9 Summers 10 Autumns by Iwan Setyawan
“Aku” lahir dan besar di Batu, Malang, Jawa Timur. Ayahnya seorang supir angkot, dan ibunya tinggal di rumah yang harus bersiasat mencukupi kebutuhan hidup, termasuk sekolah, untuk kelima anaknya. Keluarga ini bisa dibilang bersahaja, karena meski hidup sangat pas-pasan, mereka amat sadar pendidikan. Faktor satu ini amat mereka sadari sebagai satu-satunya jalan keluar dari himpitan ekonomi yang kian sulit. “Aku” anak ketiga dari lima bersaudara. Masa kecil yang sulit nyatanya tidak merintangi jalannya menuju sukses. Kelak “Aku” berhasil kuliah di salah satu institut papan atas di Indonesia, lulus dengan nilai tinggi, dan menempati jabatan tinggi di sebuah perusahaan survey ternama di dunia di sebuah kota bergengsi di dunia: New York. Gaya Iwan Setiawan dalam menuturkan masa kecilnya yang sulit dan kesuksesannya di masa dewasa mengingatkan saya pada gaya penulisan Jostein Gaarder. Penulis ini menggunakan tokoh “bayangan” dalam setiap buku yang dia tulis. Tokoh “bayangan” ini diciptakan untuk menciptakan dialog dua arah untuk setiap gagasan atau pemikiran penulis, melalui hubungan emosional yang terbangun kuat di antara keduanya. Dalam bayangan saya, entah sengaja atau tidak, gaya bercerita inilah yang dipilih Iwan Setiawan untuk menyampaikan pemikirannya. Menilik gaya bahasa yang digunakan Iwan Setiawan membuat saya bertanya-tanya apa tujuan buku ini ditulis dan seperti apa target pembacanya. Penggunaan bahasa Inggris yang cukup dominan, dan penyebutan tempat seperti SoHo, downward facing dog (salah satu gerakan dalam yoga), Blue Ribbon, atau penyebutan merek secara langsung, bukan menyebutkan bendanya (seperti menyebut iphone ketimbang telpon genggam) hanya bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca dari kalangan menengah ke atas. Padahal, bila menilik cerita yang digambarkan Iwan Setiawan, seharusnya buku ini menjadi sumber inspiratif yang bisa dicontoh untuk bergelut melawan kesulitan hidup. Pilihan bahasa yang sederhana dan membumi, menurut saya, akan lebih bisa menyampaikan pesan yang hendak disampaikan penulis. Perjalanan panjang selama lebih dari 30 tahun – begitu perkiraan saya tentang umur penulis – tentu saja memerlukan siasat jitu untuk dituangkan ke dalam cerita yang efektif, dengan tujuan mengurangi jumlah halaman
Perjalanan panjang selama lebih dari 30 tahun – begitu perkiraan saya tentang umur penulis – tentu saja memerlukan siasat jitu untuk dituangkan ke dalam cerita yang efektif, dengan tujuan mengurangi jumlah halaman buku agar tidak terlalu tebal. Penggunaan penulisan surat dan penceritaan kepada orang ketiga sering digunakan para penulis untuk menyiasatinya. Dalam hal ini, Iwan Setiawan berhasil. Satu hal yang mengganjal untuk saya adalah penggambaran Iwan Setiawan mengenai kawasan Blok M. Saat penulis menggambarkan Seibu, sebuah department store, sebentar lagi akan dibuka, saya langsung merujuk ke tahun 1994. Karena di tahun itulah Seibu di gedung yang saat ini menjadi Pasaraya Grande dibuka. Keganjalan yang langsung terbaca oleh saya adalah saat Iwan Setiawan menyebutkan pemandangan anak muda yang nongkrong di café-café di Blok M Plaza, pikiran saya langsung membantahnya. Pada masa itu – saya masih sekolah di SMA yang terletak persis di samping plaza itu – café belumlah menjamur. Tren yang ada saat itu masih seputar restoran fast food, yang memang banyak terdapat di plaza bekas bioskop mewah itu. Sekali lagi, ini adalah kisah inspiratif tentang keberhasilan seseorang yang di masa kecilnya dihimpit kesulitan ekonomi. Saya menganggap Iwan Setiawan mencoba mencari cara lain dalam memaparkan cerita yang sudah banyak digarap dan diterbitkan, seperti Tetralogi Laskar Pelangi dan Trilogi Negeri Lima Menara. Menurut saya itu sah-sah saja, karena memberikan warna lain dari penulisan dari sekian banyak cerita yang hampir mirip ini. Sayangnya, saya menganggap pemaparan Iwan Setiawan masih serba tanggung, dan terkesan terlalu hati-hati. Makna perjuangan hidup dan pergelutan seorang manusia mencapai mimpinya jadi terkesan seadanya. Tak ada kesan mendalam dari makna yang diceritakan, dan sepertinya akan mudah dilupakan orang. (lits) |Awalnya saya memburu buku ini karena ingin tau, bagaimana ceritanya anak supir angkot dari daerah Batu bisa jadi seorang direktur. Tapi, setelah liat cover 2 buah apel yang bersiluet gunung dan satunya lagi Statue of Liberty membuat saya tambah penasaran dengan buku karya Mas Iwan ini. 9 Summers 10 Autumns. Dari Kota Apel ke The Big Apple. Ditambah gambar 2 apel merah bersiluet itu membawa buku ini amatlah menarik bagi saya. Ekspektasi saya buku ini akan seperti bukunya A. Fuadi, Ranah 3 Warna mungkin atau seperti Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Ternyata, sepertinya saya ekspektasi saya terlalu tinggi untuk buku ini. Saya mengira ini akan menjadi buku yang akan memompa semangat seorang anak dari keluarga kecil, yang katakanlah miskin, bisa mengejar cita-citanya hingga ke New York. Namun, ternyata buku ini hanya menceritakan perjalanan hidup Iwan Setyawan, si penulis dari awal kecil dengan keluarganya hingga ia mendapatkan pekerjaan di New York sebagai Director, Internal Client Management Nielson Consumer Research. Saya agak sedikit kecewa. Saya berharap buku ini bisa, ya paling tidak seperti Sang Pemimpi, yang membawa kita semmua sebagai pembaca terpompa untuk bisa meraih cita-cita dan harapan setinggi-tingginya walau berlatarbelakang keluarga yang kurang berada. Tapi, Mas Iwan justru hanya menceritakan pengalamannya saja. Dari keluarga, Bapak, Ibu, semua saudara perempuannya, hingga saya dengan mudah menebak, tiap bab akan bercerita tentang apa. Buku ini bisa dibilang sebuah catatan perjalanan Mas Iwan hingga sampai ke New York. Mas Iwan memang memberikan kenyataan pada semua pembaca, bahwa kehidupan yang awalnya biasa saja, bisa menjadi sesuatu yang luar biasa, jika kita mengusahakannya dengan sungguh-sungguh. Penulis, membawa contoh, bagi semua orang bahwa dengan kerja keras dan pendidikan yang baik, kita semua bisa menjadi lebih baik taraf hidupnya, apalagi dengan dukungan keluarga. |Prolog: Dengan segala kerendahan hati, saya membuat review ini ga ada maksud menjelek-jelekkan pengarang maupun bukunya. Saya sadar sepenuh hati segenap jiwa raga, bahwa saya mungkin ga akan mampu nulis buku apalagi punya pengalaman sehebat mas Iwan Setyawan. Ngasih 1 bintang juga bukan karena bukunya jelek. Arti 1 bintang di Goodreads artinya “didn’t like it” kan? Nah, itulah. Saya cuma ga terlalu suka sama bukunya. Balik lagi ke selera gapapa kan? Penilaian buku sangatlah subjektif. Tapi sebagai pembaca yang dilindungi pemerintah, bolehlah kiranya saya memberikan opini tentang buku ini. Perkara review ini jadinya terdengar nyinyir atau engga, saya rasa itu bisa ditimpakan tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekeliling saya yang membentuk mental saya jadi nyinyir begini. Hahahahaa #bagibagikesalahan
kiranya saya memberikan opini tentang buku ini. Perkara review ini jadinya terdengar nyinyir atau engga, saya rasa itu bisa ditimpakan tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekeliling saya yang membentuk mental saya jadi nyinyir begini. Hahahahaa #bagibagikesalahan Kenapa saya ga suka bukunya? Here we go.. Isi: 1.Salahkan saya karena saya dasarnya susah move on. Ga bisa adil ngerating The Casual Vacancy karena gagal move on dari Harry Potter, hal yang sama terjadi pada buku ini. Tema bukunya yang sejenis tetralogi Laskar Pelangi (yang termasuk favorit saya) dan trilogi Lima Menara bikin saya jadi ngebandingin terus. Dan pada akhirnya komen saya adalah, “again? Buku motivasi lagi?! Deuh”. Saya oke-oke aja sama N5M (walaupun emang ngebandingin sama LP juga). Ceritanya bisa saya nikmati. Pesan “semangat!! Anak kampung dengan segala keterbatasan pun bisa sukses!!”nya lumayan dapet. Tapi di buku ini engga sama sekali. Mozaik (pinjem istilah pak cik Andrea) kisah-demi-kisah yang diceritakan dengan terlalu pendek, bikin saya malahan ga nangkep sama sekali daya juang penulis sampe sukses kayak sekarang. Pengalaman mas Iwan saya yakin sehebat pengalaman Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tapi mungkin mas Iwan kurang mengeksplor ceritanya, jadinya malah kayak potongan catatan harian aja buat saya. Padahal ini kan novel ya, gapapa mungkin dilebay-lebay-in dikit mah. Ada dramanya kek atau apa gitu #soknasehatin #disantet. Atau emang sengaja dibikin kayak gitu kali ya. Biar keliatan lebih real. Tapi buat saya jatohnya jadi lempeng-lempeng aja ini buku. Ga greget. 2.Salahkan saya (lagi) karena bahasa inggris saya berada dalam level memprihatinkan. Penggunaan bahasa inggris yang (walaupun ga mendominasi) banyak banget bikin saya agak bingung. Bukan, bukan karena saya ga ngerti sama sekali. Tapi bingung kenapa ga ditulis bahasa indonesianya, di footnote kek atau dalam kurung kek atau apa gitu #nawar #pembacariwil. Ga semua orang loh jago bahasa inggris. Terutama kalo buku ini ditujukan buat orang-orang kayak saya, anak desa yang di sekolahnya bahasa ajar utama adalah bahasa indonesia-semi-sunda yang bukan berasal dari kalangan yang sanggup les bahasa inggris dari kecil #ribetdah. Maksudnya, kalo saya baca ini pas SMP atau SMA (umur-umur masih bisa dimotivasi) yang ada saya malah kelamaan buka kamus *ga punya alfalink ya pi? Gugel translet?* *ya menurut lo anak kampung mana kenal alfalink dan jago internet?* Kepalang lelah duluan sama nerjemahin, isi bukunya jadi lupa lagi xD. Eh tapi itu kan dulu. Mungkin sekarang udah beda. Bahasa inggris udah diajarin dari SD kelas 1 kan ya? SD di desa juga kan? Jadi pasti anak-anak desa sekarang lebih modern dan pinter dari jaman saya kecil dulu. Lagian bahasa inggris di bukunya juga sederhana kok #sokpinteeerrr. Cuma quote-quote dari buku-terkenal-dan-berbobot-nya aja yang agak susah diartikan #tuhkanbodoh 3.Salahkan saya (lagi dan lagi) karena saya emang bebal banget kalo dikasih motivasi. Mario Teguh mau teriak-teriak sampe ambeien juga kayaknya ga akan ngefek sama saya. Bukan karena saya ga punya motivasi, bukan.. *ga mau aja dibilang ndableg* tapi karena buat saya, ya itu ujung-ujungnya balik lagi ke diri sendiri. Kalo Mario teguh aja bisa depresi bikin saya termotivasi, buku ini gak berdampak apapun buat saya (karena alasan pesan motivasinya ga nyampe juga sihh). Cuma bisa komen “oh hebat, sungguh perjuangan berat”. Termotivasikah saya? Tentu tidak. 4.Saya agak terganggu dengan interaksi penulis sama anak kecil berbaju merah-putih itu. Iya, saya tau anak itu cuma refleksi diri si penulis aja, si penulis sebenernya ngomong sendiri. Tapi tetep aja kan kalo nulis “aku menggenggam tangannya. Kubisikkan I love you” “kukecup dahinya, kurasakan hangat tubuhnya” “kusentuh rambutnya, kudekap kepalanya di dadaku” kan agak ngeri juga ya. Emang pikiran saya aja kali ya yang ga bersih *paralun Gusti paraluuunn* *mandi kembang 7 rupa* tapi terus terang, cowok dewasa kayak begitu ke anak kecil asing (ceritanya asing kan? Walaupun dirasakan sangat dekat) agak janggal buat saya. Mungkin harusnya saya ga baca Lolita... #tetep #nyarialesan 5.Saya agak terganggu (juga)dengan beberapa pilihan kata penulis. Penggunaan kalimat seperti “iPhone”-ku berdering” “aku berjalan dengan sepatu Converse putihku yang mulai basah dan dingin” “menikmati segelas kopi dingin di beberapa kedai kopi kecil di SoHo” dan sejenisnya dan sejenisnya. Eeeeerrrrrrr... Mungkin maksud penulis adalah ingin menunjukkan kesuksesan dia, tapi bisa kali ya pake cara yang lebih “halus”? AH sama AF juga perasaan ga gitu-gitu amat.. *tuh kan ngebandingin lagi* Tapi di atas segalanya, beberapa bagian di buku ini sukses bikin saya mengenang masa-masa kuliah saya (kebetulan sama loh kita tempat kuliahnya... :) Eh ini pamer bukan?) walaupun kayaknya Malabar sekarang ga
Tapi di atas segalanya, beberapa bagian di buku ini sukses bikin saya mengenang masa-masa kuliah saya (kebetulan sama loh kita tempat kuliahnya... :) Eh ini pamer bukan?) walaupun kayaknya Malabar sekarang ga semahal Malabar yang dulu, kali *duh kangen pecel lele belakang internusa* *ga tau internusa? Pangrango Plaza jaman saya kuliah mah. Yang kalo lagi di atapnya kita suka ngerasa kayak maen sinetron* *eh sekarang udah bangkrut ya? Dijadiin apa?* #jadipanjang Epilog: Terus terang, saya ragu mau ngasih 1 bintang aja. Liat review yang lain kok kayaknya oke-oke aja. Saya takut sayanya aja yang emang kelainan :( Lagian saya baca buku ini dengan suasana hati yang sedang sangat buruk (salahkan seseorang! Salahkan seseorang!!). Jadinya malah pengen nyinyir mulu bawaannya #alasan #biargadibilangkelainan. Tapi lain kali, emang sebaiknya saya ga baca buku dalam kondisi mood awut-awutanteu-puguh kayak gini. Btw, apakah review ini terdengar nyinyir? p.s: saya emang niat abis bikin review, sampe ada prolog epilog segala... (._.) |Kurang lebih sebulan lalu, seorang anggota GRI memperkenalkan dirinya dalam sebuah thread. Ternyata ia seorang penulis yang sedang menyelesaikan sebuah novel berjudul “9 Summers and 10 Autumns”. Sebuah novel pemberi motivasi yang terinspirasi kisah nyata sang penulis. Kisah seorang anak supir angkot yang menjadi direktur di kota New York. Kisah hidupnya disajikan dengan alur maju mundur. Dari masa sekarang di New York kembali ke masa kecilnya di kota Batu, masa kuliah di Bogor hingga pekerjaan pertamanya setelah lulus kuliah di Jakarta. Penulis menulis secara singkat dan terpisah di tiap bab untuk tiap hal yang penting baginya. Kampung halamannya, rumah, ayah, ibu serta saudara-saudara kandungnya masing-masing mendapat satu bab khusus untuk dideskripsikan. Kehidupan keluarga penulis tergambar sederhana, penuh kasih sayang dan kerja keras. Sebuah keluarga harmonis yang diceritakan tanpa cela. Bahagia sekali ketika mengetahui bahwa di luar sana ada kakak adik yang tak pernah berkelahi atau berselisih pendapat. Termasuk penulis dan kakak adiknya. Setidaknya begitu kesan yang saya dapat dari tulisannya. Keluarga penulis sangatlah menghormati pendidikan. Mereka percaya bahwa pendidikan bisa membawa mereka ke tingkat penghidupan yang lebih layak. Kerja keras orang tua penulis dalam memenuhi biaya pendidikan dan didukung dengan ketekunan anak-anaknya dalam belajar membuat hasil yang sangat memuaskan. Semua anak-anaknya mendapat peringkat yang bagus di sekolah dan akhirnya mendapat pekerjaan yang bagus pula. Mereka semua terdidik untuk tak kenal menyerah dan menjalani hidup dengan semangat. Sehingga saat anda membaca novel ini, sangatlah sulit untuk tidak mencintai karakter orang tua dan kakak dari penulis. Pengorbanan mereka akan kesuksesan penulis takkan terbayar sampai kapanpun tanpa mengecilkan kerja keras penulis. Yang menarik dalam novel ini ada sebuah karakter seorang anak kecil berseragam SD yang sering penulis ajak bicara. Kalau saya melihatnya sebagai bayangan masa lalu penulis. Untuk memaknai masa-masa telah ter lewati, penulis berbincang dengan dirinya sendiri. Penulis mencoba berdamai dengan masa lalunya yang tak pernah diisi kemewahan seperti yang dimiliki rekan-rekan kerjanya. Yang pada akhirnya penulis yakin bahwa tiap detik yang telah ia lewati semasa hidupnya membawa penulis ke titik sekarang. Kisah ini menurut saya sangat sederhana. Tidak mengharu-biru dengan konflik yang yang banyak dan mendebarkan. Tapi dengan kesederhaan ini, penulis dengan mudah dapat memotivasi kita untuk terus bermimpi.Tak lupa pula untuk bekerja keras dan mewujudkannya. Jadi, selamat membaca novel ini, semoga termotivasi dan percayalah bahwa tak ada impian yang tak bisa diraih! ************************************************************************** Catatan enggak penting, yang penting, penting banget: Gue sangat setuju saat penulis berwisata ke luar negeri atau membeli barang ayng cukup mahal. Gue percaya bahwa pribadi kita sendiri berhak untuk dihadiahkan agar tetap hidup.Peduli dan ingat terhdap orang lain itu penting, tapi sayang kita melupakan diri kita sendiri. Jadi, pesan yang bagus sekali, mas Iwan!!! lalu, ternyata Jalan Sudirman memberikan impian pada banyak orang. Gue juga waktu masa-masa sekolah dulu, sangat berkeinginan untuk bekerja di salah satu gedung tinggi itu. Kesannya
pesan yang bagus sekali, mas Iwan!!! lalu, ternyata Jalan Sudirman memberikan impian pada banyak orang. Gue juga waktu masa-masa sekolah dulu, sangat berkeinginan untuk bekerja di salah satu gedung tinggi itu. Kesannya tuh kalau kerja di situ tuh keren banget. Ah tapi kalau mas Iwan tercapai, kalau gue sih enggak. Hehehe..daaaaannnn..yang paling penting banget adalah: konon katanya mas iwan ini suaranya bagus lho sampai menang lomba nyanyi se-kecamatan. Jadi kalau sampai bertemu, bolehlah mas iwan bernyanyi untuk kami semua. Untuk membuktikan kebenaran bahwa memang pandai bernyanyi, tak ada bukti bisa dibilang HOAX lho! -p |Can't rate my own book:)