LEGALITAS PENYIDIK SEBAGAI SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERSIDANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 454 K/PID.SUS/2011, 1531 K/PID.SUS/2010, DAN 2588 K/PID.SUS/2010) Achmad Fikri Rasyidi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK Skripsi ini membahas tentang beberapa permasalahan terkait dengan legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika. Penelitian ini berfokus pada tiga pokok permasalahan, yaitu: tentang legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi di persidangan berdasarkan KUHAP, kekuatan hukum pembuktian alat buksi saksi yang diberikan oleh penyidik di persidangan, dan keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Penelitian ini bermetodekan yuridis-normatif yaitu metode pengambilan data yang berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundang-undangan terkait. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa penyidik tidak boleh bersaksi di persidangan atas perkara yang ia sidik sendiri dan menyarankan untuk dilakukannya fungsi kontrol terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan agar kesaksiannya dapat dipertimbangkan hakim di dalam proses pemeriksaan persidangan. Kata kunci: Penyidik, saksi, legalitas, narkotika. This thesis discusses some problems related to the legality of the investigator as a witness in a criminal trial drug. This study focuses on three main issues, namely: the legality of the investigator as a witness in a drug’s criminal trial based on KUHAP, the strength of evidence given by the investigator in a drug’s criminal trial, and the legality of the investigator as a witness in a drug’s criminal trial based on the Supreme Court Verdict. This study focus on 1 UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
2
juridical-normative study. The data retrieval methods focus on the study of literature and Indonesia’s legislation. The results concluded that the investigator by some reasons is not allowed to be a witness in a drug’s criminal trial and advise to add the controlling system for the investigator in conducting investigations in order to consider his testimony to the judge in the trial examination. Key words: Investigator, witness, legality, drugs. I.
PENDAHULUAN Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika1 merupakan salah satu perkara
yang sering diangkat ke meja hijau oleh para penegak hukum. Stastistik yang bersumber dari laman Badan Narkotika Nasional (BNN), menunjukkan bahwa dari tahun 2007 hingga tahun 2011 terdapat 69.402 kasus narkotika, 30.633 kasus psikotropika, dan 39.164 kasus zat adiktif lainnya. Total dari keseluruh kasus penyalahgunaan zat-zat terlarang ini dari tahun 2007 hingga 2011 tercatat berjumlah 139.199 kasus. Data ini juga diperkuat oleh Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa terdapat 701 perkara kasasi Tindak Pidana Narkotika atau yang kedua terbanyak setelah tindak pidana korupsi.2 Intensitas tindak pidana narkotika yang tergolong tinggi menuntut aparat penegak hukum untuk bekerja keras dalam meredam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Direktur Pemberantasan Narkotika Alami BNN, Benny Mammoto yang menyebutkan peredaran gelap narkotika dapat hilang dalam hitungan detik dan jaringannya bersifat rahasia, sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.3 Pendapat Bennny Mammoto tersebut didasarkan pada Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyebutan istilah extra-ordinary crime kepada tindak pidana narkotika dikarenakan transaksi penyalahgunaan narkotika dilakukan secara terselubung dan akibat dari 1 Setelah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika diberlakukan (LN. 1976 TLN. No. 37), istilah “narkotika” secara resmi digunakan dalam perundang-undangan di Indonesia. 2 Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011, halaman 35. http://pembaruanperadilan.net/v2/content/publikasi/LTMARI-2011.pdf, diunduh pada 19 Mei 2013. 3
“Jaringan Narkotika Bisa Lenyap Dalam Hitungan Detik”, http//www.news.okezone.com/read/2011/06/26/337/472877/redirect, diunduh pada 17 Juli 2013. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
HH 5/8/13 6:27 PM Comment [1]: Buktikan dengan data perkaranya. Bias kamu ambil dari laporan tahunan MA, paling tidakdalam 2 tahun terakhir.
3
penyalahgunaan narkotika bersifat multidimensional atau meluas, yaitu dapat menyerang siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Senada dengan pendapat kriminolog UI, Arthur Josia Simon Ruturambi yang menghimbau kepada aparat pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menyatukan persepsi bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan luar biasa atau extra-ordinary crime. Penegakan hukum terhadap suatu tindakan yang digolongkan sebagai extra-ordinary crime (apabila memang disepakati bahwa tindak pidana narkotika adalah termasuk extra-ordinary crime)4 adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh penegak hukum yang ada di setiap negara. Mengingat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat membahayakan masa depan generasi muda bangsa dan negara ini. Menanggapi akan bahaya yang dapat timbul dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, Indonesia merespon dengan menciptakan peraturan perundang-undangan
HH 5/8/13 6:27 PM Comment [2]: Sebutkan sumbernya dan pendapa siapa?
mengenai tindak pidana narkotika. Peraturan perundang-undangan terkait narkotika pertama kali diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.5 Pembentukan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut didasari oleh ratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1976. Dengan adanya ratifikasi ini, maka lahirlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Sebelumnya, Indonesia telah menjadi negara peserta Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 dan telah meratifikasi konvensi terebut dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol Yang Mengubahnya, sehingga pengesahan konvensi tunggal narkotika tersebut merupakan landasan dibentuknya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Kemudian pemerintah melakukan perubahan atas Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan 4 Berdasarkan amicus curiae (secara bebas amicus curiae diartikan sebagai friends of court) yang diajukan oleh Imparsial, KontraS, dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat kepada Mahkamah Agung RI dalam kasus Lindsay Sandiford melawan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Republik Indonesia, penggolongan kejahatan narkotika sebagai extra-ordinary crime adalah tidak berdasar. Dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, terminologi yang biasa dikenal adalah ‘the most serious crime’ (kejahatan paling serius), kejahatan yang mana hukuman mati bisa saja dijatuhkan apabila negara yang bersangkutan masih mempertahankan hukuman mati. Dalam hukum narkotika internasional pun, yang mengacu pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokolnya tahun 1972, Konvensi Psikotropika 1971, dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, frasa ‘kejahatan luar biasa’ juga tidak dikenal. Istilah extra ordinary crime mengenai tindak pidana narkotika dimuat dalam Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyebutan istilah ini menurut penulis lebih tepat disebut dengan the most serious crime (kejahatan paling serius) karena pada dasarnya tidak terdapat dasar hukum yang menyatakan tindak pidana narkotika tergolong kedalam extra ordinary crime. 5 Andi Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Ed. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 33.
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
User 7/18/13 1:00 PM Comment [3]: Rewrite!
4
alasan untuk menyesuaikan peraturan hukum dengan perkembangan dalam masyarakat, baik yang bersifat nasional ataupun internasional. Selain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terdapat juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (UU Psikotropika) yang mengatur mengenai kejahatan psikotropika. Terakhir, pengaturan tentang tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka ketentuan ini mencabut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tetapi tidak mencabut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, melainkan hanya mencabut ketentuan Psikotropika Golongan I dan II yang termasuk Narkotika Golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.6 Lahirnya peraturan perundang-undangan yang menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, tentunya memberikan harapan akan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta proses penegakan hukum yang berjalan dengan sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan keseriusan Indonesia untuk meberantas kejahatan narkotika yang menurut undang-undang dilakukan dalam bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika atau prekusor narkotika. Keseriusan Indonesia ini tercermin dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2011 – 2015. Melalui instruksi presiden ini, Indonesia mencanangkan gerakan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba”, yaitu negara Indonesia yang bersih akan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan tujuan dari adanya peraturan tersebut. Strategi nasional tersebut memuat upaya Indonesia di empat bidang, yaitu pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Melalui peraturan ini, Indonesia melakukan pendekatan secara represif untuk memberantas tindak pidana narkotika. Peraturan ini menjadi panduan bagi Indonesia untuk melakukan perang terhadap narkotika (war on drugs). Namun peraturan-peraturan ini belum dapat menekan jumlah peredaran gelap narkotika dan tingkat pemakaian dan penyalahgunaan narkotika. Data yang dirilis oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada bulan Mei 2012,
6
Lihat Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
5
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kejahatan narkotika sebesar 11,64 % dari tahun 2007-2011 yang diterima oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.7 Putusan Mahkamah Agung pada perkara narkotika atas nama terdakwa Ket San (Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010),
membatalkan putusan Judex Factie yang telah
menjatuhkan hukuman penjara kepada terdakwa selama 4 (empat) tahun. Mahkamah Agung membatalkan putusan Judex Factie dengan menyatakan Ket San tidak bersalah dan dibebaskan dari seluruh dakwaan. Salah satu pertimbangan utama Mahkamah Agung dalam putusannya adalah perihal kedudukan dua orang polisi yang menangkap Ket San yang kemudian dihadirkan sebagai saksi di persidangan. Mahkamah Agung menyatakan bahwa keterangan saksi dari dua orang anggota polisi tersebut “tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan”.8 Putusan Mahkamah Agung ini dapat dikatakan sebagai sebuah putusan yang sangat menarik karena sangat mengusik kelaziman. Mengingat banyaknya kejadian di lapangan yang menunjukkan bahwa dalam proses interogasi, penyidik terkadang melakukan pemerasan agar saksi mengakui perbuatannya. Pemerasan tersebut dapat berupa penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya yang dilakukan oleh penyidik selama proses interogasi. Penyiksaan yang dilakukan penyidik pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemukulan, disundut dengan menggunakan rokok, dibentak dan lain-lain. Sementara itu bentuk perlakuan buruk lainnya yang dilakukan penyidik berupa pemaksaan kepada saksi untuk tidak tidur selama pemeriksaan dan dilecehkan selama pemeriksaan.9 Pemaparan diatas menunjukkan bahwa penyidik yang melakukan penyidikan terhadap suatu kasus narkotika kemudian bersaksi dalam persidangan kasus tersebut rentan dengan nuansa rekayasa kasus ataupun penyiksaan dalam memperoleh keterangan dari terdakwa. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah adanya konflik kepentingan antara si penyidik yang melakukan penyidikan dengan statusnya sebagai saksi di persidangan. Konflik kepentingan ini dapat mendorong diberikannya kesaksian yang tidak objektif di persidangan.
7 Ricky Gunawan, “Kajian dan Anotasi Peradilan Putusan Ket San: Menelusuri Fenomena Penjebakan Dalam Kasus Narkotika,” Dictum 1 (Oktober 2012) : 3. 8
Mahkamah Agung Republik Indonesia, ‘Putusan Nomor 1531 K/ Pid.Sus/ 2010, hlm. 20.
9
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta (Jakarta: LBH Masyarakat,2012), hlm. 84. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
User 7/19/13 1:11 PM Deleted: op.cit.,
6
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka ditemukan sejumlah permasalahan terkait legalitas penyidik sebagai saksi dalam tindak pidana narkotika. Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi atas tiga pertanyaan penelitian. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah penyidik suatu kasus tindak pidana narkotika yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus tersebut memenuhi kualifikasi saksi sebagaimana yang diatur dalam KUHAP ? 2. Bagaimana kekuatan hukum keterangan saksi yang diberikan oleh Penyidik suatu kasus tindak pidana narkotika dalam persidangan ? 3. Bagaimanakah keabsahan atau legalitas saksi yang berasal dari pihak penyidik dalam tindak
pidana
narkotika
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
454K/Pid.Sus/2011, 1531K/Pid.Sus/2010, dan 2588K/Pid.Sus/2010?
II.
TINJAUAN TEORITIS
User 7/19/13 1:14 PM Formatted: Font:Indonesian
A. PENYIDIK
User 7/19/13 1:14 PM
Istilah “penyidikan” sinonim dengan “pengusutan”, merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda opsporing atau yang dalam bahasa Inggris disebut Investigation.10 Istilah penyidikan pertama-tama digunakan sebagai istilah yuridis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.11 Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah “penyidikan” adalah “mencari kejahatan” dan “pelanggaran” (Pasal 39 HIR dan seterusnya), dan “pengusutan” misalnya dalam Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi (Pasal 7), dan ditemukan pula dalam peraturan perundang-undangan tertentu lainnya yang memuat ketentuan ketentuan khusus acara pidana, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961.12 Menurut sistem hukum acara lama, “penyidikan” merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana, penyidikan in concreto dimulai sesudah terjadinya suatu tindak pidana, sehingga tindakan tersebut merupakan 10
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum ( Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm.
5. 11 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara, Pasal 2 ayat (2), Pasal 13 dan Penjelasan Umum angka 3. 12
Djoko Prakoso, op.cit UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
Deleted: T
7
penyelenggaraan hukum (pidana) yang bersifat represif.13 Bicara konkrit, aksi atau tindakan tersebut berupa mencari keterangan dari siapa saja yang diharapkan dapat memberi keterangan tentang apa yang terjadi dan mengungkapkan siapa yang melakukan atau yang disangka melakukan tindak pidana tersebut.14 Tindakan pertama tersebut diikuti oleh tindakan lain yang dianggap perlu, yang pada pokoknya untuk menjamin agar orang yang benar-benar terbukti melakukan suatu tindak pidana bisa diajukan ke pengadilan untuk dijatuhi pidana, dan selanjutnya benar-benar menjalani pidana yang dijatuhkan.15 Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus diusahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana, dan jika benar demikian, siapakah pembuatnya.16 Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.17 Definisi atau pembatasan mengenai pengertian penyidikan diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP. Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan18 Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan Sementara itu Pasal 1 butir 2 KUHAP menyebutkan19 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
13
Ibid, hlm. 6.
14
Ibid.
15
Hal ini dikemukakan Djoko Prakoso dalam Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum sebagaimana dikutip dari Sudarto, Uraian Pokok-Pokok Permasalahan dalam Semonar Kriminologi-1V (Semarang, 1980), hlm. 5. 16 Hal ini dikemukakan Djoko Prakoso dalam Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum sebagaimana dikutip dari Sudarto, Peranan Kejaksaan dalam Penyidikan,, Penuntut dan Pemeriksaan Perkara Pidana dalam Sidang Pengadilan Negeri (Semarang: Yayasan Lembaga Research dan Afiliasi Industri Universitas Diponegoro, 1962), hlm. 7. 17
Djoko Prakoso, op.cit., hlm. 7.
18
User 7/19/13 1:15 PM
19
User 7/19/13 1:17 PM
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Pasal 1 angka 1. Ibid., Pasal 1 angka 2.
Deleted: 2 Deleted: op.cit.,
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
8
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pada tindakan penyelidikan, penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Diatas telah disebutkan bahwa penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat seperti yang dijelaskan Pasal 1 butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Pasal 6 KUHAP menyebutkan20 (1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Akan tetapi, disamping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 KUHAP yang mengatur adanya penyidik pembantu disamping penyidik. Pasal 10 KUHAP menyebutkan21 (1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini. (2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah B. SAKSI Agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan sebagai berikut:22 1.
Harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, yang menyebutkan23
20
Ibid., Pasal 6.
21
Ibid., Pasal 10.
User 7/19/13 1:44 PM Deleted: op.cit.,
22 M. Yahya Harahap (1), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali: Ed. 2 Cet. 10, (Jakarta: Sinar Grafika , 2008), hlm. 286. 23
Indonesia (1), op.cit., Pasal 160 ayat (3).
User 7/19/13 1:41 PM Deleted: 3
User 7/19/13 1:43 PM Deleted:
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
9
Sebelum memberi keterangan, saksi-saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. 2.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.24 Keterangan saksi yang mempunyai nilai adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan Pasal 1 angka 27 KUHAP, yang menyebutkan25 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
3.
Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP26 Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
4.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP27 Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
5. Keterangan saksi yang berdiri sendiri. Sering terdapat kekeliruan pendapat bahwa dengan adanya keterangan beberapa orang saksi telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengankan keterangannya di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian, belum
User 7/19/13 3:24 PM Deleted: Ibid.
24
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 286.
25
User 7/19/13 1:45 PM Formatted: Justified, Space Before: 6 pt, After: 6 pt
Indonesia (1), op.cit., Pasal 1 angka 27.
User 7/19/13 3:27 PM
26
Ibid., Pasal 185 ayat (1).
27
Deleted: 3
User 7/19/13 3:27 PM
Ibid., Pasal 185 ayat (2).
Deleted: Indonesia (3), op.cit.,
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
10
tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.28 Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri “sendiri-sendiri” tanpa adanya saling hubungan antara satu dengan yang lain: yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang pengadilan hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka berdiri sendiri tanpa hubungan antara yang satu dengan yang lain. C. SISTEM PEMBUKTIAN YANG DIANUT KUHAP INDONESIA
Untuk memahami sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP, maka kita merujuk pada Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan29 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Rumusan pasal 183 KUHAP diatas memiliki bunyi dan maksud yang sama dengan pasal 294 HIR. Pasal 294 HIR berbunyi Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu. Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat dalam Pasal 183 KUHAP dengan pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”.30 Perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekanan saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat “pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah” lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:31 28
M. Yahya Harahap (1), op.cit., hlm 288.
29
Indonesia (1), op.cit., Pasal 183.
30
M. Yahya Harahap (1), op.cit., hlm. 280.
User 7/19/13 3:28 PM
31
Ibid.
Deleted: 2
User 7/19/13 3:28 PM Deleted: Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
11
-
Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”; dan
-
Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction in time dengan “sistem pembuktian menurut undangundang secara positif” (positief wettelijk stelsel).32
III.
METODE PENELITIAN Dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif dimana
penelitian merupakan penelitian hukum yang mendasarkan pada konstruksi data yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Selain itu penelitian ini merupakan suatu penelitian yang menekankan pada norma hukum tertulis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta doktrin (pendapat para sarjana). Dalam penelitian normatif yang diteliti hanya daftar pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.33
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan yaitu
metode yang berdasarkan atas studi literatur, buku-buku yang bersifat ilmiah, majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan terkait, serta materi kuliah yang berhubungan dengan penyelesaian masalah materi penelitian. Selanjutnya apabila dilihat dari sudut ilmu yang dipergunakan, tipe penelitian ini merupakan penelitian monodispliner yaitu pemilihan metode penelitian yang berdasarkan pada satu disiplin ilmu, dalam penelitian ini disiplin ilmu yang digunakan adalah ilmu hukum. Penelitian kepustakaan bersifat yuridis normatif berarti cara pengumpulan data yang bahan utamanya berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, kasus-kasus hukum, dan pendapat para ahli. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung melalui penelusuran kepustakaan. Penelusuran User 7/19/13 3:29 PM 32 33
Deleted: .
Ibid., hlm. 289. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hlm. 52. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
User 7/19/13 3:31 PM Deleted: op. cit,
12
kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dalam penelitian ini akan didapatkan dari bermacam sumber. Adapun sumber yang dimaksud adalah buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian, peraturan perundang-undangan terkait, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris-Indonesia, jurnal-jurnal hukum, berita yang disadur dari media cetak atau media elektronik dan artikel-artikel para ahli hukum. Ditinjau dari segi sifatnya, tipe penelitian ini adalah penelitian deskripstif karena memberikan dan menjabarkan bagaimana kenyataan di lapangan mengenai legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam persidangan tindak pidana narkotika. Penelitian deskriptif itu sendiri merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh panca indera atau menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.34 Untuk mempermudah penelitian, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan melainkan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penulisan ini adalah dengan
HH 5/8/13 6:49 PM Comment [4]: Pada akhir penelitian, sumber yang diwawancara harus dituliskan, siapa saja yang sudah diwawancara?
melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu melalui penelusuran dokumendokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang berkaitan dengan objek yang diteliti.35 IV.
HH 5/8/13 6:50 PM Comment [5]: Data itu bentuk jamak, bentuk tunggalnya datum
PEMBAHASAN Legalitas Saksi Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Analisis ketiga putusan Mahkamah Agung tersebut menunjukkan bahwa dalam
praktik persidangan perkara narkotika, lazim dihadirkan saksi yang berasal dari penyidik kasus tersebut. Ketiga kasus diatas menghadirkan penyidik untuk bersaksi di persidangan. Pada kasus atas nama terdakwa Andika Tri Oktaviani dan kasus atas nama terdakwa Frengki dan Yusliadi, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung memang tidak menyinggung keabsahan atau legalitas saksi yang berasal dari penyidik. Namun pada kedua kasus tersebut, tidak terdapat persesuaian antara keterangan saksi penyidik dengan alat bukti lainnya, seperti 34
Soerjono Soekanto, op cit., hlm. 10.
35
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : PT Bayumedia, 2008), hlm.392.
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
13
keterangan alat bukti saksi yang lain dan barang bukti ataupun alat bukti lainnya. Ketidaksesuaian antar keterangan saksi maupun keterangan saksi dengan alat bukti lain menjadikan kabur keyakinan hakim untuk memutus terdakwa bersalah. Hal ini berkaitan dengan teknik penyidikan yang dilakukan penyidik dalam kasus narkotika. Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan diatas, penyidikan dalam kasus narkotika memang diberikan kewenangan khusus, seperti yang disebutkan dalam Pasal 75 huruf j Undang-Undang Narkotika. Namun dalam praktiknya teknik penyidikan ini dilakukan dengan cara-cara yang tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Narkotika, seperti melakukan rekayasa kasus sebagai bentuk penyimpangan dari teknik pembelian terselubung. Jika memang teknik ini yang dilakukan, kemudian penyidik tersebut hadir sebagai saksi di persidangan, maka tidak ditemukan persesuaian antara keterangan saksi tersebut dengan keterangan alat bukti lain di dalam persidangan. Hal inilah yang menjadikan kabur keyakinan hakim sehingga dalam kasus atas nama terdakwa Andika Tri Oktaviani dan kasus atas nama terdakwa Frengki dan terdakwa Yusliadi diputus bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri, kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kasus tersebut juga ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan Majelis Mahkamah Agung pada kasus atas nama terdakwa Ket San, Majelis Hakim jelas menolak kehadiran saksi yang berasal dari pihak penyidik. Hal ini tampak dari pertimbangan hakim yang menyatakan saksi dari penyidik yang bersaksi di persidangan tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan. Mahkamah Agung mendasarkan pertimbangan tersebut pada penjelasan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan saksi haruslah “bebas, netral, objektif dan jujur”. Mahkamah Agung menilai keterangan saksi yang berasal dari pihak penyidik tersebut tidak dapat diterima karena mengandung konflik kepentingan mengingat posisinya sebagai polisi membuat mereka berkehendak agar perkara yang ditanganinya akan berhasil di pengadilan dalam arti berujung pada penghukuman bagi terdakwa.36 Keterangan dua orang polisi tersebut dinilai meragukan mengingat tidak ada saksi lain yang melihat Ket San menyimpan atau melemparkan narkotika di tempat ditemukannya narkotika tersebut. Bukan tidak mungkin narkotika itu sendiri disiapkan dan ditaruh oleh polisi di tempat itu. Dengan demikian keterangan salah satu polisi yang melihat Ket San menjatuhkan narkotikan di tengah jalan tidaklah meyakinkan. Lebih jauh, Mahkamah Agung berpendapat bahwa kuat dugaan terdapat unsur rekayasa di dalam kasus ini dengan cara menempatkan atau lebih tepatnya menjatuhkan narkotika di dekat kaki Terdakwa. Berangkat dari situasi seperti di 36
Gunawan, op.cit., hlm. 5. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
14
atas, putusan Mahkamah Agung ini relevan karena 2 (dua) alasan: pertama, putusan ini berpotensi memutus mata rantai rekayasa kasus narkotika yang kerap terjadi, kedua, dapat mengehentikan kelaziman praktik penghukuman di kasus narkotika yang hanya mengandalkan keterangan saksi polisi penyelidik.37 Putusan ini tidak sepenuhnya dapat diberlakukan sebagai dasar untuk memutus perkara narkotika. Terdapat sisi dilematis dalam putusan ini, seperti yang disebutkan Ricky Gunawan38 Namun demikian, bukan berarti putusan Mahkamah Agung ini tidak memiliki sisi yang dilematis. Seandainya suatu saat terdapat kasus serupa, misalnya X seorang pengedar narkotika. X ditangkap oleh hanya dua orang polisi dan tidak ada saksi lain. Ketika dua orang saksi tersebut dihadirkan di persidangan, X atau kuasa hukumnya bisa saja merujuk pada putusan Mahkamah Agung di kasus Ket San ini untuk menunjukkan bahwa keterangan dua orang polisi tersebut tidak dapat diterima dan diragukan. Akibatnya X kemudian dibebaskan oleh pengadilan hanya karena alat bukti keterangan saksi dinilai tidak objektif, sekalipun X memang secara murni (genuine) melakukan tindak pidana pengedaran narkotika dan kasusnya tidak direkayasa. Putusan ini artinya bisa dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang memang berkecimpung dalam peredaran gelap narkotika. Kepolisian, pasca putusan ini tentu kemudian dituntut unuk membenahi kinerjanya dalam upanya mengungkap tidak pidana narkotika. Sehingga kasus seperti Ket San dan sejenisnya bisa dihindari. Jadi, berdasarkan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung diatas, bahwa penyidik yang bersaksi di persidangan: -
Tidak dapat diterima kesaksiannya karena kesaksian yang diberikan penyidik sarat akan unsur subjektivitas, yaitu seperti kepentingannya terhadap kasus yang ia selidiki akan berhasil di persidangan sehingga dapat berdampak pada kenaikan pangkat atau promosi. Kemudian dugaan adanya kuota penangkapan kasus narkotika,39 tidak jarang polisi menangkap para pengguna narkotika sebagai bagian dari tuntutan memenuhi target penangkapan setiap bulan empat perkara.40 Hal-hal semacam ini mempengaruhi kesaksian polisi yang bebas, jujur dan objektif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP.
-
Kekuatan hukum pembuktian keterangan saksi yang diberikan penyidik bernilai bebas, yaitu bergantung kepada hakim yang memimpin persidangan perkara tersebut. 37
Ibid.
38
Ibid.
39
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, op.cit., hlm. 53.
User 7/19/13 3:39 PM
40
Syaefurrahman El-Banjary, Hitam Putih Polisi Dalam Mengungkap Jaringan Narkoba (Jakarta: Restu Agung, 2005), hlm. 178. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
Deleted: A
User 7/19/13 3:40 PM Deleted: op.cit.,
15
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi hakim harus memperhatikan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 185 KUHAP. Dalam kasus diatas, Mahkamah Agung tidak menemukan adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain selama pemeriksaan persidangan. Hal ini menyebabkan Mahkamah Agung tidak dapat menimbulkan keyakinannya akan kesalahan terdakwa. Hakim berperan dan berwenang menetukan kebenaran sejati dalam persidangan suatu perkara. Namun tidak mungkin diperoleh kebenaran sejati 100%, hal ini dikarenakan pembuktian bukan suatu ilmu yang bersifat eksak, melainkan bersifat sosial. Setidaknya dalam suatu persidangan perkara terdapat keyakinan sebesar 90% atas pembuktian suatu perkara dan 10% lainnya adalah keraguan. Untuk mencari kebenaran sejati harus didasarkan pada bukti yang sah, yaitu memenuhi syarat formal materiil yang mencapai batas minimal, yang sesuai dengan kasus (properly in case). Selain itu harus didasarkan pula pada hal-hal yang relevan untuk menentukan (relevant to that determination) dalam mengambil kesimpulan. Hakim juga harus mencari dan menemukan kebenaran berdasar standar: beyond the reasonable doubt atau terbukti berdasar bukti yang sempurna dan meyakinkan melalui:41 a. System: memberi kesempatan kepada kedua belah pihak bertarung saling mengajukan dan mempertahankan kebenaran bukti yang dimiliki dalam batas-batas yang dibenarkan hukum dan etika. b. The Fairness of the Process berdasar asas presumption of innocent, dalam bentuk memberi toleransi kemerdekaan kepada terdakwa mengajukan kebenaran pembuktian, menjauhi proses pemeriksaan yang inkonstitusional dalam arti luas atau due process: -
Jika tidak terpenuhi standar beyond a reasonable doubt atau kesalahan tidak terbukti berarti beralasan meragukan kesalahan terdakwa bersalah (reasonable doubt)
-
Bila terbukti maka terdakwa bersalah (proven guilty).
Hakim harus meneliti dengan seksama alat bukti berdasarkan prinsip tidak layak dan tidak etik memeriksa bukti yang mengandung hal-hal berikut:42 a. Keterangan palsu (perjury) dalam bentuk omong kosong (boasted), dikarang-karang (tampering). b. Keterangan bohong (lie), yaitu keterangan yang tidak jelas sumbernya dan sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan. 41
M. Yahya Harahap (1), op.cit., hlm. 337.
42
Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
16
c. Membahayakan seluruh kasus, yaitu keterangan/alat bukti tidak penting secara absolut. d. Kredibilitas saksi jelek, yaitu apabila saksi seorang penipu, pemunim dan lain-lain. e. Keterangan yang ambiguitas. f. Keterangan/alat bukti tidak cocok (descripancy) dalam bentuk weak association evidence, do not match, atau secara bebas diartikan tidak ada kesesuaian yang kuat antara keterangan/alat bukti. g. Independent evidence atau alat bukti yang berdiri sendiri. h. Kuantitas bukti tanpa kualitas. i. Bukti yang tercemar pemalsuan j. Alat bukti positif palsu. V.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan penjabaran diatas tentang keabsahan atau legalitas penyidik sebagai saksi
dalam pemeriksaan persidangna pidana narkotika, maka berdasarkan fokus penelitian sesuai dengan pokok permasalahan, dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan: 1.
Penyidik yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan sudah memenuhi kualifikasi saksi sebagaimana yang diatur KUHAP: a. Apabila penyidik memenuhi ketentuan dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP, maka ia dapat bersaksi di persidangan atas dasar hukum yang disebutkan diatas. Tidak terdapat ketentuan yang menggugurkan kesaksiannya apabila ia mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. b. Mengenai orang-orang yang dapat dibebaskan dari kewajiban untuk bersaksi di persidangan diatur lebih lanjut dalam KUHAP. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 168 sampai Pasal 171 KUHAP. Berdasarkan ketentuan orang-orang yang dapat dibebaskan dari kewajiban bersaksi di persidangan yang dimuat dalam Pasal 168 – Pasal 171 KUHAP tersebut, tidak ada pengaturan yang menentukan bahwa penyidik tidak diperbolehkan untuk bersaksi di persidangan. Selama penyidik memenuhi ketentuan dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP maka ia dapat hadir di persidangan untuk memberikan kesaksiannya atas suatu peristiwa pidana.
2.
Berdasarkan KUHAP, kekuatan hukum alat bukti keterangan saksi dari penyidik adalah merupakan nilai pembuktian yang bersifat bebas bagi hakim untuk menilai: UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
17
a. Penyidik yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan harus memenuhi ketentuan-ketentuan agar keterangan yang diberikannya memiliki nilai kekuatan pembuktian. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah; -
Penyidik yang bersaksi di persidangan tersebut memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP,
-
saksi harus mengucapkan sumpah atau janji,
-
keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan,
-
keterangan seorang saksi saja tidak cukup mengingat adanya prinsip unus testis nullus testis,
-
keterangan saksi harus didukung dengan keterangan alat bukti lain, sehingga terdapat persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangan alat bukti lainnya.
b. Dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan para saksi, Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut kewaspadaan hakim untuk sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, dan alasan saksi memberi keterangan tertentu. Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. 3.
Keabsahan atau legalitas saksi yang berasal dari pihak penyidik dalam tindak pidana narkotika berdasarkan analisis putusan Mahkamah Agung: a. Pertimbangan Mahkamah Agung tidak menerima kesaksian yang diberikan penyidik dalam persidangan didasarkan pada penjelasan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar bebas, jujur dan objektif. Keterangan saksi yang diberikan penyidik sarat akan unsur subjektivitas, karena dalam keadaan normal, penyidik tentu ingin agar kasus yang disidiknya dapat berhasil di pengadilan sehingga sangat memungkinkan baginya untuk memberikan keterangan yang sifatnya subjektif. Keputusan hakim untuk tidak menerima kesaksian penyidik juga dinyatakan dalam pertimbangannya bahwa “secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada saat memberi keterangan yang sifatnya verbalisan”. Selain itu Mahkamah Agung juga menyoroti teknik penyidikan yang dilakukan penyidik. Teknik penyidikan secara pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan dinilai rawan akan penyalahgunaan, seperti terjadinya rekayasa kasus. Hal ini dalam pertimbangan UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
18
Mahkamah Agung seakan-akan sudah menjadi rahasia umum dalam praktik penyidikan tindak pidana narkotika. b. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan penyidik, bahwa di dalam proses persidangan tidak terdapat persesuaian antara keterangan saksi (dari pihak penyidik) dengan alat bukti lain. Tidak adanya persesuaian antara alat bukti ini tidak dapat membentuk keyakinan dalam diri hakim atas kesalahan terdakwa. Walaupun penyidik memenuhi syarat subjektif seorang saksi, apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 186 ayat (6) KUHAP, bahwa keterangan saksi yang diberikan oleh penyidik sarat akan unsur subjektivitas, yaitu dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara kedudukannya sebagai saksi dan pekerjaannya sebagai penyidik kasus tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kesaksian yang diberikan penyidik di persidangan tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian. c. Berdasarkan analisis putusan Mahkamah Agung mengenai legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam persidangan perkara narkotika, kesaksian penyidik ternyata sudah bermasalah sejak proses penyidikan kasus narkotika dilakukan. Dalam penyidikan perkara narkotika lazim terjadi rekayasa kasus untuk menangkap tersangka tindak pidana narkotika yang pada umumnya adalah pelaku kelas “teri”. Rekayasa kasus sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan penulisan ini merupakan suatu bentuk penyimpangan teknik penyidikan perkara narkotika, yaitu teknik pembelian terselubung (Lihat Pasal 75 huruf j Undang-Undang Narkotika). Cara yang tidak dibenarkan oleh undang-undang ini kemudian terungkap dalam putusan Mahkamah Agung diatas, yang akhirnya tidak menerima kesaksian dari penyidik dan memutus terdakwa bebas dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Saran Dari kesimpulan penulisan diatas, maka penulis memberikan saran terhadap masalah yang diangkat dalam penulisan ini berupa: 1. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika secara pembelian terselubung dan/atau secara penyerahan di bawah pengawasan (Pasal 75 huruf j Undang-Undang Narkotika) dalam melakukan penyidikan ini harus ada mekanisme yang mengontrol agar penyidikan dilakukan sesuai dengan undang-undang dan tidak terjadi rekayasa UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
19
kasus dalam prosesnya, sehingga kesaksian penyidik tidak diragukan karena adanya mekanisme kontrol tersebut. Misalnya seperti adanya video yang mendokumentasi proses penyidikan, hasil dokumentasi tersebut dijadikan sebagai bagian dalam Berita Acara Pemeriksaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya pencabutan berkas perkara yang kerap dilakukan oleh saksi atau terdakwa, sehingga pemanggilan saksi verbalisan juga dapat diminimalisasi. 2. Apabila teknik pembelian terselubung dilakukan penyidik dalam mengungkap tindak pidana narkotika, tersangka, keluarga tersangka serta pengacara tersangka harus diperbolehkan untuk mendapatkan kelengkapan berkas selama proses pembelian terselubung itu dilakukan. Sehingga apabila pembelian terselubung itu dilakukan tidak sesuai dengan aturan, tersangka sepatutnya dilepaskan. Adanya mekanisme semacam ini tentu akan bermanfaat untuk mengurangi, mencegah dan memberantas praktikpraktik rekayasa kasus yang dilakukan polisi.
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku Banjari, Syaefurrahman El. Hitam Putih Polisi Dalam Mengungkap Jaringan Narkoba. Jakarta: Restu Agung, 2005. Gunawan, Ricky, et. al. Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: Studi Kasus Terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta. Jakarta: LBH Masyarakat, 2012. Hamzah, Andi dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana: 5. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali: Ed. 2 Cet. 10. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. _______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Ed. 2, Cet. 11. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya : PT Bayumedia, 2008. Kunarto, Merenung Kiprah Polri Terhadap Kejahatan Tanpa Korban. Jakarta: Cipta Manunggal, 1999. Prakoso, Djoko. Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Bina Aksara,
User 7/19/13 3:41 PM Deleted: Nugraha, Safri, et. al. Hukum Administrasi Negara. Depok: CLGS, 2007.
1987. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. cet. 2. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000. UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
21
Supramono, Gunawan. Hukum Narkoba Indonesia. cet. 3. Jakarta: Djambatan, 2007. Sunarso, Siswanto. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta:
User 7/19/13 3:41 PM Deleted: Subekti, R., Hukum Pembuktian: 8. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1987.
Rajawali Pers, 2011. User 7/19/13 3:41 PM Deleted:
Jurnal dan Artikel Dodi. “MK Buka Pintu Saksi Alibi,” Majalah Konstitusi (Agustus 2011). Gunawan, Ricky. “Kajian dan Anotasi Peradilan Putusan Ket San: Menelusuri Fenomena Penjebakan Dalam Kasus Narkotika,” Jurnal Dictum 1 (Oktober 2012). Rachman, Taufik. ”Saksi dan Pembuktian Pasca Putusan MK,” Majalah Konstitusi (Agustus 2011). Wijayanti, Alcadini, et al. “Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Khusus dan Imlikasi Yuridis Terhadap KUHAP,” Diponegoro Law Review 1 Nomor 4 (2012). Swendlie F. Santi, “Teknik Penyidikan Penyerahan yang Diawasi dan Teknik Pembelian Terselubung Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika,” Lex Crimen 1 (JanuariMaret 2012) : 25. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-undang tentang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062. ------. Undang-Undang tentang Psikotropika, UU No. 5 Tahun 1997, LN No. 10 Tahun 1997, TLN No. 3671. ------. Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. ------. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara, UU No. 13 Tahun 1961, LN. No... TLN No... UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
... [1]
22
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Perkap Nomor 14 Tahun 2012. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkap No. 12 Tahun 2009. Kepala Badan Narkotika Nasional, Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Penyidik Badan Narkotika Nasional. Peraturan Kepala BNN Nomor 1 Tahun 2009.
Internet Erwin W. Kruisbergen, et al. 2011. ”Undercover Policing: Assumption and Empirical Evidence,” Brit J. Criminol http://bjc.oxfordjournal.org Diunduh pada 28 Juni 2013. “Fungsi Saksi Verbalisan,” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f7260564b14d/fungsi-saksi-verbalisan Diunduh pada 13 Juni 2013. “Jaringan
Narkotika
Bisa
Lenyap
Dalam
Hitungan
Detik”,
http//www.news.okezone.com/read/2011/06/26/337/472877/redirect, diunduh pada 17 Juli 2013. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011, halaman 35. http://pembaruanperadilan.net/v2/content/publikasi/LTMARI-2011.pdf diunduh pada 19 Mei 2013 UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013
User 7/19/13 3:42 PM Deleted: Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. KepPres Nomor 8 ... [2] Tahun 2007.
23
“Perkap Nomor 12 Tahun 2009 Diganti Dengan Perkap Nomor 14 Tahun 2012,” http://humasresbeltim.blogspot.com/2012/09/perkap-nomor-12-tahun-2009diganti.html diunduh pada 11 Juni 2013.
UNIVERSITAS INDONESIA
Legalitas penyidik sebagai..., Achmad Fikri Rasyidi, FH UI, 2013