Chapter 1
Hari-Hari Mentari mulai menyapa, sinarnya hangat membawa harapan. Saat Daffa mulai terbangun dari mimpi, meng-upgrade semangat, menguras letih. Seluruh angannya terus menari, menanti jiwanya tuk melangkah. Kemudian Daffa beranjak dari tempat tidurnya. Berdiri, lalu menarik nafas panjang, barangkali seperti melepaskan ikatan belenggu jiwa yang menyakitkan. Ia tatap awal hari. Lalu bergegas membuka jendela kamar. ahh.... silau mentari sudah menyilaukan matanya. Daffa mengecek waktu, memperhatikan jam di sudut kamar nya. “aah.... Sial !!! kesiangan lagi dah,” gumamnya kesal. Daffa kembali menjelang hari dengan segala ketergesahan. “Bi... Mama sama Papa udah berangkat ?” tanya Daffa pada bi Minah, pembantunya, sambil terus berjalan mengambil sarapan pagi.
“Udah berangkat den, kata Mama, dia akan pergi selama 2 atau 3 hari ke Singapura,” jawab bi Minah menjelaskan. “Oh... mereka engga bilang apa-apa lagi, kan ?” tanya Daffa memastikan. “Tidak, Den. Selebihnya hanya masalah uang buat beli makanan dan keperluan lainnya. “Iya udah, Bi. Saya berangkat dulu,” kata Daffa sambil menelan potongan roti ditangannya. Papa dan Mama Daffa adalah orang tersohor dengan jadwal dan kegiatan sehari-hari yang sangat padat dan selalu dihabiskan untuk sebuah urusan penting bernama bisnis, yang hanya dikorbankan demi mengejar tumpukkan materi. Hidup dengan esensi tinggi, tak mengenal jiwa masyarakat, hidup dengan individualisme dan ego yang serakah. Mereka adalah orang kaya, orang ber-uang. Orang dengan status sosial kelas dewa. Orang yang selalu ada untuk bisnis, namun tak pernah ada untuk sebuah tanggungjawab, kasih, cinta kepada Daffa. Daffa terbiasa dengan keadaan ini. Bahkan ia mulai menikmati semua keadaan ini. Hidup bebas, tanpa beban, semua yang diminta selalu ia dapat dengan cepat. Hingga ia semakin lupa masa kecilnya yang sederhana dan bahagia. Daffa tumbuh menjadi lelaki yang nakal
2
dan liar. Daffa menjadi orang yang tertutup karna tak pernah ada kasih sayang yang ia dapat. Waktu berjalan cepat. Bahkan lebih cepat dari putaran roda motornya. Daffa sadar ia sudah terlambat lebih dari 30 menit. Sesampainya di sekolah, seperti biasa, Daffa selalu dijegat pak Satpam. “nah.... kamu lagi ! Daffa lagi... Daffa lagi.... Rejeki berarti ini”, pak Taryo yang merupakan Satpam sekolah Daffa, selalu menanti pembayaran pajak karena keterlambatan siswa. Ini merupakan peraturan yang ia buat sendiri demi meringankan para siswa, sekaligus pekerjaan sampingannya menjadi satpam-. “iya pak... ini 100 ribu cukup kagak ?”, kata Daffa sambil memberikan uangnya ke Pak Satpam. “Cukuplah... ya sudah, silahkan masuk Bos. Hahahah”, jawab Pak Taryo yang senang dihiasi tawa diwajahnya. “Makin hari makin gila tuh satpam. Pantes aja negeri ini kaga pernah bisa maju. Mulai dari elite negara sampai tukang satpam, bahkan tukang sapu jalan, semuanya korup !,” gerutu Daffa dalam hati kecilnya. Daffa memakirkan motor, dan langsung bergegas pergi menuju kelas dengan berlari-lari kecil.
3
Daffa tiba didepan kelas. Terpaku, berdiri tak bergerak sedikit pun didepan pintu. Temanteman Daffa secara refleks langsung memandangi Daffa yang berdiri didepan kelas dengan baju yang lecek, dasi yang dipakai sembarangan. Pak Marwan menatap tajam kearah Daffa. Tatapannya jelas menyimpan sejuta bom amarah, yang siap meledak dalam waktu dekat. Tak perlu waktu lama, untuk menunggu bom itu meledak. Selesai memperhatikan Daffa yang masih terdiam didepan pintu, Pak Marwan berteriak keras sambil menunjuk tepat kearah wajah Daffa. “Daafffaaa .....!!!! kamu pikir kamu siapa ? datang seenaknya, pakaian berantakkan. Memang kamu pikir kamu preman ? iya ? kamu jagoan disini ? heh’ Jangan kamu pikir, kamu adalah anak orang paling kaya disekolah ini, terus kamu bisa lakuin apapun semau kkaaammmuu! Tidak semua hal dapat kamu bayar dengan uang Papa dan Mama mu. Ini sudah sangat kelewatan, Daffa. Ini sudah kesekian kalinya kamu terlambat. Untuk hari ini, kamu tidak saya ijinkan masuk saat jam pelajaran saya,” bentak Pak Marwan dengan uratnya lehernya yang terlihat mengeras. Daffa menyikapinya dengan santai. Sifat Daffa yang dingin, perangainya yang selalu santai dan tanpa beban. Seakan tak mendengarkan dan 4
memperdulikan amukan Pak Marwan. Dengan sangat santainya, Daffa langsung berjalan meninggalkan kelas, meninggalkan Pak Marwan dengan bom amarah dihati dan pikirannya, meninggalkan rasa simpati teman-temannya. Daffa berjalan seakan dia tak pernah salah akan suatu hal yang ia perbuat. Daffa masih tetap berjalan tanpa bicara. Meninggalkan kelasnya, menuju kantin, menunggu jam pelajaran berganti. *** Malam harinya, Daffa mengeluarkan motornya dari dalam garasi. Mengelap dan membersihkan motornya, menyiapkan uang taruhan, mencari sebuah jati diri diatas kerasnya lintasan aspal yang hitam. Yah.. mungkin ini cara dia menghibur diri, dalam sebuah kebimbangan yang tak pernah iya mengerti. “Malam yang indah. Tanpa rembulan, hanya taburan bintang dilangit menghiasi malam ini,” gumamnya dalam hati. “Daff ayok berangkat ! Geng sebelah udah nunggu kita,” seru Rama yang tiba-tiba datang dan memecah lamunan Daffa. “akhh lo men.... ayok dah kita cabut”, jawab Daffa seraya melihat jam ditangan kirinya yang 5
sudah menunjukkan jarum ke Jam 20.27 WIB. Mereka bergegas pergi menuju arena balap liar. Disana sudah ramai dibakar atmosfir jiwa-jiwa kebebasan anak muda yang kehilangan arah dalam keputus asaan. Suasana mencengkam, tak seperti hari-hari biasa. Malam ini kedua Geng Motor yang berselisih sejak awal berdiri berada dalam satu tempat. Saling tatap dan mewaspadai satu sama lain, dan dibutakan dari cahaya cinta oleh kebencian yang terus membakar amarah dan membusukkan hati mereka. “Langsung aja kita mulai malam ini. Disini kita kehadiran tamu, rival yang tak pernah lelah menyayingi kita. Give much respect for “The Monszter Street,” teriak Bang Eko sebagai Ketua Geng “The Devil Street12” yang merupakan Geng Daffa. Suasana semakin riuh. Suara mesin motormotor besar berteriakan, seakan ikut menyambut riuh jerit tawa kedua belah pihak. “Oke thank’s for “the Devils Street12” dan untuk semua anggota kalian. Ada baiknya kalo secepatnya kita mulai aja balapan malam ini, sebelum polisi lebih dulu mengacaukannya,”sambut Bang Andreas sebagai ketua “the Monszter Street”. Kedua geng pun mulai bersiap untuk segera melangsungkan balapan secepatnya. Daffa memasuki lintasan dengan hati yang dipenuhi 6
amarah, serta rasa yang penuhi hasrat untuk membalaskan dendam atas kekalahan 2 bulan yang lalu. Dia menatap lawannya dari balik kaca helmnya, seorang lelaki dengan wajah penuh jerawat bernama Yudha. Daffa memanaskan motornya dengan menarik gas motornya sekencang mungkin. Menanti dengan teliti hitungan ke-3 untuk memulai balapan. Jantungnya kian berdebar. Ia tak ingin kalah untuk kedua kalinya. Yahh... hitungan ke-3 sudah berlalu, Daffa langsung menarik gas sedalam mungkin, menghentak motornya dengan cepat melepaskan koplingnya. Daffa berhasil memenangkan garis Start. “Kali ini pasti menang!!!,” kata Daffa dalam hatinya dengan penuh keyakinan dan rasa bangga. Iyaaps... benar, Daffa mampu melewati semua lintasan balapan itu dengan mudah, ia memasuki garis finish dengan dipenuhi rasa bangga didada. Daffa sangat bahagia, karna dendamnya terlunasi. Suara riuh... jeritan antar kelompok juga suara desing motor-motor besar menghiasi akhir balapan. Hingga akhirnya suasana makin kacau, jeritan dan suara riuh mulai mengarah pada tindakan rasis dan anarkis, dengan saling menghina. Dalam rasa benci yang terpupuki amarah, ego mulai mengambil alih otak. Tawuran adalah satu-satu nya jalan meluapkan segala virus benci yang mengelubungi akal pikir mereka. Mereka mulai mengeluarkan berbagai senjata 7
tajam yang memang sudah disiapkan sejak awal. Mereka sadar, namun control jiwa mereka termakan suara-suara sumbang dalam hati mereka. Hingga akhirnya suasana makin berantakkan, gemuruh perang berkecamuk dalam setiap jiwa, tak ada lagi rasa untuk saling mempercayai sesama. Bagi mereka “mati” lebih mulia dibandingkan berpelukan dan berbagi senyum dan tawa bersama. Daffa yang memang tak membawa senjata apapun ikut terlibat tawuran, walau hanya dengan tangan kosong. Daffa memukuli seorang anggota geng “The Monzter Street” hingga jatuh pingsan. Keadaan makin kacau, korban sudah mulai berjatuhan. Sampai akhirnya sebuah sinar terang menyilaukan semua mata ditempat itu. Seketika suasana hening. Setelah cukup lama memperhatikan, akhirnya mereka sadari dari sebuah bunyi peringatan sebuah mobil, yang membuat suasana menjadi kembali ramai dan tak terkendali. “PPPPOOOOOLLLLIIISSSIIII......!!!”, teriak Daffa ketakutan. Ia berusaha secepat mungkin meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan lagi temantemannya. Sianlnya, Daffa diikuti oleh mobil polisi. Bahkan bukan hanya satu mobil, tapi dua mobil sekaligus. Suara sirine mengaung memecahkan 8
kesunyian dijalanan yang sangat sepi. Daffa hanya berjarak 5 meter dibelakangnya. Mobil polisi itu bukan tandingan untuk motor Daffa dijalanan yang sangat lenggang seperti ini. “Siall!!! Kalo begini gua bisa ketangkap polisi ! kita mulai adegan balapan jalanan seperti difilmfilm,” kata Daffa dengan tersenyum angkuh. Mobil polisi itu kini semakin mendekati motor Daffa, membuat keadaan Daffa terdesak. Daffa maupun polisi berada dalam kecepatan yang tinggi. Saat situasinya semakin mencengkam, sebuah lentusan senjata api terdengar. Seorang anggota polisi mencoba menembaki Daffa dari dalam mobil. Daffa melihat kebelakang, sebuah peluru hampir mengenai ban motornya. Ternyata polisi tak mengincar tubuh Daffa, melainkan hanya memaksa Daffa untuk berhenti dengan menembaki ban motornya. “Ayolah lebih cepat lagi!!! Berapa jauh lagi jarak perempatan itu ?” Daffa menaikkan gigi motornya, melepas koplingnya, dan menarik sedalam-dalam gas motornya. Motor Daffa tersentak, terangkat. Membuat selisih jarak diantara motor Daffa dan mobil polisi menjadi sedikit lebih besar. Daffa menarik nafas lega. Namun semua itu tak bertahan lama. Dua mobil polisi kini mengapit tepat disampingnya. Seorang 9
anggota polisi dari dalam mobil berteriak samasamar kepada Daffa dengan nada mengancam agar Daffa berhenti secepatnya. Tapi Daffa tak mendengarkannya dan terus menarik gas motornya lebih dalam lagi. Dua buah pistol dari masingmasing mobil terlihat keluar, mengarah jelas pada Daffa. Daffa melihat kebelakang, memperhatikan dengan teliti kecepatan dan dua senjata api otomatis dari dalam mobil itu. Suara senjata api otomatis itu terdengar bersamaan. Daffa menekan dalam-dalam rem-nya dan memutar motornya kekanan jalan, bahkan sebelum suara tembakkan itu terdengar. Dua mobil polisi yang masih dalam kecepatan tinggi pun mendadak menge-rem. Namun keadaan mobil jadi sulit dikendalikan. Mobil berbelok kekiri dan kekanan dengan semaunya. Daffa hanya memperhatikan semuanya dengan senyuman bangga. Aksi yang brilliant, ia sengaja memperlambat laju motornya untuk memberi ruang kepada polisi untuk memacu mobilnya lebih cepat, tapi disaat bersamaan Daffa berhenti dengan perkiraan yang tepat. Seandainya terlambat sedikit saja, maka nyawalah taruhannya. Daffa kembali pulang. Ia pulang dengan kewaspadaan, namun tidur dengan nyeyak, kini ia tak lagi terpikirkan
10
tentang kekalahannya 2 bulan lalu, karena malam ini ia berhasil membalaskan dendam kekalahannya. Ke esokkan harinya saat ia membuka mata, sinar mentari kembali menyilaukan matanya. Bi Minah sudah membuka jendela kamar Daffa lebih dulu. Sepiring Sandwitch lengkap dengan segelas susu, telah dihidangkan di meja kamar Daffa. Bi Minah, sesosok Pembantu dengan dedikasi tingkat tinggi. Memberikan Pelayanan terbaik kepada Daffa sama seperti ia memberi kasih dan sayangnya pada Piyan kecil, anaknya sendiri. “ahh... terlambat lagi,” gumamnya selalu disaat melihat jam disudut kamarnya saat ia membuka mata dipagi hari. Ia kembali bergegas dari kamar tidur untuk secepatnya datang ke Sekolah. Kali ini iya sangat terburu-buru. “Bi... saya berangkat. Kalo mama sama Papa pulang, sampeiin aja, saya nginep di rumahnya Rama. Besok saya baru pulang,” teriak
11