Chapter 1
Gadis ・Objek ・Snapshot
SA
MP
LE
Morimura Tamaki meniup debu yang menutupi kamera rangefinder favoritnya dengan blower hingga bersih, lalu dengan perlahan mengangkatnya tepat ke depan wajahnya. Kamera yang membuat pemandangan ruang kelasnya yang sudah ia tempati selama 2 minggu semenjak kehidupan SMA-nya dimulai, terlihat sempit. Kelas barunya yang awalnya terasa tidak nyaman, tetapi akhirnya menjadi bagian dari keseharian. Tepat saat ia akan menekan tombol shutter.... “Eh, dengar deh, Tama-chin.” Kaget. Wajah seorang gadis tiba-tiba muncul di depan kamera. Membuat Tamaki mengubah fokus kameranya agar si gadis terlihat jelas. Gadis bermata besar yang berwarna tembaga, selalu bergerak layaknya kucing, dengan bulu mata yang panjang dan kelopak yang berlipat. Rambut sebahu dengan ikatan kecil pada salah satu sisi kepalanya, membuat dia terlihat nakal namun begitu bersemangat. Rambutnya begitu lembut bagaikan bulu kucing dan bersinar di bawah sinar matahari. Gadis yang cantik, andai saja dia mau diam. Namanya, Hinatsu Otowa. “Jangan mengintip ke layar kameraku tiba-tiba dong! Lalu, jangan panggil aku Tama-chin.” 1
CANDID
SA
MP
LE
“Sori sori. Jadi, ya, Tama-chin, yang aku mau cerita itu— “ Tidak didengarkan. Perempuan ini, pada dasarnya tak pernah mendengar perkataan orang. Dan juga, hampir tidak pernah diam. Tamaki menghela nafas, berharap teman sekelas yang terlihat dari dalam bingkai kameranya ini segera berbicara. Tapi Otowa malah terdiam tak bergerak. Terlihat dari dalam bingkai kamera, Otowa menaruh satu jarinya ke bibirnya yang lembut, dan melihat ke arah Tamaki sambil sedikit tertunduk. Sama sekali tidak bergerak. Membuat Tamaki menjadi tidak sabar. “Bukannya kamu ingin ngomong sesuatu?” “Sebelum itu, ayo ambil fotonya. Aku sudah susah payah tampil imut nih.” “Eh? Huh.” Tamaki dengan setengah hati menekan tombol release kameranya. Clothshutter milik kamera SLR (Single-lens Reflex) yang ia genggam mengeluarkan suara “cekrik” pelan. Puas dengan posenya ketika dipotret, Otowa lalu menaruh sikunya ke atas meja, lalu menatap tajam Tamaki dengan kameranya. “Kameramu, tampak berkelas dan keren, ya.” “Masak? Makasih.” Tamaki tanpa sadar tersenyum lebar. Ia sedikit senang kalau kameranya dipuji. Kamera itu sudah ada jauh sebelum Tamaki lahir. Bagi dirinya, kamera itu adalah mesin yang sangat indah. 2
SA
MP
LE
“Sebelumnya kamu nggak punya barang seperti itu, kan? Memang dulu kamu tertarik?” “Iya, waktu SMP aku agak tertarik, ya kira-kira sejak itu lah.” “Oh, begitu. Padahal Tama-chin dulu nggak terlalu pandai soal kesenian. Tama-chin ternyata sudah tumbuh besar ya~.” Otowa tampak sombong dan mengangguk-angguk sendiri. Tamaki yang merasa diejek, menjawab ketus. “Kamu tuh, dari dulu nggak pernah berubah, ya....” “Nggak juga kok! Aku juga sudah banyak berkembang! Makin lama makin cantik, kan? Nih lihat, dadaku lebih berbentuk dibanding dulu.” Otowa memegang dadanya dari luar seragam. Tamaki melihatnya bagai sedang melihat seseorang yang menyedihkan. “Sikapmu yang bodoh itu dari dulu nggak pernah berubah ya.” “Eh!” Gadis yang duduk di samping Tamaki, sambil tertawa, ikut masuk ke dalam pembicaraan. “Eh, kalian sudah saling mengenal sejak dulu ya?” Fujiyoshi Kiyoka. Salah seorang murid di kelas ini yang paling dekat dengan Tamaki. Rambut pendeknya membuatnya tampak seperti murid yang baik dan rapi. Teman-temannya memanggilnya “Toukichi”. Otowa mengangguk dengan semangat, bahkan lebih cepat dari Tamaki. “Iya, kita teman sekelas waktu SD kelas 5 dan 6. SMP kita berbeda sih.” 3
SA
MP
LE
CANDID
4
SA
MP
LE
“Kalian sudah berteman baik dari waktu itu?” “Begitu deh. Hubungan kita erat bagai sejiwa dan seraga, begitu.” “Hubungan apa itu!” Akhirnya Tamaki memotong pembicaraan. Dia cubit pipi Otowa sekuat tenaga. “Kita cuma beberapa kali pergi berenang atau mandi bersama, kok. Jangan terlalu menganggap serius omongan anak ini. Dia ini cuma orang mesum yang bodoh.” “Oh, begitu.” Toukichi mengangguk. Otowa yang pipinya masih dicubit merengek lemah. “Aduh, sakit, cubitanmu terlalu keras, Tama-chin. Tubuh dan hati Otowa hancur berkeping-keping.” “Sudah kubilang, jangan panggil aku Tama-chin! Kita sudah bukan anak SD lagi.” Tamaki memperkuat cubitannya. Otowa memprotes sambil menangis. “Kenapa sih, kan, lucu. Tama-chin. Kedengaran imut dan bersemangat gitu.” “Di dunia ini gak ada cewek SMA yang senang dipanggil Tama-chin.” “Hiiiy.” Toukichi lalu membawa balik pembicaraan yang telah membelok jauh. “Jadi, SMP kalian berbeda.Padahal kalian tampak sangat akrab.” Kali ini Tamaki yang menjelaskan. “Iya. Anak ini pindah ke luar negeri karena urusan keluarganya.” 5
CANDID
SA
MP
LE
“Ooh. Keren, bagai dalam drama.” Terlepas dari penderitaannya, Otowa berkata sambil mengelus pipinya yang merah. “Nggak sebaik yang kamu pikir kok, ayahku itu seorang petualang.” “Petualang?!” Toukichi memandang Otowa dengan mata melotot. Tamaki langsung memperbaiki penjelasannya. “Jangan bicara bagaikan pekerjaan orang tuamu itu mencurigakan begitu. Ayah Otowa bekerja sebagai teknisi pertambangan. Karena itu ia sering pergi ke luar negeri untuk bekerja. Waktu itu, Filipina ya, kalau tidak salah?” “Bukan, Indonesia. 3 tahun waktu aku SMP.” “Awalnya kita banyak saling berkirim surat dan telpon, tapi lama-lama jadi jarang.” Sambil tertawa kecil, Toukichi berkata. “Biasanya memang begitu ya.” “Begitu sadar, sudah nggak ada kabar.” “Iya ya.” “Padahal aku pikir dia sudah jadi satu dengan bumi di negeri nun jauh di sana....” “Jangan bunuh aku sembarangan dong.” Otowa memprotes perkataan Tamaki. “Jadi Otowa ini, akhirnya kembali ke Nippon mulai tahun ini!” “Jangan tiba-tiba sok luar negeri begitu, dong” “Nippon itu negeri yang OK ya, Mr. President!” “Siapa itu yang presiden.” “Jadi, waktu masuk ke Sekolah Perempuan Ouhou ini, aku kebetulan bertemu lagi dengan Tama-chin, begitu.” 6
SA
MP
LE
“Dan juga entah bagaimana, kita satu kelas.” “Ooh. Itu kedengeran agak dramatis ya.” Toukichi tampak terkagum-kagum. Sambil menyandarkan lengannya di kepala Otowa, Tamaki mulai mengejek. “Seperti yang kamu lihat, setelah tinggal di luar negeri selama tiga tahun, kebodohan dia makin menjadi.” “Tapi dadaku berkembang dengan baik, jadi bisa kita anggap adil?” Merasa kasihan, Toukichi mulai berbicara. “Jadi kamu nggak apa-apa dipanggil bodoh ya....” “Oh, iya! Kamu jahat Tama-chin, tajam banget omongannya” “Reaksimu telat! Daripada itu, tadi kamu mau ngomong apa sama aku. Cuma datang buat pamer dada?” “Ah, bukan bukan! Soal foto ini, yang tadi aku dapat dari Tama-chin.” Otowa mengeluarkan sebuah foto ukuran 3R dari dalam kantongnya. “Pembicaraan kita bertele-tele banget sebelum sampai ke inti permasalahan ya.” Sambil berkata demikian, Tamaki mengambil foto itu. Otowa melotot ke arah si gadis tinggi di sampingnya. “Habisnya Toukichi berkata hal yang tidak-tidak.” “Terus, ada apa dengan foto ini? Ada yang kamu tidak suka?” Foto yang dimaksud adalah foto close up Otowa yang diambil oleh Tamaki saat istirahat siang di ruang kelas beberapa hari yang lalu. Foto gadis kurang rapih yang duduk di meja sambil tertawa lepas. Foto yang menurut7
CANDID
SA
MP
LE
nya tidak jelek, timing-nya pas dan pencahayaannya juga sempurna. Sejak masuk sekolah, Tamaki banyak mengambil foto seperti ini. Semua modelnya adalah teman sekelasnya. Mengajak orang untuk menjadi model fotonya adalah salah satu caranya untuk berteman dengan anak baru di kelasnya. Lagipula itu adalah sekolah perempuan. Tidak banyak perempuan yang tidak suka fotonya diambil. Otowa lalu berkata dengan suara besar. “Aku bukannya nggak suka! Malahan aku tersentuh! Kenapa ya, kok tampaknya beda dari foto yang biasa kuambil dengan kamera telepon genggamku.” “Hmm, film atau lensa atau fokus kamera, banyak sih yang berbeda.” “Dan juga, cewek yang bawa kamera itu, kesannya agak keren.” “Apa iya.” “Jadi intinya, saya, Hinatsu Otowa, mulai hari ini mau menjadi fotografer cewek juga.” “Tiba-tiba sekali.” “Barusan, aku kepikiran. Baru aja.” “Oh, begitu. Baru kepikiran ya.” Tamaki menjawab ringan bagai berhadapan dengan anak kecil. Dengan penuh semangat, Otowa mengangkat tinjunya. “Begitu tahun depan tiba, aku sudah menjadi camerawoman terkenal, dan cukup besar untuk membuat museum pribadi di Paris, Berlin, dan New York.” “Besar! Mimpimu besar! Tapi terlalu lebay!” “Karena itu, aku mau Tanya nih Tama-chin, kamera 8
SA
MP
LE
kamu itu mahal nggak?” “Bagaimana ya... kamera ini aku dapat dari pamanku.” “Barang gratisan? Kalau gitu kasih aku dong.” Otowa membuka tangannya lebar-lebar. Tamaki langsung memeluk erat kameranya. “Nggak boleh! Ini kamera yang penting!” “Pelit~. Tama-chin si jendral super pelit.” “Coba ngomong sekali lagi letnan privat bodoh.” Tamaki menjepit bibir Otowa dengan kedua jarinya, lalu memelintirnya sekuat tenaga. Otowa merintih sakit sambil menepuk meja. “Sakit, sakit. Maafkan aku. Aku nggak bakal ngomong begitu lagi.” “... kalian itu benar-benar akrab ya.” Toukichi yang dari tadi mengikuti percakapan kedua orang ini lalu tertawa sambil bangkit berdiri. “Aku pulang duluan deh. Sampai jumpa~.” Tamaki juga melihat ke arah jam. Sudah jam pulang sekolah. Ia terbawa suasana setelah berbicara dengan Otowa padahal sudah tidak ada urusan di sekolah. “Aku juga pulang, ah.” Melempar tas dan kameranya ke bahunya, Tamaki menuju ke arah pintu. Otowa juga terburu-buru membereskan barangnya. “Aah~ Tunggu aku Tama-chi~n!” Tamaki menghentikan kakinya. Tapi bukan untuk menunggu Otowa. Matanya tertuju ke arah seorang murid lain. ☆ 9