MANUSIA Hidup manusia tidak lepas dari berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut baik bersifat pribadi, sosial maupun hingga bencana alam. Masalah yang bersifat pribadi dapat dilihat mulai dari masalah diri yang minder karena cacat fisik, tidak bisa makan, tidak dapat pekerjaan, perasaan tidak aman, kecewa, merasa tidak diterima. Yang bersifat sosial umumnya takut ditolak oleh masyarakat, maka banyak yang ikut-ikutan korupsi, merampok dll. Dari luar manusia berkaitan dengan dunia sekitar manusia seperti adanya bencana alam dalam bermacam bentuk. Ketika orang tidak bisa mengatasi permasalahannya akibatnya melarikn diri dengan mabuk-mabukan, narkoba, seks bebas, merampok, membunuh atau merampok. Yang tidak berani menjadi stress, sakit jantung, stroke dan bunuh diri.
Kondisi tersebut bisa dilihat di berbagai media, baik media cetak maupun media komunikasi dan digital. bencana alam silih berganti,banjir bengawan Solo, Tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogya dan beberapa tempat, serta bencana gunung merapi meletus; belum lagi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia antara tahun 1998-2003 yang banyak memakan kurban manusia mati. Ada ratusan ribu orang yang tak bersalah yang mati. Permasalahan tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan yang menyentuh hidupnya sendiri. Mengapa ada orang yang hidupnya buruk, jahat tampak makmur, sejahtera, tetapi yang hidup jurur tetap miskin, bahkan teraniaya? Dimana sih Tuhan yang katanya mahakasih dan maha adil? Kalau Dia Maha kuasa dan maha adil kan seharusnya mereka yang hidupnya buruk dan jahat tidak dibiarkan hidup, dan mereka yang baik dan jujur hidup makmur. Terkesan Tuhan Tidak ada karena membiarkan semua itu terjadi begitu saja
Tsunami di Aceh 2006
gempa bumi di Yogya
banjir di Solo 1
. meletusnya gunung merapi
,
peristiwa kemiskinan, penderitaan dan kematian selalu mengikut manusia. Akibatnya bagi mereka yang mulai kritis akan berfikir, darimana asal manusia, siapa saya ini, dan untuk apa saya dilahirkan didunia, apa arti hidup ini?
1. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG ASAL-USUL MANUSIA. Menghadapi permasalahan hidup seperti tersebut didepan, manusia berusaha dengan berbagai kemampuannya untuk mengatasinya. Pertanyaan tersebut diatas, sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Yesus lahir. Usaha menjawab pertanyaan mendasar tsb, sudah ada sejak abad 6 sebelum Yesus lahir. Mereka sering disebut sebagai para tokoh filsuf. Dengan pikirannya manusia bertanya tentang dirinya dan perananya di dunia ini. Manusia juga membuat berbagai alat untuk mengatasinya. Alat tersebut dalam perkembangannya disebut teknologi. Cara lain adalah dengan membuat berbagai ritual atau upacara yang kiranya dapat mengatasi permasalahan tersebut. Upacara dan ritual ini akhirnya berkembang menjadi berbagai kepercayaan dan aliran agama.
2
PANDANGAN SAIN TENTANG ASAL-USUL MANUSIA.
Pandangan tentang Asal-usul Manusia
Pertanyaan besar yang selalu mengganggu pikiran manusia dari abad ke abad adalah pertanyaan mengenai asal-usul manusia. Menurut Frans Dahler dalam bukunya mengenai “Asal dan Tujuan Manusia”1 dinyatakan bahwa usaha untuk menjawab hal ini menjadi pangkal lahirnya mitos-mitos, dongeng-dongeng kuno, berbagai macam filsafat dan agama-agama. Sejak ribuan tahun lamanya, manusia menciptakan gambaran akan asal-usulnya sendiri. Dengan segala kemampuannya, meskipun meraba-raba dalam kegelapan, ia berusaha memuaskan nafsu dan kehausan untuk mengetahui asal-usulnya sendiri. Dari manakah manusia berasal? Bagaimana ia diciptakan? Bagaimanakah manusia berkembang sehingga memiliki daya rohani yang agung sekaligus yang membedakannya dengan binatang? Bangsa-bangsa primitif di Afrika, Asia dan Australia bicara tentang semacam “Tuhan purba” yang menciptakan manusia. Sedangkan agama-agama polytheis dari jaman kuno meupun jaman modern membayangkan adanya “Tuhan jamak”, dewa-dewi yang menciptakan dunia dan manusia. Sebaliknya ada aliran filsafat, yang pengaruhnya terasa pada agama Hindu dan Buddha, yang justru menyangkal adanya “ciptaan”. Manusia dalam pandangan itu dikatakan merupakan unsur dalam “Dunia Ilahi” yang sudah selalu ada. Alam semesta bersama manusia didalamnya merupakan kenyataan ilahi, dan alam ini berputar tanpa henti-hentinya dalam lingkaran reinkarnasi, lingkaran tertutup, dari kekal sampai kekal. Demikian pula berdasarkan pengalaman eksistensi manusia yang selalu berhadapan dengan “baik” dan “buruk” maka berkembanglah aliran filsafat dualisme yang menyatakan bahwa asal dunia ini dari dua prinsip, dua sumber yaitu sumber kebaikan (Allah) dan sumber kejahatan (Iblis, setan dsb).
1
Franz Dahler, Dr dan Julius Candra, Asal Dan Tujuan Manusia – Teori evolusi yang menggemparkan dunia, Yogyakarta: kanisius, 1989 (cet.8).
3
Ilustrasi asal usul manusia menurut Franz Dahler2 a. Pandangan filosofid Kristen, Islam, Yahudi tentang manusia TUHAN MENCIPTAKAN
Manusia berkembang berjalan menuju tujuan akhir, yaitu Akhirat.
b. Pandangan filosofis timur yang mempengaruhi agama Hindu dan Budha. SIKLUS ALAM
Alam semesta sudah selalu ada – dalam lingkungan tertutup alam – semuanya terulang lagi – tak ada evolusi – tak ada ciptaan – perbedaan tajam antara Tuhan dan manusia tidak ada.
2
Ibid, hal 18-19.
4
c. Pandangan filosofis Dualisme tentang manusia.
TUHAN – Sumber Kebaikan
Ro
Tubuh
h -
dengan
Jiw
nafsu-nafsu
a
IBLIS, SETAN, Benda, Sumber
Disamping pandangan-pandangan tentang asal-usul manusia yang telah kegelapan, diuraikan singkat diatas, terdapat pula di jaman kuno pandangan Kejahatan materialistis, yang beranggapan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, berkembang menurut hukum tertentu atau secara kebetulan, dari benda belaka. Sama sekali tidak ada pengaruh dari roh atau Tuhan. Demikian misalnya dinyatakan oleh Demokritos, ahli filsafat dan ilmu pengetahuan alami Yunani Kuno (460-370 SM). Berjenis-jenis pandangan tentang asal-usul manusia di jaman modern ini mendapat tantangan dan pukulan hebat dari TEORI EVOLUSI, yang muncul dalam abad 19. Sejak munculnya teori Evolusi dari Charles Darwin ternyata membuat gempar seluruh dunia, terutama tentang bagaimana asal-usul manusia. Setelah sekian lama dilakukan pembuktian-pembuktian cemerlang dari sarjana-sarjana penganut teori evolusi maka ada kompromi dari pihak agama. Kompromi tersebut dikenal dengan “teori evolusi terbatas” yang bersifat moderat. Pandangan pokoknya adalah bahwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia selama ribuan tahun benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit. Namun mereka menolak mengakui adanya penyeberangan antara tingkatan mahluk yang satu menuju tingkatan mahluk yang lain. Jadi mutasi benda tak berhayat menuju tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan menuju bianatang, dan dari binatang menuju manusia tetaplah disangkal dengan kerasnya. Yang mereka tolak mati-matian adalah gagasan bahwa manusia seluruhnya, jiwa dan badan, berasal dari binatang. Hal ini karena pihak ilmu pengetahuan pun belum bisa memberikan bukti yang meyakinkan, dengan teori “missing link”nya.
5
2. MARTABAT MANUSIA. Dalam visi iman kristiani pandangan tentang manusia bertitik tolak dari Kej 1:26-28; dan Kej 2:7-8, 15-18, 21-25 serta Sir 17:3-10. a. Martabat manusia menurut Kitab Suci: Manusia sebagai Citra Allah. Berdasarkan Kej 1:26-28; dan Kej 2:7-8, 15-18, 21-25 dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6 dengan bersabda dan bertindak. Dalam kisah penciptaan itu manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada di alam semesta di ciptakan. Hal itu dapat pula berarti bahwa manusia diciptakan sebagai puncak ciptaan Allah.3 Manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu:4 akal-budi, hati/perasaan, dan kehendak bebas. Adanya karunia akal-budi menjadikan manusia bisa atau memiliki kemampuan untuk memilih, karunia hati/perasaan menjadikan manusia bisa merasakan, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia mampu membangun niat-niat. Karunia-karunia itu menjadikan manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Setelah manusia diciptakan kemudian manusia diberi suatu tugas5 yaitu beranak-cucu dan hidup memenuhi bumi, mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam semesta, dipanggil untuk hidup bersama Tuhan Allah dalam kebahagiaan6, ditempatkan Allah di Taman Eden, dan diberi kuasa oleh Allah mengelola Taman Eden. Gambaran yang paling tepat mengenai siapakah manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat dalam Kitab Mazmur 8:1-10. Demikian juga gambaran siapakah manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat dalam Kitab Yesus Bin Sirakh 17:1-11. Pandangan dan ajaran resmi Gereja Katolik tentang manusia diuraikan dalam Gaudium et Spes artikel 12. Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua mahluk di dunia ini (Kej 1:26; Keb 2:23), untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10). “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7) Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awalmula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab Suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31) Penilaian martabat manusia tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia diciptakan oleh Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati dan dijunjung tinggi karena iman akan Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu Sang Pencipta sekaligus mengandung kepercayaan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai mahluk yang mulia dan bermartabat luhur. Dalam iman kristiani, martabat manusia baru dikenal sebenarnya di dalam Yesus, putra sulung di antara banyak saudara. Kebenaran tentang manusia hanya dikenal didalam Yesus Kristus. Karena martabat luhur manusia hanya diakui dalam iman akan Allah sebagai Sang Pencipta dan dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang tungga. 3
Kejadian 1:26,31, 2:7,21. Kejadian 1:26 5 Kejadian 1:28, 2:15 6 Kejadian 2: 8, 15-17 4
6
Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat transcendental (bersifat ilahi dan mengatasi segalagalanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segalagalanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal. Lihat Yoh 17:1-3; 1 Yoh 3:2; 1 Kor 2:9 Tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya. Pandangan Katolik berbeda dengan Yahudi dan Islam yaitu bahwa martabat luhur manusia dilihat dari segi tujuan hidup menjadi jelas (mendapatkan makna definitive) dalam diri Yesus Kristus. Lihat GS. 22 Tujuan hidup manusia mengandaikan juga tugas-tugas hidup yang mesti dijalankan oleh manusia, yaitu “memperkembangkan martabatnya”. Apa artinya ? Tugas hidup itu adalah mencapai kesempurnaan dalam panggilan hidup sebagai anak-anak Allah. Hal ini berarti berkembang dalam Yesus Kristus, mengejar persamaan dengan martabat Yesus Kristus. b. Manusia sebagai Pribadi Mendasarkan diri pada penjelasan menurut Kitab Suci dan Gaudiem et Spes, Gereja mengajarkan manusia adalah citra Allah. Sebagai citra Allah manusia adalah mahluk pribadi yang memiliki kodrat sosial. Manusia sebagai pribadi adalah bersifat unik dan menyejarah sekaligus bersifat kekal. Ia memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dihadapan sesama dan lingkungannya. Ia adalah makluk monodualisme7: bersifat jasmani dan rohani. Manusia itu bernilai dalam dirinya sendiri. Karena manusia bernilai dalam dirinya sendiri maka dalam segala tingkah-laku perbuatannya pada akhirnya berupaya untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri. Ini bukan berarti manusia hendaknya bersikap pragmatis8 ataupun egois. Dalam hal ini yang menjadi tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah dan melaksanakan hukum cintakasih. Tuhanlah tujuan akhir hidup manusia, karena didalam Tuhan terdapat yang didambakan manusia yaitu keselamatan hidup dan kebahagiaan abadi. Dengan demikian maka tercapailah kemuliaan manusia karena kemuliaan manusia hanya ada pada Tuhan. Olehkarena itu hakekat tujuan hidup manusia terdapat dalam Tuhan, tidak di dunia sekelilingnya. b.1. Manusia memiliki kemerdekaan/kebebasan Hakekat dan syarat-syarat bagi manusia yang mulia itu adalah bahwa ia merdeka/memiliki kebebasan dan bertanggungjawab dalam hal mencari/mengupayakan tujuan hidupnya. Kemerdekaan manusia pada dasarnya bersifat jasmani dan rohani. Adanya kemerdekaan pada dirinya dikarenakan manusia memiliki akal-budi/pikiran sehingga ia memiliki kemampuan untuk memilih. Kebebasan bersifat jasmani yaitu bila tubuh manusia tidak terbelenggu untuk melakukan aktifitas yang dimaui, sejauh sesuai dengan kodratnya. Adapun kebebasan yang bersifat rohani mencakup dua hal yaitu kebebasan dalam arti pikiran dan dalam arti moral.
7
Monodualisme: Satu kenyataan yang berdimensi dua; manusia adalah mahluk yang berbadan dan berjiwa. Pada abad pertengahan banyak filsuf yang cenderung menilai negatif badan manusia sehingga mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah jiwa yang bersifat kekal tetapi terpenjara dalam badan yang bersifat jasmani (sumber segala dosa). 8 Pragmatis adalah sifat dari sikap manusia yang hanya mementingkan manfaat yang langsung dapat dirasakan dan dilihat, yang menguntungkan diri sendiri (bersifat egois). Sikap ini begitu kuat dijaman sekarang sebagai perwujudan dari arus sekluarisme (Hal ini dapat dilihat pada Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2002). Oleh karena itu sikap pragmatis cenderung mengabaikan hal-hal yang berbau rohani dan religius, karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung, tidak bisa diukur dan sebagainya.
7
b.2. Manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya Hakekatnya Tuhan menjadikan manusia itu sebagai subyek dan bukan obyek. Sebagai subyek berarti manusia adalah pelaku dan penanggung-jawab segala perbuatannya. Ada ungkapan latin yang mengatakan “cogito ergo sum dan cogito ergo passum”. Itu berarti manusia itu aktif dan kreatif karena harus memikirkan, merencanakan, yang melakukan dan yang mempertanggung-jawabkan segala apa yang diperbuatnya. Manusia bukan obyek atau yang dikenai tindakan (bersifat pasif). Maka keliru besar bila kita mengobyektivasi manusia sesama kita, karena disana mesti muncul penindasan martabat manusia dan ketidak-adilan. b.3. Manusia dituntut tanggung-jawab dalam hidupnya Oleh karena kesadaran akan keberadaan dirinya termasuk apa yang dipikirkan dan diperbuatnya, dalam kebebasannya, maka manusia selalu dituntut untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya. Pertanggungan jawab itu pada dirinya-sendiri (suara hatinya), pada sesamanya (dalam sebuah system dan komunitas) dan kepada Tuhan Allah yang menjadi tujuan akhir dari hidupnya (seperti yang diajarkan oleh semua agama). Dalam hal ini manusia diajarkan ajaran moral yaitu bahwa manusia hendaknya bertindak sesala sesuatu dengan kesadaran, kemauan (tidak dipaksa) dan bermotivasi luhur. Bila tidak demikian maka menurut ajaran moralitas, hal itu disebut dosa. c. Manusia sebagai Mahluk Sosial Manusia hidupnya tergantung satu sama lain. Defacto bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian dalam arti yang sebenarnya, “No man is island”, manusia adalah mahluk soisal. Dari bayi hingga dewasa bahkan ketika akan menghadapi kematian, manusia selalu hidup dengan sesamanya. Hidup ditengah-tengah manusia-manusia lain (dengan: bapa-ibunya, saudaranya entah dengan orang asing sekalipun) adalah fakta yang tidak terbantahkan. Justru sifat personal yang unik dan menyejarah dari manusia dikarenakan juga karena hidup ditengah-tengah sesamanya. Tak terbayangkan kita hidup tanpa hubungan dengan manusia lain! c.1. Kenyataan Hidup dalam kebersamaan Ketergantungan hidup pada oranglain nampak sangat terasa jelas pada masa balita. Prosentase ketergantungan pada oranglain itu semakin mengecil dengan bertambahnya umur seturut “hukum proses pendewasaan pribadi”.Oleh karena itu sebagai citra Allah manusia adalah pribadi sosial, yang disatu sisi sebagai anugerah yang layak disyukuri” dan dilain pihak mengandung tugas panggilan/perutusan yaitu “membangun”.9 Karenanya kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas kebersamaan, yang mau tidak mau, yang suka atau tidak suka, adalah fakta. Kesadaran itu hendaknya dihayati dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerjasama dan saling pengertian diantara manusia. c.2.Sikap-Sikap sebagai Pribadi Sosial. Sebagai pribadi sosial yang hidup dalam kebersamaan memang tidak mudah, karena seringkali terjadi konflik kepentingan antara satu dengan yang lain karena masing-masing saling berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Olehkarena itu masing-masing dibutuhkan sikap untuk saling pengertian, saling menghormati, dan saling kerjasama menuju suatu tatanan 9
“Membangun” istilah yang saya pakai untuk mengartikan bahwa Adam dan Hawa ketika sudah diciptakan Allah diberi tugas: “beranak-cuculah, penuhilah bumi dan taklukanlah…” lalu ditempatkan manusia itu oleh Allah di taman Eden. Disana Adam dan Hawa tidak untuk bermalas-malasan melainkan untuk memelihara dan mengelola taman itu.
8
hidup bersama yang baik. Ciri utama sikap yang menekankan semangat sebagai pribadi sosial adalah solidaritas dan subsidiaritas. Dalam hal ini kita perlu waspada pada mentalitas egosentrisme, yang mengutamakan bertindak dan mengukur segalanya dengan ke-AKU-an yang kelewat batas kewajaran (egois). Tidaklah benar bila seorang filsuf Jean Paul Sartre yang mengatakan bahwa manusia adalah “homo homini lupus”10 yang artinya manusia menjadi srigala bagi yang lain. Pendapat itu merupakan konsep untuk mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kebersamaan hidup manusia waktu itu dan kiranya sebaiknya terus kita waspadai pada jaman secular ini dimana orang semakin mementingkan diri sendiri tanpa mengingat nasib penderitaan oranglain (individual) Sikap dasar yang ideal dalam kehidupan bersama adalah “cinta”11 yang hakekatnya merangkum segala-galanya dan mendasari sikap solidaritas dan subsidiaritas antar sesama manusia.
3. TUGAS (Pertanyaan refleksi dan pendalaman). 1. Apa tugas dan panggilan hidup manusia sebagai Citra Allah? 2. Mengapa dalam hidup manusia ada penderitaan, meskipun kita menyakini bahwa Allah mencintai manusia dan menginginkan manusia hidup bahagia? 3. Berbicara mengenai asal usul manuai; menurut Anda yang benar itu seperti yang diparparkan oleh ilmu pengetahuan termasuk dalam teori evolusi atau seperti yang tertuang dalam Kitab Suci?
10
P. Leenhouwer, “Manusia Dalam Lingkungannya” Gramedia Jakarta, 1988, halaman 219-220. Dimana ajaran Sartre mengatakan bahwa kebencian dan konflik sebagai sikap dasar maka dalam iman kristiani harus kita tolak, demikian pula sikap acuh-tak acuh pada sesamanya. 11 Ibid., halaman 227 - 235.
9