ADA APA DENGAN BUDAYA RISET KITA? (SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGIS DAN ADMINISTRASI PUBLIK)
Mita Widyastuti Universitas Islam “45” Bekasi Email:
[email protected]
Abstrak Dalam knowledge society pengetahuan memiliki peran penting dibanding modal fisik. Pengetahuan hanya dapat dihasilkan lewat sebuah riset, oleh karena itu riset menjadi sebuah keniscayaan dalam masyarakat. Perguruan tinggi sebagai lembaga penghasil riset ternyata memiliki kinerja yang kurang membanggakan. Berbagai masalah membelit lembaga riset (PT), seperti rendahnya minat terhadap riset, penghargaan yang kurang terhadap periset, prosedur yang rumit, kesulitan akses informasi dan langkanya sarana untuk mempublikasikan riset menjadi kendala utama. Permasalah tersebut tidak lepas dari konteks masyarakatnya, kita adalah masyarakat berbudaya tutur/lisan sehingga perlu waktu untuk mentransformasi menjadi masyarakat berbudaya tulis, sifat paternalisme membuat kebenaran dikuasai oleh penguasa (orang yang memiliki otoritas), disamping adanya mental menerabas yang berkembang dalam masyarakat sehingga pekerjaan riset yang butuh baca tulis, kesabaran, ketelitian, ketajaman pikir sebagai pekerjaan yang kurang diminati. Faktor budaya tersebut diperparah dengan kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah. Budaya riset dapat ditumbuhkan dengan memperbaiki ranah budaya, pemerintah (kebijakan), kelembagaan dan perbaikan penghargaan terhadap pelaku.
Kata kunci: budaya masyarakat, budaya riset, kebijakan pemerintah sampai 1500 M masyarakat berkembang sangat lambat, fase 2 tahun 1500 sampai 1700 M masyarakat berkembang dengan kecapatan sedang dan fase 3 dari
PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat oleh Sztompka (2004) digambarkan dalam 3 fase, fase 1 tahun 4000 SM
397
tahun 1800 sampai sekarang masyarakat berkembang cepat dan semakin cepat. Hal ini dapat kita rasakan, perubahan/perkembangan masyarakat terjadi cepat sekali, Eropa dalam waktu 20 tahun membangun setelah porak poranda dalam PD II, demikian pula Jepang dalam waktu 25-30 tahun dapat bangkit dari kehancuran dan kekalahan PD II, sukses story Korea Selatan bangkit dari keterpurukan selepas perang Korea di tahun 50-an. Kecepatan perubahan juga terjadi pada perusahaan tingkat global, daya tahan perusahaan semakin lama semakin cepat surut kalau tidak dapat mengikuti kecepatan perkembangan teknologi, kita masih ingat kasus Nokia dan produsen Black Berry (Research In Motion Limited) yang tidak dapat menahan gempuran kecepatan perubahan.
informasi yang manipulatif dapat cepat sekali beredar dimansyarakat sebagai sebuah viral yang berkembang secara berantai dengan cepat, sehingga masyarakat terprovokasi dan menjadi korban manipulasi berita/informasi. Perubahan-perubahan seperti digambarkan diatas dipandu oleh perkembangan pengetahuan yang bermuara pada teknologi. Setiap hari terdapat ratusan penemuan teknologi baru sejalan dengan perkembangan pengetahuan. Perubahan masyarakat saat ini sejalan dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi menjadi salah satu pendorong perubahan lingkungan bisnis, perkembangan teknologi membuat umur (daur hidup) sebuah produk menjadi semakin pendek. Hal ini memicu persaingan yang semakin tinggi dalam lingkungan bisnis. Di negaranegara maju perkembangan industri sebagian besar disumbang oleh penemuan-penemuan yang dilakukan oleh perguruan tinggi, dan sebagian lainnya diproduk oleh industri itu sendiri karena setiap perusahaan memiliki devisi yang bertugas sebagai pengembangan produk. Peran perguruan tinggi amat vital dalam mengembangkan pengetahuan, disamping stakeholder yang lain.
Saat ini kita hidup dalam era informasi, dengan adanya kemajuan teknologi informasi (internet, gadget, sofware) informasi dapat kita peroleh dimana saja, kapan saja.Kabar baiknya, dengan adanya kemajuan teknologi kebaruan informasi dapat kita peroleh dengan cepat, termasuk dalam hal ini kebaruan pengetahuan dan ini sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan maupun institusi yang memanfatkan pengetahuan dalam ranah praksis. Kabar buruknya, dengan kemajuan teknologi informasi ini kejadian-kejadian yang meresahkan masyarakat (kriminal, asusila, gosip, hoax) maupun
Berbeda dengan kondisi di Indonesia, peran perguruan tinggi belum begitu menonjol dalam
398
menyumbang pengetahuan dan teknologi. Ada beberapa hal yang membuat peran perguruan tinggi tertinggal dari swasta dan pemerintah. Industri yang berkembang di Indonesia berbeda dengan di negara maju, industrialisasi yang dilalukan oleh Orde Baru merupakan industri subsitusi impor diinisiasi oleh PMA dan sedikit oleh PMDN. Tipe industri tersebut membutuhkan teknologi, bahan baku (faktor produksi) dan keahlian/SDM dari luar, sehingga tanpa ada perubahan arah kebijakan industri maka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia akan selalu mengekor dengan ilmu dan teknologi dari negara maju.Harus disadari bahwa kemajuan industri suatu negara sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dari negara tersebut dan sebaliknya, sehingga kalau menginginkan industri maju maka prasarat kemajuan ilmu dan teknologi harus dimiliki.
kepekaan terhadap perubahanperubahan dalam lingkungan sehingga organisasi dapat menyusun strategi untuk bertahan dan dapat mengantisipasi dampaknya perubahan bagi organisasi.Faktanya kondisi SDM kita lebih banyak didominasi oleh SDM yang memiliki pendidikan SD (54%), SMP (23%), SMA (16%) dan PT (7%), dengan kondisi seperti itu susah diharapkan untuk dapat menghadapi persaingan dan perubahan lingkungan. Beberapa aksioma perlu disimak terkait perkembangan ekonomi dengan variabel yang yang mempengaruhi. McClelland berasumsi bahwa kemajuan ekonomi terjadi karena adanya kebutuhan berprestasi pada masyarakat (Need of achivement/N Ach), sedangkan Hagen memiliki asumsi yang mirip bahwa kemajuan ekonomi dipengaruhi oleh kepribadian masyarakat yang berasal dari pola pengasuhan (dalam Lauer, 2001). Tesis fenomenal dari Weber mengatakan bahwa kemajuan ekonomi dipengaruhi oleh etos kerja yang berasal dari nilai-nilai keagamaan (Etika Protestan). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa disetiap kemajuan ekonomi suatu bangsa maka disitu selalu diikuti oleh kinerja riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Di negara maju riset perguruan tinggi dilakukan dengan dukungan oleh perusahaan/bisnis karena produk
Perubahan landscape lingkungan organisasi umumnya dan lingkungan bisnis khususnya membuat persaingan menjadi sebuah keniscayaan organisasi dalam tataran makro maupun mikro. Dalam situasi persaingan tersebut dibutuhkan SDM yang andal dan kompeten untuk menjadi nahkoda organisasi agar memenangkan atau minimal bertahan dalam persaingan. Setiap orang dalam organisasi harus memiliki 399
riset akan dimanfaatkan oleh perusahaan, sehingga kedua entitas tersebut memiliki relasi yang saling membutuhkan. Bagaimana kinerja riset di negara kita?
terjadinya sinergi antara industri dan perguruan tinggi.
Hipotesa adanya korelasi antara kemajuan ekonomi dengan kinerja riset mendapatkan bukti di Indonesia. Dibanding dengan negara tetangga perkembangan ekonomi kita masih tertinggal, menurut Population Reference Bureau tahun 2010 pendapatan perkapita Singapura telah mencapai $47.940 dan Malaysia telah mencapai $ 13.740, Thailand $5.990 dan kita masih dikisaran $ 3.830. Hal ini sebanding dengan kinerja riset, ambil contoh University Sains Malaysia telah memiliki 15.000 yang berindeks Scopus sedang kita dengan 3000-an universitas baru menghasilkan artikel jurnal sebanyak 10.000 berindeks Scopus (Kompas, 26 Desember 2015).
Pembangunan ekonomi yang dibidani oleh Orde Baru bermuara pada indutrialisasi, merupakan praktek teori Modernisasi, Indonesia berevolusi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri atau berevolusi dari masyarakat religius menuju masyarakat yang rasional (Weber). Strategi industrialisasi dilakukan dengan mengundang PMA dengan memberi kemudahan usaha dan memfasilitasi masuknya teknologi canggih sebagai konsekuensi pilihan strategi industri substitusi impor yang padat modal. Terjadi mobilisasi tenaga kerja dari desa ke kota sebagai solusi kebijakan revolusi hijau pada pertanian (panca usaha pertanian). Tenaga kerja pertanian yang terlempar akibat kebijakan revolusi hijau ditampung dalam industri. Tenaga kerja dari pertanian tersebut mengisi pekerjaanpekerjaan operasional sederhana dan berulang yang umum dalam industri manufaktur, yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Pada kadar tertentu kebijakan ini masih berlanjut hingga sekarang, industri kita hanya menampung relokasi industri dari negara maju. Industri tumbuh sebagai dampak strategi negara maju yang memindahkan produksi atau pabrikpabrik yang menghasilkan dampak
Kebijakan Pendidikan Kebijakan Industrialisasi
Kondisi tersebut diatas merupakan pekerjaan rumah bagi kita yang berada di perguruan tinggi. Permasalahnya faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya kuantitas dan kualitas riset di Indonesia, bagaimana strategi meningkatkan kompetensi SDM agar dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas riset yang memberi sumbangan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa peran yang harus dilakukan pemerintah dalam menfasilitasi
400
vs
lingkungan ke negara berkembang yang aturan terhadap lingkungan kurang ketat, bahan baku murah, tenaga kerja murah dan pasar yang potensial.Dengan demikian, industri kita memiliki tingkat ketergantungan tinggi dengan negara pemodal, artinya keinginan untuk menciptakan industri yang mandiri masih jauh dari harapan.
jalur ini menjawab permasalahan ataukah hanya untuk memenuhi standarisasi profesi yang saat ini menjadi kebutuhan dalam dunia kerja global. Menurut saya akar permasalahan rendahnya kuantitas dan kualitas riset di Indonesia ada hubungannya dengan kebijakan industri. Pada saat pemerintah mengambil kebijakan industri maka sebenarnya kesiapan SDM kita belum memadai sehingga pilihan industri kita terbatas. Dengan pilihan jatuh pada industri padat modal maka faktor-faktor produksi penting dikuasai oleh pemodal yang berasal dari negara maju. Bahkan kelonggaran usaha yang pemerintah berikan hampir tanpa batas, industri besar yang ada disini juga diberi wewenang membawa pemasokpemasok dari negara asal, sehingga tidak memberi peluang tumbuhnya industri kecil yang padat karya.
Kebijakan pendidikan paralel dengan kebijakan industri, menteri Pendidikan waktu itu mengeluarkan konsep link and mach antara dunia pendidikan dengan industri, output pendidikan diharapkan dapat merujuk pada kebutuhan industri. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengembangkan pendidikan menengah kejuruan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil untuk industri, sedang untuk menciptakan tenaga riset industri atau inovator teknologi perguruan tinggi belum mampu memenuhi. Pengambil keputusan, tenaga ahli dan inovator teknologi masih didominasi oleh tenaga asal pemodal maupun tenaga asing lainnya, dengan adanya pasar bebas tenaga asing semakin membanjiri industri kita.
Pada awal pembangunan dibenarkan kebijakan itu dapat diambil, namun harus dengan syarat yang ketat dalam rangka menyiapkan SDM untuk industri yang mandiri. Tanpa SDM yang kompeten tidak akan melahirkan riset yang inovatif yang dapat memasok karya teknologi pada industri. Dan hal ini bisa disiapkan secara bertahap, riset disiapkan untuk dimanfaatkan industri kecil terlebih dahulu untuk selanjutnya riset teknologi yang lebih canggih. Strategi ini sepertinya tidak dilakukan melihat dari tahun ke tahun industri kita tidak
Saat ini terjadi pemisahan antara pendidikan yang tujuannya pengembangan keilmuan dengan jalur praktisi (vokasi) diharapkan dengan pemisahan ini terjadi percepatantumbuhnya tenaga ahli yang dibutuhkan dalam industri. Apakah dengan pemisahan ini dua
401
menunjukkan kemajuan yang signifikan. Salah satu cara menumbuhkan riset di perguruan tinggi dan industri adalah merevisi kebijakan industri kita.
budaya pikir rasional dan empirisme. Dalam masyarakat terjadi diskursus yang terus menerus terhadap satu permasalahan yang dihadapi masyarakat, sehingga satu pemikiran akan disempurnakan dengan pemikiran selanjutnya. Hasilnya, pengetahuan akan teruji dan berakumulasi menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Metode berpikir ilmiah ini di berkembang dari peradaban Yunani sampai Romawi dalam rentang ribuan tahun sampai dikenal sebagai budaya barat.
Budaya Timur dan Budaya Barat Budaya Timur memiliki ciri berkembangnya budaya tutur, budaya paternalistik, irasional. Masyarakat Indonesia merupakan salah satu masyarakat yang memiliki budaya tutur yang kental, banyak warisan susastra yang berisi budaya adiluhung, kearifan lokal dan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan, sehingga dalam kondisi perubahan masyarakat cepat banyak warisan budaya tersebut hilang tanpa sempat dituangkan dalam tulisan. Hal itu terjadi karena dalam perubahan sosial selalu terjadi ketertinggalan antara perubahan dengan kemampuan masyarakat menyesuaikan diri. Dalam masyarakat yang memiliki budaya tutur yang pada umumnya memiliki budaya paternalistik, perkembangan ilmu pengetahuan susah dilakukan karena para cerdik pandai (empu dalam masyarakat Jawa) pada umumnya memiliki otoritas kebenaran dari penguasa, tanpa dapat dicounter oleh masyarakat.
Pada cara berpikir ilmiah ini peran data atau fakta menjadi hal yang sangat penting. Kebenaran ilmiah harus dapat diuji dengan data/fakta yang dapat ditertanggungjawabkan. Dalam masyarakat yang memiliki budaya riset penghargaan terhadap data sangat tinggi, metode perekaman data berkembang dan praktek penyimpanan dilakukan dengan sunggug-sungguh. Hal ini tidak berlaku di Indonesia, data dianggap sesuatu yang kurang penting, manipulasi data biasa dilakukan sehingga hasil riset kurang dihargai dan tidak pernah ditindaklanjuti sebagai dasar pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Namun, kasus Jepang, Korea, Cina, Taiwan, Singapura dapat dijadikan bahan analisis. Sebagai bangsa Asia memiliki budaya yang sama yaitu budaya timur dengan ciri diatas, namun mereka berhasil
Lain halnya dengan budaya riset, pada umumnya tumbuh subur di masyarakat yang memiliki budaya tulisdan telah mengembangkan
402
melakukan tranformasi menjadi negara maju yang rasional. Beberapa teori yang dikemukakan oleh Bellah bahwa negara-negara Asia Timur dapat bertansformasi menjadi negara industri yang modern karena mereka memiliki pandangan hidup yang sama, yaitu ajaran Konfusius. Dilihat dari kacamata kebijakan, suskses mereka membangun menjadi negara industri modern adalah karena ketepatan kebijakan yang diambil pemerintah. Pemerintah dengan serius menyusun kebijakan pembangunan yang dikendalikan langsung oleh pemerintah. Artinya, perguruan tinggi didorong untuk melakukan riset yang dapat dimanfaatkan untuk industri dan bidang yang lain, swasta (perusahaan besar dan kecil) di- fasilitasi untuk mengembangkan industri dengan dipandu oleh pemerintah, demikian juga masyarakat dipaksa berpartisipasi mengikuti pendidikan yang sudah disiapkan pemerintah. Pada kasus Taiwan, disana koperasi dapat berkolaborasi dengan perusahaan besar untuk membuat satu produk. Kebijakan yang komprehensif inilah yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara tersebut bertranformasi. Menciptakan Indonesia
Budaya
Riset
Menurut Drucker (1993) saat ini kita berada dalam tahap postkapitalis atau knowledge society, pada tahap ini pengetahuan merupakan hal sangat berharga secara ekonomi dibanding modal dan tenaga kerja. Beberapa ahli menekankan pentingnya pengetahuan dalam menumbuhkan inovasi di dalam organisasi (Nonaka& Takeuchi, 1995). Nonaka dan Takeuchi berpendapat bahwa pengetahuan ini telah ada atau dimiliki oleh individu-individu dalam organisasi, permasalahnya bagaimana pengetahuan yang dimiliki oleh individu secara pribadi tersebut yang sifatnya tacit (tidak nyata karena melekat pada diri individu) tersebut dapat diketahui atau disebarkan untuk dipahami oleh orang lain dalam organisasi dan menjadi pengetahuan bersama yang sifatnya eksplicit (nyata, terformalisasi dan dapat dipelajari orang lain) dan bagaimana pengetahuan eksplisit tersebut disebarkan pada seluruh bagian organisasi. Proses perubahan pengetahuan dari tacit ke eksplisit digambarkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) seperti gambar dibawah ini:
di
403
Gambar 1. Proses Perubahan Pengetahuan Tacit ke Eksplisit
Dengan cara tersebut pengetahuan dapat diciptakan secara terus menerus dan saling menyempurnakan. Proses ini tidak dapatterjadi dengan sendirinya melainkan dirancang oleh organisasi dengan menciptakan sistem yang dapat diikuti oleh semua bagian organisasi. Apa yang digambarkan Nonaka ini merupakan praktek yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan Jepang dalam menciptakan pengetahuan dan inovasi dalam perusahaan sehingga perusahaan Jepang dapat bertahan menghadapi persaingan. Formula ini diadopsi oleh perusahaan Korea dengan tingkat agresifitas yang tinggi sehingga beberapa produk Korea
dapat mengalahkan produk Jepang (ingat kasus Soni yang dikalahkan oleh Samsung).Dengan demikian, kerangka pikir ini juga dapat kita adopsi pada organisasi kita, baik perusahaan, perguruan tinggi, maupun pemerintah. Konstruksi dari Nonaka dan Takeuchi tersebut ditindaklanjuti oleh Choo (1998) dengan sebutan knowing organization yaitu dengan menambahkan pentingnya informasi (data) bagi organisasi dalam rangka memahami paya yang terjadi dalam organisasi dan lingkungannya, menciptakan pengetahuan dan pembuatan keputusan, sehingga dengan mengolah data yang
404
diperoleh maka organisasi dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Rumusan ini dapat dikonversi dalam skope negara, kepekaan atau data tanggap terhadap data/informasi kurang kita miliki. Persepsi terhadap data/informasi dianggap sebagai sebuah yang yang kurang penting, berbeda dengan negara maju yang menganggap data
sebagai sebuah sumberdaya yang sangat berharga sehingga diperlakukan dengan istiwewa. Akibatnya seringkali kita mengambil sebuah keputusan tanpa dasar yang kuat karena kurangnya data dan ini amat fatal kalau keputusan tersebut menyangkut nasib bangsa. Dibawah ini adalah mekanisme the knowing organization.
Gambar 2. The Knowing Organization 405
terhadap pengembangan riset di perguruan tinggi, yaitu kebijakan yang komprehensif dalam hal fokus riset dan pemanfaatan riset bagi masyarakat (swasta). Kita perlu mengevaluasi bahwa tiadanya perguruan tinggi kita yang memiliki hasil riset yang kuat akibat arah kebijakan riset yang tidak jelas. Perguruan tinggi paling bagus yang kita miliki hanya menduduki rangking di kisaran 200-an, Universitas Indonesia baru mencanangkan dalam visinya “Sebagai Perguruan Tinggi Riset Tingkat Dunia”.
Perubahan Level Budaya, Kelembagaan dan Subyek Periset Langkah perubahan budaya harus dilakukan untuk mengingat budaya riset kita masih rendah, artinya perubahan budaya riset harus dilakukan dengan menawarkan mekanisme yang telah teruji keandalannya dan dipandu secara sungguh-sungguh oleh pemimpin organisasi. Pada level pemerintah, menteri dari kementrian terkait harus memiliki komitmen untuk menumbuhkan budaya riset, pada level perguruan tinggi dan lembaga penelitian para rektor harus berkomiten untuk mendorong dan menfasilitasi dosen dalam melakukan riset. Sedang pada level perusahaan para pimpinan perusahaan diminta komitmennya untuk menyediakan anggaran untuk pengembangan riset.
Oleh karena arah kebijakan riset tidak jelas, maka berdampak pada anggaran yang diberikan, anggran riset kita hanya 0,09% dari PDB bandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang telah menganggarkan lebih dari 1% dari PDB. Minimnya anggaran ini membuat peneliti dan dosen tidak begitu tertarik dan mengganggap riset sebagai pekerjaan yang “kering apresiasi” dan pekerjaan buangan. Disamping itu tidak jelasnya pemanfaatan riset membuat peneliti/dosen merasa pekerjaan riset merupakan pekerjaan yang tidak seimbang antara usaha dengan hasil, kebanyakan hasil riset hanya sebagai koleksi pribadi dan lembaga dan terkadang dilakukan hanya sekedar memenuhi formalitas tugas. Untuk itu perlu perubahan apresiasi bagi peneliti, kemudahan memperoleh
Perguruan tinggi dan lembaga riset memiliki peran strategis dalam menumbuhkan budaya riset karena peran ini melekat pada misi perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki sumber daya yang memadai, memiliki metode bagaimana pengetahuan yang sifatnya tacit dirumuskan menjadi eksplicit dan bagaimana pengetahuan eksplicit disebarluaskan. Namun perguruan tinggi tidak dapat produktif menghasilkan riset tanpa dukungan pemerintah dan swasta. Pemerintah diharapkan memberi kebijakan dan arah yang jelas
406
dana dan fasilitas publikasi maupun koneksifitas dengan pihak pengguna (swasta dan pemerintah).
Indonesia masih kekurangan 10.000 dosen yang memiliki pendidikan S3 (doktor) dan memiliki jabatan fungsional profesor. Kenyataan masih terdapat ribuan dosen yang berpendidikan S1, walaupun pemerintah telah menggariskan dosen minimal berpendidikan S2 namun realita tersebut tidak dapat dihindarkan. Solusi pemberian beasiswa studi lanjut pada banyak kasus tidak banyak membantu karena terbentur syarat administratif umur dan kesadaran lembaga untuk mendorong dosen studi lanjut masih kurang. Dengan SDM seperti itu, tidak dapat diharapkan riset kita maju. Oleh karena itu, perlu terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM dengan kemudahan studi lanjut/beasiswa, tawaran pelatihan riset dan tawaran hibah penelitian serta magang riset dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Hal yang belum terjadi di praktek riset kita bahwa lembaga swasta/bisnis memfasilitasi perguruan tinggi untuk melakukan riset yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh swasta. Akibat kebijakan industri kita yang sangat tergantung pada teknologi dari luar maka teknologi yang dimiliki perusahaan/swasta lebih maju dibanding lembaga riset/PT. Kesenjangan atau gap antara swasta dan lembaga riset/PT ini yang membuat swasta memiliki posisi yang lebih tinggi dan mengganggap remeh lembaga riset dan PT. Dengan posisi seperti itu sulit kiranya memberi kepercayaan pada PT untuk melaksanakan riset bagi kepentingan swasta, demikian juga pihak PT akan memiliki rasa kurang mampu melayani/memenuhi keinginan perusahaan. Disini peran pemerintah diperlukan, pemerintah dengan kewenangannya dapat menfasilitasi kemitraan antara PT dengan perusahaan (swasta/industri) dengan dasar saling menguntungkan dan saling memberdayakan.
Sebagai masyarakat paternalistik peran pemimpin dalam memimpin perubahan budaya amat menentukan. Schein (1990) menggagas bahwa keberhasilan perubahan budaya organisasi ditentukan oleh leadership dari pimpinan organisasi, tanpa kepemimpinan yang kuat maka perubahan sulit berhasil. Disadari bahwa dalam setiap perubahan selalu ada kelompok yang menentang dan kelompok yang mendukung, peran yang harus dimainkan oleh pimpinan adalah menarik kelompok penentang
Rendahnya posisi tawar perguruan tinggi ini perlu didongkrak, dilakukan reposisi agar ketiga pilar berada dalam posisi yang ideal. Pembenahan yang harus dilakukan pada perguruan tinggi adalah masalah kualitas SDM/dosen.
407
menjadi pendukung perubahan. Disamping itu situasi perubahan seringkali meresahkan karena diliputi ketidakpastian mendatangkan keuntungan. Seorang pimpinan harus memberi kepastian bahwa perubahan akan berhasil dan membawa kebaikan semua pihak.
solusibagi eksisnya jurnal lembaga penelitian dan PT.
pada
Permasalahan juga di hadapi oleh dosen/peneliti sebagai subyek riset. Profesi dengan pendapatan yang sekadar cukup (dibanding profesi di bisnis), seringkali tergoda untuk mencari tambahan dan berkiprah di bidang yang tidak ada hubungan dengan profesi sehingga waktu untuk melakukan riset menjadi berkurang dan juga mengganggu konsentrasi atau mengurangi ketekunan dalam menjalankan profesi. Dipihak lain masyarakat juga selalu merecoki dengan peran-peran yang tidak berkaitan dengan profesi, seringkali para profesor atau peneliti diminta untuk duduk dalam jabatan sosial/politik yang menyita waktu untuk berkiprah di ranah ilmiah sehingga kita kurang memiliki profesor yang jejak ilmiahnya mengglobal.
Memajukan riset perlu dukungan akses informasi karena riset harus berkesinambungan dengan riset sebelumnya, memiliki manfaat dan mengandung aspek kekinian. Terkait dengan akses informasi yang terkadang masih sulit diperoleh maka pemerintah maupun PT harus berupaya maksimal agar akses terhadap informasi ilmiah dapat diperoleh baik kebutuhan informasi bagi riset maupun kebutuhan untuk mempublikasikan hasil riset agar dapat dikritisi oleh masyarakat ilmiah. Sampai saat ini jurnal nasional dan internasional kita yang terakreditasi bisa dihitung jari untuk menampung hasil riset dari 3000-an perguruan tinggi di Indosesia. Memang tidak mudah mengelola jurnal ilmiah (terutama yang telah terakreditasi), langkanya sumber daya yang mau mengelola jurnal (telaten menyeleksi naskah, mengedit, mencermati konten dsb), seringnya pengelola kekurangan naskah sehingga jurnal tidak dapat terbit secara kontinyu, sirkulasi yang seret, pendanaan dan masalah administrasi evaluasi jurnal menjadi kendala tersendiri. Komitmen lembaga mungkin merupakan
Masalah administrasi juga ikut mengganggu pekerjaan dosen/peneliti. Peneliti sering mengeluhkan prosedur administrasi yang harus diikuti untuk mendapatkan dana dan ijin penelitian serta sistim pelaporan yang rumit akan mengurangi energi dalam meneliti. Sistem pelaporan kinerja dosen, disatu sisi baik dari segi merekord kinerja tetapi disisi lain cukup merepotkan. Dosen disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan utamanya. Hal-hal seperti
408
ini perlu mendapat perhatian untuk dilakukan evaluasi dan ditemukan mekanisme yang lebih efisien, sehingga dosen/peneliti konsen pada pekerjaan utamanya.
5.
Penutup
6.
Sebagai sebuah pemikiran, maka penulis memberikan masukan dalam rangka perbaikan budaya riset kita, sehingga dalam suatu masa nantinya kita dapat mengejar ketertinggalan dari negara lain. 1. Perlu disadari bahwa satu kebijakan akan berdampak pada kebijakan yang lain. Sehingga perlu dievaluasi ulang kebijakan industri kalau menginginkan kinerja riset kita membaik. 2. Pada tingkat makro harus ada kebijakan yang jelas mengenai strategi dan arah riset yang akan kita lakukan dengan melakukan pemetaan bidang riset (cluster riset) yang potensial untuk menjadi trigger bagi perkembangan ekonomidan budaya riset. 3. Strategi dan arah riset nasional harus ditindaklanjuti pada tingkat lembaga dan operasional dengan perencanaan yang masuk akal (logis), terukur dan prospektif. 4. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM periset untuk memenuhi kebutuhan SDM riset dengan melakukan studi lanjut, pelatihan dan kerjasama magang dengan
7.
8.
lembaga riset yang memiliki reputasi tinggi. Pembenahan dalam mekanisme dan prosedur penelitian yang praktis dan efisien dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah harus menginisiasi proses kerjasama riset antara perguruan tinggi dengan swasta/bisnis, karena posisi perguruan tinggi dan swasta yang tidak equal sehingga perlu diinisiasi pihak ke 3, yaitu pemerintah. Peran pemimpin pada setiap level yang mampu menjaga komitmen mengembangkan budaya riset pada lembaganya masing-masing. Perbaikan pada sistem imbalan, perbaikan fasilitas baik fasilitas terhadap akses informasi maupun fasilitasi publikasi hasil riset.
Daftar Pustaka Budihardjo, Andreas, 2011, Organisasi, Menuju Pencapaian Kinerja Optimum, Jakarta, Prasetiya Mulya Publishing.
Choo, Chun Wei, 1998, The Knowing Organization, New York, Oxford University Press.
Febransyah, Ade dan Eko Y. Napitupulu, 2010, Prasetiya 409
Mulya on Innovation, Jakarta, Prasetiya Mulya Publishing.
Schein, Edgar H, 1997, Organizational Culture and Leadership, Second Edition, San Francisco, Jossey-Bass Inc.
Lauer, Robert H, 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.
On-line Kompas.Com, tanggal 26 Desember 2015.
Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takauchi, 1995, The Knowledge Creating Company, New York, Oxford University Press.
410