecosystem correlated with industrialization, Bojonegara blood cockle has attained phase of adaptation. During the phase, acquired character on phenotype is generated and becomes specific characters. On the other hand, Panimbang blood cockle is stil on adjustment phase.
Key words:
adaptation, tolerance limit, phenotypic plasticity, gene expression.
RINGKASAN NURLISA ALIAS BUTET. Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten. Di bawah bimbingan DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, dan ASEP SAEFUDDIN.
Kerang darah Anadara granosa merupakan bivalvia komersial yang hidup di perairan intertidal. Perairan pesisir Banten seperti Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang merupakan daerah yang potensial bagi perkembangan hidup kerang darah. Teluk Banten merupakan perairan semi tertutup yang menghadap Pantai Utara Jawa dan di sana sejak lama telah berdiri berbagai industri, seperti stockpile batu bara dan pabrik perakitan perahu fiber yang menghasilkan limbah bahan kimia. Sedangkan perairan Teluk Lada secara geografis merupakan perairan pesisir yang terbuka ke arah Selat Sunda. Kegiatan antropogenik di sekitar perairan tersebut yang paling signifikan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dioperasikan secara resmi sejak tahun 2009. Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas antropogenik di sekitar kedua perairan tersebut menimbulkan permasalahan berupa pencemaran lingkungan bagi perairan sekitarnya dan bagi organisme yang hidup di dalamnya. Bahan pencemar yang paling nyata terdeteksi di kedua perairan tersebut adalah logam berat, terutama merkuri. Walaupun demikian, kerang darah masih dapat bertahan hidup dan bereproduksi selama bertahun-tahun. Pertahanan (resistensi) tersebut tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi pasti ada mekanisme yang mengatur keseimbangan antara stres dan resistensi. Tanpa adanya faktor pengatur, maka kerang darah pasti sudah punah dari kedua perairan tersebut. Faktor pengatur haruslah bersifat universal untuk semua individu dan dapat mengenali jenis stres untuk kemudian direspon dengan cepat. Stres yang berlanjut menjadikan faktor pengatur tersebut terbiasa mengenali dan meresponnya, sebagai konsekuensinya kerang darah dapat beradaptasi dengan kondisi yang demikian. Namun demikian, faktor pengatur akan memberikan respon yang berbeda terhadap stres, tergantung pada jenis dan level stres, serta habituasi terhadap stres. Faktor pengatur tersebut adalah berupa respon stres seluler yang mengekspresikan protein stres dan dikendalikan oleh famili gen. Famili gen yang biasa terekspresi pada saat stres adalah famili gen heat shock protein (Hsp) yang berfungsi sebagai pelindung sel (cytoprotector). Ekspresi berlebih dari salah satu anggota famili gen Hsp seperti gen Hsp70 menunjukkan kemampuan gen tersebut untuk melindungi jaringan dan sel, sehingga jaringan dan sel mempunyai daya tahan terhadap stres. Sebagai konsekuensinya, tingkatan organ yang lebih kompleks juga terlindungi dari stres, akibatnya kerang darah dan organisme lain menjadi resisten dengan stres yang dihadapi. Munculnya ekspresi berlebih disebabkan oleh habituasi terhadap stres. Sedangkan kekurangan atau ketiadaan ekspresi gen Hsp menunjukkan rendahnya kemampuan untuk melindungi sel, sehingga organisme menjadi kurang atau tidak tahan. Daya tahan (resistensi) inilah yang akan menentukan batas ambang
terhadap suatu parameter lingkungan yang menstimulasi stres dan perlu atau tidaknya perubahan fenotip sebagai strategi adaptasi. Perbedaan kondisi lingkungan Bojonegara dan Panimbang menimbulkan respon stres yang berbeda bagi kerang darah. Kerang darah Bojonegara telah lama terbiasa hidup pada kondisi yang terkontaminasi logam berat, sedangkan kerang darah Panimbang baru saja mengalami perubahan lingkungan. Respon yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan yaitu berupa respon biokimia, fisiologis, genotip, dan fenotip. Respon biokimia dan fisiologis terjadi pada periode waktu yang cepat dan menjadi peletak dasar terjadinya perubahan fenotip, sedangkan respon genotip dan fenotip terjadi pada periode waktu yang lebih lama dan bersifat menetap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis kemampuan kerang darah Anadara granosa dalam mengembangkan plastisitas fenotip melalui pendekatan ekspresi gen Hsp70 dan analisis keragaman fenotip. Di samping itu juga, batas toleransi kerang darah sebagai konsekuensi terhadap cemaran merkuri melalui pendekatan histologis akan dipelajari. Sebelum mendeteksi keberadaan dan karakterisasi gen target Hsp70, maka di dalam tahapan studi yang menyangkut pendekatan ekspresi gen target selalu dilakukan standarisasi kualitatif dan kuantitatif material RNA terutama mRNA. Standarisasi tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan housekeeping gene sebagai kontrol internal. Keberhasilan dari tahapan ini akan dapat memfasilitasi dalam mendeteksi keberadaan gen target dalam hal ini gen Hsp70. Housekeeping gene yang digunakan pada penelitian ini adalah gen β-aktin. Karakterisasi gen β-aktin menghasilkan gen β-aktin spesifik untuk kerang darah Anadara granosa (gen AgACT) dengan ukuran 353 bp. Amplifikasi cDNA untuk gen β-aktin menghasilkan produk yang berintegritas tinggi dan konsistensi untuk semua sampel yang diisolasi, sehingga layak dijadikan kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen Hsp70. Gen Hsp70 menunjukkan ekspresi yang tergantung pada konsentrasi merkuri (mercury concentration-dependent expression) dan asal populasi. Ekspresi gen Hsp70 meningkat pada konsentrasi merkuri tertentu, dan peningkatan ekspresi ini berpola sama baik untuk kerang darah Bojonegara maupun Panimbang. Namun demikian, ekspresi gen Hsp70 pada kerang darah Bojonegara lebih tinggi dibandingkan dengan kerang darah Panimbang. Pola yang demikian, sesuai dengan analisis histologi insang yang menunjukkan adanya kerusakan pada induksi konsentrasi merkuri yang sama. Karena habituasi dan adaptasi, gen Hsp70 kerang darah Bojonegara mampu mengembangkan plastisitasnya pada saat kerang darah dipaparkan pada konsentrasi merkuri yang jauh melebihi batas ambang. Sedangkan di perairan Teluk Lada, Panimbang, kerang darah belum mampu mengatasi tantangan berupa konsentrasi merkuri yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar di perairan Panimbang masih baru, sehingga tingkat habituasi masih rendah. Gen Hsp70 kerang darah Panimbang belum mampu menunjukkan adanya plastisitas yang dapat mendukung proses adaptasi. Penelitian ini juga membuktikan bahwa perbedaan kondisi perairan Bojonegara dan Panimbang mendorong terbentuknya keragaman fenotip walaupun populasi kerang darah dari kedua perairan tersebut berasal dari sumber genetik yang sama. Plastisitas fenotip telah bekerja pada beberapa karakter fenotip kerang darah yang diukur. Fenotip yang plastis seperti panjang, tinggi,
dan tebal cangkang merupakan bentuk pertahanan diri dan strategi adaptasi kerang darah dalam merespon tantangan lingkungan. Terbentuknya plastisitas fenotip memerlukan periode waktu yang lama, karena melibatkan beberapa faktor (biokimia dan fisiologis) dan fase (aklimatisasi, penyesuaian, adaptif dan adaptasi). Berdasarkan periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar yang erat kaitannya dengan masa industrialisasi, maka kerang darah Bojonegara telah mencapai fase adaptasi. Pada fase adaptasi ini terbentuk karakter akis (acquired character) pada fenotip yang menjadi penciri kerang darah Bojonegara. Sedangkan kerang darah Panimbang masih dalam fase penyesuaian. Berkembangnya plastisitas fenotip, menyebabkan kerang darah Bojonegara dapat bertahan dan beradaptasi, dengan batas toleransi fisiologis yang tinggi terhadap stres yang distimulasi oleh bahan pencemar seperti merkuri. Dengan demikian, kerang darah Bojonegara dapat dijadikan hewan model untuk perairan tercemar. Sedangkan bagi kerang darah Panimbang, masih diperlukan beberapa generasi lagi untuk mencapai tahap adaptasi.
Kata-kata kunci:
adaptasi, batas toleransi, plastisitas fenotip, ekspresi gen.