Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
Ahmad Habibi Gafur Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak Tinea cruris merupakan infeksi jamur superfisialis yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum dan disebabkan oleh jamur dermatofita. Faktor predisposisi tinea cruris adalah kelembaban dan suhu yang tinggi serta keadaan kebersihan diri yang buruk. Dilaporkan kasus tinea kruris pada seorang laki-laki berusia 15 tahun dengan keluhan gatal pada lipat paha sejak 2 bulan yang lalu. Ditemukan lesi semilunar pada kedua lipat paha, berbatas tegas dengan tepi yang lebih merah dan meninggi serta dibagian tengah lesi ditemukan pengobatan pusat yang ditutupi skuama halus. Pasien didiagnosis tinea cruris berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan diberikan krim ketokonazole 2% yang diberikan dua kali sehari dan pemberian obat anti jamur oral ketokonazol 200 mg sehari selama 2 minggu, serta keterizin 10 mg sekali sehari. Kata kunci : dermatofita, faktor predisposisi, tinea kruris
A 15 YEARS-OLD BOY WITH TINEA CRURIS Abstract Tinea cruris is a superficial fungal infection of the skin in the groin, genitals, area around anus and perineum that caused by dermatophyte fungal. Humidity, high temperatures and bad personal hygiene are predisposing factors of tinea cruris.In this case, 15 years old boy complaintsrash and itching in the groin since two months ago. On physical examination found semilunar lesions that demarcated with red and rising edges on both groins. In the middle of lesion found central healing appearance that covered by fine scale. Patients was diagnose with tinea cruris based on history and physical examination. Patients received ketoconazole cream 2% twice daily and oral administration of ketoconazole 200mg/day for two weeks and ceterizine 10 mg once daily. Keywords: dermatophytes, predisposing factor, tinea cruris. Korespondensi: Ahmad Habibi Gafur, S.Ked, Jl. Dr Soetomo Penengahan Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, HP 087899082277, e-mail:
[email protected]
Pendahuluan Tinea kruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun bahkan merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea kruris mempunyai nama lain Eczema marginatum, jock itch, ringworm of the groin, dan dhobie itch.1 Tinea kruris merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di Indonesia.2 Suhu dan kelembapan yang tinggi merupakan salah satu faktor yang mendukung timbulnya tinea kruris.3,4 Tinea kruris lebih sering menyerang pria dibandingkan wanita. Faktor penting lainnya yang berperan dalam penyebaran dermatofita ini adalah cuaca yang panas, kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, tempat tinggal padat penduduk, J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|8
memiliki aktivitas tinggi atau olahraga, dan kebiasaan menggunakan pakaian ketat atau lembab. Faktor resiko lainnya adalah diabetes mellitus dan obesitas.4,5 Jamur dermatofita utama penyebab tinea kruris adalah Trichophyto rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton verrucosum, dan Tricophyton interdigitale juga merupakan penyebab dari tinea kruris namun lebih jarang ditemukan. Prevalensi infeksi oleh Trichophyton rubrum sebesar 90%, E. floccosum dan T. metagrophytes 4%.3,5 Keluhan yang dirasakan pasien tinea kruris adalah timbul bercak kemerahan disertai rasa gatal atau terbakar pada lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah perineum. Bercak kemerahan tersebut bersisik dan pada bagian pinggirnya terlihat lebih merah dan tinggi.3-5 Diagnosa tinea kruris ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan
Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
mikroskopis. Tinea kruris umumnya mudah dikenali dari gejala klinis dan morfologi lesi, kecuali pada beberapa kasus tertentu.6,7 Gejala klinis tinea kruris tampak sebagai papulovesikel eritematosa multipel yang berbatas tegas, ditutupi oleh skuama halus, dengan tepi lebih tinggi dan merah (central healing). Pruritus dan nyeri sering ditemukan oleh karena maserasi ataupun infeksi sekunder. Tinea kruris oleh E. floccosum sering menunjukkan gambaran central healing, dan terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum memberikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genitalia.7 Diagnosis laboratorium rutin pada kasus dermatofitosis adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan kalium kidroksida (KOH) 10-20%.4 Pada sediaan tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan. Terdapatnya hifa memastikan diagnosis dermatofitosis.8 Sensitifitas, spesifisitas, dan hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopik KOH spesifisitas sebesar 50-70% serta hasil negatif palsu sekitar 15-30%. Namun teknik ini memiliki kelebihan tidak membutuhkan peralatan yang spesifik, lebih murah dan jauh lebih cepat bila dibandingkan dingan kultur.3,10 Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik, membutuhkan waktu yang lebih lama, memiliki sensitivitas yang rendah (20-70%), dan harga yang lebih mahal. Kultur biasanya dilakukan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur menjadi pilihan diagnostik karena tidak hanya mengisolasi organisme, tetapi juga memungkinkan untuk identifikasi agen etiologi (karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung), sehingga pengobatan dapat secara tepat diberikan.4,7 Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm (atau sinar “hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan rambut. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi melanin yang subtle bisa divisualisasi. Kebanyakan dermatofita tidak berpendar dalam pemeriksaan lampu Wood, kecuali Microsporum canis and M. andouinii penyebab
tinea capitis yang akan terlihat biru kehijauan. Lampu Wood akan menyingkirkan diagnosa banding eritrasma yang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum, yang mana akan berpendar berwarna merah karang sedangkan tinea cruris tidak berpendar. Pemeriksaan lampu Wood yang positif membantu dalam menentukan tingkat infeksi, mengidentifikasi area untuk pengambilan sampel, dan mengevaluasi respon pengobatan.11,12 Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal. Namun, steroid topikal tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk: terbinafin, butenafin, ekonazol, miconazol, ketoconazol, klotrimazol, ciclopiroks. Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang.11 Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krim terbinafin) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih.13 Pilhan terapi medikamentosa pada tinea kruris, diantaranya: a. Griseovulfin. Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif. b. Butenafin adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70%.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|9
Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama
d. e. f.
g.
4-6 minggu terbukti efektif dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan kesembuhan. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg /hari diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu. Terbinafin 250 mg /hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen umumnya 2-4 minggu. Itrakonazol diberikan 200 mg /hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun rejimen 100 mg /hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali. Penatalaksanaan tinea kruris secara non-medikamentosa dan pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti mengurangi faktor predisposisi yaitu menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi.14
Kasus Seorang Pria 15 tahun datang ke poli kulit Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung dengan keluhan utama bruntus merah disertai dengan rasa gatal pada lipatan paha kiri dan kanan. Keluhan tersebut muncul sekitar 2 bulan yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terutama saat berkeringat, sehingga pasien selalu menggaruknya. Awalnya bruntus merah tersebut timbul bulat sebesar biji koin kemudian menjadi bertambah disekitarnya. Keluhan pengobatan diakui, tetapi keluhan tidak berkurang. Pasien mengaku mandi dan mengganti celana dalam dua kali sehari, dan tidak pernah bergantian pakaian dengan orang lain, namun pasien sering menggunakan celana jeans yang agak ketat. Riwayat keluhan sebelumnya diakui. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|10
Riwayat mempunyai penyakit diabetes mellitus disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologikus, pada makula eritem sampai hiperpigmentasi, berbatas tegas, ukuran numular sampai geografis, sirkumkripta, diskret, permukaan kasar, kering, menimbul, tepi lebih aktif, central healing dan terdapat, skuama halus serta papul eritema. Gejala klinis yang dialami pasien adalah gatal yang semakin lama makin hebat pada daerah lipatan paha yang disertai dengan adanya bercak merah yang semakin lama makin meluas. Gatal terutama dirasakan apabila berkeringat atau beraktivitas dan saat malam hari. Terdapat kelainan kulit yaitu makula eritema-hiperpigmentasi berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif, lesi central healing, berukuran plakat berbatas tegas dengan tepi lesi lebih tinggi dan aktif terdiri dari papula, bentuk polimorf. Tanda sudah kronik yakni terjadi hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya, erosi dan eksoriasi, keluarnya cairan serum maupun darah, biasanya akibat garukan maupun pengobatan yang diberikan. Penatalaksanaan diberikan terapi topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah ketokonazol cream. Pembahasan Diangnosis tinea kruris pada kasus ini di tegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis di dapatkan keluhan yang dialami pasien adalah gatal yang semakin lama makin hebat pada daerah lipatan paha yang disertai dengan adanya bercak merah yang semakin lama makin meluas. Gatal terutama dirasakan apabila berkeringat atau beraktivitas dan saat malam hari. Gatal hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia, ruam kulit berbatas tegas, eritematosa dan bersisik. Semakin hebat jika berkeringat. Keluhan sering bertambah sewaktu tidur sehinga digarukgaruk dalam timbul erosi dan infeksi sekunder.15 Pasien merupakan remaja berusia 15 tahun yang termasuk dalam usia rentan untuk menderita tinea kruris karena
Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
aktivitas yang tinggi. Disamping itu pasien juga memiliki kebiasaan menggunakan celanan jeans ketat yang merupakan salah satu faktor predisposisi tinea kruris. Hal ini disebabkan oleh karena celana jeans termasuk salah satu bahan pakaian yang tidak menyerap keringat sehingga menciptakan kondisi yang mendukung timbulnya infeksi jamur. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kelainan kulit yaitu makula eritemahiperpigmentasi berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif, lesi central healing, berukuran plakat berbatas tegas dengan tepi lesi lebih tinggi dan aktif terdiri dari papula, bentuk polimorf. Hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya menandakan suatu perjalanan penyakit yang sudah kronis. Erosi dan eksoriasi, keluarnya cairan serum maupun darah, biasanya diakibatkan oleh garukan maupun pengobatan yang diberikan.18 Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur dengan golongan dermatofita. Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan golongan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, trichopyton, dan Epidermophyton. Penyebab tinea kruris sendiri sering kali oleh E. floccosum, namun dapat pula oleh T. rubrum, T. mentagrophytes. Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada keratin (keratininofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan stratum basalis. Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak dengan debris keratin yang mengandung hifa jamur.16 Menurut kepustakaan tinea kruris lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita dengan perbandingan 3:1 dan kebanyakan terjadi pada golongan umur dewasa dan golongan umur anak-anak. Biasanya mengenai penderita usia 18-60 tahun, tetapi paling banyak dijumpai pada usia 1825 tahun serta antara 40-50 tahun.15 Faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris yaitu iklim panas, lembab, pengeluaran keringat yang berlebihan,
pemakaian bahan pakaian yang tidak menyerap keringat, kebersihan perseorangan, trauma kulit, lingkungan sosial budaya dan ekonomi oklusif, defisiensi imunitas, dan penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan.17 Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan terapi topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah ketokonazol cream. Ketokonazol termasuk golongan azol-imidazol, relative berspektum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membrane sel jamur. Mempunyai kemampuan mengganggu kerja enzim sitokrom P-450, lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi lebih permeable dan terjadi pengahancuran kuman. 19 Pada kasus ini ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis.20 Obat sistemik yang diberikan adalah ketokonazol dan cetirizine. Ketokonazol diberikan peroral dan topikal untuk meningkatkan efektivitas pengobatan. Cetirizine adalah metabolit aktif dan hidroksizin dengan kerja kuat dan panjang. Merupakan antihistamin selektif, antagonis reseptor H1 dengan efek sedative yang rendah pada dosis aktif farmakologi dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Cetirizine menghambat perlepasan histamin pada fase awal dan mengurangi migrasi sek inflamasi.21-23 Tujuan diberikan cetirizine pada pasien ini adalah untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien dan mengurangi proses peradangan yang terjadi. Pada kasus ini obat sistemik diberikan selama 10 hari, ketokonazol 200 mg diberikan 1 tablet sekali minum dalam sehari pada pagi hari dan cetirizine 10 mg diberikan 1 tablet sekali minum dalam sehari pada sore hari.20,22 Pasien dianjurkan kontrol setelah 10 hari untuk melihat perkembangan penyakit. Pasien harus dijelaskan penting-nya menjaga lesi tetap kering. Edukasi pasien diberikan agar tidak menggaruk bercakbercak karena akan menyebab-kan bercak semakin luas, meng-komsumsi obat secara J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|11
Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
teratur, tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter, selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, memperbaiki status gizi dalam makanan, menggunakan handuk sekali pakai lalu langsung di cuci dan menggantinya dengan handuk baru, dan menggunakan pakaian longgar serta mudah menyerap keringat. Di samping itu, dijelaskan untuk menghindari penggunaan pakaian secara bergantian, mencuci pakaian serta seprai secara rutin, serta menjemur pakaian pada tempat yang panas hingga kering. Kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang terjaga dapat mem-percepat penyembuhan pasien.24,25 Prognosis pada pasien ini secara umum baik. Pengobatan tinea kruris mungkin membutuhkan waktu 2 – 4 minggu bahkan lebih. Tinea kruris dapat menjadi kronis dan kambuh berulang namun dapat dihindari dengan melakukan pengobatan secara teratur sesuai anjuran dokter, menghindari faktor resiko, dan menjaga kebersihan serta kelembapan kulit.26 Simpulan Tinea kruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat me-rupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain keadaan kekurangan. Prognosis tinea kruris baik jika pasien melakukan pengobatan secara teratur sesuai anjuran dokter, menghindari faktor resiko, dan menjaga kebersihan serta kelembapan kulit.
Daftar Pustaka 1. Rasad A. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin. Jakarta: FKUI; 2008. 2. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 3. Hainer BL. Dermatophyte infections. American family physician. 2003;67(1):101-108. 4. Straten VMR, Hossain MA, Ghannoum MA. Cutaneous infections: J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|12
dermatophytosis, onychomycosis, and tinea versicolor. Infectious disease clinics of North America. 2003;17(1):87112. 5. Patel GA, Wiederkehr M, Schwartz RA. Tinea cruris in children. Cutis. 2009;84(3):133-137. 6. Wiratma MK. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes melitus. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011. 7. Adiguna MS. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011. 8. Abdelal EB, Shalaby MA, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakr AA. Detection of dermatophytes in clinically normal extracrural sites in patients with tinea cruris. The Gulf Journal of Dermatology and Venereology. 2013;20(1):31-9. 9. Agustine R. Perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sediaan langsung koh 20% dengan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi pada tinea kruris. [Tesis]. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2012. 10. Sarika G, Purva A, Rahul R, Saksham G. Prevalence Of Dermatophytic Infection And Determining Sensitivity Of Diagnostic Procedures. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2014; 6(3). 11. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common tinea infections. American family physician. 1998;58(1):163-74. 12. Hidayati NA, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. Mikosis superfisialis di divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin rsud dr. Soetomo surabaya tahun 2003–2005. Surabaya: Department Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2009. 13. Haber MR. Dermatological fungal infections. Can Jour Diag. 2007. 14. Risdianto A, Kadir D, Amin S. Tinea corporis and tinea cruris cause by
Ahmad | Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun dengan Tinea Kruris
trichophyton mentagrophytes type granular in asthma bronchiale patient. Department of Dermatovenereology Universitas Hasanuddin. 2013. 15. Budimulja, U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. 16. Tavares SH, Alchorne MMA, Fischman O. Tinea cruris epidemiology (Sao Paulo, Brazil). Mycopathologia. 2001;149(3):147-149. 17. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakata: EGC; 2005. 18. Elewski BE. Tinea cruris. Dalam: Demis DJ, editor. Clinical Dermatology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. 19. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Treatment 2012. McGraw Hill; 2012. 20. Bakos L, Brito AC, Castro LCM, Gontijo B, Lowy G, Reis CMS, Zaitz C. Open clinical study of the efficacy and safety of terbinafine cream 1% in children with tinea corporis and tinea cruris. The Pediatric infectious disease journal. 1997;16(6):545-548.
21. Falus A, Hegyesi H, Darvas S, Pos Z, Igaz P. Histamine Genomics and Metabolomics. Immunogenomics and Human Disease. 2006;371-394. 22. Purohit A, Melac M, Pauli G, Frossard N. Twenty-four-hour activity and consistency of activity of levocetirizine and desloratadine in the skin. British journal of clinical pharmacology. 2003;56(4):388-394. 23. Day JH, Ellis AK, Rafeiro E. A new selective H1 receptor antagonist for use in allergic disorders. Drugs of Today. 2004;40(5):415-421. 24. Gupta AK, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal management of fungal infections of the skin, hair, and nails. American journal of clinical dermatology. 2004;5(4):225237. 25. James WD, Berger T, Elston D. Andrews' diseases of the skin: clinical dermatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences. 2015. 26. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea infections. American family physician. 2002;65(10):2095-2102.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3| Januari 2016|13