Community Livelihoods and Civil Society Organisations in Papua, Indonesia
A SNAPSHOT BY LOCAL NON-GOVERNMENT ORGANISATIONS
Dokumen ini merupakan ringkasan dan interpretasi temuan dari empat kajian terhadap perikehidupan masyarakat dan keberadaan lembaga kemasayrakatan, termasuk kapasitasnya dalam kaitan dengan peningkatan perikehidupan masayrakat. Kajian tersebut dilakukan secara independen, tetapi UNDP memberikan petunjuk pada tahap awal dan telah berusaha memastikan bahwa temuan kajian terwakili secara tepat. Namun demikian, data yang dikumpulkan dan isu-isu yang berkaitan bukan data yang dibuktikan secara pasti dan pandangan yang disampaikan belum tentu menjadi pandangan UNDP.
Ringkasan dokumen Papua, wilayah paling timur di Indonesia, memiliki keanekaragaman dan jumlah suku yang banyak, serta zona geografis dan ekologi yang sangat bervariasi. Wilayah ini termasuk antara yang paling kaya dalam arti pendapatan per orang, namun terdapat banyak penduduk yang belum memperoleh pendidikan formal atau pelayanan kesehatan, dan banyak orang yang dapat dikatakan ‘miskin’ atau ‘belum beruntung’. Pada tahun 2004 pemerintah Republik Indonesia minta agar UNDP menjalankan suatu kajian terhadap berbagai kebutuhan di Papua. Hal ini diharapkan sebagai dasar untuk suatu program bantuan jangka panjang. Bagian penting dari kajian tersebut adalah kajian perikehidupan masyarakat, serta keberadaan maupun kapasitas lembaga-lembaga kemasyarakatan secara umum, dan khususnya berhubungan dengan peningkatan taraf hidup masayarakat. Untuk memperoleh suatu gambaran mengenai keadaan masyarakat dan mengetahui berbagai pandangan dari tingkat masyarakat, empat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah membuat kajian di lima puluh enam kampung di enam belas kabupaten dan antara keempat ekosistem dan agrosistem utama di Papua, yaitu wilayah pantai, pedalaman, rawa dan pegunungan. Kampung-kampung tersebut dipilih secara sengaja supaya hasil kajian terfokus pada kehidupan masyarakat asli Papua, dimana sebagian besar tinggal di kampung, baik yang jauh atau dekat dengan pusat kabupaten maupun propinsi. Dokumen ini merupakan ringkasan akan informasi yang begitu banyak dan begitu kaya sebagaimana terdapat pada laporan keempat LSM itu. Adalah penting agar laporanlaporan tersebut dapat dikaji secara terinci, sebab tidak mudah meringkas sejumlah keterangan dari wilayah dengan beragam sifat ekologi dan budaya seperti terdapat di Papua. Setiap laporan LSM mengandung profil rinci tentang masing-masing kampung dan terdapat pula banyak data dan analisa yang bersifat lebih umum tentang konteks dan fungsi lembaga kemasyarakatan dan situasi umum tingkat kabupaten. Terdapat sejumlah temuan tentang keadaan masyarakat yang kurang-lebih sama di antara keempat laporan LSM, seperti berikut: • Keadaan kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian dibanding dengan keadaan kampung yang dekat atau memiliki akses yang lebih baik ke kota ternyata cukup berbeda, sehingga terlihat suatu pola perbedaan berdasarkan jarak/akses tersebut. Pola perbedaan tersebut nampak di seluruh wilayah yang terkaji oleh keempat LSM. • Sebagian besar masyarakat hidup secara subsisten dan kehidupannya sangat tergantung pada sumberdaya alam di sekitarnya. Dalam hal ini, ‘hidu p secara subsisten’ tidak berarti masyarakat tidak mengenal atau tidak peduli uang. Justru mereka menjadi bagian dari ekonomi pasar dan terkena dampak uang atau “ekonomi lewat transaksi tunai”. Karena dasar kehidupan mereka terutama sumberdaya alam, dikatakan kehidupan “hampir subsisten”. • Pada daerah yang dekat dengan kota atau pusat keramaian, baik kuantitas maupun kualitas sumber daya alam mulai menurun sehingga masyarakat asli di daerah tersebut mengalami tekanan ekonomi maupun sosial-budaya. Pada daerah yang lebih jauh dari kota sumberdaya alam masih lebih bagus kondisinya sehingga penduduk lokal masih relatif mudah dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan dan perumahan) dari kekayaan alam sekitarnya. • Bagi masyarakat yang lebih jauh dari kota SDA alam adalah product andalannya, tetapi untuk akses terhadap capital (dana) sangat terbatas dan masyarakat tergantung kepada sejumlah orang kota yang datang ke kampung
1
•
•
•
•
•
untuk membeli produknya. Dimana terdapat fasilitas seperti jalan raya tersedia tetapi ada konsekwensi biaya transport yang tinggi dan mempengaruhi profit dari usahanya. Potensi sumberdaya alam yang ada di beberapa wilayah tersebut belum dikembangkan dengan cara yang menguntungkan bagi masyarakat setempat. Di Kampung yang dekat kota/pusat keramaian mata pencarian masyarakat bervariasi dan sangat improvisasi dan tidak mutlak bergantung kepada SDA, tetapi dari berbagai pendekatan dengan sector-sektor swasta misalnya sebagai buruh bangunan, buruh pelabuhan, kerja dengan pegusaha di toko, dan juga ada perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga usaha seperti jualan- makanan dan kue. Selain itu banyak juga perempuan yang bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan, seperti kelapa sawit . Di kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian komposisi penduduk bersifat homogen dan kebiasaan adat masih dipertahankan. Lebih dekat ke kota/pusat keramaian, mulai terasa pengaruh dari pihak luar sehingga terjadi perubahan dan pergeseran dalam nilai kehidupan masyarakat, baik cara memandang maupun cara bertindak terhadap suatu isu. Dampak tersebut terasa karena kehadiran migran dan pengusaha termasuk pihak industri ekstraktif dimana dampaknya terasa lebih banyak di kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian tetapi juga di daerah yang lebih terpencil. Adat, termasuk adat-istiadat dan hukum adat, semua sangat penting dalam kehidupan masyarakat asli Papua, namun tingkat pengetahuan dan rasa hormat terhadap adat cenderung menurun. Dampak dari pembangunan telah dipandang oleh masyarakat sebagai ancaman terhadap SDA di ulayat adat mereka, sehingga dibentuk berbagai jenis lembaga adat. Kelembagaan tersebut berkembang dengan pesat, dikira sebuah pola yang tepat untuk mengorganisir kepedulian dan kekhawatiran bersama dari masyarakat adat dan berjuang bersama untuk ada perlakuan yang adil. Secara internal dalam kelembagaan dan masyarakat adat terjadi perkembangan pada SDM karena proses pendidikan formal yang terus menarik pola pikir dan tindakan yang suka atau tidak suka membawa mereka jauh dari kebiasaankebiasaan adat. Dari seluruh kampung di kajian LSM hampir tidak ada yang punya akses terhadap air bersih sepanjang tahun atau penerangan/listrik yang andal. Sebagian besar punya gedung sekolah dan sejenis pos kesehatan (puskesmas atau serupa), namun pada kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian, petugas pendidikan dan kesehatan kurang atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga bangunan yang ada kurang berfungsi. Penduduk kampung dekat kota menggunakan fasilitas pendidikan dan kesehatan maupun pasar yang ada di kota atau pusat keramaian tersebut. Kampung yang tidak dekat belum tentu jaraknya jauh, namun mereka terpencil dan terisolir karena tidak ada akses, termasuk transportasi yang sesuai. Prioritas masyarakat yang terungkap rata-rata di seluruh kampung adalah akses terhadap pasar, akses pendidikan dan kesempatan pelatihan. Pada umumnya, fasilitas dan pelayanan lebih buruk pada kabupaten baru dibanding yang lama, namun hal yang lebih menentukan bukan umur atau status kabupaten, distrik atau kampung tetapi jarak dari pusat tersebut. Rata-rata masyarakat tidak memelihara kondisi sarana dan prasarana yang ada bahkan sering fasilitas kampung tidak digunakan sama sekali. Mereka tidak merasa memilikinya sebab pada umumnya masyarakat tidak terlibat dalam pembangunannya. Aset-aset masyarakat lain termasuk rumah adat dan bangunan yang dipakai ramai-ramai, perahu, sumur dan jembatan/pelabuhan kecil. Jarang terdapat prasarana yang dibangun secara swadaya, seperti jalan atau sekolah, tetapi dimana itu ada jelas prasarana tersebut dijaga dengan baik. Sebagai contoh yang menonjol, di hampir semua kampung
2
•
•
•
•
terdapat gereja – yang dibangun oleh masyarakat sendiri, digunakan oleh masyarakat dan dirawat oleh masyarakat. Tingkat kesehatan di kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian cukup rendah. Menurut ke-empat LSM hal ini karena faktor lingkungan termasuk kondisi rumah dan penyediaan air, serta kurang kesadaran akan sanitasi, gizi dan pencegahan penyakit. Pengobatan tradisionil sangat lazim. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pemerintah sangat terbatas dan banyak yang tidak mampu membayarnya. Di kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian, masyarakat cenderung mengakses pelayanan yang ada, tapi juga sekaligus mengakses pengobatan tradisionil. Selain memberi komentar terhadap motivasi politik di belakang pemekaran wilayah, laporan keempat LSM menegaskan bahwa di seluruh kampung yang jauh dari kota atau sulit diakses dari pusat terdekat, masyarakat sangat membutuhkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak, serta kegiatan pengembangan ekonomi termasuk pelayanan pemerintahan dalam bidang penyuluhan, pelatihan keterampilan dan pengeloloaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Belum pernah ada pelatihan atau pendampingan dalam bentuk apapun pada kebanyakan kampung, baik dari pemerintah maupun dari lembaga kemasyarakatan. Yang telah dilakukan pun dianggal gagal karena tidak menjawab kebutuhan atau prioritas masyarakat, kurang sesuai dengan kondisi setempat dan kurang lama waktunya. Program-program pemerintah belum berhasil dalam mendorong kegiatan produktif atau berkelanjutan di tingkat kampung, karena perencanaan dan pelaksanaan kurang tepat. Dalam hal ini termasuk bantuan dana bangdes dan OTSUS. Kekurangan koordinasi dan pelaksanaan kegiatan di kampung justru menyebabkan masyarakat merasa bingung, malas dan kurang tertarik, bahkan pernah menyebabkan konflik. Pada kampung yang telah didampingi oleh LSM hasil utamanya sekadar peningkatan motivasi dan daya pikir kritis. Terdapat kesetaraan gender pada beberapa kelompok etnis/suku, namun yang menjadi norma rata-rata adalah dominasi atau posisi kuat kaum lelaki. Kaum perempuan lebih berpartisipasi aktif pada kegiatan gereja dibanding dengan kegiatan adat atau pemerintahan lokal. Mereka sangat berperan penting dalam ekonomi rumahtangga maupun kampung.
Dari temuan keempat LSM keadaan lembaga-lembaga kemasyarakatan atau masyarakat sipil secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: • Kelompok terkecil dan mendasar pada masyarakat Papua adalah keluarga dan klen (fam, marga). Semua suku atau kelompok etnis pada seluruh kampung yang dikaji memiliki lembaga adat yang berfungsi dalam penyelesaian urusan adat termasuk pelanggaran tertentu seperti masalah batas tanah/laut, ganti rugi serta permasalahan pribadi seperti perkawinan. • Di tingkat kampung terdapat lembaga keagamaan yang bergerak terutama dalam pelayanan pendidikan dan kerohanian. • Pada kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian tidak jarang bahwa gereja sebagai satu-satunya sarana yang digunakan secara rutin. Hal ini menunjukkan pentingnya peran gereja/lembaga keagamaan dalam kehidupan masyarakat. • Jumlah LSM yang aktif jauh di bawah jumlah LSM yang terdaftar pada pemerintah. Khususnya di wilayah Kepala Burung ada perkembangan jumlah LSM, namun kebanyakan tidak aktif dalam usaha membangun masyarakat atau untuk mempengaruhi kebijakan, malah banyak LSM baru dibentuk karena munculnya peluang keuangan yang dikira besar untuk berbisnis dengan program swasta maupun pemerintahan.
3
•
• •
•
•
Di antara para LSM yang aktif hanya sedikit berada di tingkat kampung atau distrik. Sebagian besar berpusat di kota kabupaten/propinsi dan tergantung secara keuangan pada lembaga donor. Kegiatan LSM di kampung-kampung cenderung terpengaruh oleh agenda dan jadwal instansi luar sehingga sulit mencapai hasil yang diharapkan. Masyarakat yang telah didampingi oleh LSM menganggap itu bermanfaat dan ingin pendampingan dari instansi luar dapat lebih baik dan lebih panjang supaya potensi sosial dan lingkungan dapat berkembang di kampung. Kualitas serta masa pendampingan dan bantuan teknis lain bagi masyarakat adalah dua hal kunci dalam keberhasilan program atau tercapainya tujuan proyek-proyek dengan masyarakat. LSM lokal secara khusus memiliki kemampuan organisasi dan sumber daya manusia yang minim. Ketidakpastian pekerjaan di LSM mengakibatkan personalia yang lebih berpengalaman tidak jarang mendapat pekerjaan di lembaga lain yang lebih menjamin kehidupannya, seperti di LSM internasional, pemerintah maupun swasta. Rata-rata disetujui bahwa kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah setempat perlu ditingkatkan demi kebaikan masyarakat. Keempat laporan LSM menekankan perlunya dialog dan kerjasama yang melibatkan banyak pihak untuk menjamin hak masyarakat terhadap aset-aset kehidupannya, mengingat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat tidak terpisah dari sumberdaya alam. Menurut LSM palaku kajian yang harus diutamakan di Papua adalah peningkatan sumber daya manusia, termasuk upaya atau investasi pada fasilitator lokal, pengurus atau pengorganisasian masyarakat, guru-guru dan orang berketerampilan yang dapat mengembangkan masayarkat dan kampung sendiri.
Bagi UNDP yang sangat penting pada kajian Perikehidupan dan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan ini adalah digambarkannya suara, pikiran dan pandangan yang sebenarnya dari anggota masyarakat Papua, di mana penduduk kampung di Papua dapat menceriterakan pengalaman hidupnya dan harapan mereka akan masa depan. Dengan demikian apa yang menjadi lembaga, praktek, pengetahuan, kepercayaan dan tradisi masyarakat tidak lagi dapat dianggap sebagai ‘sumber atau penyebab masalah’. Walaupun banyak tantangan yang dihadapi masyarakat di tingkat kampung, justru manusia dan adatnya perlu dianggap sebagai sumber solusi yang secara praktis, kuat dan berkelanjutan dapat meningkatkan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pihak-pihak yang ingin mendukung pengembangan masyarakat sebaiknya belajar hal ini. Kajian yang dilakukan oleh LSM lokal dari Papua dapat berperan penting dalam kajian berbagai kebutuhan di Papua secara keseluruhan, maupun dalam perencanaan dan pelaksanaan program bantuan dan kerjasama berjangka panjang. Temuan-temuan dari kajian Perikehidupan dan Kapastias Lembaga Kemasyarakatan dapatlah kiranya melengkapi temuan-temuan dari kajian lain yang dilakukan dalam rangka Papua Needs Assessment. Kajian keempat LSM menjadi satu-satunya tempat dimana suara masyarakat perorangan, per kampung atau yang melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat didengar, dirangkum dan dipertimbangkan secara sedikit mendalam dengan menggunakan metode-metode yang terbuka dan melibatkan masyarakat biasa. Pada saat yang sama, temuan-temuan yang dirangkum pada dokumen ini merupakan sebagain dari sejumlah kegiatan dimana banyak data dikumpulkan. Dengan demikian diharapkan agar situasi perikehidupan dan lembaga kemasyarakatan yang digambarkan tidak dianggap sebagai gambaran final, melainkan sebagai suatu “gambaran titik awal” atau landasan bagi banyak upaya lanjutan.
4
Daftar Isi Ringkasan dokumen ............................................................................................. 1 Daftar Gambar dan Tabel ..................................................................................... 6 Istilah / Definisi ..................................................................................................... 6 1.
Pendahuluan ................................................................................................... 7
1.1
Latar belakang dan struktur dokumen............................................................. 7
1.2
Gambaran wilayah dan LSM-LSM pelaku kajian.............................................. 8 1.3 Gambaran metode kajian .......................................................................10
2.
Gambaran perikehidupan masyarakat.............................................................. 11 2.1 Kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian ......................................12 2.1.1 Aset sumberdaya alam ........................................................................12 2.1.2 Aset fisik (prasarana dan sarana) ........................................................13 2.1.3 Aset sosial-budaya ..............................................................................14 2.1.4 Aset sumberdaya manusia ..................................................................15 2.1.5 Aset keuangan ....................................................................................16 2.2 Kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian ......................................16 2.2.1 Aset sumberdaya alam ........................................................................17 2.2.2 Aset fisik (prasarana dan sarana) ........................................................17 2.2.3 Aset sosial-budaya ..............................................................................18 2.2.4 Aset sumberdaya manusia ..................................................................18 2.2.5 Aset keuangan ....................................................................................19 2.3 Kasus dan kekekecualian, memperlihatkan perbedaan antara wilayah ..19 2.3.1 Papua, daerah selatan dan tenggara ...................................................19 2.3.2 Pegunungan tengah ............................................................................21 2.3.3 Teluk Cenderawasih Bay dan Biak-Supriori .........................................21 2.3.4 Kepala Burung dan wilayah baratdaya ................................................23 2.3.5 Wilayah utara ......................................................................................23
3. Ringkasan temuan per ‘sektor’ – Suatu gambaran infrastruktur (sarana dan prasarana), kesehatan dan pendidikan di kampung kajian .......................................................... 24 3.1 Suatu gambaran isu-isu sarana dan prasarana di tingkat masyarakat ....24 3.2 Suatu gambaran isu-isu kesehatan di tingkat masyarakat ......................26 3.3 Suatu gambaran isu-isu pendidikan formal di tingkat masyarakat...........28 3.4 Isu-isu lain yang menonjol ......................................................................29 4. Suatu gambaran masyarakat sipil - ringkasan temuan tentang lembaga-lembaga kemasyarakatan ................................................................................................... 32 4.1 Profil umum ............................................................................................32 4.2 Penyebaran lembaga kemasyarakatan...................................................34 4.3 Contoh kegiatan lembaga kemasyarakatan ............................................35 4.4 Isu-isu.....................................................................................................36 4.5 Usul-usal dari laporan LSM pelaku kajian ...............................................38 5.
Daftar pustaka / referensi laporan yang dikutip ................................................. 40
5
Daftar Gambar dan Tabel Gambar 1. Table 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
Peta wilayah kajian...................................................................................... 8 LSM-LSM pelaku dan wilayah kajian ........................................................... 9 Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana ...................... 26 Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana ...................... 27 Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana ...................... 29 Perkiraan lembaga keagamaan aktif di kampung kajian (tidak termasuk (LA/LMA).................................................................................................. 35
Istilah / Definisi Berikut ini terdapat penjelasan sederhana terhadap istilah-istilah tertentu sebagaimana dimaksud pada dokumen ini: Adat – budaya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnis atau suku, terdiri dari pengetahuan, perilaku, kebiasaan, peraturan, hukum, sistem atau cara hidup baik individu maupun kelompok/komunitas. ‘Gambar’ – suatu penjelasan singkat yang oleh karena itu bersifat sederhana dan tidak menyeluruh. Lembaga Kemasyarakatan / Masyarakat Sipil (CSO) – berbagai bentuk organisasi termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga adat, lembaga keagamaan dan kelompok kecil (tertentu) yang terbentuk pada masyarakat sendiri. OTSUS – Otonomi Khusus Papua, suatu perubahan tataan ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 2001 tetapi belum terlaksana secara penuh. Perikehidupan/ekonomi rakyat – ketahanan lokal dan kegiatan produktif masyarakat (pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan rakyat/multi-pihak), Tujuan Pembangunan Milenia (Millennium Development Goals/MDGs) – sejumlah tujuan pengurangan kemiskinan dengan sasaran yang telah disepakati oleh pemerintahan sedunia untuk tercapai sebelum tahun 2015.
6
1.
Pendahuluan
1.1
Latar belakang dan struktur dokumen
Pada tahun 2004 pemerintah Republik Indonesia telah minta agar UNDP memandu suatu kajian terhadap berbagai kebutuhan di Papua supaya menjadi dasar perencanaan suatu program bantuan dan kerjasama jangka panjang. Kajian kebutuhan di Papua termasuk kajian khusus terhadap kapasitas pemerintah dalam pelayanan social, yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi setempat, dan kajian khusus terhadap hubungan ‘gender’, lingkungan hidup dan isu-isu penanggulangan keuangan daerah. Dalam rangka kajian tersebut, UNDP mengontrak empat LSM untuk: 1) Membuat gambaran yang sebenarnya tentang kehidupan dan kebutuhan masyarakat kampung di berbagai wilayah di Papua; dan 2) Membuat gambaran tentang keberadaan dan kemampuan lembaga-lembaga kemasyarakatan (‘CSO’) dalam mendukung perikehidupan dan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat di Papua. Dokumen ini merupakan rangkuman dari temuan-temuan kajian tersebut. Dengan demikian, ada pasangannya yaitu laporan-laporan yang disusun oleh masing-masing LSM sebagai laporan tersendiri. Laporan keempat LSM mengandung data yang mendalam mengenai semua isu yang diringkas dalam dokumen ini. Temuan kajian yang dilaporankan oleh LSM menjadi satu-satunya sumber informasi tentang isu-isu yang menjadi pokok dalam dokumen ini, yang terdiri dari gambaran wilayah kajian dan metode (Bagian 1), gambaran perikehidupan masyarakat di tiap wilayah (Bagian 2), dan gambaran isu-isu utama pada sektor kunci yaitu infrastruktur, kesehatan dan pendidikan (Bagian 3). Pada Bagian 4 terdapat suatu ringkasan temuan LSM terhadap keberadaan dan kemampuan lembaga kemasyarakatan di wilayah kajian, bersama dengan usul-usul yang diajukan oleh keempat LSM kepada masyarakat, lembaga kemasyarakatan, pemerintah dan para donor. Seperti dikatakan di atas, temuan-temuan yang diringkaskan dalam dokumen ini merupakan sebagian dari sejumlah kegiatan dan kajian, bukan sebagai gambaran final. Temuan dari kajian ini memberikan suatu “gambaran titik awal” atau landasan bagi banyak upaya lanjutan dalam rangka mengerti dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Pada suatu dokumen yang terpisah terdapat pembahasan tentang kesempatan dan peluang meningkatkan dukungan donor di Papua.
7
1.2
Gambaran wilayah dan LSM-LSM pelaku kajian
Keempat LSM yang melakukan kajian Perikehidupan Masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan terpilih melalui proses tender terbuka yang dilakukan setelah konsultasi dengan pemerintah dan berbagai lembaga kemasyarakatan di Papua. Keempat pelaku kajian merupakan LSM lokal (bukan cabang LSM internasional) yang dikenal dengan baik di Papua dan memiliki pengalaman dalam melakukan kajian baik dengan masyarakat maupun wakil dari lembaga kemasyarakatan di kabupaten dan distrik tertentu. Mereka semua memiliki pengalaman di bidang tata pemerintahan, pengurangan kemiskinan, HAM, lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. LSM-LSM pelaku kajian ini memutuskan wilayah kajian supaya terpisah antara lokasi pengalaman mereka, serta mempertimbangkan perlunya suatu gambaran yang mewakili berbagai realitas yang ada di Papua, baik secara kebudayaan maupun geografis. Keempat LSM dan wilayah kajian bisa dilihat pada Tabel 1 bersama dengan data jumlah penduduk. Gambar 1 merupakan peta wilayah kajian. Gambar 1.
Peta wilayah kajian
8
Table 1.
LSM-LSM pelaku dan wilayah kajian
Wilayah
Kabupaten
Merauke
Onggaya Poo Okabe Tagaepe
Mappi
Kepi Mum Mur Sumur Aman
Papua, daerah selatan – barat daya
Kepala Burung dan Papua barat daya
Teluk Cenderawasih, Sorong, Biak-Numfor dan Supriori
Asmat
Syuru Yamas Erma Buetkuar
Boven Digoel
Sokanggo Mawan Awayanka Tinggam
Fakfak
Kabubur Tanama (Fakfak city) Yaru Sara
Teluk Bintuni Manokwari
Mokwam Aipiri
Kaimana
Coa
Sorong
Maladofok Malaumkarta Baingkete
Teluk Wondama
Werabur Mamisi Kaprus Yomakan Yop
Biak-Numfor dan Supriori
Soryar Wadibu Komboy Yeruboy Pudori
Jayawijaya
Wesaaput Kama Muliarma Holkima Arobodat
Jayapura
Lapua Sebum Soskotek Ibub Nembugresi Bring Pupehahu Tablanusa Kendate Tablasufa
Pegunungan tengah dan pantai utara
Total
Kampung lokasi kajian
Kerom
Banda Skanto
Sarmi
Syaratesa Holmafen Liki Warembori
16
56
9
Jumlah penduduk (data kampung dilaporkan oleh NGO)
296 288 780 351 983 1,180 1,522 272 1,221 389 1,522 228 1,687 260 230 546 176 724 246 164 739 706 348 317 312 134 361 117 275 241 134 370 340 234 456 340 2,972 1,017 957 1,579 790 1,282 239 249 249 243 298 501 570 412 668 624 411 216 848 374 383 33,371
LSM yang bertanggungjawab
Yayasan Almamater, Merauke
Pengembagan Masyarakat dan Konservasi Sumberdaya Alam (PERDU), Manokwari
Yayasan Lingkungan Hidup Humeibou /Perkumpulan Lingkungan Hidup Papua (pt. YALHIMO), Manokwari
Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD), Jayapura
1.3
Gambaran metode kajian
Pada awal kajian Perikehidupan Masyarakat dan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan, keempat LSM dan UNDP telah bertemu dalam suatu lokakarya, di mana tujuan dan metode kajian ini disepakati bersama. Metode utama yang dipakai dalam semua kajian adalah: 1) Dikusi terfokus dengan kelompok peserta beragam; 2) Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat dan anggota lembaga kemasyarakatan; 3) Diskusi nonformal dan mengobrol dengan masyarakat; dan 4) Observasi /pengamatan langsung. Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder, namun karena data sekunder yang relevan dan andal masih jarang, sebagian besar temuan yang dilaporkan terdiri dari catatan, observasi dan rekaman yang dibuat oleh tim LSM di masing-masing wilayah pada saat kajian dilakukan. Laporan tertentu lebih banyak mengutip data dari laporan statisik permerintah dibanding yang lain, namun pada bagian laporan tingkat kampong, data kuantitatif hanya dipakai pada profil kampong yaitu data kependudukan dan jumlah sarana. Oleh karena pada semua laporan kajian tersedia data qualitatif yang menggambarkan keadaan masyarakat seperti yang diamati langsung di kampong, pada laporan ringkasan ini hanya data kualitatif yang dapat dirangkum. Sebagian kajian ini terfokus pada kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehingga menggunakan metode-metode PPM (PRA - participatory rural appraisal), termasuk sketsa kampung, pemetaan sarana dan sumberdaya alam dalam transek, dan pembuatan kalender harian dan musiman. Kerangka “Sustainable Livelihoods Analysis” (SLA) atau “Analisa Perikehidupan Berkelanjutan” (PKB) dipakai ketika kajian memfokus pada aset-aset dan kerentanan di masyarakat, serta kendala dan peluang pengembangan masyarakat. Menurut kerangka PKB, kehidupan masyarakat dilihat sebagai satuan yang terdiri dari aspek sumberdaya manusia, sosial-budaya, sumberdaya alam, fisik (sarana) maupun keuangan. Dengan demikian dalam kajian ini, isu-isu perikehidupan diteliti dari segi keberadaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta situasi pendidikan, kesehatan dan kelembagaan di masyarakat. Dalam metode kajian ditekankan pentingnya mendapatkan gambaran tentang perspektif perempuan, karena itu perspektif mereka secara sengaja digali. Secara keseluruhan pada kajian Perikehidupan dan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan ini yang sangat penting adalah mendengar suara, pikiran dan pandangan yang sebenarnya dari anggota masyarakat Papua. Penduduk kampung di Papua menceriterakan pengalaman hidup dan harapan mereka ke depan. Dengan demikian apa yang menjadi lembaga, praktek, pengetahuan dan kepercayaan tradisi masyarakat tidak dapat dianggap lagi sebagai ‘sumber atau penyebab masalah’. Walaupun banyak tantangan yang dihadapi
10
masyarakat di tingkat kampung, justru manusia dan adatnya perlu dianggap sebagai sumber solusi yang secara praktis, kuat dan berkelanjutan dapat meningkatkan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pihak-pihak yang ingin mendukung pengembangan masyarakat sebaiknya belajar hal ini. Kabupaten dan khususnya kampung-kampung yang dikaji telah dipilih oleh LSM berdasarkan sejumlah kriteria, termasuk ciri-ciri budaya dan pola kehidupan, perbedaan letak dan sifat wilayah secara geografis (pantai dan pedalaman), keanekaragaman sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat, dan posisi kampung relatif dengan transportasi (kampung dekat ke kota dan kampung yang jauh dari pusat keramaian atau sulit diakses). Pada seluruh wilayah kajian, mayoritas penduduk adalah orang asli Papua. 2.
Gambaran perikehidupan masyarakat
Pada setiap laporan LSM, dari seluruh wilayah kajian, terdapat suatu perbedaan yang tidak dikatakan secara eksplisit tetapi nampak jelas, yaitu perbedaan antara kampung yang jauh atau yang sangat sulit mendapat akses ke kota/pusat keramaian atau sulit mengakses dan diakses ke kota, dengan kampung yang dekat ke kota atau pusat keramaian. Pengertian kampung ‘jauh’ dan ‘dekat’ tidak perlu diukur secara kuantitatif sebab seringkali jarak sebenarnya tidak diketahui dengan pasti dan tidak begitu relevan. Yang mendasar pada pengertian kampung ‘jauh’ atau ‘dekat’ ke kota atau pusat keramaian adalah masalah akses, termasuk waktu, ongkos dan upaya yang dibutuhkan untuk mengakses kota/pusat keramaian. Sehubugnan dengan tujuan dokumen ini maka indicator kasar suatu kampung dikatakan jauh dari pusat keramaian menjadi tidak adanya prasarana atau sarana termasuk transportasi, dan/atau dibutuhkan waktu lebih dari setengah hari untuk menjangkau. Menurut ‘Papua Dalam Angka’ (2002), dari jumlah kampung/kelurahan di Papua sebanyak 3,361 terdapat 106 yang terhitung sebagai kelurahan dan/atau kampung ‘urban’. Dari ke-56 kampung dalam kajian LSM, kira-kira separuh kampung dianggap dekat dan separuh dianggap jauh dari kota atau pusat keramaian. Temuan kajian dari semua wilayah menunjukkan pola perbedaan secara konsisten berdasarkan jarak, baik dari pusat distrik (kecamatan), kabupaten atau kota propinsi, dan hal yang sama terdapat di wilayah pantai, pedalaman, tempat rawa dan pegunungan. Oleh karena itu, temuan kajian perikehidupan masyarakat pada bagian ini diringkas menurut kedua perbedaan tersebut. Pada bagian 2.1 terdapat gambaran perikehidupan dan kebutuhan masyarakat yang jauh dari kota/pusat keramaian, sementara gambaran dari kampung yang lebih dekat digambarkan pada bagian 2.2. Kemudian dibahas beberapa kasus dan contoh nyata dari berbagai wilayah kajian dimana terdapat kekekecualian pada pola perbedaan yang dijelaskan di atas. Dalam menggambarkan komposisi penduduk menurut perikehidupan perlu diidentifikasikan cara penduduk itu mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya, misalnya dengan bertani, berkebun, menangkap ikan, berdagang, atau dengan jasa, sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, sebagai buruh dan sebagaianya. Namun pada kerangka “Analisa Perikehidupan Berkelanjutan” (PKB), perikehidupan tidak hanya dianggap dari segi sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk pangan dan pendapatan, tetapi juga menghitung sarana, prasarana dan konteks keuangan yang semuanya sangat menentukan perikehidupan masyarakat. Dalam pendekatan ini maka 11
dipertimbangkan juga sumberdaya manusia dan aset sosial seperti sistem, norma, jaringan, kelembagaan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang ada pada masyarakat. Dasar gambaran perikehidupan masyarakat di kampung jauh dan dekat ke kota/pusat keramaian di bawah ini adalah suatu pemahaman yang menyeluruh tentang keadaan masyarakat. Mengikuti pendekatan PKB yang diterapkan pada kajian perikehidupan maka gambaran yang secara umum mewakili temuan kajian tersusun menurut aset sumberdaya alam, fisik, sosial dan budaya, manusia dan keuangan. 2.1
Kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian
Pada umumnya penduduk kampung di seluruh wilayah kajian hidup dari kegiatan beragam antara pertanian/berkebun, meramu, penangkap ikan dan berburu. Walaupun di kebanyakan kampung terdapat beberapa keluarga yang menerima gaji kecil sebagai pegawai pemerintah, mereka pun ikut tergantung pada kegiatan subsisten sama seperti penduduk lainnya, tetapi kadang mereka memiliki sedikit dana sehingga di rumah dibuat kios kecil menjual bahan pokok seperti gula, mie atau tepung. Lain hal dengan kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian di mana sebagian penduduk memiliki pendapatan karena bekerja sebagai buruh atau karena kegiatan jual-beli, pada kampung yang sulit mengakses kota, masyarakat kurang-lebih seratus persen tergantung pada sumberdaya alam. 2.1.1
Aset sumberdaya alam
Kondisi sumberdaya alam di sekitar kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian ratarata masih baik sehingga mencukupi untuk kebutuhan pangan dan perumahan. Masyarakat menggunakan sumberdaya alam di wilayah ulayat masing-masing dan sumberdaya alam yang dapat diakses bersama harus disepakati dengan pemilik dari marga atau suku yang berhak. Walaupun sumberdaya alam di wilayah ini biasanya melimpah dalam jumlah dan jenis, tidak ada pasar/pembeli jelas atau terjamin sehingga masyarakat tidak mengelolanya secara komersial. Yang sering terjadi adalah masyarakat menunggu kedatangan pedagang keliling yang membeli bahan atau produk, namun dengan harga yang sangat rendah dan dipaksakan. Kadang masyarakat kurang mengetahui harga atau strategi pemasaran lain, dan mereka tidak memiliki ilmu dan ketrampilan untuk mengelola bahan mentah dengan cara yang bisa memberi nilai tambah atau supaya menjadi lebih menarik bagi pembeli. Peningkatan produksi yang pernah diupayakan biasanya tidak diteruskan karena tidak ada akses ke pasar atau peluang pemasaran yang mendorong semangat masyarakat. Di setiap wilayah di Papua terdapat perkebunan yang sudah lama tetapi sekarang tidak dirawat atau dipanen lagi karena masyarakat merasa hasil usaha tersebut kurang menguntungkan bagi mereka. Di beberapa wilayah kegiatan eksploitasi hutan dan laut ternyata tidak memberi banyak manfaat bagi penduduk setempat. Kompensasi pembayaran atas penggunaan sumberdaya alam sering diakali dengan pembayaran ke satu orang saja. Atau masyarakat didorong untuk mengeksploitasi sumberdaya alamnya untuk dijual kepada pedagang atau perusahaan, tetapi mereka dengan mudah ditipu soal harga, peraturan dan hak yang ada. Selain itu, terdapat potensi sumber daya alam lain yang tidak dikembangkan, misalnya berhubungan dengan pariwisata. Hal ini juga terjadi karena kekurangan informasi dan sarana, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan. Meskipun masyarakat memiliki pengetahuan akan tradisi dan keterampilan dalam
12
pemanfaatan alam, namun hal itu tidak cukup untuk menghadapi tantangan pemanfaatan secara komersial. Oleh karena itu dibutuhkan penyesuaian sehingga terjadi suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dalam konteks modern. Sampai sekarang belum ada kampung yang menerima masukan, nasihat atau bantuan sejenis dari pemerintah. Masyarakat yang punya hubungan dengan lembaga non-pemerintah yang mengetahui hal ini juga masih sedikit. 2.1.2
Aset fisik (prasarana dan sarana)
Di semua kampung kajian terdapat sarana dan prasarana, walaupun dalam jumlah dan kondisi yang sangat kurang. Beberapa kampung telah menerima bantuan perumahan tetapi jumlahnya sedikit sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang dapat membangun rumah atau memperbaiki rumah yang sudah dimilikinya. Di hampir semua kampung ada MCK dan bangunan pemerintah seperti pos kesehatan dan kantor desa, namun kondisinya rata-rata kurang baik dan bangunan tersebut cenderung tidak termanfaatkan. Walaupun terdapat fasilitas kesehatan (pustu atau puskesmas pembantu) dan ada petugas (kadang bidan, kadang mantri) pada sebagian besar kampung jangkauan kerjanya dan jenis obatnya sangat terbatas. Begitupun juga ada gedung sekolah di semua kampung kajian, tetapi tidak semua punya ruang kelas yang mencukupi, hampir semua tidak ada fasilitas pendukung atau jumlah guru yang memadai. Jumlah guru di sekolah tingkat SD dilaporkan per kampung berkisar antara nol sampai empat. Pada mayoritas kampung tidak ada pasar, sarana komunikasi (telepon) atau sistem penyediaan air bersih. Masyarakat menggunakan air sungai, sumur dan air hujan, yang semua kuantitas maupun kualitas airnya tidak terjamin karena berubah-ubah sesuai musim. Sebagian besar kampung tidak memiliki penerangan yang memadai: ada yang punyi genset tetapi seringkali tidak terdapat bahan bakar atau masyarakat tidak mampu membelinya; pada kampung lain tidak ada infrastruktur tenaga listrik sama sekali tetapi ada potensi menggunakan solar (tenaga mata hari) atau sumber lain. Sarana yang ada cenderung kurang baik kondisinya, seperti jalan dan jembatan, sementara di kampung lain tidak ada jalan dan aksesnya hanya lewat laut atau udara. Pada kampungkampung tersebut, belum ada sarana transportasi yang masyarakat mampu membayar. Yang mempunyai transportasi, dan dapat mengakses ke luar dengan lebih baik dan lebih sering dibanding masyarakat adalah pegawai pemerintah, pedagang dan lembagalembaga keagamaan. Pada umumnya sarana dan prasarana yang dibangun secara swadaya cenderung lebih digunakan dan dirawat daripada yang dibangun pihak luar. Hal ini terjadi karena upaya masyarakat pasti menjawab kebutuhan yang mereka rasakan. Selain itu, merekalah yang menentukan lokasinya, bentuknya, besar-kecilnya dan mereka memakai bahan dan sumberdaya sendiri (paling tidak sebagian sumberdaya dari masyarakat sendiri) akibatnya ada rasa memiliki yang tinggi. Di setiap kampung yang dikaji terdapat tempat ibadah (biasanya gereja) dan pada banyak kampung tersebut sarana inilah menjadi satu-satunya bangunan yang dipakai masyarakat secara rutin.
13
2.1.3
Aset sosial-budaya
Kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian sangat homogen baik secara etnis maupun ekonomi. Jika terdapat orang luar atau orang dari suku lain, jumlahnya kecil dan biasanya mereka ada karena kawin dengan penduduk lokal. Kadangkala orang tersebut memiliki pendidikan dan posisi ekonomi yang sedikit di atas yang lain dan mereka punya kios kecil atau bekerja sebagai guru, bidan atau pelayan gereja. Aset sosial-budaya di kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian termasuk hubungan kekeluargaan dan rasa kesatuan yang nampak ketika masyarakat bekerjasama dan saling menolong, baik antar keluarga, marga, suku atau sebagai sama-sama jemaat. Di banyak kampung terdapat kelompok masyarakat yang aktif bekerjasama dalam hal berdoa bersama atau bekerja bhakti dalam rangka kegiatan gereja. Pada setiap kampung ada paling tidak satu lembaga adat. Peran adat masih penting dalam mengarahkan kehidupan masyarakat, mulai dari pikiran, sampai tempat dimana mereka tinggal, hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan alam sekitar. Di semua kampung ada sejumlah praktek dan obyek yang merupakan aset budaya namun hal ini tidak selalu disadari oleh masyarakat itu sendiri. Di sebagian besar kampung yang jauh dari kota terdapat pemerintahan kampung, dalam arti ada kepala desa, sekretaris dan sebagianya. Namun masyarakat kampung cenderung lebih mengikuti pemimpin yang berwenang dalam kehidupan mereka, yaitu tokoh adat dan tokoh gereja. Lembaga-lembaga kampung, seperti BAPERKAM dan organisasi lain yang ditanam oleh pemerintah seperti PPK, terdapat di mayoritas kampung, meskipun sering hanya sebatas nama. Sejauh mana lembaga-lembaga tersebut berfungsi atau dianggap penting oleh masyakarakat tergantung sekali pa da kepribadian dan posisi sosial-budaya mereka yang terlibat, dan tentu saja ada pengaruh dari politik kampung masing-masing. Menyangkut status perempuan, pada sebagian besar suku di Papua posisi terkuat ada pada kaum laki-laki. Suara perempuan Papua pada acara dan dalam urusan publik sangat terbatas; rata-rata mereka memikul beban paling berat dalam pekerjaan rumah tangga; akes ke pendidikan lebih sulit bagi perempuan dan dalam banyak sistem adat tidak ada warisan bagi perempuan. Namun seperti halnya lembaga pemerintahan kampung yang digambar di atas, kepribadian orang-perorang sangat menentukan sifat hubungan antar individu, baik lelaki maupun perempuan. Terdapat contoh di mana perbedaan gender cukup dihargai dan hubungan gender berimbang. Pada kampungkampung kajian hampir tidak ada program atau kegiatan yang diselenggarakan khusus bagi perempuan, tetapi mereka sangat ingin belajar dan menambah ilmu serta keterampilan yang dapat meningkatkan kesejateraan keluarga. Bila di kampung terdapat individu yang berkiprah sebagai pemimpin baik di pemerintah kampung maupun di gereja atau secara adat, di situ cenderung lebih serasi dan mudah dikembangkan kesatuan dan kesepakatan, bila ada isu yang perlu diselesaikan. Walaupun tiap kelompok etnis atau suku mempunyai caranya sendiri, adanya kesamaan orang yang berperan dalam berbagai lembaga di kampung kadang-kadang menentukan sekali. Dalam keadaan lain, masyarakat cenderung mendengar atau mengikuti orang atau pimpinan yang paling relevan berkaitan dengan isu yang perlu ditangani. Misalnya, keluhan atau kasus tanah biasanya dianggap urusan adat sehingga para pemimpin adat akan turun tangan; artinya masyarakat akan konsultasi dengan tokoh adat. Tetapi jika masyarakat ingin memperoleh KTP ‘kepala desa’ yang akan dihubungi.
14
2.1.4
Aset sumberdaya manusia
Pada umumnya penduduk kampung yang jauh dari kota belum menikmati pelayanan kesehatan yang baik. Penyakit dan infeksi saluran pernafasan, kulit, perut dan masalah gizi sering dialaminya di seluruh wilayah kajian, sedangkan malaria menjadi epidemi dimana-mana kecuali di pegunungan tinggi (dimana terdapat beberapa kasus saja). Di wilayah tertentu penyakit menular seksual cukup tinggi dan rata-rata kesadaran masyarakat akan pencegahan berbagai penyakit masih rendah. Pada kampungkampung tertentu terdapat perbedaan besar pada rasio jenis kelamin, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan, tetapi kenyataan ini tidak dijelaskan dalam laporan kajian. Pada semua kampung yang jauh dari kota, masyarakat memakai pengobatan alam untuk mengobati diri sendiri atau berkonsultasi dengan ahli pengobatan tradisionil setempat. Masyarakat sangat tergantung pada pengobatan tersebut karena aksesnya mudah dan tidak perlu berurusan dengan sistem kesehatan formal/negara. Bagi penduduk kampung sistem kesehatan formal sulit diakses dan tidak begitu dikenal dengan baik atau kurang familiar. Kesenjangan yang terjadi pada upaya peningkatan kwalitas SDM di beberapa daerah pada lokasi kajian dipengaruhi oleh tingkat kesehatan pada diri manusia atau masyarakat. Faktor kesehatan gizi menjadi bagian yang sangat fundamental dalam membentuk daya tahan anak melakukan banyak hal dimana yang utam adalah ketekunan untuk belajar di sekolah maupun selesai sekolah. Tingkat pendidikan masyakat kampung rata-rata sekolah dasar (SD). Banyak anak tidak bersekolah secara teratur karena kekurangan guru, fasilitas, faktor ekonomi keluarga dan, pada kasus tertentu, karena faktor budaya. Banyak pemuda tidak melanjutkan sekolah sampai SMP (atau setingkat) karena sekolah itu hanya terdapat di distrik (atau kabupaten) sehingga menjadi terlalu jauh dan mahal. Pada beberapa kampung saja, sikap orang tua terhadap pendidikan formal tidak memungkinkan partisipasi sekolah yang baik. Hal ini bukan karena mereka tidak ingin anaknya terdidik tetapi karena mereka kurang memahami peran mereka berhubungan dalam sistem pendidikan formal. Panitia sekolah, misalnya, tidak ada pada kampung yang jauh dari kota, dan orang tua tidak diberikan petunjjuk, mislanya, tentang pengawasan pekerjaan rumah (PR). Pada kampung-kampung tertentu terdapat lulusan SMA ataupun perguruan tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendidikan dasar. Program pemerintah bagi orang yang putus sekolah atau pelayanan pendidikan bagi orang dewasa tidak ada pada kampung yang jauh dari kota dan pusat keramaian. Selain pendidikan formal, pendidikan informal sangat penting secara budaya, dan esensial dalam konteks penggunaan dan ketahanan sumber daya alam. Pengetahuan dan kealhian yang diajarkan secara turun-menurun dari generasi ke generasi seperti pembuatan noken, perahu, rumah dan gedung, cara berburu dan pengobatan. Keempat LSM pelaku kajian menjelaskan bahwa walaupun keterampilan dan pengetahuan masyarakat sangat bernilai, orang luar dan khususnya orang kota sering berasumsi bahwa penduduk kampung tidak tahu apa-apa, bahkan sering mereka dikatakan ‘bodoh’. Pengetahuan masyarakat, khususnya berkaitan dengan alam dan pengelolaannya secara effisien, efektif dan berkelanjutan sepanjang berabad-abad kurang dihargai, meski sebenarnya adalah aset sumberdaya manusia yang penting bagi pembangunan. Begitupun juga, orang kampung meski tidak memiliki ijasah tetapi ada keterampilan tertentu, misalnya dalam pembangunan rumah, memasak, musik dan lainlain. Di kampung-kampung tertentu ada orang yang punya dasar keterampilan
15
elektronik, mesin, mengemudi dan pembukuan, selain mereka yang terlatih (secara formal atau nonformal) sebagai bidan, pelayan rohani dan guru. 2.1.5
Aset keuangan
Di kampung yang jauh dari kota, sumber keuangan utama adalah bantuan luar, termasuk dana pembangunan desa dan dana OTSUS. Kendati potensi ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam itu cukup besar, namun belum ada upaya eksploitasi yang berarti bagi kemajuan masyarakat. Selain pendapatan dan tabungan yang sangat sedikit (bila ada sama sekali), akses masyarakat terhadap kredit atau pinjaman kurang dipahami dan sangat terbatas. Lembaga-lembaga keuangan tidak termanfaatkan, baik karena jarak jauh antara kampung dan kota, juga karena masyarakat kampung cenderung menganggap itu untuk orang yang beruang banyak. Mereka tidak pernah berpikir untuk menggunakan fasilitas bank. Namun demikian, masyarakat sudah lama punya budaya menyimpan , seperti pengelolaan harta untuk mas kawin yang memiliki nilai tinggi secara adat. Harta mas kawin dapat dikumpulkan dalam berbagai bentuk, termasuk uang. Urusan mengumpulkan harta, kebutuhan akan sumbangan, hutang dan ‘pembayaran kembali’ bagi masyarakat merupakan sesuatu yang rumit. Namun sebagian masyarakat telah bisa menyimpan, membuat persiapan untuk pesta, acara dan kegiatan, seperti dalam pembangunan gereja. Namun yang menjadi permasalahan adalah kurangnya pengarahan dan sosialisasi di tingkat kampung tentang arti dan manfaat menabung. Permasalahan lain adalah kurang pemahaman dan rasa bertanggungjawab atas bantuan dari luar, kurangnya pendampingan dan petunjuk teknis yang diberikan saat dana dari pemerintah (termasuk OTSUS) disampaikan ke kampung. Masyarakat kadang tidak membedakan antara sumber dana tersebut dan bila diterima di tingkat kampung, uang itu dibagi-bagi ke kepala keluarga dengan akibat dianggap sebagai pendapatan mereka. Pada sebagian besar kampung dana pembangunan belum termanfaatkan untuk membangun masyarakat atau fasilitas kampung, bahkan yang terjadi adalah penduduk menunggu pembagian berikut dan dengan demikian menjadi semakin tergantung. 2.2
Kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian
Penguraian di bawah ini menggambarkan perikehidupan masyarakat di kampungkampung yang dekat ke kota atau pusat keramaian. Pada gambaran tersebut ada pembahasan dan perbandingan dengan keadaan di kampung yang jauh, namun tidak mengulang-ulang penjelasan perikehidupan di kampung terpencil yang telah diberikan pada Bagian 2.1. Data yang lebih rinci dibahas di bawah ini.
16
2.2.1
Aset sumberdaya alam
Lain dengan kampung yang jauh dari kota, di mana masyarakat memenuhi kebutuhan pangan dan perumahan dari kegiatan berkebun, meramu, berburu, menangkap ikan dan menggarap hasil alam yang dipakai langsung, pada kampung-kampung dekat ke kota penduduk tidak hanya memanfaatkan sumberdaya alam untuk pemakaian sendiri tetapi juga sebagai sumber pendapatan (uang). Mereka menjual hasil kebun, ikan dan hasil perburuan untuk mendapat uang, dan kemudian mereka membeli barang jadi dan membayar ongkos rutin seperti kesehatan dan pendidikan. Karena kepadatan penduduk dan keinginan yang makin konsumtif untuk membeli produk, mengakibatkan aset sumberdaya alam yang dekat ke kota semakin tertekan. Jumlah dan jenis sumberdaya alam yang diakses oleh masyarakat kampung semakin sedikit dan hal ini berarti mereka semakin sulit memenuhi kebutuan dasar sehari-hari. Sebagai contoh kayu bakar, yang dipakai untuk masak makanan maupun air minum, semakin sedikit dekat ke kota karena dipakai oleh masyarakat kampung dan dikumpul untuk menjual pada pihak lain. Pemakaian kayu bakar menjadi bagian dari kebiasan budaya orang, penghasilan dari penjualan kayu bakar dan bahan lain tidak cukup untuk membeli minyak tanah atau bahan bakar lain yang dibutuhkan untuk memasak air. Semakin tinggi tekanan terhadap sumberdaya alam menyebabkan semakin renggang ikatan kekeluargaan dan hubungan masyarakat. Ketidakjujuran dalam kepemilikan tanah mulai mengemuka, dan di wilayah tertentu malah muncul pengklaiman wilayah adat milik kelompok masyarakat oleh seseorang. Nilai-nilai dan peraturan adat mulai ditinggalkan karena orang mencari uang gantirugi dalam urusan dengan pihak luar. Kejadian dan potensi konflik pun meningkat. Bagi masyarakat kampung yang dekat ke kota, tekanan terhadap sumberdaya alam tidak terpisah dari perubahan sosial dan budaya yang terjadi, dan akibat dari proses ini adalah ekonomi masyarakat makin melemah. 2.2.2
Aset fisik (prasarana dan sarana)
Akses terhadap prasarana dan sarana lebih baik di kampung yang dekat ke kota, dibanding dengan kampung yang lebih jauh. Walaupun demikian, aset fisik yang diakses oleh masyarakat seringkali bukan milik kampung mereka tetapi ada di kota/pusat keramaian terdekat. Di kota atau pusat tersebut, prasarana dan sarana umum rata-rata lebih bagus daripada yang terdapat di kampung. Kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian memiliki jalan dan akses transportasi sehingga masyarakat bisa menggunakan fasilitas pendidikan (seperti SMP, SLTP dan yang lebih tinggi), juga pasar. Akses terhadap pelayanan kesehatan juga lebih baik, seperti puskesmas dan rumah sakit, pelayanan di tingkat kampung, seperti posyandu juga cenderung berjalan. Di kampung yang jauh dari kota, sangat jarang petugas kesehatan mendatangi puskesmas/posyandu. Di kampung yang dekat ke kota dan pusat keramaian, sebagian rumah penduduk lebih sehat, barangkali karena adanya akses terhadap bahan atau ide/model lain. Yang tetap tidak ada adalah penyediaan air bersih. Penerangan kadang-kadang ada, kadangkadang tidak ada.
17
2.2.3
Aset sosial-budaya
Masyarakat kampung yang dekat ke kota lebih bersifat heterogen; terdapat lebih banyak perkawinan antar suku, juga penduduk yang berasal dari suku lain. Penduduk juga heterogen secara ekonomi, sebab lebih banyak jenis pekerjaan maupun peluang kerja, termasuk sebagai buruh dan jenis perdagangan. Aset sosial-budaya di kampung dekat ke kota pada dasarnya tidak berbeda dengan aset yang terdapat di kota yang jauh, hanya sifat dan ‘mutu’ dari aset tersebut lain. Walaupun masyarakat mempunyai ikatan kekerabatan dan lain-lain, mereka juga memiliki jaringan yang lebih luas karena lebih sering berhubungan dengan orang di kota. Begitupun juga, tetap ada kelompok jemaat dan lembaga adat, akan tetapi keterlibatan dan rasa menghargai masyarakat terhadap berbagai aspek kehidupan ini cenderung tidak sekuat di kampung yang lebih jauh dari kota. Di banyak kampung kajian, adat tidak lagi sepenting dulu dalam mengatur kehidupan masyarakat dan ikatan kekeluargaan secara turun-menurun mulai renggang. Nilai-nilai, aturan dan sejarah adat mulai ditinggalkan dan tergantikan dengan budaya luar. Munculnya kecemburuan sosial, kecurigaan, ketidakpercayaan, politik atas nama hingga pada peng-klaim-an wilayah adat dalam kelompok masyarakat semakin terjadi, dan para pemimpin yang dulu berwenang di kampung semakin dituntut atau malah diabaikan oleh masyarakat kampung. Sama seperti keadaan di kampung yang jauh dari perkotaan, biasanya terdapat lembaga pemerintahan kampung seperti BAPERKAM dan PPK, tetapi fungsi dan pentingnya sangat tergantung pada siapa yang terlibat aktif di dalamnya. Kepribadian, posisi sosial-budaya dan politik masing-masing kampung cukup menentukan. Demikian pula, keadaan perempuan tergantung pada kasus. Dalam situasi tertentu, ibu-ibu di kampung yang dekat ke kota mempunyai posisi yang lebih kuat dalam keluarga karena mereka memiliki akses ke pasar dan pendapatan. Namun begitu posisi rata-rata kaum perempuan dalam masyarakat secara adat tidak jauh beda di kampung jauh dan dekat ke kota. 2.2.4
Aset sumberdaya manusia
Tingkat kesehatan masyarakat kota cenderung lebih baik di kampung dekat ke kota, namun jenis penyakit dan keluhan kesehatan sama dan penduduk tetap lebih memilih pengobatan tradisionil daripada pengobatan modern yang makan biaya. Perbedaannya adalah masyarakat dekat ke kota atau pusat keramaian dapat mengakses pelayanan kesehatan, berarti ada banyak pilihan asal mampu. Namun ada penduduk kampung yang menjelaskan pernah ditolak ketika mereka berobat ke distrik atau ke kabupaten. Di kampung yang dekat ke kota terdapat kemungkinan mengakses ke Posyandu dan lebih besar kemungkinan dijangkau oleh pelayanan lembaga kemasyarakatan. Selain dari itu, masyakarat kampung yang dekat ke kota punya akses terhadap informasi; walaupun akses tersebut masih nonformal, namun tetap lebih luas dibanding dengan masyarakat lain. Kesenjangan yang terjadi pada upaya peningkatan kwalitas SDM di beberapa daerah pada lokasi kajian dipengaruhi oleh tingkat kesehatan pada diri manusia atau masyarakat. Faktor kesehatan gizi menjadi bagian yang sangat fundamental dalam membentuk daya tahan anak melakukan banyak hal dimana yang utam adalah ketekunan untuk belajar di sekolah maupun selesai sekolah. Rata-rata di
18
semua lokasi kajian terdapat sekolah dari SD sampai SMP. Tingkat pendidikan anak dan pemuda di kampung yang dekat ke kota pada umumnya lebih baik daripada di kampung yang jauh. Akses ke sekolah dan akses pada sekolah tingkat lanjutan jelas lebih baik, karena di banyak kota distrik terdapat paling-tidak SMP atau SLTP. Akses pada pendidikan dan pelatihan bagi dewasa tetap terbatas sekali di kampung yang dekat ke kota. 2.2.5
Aset keuangan
Waluapun akses ke bank dan lembaga keuangan lebih baik di kampung dekat ke kota atau pusat keramaian, masyarakat tidak terbiasa menyimpan uang dengan lembaga formal dan rata-rata mereka tidak mempunyai aset yang terdaftar, sehingga tidak dapat meminjam uang. Dengan demikian akses ke lembaga-lembaga keuangan dekat ke kota lebih baik, tetapi pada kenyataan masyarakat tidak jauh beda dalam pemanfaatan lembaga tersebut, jika dibanding dengan orang di kampung terpencil. Di kampung yang dekat ke kota, kebiasaan orang bergeser sehingga kebutuhan dan keinginan akan barang lebih tinggi. Pendapatan cenderung dihabiskan untuk ongkos pendidikan dan dengan membeli barang konsumsi seperti televisi, pakaian dan jenis-jenis makanan jadi. Keterangan mengenai pemanfaatan dana pembangunan kampung, termasuk alokasi OTSUS di daerah dekat ke kota tidak mencukupi. 2.3
Kasus dan kekekecualian, memperlihatkan perbedaan antara wilayah
Ringkasan data perikehidupan masyarakat di kampung jauh dan dekat ke kota atau pusat keramaian dijelaskan berdasarkan temuan-temuan yang terdapat di seluruh wilayah kajian. Selain temuan-temuan yang mirip terdapat pula beberapa kasus dan kekecualian yang menonjol dari masing-masing laporan LSM pelaku kajian. Contohcontoh tersebut tidak hanya memperlihatkan perbedaan yang terdapat secara umum antara berbagai wilayah di Papua, tetapi memperlihatkan tingkat variasi keadaan dan kebutuhan yang terdapat antara kampung satu dengan yang lain. Beberapa contoh demikian diuraikan di bawah ini. 2.3.1
Papua, daerah selatan dan tenggara
Salah satu kampung yang dikaji di Kabupaten Asmat, yaitu Kampung Buetkuar, sangat terpencil. Waktu perjalanan dengan speed (perahu motor tempel) dari kampung ke Ayam (kota distrik) berkisar antar 3 - 8 jam, dan ke Agats (ibu kota Kapubaten) makan waktu 5 - 10 jam. Jumlah penduduk 60 KK, laki-laki sebanyak 124 jiwa dan perempuan sebanyak 104 jiwa dari dua marga suku Asmat, ditambah dengan pendatang yang ada dari suku Bugis-Makassar, Jawa dan NTB yang berprofesi sebagai pedagang yang telah ± 7 tahun hidup berdampingan dengan masyarakat. Walaupun di sekitar kampung ini
19
terdapat banyak jenis kayu yang bermutu tinggi, masyarakat tidak memiliki infrastruktur untuk mengangkutnya ke pasar sehingga kayu itu tidak tereksploitasi. Keadaan Buetkuar termasuk unik karena hasil hutan yang termanfaatkan terutama adalah kayu gaharu, perdagangannya sudah berlangsung sejak tahun 1999, dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Usaha pemanfaatan gaharu yang harganya sangat tinggi mengakibatkan perubahan perilaku dan sifat konsumtif masyarakat. Makanan pokok sagu, pisang dan umbi-umbian mulai bergeser pada konsumsi beras, dan berbagai makanan kaleng. Uang yang tersedia dengan jumlah yang sangat besar (10-50 juta) dan keterbatasan pengetahuan mengakibatkan masyarakat lebih cenderung memilih hidup berfoya-foya. Penghasilan penjualan gaharu digunakan sampai habis untuk membeli apa yang meraka inginkan dan yang disediakan oleh para pedagang. Permasalahan utama adalah setelah hasil usaha gaharu menurun, masyarakat mulai hidup tertekan karena kebiasaan konsumtif sudah tidak terpenuhi. Untuk itu, masyarakat masih terus melakukan kegiatan pencarian walaupun hasilnya sudah sangat terbatas. Ketergantungan terhadap usaha mencari gaharu sangat tinggi dan mendominasi semua kegiatan sehari-hari. Tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah - sebagian besar tidak tahu baca tulis dan menghitung. Motivasi sekolah bagi generasi muda sangat rendah dan dukungan orang tua juga tidak ada. Keterampilan masyarakat juga masih sangat rendah karena kegiatan pembangunan di kampung dan kunjungan pemerintah sangat terbatas. Kelembagaan di kampung Buetkuar hampir secara keseluruhan tidak berjalan sama sekali. Kesibukan mencari gaharu membuat masyarakat tinggal cukup lama di hutan dengan membawa semua keluarga. Kegiatan proses belajar di sekolah SD yang ada baru mulai 6 bulan lalu karena tenaga guru sudah ada 1 orang. Pasar penjualan gaharu cukup tersedia karena pedagang yang tinggal di kampung. Alat transportasi yang ada hanya milik pedagang yang kapasitasnya sangat terbatas (Laporan Almamater, 2005). Di kampung yang lain, yaitu Kampung Poo di Kabupaten Merauke, jumlah penduduk 86 KK, terdiri dari 189 laki-laki dan 202 perempuan yang hampir semua berasal dari suku Marind-Yeinan. Dari kampung Poo ini, yang dibangun oleh Misi Katolik pada tahun 1930, jarak ke kota Merauke sekitar 150 Km, akses transportasi dapat dijangkau melalui darat atau sungai. Kondisi jalan kurang baik sehingga pada musim hujan sulit dijangkau dan banyak jembatan yang rusak. Mata pencaharian utama bagi masyarakat saat ini adalah memanfaatkan hasil kali dan hutan, termasuk kayu dan pengobatan, tetapi bahan ini hanya dapat dipasarkan melalui pedagang keliling. Tingkat pendidikan masyarakat secara umum masih sangat rendah (tamat SD) tetapi saat ini banyak generasi muda sudah melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP dan SLTA yang ada pada lokasi pemukiman transmigrasi. Kelembagaan kampung cukup aktif secara personal tetapi tidak produktif dalam meningkatkan pembangunan kampung. Lembaga lain seperti puskesmas cukup aktif dan kegiatan belajar pada sekolah dasar berjalan lancar karena kekurangan guru ditambah tenaga bantu dari masyarakat lokal yang sudah tamat SLTA. Kampung Poo merupakan satusatunya kampung kajian dimana tercatat ada inisiatif kemasyarakatan seperti ini (Laporan Almamater, 2005).
20
2.3.2
Pegunungan tengah
Hubungan gender di kampung-kampung Kabupaten Wamena dianggap oleh orang luar sebagai hal yang sangat merugikan perempuan. Seperti halnya dengan banyak suku di Papua, dalam adat istiadat perempuan tidak memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan adat. Distribusi beban kerja perempuan jauh lebih banyak dan berat dibandingkan dengan laki-laki, termasuk kesibukan mengurus anak, bertanam sayur dan beternak babi. Walaupun kegiatan tersebut sangat penting dan pekerjaan perempuan menjamin keberlangsungan keluarga maupun masyarkat, yang belum diketahui adalah pandangan perempuan itu sendiri tentang posisi mereka atau persepsi mereka terhadap hubungan laki-perempuan di lingkungan mereka. Perempuan di wilayah ini nampak dianggap dan diperlakukan sebagai objek atau milik laki-laki yang telah ‘membeli’ isteri – pemahaman terhadap mas kawin seperti ini jelas berbeda dengan pemahanan pada beberapa suku lain yang juga mengenal mas kawin. Suatu tradisi di pegununggan tengah yang cukup menonjol sebagai praktek yang rupanya menghambat kaum perempuan untuk dapat mengembangkan dirinya pada berbagai bidang kehidupan dan nampaknya merugikan perempuan dalam kebudayaan lokal adalah pesta adat “Mawe” atau pesta kawin-mawin yang juga sering disebut sebagai “pesta sex”. Karena pesta adat ini tidak diadakan sering, rupanya banyak orang tua yang mengikutkan anaknya, artinya anak perempuan dikawinkan secara paksa oleh orang tuanya (Laporan YPMD, 2005). Praktekpraktek budaya seperti ini jelas terkait dengan kesehatan, pendidikan dan hak asasi, tetapi yang terpenting dalam contoh ini adalah perlunya pemahaman yang lebih baik tentang nilai dan norma budaya yang ada, dan perlu pemahaman yang khusus supaya perempuan yang mungkin terpinggirkan oleh masyarakat mereka sendiri tidak terlupakan.
2.3.3
Teluk Cenderawasih Bay dan Biak-Supriori
Teluk Wondama merupakan kabupaten yang baru dimekarkan di Teluk Cenderawasih. Lebih dari limapuluh persen wilayahnya adalah pantai dan dataran rendah, tetapi terdapat wilayah pegunungan juga. Teluk Wondama memiliki kekayaan alam dan aset produktif dalam jumlah yang tinggi, namun belum termanfaatkan oleh masyarakat karena prasarana dan sarana yang minim, khusunya transporasi ke pasar yang tidak ada. Banyak pedagang melakukan perjalanan dari Manokwari untuk beli bahan mahal dengan harga murah. Di Kampung Mamisi telah dibangun jembatan/pelabuhan, yang sangat penting bagi masyarakat yang ingin membawa barang keluar ke pasar. Pantai yang ada di depan kampung tersebut sangat susah disinggahi kapal kecil karena arus air dan angin yang selalu bertiup kencang. Sayangnya hal ini kurang dipertimbangkan dalam rancangan (desain) pelabuhan tersebut sehingga belum bisa dimanfaatkan seperti yang masyarakat harapkan dan mereka sangat kecewa (laporan YALHIMO, 2005). Kasus ini tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus lain di Papua dimana terdapat kelompok masyakarat yang mengetahui masalah yang dihadapinya maupun jalan keluar, namun ’jalan keluar’ sering gagal karena bantuan teknis yang kurang sesuai. Di Kabupaten Teluk Wondama juga terdapat kasus kekecualian berhubungan dengan posisi kaum wanita yang secara umum masih lemah di masyarakat Papua. Di dalam 21
masyarakat adat wamesa, pembagian kerja di dalam keluarga antar suami, istri serta anak-anak. Hal ini sesuai dengan pandangan mereka bahwa seorang perempuan itu harus dijunjung dan dihargai. Penghargaan terhadap perempuan merupakan pandangan hidup yang secara turun temurun diwariskan kepada anak cucu. Perempuan merupakan simbol burung Cenderawasih yang harus dilindungi dan dijaga keelokannya, karena dari sistem adat biasanya burung cenderawasih dipakai sebagai lambang mahkota di kepala oleh seorang pria yang berwibawa, itu menandakan perlindungan kepada perempuan yang akan melahirkan generasi-generasi mereka (laporan YALHIMO, 2005). Kekerabatan masyarakat di kampungkampung dari Biak dan Numfor sampai Supiori, di pantai dan pedalaman, pada umumnya sangat mirip - baik dalam sistem pola adat maupun norma adat yang dilakoni dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat adat. Peraturan atau norma-norma yang dikenal hingga saat ini masih terpelihara. Hal ini nampak pada kebiasaan kerjasama antar suku maupun marga. Persatuan mereka cukup kuat sesuai dengan nilai-nilai adat yang masih dipertahankan sebagai pedoman hidup bagi mereka. Semuanya tunduk pada pemimpin adat dan orang yang di tuakan di kampung yang dikenal dengan sebutan Mananwir Mnur. Pemimpin adat ini mempunyai peran besar untuk mengatur kehidupan warganya, seperti mengatur sistem kepemilikan tanah ulayat dan mengatur proses-proses pengambilan keputusan mengenai akses-akses mereka terhadap sumberdaya alam yang ada pada tanah maupun hutan adat mereka. Mereka belum terpengaruh untuk memperjual-belikan tanah ulayatnya kepada orang lain termasuk karena secara tradisional semua lahan ada sejarah dan pemilik (laporan YALHIMO, 2005). Walaupun secara tradisional hal ini menjadi norma adat di seluruh Papua, kasus Biak, Numfor dan Supriori menonjol karena berbeda dengan banyak wilayah dan kampung kajian lain. Hasil kajian Perikehidupan Masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan menunjjukkan bahwa semakin sering terjadi pergeseran ataupun pengabaian peraturan adat, dimana pola kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya alam menjadi inti. Pergeseran ini terjadi antara lain karena kehadiran nilai-nilai keagamaan kristen, karena pendidikan formal dan karena pendatang termasuk pengusaha dan perusahaan yang memberi dampak yang sangat cepat dan daya tahan adat menurun. Lain dari Papua lainnya, masyarakat di Biak pada umumnya tidak menerima pelembagaan adat melalui lembaga masyarakat adat (LMA). Walaupun lembagalembaga tersebut dibentuk dimana-mana di Papua pada pasca kongres rakyat Papua II pada tahun 2000, namun masyarakat Biak umumnya merasa bahwa jauh sebelumnya lembaga adat terorganisir secara tradisional dalam otoritas marga-marga. Adat Biak bersifat dinamis sehingga menurut masyarakat, LMA tidak perlu terlembagakan secara permanen, dan pembentukan LMA belum tentu sesuai dengan konteks kehidupan mereka (laporan YALHIMO, 2005).
22
2.3.4
Kepala Burung dan wilayah baratdaya
Sorong merupakan salah satu daerah dimana masyarakat diperkenalkan beras sehingga menjadi tergantung pada pemerintah dan pihak luar untuk makanannya. Selain dari peran dominan bidang perminyakan pada ekonomi setempat, kegiatan produktif di perikanan dan kehutanan cukup penting di daerah Sorong. Masyarakat secara tradisional mengolah sagu dan tidak menanam padi. Namun karena nasi telah menjadi makanan pokok, masyarakat tergantung pada pemerintah dan pedagang untuk memenuhi kebutuhan makan ini. Hal yang sama terjadi di berbagai daerah di Papua, tetapi di Sorong sudah begitu biasa sehingga kemungkinan untuk berubah kecil (laporan YALHIMO, 2005). Di Kampung Karburbur di Fakfak, tidak ada masyarakat yang buta huruf karena terdapat sekolah rakyat yang dikelola oleh gereja (melalui YPK) di kampung tetangga sejak zaman penjajahan Belanda. Matapencaharian utama masyarakat Kampung Kaburbur adalah petani dengan tanaman pangan dan kebun pala. Mereka tidak memiliki lembaga satupun yang dapat mendorong peningkatan ekonomi dan menurut para tetua kampung mereka sudah lama dalam posisi lemah karena masalah pemasaran. Hasil panen pala dijual kepada pedagang Fakfak yang menentukan harga dengan sistem monopoli. Yang menonjol dari kasus Kampung Karburbur adalah keinginan yang begitu besar untuk mempertahankan aset-aset penghidupan yang ada. Warga Kampung Kaburbur pernah pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan para pembeli pala. Ternyata mereka kalah dalam hal merebut Pasar Pala di Surabaya, mereka kalah bersaing dengan pedagang pengumpul di Fakfak yang sudah lama membangun pedagang di Surabaya dan ada informasi keliru yang beredar sehingga pedagang tersebut tidak mau membeli pala yang dijual oleh masyarakat pribumi asal Papua (laporan PERDY, 2005).
2.3.5
Wilayah utara
Di beberapa kampung di daerah Papua pantai utara, misalnya di wilayah perkampungan di Kabupaten Jayapura, terdapat kelompok-kelompok yang berbasis masyarakat dan berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, di Kampung Bring, Kampung Nembu Gresi, Kampung Ibub dan Kampung Pupehabu terdapat kelompok perempuan yang bergerak secara bersama dengan kegiatan pertanian, korporasi dan kredit skala kecil, kegiatan kesehatan dan kerohanian. Pada kampung yang sama, terdapat kelompok-kelompok pemuda yang aktif mengorganisir kegiatan olahraga, kesenian, kebaktian, kerja kebun dan korporasi (laporan YPMD, 2005). Di semua kampung tersebut, sudah lama ada gereja, prasarana / akses ke kota cukup baik (disbanding di lain daerah), walaupun jarak ke kota kadang jauh, dan ada pendampingan dan bantuan teknis dari LSM selama beberapa tahun. Faktor-faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh pada cara masyarakat kampung bekerjasama demi kebaikan bersama.
23
3. Ringkasan temuan per ‘sektor’ – Suatu gambaran infrastruktur (sarana dan prasarana), kesehatan dan pendidikan di kampung kajian Ringkasan temuan tentang sarana dan prasrana, serta kesehatan dan pendidikan terdiri dari gambaran aset fisik dan aset sumberdaya manusia di kampung yang jauh dari kota/pusat keramaian serta yang dekat (bagian 2.1 dan 2.2). Temuan kunci yang terdapat di semua kampung kajian disajikan dalam tabel ringkasan. Tidak terdapat ringkasan kuantitatif untuk topik-topik tersebut karena bentuk data cukup bervariasi antara laporan LSM. Namun demikian, pada setiap laporan tersebut ada profil kampung dengan penguraian data kuantitatif tentang aset-aset kesehatan, pendidikan dan lainlain berkaitan kehidupan masyarkat kampung (seperti gereja, gedung pemerintahan dan pasar). Pada beberapa laporan data serupa diringkas juga untuk tingkat distrik dan/atau kabupaten. 3.1
Suatu gambaran isu-isu sarana dan prasarana di tingkat masyarakat
Di kampung jauh dari kota atau pusat keramaian, terdapat sarana dan prasarana walaupun dalam jumlah dan mutu yang sangat minim. Ada kampung yang telah menerima bantuan perumahan dari pemerintah, tetapi jumlahnya hanya cukup bagi sebagian kecil penduduk membangun atau memperbaiki rumah. Rata-rata terdapat MCK dan bangunan pemerintah seperti pos kesehatan dan kantor desa, namun pada umumnya kondisinya kurang baik dan fasilitas cenderung tidak terpakai. Ada sejenis fasilitas kesehatan di hampir semua kampung dengan petugas kesehatan tertentu, namun lingkupan kerjanya terbatas dan penyediaan jenis obat-obat yang paling mendasar tidak memadai. Ada bangunan (gedung) sekolah pada semua kampung kajian, tetapi tidak semua mempunyai jumlah ruang kelas yang sesuai dan sebagian besar tidak memiliki fasilitas pendukung atau perlengkapan dan sebagian besar tidak dilayani oleh jumlah guru yang memadai. Sekolah-sekolah yang terdapat di semua kampung kajian adalah sekolah dasar (SD) dan jumlah guru yang dilaporkan per kampung berkisar antara nol sampai empat. Pada sebagian besar kampung tidak ada sarana pasar, sarana komunikasi (telepon) ataupun sistem air bersih. Masyarakat menggunakan air sungai, air sumur atau air hujan – tergantung penyediaan dan mutu air, yang rata-rata berubah secara musiman. Kebanyakan kampung tidak mempunyai sumber listrik yang tepat: ada yang memiliki generator diesel (solar) tetapi sering tidak ada bahan bakar atau masyarakat tidak mampu membelinya; di kampung lain tidak ada sarana listrik sama sekali namun ada kemungkinan tenaga matahari atau teknologi lain akan sesuai. Sarana jalan dan jembatan yang ada cenderung dalam keadaan rusak dan di kampung tertentu tidak terdapat jalan sehingga akses adalah melalui air atau udara. Di kampung-kampung seperti ini tidak ada transportasi yang hemat dan dengan demikian akses ke luar kampung jauh lebih mudah (dan sering dinikmati) oleh pedagang dan petugas pemerintah dan lembaga keagamaan, dibanding dengan penduduk biasa. Prasarana dan sarana yang dibangun secara sukarelawan oleh masyakarat cenderung dipakai lebih sering dan dirawat baik, dibanding dengan apa yang dibangun oleh pihak luar. Hal ini terjadi karena jika masyarakat membangun sesuatu itu sesuai kebutuhan mereka. Selain dari itu, merekalah yang menentukan letak, gaya dan dimensi, lalu dalam proses pembangunan sumberdaya (bahan, tenaga dan/atau uang) masyarakat sendiri yang dipakai. Dengan demikian ada rasa kepemilikan terhadap sarana dan
24
prasarana tersebut. Pada semua kampung kajian terdapat tempat ibadah (biasanya sebuah gereja) dan di banyak kampung itu menjadi satu-satunya sarana yang digunakan secara rutin. Walaupun tidak digarisbawahi dalam laporan LSM pelaku kajian tetapi terdapat contoh asset masyarakat lain, yang dibangun oleh masyarakat, seperti rumah-rumah adat, sumur, perahu, jembatan/pelabuhan dan menara pengintai. Masyarakat kampung yang dekat ke kota dapat mengakses prasarana dan sarana dengan lebih mudah (dibanding kampung yang lebih jauh), walaupun yang diakses seringkali tidak di kampung tetapi di kota atau pusat keramaian yang dekat. Prasarana dan sarana umum di kota atau pusat keramaian rata-rata lebih bagus dari segi jumlah maupun mutu. Dengan adanya jalan dan akses ke transportasi, pasar dan sarana pendidikan (khususnya di SMP, SLTP dan ke atas) lebih banyak dimanfaatkan. Masyarakat juga lebih mudah dan lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan – bukan saja Puskesmas dan rumah sakit, melainkan pelayanan kesehatan tingkat kampung, seperti posyandu rata-rata lebih ada. Pelayanan tersebut seharusnya dijalankan atau dihadirkan oleh petugas Puskesmas dan oleh karena itu hampir tidak ada di kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian. Di kampung-kampung yang dekat ke kota standar rumah penduduk lebih sehat, barangkali karena terdapat akses terhadap bahan maupun gagasan pembanguna rumah. Namun demikian, di rumah penduduk di kampung dekat ke kota tidak tersedia air bersih dan kadang-kadang saja terdapat penerangan.
25
Tabel 2. Aspek Fasilitas
Pendanaan
Kepemilikan
Kebutuhan
3.2
Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana Temuan yang terdapat di seluruh kampung kajian • Ada aset fisik selain rumah di semua kampung kajian. • Pembangunan dan perawatan fasilitas kesehatan dan pendidikan kurang baik. • Rata-rata tidak ada penyediaan air bersih. • Sumber listrik terdapat di banyak kampung dekat ke kota tetapi hanya di beberapa kampung yang jauh dan biasanya merupakan genset, bukan PLN dan sering pakai teknologi yang tidak tepat atau berkelanjutan. • Kondisi sarana menjadi penghambat bagi pelayan pemerintah dan alasan utama petugas kurang mengakses atau tinggal di kampung. • Kebanyakan sarana ‘datang’ dari luar, dibiayai pemerintah • Sarana tersebut jarang dibangun atau dirawat oleh masyarakat. • Masyarakat tidak berpartisipasi secara berarti dalam proses pembangunan atau penyediaan sarana. • Sumberdaya masyarakat sendiri dipakai untuk membangun rumah-rumah dan gereja. • Prioritas utama adalah akses ke kota, yaitu transportasi yang hemat dan andal • Fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik dalam perlengkapan dan pelayanan • Daerah yang rupanya lebih buruk adalah di daerah selatan (Kabupaten Asmat, Bouven Digoel, Mappi dan bagian tertentu di Kabupaten Merauke), sekitar Teluk Cenderawasih (Kabupaten Teluk Wondama), bagian tertentu dan dari Kabupaten Sorong.
Suatu gambaran isu-isu kesehatan di tingkat masyarakat
Pada umumnya kesehatan masyarakat di kampung yang jauh dari kota, relatif kurang baik. Penyakit pernafasan, kulit, perut dan gizi yang kurang baik terdapat di seluruh daerah, sedangan malaria bersifat endemis di mana-mana kecuali pegunungan. Di daerah-daerah tertentu ditemui kasus infeksi menular seksual tingkat tinggi dan di sebagian besar kampung kesadaran masyarakat tentang pencegahan semua penyakit masih rendah. Di kampung-kampung tertentu terdapat perbedaan yang menonjol pada rasio penduduk, yaitu jumlah laki-laki yang lebih besar dari jumlah perempuan, tetapi perbedaan tersebut tidak begitu dibahas pada laporan kajian. Pada semua kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian, masyarakat berkonsultasi dengan pakar pengobatan tradisional dan mengobati diri. Mereka sangat tergantung pada obat-obat tradisional yang diperoleh secara langsung dan tidak perlu hubungan dengan sistem kesehatan formal. Bagi masyarakat kampung tersebut, pelayanan kesehatan formal sukar diakses dan pada umumnya belum dikenal dengan baik.
26
Tingkat kesehatan masayarakt di kampung yang dekat ke kota sedikit lebih baik daripada di kampung yang jauh, namun keluhan kesehatan tetap sama dan orang tetap lebih suka berobat secara tradisional, daripada menggunakan obat modern yang tentunya makan uang. Perbedaan antara kampung jauh dan dekat adalah akses kepada pelayanan kesehatan formal, dengan arti bila masyakarat mampu, mereka dapat memilih. Pada saat yang sama, terdapat beberapa penduduk kampung yang jelaskan pernah ditolak waktu pergi berobat di distrik atau di kabupaten. Namun di kampung yang dekat ke kota, tetap terdapat pilihan bagian masyarakat bila ingin ikut ke Posyandu dan tetap terdapat kemungkinan mengakses atau diakses oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Selain dari itu, orang lebih memiliki akses lebih luas terhadap informasi di kampung yang dekat ke kota/pusat keramaian, kalaupun aksesnya masih informal hal ini menjadi suatu perbedaan yang penting. Tabel 3. Aspek Isu-isu
Fasilitas
Pendanaan
Kepemilikan Kebutuhan
Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana Temuan yang terdapat di seluruh kampung kajian • Penyebaran penyakit malaria sangat luas tetapi hanya diakui sebagai masalah kesehatan oleh masyarakat di kampung tertentu. • Penyakit yang berkaitan sanitasi (kebersihan) sangat umum. • Karena pendidikan dan kesadaran rendah, serta perilaku berisiko tinggi ada kelompok tertentu yang rentan thd HIV/AIDS. • TB tidak disebutkan pada laporan satupun, namun semua sebutkan tingginya infesksi dan penyakit pernafasan. • Pada semua kampung kajian terdapat sejenis sarana kesehatan, tetapi tidak dipergunakan di banyak kampung. • Pos kesehatan di kampung mempunyai alat-alat dan obat yang sangat terbatas bahkan tidak ada sama sekali. • Posyandu dan program pemerintah lain untuk masyarakat kampung pada umumnya tidak berjalan. • Kebanyakan sarana kesehatan ‘datang’ dari luar, dibiayai pemerintah. • Petugas kesehatan dibiayai oleh pemerintah; penduduk harus membeli obat. • Kebanyakan orang berkonsultasi dengan pakar pengobatan tradisional atau mengobati diri sendiri. • Akses terhadap pelayanan kesehatan, baik pencegahan maupun perawatan. • Air bersih dan kebersihan lingkungan.
27
3.3
Suatu gambaran isu-isu pendidikan formal di tingkat masyarakat
Tingkat pendidikan rata-rata di masyarakat kampung adalah sekolah dasar (SD). Di kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian banyak anak tidak bersekolah secara teratur karena kekurangan tenaga dan fasilitas mengajar, masalah keuangan keluarga, dan dalam kasus tertentu karena faktor budaya. Banyak pemuda tidak melanjutkan pendidikan sampai ke SMP atau SLTP karena faktor jarak dan ongkos bila mengakses ke distrik (atau kabupaten) yang ada sekolah tingkat berikut. Sikap orang tua terhadap pendidikan formal kurang mendukung di beberapa kampung saja. Hal ini bukan karena mereka tidak ingin anak terdidik, melainkan karena mereka kurang memahami peran mereka bersama sistem formal yang ada. Sebagai contoh, sekolah di kampung yang jauh dari kota tidak ada panitia sekolah dan orang tua tidak diberikan petunjjukan dari sekolah, mislanya dalam hal pengawasan dan pekerjaan rumah. Namun di kampung-kampung tertentu terdapat lususan SMA (atau setingkat) bahkan lususan perguruan tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendidikan dasar pada tingkat kampung. Program-program pemerintah yang melayani kebutuhan pendidikan pada orang yang putus sekolah tidak tersedia di kampung yang jauh dari kota atau pusat keramaian, dan pendidkan bagi dewasa juga belum ada. Tingkat pendidikan formal pada anak dan pemuda di kampung yang dekat ke kota pada umumnya lebih tinggi daripada mereka yang tinggal jauh. Di kampung yang dekat ke kota ada akses ke sekolah yang lengkap dengan tenaga pengajar serta akses ke sekolah tingkat lanjutan karena paling tidak ada SMP/SLTP di banyak kota distrik. Akses pada pendidikan bagi dewasa, termasuk peluang pelatihan tetap terbatas sekali di kampung yang dekat ke kota atau pusat keramaian.
28
Tabel 4.
Ringkasan temuan masalah kunci – prasarana dan sarana
Aspek Tingkat pendidikan
Temuan yang terdapat di seluruh kampung kajian • Di sebagian besar kampung tingkat pendidikan rata-rata SD • Di sebagian besar kampung orang tua tidak dilibatkan kegiatan sekolah dan tidak mengambil peran dalam pendidikan formal • Daya baca-tulis berbeda-beda, baik antara anak dan dewasa maupun antara kampung satu sama lain • Di beberapa kampung terdapat keluarga yang kurang mendorong anak untuk bersekolah – ada yang mengutamakan kegiatan produktif/ekonomi keluarga; bagi yang lain, pendidikan formal tidak menjadi bagian dari latarbelakang sejarah dan kebudayaan setempat • Di sebagian besar kampung kebanyakan keluarga sangat ingin anak mendapat pendidikan yang baik dan menyesal bahwa itu tidak terjadi • Hampir tidak ada kesempatan pendidikan atau pelatihan bagi orang yang putus sekolah atau bagi kelompok lain termasuk kaum wanita Fasilitas dan • Ada gendung SD di semua kampung kajian; jumlah ruang pelayanan kelas berbeda-beda • Jarang terdapat jumlah guru per sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan yang hadir, tinggal dan bekerja di kampung • Di beberapa kampung terdapat sekolah tetapi tidak ada guru atau buku • Banyak distrik tidak mempunyai sekolah menengah (SMP/SLTP) Pendanaan • Sebagian sarana pendidikan ‘diberikan’ dari luar, dibiayai oleh pemerintah • Banyak kampung memiliki sekolah lembaga gereja (YPK, YPPK atau YPPGI) tetapi pendanaan sekolah tersebut tidak dibahas dalam laporan Kepemilikan • Rasa memiliki sekolah di kampung bervariasi Kebutuhan
3.4
• • •
Guru yang hadir bekerja di sekolah secara andal Keterlibatan orang tua dalam sistem sekolahan Akses pada pendidikan lanjutan, terutama pada sekolah menengah dan atas
Isu-isu lain yang menonjol
Selain dari isu-isu menyangkut cara penyediaan prasarana dan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat kampung, dan mengapa proses dan program pemerintah rata-rata tidak mewujudkan rasa kepemilikan atau perbaikan ekonomi pada masayrakat, terdapat isu yang lain lagi. Di tengah-tengah keterangan dan analisa perikehidupan masyarakat oleh keempat LSM sering diangkat isu ‘pendampingan’. ‘Pendampingan’ merupakan istilah yang sangat disukai oleh pihak pemerintah maupun masyarakat sipil di Papua sehingga penting untuk dipertimbangkan dalam dokumen ringkasan ini. Arti harfiah pendampingan adalah proses mendampingi; pengertian istilah
29
pendampingan termasuk bantuan teknis, penyuluhan, pendukungan atau pengarahan bagi masyarakat. Namun, pemakaian istilah ‘pendampingan’ oleh LSM juga mengandung nuansa yaitu pendampingan sebagai proses menemani, menjadi mitra atau pasangan; ada pengertian penting yaitu pendampingan berarti ‘berada bersama sama dengan masyarakat’. Satu hal yang nampak penting sekali pada tingkat keberhasilan kegiatan atau program apapun di kampung-kampung kajian adalah sifat dan mutu dari ‘pendampingan’ tersebut. Menurut keempat LSM masyarakat kampung yang telah ‘didampingi’ atau pernah ada ‘pendampingan’ dari lembaga kemasyarakatan lebih menunjjukkan sikap motivasi atau merasa terdorong untuk maju dan dapat lebih mampu berpikir secara kritis tentang kebutuhan mereka. Hal ini ditemukan sebagai perbandingan dengan masyarakat yang tidak pernah mendapat pendampingan seperti yang dimaksud. Namun selain motivasi dan daya pikir kritis, program atau upaya lembaga kemasyarakatan tidak menghasilkan perubahan nyata pada kondisi kehidupan di kampung. Khususnya perbaikan tingkat ekonomi tidak terwujud karena masa pendampingan kurang lama. Rata-rata pendampingan hanya berlanjut selama satu tahun karena itulah masa pendanaan para donator. Berdasarkan pengalaman nyata, tim Yayasan Almamater (2005) mengusul program di kampung, atau bantuan teknis bagi masyarakat, akan lebih effektif jika pendampingan berlangsung selama tiga sampai lima tahun: “komunitas dan kelompok sasaran akan menjadi mandiri jika kebutuhan untuk bantuan jangka panjang diketahui sejak awal, dan perencanaan serta implementasinya dikerjakan sesuai jangka waktunya untuk mencapai peningkatan produktivitas dan aktivitas yang berkelanjutan.” Di sejumlah kecil kampung yang pernah dilaksanakan program pemerintah, tetapi menurut penjelasan LSM program-program tersebut juga gagal karena kukurangan pendampingan. Kurang berhasilnya kegiatan dari program-program pemerintah juga dikarenakan tidak ada kajian serius tentang kondisi makro dan perikehidupan masyarakat, atau karena kegiatan/program hanya menjawab satu aspek permasalahan dan tidak cukup menyatu dengan kebiasaan sosial-kemasyarakatan atau budaya setempat. Di antara contoh-contoh dari kampung kajian ada: pemberian bibitan kakao tanpa penjelasan, apa lagi percontohan, pelatihan atau dukungan produksi dan pemasaran (laporan PERDU, 2005); sejumlah bak penampungan air hujan diturunkan di kampung tanpa penjelasan mengapa sekian bak dan bukan satu per rumah, atau bagaimana penduduk mesti memasang dan merawatnya (laporan Almamater, 2005); pemberian kondom langsung ke masyarakat tanpa dibangun jaringan supplier sehingga setelah kondom habis masyarakat kembali tidak memakainya (laporan YPMD, 2005); dan kampung-kampung yang mendapat genset tetapi tidak memeliki akses terus-menerus pada bahan bakar dengan harga yang terjangkau (laporan YALHIMO, 2005).
30
Sehubungan dengan analisa dampak dari bantuan eksternal, laporan YALHIMO, YPMD dan PERDU semua mengangkat isu dimana bentuk bantuan eksternal telah menurunkan kreatifitas masyarakat dan menciptakan ketergantungan. Meskipun masyarakat memiliki sumberdaya alam yang kaya namun banyak penduduk asli yang tidak mampu lagi mengolahnya secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh yang diangkat oleh LSM dalam kajian adalah pemanfaatan dana OTSUS dan dan Bangdes, dimana dana tersebut walaupun dalam jumlah cukup besar rata-rata tidak dimanfaatkan untuk kepentingan produktif atau berkelanjutan. Di kampung-kampung tertentu dana tersebut hanya dibagi rata antara kepala keluarga sehingga dianggap sebagai pendapatan routin. Cenderung bantuan diberikan dalam bentuk uang tanpa pendampingan atau pengawasan membuat sejumlah masyarakat hanya menunggu bantuan berikut dan tidak berupaya untuk memajukan nasib mereka secara swadaya atau mandiri. Ketergantungan ini dianggap oleh LSM pelaku kajian sebagai suatu dampak yang sangat parah dan harus menjadi pelajaran dalam proses merubah dari perubahan bantuan menjadi model kerjasama yang lebih konstruktif di masa depan. Laporan LSM-LSM pelaku kajian juga mengandung komentar terhadap pemekaran kabupaten baru yang terjadi di Papua. Terdapat analisa yang bersifat umum soal faktor politik, ekonomi dan aspek struktural yang berperan besar dengan adanya kemiskinan di kampung kajian. Namun sebagian besar laporan LSM menyatakan secara tidak langsung bahwa alasan utama mengapa prasarana, sarana dan pelayanan dasar begitu buruk di tingkat kampung adalah karena posisi yang jauh dengan pusat administrasi yaitu pusat kekuasaan. Pelayanan yang terbaik, serta fasilitas termasuk pasar, hanya terdapat di kota kabupaten dan sebagian di distrik. Di situlah diambil berbagai keputusan dan terdapat kesempatan yang berhubungan dengan keuangan. Dengan demikian diassumsikan bahwa karena penambahan pusat tersebut menjadi bagian dari pemekaran, maka semua untung dari distrik dan kabupaten akan lebih terjangkau oleh masyarakat kampung dan kondisinya akan membaik. Namun pada waktu yang sama, di beberapa laporan LSM terlihat kesadaran bahwa kondisi masyarakat tetap tidak akan membaik kecuali bila ada kemauan politis, kondisi kebijakan dan sumberdaya manusia yang memadai. Sebenarnya perbaikan kondisi masyarakat bisa saja tercapai dengan sistem/penyusunan kabupaten lama, bahkan pembentukan kota dan pusat keramaian baru dilihat sebagai sumber ketegangan atau sesuatu yang menyebabkan persaingan yang kurang sehat, tetapi secara tidak langsung dipaksakan pada masyarakat sampai di tingkat kampung. Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat kampung yang dekat ke kota dan pusat keramaian dikira dapat menyebar sampai ke kampung lain yang selama ini masih dapat mempertahankan kebudayaan dan bisa hidup karena sumberdaya alam masih melimpah. Hal terakhir yang menonjol dari sejumlah analisa perikehidupan masyarakat di Papua adalah kapasitas sumberdaya manusia, khususnya pada orang yang bertugas atau berperan sebagai pelayan masyarakat, misalnya guru, mantra, aparat desa dan staf dinas yang rata-rata perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Di semua wilayah kajian rupanya sangat dibutuhkan upaya peningkatan sumber daya manusia, termasuk upaya atau investasi pada fasilitator lokal, pengurus atau pengorganisasian masyarakat, guruguru dan orang berketerampilan yang dapat mengembangkan masayarkat dan kampung sendiri.
31
4. Suatu gambaran masyarakat sipil - ringkasan temuan tentang lembagalembaga kemasyarakatan Profil lembaga-lembaga kemasyarakat di tingkat kampung maupun kabupaten digambarkan oleh keempat LSM dengan tujuan untuk mengembangkan pengertian mengenai keberadaannya serta peran yang sebenarnya di tingkat kampung di Papua. Meskipun terdapat perbedaan antara wilayah satu sama lain, terdapat pula temuantemuan umum yang dilaporakan oleh setiap LSM berhubungan dengan keberadaan dan kemampuan (kapasitas) berbagai jenis lembaga. Temuan-temuan tersebut diringkaskan dibawah ini. 4.1
Profil umum
Versi masyarakat sipil di Papua beranekaragam, tergantung antara lain pada bagaimana masyarakat sipil tersebut diartikan dan dari sudut mana kegiatan merekea dimengerti. Laporan YPMD (2005) memuat diskusi terinci mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat sipil yang aktif di Papua dan memberikan konteks yang menarik untuk mengerti profil umum lembaga kemasyarakatan yang diringkaskan sekarang ini. Laporan-laporan LSM yang lain juga memberikan latar belakang yang mirip yang berkaitan dengan wilayah kajian masing-masing. Laporan PERDU (2005) mengacu pada beberapa survei keadaan lembaga kemasyarakatan yang telah dilakukan, yang juga menununjjukkan dinamisme masyarakat sipil di Papua. Lembaga-lembaga kemasyarkatan yang teridentifikasi dalam kajian Perikehidupan Masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan dapat dirangkum menurut tiga kategori utama: • Lembaga masyarakat adat, yang merupakan organisasi kemasyarakatan/ berbasis masyarakat di tingkat kampung, distrik atau kabupaten (dan biasanya pada beberapa diantaranya); • Lembaga keagamaan, yang bekerja di semua wilayah geografis termasuk wilayah terpencil yang tidak terjangkau oleh pihak lain; dan • Lembaga non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang paling banyaknya terpusat di kota-kota Kabupaten dan di kota Jayapura. Walaupun terdapat sejumlah jenis organisasi lain, misalnya di antara para migran dengan asal suku/agama yang sama atau kepentingan usaha yang sama, tetapi jenis lembaga tersebut tidak dianggap sebagai ‘pelaku utama’ dalam masyarakat sipil dan tidak dikaji dalam kajian Perikehidupan Masyarakat dan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan. Media juga merupakan pelaku penting pada masyarakat sipil, tetapi perannya belum dikaji. Sehubungan dengan peran media, di laporan-laporan LSM hanya disebutkan bahwa akses masyarakat kampung terhadap informasi sangat terbatas. Lembaga masyarakat adat merupakan fenomena yang relatif baru dan banyak lembaga tersebut baru terbentuk secara resmi sejak tahun 2000. Keberadaan lemabga ini berdasarkan jati diri etnis (adat) sehingga yang memiliki lembaga masyarakat adat adalah masyarakat adat atau orang asli Papua. Pada lembaga masyarakat adat terdapat dua bentuk utama, yaitu: LMA dan DA/DMA. Sebenarnya terdapat sejenis lembaga dengan nama LMA (Lembaga Musyawarah Adat) yang tercipta pada zaman Suharto/Order Baru dan dalam pengertian tertentu sejarahnya kurang baik. Namun LMA (Lembaga Masyarakat Adat) telah diciptakan kembali oleh masyarakat kampung-
32
kampung dengan maksud dan tujuan mereka sendiri. Pengunaan istilah DA dan DMA (Dewan Adat/Dewan Masyarakat Adat), sebagai alternatif istilah LMA, mencerminkan keinginan kelompok-kelompok tertentu untuk membedakan lembaga adat konsep mereka dari LMA konsep pemerintah. Dalam laporan kajian LSM, lembaga-lembaga tersebut rata-rata disebutkan sebagai Lembaga Adat (LA). Dilaporkan bahwa terdapat lembaga ini di hampir semua kampung kajian. Selain penanganan isu-isu yang masyarakat harap diselesaikan secara adat, LMA/DA/DMA terfokus pada kepemilikan dan pengunaan sumberdaya alam, termasuk isu ganti rugi. Contoh pernyataan tujuan dan misi yang mewakili existensi jenis lembaga ini adalah: “untuk memperjuangkan hak masyarakat asli mendapat dukungan dan diakui oleh pemerintah…..untuk mengelola bantuan yang diberikan pemerintah kepada rumpun suku, baik bantuan untuk kebutuhan pesta adat maupun rencana-rencana pembangunan ekonomi dan sosial budaya penduduk asli” dan “untuk menjunjung kepenting sosial-budaya masyarakat asli Papua….melambang hal-hak politik, ekonomi dan sosial budaya” (laporan Kajian Kapasitas Pemerintah Daerah, UNCEN dan UNIPA, 2005). Lembaga-lembaga keagamaan biasanya didirikan sebagai yayasan dan selain peran kerohanian juga melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Di semua kampung kajian, kecuali satu, penduduk kampung semua cenderung menganut aliran yang sama. Di semua kampung juga, kecuali satu kampung yang sebagian besar orang Islam, lembaga keagamaan adalah gereja/lembaga kristiani dan dengan demikian di semua kampung kajian terdapat lembaga gereja. Lembaga-lembaga gereja merupakan lembaga kemasyarakatan yang paling lama berada di Papua dan dianggap sangat baik di tingkat masyarakat karena masyarakat tidak ditinggalkannya (didampingi terus-menerus) dan arena lembaga-lembaga inilah yang dapat menghasilkan sesuatu bagi masyarakat. Meskipun kegiatan formalnya mengacu pada pendidikan formal dan kegiatan kerohanian, lembaga keagamaan terlihat membangun sumberdaya manusia di kampung dan di samping bantuan teknis yang diberikannya di kampung-kampung tertentu, gereja memberikan semangat. Terdapat pula sejumlah organisasi berbasis masyarakat atau kelompok di kampung yang pendiriannya secara tidak langsung berkaitan dengan gereja. Misalnya kalau gereja aktif di kampung sering terdapat kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan pemuda di masyarakat. Seringkali kelompokkelompok tersebut merupakan satu-satunya organisasi yang berfungsi di mana masyarakat biasa di kampung-kampung di Papua terlibat secara rutin atau selama suatu waktu yang panjang. (Seringkali masyarakat Papua biasa, yaitu penduduk kampungkampung, tidak mempunyai pengalaman beranggota dalam kelompok atau organisasi yang berjalan baik selain di kelompok-kelompok tersebut). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dirikan sebagai yayasan, namun jumlah LSM yang terdaftar jauh lebih banyak dibanding yang aktif. Misalnya laporan PERDU menjelaskan di antara 21 LSM yang terdapat di kawasan Kepala Burung di Papua hanya beberapa saja yang memiliki motivasi dan kegiatan yang jelas. Di Papua terdapat LSM lokal dan LSM cabangan dari LSM internasional. Bidang kerja LSM sangat beragam namun kegiatan utamanya adalah di bidang: hak asasi manusia; lingkungkan hidup; HIV/AIDS; kredit bagi rakyat (micro-credit); pertanian/perikehidupan dan pengembangan masyarakat. Metode kerja utama LSM-LSM di Papua adalah advokasi dan pendampingan. Sebagian besar angotta dan tenaga LSM adalah lulusan SMA dan perguruan tinggi di Papua.
33
4.2
Penyebaran lembaga kemasyarakatan
Dalam keempat laporan LSM pelaku kajian Papua Needs Assessment yang didukung oleh UNDP sangat jelas bahwa jumlah dan lingkupan lembaga kemasyarakatan di Papua telah berkembang cepat selama beberapa tahun terakhir. Dalam konteks ini perkembangan lembaga kemasyarakatan penting antara lain karena perannya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan peluang pembangunan yang terdapat di Papua. Perkembangan tersebut dilihat sebagai akibat berbagai faktor termasuk era Reformasi, Otsus, peningkatan kegiatan donor dan pelaku sektor swasta yang ingin berhubungan baik dengan masyarakat di tingkat kampung. Khususnya di wilayah Kepala Burung, YALHIMO dan PERDU (2005) menjelaskan bahwa peningkatan jumlah lembaga kemasyarakatan dan kehadiran semakin banyak instansi luar (lembaga internasional termasuk perusahan, LSM, donor, PBB (UN) dan programnya masing-masing) cenderung membingungkan bagi orang Papua. LSM-LSM yang mendampingi masyarakat kampung melihat ketidakjelasan antara tujuan, kepentingan dan kegiatan sekian lembaga, bahkan kemungkinan konflik juga meningkat. Semua laporan mengatakan penyebaran lembaga-lembaga kemasyarakatan di Papua tidak merata, kalaupun di wilayah kerja masing-masing sebagian besar terpusat di kota kabupaten yang sudah lama berdiri. Anggota/tenaganya hanya berjalan ke distrik dan kampung dalam rangka pelaksanaan kegiatan. Namun dikatakan begitu, perlu diingat bahwa banyak pengamatan dan analisa keempat LSM tentang lembaga kemasyarakatan pada umumnya lebih terfokus pada kenyataan di lingkungan LSM dan bukan di lingkungan lembaga kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian barangkali lebih akurat bila dikatakan bahwa walaupun banyak LSM, dan kemungkinan sebagian lembaga keagamaan, lebih terpusat di tingkat kabupaten dan propinsi, namun lembaga adat (LA/LMA) jelas tersebar di seluruah wilayah. Kalaupun sudah tentu bahwa lembaga keagamaan pemiliki perkantoran atau fasilitas di kota dan pusat keramaian, tetap ada petugas atau penginjil di tengah-tengah masyarakat di hampir semua kampung. Walaupun penulis laporan keempat LSM mengakui / menggambarkan adanya lembaga keagamaan dan lembaga adat, khususnya dalam profil-profil laporan, pembahasan mereka tentang kapasitas masyarakat sipil diduga lebih tepat menggambarkan kapasitas LSM (daripada lembaga kemasyarakat secara lebih menyuluruh). Pada table di bawah ini, misalnyanya, perkiraan jumlah lembaga kemasyarakatan yang aktif di tingkat kampung kajian terdiri dari keempat laporan LSM, tetapi jumlah lembaga adat yang terdapat di kampung (atau dapat anggota di kampung) tidak terlihat pada angka angka lembaga kemasyarakatan yang aktif. Dengan demikian lebih tepat mengatakan angka yang disajikan di bawah ini hanya menggambarkan kehadiran LSM dan lembaga keagamaan.
34
Tabel 5. Perkiraan lembaga keagamaan aktif di kampung kajian (tidak termasuk (LA/LMA) Wilayah
Papua, daerah selatan – dayabarat
Kepala Burung dan Papua dayabarat
Teluk Cenderawasih, Sorong dan BiakSupriori
Pegunungan tengah dan pantai utara
4.3
Kabupaten Merauke Mappi Asmat Boven Digoel Fakfak Teluk Bintuni Manokwari Kaimana Sorong Teluk Wondama Biak-Supriori Wamena Jayapura Kerom Sarmi
# lembaga kemasyarakatan yang aktif di kampung-kampung kajian Kurang-lebih 24
Kurang-lebih 25
Kurang-lebih 31
Kurang-lebih 74 (mayoritas di Wamena dan Jayapura)
Contoh kegiatan lembaga kemasyarakatan
Keberadaan setiap lembaga kemasayarakatan jelas berbeda-beda, tergantung antara lain pada tujuan, latarbelakang, komposisi dan status lembaga, serta konteks sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang ada. Untuk menggambarkan keanekaragaman tersebut, dirangkum contoh dari ke-tiga kategori lembaga kemasyarakatan yaitu lembaga masyarakat adat, lembaga keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat. Lembaga masyarakat adat – contoh dari Kabupaten (dan suku) Asmat (laporan Almamater, 2005) Budaya dan Pola Kehidupan: masyarakat adat berasal dari suku Asmat yang terdiri dari 12 Far (Forum Adat Rumpun) yaitu Joerat, Bismam, Siamai, Kenok, Safan, Becembub, Yomagau, Emari Ducur, Kaimo, Tomor dan Jupmakjain. Rumpun dibagi berdasarkan wilayah tanah adat, kesamaan bahasa, batas daerah mencari makan/dusun, garis keturunan/marga, asal usul marga, wilayah kekuasaan dari jaman pengayaun yang diwariskan pada keturunan laki-laki/marganya. Secara budaya dan adat istiadat kepemilikan hak ulayat tanah adat diatur berdasarkan marga yang diwariskan kepada anak laki-laki. Sistim perkawinan masyarakat dilakukan dengan sistim/cara adat dan kawin campur antara suku/marga. Warisan budaya mengukir merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Asmat yang masih tetap dipertahankan terutama kaum pria. Kegiatan mengukir merupakan ekspresi emosional, inspirasi dan interaksi kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Bagi kaum perempuan kegiatan mengayam merupakan keterampilan budaya yang masih dipertahankan. Hasil anyaman seperti tikar pandan (Tapin), tas, keranjang dan hiasan-hiasan pakaian adatdigunakan dalam keperluansehari-hari dan dijual sebagai tambahan penghasilan. Pesta Budaya seperti pesta patung, pesta topeng, pesta perahu dan pesta ulat sagu masih rutin dirayakan oleh masyarakat dan biasanya pada bulan Oktober dan dilakukan secara besar-besaran. Pesta Patung Bis (Bispokombi) yaitu pesta mengukir patung Bis yang dilakukan bersama-sama di JEW atau JE bersamaan dengan pesta ulat sagu. Pesta ini lebih bermakna sebagai tradisi pembinaan generasi muda menuju kedewasaan dan pengajaran menjadi manusia Asmat (Asmat Ipits/Caut). Budaya leluhur suku Asmat
35
mewariskan suatu pengertian bahwa dunia ini terdiri dari tiga lapis yaitu Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang); Dampu ow Capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal); dan Safar (surga). Dari pengertian ini diyakini bahwa agar roh seseorang masuk ke dalam surga maka keluarganya harus mengukir patung dan melakukan pesta/ritual adat. Lembaga adat (LMAA) cukup aktif secara operasional khususnya dalam menangani permasalahan konflik hak ulayat dan hal-hal yang berhubungan dengan adat dan budaya. Permasalahan yang utama dalam LMAA saat ini kurangnya biaya operasional dan personal pengurus karena sebagian pengurus sudah masuk pegawai. Lembaga keagamaan – contoh dari Kabupaten Keerom (laporan YPMD, 2005) Kelompok Kerja Wanita (KKW) Papua, yang dilahirkan tahun 1987 tetap dan eksist untuk mengerjakan beberapa masalah yang dialami kelompok kaum perempuan. Kelompok ini memberi perhatian khusus kepada persoalan Pendidikan Kesehatan Perempuan, Peningkatan Potensi Keterampilan Perempuan dan Pengembangan Wacana untuk Perempuan memberi perhatian pada product makanan asli Papua. Saat ini KKW memberi fokus lebih kepada Status Kesehatan Kaum Perempuan, karena perkembangan penyakit menular sexual dan HIV/Aids di Papua yang maju dengan pesat. KKW yang bekerja sama dengan Gereja Katholik di Waris bersama-sama melakukan penyuluhan serta pelatihan-pelatihan kepada masyarakat untuk bersamasama bergerak mengatasi ancaman mematikan dari penyakit HIV/Aids tersebut. Masyarakat di daerah perbatasan seperti Distrik Waris dengan negara tetangg PNG, berpotensi tinggi untuk mengidap penyakit ini. Oleh sebab itu KKW dan Gereja Katholik di Waris menyusun program bersama dan di dukung oleh ASA/Usaid melakukan program pembinaan pemuda dan pemudi lokal pada 6 Kampung di Waris sebagai penyuluh lapangan kepada masyarakat agar mereka bisa menghindar dari perilaku sex dengan resiko terinfeksi virus mematikan tersebut. Lembaga swadaya masyarakat – contoh dari Kabupaten Sarmi (laporan YPMD, 2005 Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) - Sejak berdiri 26 Oktober 1994 sampai sekarang, bekerja mendampingi masyarakat Mamberamo dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain, penguatan lembaga adat, pemberdayaan masyarakat, advokasi lingkungan hidup. CSO seperti memeiliki wilayah dampingan yang sangt besar tetapi kapasitas CSO seperti YALI ini benar-benar dihadapkan pada tantangan basic needs masyarakat dan tingkat pemahaman terhadap berbagai proses pembelajaran untuk perubahan. Nampaknya kelompok CSO seperti YALi membutuhkan kebijakan pemerintah untuk bersama-sama membagi peran guna memecahkan masalah meyangkut kebutuhan pembangunan berkelanjutan. 4.4
Isu-isu
Pada semua analisa keberadaan dan kapasitas lembaga kemasyarakatan menunjjukkan rasa frustrasi dengan pencapaian hasil kerja dengan masyarakat di kampung di sekitar Papua. Keempat LSM melaporkan bahwa data dan informasi tentang capaian hasil suatu lembaga kemasyarakatan secara detail sangat sulit didapatkan. Secara umum
36
disampaikan bahwa tidak semua pengembangan program yang tercantum dalam profil kelembagaan dilaksanakan. Sebagian juga mengatakan ada yang sudah terlaksana tetapi tidak berlanjut sehingga hasilnya tidak tampak saat ini. Disampaikan juga bahwa kesadaran dan pertangunggjawaban lembaga-lembaga atas dampak kegiatan di kampung termasuk minim, tetapi seperti dikatakan di atas komentar seperti ini lebih menggambarkan keadaan LSM formal yang dibahas dalam laporan LSM pelaku kajian. Catatan di bawah ini dikutip dari laporan Almamater (2005) yang mengemukakan beberapa isu yang diangkat oleh LSM-LSM yang melakukan survei di bagian lain Papua: “Pengembangan program khususnya pada NGO lokal, capaian hasil umumnya terbatas pada pelaksanaan target program yang sudah direncanakan dalam batasan waktu dan dana yang tersedia. Keberlanjutan pengembangan program sangat tergantung dari ada tidaknya dukungan dana dari pihak donor. Hal ini mengakibatkan banyak program yang sudah terlaksana tetapi tidak berkelanjutan karena pendampingan yang dilakukan tidak sampai pada tahap tumbuhnya kemandirian kelompok sasaran….. Banyak pengembangan program dilakukan karena tren pendanaan (‘trend funding’), sehingga perencanaan kegiatan tidak sepenuhnya berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sifatnya sementara (insidentil). Capaian hasil pelaksanaan program terbatas pada target pelaksanaan dan kurang mempertimbangkan keberlanjutan dan perkembangan akses manfaat bagi kelompok sasaran. Pengembangan program lebih banyak disesuaikan dengan persyaratan dan keinginan pihak donor sehingga kurang mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan yang ada pada kelompok sasaran…. Banyak program yang dilakukan tumpang tindih dan tidak saling menunjang baik dengan Pemerintah/Instansi terkait maupun antar NGO, sehingga menimbulkan kebingungan dan kejenuhan bagi kelompok sasaran. Hal ini juga mengakibatkan berkembangnya sikap pasif dan rendahnya keperdulian terhadap keberhasilan program pada kelompok sasaran. Masyarakat/kelompok sasaran umumnya menerima semua program dengan harapan ada bantuan yang bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sesaat. Pemikiran akan keberlanjutan dan akses manfaat hasil pelaksanaan program kurang tumbuh dan berkembang, sehingga ketika program selesai, semua kembali pada keadaan semula. Pengembangan program yang dilakukan umumnya tidak didasari kajian yang menyeluruh tentang kondisi kehidupan masyarakat sehubungan dengan potensi SDA dan SDM, kebutuhan, permasalahan dan analisa keberlanjutan. Hal ini mengakibatkan banyak program yang sudah dilakukan tetapi hasilnya belum menunjang keberlanjutan kehidupan masyarakat tetapi justru menimbulkan sikap ketergantungan yang tinggi.... Permasalahannya; sulitnya mendapatkan donatur yang mau mendanai suatu kegiatan yang besar dan berkelanjutan serta terbatasnya SDM lembaga dalam perencanaan maupun komunikasi pada tingkat jaringan funding”.
37
Masalah ketergantungan pada donor dititikberatkan, misalnya pada laporan PERDU mengatakan dari 21 LSM yang beroperasi di wilayah kajian tidak ada satupun yang memiliki sumber dana selain donor. Keadaan keuangan yang dialami oleh jenis lembaga kemasyarakatan lainnya tidak dibahas, namun di beberapa kampung kajian fasilitas dan jangkauan kegiatan lembaga gereja terbatas sehingga diassumsikan karena masalah dana. Masalah lain yang sangat berpengaruh khususnya pada keberadaan LSM lokal termasuk (dari laporan Almamater dan YALHIMO): •
• •
4.5
Rendahnya jaminan kehidupan pada NGO-lokal sehingga keberadaan staf sulit dipertahankan. Sebagian besar staf yang sudah cukup berpengalaman beralih pada lembaga lain yang lebih menjamin secara profit atau beralih ke pegawai negeri; Sebagian besar NGO-lokal memiliki kapasitas lembaga dan SDM staf yang sangat terbatas sehingga sulit membangun komunikasi dengan Funding Internasional; dan Pemahaman funding terhadap karakteristik dan geografis daerah sangat terbatas sehingga menyulitkan bagi perencanaan program pada daerah-daerah pedalaman yang membutuhkan biaya tinggi. Usul-usal dari laporan LSM pelaku kajian
Usul-usul yang diuraikan pada laporan PERDU (2005) mencerminkan apa yang diajukan oleh LSM pelaku kajian lainnya dan mengungkap isu-isu yang umumnya dirasakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan di Papua: “Bagi Masyarakat Lokal (Masyarakat Adat): 1. Menggali, mendokumentasikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai adat, aturan lokal, lembaga adat serta memperjelas batas dan status ulayat masyarakat. Keragaman dan kekayaan aset sosial budaya masyarakat merupakan kekuatan, promosi dan potensi lokal bagi masyarakat melalui ekowisata/ekoturisme, serta merupakan komponen penting pelaksanaan pembangunan; 2. Menghidupkan dan memperkuat kelembagaan lokal yang mengakar pada komunitas sebagai basis pertahanan utama masyarakat terhadap pihak luar, melalui pelatihan manajemen organisasi dan keuangan, pelatihan kepemimpinan, serta studi banding antar komunitas sebagai media pembelajaran bersama; 3. Kaum perempuan memiliki curahan kerja yang lebih lama bersinggungan dengan aset-aset penghidupan dasar (sumberdaya alam dan modal/finansial), dilemahkan berdasarkan strata sosial dan adat, serta paling rentan (riskan) terkena dampak terhadap perubahan wilayah kelolanya. Demikian maka, perlu pengembangan kapasitas kaum perempuan. Dalam hal ini, pengembangan yang dimaksud adalah pelatihan pengelolaan pasca panen, pelatihan manajemen pembukuan (accounting) sederhana, serta pelatihan keterampilan khusus bagi ibu rumah tangga; 4. Turut serta dalam mendorong dan mendukung program pendidikan dengan menyekolahkan anak-anak pada tingkat pendidikan dasar; 5. Melindungi wilayah kelola masyarakat, baik di darat maupun di laut melalui kearifan pemanfaatan kekayaan alam dan peningkatan produktifitas hasil bumi. Hal ini dapat dicapai jika hasil bumi yang diusahakan mendatangkan manfaat
38
bagi masyarakat, demikian sehingga perlindungan wilayah kelola masyarakat terjadi dengan sendirinya; serta 6. Terlibat dalam mekanisme kontrol bersama dalam pelaksanaan terhadap asetaset penghidupan masyarakat yang melibatkan multipihak, mengingat keunikan dan kekayaan sosial budaya serta potensi alam yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang tinggi. Bagi Pemerintah Daerah: 1. Aset-aset penghidupan di masyarakat relatif masih ada dan secara adat adalah milik masyarakat, namun penguasaan dan pengusahaannya ada pada pemerintah dan pemodal (investasi). Menjadi penting untuk mengembalikan dan memperjelas status kepemilikan aset-aset penghidupan masyarakat; 2. Memfasilitasi masyarakat untuk menghidupkan kembali adat (nilai, aturan, batas wilayah dan kelembagaan) yang mengakar pada masyarakat. Peran utama pemerintah adalah pelayanan masyarakat, dengan demikian fungsi fasilitator dari pemerintah daerah kepada masyarakat menjadi penting. Hal ini disebabkan karena yang terjadi selama ini menunjukkan kecenderung bahwa masyarakat sebagai objek dan pelayan pemerintah; 3. Program-program bantuan pengembangan kampung sebaiknya diarahkan pada penguatan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, seperti pelatihan dan kursus yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan masyarakat setempat; 4. Pendampingan dan petunjuk teknis pada masyarakat secara kontinu/terus menerus dalam pengembangan semua program yang dilakukan di masyarakat kampung; 5. Pengembangan ekonomi berbasis kearifan lokal yang didukung oleh adanya sarana transportasi yang memadai serta pangsa pasar yang jelas. Kekayaan alam yang melimpah baik pertanian, hasil hutan, dan perikanan pada lokasi studi, namun demikian tiada dukungan dalam hal transportasi dan jaminan kepastian pasar merupakan kendala yang berarti pada peningkatan produktifitas masyarakat; 6. Menyiapkan, membuat dan mensosialisasikan perangkat kebijakan atau peraturan daerah dalam hal melindungi, mengembangkan dan meningkatkan aset-aset penghidupan masyarakat; serta 7. Kepemimpinan dalam membangun dan mendukung mekanisme kontrol bersama terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemanfaatan aset-aset penghidupan masyarakat yang melibatkan multipihak di Papua, mengingat keunikan dan kekayaan sosial budaya serta potensi alam yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang tinggi. Bagi Lembaga Sosial Kemasyarakatan: 1. Penguatan kapasitas lembaga non pemerintah menjadi penting untuk dilakukan segera. Pengutan kapasitas kelembagaan ini dalam hal manajemen program, analisis kecenderung, pengembagan strategi implementasi program dan manajemen sumberdaya dukungan program; 2. Pendampingan secara kontinu pada masyarakat dalam mengawal proses penggalian, pendokumentasikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai adat, aturan lokal, lembaga adat serta memperjelas batas dan status ulayat masyarakat; serta 3. Terlibat dalam mekanisme kontrol bersama dalam perlindungan dan pemanfaatan terhadap aset-aset penghidupan masyarakat yang melibatkan
39
multipihak di Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni, Fakfak dan Kaimana, mengingat keunikan dan kekayaan sosial budaya serta potensi alam yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang tinggi. Saran-saran lain dari laporan LSM termasuk: 1. Pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis gender, seperti adanya program dukungan yang menyeluruh dan terpadu bagi wanita (misalnya kelompok pedagang ibu-ibu) termasuk sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam; 2. Donor diharapkan percaya akan kemampaun LSM setempat dalam menjalankan kegiatan dan mengelolo program dan biaya program jangka panjang. Pada saat yang sama, LSM diharapkan berupaya mengurangi ketergantungan pada donor, supaya dapat meneruskan kegiatannya dan menindaklanjutinya dengan sumber daya yang dimiliki sendiri; dan 3. Meningkatkan kerjasama antara pihak pemerintah dan LSM setempat supaya koordinasi dan pelaksanaan program saling mendukung dan bertujuan sama. Agar kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak (pemerintah dan lembaga kemasyarakatan) saling melengkapi, karena mereka sama-sama memiliki tujuan membangun dan melayani masyarakat, tetapi dengan pengalaman dan sumberdaya yang berbeda. 5.
Daftar pustaka / referensi laporan yang dikutip
ALMAMATER Report (2005). “kajian Keberadaan Dan Kapasitas CSO/CBO Serta Perikehidupan Berkelanjutan Masyarakat Pada 4 Kabuapten Di Wilayah Papua Selatan”. PERDU Report (2005). “ Laporan Studi. Pengkajian Kebutuhan Pengembangan Organisasi Masyarakat di Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni, Fakfak dan Kaimana”. YALHIMO Report (2005). “Laporan Hasil Assessment Kabupaten Biak-Numfor, Supriori, Sorong dan Teluk Wondama”. YPMD Report (2005). “Informasi Need Assessment di Kabupaten Kerom, Sarmi, Wamena, dan Jayapura”.
40