INTAN, GADIS SUPRANATURAL (Bagian 1) CUKUP LAMA ORANG TUA ITU memandangi lembar tulisan yang dibuat oleh Intan. Lelaki setengah baya itu kemudian melirik ke arah istrinya yang tampak sabar dan penuh pengertian. ”Bagaimana menurutmu, Kang?” tanya Karlina, gelisah. Sugarda menarik nafas sambil meluruskan punggungnya pada sandaran kursi. Sugarda dan Karlina adalah pasangan suami istri yang hidup berkecukupan. Mereka salah satu dari sekian banyak petani di Desa Tanjung Bulan. Meski hidup mereka bisa dibilang cukup beruntung dibandingkan petani lainnya. Namun mereka yang telah membina rumah tangga lebih dari sepuluh tahun itu, baru dikaruniai seorang anak perempuan yang kini berumur lima tahun. Dan putri mereka yang bernama Intan itulah yang menjadi topik pembicaraan mereka saat itu. ”Kadang saya tidak habis pikir, kenapa anak kita tumbuh dengan pribadi seperti itu,” kata Sugarda, pasrah. ”Kita harus terus berikhtiar agar Intan bisa hidup normal seperti anak-anak seusianya,” ujar Karlina, mencoba memberi dorongan semangat. Sugarda menggigit bibir sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut. Ia tak akan lupa kehadiran Intan di tengah keluarga jelas merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dulu, sebelum Intan terlahir ke dunia, ia amat gelisah dan sempat pula merasa takut tidak dikaruniai keturunan. Berkat ketakwaannya serta doa-doa tulus yang dipanjatkannya kepada Sang Khalik, kiranya Tuhan berkenan mengabulkan permintaannya. Istrinya pun hamil setelah para tetangga sempat memvonisnya sebagai pasangan mandul. Sebelum istrinya hamil, Sugarda juga bermimpi, dimana di dalam mimpinya itu bulan purnama turun ke rumahnya. Anehnya, sejak hamil tiga bulan sang istri sering sakit-sakitan. Pernah juga seorang dokter memberi saran agar kandungan Karlina digugurkan, karena dokter secara klinis berpendapat bahwa janin dalam kandungan istrinya bermasalah. Haruskah anak yang tidak berdosa itu dirampas hak hidupnya? Sedangkan mereka tahu dokter bukanlah Tuhan yang menghidupkan dan mematikan. Sebagai orangtua Sugarda cukup bijaksana. Pro dan kontra sempat pula bermunculan dalam benaknya. Namun keteguhan jiwa dan keyakinannya kepada kekuasaan Tuhan begitu melekat di dalam hatinya. Keinginan untuk meniadakan sesuatu yang bakal muncul di bumi kehidupan ini pun akhirnya diredam, hingga akhirnya padam sama sekali.
Dalam keadaan sakit-sakitan, sang janin pun tumbuh sesuai dengan takdirnya. Ia kemudian lahir ke dunia sebagai anak yang benar-benar jauh berbeda dengan anak-anak yang lain. Ketika masih kecil, sang anak yang bernama lengkap Intan Ayu Purnama itu telah menunjukkan berbagai kelebihan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Malah ada yang mengatakan bahwa Intan bukanlah anak yang normal. Di dalam dirinya terdapat kehidupan yang lain. Si bocah mempunyai jiwa dan pikiran ganda. Kemudian, seiring dengan berlalunya sang waktu, Intan tumbuh besar. Tapi dalam pertumbuhannya itu keanehan demi keanehan selalu mengiringi denyut nadinya. Selain itu yang mengherankan orang tuanya, Intan sering bermimpi. Dan mimpi-mimpinya itu selalu jadi kenyataan. Sebagai orang tua Sugarda telah melakukan berbagai upaya. Salah satu dari sekian banyak upaya itu adalah dengan membawa Intan ke psikiater. Tak ada tanda-tanda keanehan. Menurut ahli yang menangani Intan, perkembangan mental gadis kecilnya berjalan normal dan wajar. Jika demikian apa yang harus dilakukan Sugarda? Orang tua di dunia ini selalu ingin memberikan yang terbaik terhadap anaknya. Begitu juga halnya dengan Sugarda dan Karlina. Maka sebagai orang desa yang percaya pada hal-hal yang bersifat klenik, upaya berobat ke orang pintar pun di lakukannya. Berbagai pendapat dari orang-orang yang dianggap mengerti dalam hal ilmu kebatinan yang simpang siur, justru membuat Sugarda bertambah bingung. Apalagi ketika Intan mulai bicara sesuatu yang mengejutkan, dan hal itu pernah ia lontarkan pada orang yang mencoba mengetahui keadaan dirinya. ”Pak, kenapa kita tidak pulang saja? Disini banyak setannya? Orang tua ini memelihara jin dan berteman akrab dengan setan. Masa lalunya juga sangat buruk. Ia pernah menggugurkan janin sebanyak tujuh belas kali.” Hal itu tentu amat mengejutkan Sugarda, juga orang tua yang sedang dimintai pertolongannya oleh Surgarda. Wajah orang tua itu tampak blingsatan, dan berubah merah padam. Ia sendiri diam-diam tak habis mengerti mengapa bocah sekecil itu bisa membaca masa lalunya tanpa satu kesalahan sedikitpun. Ini sangat luar biasa, karena dimatanya bocah perempuan itu masih terlalu kecil. Bahkan bicara pun masih dalam taraf belajar. Tidak ada yang mengajarinya untuk mengatakan hal-hal tak terduga seperti itu. Si orang pintar pun kemudian melakukan penerawangan gaib atas diri Intan. Ia makin terkejut ketika melihat disekitar diri bocah cilik itu dikelilingi cahaya putih berbentuk lingkaran, seperti yang sering terlihat disekeliling bulan.
”Anak ini adalah anak ajaib yang diberi banyak kelebihan oleh Tuhan. Andai saja aku bisa memanfatkan darahnya untuk menambah kekuatan ilmuku, tentu aku akan menjadi orang yang tidak ada duanya di daerah ini,” batinnya. Demikianlah, setelah tidak berhasil mengobati Intan agar menjadi anak yang normal, justru si orang pintar berencana menculik dan membunuhnya. Tapi tindakan si orang pintar tak pernah terlaksana. Ketika ia menjalankan niatnya itu, justru malapetaka menimpa dirinya. Sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah truk. Orang tua itu tewas seketika di tempat kejadian. Saat itu Sugarda tidak akan pernah lupa–Intan yang terjaga pada pukul sembilan malam itu tiba-tiba berkata pada ibunya, ”Orang yang Ayah mintai pertolongan itu sekarang sudah mati. Biar saja dia mati, dia orang jahat, Bu! Dia punya niat jahat sama Intan...!” ”Intan, kamu mengigau, Nak?” tanya ibunya sambil memeluk bocah mungil itu erat-erat. Si bocah menggeleng lemah. ”Tidak kok, Bu. Intan tidak mengigau. Saya sudah melihatnya, dan saya tahu apa yang direncanakannya terhadap saya.” Saat itu Karlina sempat memperhatikan anaknya dengan tatapan aneh. Ada yang aneh dengan ucapan anaknya. Caranya bicara dan tentang apa yang dikatakannya selalu terbukti. Lalu Karlina pun menghibur dengan bujukan halus agar Intan tidur kembali. Tapi hal itu tidak membantu, Intan malah menepis halus pelukan ibunya. ”Sekarang Ibu harus tahu sesuatu.” ”Sesuatu apa, Nak?” ”Tentang orang tua yang bersahabat dengan jin dan setan itu?” tanyanya lugu. ”Ibu tidak tahu, Nak.” ”Orang tua itu bertabrakan dengan mobil. Mampus! Sekarang rasakan!” Intan terus melonjak-lonjak kegirangan. ”Sayang...kamu tidak boleh mendoakan orang seperti itu. Tidak baik, Nak,” cegah ibunya lembut. Intan kecil bersungut-sungut. ”Habis, dia mau membunuh Intan, Bu. Memangnya salah kalau saya bilang daripada membunuh orang lebih baik bunuh diri saja. Lalu...” Seperti anak yang mendapatkan gulagula, Intan tertawa riang. ”Lalu dia menabrakkan motornya ke arah truk yang melaju di depannya. Sekarang orang tua itu sudah mati, Intan sudah bebas. Kata teman-teman tindakan itu perlu saya lakukan karena dia sering berbuat kejahatan.” ”Astaga! Anakku! Siapakah kamu sebenarnya? Kalau kamu anakku, kenapa sebagai orang tua aku tidak pernah bisa mengerti tentang dirimu,” batin Karlina meluap kaget. ”Hmm, tapi yang kamu katakan itu cuma bercanda ’kan?”
”Intan tidak bercanda kok, Bu. Memang begitu kenyataannya,” kata Intan, membuat tengkuk Karlina jadi merinding. ”Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Nak. Tapi, bagaimana kamu bisa melakukan semua itu?” tanya Karlina. ”Hmm...” Bola mata Intan menerawang. ”Saya...saya juga tidak tahu. Semuanya berjalan sebagaimana adanya.” ”Ada seseorang yang menyuruhmu?” Intan menggelengkan kepala. ”Intan melakukannya sendiri. Bawah sadar Intan yang mengatakannya begitu,” ujar Intan. ”Mungkin teman-temanmu?” tanya Karlina, makin penasaran. ”Teman-teman Intan banyak. Ada yang di bumi, di udara, di langit dan ada juga yang di bintang-bintang.” Karlina semakin tercengang. Lalu ketika Intan tertidur kembali–pada saat bocah itu melanglang buana dengan mimpi-mimpinya yang selalu menjadi kenyataan. Karlina diam-diam menemui suaminya. ”Dia sudah tidur?” tanya Sugarda yang saat itu duduk di ruang tamu. Laki-laki itu menatap ke arah lampu yang memancarkan cahaya temaram. Karlina menyadari saat-saat suaminya dilanda kegelisahan, ia pasti menghabiskan waktunya di ruangan itu. Duduk berjam-jam hingga larut malam. ”Dia sudah tidur, Kang. Tapi lagi-lagi anak itu bicara tentang hal-hal yang membuat saya heran.” ”Memangnya Intan bicara apa?” tanya Sugarda, sambil menatap tajam ke arah istrinya. ”Intan bukan bicara soal mimpi. Ia juga tidak bicara soal perjalanannya di gugusan bintang atau pun rembulan.” ”Kali ini Intan tidak menjelajahi jagat raya. Sebaliknya, anak itu bicara tentang orang tua yang terakhir kita kunjungi.” ”Maksudmu, Ki Wongso?” duga suaminya. ”Ya.” ”Intan mengatakan di rumah Ki Wongso banyak mahkluk jin dan setan. Waktu kita ke sana dia ngotot minta pulang saat itu. Mungkin apa yang dikatakan dan dilihatnya saat itu benar, Kang. Menurut tetangganya, Ki Wongso memang bersekutu dengan mahkluk halus. Tapi bukan itu yang jadi persoalan. Intan baru saja mengaku kalau Ki Wongso mau membunuhnya. Lelaki itu menginginkan anak untuk diambil darahnya.” ”Apa?!” Sugarda terlonjak kaget. ”Bagaimana semua itu bisa diketahuinya?”
”Itulah yang membuat saya heran. Coba besok Akang cari informasi, apakah yang katakan anak kita itu benar-benar terjadi.” “Terus, Intan bicara apa lagi?” ”Inilah yang saya rasakan lebih aneh. Ia bilang kalau malam ini Ki Wongso berniat datang ke rumah kita untuk menculiknya. Tapi justru dengan kekuatan bawah sadarnya, Intan memerintahkan Ki Wongso untuk membunuh dirinya sendiri.” Sugarda menelan ludah. Kini rasa khawatir justru menyelimuti perasaannya. ”Lalu...?” ”Ki Wongso melakukannya. Motor yang dikendarainya bertabrakan dengan truk.” ”Astaga! Putri kita sangat berbahaya, Neng!” kata Sugarda cemas. ”Karena itu, sebaiknya Akang cepat cari kabar tentang Ki Wongso.” Saran itu masuk akal. Tapi kebenaran apa lagi yang harus dicari. Bukankah sebelumnya dan sebelum itu juga pernah terjadi hal-hal yang semula ia anggap sebagai celoteh anak kecil, namun pada akhirnya menjadi kenyataan. Seperti kematian Sayuti, jelas merupakan sebuah bukti nyata dari sebuah penjelasan yang semula mereka anggap sebagai celoteh. Bukan itu saja, sebelumnya Intan juga telah memperlihatkan beberapa bentuk kenyataan yang pada akhirnya membuat seseorang merasa dipermalukan. Ini sesungguhnya sesuatu yang amat merisaukan bagi Sugarda. Hanya karena ingin menentramkan hati istrinya, keesokkan harinya Sugarda mencoba mencari tahu tentang kejadian yang telah dikatakan Intan. Ternyata Intan tidak berbohong, apa yang dikatakannya benar-benar terbukti. Sugarda dan istrinya kian cemas. ”Intan telah mencelakakan orang lain, Neng?” kata Sugarda. ”Tidak! Akang jangan berprasangka yang bukan-bukan padanya,” ujar Karlina, yang sedikit banyak memahami, bagaimana karakter serta watak asli bocah perempuan itu. ”Kalau tidak, kenapa Ki Wongso bisa mati?” tanya Sugarda. ”Mungkin itu sudah menjadi bagian dari takdirnya, Kang.” Bagian dari sebuah takdir? Alasan itu memang masuk diakal. Alasan apapun bisa dikemukakan. Ini karena mereka tak lagi dapat bertanya apakah benar Wongso berniat menculik anaknya. Sayang, Wongso sudah tak lagi dapat ditanya karena dirinya telah berada dalam kehidupan yang lain. Dan seandainya Wongso masih hidup, sekalipun belum tentu ia mau mengakui niat jahat yang terkandung dalam hatinya. Karena seperti yang pernah dikatakan oleh Intan, bahwa mayoritas manusia dalam hidupnya lebih suka memakai topeng.
Kini Sugarda kembali memandang lembaran lain yang tergeletak di atas meja. Lembaran kertas yang ditulis rapi itu kemudian dibacanya. Ia hampir tak menyakini bahwa tulisan berbentuk sajak itu ditulis oleh anaknya yang baru berumur lima tahun. ”Lihat tulisan ini? Benarkah tulisan ini Intan yang membuatnya. Atau...tulisan ini ada karena bantuan mahkluk halus atau kekuatan lain.” Karlina mengambil kertas yang disodorkan suaminya. Kemudian dengan seksama ia mulai membacanya.
Kehidupan bukanlah sebuah kesibukan rutin yang mana bila malam orang tertidur dan singnya melakukan berbagai kegiatan atau tidak melakukan apa pun. Menurutku orang yang bangkrut dalam kehidupannya bukanlah pedagang yang selalu merugi dalam setiap usahanya. Orang yang bangkrut dalam kehidupannya adalah orang yang tidak pandai memanfaatkan waktu atau seseorang yang menghabiskan waktunya untuk sebuah kegiatan yang dianggapnya indah dan menyenangkan, tapi sebenarnya berisi seribu celoteh maksiat. Aku terkadang tidak mengerti mengapa orang-orang tertawa terbahak-bahak. Padahal kehidupan dunia sesungguhnya tempat ujian dan penderitaan. Tidak jarang aku berpikir siapakah sesungguhnya orang bodoh itu? Apakah mereka yang tidak sekolah? Dan siapa pula orang pintar. Menurutku orang pintar bukan karena dirinya terpelajar. Aku ingin berbagi waktu, aku ingin pula berbagi pengalaman dengan banyak orang. Aku ingin menceritakan tentang semua yang kuketahui dan apa yang aku lihat. Sayangnya aku tidak pernah diberi kesempatan. Orang dewasa beranggapan diriku hanyalah anak kecil, seorang bocah yang hidup di alam ilusi dan khayal. Kemudian aku berpikir kepada siapa aku akan berbagi pengalaman selain kepada selembar kertas dan berisi coret-moret. Jika orang dewasa tidak mengerti jalan pikiranku, justru aku juga tidak mengerti jalan pikiran mereka. Tapi aku masih beruntung. Bagiku masih ada sahabat yang bisa kupercaya. Ia seolah dapat merasakan apa yang aku lihat...
Sampai disini Karlina melipat lembaran kertas yang baru saja selesai dibacanya. Ia menarik napas sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi di belakangnya. ”Bagaimana pendapatmu setelah membaca surat itu?” tanya Sugarda. ”Yang ditulisnya itu bukan surat. Menurut saya Intan mencoba mengekspresikan suara hatinya. Saya rasa anak kita tidak punya kelainan, Kang. Untuk sementara sebaiknya kita hentikan upaya kita untuk mengetahui keadaan mental Intan. Saya yakin putri kita dalam keadaan baik-baik saja.”
”Memang,” kata Sugarda mendukung pendapat istrinya. ”Tapi kita sendiri merasa tidak enak hati dengan cibiran warga. Mereka terlanjur berpendapat anak kita mengalami masalah kejiwaan. Sementara yang lain mengatakan kalau Intan diikuti atau dibisiki mahkluk halus. Itulah sebabnya, Intan bisa bicara banyak tentang jagat raya. Tentang semesta ciptaan Tuhan, juga bisa membaca atau melihat masa lalu dan masa datang yang akan terjadi pada seseorang. Tidakkah menurutmu ini sebuah kenyataan yang bisa membuat murka Allah?” ”Kenapa Akang bisa berkata seperti itu?” tanya Karlina, merasa tidak mengerti. Sugarda menarik napas. Ia mengambil sebatang rokok kretek, lalu menyalakan rokok itu, dan menghisapnya dalam-dalam. Ada perasaan nikmat yang sempat dirasakannya. Ketika ia menghembuskan asap itu kembali, lelaki setangah baya itu melanjutkan. ”Sesungguhnya persoalan hidup dan mati seseorang itu adalah rahasia Tuhan.” ”Memang itu menjadi rahasia Tuhan. Apa yang dikatakan Intan bukan berhubungan dengan takdir. Anak itu bicara karena dia melihat, Kang. Alam bawah sadarnya sangat peka dan selalu bersentuhan dengan alam gaib. Intan memiliki peluang untuk hal yang satu itu. Dan itu merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada putri kita. Saya yakin, Intan tentu tidak punya keinginan memiliki kelebihan seperti itu. Saya juga yakin, Intan ingin tumbuh normal seperti anak-anak seusianya.” ”Tapi tindakan itu sangat berbahaya, Neng. Orang-orang bisa sakit hati dan menaruh dendam pada anak kita.” ”Bagaimana bisa begitu?” ”Ya, misalnya seseorang yang melakukan pencurian. Tentu di depan Intan dia tidak bisa menyembunyikan perbuatannya, karena Intan dengan mata batinnya bisa melihat apa saja yang pernah dilakukannya. Dan yang lebih menakutkan, bagaimana kalau dia membongkar borok yang dimiliki orang lain. Contohnya seperti kasus Pak Imran. Bertahun-tahun ia berselingkuh dengan wanita lain. Istrinya tidak pernah tahu, bahkan warga disini pun tidak ada yang tahu. Tapi, ketika Pak Imran bertamu ke rumah kita, Akang masih ingat waktu itu Intan yang duduk dipangkuan saya tiba-tiba saja mengatakan kalau Pak Imran punya istri simpanan. Saya bisa merasakan, saat itu Pak Imran terkejut sekali. Dia merasa sangat malu. Sekarang Neng bisa melihat sendiri bagaimana Pak Imran yang biasanya mampir ke rumah kita, tapi sekarang tidak kelihatan lagi.” ”Berarti apa yang dikatakan Intan memang benar, Kang,” sahut Karlina. ”Justru kenyataan itu bisa membahayakan jiwanya. Setiap bertemu orang Intan bisa saja membongkar keburukan orang itu, karena dia tahu apa yang tersimpan di lubuk hatinya.”
”Sudahlah, Kang. Kita tidak perlu lagi berdebat tentang anak kita. Kalau itu memang kehendak Tuhan, sebagai orang tua kita punya kewajiban untuk menjaga dan merawatnya dengan baik,” kata Karlina. Sugarda mengangguk setuju. Memang, jika bicara soal keanehan dan keajaiban, maka keajaiban itu hanya dimiliki oleh Intan. ***