*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Toksisitas Akut LD50 Sari Umbi Gadung (Dioscorea Hispida Dennst.) Pada Mencit Jantan (Mus Musculus) Acute Toxicity LD50 of Yam Tuber (Dioscorea hispida Dennst) Juice on Male Mice (Mus musculus) Tutut H. Posangi1, Widysusanti Abdulkadir2, Robert Tungadi3 1) Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG 2,3) Dosen Jurusan Farmasi, FIKK, UNG Email:
[email protected] ABSTRAK Umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst.) mengandung zat kimia racun seperti asam sianida (HCN) dan dioscorin yang dapat menyebabkan kematian bagi yang mengkonsumsinya, namun banyak dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok, dan diolah menjadi keripik pada daerah-daerah tertentu di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas akut (LD50) sari Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) pada mencit Jantan (Mus musculus). Subjek penelitian berupa mencit jantan berjumlah 25 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit yaitu kelompok 1 sebagai kontrol negatif yang hanya diberikan aquadest, kelompok 2 diberi perlakuan sari umbi gadung 10%, kelompok 3 diberi perlakuan sari umbi gadung 20%, kelompok 4 beri perlakuan sari umbi gadung 40% dan kelompok 5 diberi perlakuan sari umbi gadung 80% per oral. Data diolah menggunakan rumus perhitungan LD50 menurut cara Reed and Muench dan Farmakope Indonesia untuk menghitung nilai LD50 sari umbi gadung. Hasil penelitian menunjukkan adanya gejala keracunan pada saraf otot, diare, perilaku, pernafasan serta terjadi kematian pada hewan uji kelompok perlakuan 3, 4, dan 5 setelah pemberian sari umbi gadung. Hasil perhitungan nilai LD50 menurut Reed and Muench dan Farmakope Indonesia sebesar 0,3 g/kgBB termasuk kategori toksik. Kata Kunci : Dioscorea hispida Dinnst., Umbi Gadung, Uji Toksisitas Akut, LD50.
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
PENDAHULUAN Di Indonesia, tanaman gadung dikenal dengan banyak nama daerah, diantaranya adalah sekapa, bitule, bati, dan kasimun. Sosok tanaman gadung terdiri atas batang, daun, umbi, bunga, dan buah. Tanaman gadung merupakan tumbuhan perdu yang hidup merambat pada tanaman lain atau menjalar di atas permukaan tanah. Batang tanaman gadung berbentuk bulat dan berbulu serta berduri yang tersebar di sepanjang batang dan tangai daun. Daun tersusun majemuk yang terdiri 3 helai anak daun. Letak daun berselang seling dengan permukaan bawah daun berbuluh (Rukmana, 2001: 11). Beberapa daearah di Indonesia memanfaatkan umbi gadung sebagai pengganti makanan pokok. Seperti di Flores Barat yang makanan utama mereka adalah sagu, mereka juga memanfaatkan umbi gadung sebagai pengganti makanan pokok sagu jika mereka dilanda bencana kelaparan (Dadu, 1997: 13). Tidak hanya itu, di Nusa Tenggara dan Maluku juga memanfaatkan umbi gadung sebagai pengganti sagu dan jagung pada saat paceklik (sulit pangan) terutama pada daerah kering. Sedangkan di tanah Jawa, umbi gadung diolah menjadi makanan khas yaitu kripik gadung dan sudah menjadi usaha industri rumah tangga pedesaan (Rukmana, 2001: 9). Umbi gadung ini juga dimanfaatkan sebagai pestisida nabati yang yang efektif untuk mengendalikan ulat dan hama pengisap (Sudarmo, 2005: 21). Selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok, kripik, dan pestisida nabati, umbi gadung juga berkhasiat obat pada penyakit kencing manis, nyeri haid, kusta, dan rematik, karena didalam umbi gadung mangandung senyawa-senyawa yang bermanfaat (Hariana, 2007: 113). Akan tetapi penggunaan umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst.) sebagai makanan ataupun pengobatan secara berlebihan dan pengolahan yang tidak benar, dapat menyebabkan pusing, muntah-muntah, kejang, dan keadaan yang lebih parah lagi (Rukmana, 2001: 9). Kandungan racun pada umbi gadung berupa senyawa glikosida sianogenik, alkaloid dioscorin dan dehydrodioscorin, dan senyawa pahit yang terdiri dari saponin dan sapogenin (Webster et al.,1984 dalam Syafi’I dkk, 2009). Untuk keamanan pemanfaatan umbi gadung sebagai makanan pokok maupun kerupuk, maka diperlukan uji toksisitas. Uji toksisitas terbagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Namun pada penelitian ini hanya terbatas pada uji toksisitas akut. LD50 obat didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan. Percobaan ini dapat menunjukan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Harmita dkk, 2008: 43). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek toksisitas akut sari umbi gadung pada mencit dengan perhitungan statistik cara Reed and Muench dan
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Farmakope Indonesia serta mengamati gejala-gejala yang ditimbulkan pada mencit dalam 24 jam pertama. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014 di Laboratorium Farmakologi Toksikologi jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan (FIKK), Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium. Hewan Uji. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mencit jantan (Mus musculus). Bahan Uji. Bahan yang digunakan adalah Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst), Alkohol 70%, Aquadest, Sari umbi gadung, Kapas, Kain penyaring, Mencit (Mus Musculus), Tissue. Alat Uji. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia (Pyrex), gelas ukur 10 ml, 100 ml (Pyrex), Kandang mencit, pipet, Timbangan digital (Precisa*), Timbangan Hewan (Ohaus®), Sonde oral, Parutan untuk membuat sari umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst.) Pengambilan Sampel. yang diperoleh dari provinsi Sulawesi Utara, Kab. BolaangMongondow Utara, Kec. Sangkub, Desa Sangkub I pada bulan Mei 2014 pukul 08.45 WITA.
Pengolahan Umbi Gadung. Pengolahan umbi gadung dimulai dengan memilih umbi gadung yang baik, yang tidak busuk karena ulat, setelah itu dicuci umbi gadung dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah yang masih menempel. Umbi yang telah dicuci kemuadian diparut. Pembuatan Sari Umbi Gadung. Umbi gadung yang telah diparut, ditimbang 10 g, 20 g, 40 g, dan 80 g masing-masing dicukupkan dengan 100 ml air, kemuadian di saring. Sari umbi gadung yang telah jadi, dimasukkan masing-masing dalam botol kaca yang bersih dan kering. Pembuatan Sediaan Uji. Sediaan uji sari umbi gadung yang dibuat dengan konsentrasi 10%, 20%, 40% dan 80% diambil masing-masing sesuai dosis pemberian berat badan mencit. Penyiapan Hewan Uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus Musculus) berjumlah 25 ekor yang berumur 2-3 bulan, dan telah diadaptasikan dengan kandang baru dalam laboratorium farmakologi. Mencit diberi makan jagung giling dan diberi minum air selama pemeliharaan. Setiap hewan uji ditimbang masing-masing berat, dan dipuasakan makan selama 4 jam dan tetap diberikan air sebelum perlakuan dilaksanakan. Perlakuan Hewan Uji. Pada perlakuan hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok dilakukan dengan cara randomisasi, diamana kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan aquadest, dan kelompok 2-5 merupakan kelompok perlakuan yang diberikan sari umbi gadung masing-masing konsentrasi
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
10%, 20%, 40%, dan 80% melalui oral. Setiap hewan diberikan bahan uji 1 dengan alat suntik yang dilengkapi dengan sonde yang berujung tumpul dan berbentuk bola. Sonde dimasukkan ke dalam mulut perlahan-lahan melalui langitlangit ke belakang esofagus. Pengamatan dilakukan selama 24 jam setelah pemberian sari umbi gadung, dalam setiap 5 menit diperhatikan perubahan perilaku yang terjadi pada hewan uji dari pemberian sari umbi gadung. Data mencit yang mati diambil hingga 24 jam setelah pemberian. Mencit yang bertahan hidup diamati sampai hari ke-14. Analisis Data. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus perhitungan LD50 menurut cara Reed and Muench, dan cara farmakope Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai LD50 dihitung berdasarkan jumlah mencit yang mati setelah pemberian sari umbi gadung. Selain mengamati jumlah kematian mencit, pengamatan dilakukan pada perikau mencit setelah pemberian sari umbi gadung sampai mengalami kematian. Pengamatan kematian hanya dilakukan selama 24 jam. Tabel 1. Gejala toksik yang teramati pada hewan uji Pengamatan Hasil Hubungan dengan Sistem Saraf Saraf Otot Gemetar dan kejang-kejang (+) Depresi sistem saraf pusat Diare Terjadi diare (+) Stimulasi saraf parasimpatis Diuresis Terjadi peningkatan volume urin (+) Stimulasi saraf parasimpatis Perilaku grooming (+) Depresi sistem saraf pusat Pernafasan Terjadi hipernea (+) Depresi sistem saraf pusat Berdasarkan hasil gejala toksik yang diperoleh pada tabel diatas, gejala toksik terlihat dengan adanya perubahan perilaku dan tubuh mencit. Gejala toksik yang timbul setelah pemberian umbi gadung, berhubungan dengan sistem saraf pusat dan saraf parasimpatis. Saraf pusat terjadi depresi sehingga menimbulkan gerakan-gerakan yang tidak terkontrol seperti gemetar, kejang, grooming, dan peningkatan laju pernafasan, sedangkan saraf parasimpatis terjadi stimulasi sehingga mencit mengalami diare dan diuresis. Gejala-gejala yang teramati hanya terjadi pada kelompok perlakuan yang diberikan sari umbi gadung dengan konsentrasi 10%, 20%, 40%, dan 80%. Sedangkan untuk kelompok kontrol negatif tidak terjadi gejala toksik sedikitpun. Semakin besar konsentrasi sari umbi gadung yang diberikan, semakain jelas gejala toksik yang nampak pada mencit.
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Tabel 2. Jumlah kematian hewan uji Kelompok Konsentrasi Dosis (%) (gr)
Jumlah Hewan Tiap Kelompok
Jumlah Hewan yang Mati
Jumlah Hewan yang Hidup
Kematian (%)
I (kontrol negatif)
0
0
5
0
5
0
II
10
0,1
5
0
5
0
III
20
0,2
5
1
4
12,5
IV
40
0,4
5
3
2
57,14
V 80 0,8 5 4 1 88,88 Berdasarkan tabel jumlah kematian mencit, terjadi kematian mencit dengan persentase kematian yang terendah terjadi pada konsentrasi umbi gadung 20% yaitu 12,5%, dan persentase kematian yang tertinggi terjadi pada konsentrasi umbi gadung 80% yaitu 88,88%, semakin besar konsentrasi sari umbi gadung yang diberikan, semakin tinggi persentase kematian mencit. Kematian mencit tidak terjadi pada konsentrasi umbi gadung 10% dan kontrol negatif yang hanya diberikan aquadest. Nilai LD50 sari umbi gadung dihitung menggunakan rumus statistik Reed and muench, dan Farmakope Indonesia. Hasil nilai LD50 dari kedua cara perhitungan statistik menghasilkan nilai LD50 yang sama yaitu 0,3 g/kgBB, yang termasuk dalam kategori toksik, karena termasuk dalam kisaran 0,05-0,5 g/grBB. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa sari umbi gadung memiliki kisaran LD50 menurut Reed and Muench dan Farmakope Indonesia sebesar 0,3 g/kgBB dan dikategorikan toksik. Selain itu, sari umbi gadung juga menimbulkan gejala toksik seperti reaksi saraf otot, diare, diuresis, perubahan perilaku, serta peningkatan laju pernafasan. SARAN Sebaiknya dilakukan penelitian dengan menggunakan variasi jenis kelamin hewan coba, jumlah hewan coba, serta jenis hewan coba yang lebih besar lagi, serta perlu dilakukan penelitian mengenai efek toksisitas pada umbi gadung olahan.
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Perhitungan LD50 cara Farmakope Indonesia Kelompok
Konsentrasi (%)
Dosis (gr)
Jumlah Hewan Tiap Kelompok
Jumlah Hewan yang Mati
Jumlah Hewan yang Hidup
pi
I (kontrol negatif)
0
0
5
0
5
0
II
10
0,1
5
0
5
0
III
20
0,2
5
1
4
0,2
IV
40
0,4
5
3
2
0,6
V
80
0,8
5
4
1
0,8
Pi = 0,2+0,6+0,8 = 1,6 m = a – b (Σpi – 0,5 ) m = Log LD50 a = Log dosis terendah b = Log beda dosis berurutan Pi = jumlah hewan yang mati yang memerima dosis i dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis i m = Log 0,8 – Log 2 (1,6 – 0,5) = -0,096 – 0,301 (1,1) = -0,096 – 0,3311 = -0,4271 LD50 = 0,3 g/kgBB
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
Perhitungan LD50 cara Reed and Muench Kelompok
Dosis (gr)
Mati
Hidup
Jumlah mati
Jumlah hidup
Total yang mati + hidup
Rasio kematian
% kematian
I (kontrol negatif)
0
0
5
0
17
17
0/17
0
II
0,1
0
5
0
12
12
0/12
0
III
0,2
1
4
1
7
8
1/8
12,5
IV
0,4
3
2
4
3
7
4/7
57,14
V
0,8
4
1
8
1
9
8/9
88,88
Keterangan : Kelompok I = kontrol negatif air suling Kelompok II = konsentrasi 10% Kelompok III = konsentrasi 20% Kelompok IV = konsentrasi 40% Kelompok V = konsentrasi 80% 1. Ukuran jarak proporsi (h) 50%−a h = b−a h=
50%−12,5%
57,14%−12,5%
h = 0,800 2. Log kenaikan dosis (i) i = log K/S i = log 400/200 i = 0,3010 3. Hasil perkalian antara kenaikan dosis dengan ukuran jarak g=hxi g = 0,8400 x 0,3010 g = 0,2528 4. Log dosis S : Log dosis 200 = 2,3010 5. Hasil penambahan antara g dan log S y=g+S y = 0,2528 + 2,3010 y = 2,5538 6. LD50 = anti log y = anti log 2,5538 = 0,3 g/kgBB
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.
DAFTAR PUSTAKA Dadu, I, E. 1997. Adat Istiadat Orang Rembong di Flores Barat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Harmita. Radji, M. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati edisis 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Hariana, A. 2010. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya Rukmana, R. 2001. Aneka Kripik Umbi. Yogyakarta: Kasinus. Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kasinus. Syafi’I, I. Harijono. Martati, E. 2009. Detoksifikasi Umbi Gadung (Dioscorea Hispida Denst) Dengan Pemanasan Dan Pengasaman Pada Pembuatan Tepung. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10, No. 1, Hal. 62-68
*Tutut Hardiyanti Posangi, 821410001, **Dr.Widysusanti Abbdulkadir,M.Si.,Apt, ***Robert Tungadi,S.Si.,MSi.,Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.