Ada “Sundel Bolong” di Banjir Karya Volume 04 UNAIR NEWS – Apa jadinya jika sesosok sundel bolong terobsesi untuk makan sate? Tak ayal, kesan menyeramkan yang lekat pada salah satu jenis hantu khas nusantara ini pun menjelma jadi lucu. Terlebih, setan yang identik dengan rambut panjang dan baju putih itu akhirnya “hanya” dapat makan mie instan rasa sate. Demikianlah, secuil cerita dari film Amarah Sundel Bolong yang diputar dalam acara Banjir Karya Volume 04 Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) UNAIR pada Jum’at lalu (8/1). Film tersebut sukses membuat para hadirin yang memenuhi ruang Aula Gedung Soetandyo FISIP terbahak-bahak. Setidaknya, ada tujuh buah film yang disuguhkan dalam hajatan tahunan yang kali ini mengambil tema Aku dari Masa Depan tersebut. Selain soal Sundel Bolong, ada pula film tentang teh. Karya berjudul Isn’t About Taste of Tea ini menggambarkan realita kehidupan seorang anak dan seorang ayah dalam satu keluarga. Mereka tinggal bersama, namun terjebak rutinitas. Imbasnya, mereka jarang bertemu. Salah satu media komunikasi yang mereka pakai adalah teh. Si anak selalu setia membuatkan teh sebelum ia berangkat sekolah untuk ayahnya. Sedangkan sang ayah juga selalu setia membuatkan teh setelah ia pulang bekerja untuk sang anak. Pada ending cerita film tanpa narasi ini, ditampilkan ketidakhadiran teh di meja yang disusul dengan adegan tokoh anak menyaksikan foto ayahnya. Ya, ayahnya telah tiada. Asli Karya Mahasiswa Film-film yang disajikan dalam event ini asli karya mahasiswa komunikasi dan klub Audio Visual. Selain itu, kerjasama juga
dilakukan dengan UKM Sinematografi. Jadi, kegiatan ini jelas menghadirkan kebanggaan tersendiri bagi kampus. Ketua Panitia Mohammad Assadin Nur mengaatakan, pemilihan nama Banjir Karya merupakan sebuah harapan dan do’a. Maksudnya, semoga kelak para mahasiswa UNAIR mampu menghasilkan karyakarya film berkualitas dalam jumlah banyak. “Kami pun mendesain ruangan pemutaran film seartistik mungkin. Untuk memanjakan pengunjung. Selain itu, ada sesi khusus yang menyuguhkan behind the scenes dari semua film yang ditayangkan,” kata dia. (*) Penulis: Dwi Astuti Editor: Rio F. Rachman
Melakukan Penelitian dan Berwirausaha dengan Tumbuhan UNAIR NEWS – Botani merupakan salah satu cabang ilmu hayati yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan tumbuhtumbuhan. Mulai dari anatomi, morfologi, taksonomi tumbuhan, hingga bioteknologi tumbuhan. Himpunan mahasiswa biologi (Himbio) Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR memiliki suatu kelompok studi (KS) yang bernama Botani. KS Botani dibentuk untuk mewadahi minat para mahasiswa Biologi yang memiliki perhatian khusus terhadap tumbuhan. Sebelum bernama KS Botani, kelompok studi ini bernama KS Flora. KS Flora dibentuk pada tahun 1997 oleh pengurus Himbio angkatan 1995. Namun, karena alasan ruang lingkup kegiatan
masih sempit, nama Flora diganti menjadi Botani pada 2 Februari 2011. Komunitas ini memiliki empat divisi. Yakni, divisi hubungan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, penelitian, dan kewirausahaan. Di bidang penelitian, KS Botani aktif melakukan pendataan tumbuh-tumbuhan di lingkungan FST dan kampus C UNAIR. Sedangkan di bidang kewirausahaan, komunitas ini menjual koleksi terarium (model tanaman hias di wadah yang tembus pandang) dan herbarium (tumbuhan yang diawetkan). Koleksi terarium dan herbarium tak sulit untuk dirawat. Tumbuhan cukup disiram dengan air dalam frekuensi yang tak sebentar. Salah satu program KS Botani yang sedang berjalan adalah penataan green house di FST UNAIR. Rencananya, green house digunakan sebagai ruangan untuk menyimpan koleksi tanaman milik botani. (*) Penulis: Warta UNAIR
Mahasiswa S2 Biologi Ingin Gagas Taman Kreasi Warga UNAIR NEWS – Pada 2015 lalu, M. Hamzah Solim dan kawankawannya melakukan kerja sosial di bidang lingkungan. Mereka tergabung dalam Tim Komunitas Ilmuwan Muda Biologi (KIMBI) / Biology Young Researcher Community (BYRC). Bentuk kegiatan itu adalah menggairahkan partisipasi warga untuk memelihara tanaman bunga dan rempah-rempah. Tujuannya, menciptakan kawasan yang cantik sekaligus menggerakkan roda ekonomi berbasis rumah tangga. Sebab, tanaman bunga yang sudah
beranjak besar, dapat dijual dengan harga yang layak. Waktu itu, lingkup kerja mereka adalah sejumlah lokasi di Medan, Sumatera Utara. “Bibit bunga ditanam di botol air mineral bekas. Ditaruh di tembok-tembok luar sisi-sisi gang atau lokasi strategis lain. Lalu, dirawat selama hitungan bulan tertentu. Nah, di masa perawatan dan pemeliharaan, kami selalu melakukan monitoring. Supaya, usaha yang sudah dilakukan bisa lebih maksimal. Kami tidak lepas tangan,” kata M. Hamzah Solim. Tahun ini, Hamzam berencana melakukan hal serupa di Surabaya. Mahasiswa S2 Biologi Kultur Jaringan Fakutas Sains dan Teknologi itu mengungkapkan, langkah pertama yang akan dilakukannya adalah membentuk tim. Bisa dari kalangan mahasiswa biologi maupun masyarakat umum. Dia sudah melakukan pendekatan pada kawan-kawannya. Baik sesama mahasiswa maupun dari kalangan lainnya. “Mudah-mudahan, dalam waktu dekat tim bisa terbentuk. Untuk perencanaan, relatif tidak lama. asalkan semua kompak. Setelahnya, akan langsung dieksekusi,” papar penerima beasiswa LPDP tersebut. Dia menjelaskan, untuk merealisasikan gagasan ini, diperlukan koordinasi dengan warga melalui RT/RW setempat. Juga, dibutuhkan sponsorship sebagai pendukung kegiatan. Maka itu, nantinya semua anggota tim diharapkan pro aktif dalam peran masing-masing. “Selagi melakukan tahap pembentukan tim, saya juga mulai melakukan pendekatan pada warga. Sebagai langkah awal, kawasan Surabaya Timur yang akan dijadikan sasaran. Namun, tidak menutup kemungkinan meluas ke daerah-daerah lain,” ujarnya. (*) Penulis: Rio F. Rachman
Pentingnya Negotiation Skills dan Wawasan Global dalam Multilateral Diplomacy UNAIR NEWS – Workshop Model United Nations (MUN) bertajuk Airlangga School of Diplomacy dilaksanakan di ruang Anatomi Fakultas Kedokteran (UNAIR) Sabtu hingga Minggu, 9 sampai 10 Januari 2015. Secara umum, “sekolah diplomasi” ini bertujuan memperkenalkan MUN sebagai bentuk simulasi sidang PBB yang diakui di seluruh dunia. Standar dan tata cara bersidang di tingkat internasional dipaparkan secara lengkap. Dengan demikian, semakin banyak yang paham tentang seluk beluk sidang diplomatik dan negosiasi di level multilateral. Acara yang diselenggarakan oleh para mahasiswa jurusan Hubungan Internasional FISIP UNAIR ini dihadiri oleh Prof. Dr. MakarimWibisono, MA-IS., MA., selaku narasumber. Dia pernah menjadi duta besar Indonesia untuk PBB di New York. Guru Besar FISIP ini memberikan sejumlah kisi-kisi teknis bersidang yang benar. Setidaknya, ada dua tajuk materi yang disampaikannya di hari pertama pelaksanaan kegiatan ini. Yakni, Negotiating Skills in Multaletral Diplomacy dan Being A Global Leader and Global Citizien. “Semua perundingan butuh persiapan yang matang. Maka itu, mantapkanlah persiapan dan pengetahuan terkait isu-isu yang ingin dibahas,” pesan pria yang pernah aktif di Economic and Social Council (ECOSOC), salah satu dari enam badan utama PBB. “Jangan lupa, perbanyak wawasan global,” tambahnya.
Yang menarik, peserta kegiatan yang didukung penuh AIESEC ini tidak hanya berasal dari internal UNAIR lintas fakultas seperti FISIP, FIB, FK, dan lain sebagainya. Ada pula yang tercatat masih duduk di bangku SMA, kalangan umum, dan mahasiswa kampus lain dari dalam maupun luar Surabaya. Misalnya, dari Jakarta, Bontang, Semarang, Manado, Pontianak, dan Bali. “Kegiatan ini bertujuan untuk menyebarkan the sense of diplomacy. Supaya, para peserta memiliki wacana yang komplit untuk menyelesaikan masalah-masalah global,” kata Ahmad Dzulfuqar Adi, Chief of Committee dan Organizing Committee acara. “Melalui kegiatan ini, para peserta diajak membuka pikiran, melatih kemampuan berdebat, meningkatkan keahlian problem solving, dan mempelajari teknis bernegosiasi secara efektif,” imbuhnya. Pada hari kedua pelaksanaan, diadakan simulasi sidang PBB yang berkutat pada aplikasi problem solving skills isu-isu global. Dalam kegiatan ini, disediakan hadiah-hadiah unik bagi para peserta. Dalam simulasi sidang, para peserta dibagi menjadi dua komite. Yaitu, Komite A yang berperan sebagai komite Sosial, Budaya dan Kemanusian SOCHUM dan membahas mengenai krisis pengungsi di Suriah. Juga, Komite B yang berperan sebagai UNICEF dan membahas mengenai pernikahan di usia dini. (*) Penulis: Disih Sugianti dan Aldi Syahrul P Editor: Rio F. Rachman
Belajar Bijak dari Karya Cak Nun UNAIR NEWS – Bila berkunjung ke toko buku, kumpulan esai Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah koleksi yang paling gampang ditemui. Slilit Sang Kiai, Markesot Bertutur, dan Markesot Bertutur Lagi adalah beberapa di antaranya. Yang menarik, tulisan-tulisan tersebut adalah karya lama. Kemudian, dicetak ulang, lagi dan lagi. Artinya, terdapat proses “menembus zaman” di sana. Pada April 2013 lalu, kumpulan esai yang kembali diterbitkan Penerbit Buku Kompas berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Sebelumnya, mushaf tersebut sudah dua kali terbit. Yakni, pada 1983 dan 1993. Di dalamnya, terdapat 27 esai karya suami Novia Kolopaking ini. Rata-rata ditulis pada rentang 1970-an atau saat lelaki kelahiran 1953 ini masih berumur kepala dua. Alasan Penerbit Buku Kompas menerbitkan buku ini—sama dengan penerbit lain yang mencetak ulang buku budayawan kelahiran Jombang ini— adalah karena tulisan ayah dari Noe Letto tersebut dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Mungkin dapat ditambahkan pula alasan lain. Yakni, pasar untuk buku Cak Nun. Jamaah Maiyah, sebutan bagi penyuka pengajian yang turut digelorakannya, tergolong loyal dan makin membesar hingga kini. Pengajian yang biasa pula disebut Maiyahan ini digelar di sejumlah kota tiap bulan sekali. Antara lain di Jakarta (dengan nama Kenduri Cinta), Surabaya (Bangbang Wetan), Yogyakarta (Mocopat Syafaat), Malang (Obor Ilahi), Jombang (Padhang Mbulan), Semarang (Gambang Syafaat), dan lain sebagainya. Mengupas Indonesia Bagian dari Desa Saya
Membaca tulisan demi tulisan di Indonesia Bagian dari Desa Saya, membuka pengetahuan tentang karakter rural dan urban di masa lalu. Sejak 1970-an, ketercampuran kultur sudah menjadi perhatian di masyarakat. Gengsi-gengsian, sok-sokan, narsis, dan anggapan jika yang modern adalah yang paling benar, sudah mulai mengakar pada masa itu. Saat itu, orang desa berbondong-bondong beli televisi padahal belum paham bahasa Indonesia yang digunakan di TV. Mereka jor-joran beli sepeda motor padahal rumahnya masih gedek. Melalui tulisannya, Cak Nun memprediksi jika kemutakhiran teknologi dan budaya asing yang terus merangsek bakal membuat zaman makin edan. Dalam catatan penulis, dia mengatakan kalau zaman edan di masa lalu membuat kepala orang pusing. Sedangkan zaman edan sekarang ini sukses membuat kepala nyaris pecah (hal: XIII). Kebersamaan, pengakraban, penyatuan, komitmen, solidaritas dengan sesama, dan kearifan lokal terancam luntur. Sudah tak mungkin mencari pedagang cendol yang tidak berkenan cendolnya diborong Pak Kyai di pagi hari, karena takut mengecewakan calon pembelinya di siang hari (Kebijaksanaan Cendol, hal. 57) Dalam esai Indonesia Bagian Dari Desa Saya (hal: 248), Cak Nun mencuplik fenomena politik uang jelang pemilu yang terjadi di desa lebih dari tiga dekade silam. Ada seorang calon legislatif yang membagi-bagikan uang pada masyarakat seraya berteriak, “Ini saya belum jadi anggota DPR, saudara sudah saya kasih uang cuma-cuma. Bayangkan jika saya sudah menjadi anggota dewan?!” Coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Kabarnya, di sejumlah kota di Jatim, banyak klub senam ibu-ibu PKK yang mendatangi para calon anggota dewan. Mereka berjanji akan memilih anggota dewan tersebut asal dia sudi mengucurkan bantuan dana. Ternyata, satu klub senam tidak hanya mendatangi satu calon
atau satu partai. Satu klub senam bisa berjanji (atau membual) pada beberapa calon atau partai. Fenomena ini setidaknya menunjukkan jika masyarakat sudah cerdas dan tidak sudi dikibuli politik uang. Lebih dari itu, mereka malah memperdaya banyak politisi dan partai. Jika dulu, yang main politik uang adalah politisi. Saat ini, elemen masyarakat yang “menguangkan politik”. Menyentil Religiusitas Buku ini memiliki bidang bahasan yang berlapis-lapis. Keistimewaan ini tentu tak lepas dari pengetahuan dan pengalaman Cak Nun yang beraneka rupa dari berbagai sisi. Pria yang kini berdomisili di Kadipiro Yogyakarta ini adalah seorang pengamat negara, budayawan, seniman, dan sering juga ditahbiskan orang sebagai pemuka agama. Maka itu, dia tak hanya sanggup memelototi perkara teknologi modern, ekonomi pasar, politik hingga kultur. Namun juga menyentil soal religiusitas. Di esai Berkatalah Sufi: “Ia mati, Alhamdulillah” (hal: 234), terdapat pandangan yang satir sekaligus sufistik. Betapa saat ini sebagian orang masih berpikiran bahwa kenyaman hidup yang bersifat materi adalah tujuan utama. Manusia ikhlas bersusah payah untuk mendapatkan hidup yang serba foya-foya di masa datang. Bahkan, ibadah bukan lagi menjadi suatu yang sakral atau ruang intim antara Tuhan dan hamba. Melainkan sudah menjadi sematamata alat atau sarana meminta semua yang enak-enak di dunia ini. Agama jadi cermin materialisme yang didekap makhluk. (*)
Calisthenics Mengajak Hidup Sehat dengan Street Workout UNAIR NEWS – Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Begitulah sebuah ungkapan berbunyi. Hidup ini penuh dengan berbagai tantangan dan persoalan. Untuk menyelesaikannya, manusia memerlukan kesehatan raga dan jiwa yang selaras. Itulah yang menjadi motivasi setiap anggota Airlangga Calisthenics. Komunitas ini berawal dari persahabatan tiga mahasiswa yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa kelompok bela diri di UNAIR. Ketiganya menggemari olahraga tipe kalistenik, hingga terbentuklah komunitas Airlangga Calisthenics pada 28 Mei 2013 atas gagasan Dhimas Prasetya Ramadhan, mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga angkatan 2008. Mulai saat itu mereka berolahraga dengan memanfaatkan tonggak besi dan fasilitas di Taman Keputran Surabaya. “Kita udah dua tahun terbentuk. Dulu kita latihan pertama kali di Taman Keputran. Lama-lama banyak orang yang tertarik dan gabung,” tutur Paksitya Purnama Putra, koordinator Airlangga Calisthenics. Airlangga Calisthenic adalah komunitas street workout pertama yang ada di Surabaya. Komunitas ini berolahraga dengan memanfaatkan berat tubuh dan mempergunakan alat seadanya. Selain fokus pada olah kekuatan fisik, mereka juga berkreasi dengan tonggak besi dan fasilitas lain di taman-taman Suarabaya. Berbagai latihan otot mereka lakukan,mulai dari push up, pull up, dips, plank, dan gerakan workout lainnya. Latihan rutin diprogramkan lima kali dalam seminggu yang berlokasi di Taman Prestasi Surabaya. Sebelum menempati Taman Prestasi, mereka berlatih di Lapangan KONI Jatim. Oleh karenanya, tak jarang atlet KONI turut serta bergabung dengan
Airlangga Calisthenics. “Kita juga ngajarin temen-emen untuk berorganisasi dan bersosialisasi. Komunitas ini tempat sharing temen-temen atlet,” ujar Paksitya yang akrab dipanggil Pay ini. (*) Penulis: Hasan Editor: Defrina Sukma S
Libatkan Alumni Menuju 500 Besar Dunia UNAIR NEWS – Untuk mencapai peringkat 500 besar dunia, Universitas Airlangga (UNAIR) melibatkan partisipasi dari Ikatan Alumni Universitas Airlangga (IKA-UA). Perwakilan pengurus pusat IKA-UA telah mengadakan pertemuan dengan Rektor UNAIR, Wakil Rektor IV UNAIR, serta Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) UNAIR di ruang 301 Kahuripan, Kantor Manajemen UNAIR, Kamis lalu (7/1). Rektor UNAIR, Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, mengatakan bahwa masukan dari para alumni akan digunakan sebagai bahan pembuatan rencana strategis (renstra). “Bagaimanapun, alumni UNAIR sudah tersebar di mana-mana dan pengalamannya banyak. Sehingga, mereka bisa melihat UNAIR dari perspektif yang berbeda. Kami berharap ada masukan-masukan dari alumni untuk lebih menyempurnakan renstra yang sedang kita buat,” tutur Rektor UNAIR. Selain itu, dengan adanya pertemuan dengan perwakilan IKA-UA, Prof. Nasih juga berharap keterikatan antar alumni UNAIR berjalan semakin erat. Ketua BPP, Badri Munir Sukoco,S.E.,MBA., Ph.D, mengatakan bahwa alumni UNAIR
merupakan salah satu sumber daya strategis. Menurut Badri, alumni berperan dalam dua aspek. Yakni, reputasi akademik dan employer. “Mereka berperan membuat academic reputation kampus menjadi bagus. Sebab, pihak-pihak yang membutuhkan jasa seseorang, pasti mempertimbangkan asal orang tersebut. Termasuk, dalam aspek academic reputation tempat dia kuliah,” tutur Badri. Pertemuan antara pimpinan UNAIR dan perwakilan Pengurus Pusat IKA-UA menghasilkan beberapa masukan. Di antaranya, perbaikan database alumni agar lebih komprehensif, mempererat kerjasama komisariat dengan IKA masing-masing fakultas, dan update informasi secara berkala tentang UNAIR kepada alumni. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Binti Q. Masruroh
Ajak Mahasiswa Asing Promosikan UNAIR di Negara Asal UNAIR NEWS – Program kelas internasional atau yang lebih dikenal dengan istilah Academic Mobility Exchange for Undergraduate at Airlangga (AMERTA) angkatan ke-3 telah usai. Sekitar 30 mahasiswa asing dan 60 mahasiswa UNAIR mengikuti serangkaian acara perpisahan yang digelar di ruang 301 Gedung Kahuripan, Jumat (9/1). Program kerjasama antara Direktorat Pendidikan dengan International Office and Partnership (IOP) tersebut digelar selama satu semester. Kedua pihak terkait memberikan beasiswa
kepada peserta sebanyak Rp. 1,5 juta tiap bulan. Selain itu, para peserta diberikan kesempatan untuk mengambil beragam mata kuliah. Misalnya, cyber culture, cyber law, hukum adat, tropical medicine dan bahasa Indonesia. “Mahasiswa diberi kebebasan untuk mengambil minimal tiga mata kuliah plus pelajaran bahasa Indonesia,” jelas Dewi Sartika, M.Ed., selaku manajer kelas internasional IOP. Program yang akan terus berlanjut ini diharapkan mampu membawa nama UNAIR semakin terkenal di kancah internasional. Wakil Rektor I Prof. Djoko Santoso, dr., Ph.D., Sp.PD., K-GH., FINASIM menuturkan harapan besarnya kepada seluruh mahasiswa asing yang mengikuti program AMERTA. “Saya berharap kalian bisa mengenalkan UNAIR dan bercerita berbagai pengalaman kalian kepada keluarga, teman dan civitas di kampus kalian masing-masing,” ujaranya. Salah satu peserta program asal Filipina bernama Djerilee mengaku sangat senang bisa belajar di Indonesia. “Saya bersyukur bisa belajar di Indonesia meski hanya satu semester. Saya bisa dapat banyak teman dan pengalaman,” kata dia. Senada dengan Djerilee, Siti Wardah asal Brunei Darussalam mengatakan, banyak pengalaman saya meramu berbagai macam jamu yang ada di Indonesia. “Di Indonesia ini saya belajar banyak hal, utamanya mengenai jamu. Saya juga sempat berkunjung ke Sumenep Madura untuk belajar jamu langsung dari keturunan raja di sana,” jelasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan