*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Kajian Peresepan Obat Psikotropika di Apotek Kota Gorontalo Tahun 2014 The Study Of Psychotropic Drug Prescription On Chemists In Gorontalo 2014 Abdussalam Moo1, Nur Rasdianah2, Madania3 1), Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG 2,3) Dosen Jurusan Farmasi, FIKK, UNG E-mail:
[email protected] ABSTRAK Peresepan obat psikotropika harus dilakukan dengan tepat untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan. Peresepan obat psikotropika meliputi aspek kelengkapan resep, legalitas, jenis obat yang diresepkan dan dosis obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peresepan obat psikotropika di apotek Kota Gorontalo tahun 2014, dengan data sekunder dari lembar resep bulan Januari-Maret 2014 yang diperoleh dari 8 apotek yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian, aspek kelengkapan resep meliputi resep yang lengkap sebanyak 61,61 % dan resep yang tidak lengkap sebanyak 38,69 %. Aspek legalitas resep obat psikotropika masih kurang karena sebanyak 1,44 % resep yang tidak mencantumkan nama dokter dan resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebagai keabsahan resep sebanyak 75,56, serta resep yang tidak mencantumkan SIP dokter sebesar 78,20 %. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan adalah alprazolam (golongan benzodiazepine) dengan persentase 49,14 %. Dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya 28,65 % sedangkan dosis obat yang tidak jelas persentasenya 71,35 %. Kata Kunci
: Kajian Peresepan, Obat Psikotropika
Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi pasien melalui pelayanan resep. Resep merupakan perwujudan akhir kompetensi dokter dalam medical care (Jas, 2007:1). Resep juga salah satu sarana interaksi antara dokter dan pasien (Akoria, Ambrose, 2008:295).Menurut Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993 resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan apoteker pendamping/ apoteker pengganti atau asisten apoteker kepala di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (Rahmawati, Oetari, 2002:87). Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara prescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat, tindakan, dan *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
perawatan selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (Cohen, 2000:1-8). Menurut jurnal internasional oleh Nair dan Srivastava (2012:72) 60 % kesalahan dalam peresepan psikotropika disebabkan oleh tulisan tangan dokter yang tidak dapat dimengerti, selain itu terdapat aspek kelengkapan resep yang tidak dicantumkan seperti alamat dan umur pasien. Masalah lain yaitu terkait dengan jumlah dan dosis obat psikotropika. Buruknya, hal ini sangat merugikan pasien bahkan menyebabkan kematian. Penelitian oleh Mamarimbing dkk tahun 2012 tentang evaluasi kelengkapan administratif resep dari dokter spesialis anak pada tiga apotek di kota Manado terdapat 88,63% tidak mencantumkan kelengkapan Surat Ijin Praktek (SIP) dokter, 46,3% resep tidak mencantumkan alamat pasien, 1,6% resep tidak mencantumkan tanggal penulisan resep, 72,5% resep tidak mencantumkan berat badan, dan 21,7% yang tidak mencantumkan umur pasien. Aspek ketelitian dan ketepatan merupakan aspek yang harus sangat diperhatikan dalam meresepkan obat psikotropika. Hal ini disebabkan dalam meresepkan obat psikotropika, dokter harus bertanggung jawab atas efek samping dan yang bisa terjadi kepada pasien karena jenis obat psikotropika yang diresepkan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang Kajian peresepan psikotoropika di Apotek Kota Gorontalo tahun 2014. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana pengambilan pengamatan dilakukan secara sekaligus tanpa ada pengulangan. Data yang didapatkan berupa data retrospektif untuk mengetahui peresepan obat psikoropika di Apotek Kota Gorontalo tahun 2014 ditinjau dari segi kelengkapan dan legalitas resep, jenis obat yang diresepkan dan dosis obat. Pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan dalam peresepan meliputi kelengkapan dan legalitas resep tersebut. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menggambarkan persentasi kelengkapan resep, jenis obat yang paling banyak diresepkan dan dosis obat. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian ini telah di laksanakan di 8 Apotek yang ada di Kota Gorontalo dari tanggal 8 Mei-25 Mei 2014. Variabel Penelitian Variabel penelitian ini berupa variabel tunggal yaitu berupa kajian peresepan obat psikotropika yang meliputi aspek kelengkapan resep, aspek legalitas, jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan dan dosis obat psikotropika Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini yaitu total seluruh apotek di Kota Gorontalo yaitu 60 apotek. Sampel dalam penelitian ini yaitu 8 Apotek yang dipilih dari 61 dengan indikator berdasarkan survey awal peneliti bahawa . Dari 8 Apotek ini diambil resep yang terdapat obat psikotropika yang merupakan resep dari bulan Januari-Maret 2014. *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Pemilihan apotek berdasarkan teknik purposive sampling, dari 60 apotek di Kota Gorontalo dipilih 8 apotek berdasarkan pertimbangan tertentu stelah peneliti melakukan survey awal yaitu apotek tersebut merupakan apotek yang ramai, apotek yang banyak meresepkan obat psikotropika, apotek yang memiliki tempat praktek dokter. Untuk pengambilan sampel resep dilakukan secara retrospektif yaitu resep obat psikotropika dari bulan Januari- Maret 2014. Instrument Penelitian Penelitian ini menggunakan instrument berupa tabel data hasil kajian peresepan psikotropika di apotek Kota Gorontalo yang meliputi kelengkapan dan legalitas resep, jenis obat dan dosis obat. Kemudian data tersebut dihitung persentasenya. Selain itu untuk mengetahui tingkat legalitas dan keaslian resep maka dilakukan wawancara terhadap dokter, apoteker pengelola apotek dan asisten apoteker untuk mendukung data penelitian. Kemudian hasil wawancara akan ditampilkan dalam bentuk daftar wawancara. Definisi Operasional Variabel 1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian di Kota Gorontalo yang merupakan tempat bagi pasien untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter 2. Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien 3. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku 4. Kajian peresepan adalah melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap resep yang meliputi aspek kelengkapan resep dan legalitas resep, jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan dan dosis obat psikotropika. 5. Kelengkapan resep adalah aspek-aspek yang dapat menunjukan bahwa resep itu sudah lengkap dan sudah legal yang meliputi Keaslian identitas penulis resep/ prescriber (apakah dokter umum, dokter spesialis, bidan atau perawat (nama, alamat, nomor hp, nomor izin praktek); tanggal penulisan resep; tanda R/ untuk setiap penulisan resep; nama obat, komposisi serta aturan pakainya; tanda tangan atau paraf dokter sebagai keabsahan atau legalitas resep; keaslian identitas penerima resep (nama, alamat, umur, berat badan); tanda seru untuk resep yang melebihi dosis maksimum; tanda garis bawah dengan tinta biru jika resep mengandung psikotropika. Alat Ukur : Surat Keputusan Menkes Nomor 1027/menkes/sk/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang memuat tentang prosedur tetap skrining kelengkapan resep dan Literatur berupa buku Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi 6. Aspek legalitas adalah keaslian dari resep tersebut yang meliputi keaslian identitas dari pemberi resep dokter) yang dibuktikan dengan paraf asli dari dokter pemberi resep obat psikotropika.
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Alat Ukur : form resep asli yang diminta langsung oleh peneliti dari dokter dan ditandatangani sendiri oleh dokter tersebut dibandingkan dengan resep yang diperoleh dari apotek. Selain itu dilakukan wawancara kepada dokter dan apoteker untuk mengetahui keaslian resep dan kejelasan identitas pemberi resep (dokter). 7. Jenis obat adalah jenis obat psikotropika yang diresepkan oleh dokter apakah psikotropika golongan I, II, III ataupun psikotropika golongan IV. Alat Ukur : Literatur berupa buku Farmakologi dan Terapi, ISO Fater dan ISO 8. Dosis obat adalah dosis obat psikotropika dalam resep tersebut apakah dosis tersebut tepat, dosis kurang ataupun dosis berlebih. Alat Ukur : Literatur berupa buku Farmasetika dan Hitungan Farmasi yan memuat tentang dosis obat, buku informasi spesialis obat sebagai pedoman pemberian dosis obat. Teknik Pengolahan data dan Analisis Data Setelah data diperoleh maka data diolah dan dianalisis dengan cara analisis univariat dimana peneliti menganalisis data tentang kelengkapan resep, aspek legalitas resep, jenis obat psikotropika dan dosis obat dengan cara menghitung persentase dari masing-masing aspek tersebut kemudian hasil persentase ini disajikan dalam bentuk grafik HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil rekapan jumlah seluruh resep obat psikotropika di 8 Apotek di Kota Gorontalo dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Rekapan Jumlah Resep Obat psikotropika dari bulan JanuariMaret 2014 di 10 Apotek Kota Gorontalo Jumlah resep dalam Bulan (dalam tahun 2014) No Apotek Januari Februari Maret 1 Apotek A 585 506 485 2 Apotek B 218 184 12 3 Apotek C 132 107 109 4 Apotek D 108 80 70 5 Apotek E 37 58 25 6 Apotek F 7 30 17 7 Apotek G 40 36 37 8 Apotek H 12 17 6 Jumlah 1139 1018 761 Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Dari tabel 4.1 dipertoleh bahwa resep obat psikotropika yang paling banyak terdapat di Apotek A dan resep obat psikotropika yang paling sedikit yaitu di apotek H. Jumlah rekapan seluruh resep obat psikotropika dari bulan JanuariMaret 2014 di 8 Apotek di Kota Gorontalo kemudian dapat ditampilkan pada grafik dibawah ini :
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Jumlah 700
Bulan Januari 2014 Bulan Februari 2014 Bulan Maret 2014
600 500 400
Keterangan : 1. Apotek A 2. Apotek B 3. Apotek C 4. Apotek D 5. Apotek E 6. Apotek F 7. Apotek G 8. Apotek H
300 200 100 0 1
2
3
4
5
Apotek
6
7
8
Gambar 4.1 Grafik Jumlah Resep Obat Psikotropika Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah persentase obat psikotropika dari bulan januari hingga maret 2014. Data rekapan seluruh aspek kelengkapan resep psikotropika yang ada di 8 Apotek di Kota Gorontalo dari bulan Januari- Maret 2014 kemudian dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini : Tabel 4.2 Total Rekapan kelengkapan resep di 8 apotek Aspek Kelengkaan Resep No Apotek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Apotek 1 - 1576 11 - 1565 736 - - 1576 1576 2 Apotek 2 - - 398 414 - 3 Apotek 3 23 348 251 - 348 348 - 304 348 4 Apotek 4 9 - 9 258 - 5 Apotek 5 9 120 - - 120 120 - 62 120 6 Apotek 6 54 - - 54 54 - 54 54 7 Apotek 7 - - 113 113 - 113 113 8 Apotek 8 - - 35 35 - 35 35 Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Keterangan : 1 : Resep yang tidak mencantumkan nama dokter 2 : Resep yang tidak mencantumkan alamat dokter 3 : Resep yang tidak mencantumkan SIP dokter’ *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
4 : Resep yang tidak mencantumkan tanggal resep 5 : Resep yang tidak mencantumkan nama pasien 6 : Resep yang tidak mencantumkan alamat pasien 7 : Resep yang tidak mencantumkan umur pasien 8 : Resep yang tidak mencantumkan jenis obat 9 : Resep yang tidak mencantumkan jumlah obat 10 : Resep yang tidak mencantumkan aturan pakai 11 : Resep yang tidak mencantumkan paraf dokter 12 : Resep yang tidak mencantumkan tanda garis bawah berwarna biru Tabel 4.3 menunjukan bahwa tidak ada apotek yang memenuhi semua aspek kelengkapan resep. Apotek 3 merupakan apotek yang paling tinggi kelengkapan resepnya karena hanya memiliki 2 aspek ketidak lengkapan resep yaitu tidak mencantumkan alamat dan umur pasien. Tabel 4.3 Persentase Kelengkapan Resep Pengelompokkan Jumlah Resep Persentase kelengkapan resep No Ada Tidak Ada Tidak psikotropika Ada Ada 1 Nama dokter 2876 32 98,56 % 1,44 % 2 Alamat Dokter 2918 100 % 0% 3 SIP dokter 636 2282 21,80 % 78,20 % 4 Tanggal Resep 2656 262 91,02 % 8,98 % 5 Nama Pasien 2918 100 % 0% 6 Alamat Pasien 276 2642 9,46 % 90,54 % 7 Umur Pasien 836 2082 28,65 % 71,35 % 8 Berat Badan Pasien 0% 100 % 9 Jenis Obat 2918 100 % 0% 10 Jumlah Obat 2918 100 % 0% 11 Aturan pakai 2918 100 % 0% 12 Paraf dokter 716 2202 24,54 % 75,46 % 13 Garis bawah 785 2133 26,90 % 73,10 % berwarna biru Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa aspek jenis obat, jumlah obat dan aturan pakai memiliki persentase kelengkapan resep yang paling tinggi yaitu 100 %, sedangkan berat badan pasien memiliki persentase kelengkapan resep yang paling rendah yaitu 0 %. Persentase Tingkat kelengkapan setiap resep selanjutnya dapat ditampilkan pada grafik berikut ini :
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Persentase 120,00%
Persentase Aspek Kelengkapan Resep
100,00% 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Aspek Kelengkapan Resep
Keterangan: 1. Nama Dokter 2. Alamat Dokter 3. SIP Dokter 4. Tanggal Resep 5. Nama Pasien 6. Alamat Pasien 7. Umur Pasien 8. Berat badan Pasien 9. Jenis Obat 10. Jumlah Obat 11. Aturan pakai 12. Paraf Dokter 13. Garis Bawah Berwarna Biru
Gambar 4.2 Grafik Persentase Aspek Kelengkapan Resep Data rekapan total aspek kelengkapan di 8 Apotek dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini : Tabel 4.4 Persentase jenis obat yang paling banyak diresepkan No Jenis Obat psikotropika Jumlah Persentase 1 Zypras 1128 35,02 % 2 Alprazolam 0,5 mg 369 11,46 % 3 Analsik 589 18,29 % 4 Alprazolam 1 mg 3 0,09 % 5 Esilgan 252 7,82 % 6 Valisanbe 5 mg 233 7,23 % 7 Zolastin 31 0,96 % 8 Triheksilfenidil 102 3,17 % 9 Halloperidol 112 3,48 % 10 Proneurron 41 1,27 % 11 Xanax 52 1,61 % 12 Braxidin 156 4,84 % 13 Carbamzepin 18 0,56 % 14. Chlorpromazin 33 1,02 % 15 Sanmag 67 2,08 % 16 Diazepam 11 0,34 % 17 Proclozam 4 0,12 % 18 Clobazam 1 0,03 % 19 Luminal 2 0,06 % 20 Amitripillin 15 0,47 % 21 Stesolid Rectal 2 0,06 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa obat psikotropika yang paling banyak diresepkan yaitu zypras dengan persentase 35,02 %, sedangkan obat psikotropika yang paling sedikit diresepkan yaitu luminal dan stesolid rectal dengan persentase 0,06 %. *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Persentase jenis obat yang paling banyak diresepkan dapat ditampilkan dalam grafik berikut ini : Persentase 40,00%
Persentase jenis obat psikotropika yang diresepkan
35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00%
KETERANGAN A. Zypras B. Alprazolam 0,5 mg C. Analsik D. Alprazolam 1 mg E. Esilgan F.Valisanbe 5 mg G.Zolastin H. Triheksifenidil I. Halloperidol J. Proneuron K. Xanax L. Braxidin M. Carbamazepim N. Chlorpromazin O. Sanmag P. Diazepam Q. Proclozam R. Clobazam S. Luminal T. Amitriptilin U. Stesolid Rectal
A B C B D E F G H I J K L MN O P Q R S T U Nama Obat
Gambar 4.3 Grafik persentase jenis obat psikotropika yang diresepkan Jenis obat psikotropika yang diresepkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.5 Psikotropika sediaan Tunggal No Sediaan Tunggal Psikotropika Jumlah Persentase 1 Zypras 1128 35,02 % 2 Alprazolam 0,5 mg 369 11,46 % 3 Alprazolam 1 mg 3 0,09 % 4 Zolastin 31 0,96 % 5 Xanax 52 1,61 % 6 Esilgan 252 7,82 % 7 Diazepam 11 0,34 % 8 Valisanbe 5 mg 233 7,23 % 9 Triheksifenidil 102 3,17 % 10 Halloperidol 112 3,48 % 11 Amitriptilin 15 0,47 % 12 Proclozam 4 0,12 % 13 Clobazam 1 0,03 % 14 Chlorpromazin 33 1,02 % 15 Carbamazepin 18 0,56 % 16 Luminal 2 0,06 % 17 Stesolid Rectal 2 0,06 % Total 2368 73,52 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Tabel 4.6 Psikotropika Sediaan Ganda No Sediaan Ganda Psikotropika 1 Analsik 2 Braxidin 3 Sanmag 4 Proneuron Total
Jumlah 589 156 67 41 853
Persentase 18,29 % 4,84 % 2,08 % 1,27 % 26,48 %
Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Perbandingan jumlah persentase psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Persentase 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
Persentase Psikotropika Sediaan Tunggal dan Psikotropika Sediaan Ganda
Keterangan : A = Psikotropika Sediaan tungggal B = Psikotropika Sediaan Ganda A
B Jenis Psikotropika
Gambar 4.4 Grafik persentase psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda Untuk pemeriksaan dosis obat psikotropika dapat digambarkan pada tabel dibawah ini : Tabel 4.7 Dosis dalam persepan obat psikotropika No 1 2
Kategori Dosis Dosis Tepat Dosis Tidak Jelas Total
Jumlah 836 2082 2918
Presentase 28,65 % 71,35 % 100 %
Sumber : data sekunder yang diolah, 2014
Dari tabel 4.7 diperoleh bahwa dosis tepat memiliki persentase 28,65 % sedangkan dosis tidak jelas memiliki persentase 71,35 %. Dikatakan dosis tidak jelas, karena dosis tidak dapat dihitung dengan rumus perhitungan dosis menurut umur karena resep sejumlah 2082 tidak mencantumkan umur pasien. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian dalam pemeriksaan kelengkapan resep obat psikotropika, banyak resep yang tidak memenuhi syarat kelengkapan resep dokter. Berdasarkan data penelitian didapatkan bahwa resep yang tidak mencantumkan nama dokter yaitu sebanyak 1,44 %, resep yang tidak mencantumkan SIP Dokter dan tanggal resep masing-masing sebanyak 78,20 % dan 8,98 %, resep yang tidak mencantumkan alamat pasien dan umur pasien masing-masing sebanyak 90,54 % dan 71,35 %. Resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebanyak 75,46 % *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
dan resep yang tidak diberi garis bawah berwarna biru sebagai tanda obat psikotropika sebanyak 73,10 % (dapat dilihat pada tabel 4.3) . Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mamarimbing dan Bodhi pada tahun 2012 bahwa resep yang tidak lengkap mengalami peningkatan. Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa tidak ada apotek yang mencantumkan seluruh aspek kelengkapan resep. Apotek 3 merupakan apotek yang paling tinggi kelengkapan resepnya karena tidak mencantumkan 2 aspek saja yaitu alamat dan umur pasien. Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh bahwa resep yang tidak mencantumkan umur pasien persentasenya 71,35 %. Umur pasien merupakan salah satu aspek yang harus ditulis dalam resep karena berguna dalam perhitungan dosis obat serta untuk menafsirkan seberapa besar toleransi dan ketergantungan obat psikotropika yang diberikan. Menurut departemen pelayanan kesehatan Arizona (2014:4) pasien dengan umur 50 tahun keatas (lansia) akan lebih banyak mengalami toleransi dan ketergantungan dalam pemberian obat psikotropika. Data tersebut juga menunjukan bahwa persentase resep yang tidak mencantumkan alamat pasien juga sangat tinggi yaitu 90,54 % (tabel 4.3). Menurut Rahmawaty dan Oetari (2002:90) alamat pasien digunakan untuk konsultasi dengan dokter itu sendiri jika pasien ternyata mengalami efek yang tidak dinginkan dari obat yang diberikan, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rivana (2013:37) maka persentase resep yang tidak mencantumkan alamat pasien meningkat dari 86,47 % menjadi 90,54 %. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Srivastava (2012:72) resep yang tidak memenuhi syarat kelengkapan resep menimbulkan potensi kesalahan dalam pengobatan yang dapat merugikan pasien bahkan dapat menyebabkan kematian. Aspek kedua yang diteliti oleh peneliti yaitu jenis obat psikotropika yang diresepkan. Pada tabel 4.4 menunjukan obat alprazolam (golongan benzodiazepin) memiliki persentase yang paling tinggi sebesar 49,14 % dengan rincian zypras (alprazolam) 35,02 %, alprazolam 0,5 mg 11,46 %, xanax (alprazolam) 1,61 %, zolastin (alprazolam) 0,96 % dan alprazolam 1 mg (0,09 %). Pada grafik 4.4 menunjukan persentase psikotropika sediaan tunggal 73,52 %, sedangkan persentase psikotropika sediaan ganda hanya 26,48 %. Penelitian yang sama dilakukan oleh Leo dkk (2004:1) menyebutkan bahwa persentase obat psikotropika yang paling banyak diresepkan yaitu golongan benzodiazepine sebesar 21 %. Menurut Ganiswara (2007:169) alprazolam merupakan obat psikotropika golongan benzodiazepin dengan daya sedatif yang digunakan untuk mengatasi gejala yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, takut dan terkadang panik akan suatu bencana yang mengancam dan tidak terelakkan yang dapat atau tidak berhubungan dengan rangsang eksternal. Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa ada resep dengan permintaan obat alprazolam sebanyak 10 tablet tetapi hanya dalam waktu 2 hari saja pasien kembali menebus obat tersebut, dan diketahui bahwa ada dokter yang meresepkan alprazolam sebanyak 100 tablet. Hal ini tidak diperbolehkan karena menurut Ganiswara (2007:145) penggunaan benzodiazepin dengan jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gejala putus obat yang akan menyebabkan pasien sangat tidak nyaman. Berdasarkan wawancara dari dokter yang memberikan resep psikotropika, pemberian obat dalam jumlah yang *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
banyak itu untuk pengobatan yang lama (selama 1 bulan), jika dihitung secara matematis alprazolam yang diberikan sebanyak 100 tablet dengan aturan pakai dosis tunggal berarti obat tersebut habis selama 100 hari (> 3 minggu) yang dapat menyebabkan ketergantungan. Hal ini diungkapkan oleh Ganiswara (2007:170) golongan obat benzodiazepin tidak boleh digunakan lebih dari 3 minggu karena bias menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. Menurut Depkes (2008) dalam jurnal tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien, permintaan obat di resep dalam jumlah yang sangat banyak merupakan bentuk kesalahan dalam peresepan dalam hal improper doses/quantity. Selanjutnya, Depkes (2008) juga menyebutkan bahwa kesalahan dalam peresepan ini merupakan bentuk medication error yang disebabkan oleh apoteker yang tidak teliti dalam melakukan skrinning resep. Apoteker harus terlibat dalam semua aspek peresepan, sehingga kehadiran apoteker di apotek sangat diwajibkan untuk melaksanakan semua pekerjaan kefarmasian. Dalam hal melakukan skrinning resep apoteker tidak boleh melalaikan peraturan, kebijakan dan standarisasi. Apoteker harus melakukan cek list ulang terhadap resep yang diterima. Berdasarkan hasil penelitian terhadap resep di apotek, ditemukan obat triheksifenidil yang diresepkan dalam jumlah yang banyak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2011) menyebutkan bahwa triheksifenidil digunakan untuk mengobati penyakit parkinson, namun dijelaskan bahwa penggunaan triheksifenidil dalam jumlah yang banyak dan secara rutin tidak disarankan karena dapat menyebabkan kebutaan akibat komplikasi glaukoma. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap resep obat psikotropika di apotek juga menunjukkan peresepan jumlah obat yang banyak pada haloperidol, chlorpromazin. Dokter seringkali meresepkan kedua obat tersebut sebanyak 100 tablet. Menurut Ganiswara (2007:163) kedua obat tersebut termasuk dalam obat psikotropika golongan antipsikosis tipikal yang jika digunakan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal, sikap acuh tak acuh dan toleransi terhadap efek sedasi. Aspek dosis obat psikotropika dihitung dengan rumus dosis dewasa yaitu n+1/24 x dosis maksimum, dimana n merupakan umur pasien atau biasa menggunakan petunjuk dosis lazim maupun dosis maksimum yang tecantum dalam farmakope Indonesia. Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa dosis obat psikotropika sudah tepat sebanyak 836 resep dengan persentase 28,65 %, sedangkan dosis tidak jelas meiliki persentase 71,35 %. Dosis tidak jelas ini disebabkan oleh dosis yang tidak dapat dihitung karena di resep tidak dicantumkan umur pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Srivatava (2012:75) bahwa dosis yang tidak tepat (wrong dose) sebanyak 30 % sedangkan dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya mencapai 70 %. Jadi, jika dibandingkan dengan penelitian ini, maka terdapat penurunan ketepatan dosis obat psikotropika dari 70 % menjadi 28,65 %. Dari hasil pengamatan peneliti terhadap resep yang ada di apotek diketahui bahwa ada pasien yang menebus obat psikotropika dalam jumlah yang banyak, namun, pasien tersebut kembali menebus obat hanya dalam waktu yang berjarak 2 hari saja. Hal ini menujukan pasien tersebut cenderung ingin meningkatkan dosis. Menurut Ganiswara (2007:145) pasien yang ingin meningkatkan dosis obat psikotropika harus dengan konsultasi *Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
dokter. Peningkatan dosis obat menjadi lebih tinggi menyebabkan pasien akan mengalami gejala putus obat dan ketergantungan yang berat. Menurut Ganiswara (2007:145) penghentian penggunaan obat dan penurunan dosis obat alprazolam harus secara bertahap, jika dihentikan secara tiba-tiba maka penyakit yang akan diobati pada mulanya semakin bertambah parah. Pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan obat psikotropika lainnya akan cenderung menyalahgunakan pemakaian obat psikotropika. Aspek terakhir yaitu aspek legalitas dari resep obat psikotropika tersebut. Dari data diatas ada 32 resep (1,44 %) yang tidak mencantumkan nama dokter dan hanya kepala resepnya ditulis dari rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, Oetari (2002:89) resep yang tidak mencantumkan nama dokter sebanyak 0,2 % dan resep yang ditulis oleh bidan, tenaga medis lainnya sebesar 0,4 %. Berdasarkan hal itu jelas aspek legalitas dari resep tersebut masih diragukan. Hal ini merupakan kesalahan dalam persepan yang diakibatkan oleh kelalaian apoteker dalam melakukan pemeriksaan resep, karena menurut Permenkes No.26/Menkes/Per/1/1/1984 bahwa resep itu merupakan permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker untuk membuatkan obat. Dan menyerahkannya kepada pasien Jadi, apoteker harus mengecek dan mengapprov segala sesuatu dalam resep termasuk aspek legalitas resep tersebut. Depkes (2008) menegaskan bahwa apoteker berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication errors yang disebabkan oleh kesalahan dalam peresepan obat. Selanjutnya Depkes (2008) menjelaskan bahwa aspek legalitas resep yang kurang merupakan wujud nyata prescribing error yang disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melakukan skrinning resep secara menyeluruh berdasarkan SOP, apoteker selalu berinterpretasi yang menyebabkan kekeliruan dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian utamanya dalam pelayanan resep. Menurut WHO yang berhak menulis resep hanya dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Berdasarkan data penelitian resep yang tidak mencantumkan paraf dokter dan SIP dokter juga persentasenya sangat tinggi yaitu 75,46 % dan 78,20 % (Tabel 4.3). Menurut Jas (2007:7) paraf dokter merupakan aspek keabsahan dan legalitas dari dokter. Penelitian yang dilakukan Rahmawati, Oetari (2002:90) menyebutkan Pencantuman nama prescriber dan paraf prescriber dengan jelas dan lengkap sangat diperlukan, terutama bila terdapat hal-hal yang tidak jelas/meragukan dalam resep yang perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada penulis resep, menghindarkan penyalahgunaan resep dilingkungan masyarakat serta memperlancar pelayanan bagi pasien di apotek, sedangkan penulisan SIP (Surat Izin Praktek) dokter dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan pasien, bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai hak dan dilindungi undang-undang dalam memberikan pengobatan bagi pasiennya. Berdasarkan hasil penelitian resep obat psikotropika di apotek Kota Gorontalo umumnya ditulis oleh dokter spesialis penyakit dalam, dokter ahli syaraf, bahkan dokter umum seringkali meresepkan obat psikotropika. Hal ini menunjukan bahwa ada ketidaksesuaian dengan kaidah peresepan obat psikotropika, seperti yang ditegaskan oleh departemen pelayanan kesehatan Arizona (2010:3) bahwa yang berhak menulis resep obat psikotropika adalah psikiatri maupun dokter spesialis kejiwaan.
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Aspek kelengkapan resep meliputi resep yang lengkap sebanyak 61,61% dan resep yang tidak lengkap sebanyak 38,69 %. 2. Aspek legalitas resep obat psikotropika masih kurang karena sebanyak 1,44 % resep yang tidak mencantumkan nama dokter dan resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebagai keabsahan resep sebanyak 75,46 %, serta resep yang tidak mencantumkan SIP Dokter sebesar 78,20 % 3. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan adalah alprazolam (golongan benzodiazepin) dengan persentase 49.14 %. 4. Dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya 28,65 %, sedangkan dosis obat tidak jelas persentasenya 71,35 %. SARAN 1.Bagi dokter : diharapkan dalam meresepkan obat psikotropika harus memeprhatikan aspek kelengkapan resep, sehingga tidak akan terjadi kesalahan dalam pengobatan. 2.Bagi farmasis : diharapkan untuk lebih teliti dalam melakukan skrinning resep, pastikan bahwa resep tersebut berasal dari dokter yang tepat dan untuk pasien yang tepat. Jika ada resep yang obatnya sudah melewati dosis diharapkan agar apoteker lebih berani menjelaskan ke dokter agar dikurangi untuk mencegah ketergantungan. 3.Bagi pemerintah : diharapkan agar lebih meningkatkan pengawasan atas regulasi peredaran obat psikotropika dengan baik dan tepat serta dapat membuat rancangan undang-undang baru yang memuat kepastian hukum akan peredaran dan peresepan obat psikotropika yang baik dan benar. Pemerintah diharapkan agar lebih memperketat inspeksi pengawasan terhadap pelaporan psikotropika di tiap apotek untuk mencantumkan identitas dokter dan pasien secara jelas. 4.Bagi peneliti selanjutnya : diharapkan dapat dilakukan penelitian untuk peresepan obat psikotropika dengan ketentuan : a. Jumlah apotek tidak dibatasi b. Meliputi seluruh aspek peresepan dari skrinning resep sampai obat diserahkan pada pasien c. Data dikumpulkan secara retrospektif dan prospektif DAFTAR PUSTAKA Akoria, O. A. & Ambrose O. I., 2008. Prescription Writing in Public and Private Hospitals in Benin City, Nigeria : The Effect of an Educational Intervension. Can J Clin Pharmacol Vol 15 (2) Summer 2008; e295 Cohen, M. 2000. “Medication Error”. Pharmacetuical Association. Jones and Bartlett Publisher. American.
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Departemen Pelayanan Kesehatan Arizona, 2014. Psychotropic Medication: Prescribing and Monitoring. Arizona Department of Health Services Division of Behavioral Health Services. USA. Depkes. 2008. “Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit”. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes. 2008. “Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (SK Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004”. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ganiswara, S. 2007. “Farmakologi dan Terapi”. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Jas, A., 2007. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Ed. 1. Universitas Sumatera Utara Press. Medan. Leo, Stella, Spagnoli. 2004. Prescription of Psychotropic Drugs in Geriatric institutions. International Journal of Geriatric Psychiatry. Access on 13 Oct 2004. Mamarimbing, M., Bodhi, W. 2012. Evaluasi Kelengkapan Administratif Resep dari Dokter Spesialis Anak Pada Tiga Apotek di Kota Manado. http://ejournal. unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/ artide/download/485/378.[diakses 10 Maret 2013].
Nair, Srivastava. 2012. “Prescription Error in Psychiatry”. International Journal of Medical Update. Departmen of Psychiatry, Institute of Medical Science. India. 8(2): 70- 78 Rahmawati, Oetari. 2002. Kajian penulisan resep: Tinjauan aspek legalitas dan kelengkapan resep Di apotek-apotek kotamadya Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta Rivana, M. 2013. Analisis Kelengkapan Resep Obat Psikotropika dan Narkotika di Apotek Era Sehat Kota Gorontalo. Jurnal Penelitian. Gorontalo. Yulia, M. 2011. Efek samping penggunaan antispikotik terhadap sindrom parkinson pada pasien Schizophrenia di rsj. Prof. Hb. Sa’anin padang. Jurnal Penelitian. Padang
*Abdussalam Moo, 821412132, **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.