9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Prediksi Keberlanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan yang dapat mencukupi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan atau mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk mencukupi kebutuhannya” (Glavic dan Lukman
2007; Hall
2001). Menurut Fauzi (2006) keberlanjutan (sustainable) adalah suatu keadaan yang berkesinambungan di mana kegunaan yang diperoleh dari suatu obyek atau sumber daya pada masa mendatang tidak berkurang dibandingkan saat ini. Keberlanjutan merupakan permasalahan yang kompleks karena mencakup berbagai aspek atau dimensi keberlanjutan, seperti dimensi sumber daya, sosial, ekonomi dan lingkungan (Hall 2001). Penilaian keberlanjutan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi saja ternyata menyebabkan ketimpangan atau dampak buruk pada dimensi lainnya. Sebagai contoh, kemajuan industri dan pembangunan yang sangat pesat pada pertengahan abad ke-20 di banyak negara di dunia, telah memberikan keuntungan finansial dan ekonomi yang sangat besar, justru berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan pengurasan sumber daya alam sehingga berpengaruh buruk terhadap berlangsungnya industri itu sendiri, lingkungan dan sumber daya yang dirasakan pada tahun 1980-an (Glavic dan Krajnc 2003). Isu internasional tersebut menjadi titik tolak lahirnya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diprakarsai oleh WCED (world commission on environment and development) pada tahun 1987 (Glavic dan Lukman 2007). Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai bidang, sehingga keberlanjutan mempunyai berbagai dimensi yang luas pula (Glavic dan Lukman 2007). Penilaian keberlanjutan dapat dilakukan apabila masing-masing
dimensi
keberlanjuan
mempunyai
kriteria
atau
indikator
keberlanjutan. Madlener et al. (2006) menjelaskan bahwa indikator adalah variabel kunci yang mengindikasikan tingkat pelaksanaan dimensi. Apabila dilihat dari kemampuan model keberlanjutan yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya, maka terdapat dua jenis model yang dihasilkan, yaitu model yang bersifat evaluasi dan prediksi. Secara umum, model prediksi
9
10
mempunyai kemampuan yang lebih unggul dan akurat dibandingkan model evaluasi keberlanjutan. Model evaluasi keberlanjutan bersifat statis, tidak mempertimbangkan dinamika indikator-indikator keberlanjutan yang berubah dari waktu ke waktu. Model evaluasi yang penilaian nilai indikatornya umumnya didasarkan atas pendapat ahli (expert judgement) dapat dijumpai pada teknik rapfish (rapid appraisal for fisheries). Rapfish merupakan teknik multidisiplin yang berupaya mengevaluasi status keberlanjutan perikanan didasarkan pada skoring yang bersifat transparan dan semi-kuantitatif pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik (Pitcher 1999). Sementara model evaluasi yang penilaiannya didasarkan atas pendapat ahli dan ekplorasi data kuantitatif indikator diterapkan pada teknik ESI (environmental sustainability index). ESI dikembangkan untuk mengukur dan membandingkan
kemampuan
suatu
negara
untuk
menjaga
keberlanjutan
lingkungannya. ESI pada hakikatnya mengevaluasi keberlanjutan lingkungan relatif diberbagai negara dan mampu menggambarkan kinerja pengelolaan lingkungan sehingga dapat dijadikan landasan bagi analisis dan pembuatan keputusan dibidang pengelolaan lingkungan (ESI 2005). Model keberlanjutan evaluasi lainnya adalah ecological footprint dan SPI (sustainable progress index) yang digunakan untuk mengukur dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan (Bossel 1999). Model evaluasi keberlanjutan telah digunakan oleh Wibowo et al. (2007) yang menggunakan teknik MDS (multidimensional scaling) untuk analisis keberlanjutan usaha tani sayuran dataran tinggi di kawasan agropolitan Pacet, Cianjur. Dimensi keberlanjutan yang dikaji didasarkan atas dimensi keberlanjutan yang terdapat pada rapfish, yaitu dimensi sosial, ekologi, ekonomi, teknologi dan etika. Penelitian yang hampir serupa juga dilakukan oleh Thamrin et al. (2007) melakukan kajian evaluasi keberlanjutan wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia untuk pengembangan kawasan agropolitan dengan teknik MDS di mana aspek keberlanjutannya meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur teknologi dan kelembagaan. Mamat et al. (2006) melakukan kajian keberlanjutan usaha tani tembakau di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah dengan menggunakan 3 dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi sosial, ekonomi dan ekologi menggunakan teknik MDS. Sebelumnya, Fauzi dan Anna (2002) juga melakukan
11
penilaian status keberlanjutan pembangunan perikanan di perairan DKI Jakarta di samping dimensi ekologi atau sumber daya, ekonomi, sosial, etik dan teknologi menggunakan metode rapfish. Model keberlanjutan yang kedua adalah model prediksi keberlanjutan. Model prediksi menganggap bahwa keberlanjutan bersifat dinamis, berubah menurut waktu dan indikator-indikator keberlanjutannya bersifat saling terkait (interdependence), di mana perubahan satu indikator akan mempengaruhi indikator lainnya. Defra (2006) menjelaskan bahwa keberlanjutan merupakan permasalahan masa depan yang kompleks di mana tingkat pencapaiannya tergantung pada apa yang dilakukan oleh saat ini. Menurut Eriyatno (1999) permasalahan dengan ciri demikian bersifat dinamis dan tidak pasti. Untuk memperkirakan keberlanjutan maupun nilai indikator keberlanjutan pada waktu mendatang, maka pada model prediksi keberlanjutan dikembangkan teknik kuantitatif untuk menentukan nilai indikator keberlanjutan secara akurat. Pada model prediksi keberlanjutan dimungkinkan untuk melakukan analisis kebijakan melalui penerapan skenario kebijakan secara multidimensi untuk kebutuhan perumusan strategi keberlanjutan. Postma dan Bood (2001) menyatakan bahwa fungsi skenario kebijakan adalah mengevaluasi dan menyeleksi strategi untuk kebutuhan di masa depan. Hasil studi yang mengarah kepada model prediksi keberlanjutan dilakukan oleh Hidayatno et al. (2011) yang
telah
meneliti mengenai keberlanjutan
industri biodisel di Indonesia menggunakan model sistem dinamis. Aspek keberlanjutan yang dikaji adalah aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebelumnya, Halog dan Chain (2006) juga meneliti keberlanjutan industri pertambangan (minyak bumi) dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dengan model sistem dinamis. Adams dan Ghaly (2007) melakukan penelitian keberlanjutan industri kopi di Costa Rica. Kerangka keberlanjutan yang digunakan adalah upaya memaksimalkan sejumlah peluang yang memberikan banyak manfaat ekonomi bagi industri, meminimumkan biaya dan mengurangi resiko yang akan terjadi, diantaranya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, disain sistem operasional dan menajemen lingkungan melalui upaya penerapan sistem produksi bersih (cleaner production).
12
Walaupun mempunyai kemampuan prediksi, hasil studi tersebut belum dilengkapi dengan teknik indeksasi keberlanjutan sebagaimana yang telah digunakan pada model evaluasi. Hal ini menyebabkan hasil yang dicapai masih bersifat kecenderungan pada masa mendatang dan belum dapat menentukan sejauh mana tingkat keberlanjutannya. Ranah perekayasaan model prediksi keberlanjutan terletak pada penggunaan paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainable development) sebagai kerangka penilaian keberlanjutan dan
diterapkan teknik-teknik kuantitatif yang berfungsi
memperkirakan setiap nilai indikator keberlanjutan. Keunggulan model prediksi yang dirancang adalah kemampuannya untuk menjelaskan keterkaitan antar indikator maupun komponen-komponen penyusun sistem keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap secara dinamis menurut fungsi waktu. Hal ini menyebabkan perilaku indikator dapat diketahui dan dianalisis secara lebih mendalam untuk mengetahui tingkat pengaruhnya terhadap pencapaian tingkat keberlanjutan. Ranah perekayasaan untuk model prediksi keberlanjutan ditunjukkan pada Gambar 1. Perancangan model prediksi keberlanjutan menjadi kebutuhan yang sangat penting terutama untuk menilai keberlanjutan obyek yang mempunyai sifat kompleks dan ketidakpastian yang tinggi. Keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap adalah masalah yang kompleks dan dinamis. Adanya keterbatasan model yang penilaian keberlanjutan yang berkembang pada saat ini membuat model prediksi yang dirancang berpotensi memberikan kontribusi bagi pengembangan model prediksi keberlanjutan yang lebih baik pada masa mendatang.
2.2 Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian Rekayasa model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap yang mencakup dimensi keberlanjutan yang kompleks dan dinamis merupakan permasalahan yang masih baru dan belum banyak dikaji. Penelitian mengenai penilaian keberlanjutan yang dilakukan saat ini pada umumnya belum berkembang pada tingkat perancangan model prediksi yang komprehensif, namun lebih bersifat sebagai penelitian aplikasi, yaitu melakukan evaluasi keberlanjutan menggunakan model-model evaluasi yang telah ada saat ini. Rancang bangun model prediksi
13
agroindustri perikanan tangkap mempunyai posisi strategis yaitu sebagai penelitian yang mampu mengembangkan model prediksi keberlanjutan secara komprehensif dan akurat dan dapat digunakan untuk kebutuhan analisis kebijakan. Posisi strategis penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.
Paradigma Keberlanjutan (Sustainable Development)
Sistem Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Tangkap
Dimensi dan Indikator Keberlanjutan Indikator Keberlanjutan
Keterkaitan antar Indikator Keberlanjutan
Dinamika Indikator Keberlanjutan
Penilaian Indikator dengan Expert Judgment
Data Kuantitatif & Kuantifikasi Indikator
Teknik Kuantitatif Penentuan Indikator Keberlanjutan
Fungsi Waktu
Penilaian Keberlanjutan (Indeks Keberlanjutan)
Prediksi Indikator
Strategi Peningkatan Keberlanjutan
Skenario Kebijakan
Model Evaluasi Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Aspek Perekayasaan Model Pada Model Prediksi Keberlanjutan Agroindustri Perikanan
Gambar 1 Ranah perekayasaan model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap Model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap dikembangkan dengan mendasarkan kepada hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan. Konsep yang dirujuk dari penelitian sebelumnya adalah konsep yang berhubungan dengan disain sistem keberlanjutan, sistem teknik (engineering) maupun isu-isu terbaru mengenai agroindustri perikanan dan paradigma keberlanjutan.
14
Tabel 2 Posisi strategis penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penelitian Hidayatno et al. (2011) Adams dan Ghaly (2007) Ardebili dan Boussabaine (2007) Doukas et al. (2007) Thamrin et al. (2007) Wibowo et al. (2007) Defra (2006) Halog dan Chain (2006) Mamat et al (2006) Sinha dan Brault (2005) Begic dan Afghan (2004) Saysel et al. (2002) Fauzi dan Suzan (2002) Kennedy (2002) Penelitian yang diusulkan
a
b
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √
c) g)
Sosial Etik
√ √ √ √
√ √
Aspek yang dikaji c d e
f
g
Sifat model h i
√
√ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √
√ √
√
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√
√
√ √
√ √ √
Keterangan : a) e) h)
Ekonomi Teknologi Evaluasi
b) f) i)
Lingkungan Kelembagaan Prediksi
d)
Sumber Daya/Ekologi
Hasil penelitian yang dibutuhkan untuk mendukung perancangan model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap adalah penelitian yang membahas tentang sumber daya perikanan tangkap, model pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, identifikasi dimensi dan indikator keberlanjutan agroindustri, dinamika keberlanjutan dan teknik indeksasi keberlanjutan. Hasil-hasil penelitian yang telah dicapai dan posisi strategis penelitian digambarkan dalam bentuk peta jalan (road map) pada Gambar 2. Penelitian tentang sumber daya perikanan tangkap dilakukan oleh Yew dan Heap (1996) bertujuan menjaga kelangsungan sumber daya perikanan tangkap. Tinungki (2005) melakukan kajian penggunaan metode surplus produksi untuk menjaga kelestarian ikan lemuru di selat Bali. Dimensi-dimensi maupun indikator keberlanjutan yang digunakan sebagai acuan untuk evaluasi keberlanjutan dinyatakan oleh World Bank (2001) yang mencakup dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial. Dalam bidang industri dimensi maupun indikator keberlanjutan dikaji oleh Adams dan Ghaly (2007), Ardebili dan Baussabaine (2007), Defra (2006) dan
15
Dunlop et al. (2004). Sedangkan dimensi teknologi untuk evaluasi keberlanjutan digunakan oleh Navarrate et al. (2007). Penelitian tentang dinamika keberlanjutan lingkungan dengan model sistem dinamis dilakukan oleh Halog dan Chain (2006) dan Saysel et al. (2002). Teknik untuk integrasi dimensi-dimensi keberlanjutan menggunakan teknik multidimensional scaling dikembangkan oleh Pitcher dan Preikshot (Pitcher dan Preikshot 2001) maupun SAWM (simple additive weighating method) yang dikembangkan oleh Azar (2000) dan Podvezko (2011). Penelitian sebelumnya tidak secara spesifik dilakukan pada agroindustri perikanan tangkap, tetapi pada ranah industri, agroindustri atau bidang perikanan umum dan pertanian. Hasil-hasil yang telah dicapai pada penelitian tersebut akan digunakan acuan untuk mengembangkan model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap. Kajian dan Penelitian Sebelumnya
Sistem Keberlanjutan
Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan (Yew & Heap 1996 )
Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan Dimensi Teknologi
(Adam & Ghaly 2007; Ardebili & Boussabaine 2007; Defra 2006; Dunlop et al. 2004; Navarrate et al. 2007 World Bank 2001)
Posisi Strategis Penelitian
Teknik Kuantitatif Penentuan Indikator Keberlanjutan
Evaluasi Keberlanjutan Perikanan (Fauzi & Anna 2002)
Model Prediksi Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Tangkap
Sistem Teknik
Teknik Ordinasi Untuk Indeksasi (Pitcher & Preikshot 2001; Azar 2000; Podvezko 2011) Penggunaan Metode Surplus Produksi untuk Kebijakan Perikanan (Tinungki 2005)
Isu Kelestarian Sumber Daya Perikanan Tangkap
Model Sistem Dinamik untuk Penilaian Keberlanjutan (Halog & Chain 2006; Saysel et al. 2002; Hidayatno 2011)
Isu Dinamika Keberlanjutan
Gambar 2 Peta jalan (road map) penelitian Model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap yang dirancang mempunyai 2 kebaruan (novelty), yaitu: 1.
Model prediksi yang dihasilkan telah mempertimbangkan keterkaitan antar indikator-indikator keberlanjutan pada dimensi-dimensi keberlanjutan yang
16
berbeda. Karakteristik ini menjadi kelebihan dibandingkan model penilaian keberlanjutan lainnya yang bersifat statis dan belum mempertimbangkan aspek kedinamikaan dan keterkaitan antar indikator. Adanya teknik-teknik kuantitatif yang dikembangkan pada model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap
menyebabkan prediksi keberlanjutan yang dihasilkan lebih akurat
dibandingkan model-model evaluasi keberlanjutan yang saat ini banyak berkembang. 2.
Model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap belum pernah dikaji atau dikembangkan sebelumnya. Model yang dihasilkan memberikan kontribusi yaitu diperolehnya jenis indikator - indikator keberlanjutan dan indikator pengungkitnya yang sangat berguna bagi penilaian keberlanjutan dan upaya peningkatan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap.
2.3 Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Tangkap Merujuk pada definisi yang diberikan Austin (1992) agroindustri perikanan tangkap dapat diartikan sebagai industri yang mengolah komoditas hasil perikanan tangkap untuk meningkatkan nilai tambahnya. Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan bahwa hasil perikanan tangkap adalah komoditas ikan yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan ikan di perairan umum yang tidak dalam keadaan dibudidayakan. Agroindustri perikanan tangkap adalah salah satu industri strategis. Menurut Dahuri (2003) hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu 1) menggunakan sumber daya lokal yang merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia; 2) mempunyai keterkaitan yang kuat (backward dan forward lingkage) dengan industri perikanan dan aktivitas ekonomi lainnya; dan 3) menggunakan sumber daya kelautan dan perikanan yang bersifat dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga keberlangsungannya dapat dipertahankan. Industri dengan karakter seperti ini mempunyai prospek yang baik untuk dijadikan penggerak roda perekonomian masyarakat sehingga dapat berperan penting dalam menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
17
Sebagaimana UKM (usaha kecil dan menengah) lainnya, agroindustri perikanan tangkap juga mempunyai banyak hambatan dalam aktifitas usahanya sehingga perkembangannya pun kurang terlalu menggembirakan. Hal ini disebabkan kebijakan pengembangan agroindustri perikanan masih bersifat sektoral dan kurang mempertimbangkan
kompleksitas
dan
dinamika
beragam
komponen
yang
mempengaruhinya. Menurut Eriyatno (1999) agroindustri, termasuk agroindustri perikanan tangkap, adalah satu kesatuan sistem yang mencakup gugus dari berbagai hubungan komponen yang kompleks dan saling mempengaruhi, sehingga dalam pengembangannya seharusnya diperlukan cara pandang yang lebih menyeluruh dan integratif. Keterkaitan pelaku dalam sistem agroindustri perikanan tangkap ditunjukkan pada Gambar 3.
Sumber Daya Perikanan
Usaha Penangkapan Ikan (Nelayan)
Usaha Pengolahan Ikan (Agroindustri)
TPI; Pedagang Pengumpul
Ekspor Produk (Eksportir)
Pasar
Pedagang Pengumpul
Gambar 3 Keterkaitan pelaku dalam sistem agroindustri perikanan tangkap (sumber: modifikasi dari Gunani 2007) Berkaitan dengan penilaian tingkat keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap, jenis dimensi dan indikator yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik sistem keberlanjutannya. Menurut Madlener et al. (2006) dimensi menggambarkan keadaan sistem terkait dengan pemenuhannya terhadap prinsipprinsip keberlanjutan sebagai acuan penilaian apakah suatu sistem berlanjut atau tidak. Sementara indikator dinyatakan sebagai variabel yang mempunyai nilai yang mengindikasikan tingkat pelaksanaan dimensi. Indikator keberlanjutan berfungsi sebagai berikut: 1) menggambarkan kondisi sistem yang ada yang seringkali kompleks dan dinamis; 2) dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja suatu kebijakan dalam mencapai keberlanjutan; dan 3) dapat digunakan sebagai early warning system terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masa mendatang.
18
McCool dan Stankey (2004) menjelaskan bahwa penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan dari keberlanjutan itu sendiri (what is to be sustained). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator adalah sebagai berikut: 1. Indikator merupakan bagian dari sistem atau seperangkat variabel kunci/khusus yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif. 2. Dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif. Sebagai contoh kesejahteraan dapat diukur melalui indikator distribusi pendapatan. 3. Dapat menggambarkan keadaan masa mendatang (predictable) sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan. Menurut Hemphill et al. (2004) karakteristik indikator yang layak adalah sebagai berikut: 1) sesuai dengan maksud pengukuran (relevant); 2) pengukuran dapat dilakukan oleh semua orang, bahkan yang bukan pakar pun dapat melakukannya (understandable); 3) akurat dan terpercaya (accurate and reliable); dan 4) informasinya mudah diperoleh (accesible data). Kerangka keberlanjutan yang mencakup dimensi dan indikator sebagaimana yang dijelaskan di atas menjadi pijakan bagi sejumlah kajian tentang keberlanjutan usaha pada berbagai industri walaupun dimensi serta indikator yang digunakan telah disesuaikan dengan tujuan kajian secara khusus. Merujuk kepada konsep keberlanjutan agroindustri yang dinyatakan oleh Soekartawi (2002), keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap dapat terwujud apabila agroindustri tersebut mampu melakukan fungsi bisnisnya secara optimal sehingga secara ekonomi dapat memberikan keuntungan yang terus menerus, bersahabat dengan lingkungan dan secara sosial menyejahterakan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut agroindustri perikanan tangkap harus mampu mencapai keberlanjutan pada aspek sumber daya, ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Keberlanjutan sumber daya adalah menjaga pasokan bahan baku agroindustri perikanan tangkap agar dapat berlangsung secara berkesinambungan. Bahan baku agroindustri perikanan tangkap yang berasal dari aktivitas penangkapan dilaut (perikanan laut) mempunyai karakteristik yang unik karena sifatnya yang open acces dan common property, di mana pemanfaatannya bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Hal tersebut menyebabkan sumber daya ikan sangat
19
rentan (vulnerable) dan mudah mengalami degradasi dari segi jumlah (stock). Walaupun, sumber daya ikan bersifat dapat diperbaharui (renewable), akan tetapi akibat perkembangan aktivitas perikanan tangkap dan industri yang sangat pesat menyebabkan sumber daya ikan mengalami over fishing sehingga jumlahnya terus mengalami penurunan (Murillas dan Chamorro 2005). Gejala tersebut tidak saja terjadi di Indonesia, akan tetapi telah terjadi pada berbagai perairan di seluruh dunia (Syme 2005; Roberts et al. 2005; Hilborn 2007). Di samping itu sumber daya ikan bersifat migratif yaitu tidak menetap pada suatu kawasan saja. Hal ini berbeda dengan sifat sumber daya terresterial (daratan) di mana pengelolaannya cenderung lebih mudah (Sparee dan Venema 1999). Oleh karena itu menjaga agar tingkat eksploitasi sumber daya laut tidak melebihi potensi lestarinya merupakan upaya agar pasokan bahan baku agroindustri ini dapat terus berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi terwujud jika agroindustri perikanan tangkap mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu bersaing secara kompetitif di pasaran sehingga akan memberikan manfaat atau keuntungan ekonomi secara maksimal dalam waktu yang relatif lama. Menurut Tambunan (2008) agroindustri perikanan yang berdaya saing tinggi dapat dicirikan dengan nilai produktivitasnya yang tinggi, ketrampilan tenaga kerja yang memadai, teknologi yang efisien dan produk yang berkualitas. Abdullah et al. (2001) menekankan daya saing kepada kemampuan perusahaan untuk berkompetisi dengan lingkungannya. Porter (1993) menyatakan bahwa daya saing dapat dicapai melalui strategi keunggulan bersaing yaitu menciptakan keunggulan biaya, diferensiasi produk dan fokus terhadap pasar. Dalam operasionalisasinya keunggulan biaya lebih berfokus pada produktivitas yang diartikan sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja atau tingkat efisiensi suatu perusahaan. Keberlanjutan sosial terwujud apabila agroindustri mampu mendistribusikan keuntungan ekonomi yang diterimanya untuk peningkatan sumber daya dan kesejahteraan tenaga kerja secara terus menerus (Glavicv dan Krajn 2003; Seijo et al. 1998; Kennedy 2002). Keberlanjutan sosial akan semakin tinggi apabila keberlanjutan ekonomi dapat dicapai. Keberlanjutan
lingkungan
merupakan
paradigma
dari
pembangunan
berkelanjutan yang dicoba untuk diterapkan pada sektor industri dan bidang-bidang
20
lainnya. Hal ini disebabkan karena aktivitas industri, termasuk agroindustri perikanan, pada umumnya mempunyai dampak buruk terhadap lingkungannya. Dengan mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam entitas industri diharapkan akan menimbulkan kepedulian industri terhadap keberadaan lingkungan disekitarnya (Glavic dan Lukman 2007). Keberlanjutan lingkungan dapat terwujud apabila agroindustri mampu menanggulangi dampak buruk yang ditimbulkannya terhadap lingkungan disekitarnya (Defra 2006; Halog dan Chain 2006). Keberlanjutan teknologi terkait erat dengan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Menurut Dunlop et al. (2004) teknologi merupakan faktor pendorong (driver of change) bagi tercapainya efisiensi produksi sehingga mengurangi tingkat kebahayaannya terhadap lingkungan. Porter (1993) menyatakan bahwa pembaharuan teknologi diperlukan apabila secara nyata mampu menekan biaya produksi. Dengan demikian teknologi yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai teknologi yang mampu meningkatkan keuntungan menyeluruh bagi agroindustri baik dari segi peningkatan efisiensi dan produktivitas produksi maupun penurunan limbah dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Di era liberalisme ekonomi seperti sekarang ini, diperlukan langkah-langkah yang strategis untuk mengembangkan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap. Upaya peningkatan kesejahteraan harus menjadi perhatian utama, bukan hanya bagi tenaga kerja agroindustri saja, akan tetapi juga bagi nelayan agar kesejahteraan mampu dirasakan secara lebih adil dan merata. Di samping itu, upaya tersebut merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan pasokan bahan baku agroindustri lebih terjamin dan berkesinambungan. Dengan
menggunakan
paradigma
keberlanjutan
tersebut
diharapkan
pengembangan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap akan mempunyai implikasi yang lebih luas terhadap kemanfaatan agroindustri secara keseluruhan. Dengan demikian harapan untuk menjadikan agroindustri perikanan sebagai prime mover pembangunan di sektor perikanan yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat akan dapat diwujudkan.
21
2.4 Model Pendugaan Stok Sumber Daya Ikan Model produksi surplus adalah model yang digunakan dalam menduga potensi sumber daya ikan, tingkat eksploitasi sumber daya ikan dan sarana untuk pengambilan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang sangat populer. Pada awalnya, model produksi surplus bersifat statis, namun karena sumber daya ikan dan kegiatan perikanan tangkap bersifat dinamis, maka model ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menangani aspek kedinamikaan, sebagaimana pada model bioekonomi Gordon – Schaefer (Seijo et al. 1998). a)
Model Produksi Surplus Model produksi surplus adalah model yang bersifat holistik, sederhana dan
banyak digunakan untuk tujuan pengkajian stok ikan. Model produksi surplus diperkenalkan oleh Graham yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (Sparre dan Venema 1999). Model produksi surplus digunakan untuk menduga besarnya populasi berdasarkan besaran hasil tangkapan untuk upaya penangkapan tertentu di suatu wilayah perairan. Metode ini dapat menggambarkan keberadaan stok ikan pada waktu sebelumnya dan dapat meramalkan hasil yang akan datang berdasarkan data hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE). Model produksi surplus mengkaji stok ikan secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok, tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal, seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap, dan sebagainya. Tujuan penggunaan model adalah untuk menentukan tingkat upaya atau effort optimum (EMSY), yaitu upaya yang dapat menghasilkan hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok jangka panjang. Hasil tangkapan maksimum lestari ini lazim disebut MSY (maximum sustainable yield).
Model
produksi surplus dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan data hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) untuk setiap spesies ikan dalam beberapa tahun (Sparre dan Venema 1999).
22
Pada model produksi surplus schaefer dinyatakan
bahwa pada
kondisi
ekologi yang stabil, maka ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Dengan asumsi ini, maka laju pertumbuhan populasi ( dX t dt ) akan menuju nol. Apabila tingkat perubahan biomassa (akibat pertumbuhan dan kematian) dinyatakan oleh fungsi f (X ) , maka dalam keadaan tidak ada penangkapan (non-fishing), laju perubahan
stok sepanjang waktu (over time) dimodelkan sebagai berikut: dX t f (X ) Tingkat dt
biomassa
dipengaruhi
oleh
lingkungannya/habitat.
Apabila K menunjukkan daya dukung lingkungan, r adalah laju pertumbuhan dan
X t adalah biomassa, maka pertumbuhan biomassa ditunjukkan oleh persamaan berikut ini.
dX t X f ( X ) rX t 1 t dt K Apabila daya dukung telah maksimal, maka nilai
Xt 1 yang berarti bahwa f (X ) K
adalah nol. Namun jika daya dukung masih sangat besar, maka 1
Xt 1 sehingga K
fungsi pertumbuhan biomassa menjadi f ( X ) rX t . Keadaan di atas dapat terjadi apabila tidak ada penangkapan. Jika aktivitas penangkapan dilakukan, maka produksi tangkap dapat diduga dengan menggunkan persamaan di bawah ini: Ct qX t Et
di mana
C t adalah produksi tangkap, q adalah koefisien penangkapan dan E t
adalah upaya tangkap (effort). Dampak adanya aktivitas penangkapan terhadap pertumbuhan biomassa ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
dX t X f ( X ) rX t 1 t Ct dt K dX t X f ( X ) rX t 1 t qX t Et dt K
23
Dengan memanfaatkan prinsip keseimbangan di mana laju pertumbuhan mendekati nol atau
dX t 0 dan dengan dt
memanfaatkan nilai q dan E t dari aktivitas
penangkapan, maka nilai biomassa ( X t ) dapat dirumuskan sebagai berikut:
q X t K 1 E t r Ct qX t Et
q Ct qEt K 1 Et r
Persamaan-persamaan tersebut dapat dikembangkan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per unit upaya (CPUE) dan level stok. Apabila CPUE dinyatakan sebagai
Ct , maka pola hubungan yang terjadi adalah sebagai berikut: Et
Ct q qK 1 Et Et r
Ct q2K qK Et Et r Apabila CPUE dilambangkan dengan U t , maka U t
Ct atau dapat dirumuskan Et
sebagai berikut:
U t qK
q2K Et r
Persamaan di atas
adalah persamaan di bawah asumsi model Schaefer pada
hubungan keseimbangan (equilibrium) antara CPUEt dan upaya tangkap (effort) adalah linear. Persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan regresi, yaitu sebagai berikut: Yt X t t
di mana:
Ut
galat
Ct Yt ; Et
a qK ;
b
q2K ; r
X t Et ;
24
Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: U t a bEt
Hubungan antara effort ( E t ) dan produksi tangkap ( C t ) dinyatakan dalam persamaan berikut ini; Ct aEt bEt2
Upaya tangkap optimum ( E opt ) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama
C t terhadap E t sama dengan nol. dCt a 2bEt 0 dEt
Eopt
a 2b
Sehingga diperoleh persamaan untuk menentukan tingkat produksi maksimum lestari (MSY) sebagimana dirumuskan dalam persamaan di bawah ini:
C maks
2 a a a b 2 2b 4b
C maks
a2 4b
(Sparee dan Venema 1999) b) Model bioekonomi Gordon - Schaefer Model produksi surplus seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat memberikan informasi tentang sumber daya perikanan di suatu daerah yang berguna sebagai bahan pengambilan kebijakan bagi penentuan jumlah tangkapan maksimum dan frekuensi upaya tangkapnya. Dari aspek biologi, informasi yang diberikan dapat digunakan sebagai landasan dalam pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Akan tetapi, jika ditinjau dari aspek ekonomi, informasi yang diberikan
oleh model tersebut belum dapat menentukan tingkat pengusahaan
perikanan tangkap yang optimal (menguntungkan) bagi masyarakat nelayan. Model tersebut memang hanya menekankan pada aspek biologi semata, sedangkan untuk aspek ekonomi dan sosial cenderung diabaikan. Oleh karena itu, informasi yang dihasilkan belum dapat menjawab pertanyaan ”Apakah keadaan tersebut umum menguntungkan untuk industri perikanan tangkap?”
secara
25
Kekurangan pendekatan biologi inilah yang kemudian melahirkan model bioekonomi. Dengan pendekatan ini, aspek sosial dan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya ikan menjadi sangat krusial untuk dipertimbangkan dan menjadi tujuan utama dalam pengelolaan sumber daya ikan (Fauzi dan Anna 2005). Menurut Seijo et al. (1998) dan Sparee dan Venema (1999) model produksi surplus keseimbangan Schaefer dinyatakan bahwa jumlah hasil tangkapan ( C t ) dalam keadaan seimbang jangka panjang ditunjukkan oleh persamaan berikut ini:
X Ct rX t 1 t K Apabila
faktor harga per satuan tangkapan ( p ) dimasukkan dalam persamaan
tersebut, maka akan diperoleh penerimaan total ( TR ) dari hasil tangkapan tersebut, sebagaimana dirumuskan pada persamaan di bawah ini:
X TR prX t 1 t K
TR pCt Apabila biaya per unit penangkapan ( c ) dipertimbangkan, maka fungsi biaya ( TC ) dapat dirumuskan sebagai berikut : TC cE
Dengan menggunakan persamaan dari fungsi biomassa, maka fungsi biaya dirumuskan sebagai berikut:
TC c
Ct qX t
Keuntungan ( ) yang diperoleh merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya. Secara sederhana keuntungan menurut pendekatan bioekonomi dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
TR TC pCt
cC t qX t
Menurut Fauzi dan Anna (2005), fungsi penerimaan total ( TR ) merupakan fungsi kuadratik dengan kurva berbentuk cembung (concave). Sedangkan fungsi
26
biaya ( TC ) berbentuk
linear. Kedua fungsi tersebut dapat digambarkan dalam
sebuah model keseimbangan bioekonomi (Gambar 4). Revenue/Cost
MEY
MSY
TC = c.E
TR = p.h Effort EMEY EMSY
EOA
Gambar 4 Model keseimbangan bioekonomi Gordon – Schaefer (sumber: Sparee dan Venema 199) Dalam keadaan open access, tingkat keseimbangan akan tercapai apabila nilai penerimaan total ( TR ) sama dengan total biaya ( TC ) dengan tingkat upaya EOA yang menurut Gordon disebut bioeconomic equilibrium of open access fishery. Pada tingkat upaya di bawah EOA , penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya. Hal ini memyebabkan nelayan akan meningkatkan upaya penangkapannya. Pada tingkat upaya di atas EOA , penerimaan total lebih rendah dibandingkan biaya totalnya sehingga mendorong nelayan untuk mengurangi
upaya tangkapnya. Dengan
demikian pada tingkat EOA keseimbangan akan tercapai. Keuntungan maksimal akan tercapai pada tingkat upaya E MEY atau disebut maximum economic sustainable yield. Tingkat upaya pada keadaan sustainable yield ( E MSY ) berada diantara E MEY dan EOA . Apabila diperhatikan, tingkat upaya pada keadaan EOA , jauh lebih besar dibandingkan E MEY ataupun E MSY . Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penggunaan sumber daya yang berlebihan yang menurut Gordon disebut sebagai economic over fishing.
27
2.5 Pemodelan Sistem Dinamis a)
Konsepsi sistem dinamis Konsep sistem dinamis dikembangkan oleh Jay Forrester dari Massachusetts
Institute of Technology (MIT) pada awal tahun 1960. Pada awalnya sistem dinamis digunakan untuk menyelesaikan kerumitan permasalahan managerial yang sering dihadapi oleh industri sebagaimana dijelaskan dalam buku Industrial Dynamic tahun 1963. Berawal dari keberhasilan sistem dinamis menangani masalah-masalah di General Motor, semenjak itu pula pendekatan ini digunakan secara eksklusif dalam menyelidiki permasalahan di berbagai perusahaan. Banyak perusahaan yang terselamatkan dengan adanya metode sistem dinamis ini. Sejak diluncurkannya buku World Dynamic pada awal tahun 1970-an, sistem dinamis mulai digunakan pada disiplin ilmu sosial dan ekonomi (Forrester 1989). Sistem dinamis semakin luas digunakan pada berbagai disiplin ilmu ketika pada tahun 1972 Dennis Meadows dan kelompok Club of Rome meluncurkan buku The Limits to Growth. Buku tersebut dipandang sangat fenomenal karena menjelaskan kemampuan dan kelebihan sistem dinamis dalam membangun model simulasi
interaksi
antara
manusia
dengan
bumi
dan
memprediksi
keberlangsungannya pada masa mendatang. Apa yang diprediksikan dalam buku tersebut 40 tahun lalu, walaupun pada awalnya banyak dikritik dan dianggap ilusi oleh sebagian besar ilmuan, ternyata menemukan kebenarannya setelah pada akhirakhir ini terjadi gejala yang sama dengan yang diprediksikan buku tersebut. The Limits to Growth berusaha membuka kesadaran manusia bahwa apabila sumber daya alam dieksploitasi tanpa henti, maka akan terjadi saat dimana tidak ada sumber daya yang tersisa dan pertumbuhan di berbagai bidang akan terhenti total. The Limits to Growth merupakan bukti nyata bahwa sistem dinamis benar-benar berguna dalam memodelkan perkembangan dunia saat ini dan pengaruhnya untuk masa depan. Saat ini, penerapan sistem dinamis telah meluas untuk menganalisis dan menangani masalah
pada
bidang
ekonomi,
manajemen,
organisasi,
politik,
budaya,
kependudukan, lingkungan hidup, kewilayahan, biologi, kedokteran dan keteknikan (engineering) (Forester 1989; Radzicki dan Taylor 2008).
28
Menurut
Forester
(1989)
sistem
dinamis
adalah
metodologi
yang
dikembangkan untuk mempelajari dan mengelola kompleksitas umpan balik sistem seperti yang banyak terjadi pada sistem bisnis dan sosial. Radzicki dan Taylor (2008) mendefiniskan sistem dinamis sebagai pendekatan untuk memahami perilaku kompleks sistem sepanjang waktu melalui mekanisme umpan balik dan perubahan fungsi waktu yang mempengaruhi perilaku keseluruhan sistem. Sementara itu, System Dinamic Society mendefinisikan sistem dinamis dengan mendasarkan kepada karakteristik dan tujuan penggunaannya. Sistem dinamis diartikan sebagai model berbantu komputer untuk analisis kebijakan dan desain pada sistem sosial, manajerial, ekonomi, atau ekologis yang kompleks. Model sistem dinamis ditandai dengan adanya saling ketergantungan, interaksi, umpan balik informasi, dan kausalitas melingkar. Model sistem dinamis merupakan alat kebijakan untuk meneliti perilaku variabel kunci dari waktu ke waktu. Data historis dan tujuan kinerja memberikan acuan dasar untuk menentukan apakah suatu kebijakan tertentu menghasilkan perilaku variabel kunci yang lebih baik atau lebih buruk, bila dibandingkan dengan baseline atau kebijakan lainnya. Model sistem dinamis dapat memberikan penjelasan mengapa hasil tertentu tercapai. Melalui simulasi dimungkinkan dilakukan berbagai penerapan kebijakan yang dapat diuji, memeriksa hasilnya, dan mengetahui penyebabnya sebelum kebijakan tersebut diterapkan. Sushill (1993) mensintesa beberapa definisi dan menyatakan secara lebih rinci bahwa sistem dinamis merupakan seperangkat alat (tools) dan pendekatan yang menggunakan simulasi dengan tujuan menggambarkan dan memahami perilaku dinamis sistem yang kompleks dan dipengaruhi oleh waktu melalui penggunaan model kuantitatif, penerapan feedback untuk mendapatkan informasi umpan balik dan perubahan sistem. Sistem dinamis merupakan pendekatan yang sangat maju dalam memahami suatu permasalahan. Dengan pemahamannya yang bersifat menyeluruh (holistik), sistem dinamis dapat digunakan untuk menguji ketepatan teori-teori dengan melakukan simulasi sehingga dapat diketahui inkonsistensinya dengan dunia nyata. Pengujian tersebut dapat digunakan untuk merevisi kembali teori setelah mendapatkan masukan berharga mengenai penyebab masalah dan apa yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah.
29
Sistem dinamis menjadi salah satu pendekatan multidisiplin yang paling impresif
sejak
tahun
1970-an.
Ketertarikan
para
akademisi
disebabkan
kemampuannya yang unik untuk menggambarkan dunia nyata. Sistem dinamis dapat mengakomodir kompleksitas, ketidaklinearan dan struktur simpal umpan balik yang menjadi karakteristik alami dalam sistem sosial dan fisik. Yang membedakan sistem dinamis dengan pendekatan lainnya adalah digunakannya simpal umpan balik, stocks dan flows. Elemen-elemen ini membantu menggambarkan sistem yang kompleks dan mengandung unsur ketidaklinearan menjadi tampak lebih sederhana. Sistem dinamis digunakan untuk menyelesaikan permasalahan secara stimultan dengan memperbaharui seluruh variabel-variabel sistem seiring bergeraknya waktu dengan umpan balik positif atau negatif dan adanya waktu tunda dalam struktur interaksinya (Forrester 1994; Radzicki dan Taylor 2008). b) Filosofi sistem dinamis Sistem dinamis dilandaskan atas cara berfikir secara sistemik (system thinking).
Cara
berfikir
sistemik
didefinisikan
sebagai
pendekatan
untuk
menyelesaikan permasalahan dengan memandang bahwa suatu permasalahan apapun sebagai bagian dari sistem secara keseluruhan, bukan sekedar reaksi dari bagianbagian tertentu saja. Cara berfikir sistemik memberikan kerangka bahwa menganalisis dan memahami seluruh komponen sistem dan interaksinya sebagai suatu kesatuan sistem merupakan cara terbaik untuk mendapatkan solusi permasalahan (Radzicki dan Taylor 2008). Berpikir sistemik menekankan kepada bagaimana suatu komponen dapat dipelajari interaksinya dengan komponen sistem lainnya. Titik tolak yang digunakan adalah bahwa perilaku atau unjuk kerja dari suatu sistem disebabkan karena adanya interaksi dan umpan balik dari komponen-komponen yang ada di dalam sistem. Perilaku yang dihasilkan oleh sistem yang kompleks tidak dapat dipahami dengan hanya memeriksa bagian-bagian. Pendekatan tersebut bertolak belakang dengan filosofi analisis tradisional yang mana lebih menekankan kepada pemisahan bagianbagian yang akan dikaji. Cara berfikir sistemik memiliki sudut pandang yang lebih luas dan nyata sehingga dapat menciptakan gambaran keseluruhan secara lebih baik.
30
Di lain pihak, analisis tradisional berpandangan sempit dan hanya memfokuskan pada salah satu bagian saja. Hal tersebut mengakibatkan hasil yang diperoleh oleh keduanya berbeda terutama jika obyek kajiannya bersifat kompleks, dinamis dan mempunyai umpan balik yang sangat banyak yang berasal dari sumber lainnya (Battacharya 2009; Senge 1995). Bertitik tolak dari cara berfikir sistemik yang dipadukan dengan keilmuan di bidang keteknikan dan komputer, sistem dinamis lahir dan berkembang menjadi sebagai sebuah metodologi tersendiri. Sushill (1993) menjelaskan bahwa metodologi sistem dinamis merupakan perpaduan dari tiga ranah disiplin keilmuan, yaitu manajemen
tradisional,
sibernetika,
dan
simulasi
komputer,
sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 5. Ketiga disiplin tersebut dipadukan untuk menghasilkan sinergi sehingga dapat menghilangkan kelemahan dari masing-masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin yang pada akhirnya menghasilkan sebuah metodologi untuk memecahkan berbagai permasalahan secara holistik. Pemikiran Manusia
Manajemen Tradisional atas Sistem Sosial
- Informasi - Pengalaman - Penilaian
Komputer
Sibernetika
Prinsip Pemilihan
Simulasi Komputer
Komputasi
Prinsip Struktur
Model
Gambar 5 Disiplin keilmuan yang tercakup (Sumber : Shusill 1993)
Perilaku Dinamis dan Kebijakan Perbaikan
dalam metodologi sistem dinamis
Manajemen tradisional adalah cara pengelolaan data, informasi dan pembentukan model mental yang secara riil dilakukan oleh para praktisi manajerial. Hasil yang diperoleh adalah informasi dengan kekuatan utama pada kekayaan atas informasi kualitatif yang didapat dari pengamatan langsung dan pengalaman. Sibernetika adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari oleh umpan balik. Sibernetika diorientasikan untuk maksud pencapaian tujuan dan menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
31
Sibernetika dapat digunakan untuk melakukan strukturisasi informasi, analisis umpan balik dan struktur kausal sehingga diperoleh informasi yang relevan dan efektif untuk pencapaian tujuan. Simulasi komputer digunakan untuk mengetahui perilaku dinamis suatu sistem melalui model komputer yang dibangun. Melalui simulasi, pengaruh kebijakan terhadap sistem yang dikaji dapat dilakukan dalam waktu singkat dan biaya yang rendah. Simulasi komputer memberikan sumbangan besar dalam perancangan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu sistem dengan kemampuan untuk memberikan konsekuensi yang akan ditimbulkan atas setiap kebijakan tersebut. Bangunan disiplin keilmuan tersebut menunjukkan bahwa sistem dinamis berusaha memberikan perubahan atau paradigma baru bagi dunia keilmuan. Perubahan yang menyeleraskan antar disiplin menuju kepada pemahaman yang lebih terpadu dan holistik. Perubahan yang diorientasikan kepada efektifitas pencapaian tujuan dan menciptakan serta membawa perubahan sistemik ke arah yang diinginkan dengan hukum-hukum universal (Muhammadi et al. 2001). c)
Elemen sistem dinamis Keunggulan sistem dinamis adalah kemampuannya dalam membangun model
kompleks berdasarkan elemen dasar yang dimilikinya, yaitu umpan balik (feedback) dan stock flow diagram (SFD). Elemen tersebut menyebabkan sistem dinamis mampu membangun struktur sistem, menjelaskan perilakunya dari waktu ke waktu dan menyimpulkan kejadian apa yang terjadi pada sistem tersebut (Marquez 2010; Sterman 2000). Umpan balik Menurut Marquez (2010) umpan balik adalah bagian yang memberikan informasi kepada bagian lainnya mengenai efek dari perilakunya terhadap kinerja sistem. Umpan balik merupakan elemen utama pada sistem dinamis. Umpan balik menunjukkan situasi X yang mempengaruhi Y dan selanjutnya Y mempengaruhi X melalui rantai sebab akibat.
32
Kirkwood (1998) menyatakan bahwa adanya interaksi atau mekanisme antar variabel dan umpan balik akan membentuk struktur sistem yang memberi bentuk kepada sistem sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi pola perilaku sistem. Mekanisme tersebut digunakan untuk menganalisis setiap kejadian atau gejala yang muncul dalam sistem untuk kemudian dijadikan dasar perbaikan terhadap struktur sistem Langkah perbaikan memerlukan penelusuran terhadap adanya pengungkit (leverage). Senge (1995) menyebut pengungkit sebagai variabel kunci yang dapat dijadikan perbaikan sistem secara signifikan. Umpan balik berperan dalam mengidentifikasi pengungkit tersebut melalui penelusuran dan analisis dampak perubahan suatu variabel terhadap kejadian atau terhadap sistem secara keseluruhan
Pengungkit yang lebih tinggi untuk perubahan terakhir
(Gambar 6).
Struktur Sistem
Pola Perilaku
Kejadian
Gambar 6 Mencari pengungkit yang tertinggi (sumber: Kirkwood 1998) Dalam sistem dinamis, umpan balik direpresentasikan menggunakan diagram kausal atau CLD (causal loop diagram). Marquez (2010) menjelaskan bahwa diagram kausal adalah diagram yang membantu menggambarkan bagaimana keterhubungan variabel-variabel mempengaruhi variabel sistem lainnya. Diagram ini memberikan kemudahan pemahaman dari model konseptual yang dibangun mengenai bagaimana mekanisme sistem yang dikaji bekerja. Lebih dari itu, diagram kausal merupakan bahasa gambar untuk mengkomunikasikan interaksi dan pola
33
perubahan nilai-nilai variabel sistem sekaligus memberikan gambaran mengenai struktur sistem. Lebih lanjut Marquez (2010) menerangkan bahwa notasi yang digunakan dalam diagram kausal adalah simpul (node), sebagai representasi variabel, dan garis beranak panah (arrow) yang menjelaskan interaksi. Muhammadi et al. (2001) menambahkan bahwa garis beranak panah saling mengkait dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung anak panah mengungkapkan akibat. Unsur sebab atau akibat harus merujuk kepada keadaan yang terukur, baik secara kualitatif untuk keadaan dirasakan (perceived) maupun secara kuantitatif untuk keadaan nyata. Hubungan antar variabel (causal link) dapat bersifat positif, dinotasikan dengan ”+” atau negatif, dinotasikan dengan ” - ”. Hubungan positif mengandung arti bahwa dua buah simpul berjalan searah, yaitu apabila simpul sebab meningkat maka simpul akibat juga meningkat, sebaliknya jika simpul sebab menurun, maka simpul akibat juga menurun. Hubungan negatif mempunyai arti yang berlawanan, yaitu apabila simpul sebab meningkat maka simpul akibat justru akan menurun dan sebaliknya. Simpul sebab dapat berpengaruh langsung terhadap simpul akibat pada waktu yang bersamaan, akan tetapi pengaruh tersebut dapat terjadi setelah beberap waktu kemudian atau terjadi penundaan (delay). Kejadian ini mengakibatkan sistem menjadi sangat fluktuatif. Hubungan antar variabel tersebut membentuk suatu sistem tertutup yang disebut simpal (loop). Hubungan simpal (causal loop) dapat bersifat positif (reinforcing) yang dinotasikan dengan (+) maupun negatif (balancing) yang dinotasikan dengan (-). Simpal positif menghasilkan pertumbuhan eksponensial atau keruntuhan dimana pertumbuhan atau runtuhnya berlanjut pada tingkat yang semakin
meningkat
secara
eksponensial.
Simpal
negatif
ditandai
dengan
penyeimbangan proses, yaitu menghasilkan resistensi yang akhirnya membatasi pertumbuhan. Untuk mengetahui apakah suatu hubungan simpal bersifat negatif atau positif dilakukan dengan melihat keseluruhan interaksi panah-panah dalam suatu simpal. Jika searah disebut simpal positif dan jika berlawanan arah disebut simpal negatif. (Muhammadi et al. 2001; Marquez 2010; Sterman 2000). Untuk memahami pola hubungan antar variabel dan antar simpal disajikan contoh sederhana berupa diagram kausal pertumbuhan penduduk seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
34
Pada simpal penduduk, terdapat satu simpal positif dan satu simpal negatif. Simpal positif yaitu hubungan antara kelahiran (lahir) dengan penduduk dimana semakin banyak kelahiran maka penduduk akan semakin bertambah. Simpal negatif yaitu hubungan antara kematian (mati) dengan penduduk dimana semakin banyak kematian, maka penduduk akan semakin berkurang. Gabungan simpal-simpal umpan balik tersebut di atas menjelaskan kompleksitas sistem. Semakin banyak simpal menggambarkan semakin banyak variabel dan parameter yang berarti bahwa sistem semakin rinci dan dinamis.
Lahir +
(+)
+ Penduduk -
(-)
+ Mati
Gambar 7 Diagram kausal pertumbuhan penduduk (sumber: Muhammadi et al. 2001) Stock and flow diagram (SFD) Salah
satu
keunggulan
sistem
dinamis
adalah
kemampuannya
merepresentasikan kompleksitas dan dinamika sistem nyata dalam simbol yang sederhana, yaitu stok (stock) dan aliran (flow). Hubungan keduanya direpresentasikan dalam bentuk SFD. Dalam istilah lain, SFD disebut juga level and rate diagram (LRD) adalah sarana untuk menggambarkan struktur sistem dengan menggunakan informasi yang lebih rinci sebagai penjabaran dari diagram kausal (Marquez 2010). Flow adalah variabel keputusan yang merupakan proses aliran yang selalu terhubung dengan stock. Flow disimbolkan dengan panah tebal menuju (inflow) atau keluar (outflow) dari stock. Aliran benda yang dapat dibawa oleh flow adalah barang, uang orang dan lain-lain yang dapat diamati dan diukur penambahannya melalui stock. Flow dapat diatur melalui variabel rate secara endogen oleh variabel stock atau secara eksogen sebagai konstanta atau fungsi. Stock sangat penting untuk membangkitkan perilaku dinamis sistem. Stock berfungsi menampung apa saja sebagai hasil dari flow. Sifat stock adalah mengakumulasi hasil aliran dan berfungsi
35
mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian (Elshorbagy et al. 2005; Ferna´ndez et al. 2000; Muhammadi et al. 2001). Model sederhana hubungan antara stock dan flow atau SFD dapat dilihat pada Gambar 8.
Stock Inflow
Outflow
Gambar 8 Model hubungan stock dan flow (sumber: Marquez 2010) Gambar 8 menunjukkan bahwa besarnya nilai stock tergantung dari tingkat perubahan yang terjadi (rate of change). Barlas (2009) menjelaskan perubahan nilai stock setiap periode waktu t dengan persamaan berikut ini: d (Stock ) / dt Inflow(t ) Outflow(t )
di mana, inflow (t) mencerminkan nilai aliran masuk pada setiap waktu antara waktu awal (0) dan waktu saat ini (t). Nilai stock pada periode waktu t adalah nilai stock pada periode waktu sebelumnya ( t 1 ) ditambah dengan tingkat perubahannya, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan berikut ini: t
Stock (t ) [inf low outflow ]dt Stock (0) 0
Stock (t ) Stock (t 1) inf low(t ) Outflow(t ) Selain stock dan flow, pada SFD terdapat juga awan (clouds), auxiliary dan panah halus (information link). Awan menunjukkan batasan permasalahan atau sistem. Variabel auxiliary lebih bersifat fleksibel dan dapat mewakili konstanta atau nilai suatu perhitungan. Adanya auxiliary menyebabkan pemodelan sistem dinamis menjadi sangat luwes dan mampu mengakomodasi nilai-nilai atau peubah yang digunakan. Auxiliary adalah variabel pelengkap yang secara teoritis yang mempresentasikan suatu struktur model secara lebih baik dan jelas. Variabel ini dapat berupa variabel tetap atau dapat digunakan pula untuk melakukan perhitungan kemudian menyampaikan hasilnya kepada variabel lainnya. Jika variabel auxiliary dihilangkan maka rincian dari struktur model tidak dapat tergambar dalam model. Panah halus yang menghubungkan antara stock dengan flow atau auxiliary pada
36
dasarnya merupakan proses informasi umpan balik (Marquez 2010; Muhammadi et al. 2001; Sushill 1993). Pada Gambar 9 ditunjukkan SFD untuk model pertumbuhan penduduk. Pada sistem tersebut variabel penting yang diamati adalah ”penduduk” sehingga direpresentasikan sebagai stock. Nilai stock berubah karena adanya flow, yaitu aliran masuk (lahir) dan aliran keluar (mati). Besarnya perubahan tergantung dari rate masuk dan keluar yang nilainya dipengaruhi secara endogen oleh stock dan secara eksogen oleh konstanta ”fraksi lahir” atau ”fraksi mati”. Outflow
inflow
Penduduk
Mati
Lahir
Panah halus
Clouds Stock
Fraksi lahir
Auxiliary
Fraksi mati
Gambar 9 Model pertumbuhan penduduk dalam bentuk SFD (sumber : modifikasi dari Shiflet dan Shiflet 2011) d) Pola dasar perilaku sistem Pengenalan pola perilaku sistem berguna sebagai alat diagnostik untuk mendapatkan sifat dari permasalahan sistem secara mendasar. Pemahaman terhadap pola perilaku sistem memungkinkan seorang pengambil
kebijakan untuk
memprediksi peristiwa atau kejadian yang akan terjadi dari waktu ke waktu dan memberikan solusi terbaik bagi penanganannya secara efektif. Menurut Senge (1995) melalui pola dasar perilaku sistem (archetypes) maka kompleksitas sistem dapat disederhanakan tanpa kehilangan esensi dari realitas sistem itu sendiri. Kirkwood (1998) dan Muhammadi et al. (2001) menjelaskan bahwa perilaku sistem terjadi karena adanya pola-pola struktur dinamis, di mana masing-masing pola struktur memiliki pola perilaku dinamis yang berbeda. Menurut Kirkwood (1998) terdapat 4 pola dasar sistem dinamis, yaitu pola pertumbuhan eksponensial, pencarian tujuan (goal seeking), gelombang (oscillation) dan batas pertumbuhan (the limit to growth).
37
Pola pertumbuhan eksponensial atau dikenal sebagai efek bola salju (snowball) adalah hubungan kausal yang saling memperbesar nilai-nilai variabelnya. Hubungan
variabel
mengumpan
balik
terhadap
dirinya
sendiri
secara
berkesinambungan untuk memperkuat pertumbuhan (positif growth) pada dirinya sendiri ataupun penghancuran (negative growth). Pola ini dicirikan dengan pertumbuhan atau penurunan yang awalnya lambat kemudian bergerak semakin cepat. Misalnya adalah pertumbuhan penduduk dimana semakin besar jumlah penduduknya tingkat kelahiran semakin meningkat. Contoh lainnya adalah jumlah simpanan uang di bank di mana semakin besar jumlah simpanan semakin besar pula nilai bunga yang diterima sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 10. Pola Perilaku
Jumlah simpanan di bank +
(+) Bunga yang + diterima
Jumlah simpanan di bank
Struktur Sistem
Waktu
Gambar 10 Pola pertumbuhan eksponensial Pola pencarian tujuan disebut juga balancing adalah hubungan
yang
menghasilkan pertumbuhan untuk mencapai tujuan yang digambarkan dalam bentuk pola peningkatan mencapai maksimum atau penurunan sampai mendekati nol. Unjuk kerja sistem pada pola ini meliputi penyesuaian (adaptation) dan keseimbangan (equilibrium), artinya dalam mencapai tujuan sistem bersifat dinamis, dapat menyesuaikan diri mencapai kestabilan. Karakteristik pola ini dicirikan dengan adanya kesenjangan atau gap yaitu selisih antara tujuan dengan kondisi aktual. Adanya gap menyebabkan terjadinya koreksi terhadap tingkat pencapaian tujuan. Gap akan mendorong aksi untuk memperbaiki kondisi aktual hingga tidak terdapat kesenjangan lagi. Contoh pola pencarian tujuan adalah pengaturan suhu sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11.
38
Struktur Sistem
Pola Perilaku
Pengaturan suhu
Suhu aktual
+
(-)
Gap -
+
Suhu aktual
Suhu diharapkan
+
Waktu
Suhu diharapkan
Gambar 11 Pola pencarian tujuan Pola perilaku gelombang atau sinus adalah model dengan struktur umpan balik negatif yang mengandung fungsi kelambanan waktu (delay time) respon yang panjang. Terjadinya kelambanan waktu menyebabkan informasi perbaikan menjadi tertunda sehingga kesenjangan semakin meningkat. Hal ini kemudian direspon dengan perbaikan yang semakin besar pula sehingga menyebabkan kesenjangan menurun tajam. Perilaku demikian terjadi secara terus-menurun sehingga membentuk fungsi gelombang. Contoh pola perilaku gelombang terjadi pada sistem produksi di industri sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12. Fluktuasi permintaan pelanggan mengikuti gelombang sinus karena respon perbaikan kualitas pelayanan mengalami keterlambatan. Ketika terjadi perbaikan permintaan reputasi pelayanan meningkat sehingga permintaan pelanggan juga mengalami peningkatan. Akan tetapi, ketika perbaikan belum dilakukan akibat adanya keterlambatan, reputasi pelayanan menurun sehingga permintaan pelanggan juga menurun. Struktur Sistem
Pola Perilaku
Reputasi - pelayanan +
Gap' +
(-)
-
Kualitas pelayanan Standar pelayanan
Permintaan pelanggan
Permintaan pelanggan
Delay
-
Waktu
Gambar 12 Pola perilaku gelombang sinus Pola perilaku batas pertumbuhan atau bentuk kurva ”S” (S-shape) mempunyai ciri penguatan dan keseimbangan. Pada awalnya pertumbuhan bersifat
39
eksponensial kemudian melambat menuju keseimbangan. Pola ini sebenarnya merupakan kombinasi antara simpal positif dan simpal negatif. Ketika simpal positif mendominasi pada awal pertumbuhan, maka akan terjadi pertumbuhan eksponensial. Akan tetapi, setelah terjadinya keterlambatan waktu, simpal negatif menjadi lebih dominan terhadap perilaku sistem sehingga menghasilkan bentuk kurva ”S”. Pada akhirnya simpal negatif akan mengarahkan sistem menuju tujuannya. Perilaku penjualan produk baru pada dunia industri sering mengikuti pola perilaku batas pertumbuhan (Gambar 13). Pada awalnya penjualan meningkat secara eksponensial karena potensi pasar yang masih besar. Peningkatan yang terus-menerus menyebabkan pasar menjadi jenuh dan akhirnya membatasi penjualan produk baru. Struktur Sistem
Pola Perilaku Potensi pasar
Motivasi/produktivitas
+
Moral
(+)
-
Penjualan (-)
+
Kejenuhan pasar
-
+
Kesempatan pendapatan
+
Penjualan
+
Delay
Waktu
Gambar 13 Pola perilaku batas pertumbuhan atau kurva ”S” e)
Tahap pemodelan sistem dinamis Menurut Sushill (1993) metodologi sistem dinamis terdiri dari enam tahapan
pemecahan masalah, yaitu 1) identifikasi dan definisi masalah; 2) konseptualisasi sistem; 3) formulasi model; 4) simulasi dan validasi; 5) analisis kebijakan; dan 6) implementasi. Metodologi sistem dinamis ditunjukkan pada Gambar 14. Pada Gambar 14 ditunjukkan bahwa tahapan
dalam metodologi sistem
dinamis dimulai dari pemahaman sistem, identifikasi dan definisi masalah, konseptualisasi sistem, formulasi model, simulasi dan validasi, analisis kebijakan dan implementasi kebijakan. Sebagaimana kerangka berfikir sistem, pendekatan dinamis merupakan rantai tertutup, dimana pada setiap tahapan akan bertindak sebagai input maupun feedback bagi tahapan lainnya. Adanya sistem umpan balik tersebut menjamin bahwa pemahaman suatu sistem dapat dilakukan secara menyeluruh dan mendalam.
40
Identifikasi yaitu proses yang mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada obyektifitas dan bukan proses yang dirasakan (subyektifitas). Dalam identifikasi tercakup juga kejadian yang seharusnya ditargetkan, terjadinya
kesenjangan dan identifikasi dinamika variabel-variabel
untuk mengisi kesenjangan antara kejadian nyata dengan kejadian yang diinginkan. Identifikasi dilakukan dengan sangat seksama dan berulang-ulang sesuai dengan pendalaman akan pemahaman sistem. Pada tahapan ini diperlukan analisis tentang pola kebutuhan dari tiap-tiap pelaku sistem, unsur-unsur sistem sampai pada elemen terkecil sistem. Pada akhirnya identifikasi akan dapat mendefinisikan permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam sistem dan pemecahan yang diharapkan muncul. PEMAHAMAN SISTEM
Implementasi Kebijakan Identifikasi dan Definisi masalah
Analisis Kebijakan
Simulasi dan Validasi
Konseptualisasi Sistem
Formulasi Model
Gambar 14 Metodologi sistem dinamis (sumber: Richardson dan Pugh 1981 dalam Penlope 2007) Tahapan selanjutnya adalah melakukan konseptualisasi sistem. Gejala atau proses yang akan diformulasikan perlu dipahami, antara lain dengan jalan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses nyata. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, berhubungan dan saling berketergantungan. Dari unsurunsur dan keterkaitannya dapat disusun konsep mengenai gejala atau proses yang akan dimodelkan. Menurut Forrester (1997) konseptualisasi sistem meliputi aktivitas penentuan tujuan model, batasan model dan mekanisme dasar serta umpan balik sistem. Konseptualisasi sistem dapat berupa diagram kausal maupun SFD yang menggambarkan unsur-unsur dan hubungannnya dalam proses nyata.
41
Formulasi model adalah menuangkan model konseptual ke dalam model kuantitatif sehingga dapat dilakukan simulasi. Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Formulasi bertujuan untuk mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata. Dalam sistem dinamis, model diformulasikan secara matematis dan proses formulasi ini akan menambah pemahaman tentang sistem kembali dengan tetap melalukan umpan balik terhadap tahapan identifikasi dan konseptualisasi sistem. Model yang telah dibangun kemudian dilakukan simulasi dan validasi. Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut dimasa depan. Sedangkan validasi adalah menyimpulkan apakah model sistem tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan suatu proses yang iteratif berupa pengujian-pengujian sebagai proses penyempurnaan model. Validasi dapat dilakukan melakukan pengujian terhadap struktur model, perilaku model (sensitivitas dan stabilitas model) serta pemeriksaan kesesuaian output model dengan sistem nyata. Hasil validasi akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model. Model yang telah divalidasi dapat diterapkan untuk keperluan analisis kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas penyusunan alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil sesuai dengan model yang telah ada agar dapat mempengaruhi proses nyata atau pemecahan masalah yang timbul. Alternatif kebijakan yang menimbulkan perbaikan dipilih sebagai kebijakan terbaik dan dapat diimplementasikan. 2.6 Indeks Keberlanjutan Indeks
keberlanjutan
merupakan
agregasi
dari
indikator-indikator
keberlanjutan dan mencerminkan status keberlanjutan dari obyek yang dikaji. CSD (commission on sustainable development) menemukan banyak inisiatif tentang metode agregasi yang telah digunakan dalam pengukuran pembangunan yang berkelanjutan, akan tetapi banyak diantaranya yang bersifat sangat spesifik
42
berdasarkan perpekstif bidang tertentu saja sehingga kurang sesuai jika digunakan untuk pengukuran keberlanjutan yang bersifat multidisplin (CSD 2001). Metode agregasi yang berkembang pada bidang lingkungan adalah yang paling maju dibandingkan bidang lainnya. Metode yang populer digunakan adalah ecological footprint atau teknik agregasi serupa yang dikenal dengan SPI (sustainable progress index). Kedua metode tersebut menugukur total area yang dibutuhkan untuk mempertahankan pangan, air, energi dan limbah per orang, per produk atau per kota. Teknik ini sesuai digunakan untuk mengukur dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan, akan tetapi belum mencakup dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan (Bossel 1999). Di bidang sosial, metode agregasi yang paling representatif adalah HDI (human development indeks). HDI dikembangkan oleh UNDP (united nations development programme) dalam laporan pembangunan manusia pada tahun 1990. HDI merupakan indeks yang mengukur tingkat pembangunan manusia diberbagai negara
dan
membuat
perbandingan
dinegara-negara
tersebut
kemudian
merangkingnya sehingga diperoleh status pembangunan manusia. HDI merupakan rata-rata dari nilai indeks tiga aspek yang diukur, yaitu pendidikan, kesehatan dan pendapatan (Bossel 1999). Akan tetapi menurut CSD (2001) HDI dinilai bersifat skeptis akibat kurangnya sensitivitas pada beberapa komponennya. Beberapa metode agregasi yang berkembang pada bidang ekonomi, seperti GPI (genuine progress indicator) dan ISEW (index of sustainable economic welfare) bukanlah indeks yang dibangun dengan menggunakan kerangka metodologi yang konsisten, dan sistem agregasinya pun bersifat agak subyektif (CSD 2001). Metode agregasi lainnya yang populer di bidang lingkungan adalah WPI (water poverty index) yang dikembangkan oleh pusat ekologi dan hidrologi centre for ecology and hidrology Inggris dan metode ESI (environmental sustainability index) yang dikembangkan oleh Yale university’s center for environmental law and policy bekerjasama dengan Columbia University’s antara tahun 1999 sampai 2005. WPI dikembangkan sebagai respon terhadap tujuan pembangunan milenium PBB yang menekankan kepada masalah kemiskinan dan kemudahan akses air sebagai alat monitor terhadap prioritas dan kebutuhan air. WPI dapat digunakan pada tingkat komunitas atau nasional atau memperbandingkan keduanya. WPI menyediakan
43
pemahaman yang baik hubungan antara status dari isu-isu air (ketersediaan dan kebutuhan air) dan kesejahteraan sosial (Sullivan 2002). ESI dikembangkan untuk mengukur dan membandingkan kemampuan suatu negara untuk menjaga keberlanjutan lingkungannya. ESI pada hakikatnya mengevaluasi keberlanjutan lingkungan relatif diberbagai negara dan mampu menggambarkan kinerja pengelolaan lingkungan sehingga dapat dijadikan landasan bagi analisis dan pembuatan keputusan dibidang pengelolaan lingkungan. Semakin tinggi nilai ESI, semakin baik pengelolaan lingkungan yang dicapai oleh suatu negara. Indikator komposit ESI adalah agregasi melalui penjumlahan dari setiap nilai indikator-indikatornya. Nilai indikator diperoleh dengan cara mengalikan indikator, yang merupakan jumlah terbobot dari variabelnya, dengan bobot dari setiap indikatornya (ESI 2005). Secara umum, CSD (2001) menilai bahwa metode agregasi tersebut terlalu bersifat spesifik dan mempunyai banyak kekurangan jika digunakan untuk mengakomodir aspek-aspek lainnya atau digunakan di negara-negara lain karena tidak adanya konsensus maupun situasi yang berbeda dalam pengukuran indikatornya. CSD menganggap bahwa metode agregasi seperti ESI merupakan langkah maju jika dibandingkan dengan metode lainnya karena lebih fleksibel, menggunakan skoring dan bobot prioritas yang dapat disesuaikan dengan keadaan dinegara-negara lainnya. Dalam menentukan metode agregasi indikator, CSD memberikan tiga pedoman,yaitu 1) bersifat fleksibel dan mempunyai kemungkinan tingkat adaptasi yang tinggi atas indikator-indikator keberlanjutan yang digunakan; 2) adanya sistem pembobotan yang mampu mengintegrasikan indikator tanpa kehilangan maknanya atau bersifat sangat subyektif; dan 3) bobot prioritas tidak selalu sama untuk setiap negara dan tidak memaksakan suatu konsensus. Berdasarkan arahan CSD tersebut, peluang untuk memilih, menerapkan ataupun mengembangkan metode agregasi sangatlah terbuka. Salah satu metode yang saat ini banyak digunakan untuk menentukan indeks keberlanjutan adalah teknik MDS (multidimensional scaling). Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan, di samping dapat dilakukan pembobotan secara fleksibel pada aspek atau dimensi keberlanjutan, juga mampu memvisualisasikan keberlanjutan untuk setiap dimensi
44
maupun secara agregat dalam suatu dimensi sederhana atau secara horisontal dengan rentang skala keberlanjutan antara 0 (bad) sampai 100 (good) sehingga dapat meningkatkan pemahaman akan status keberlanjutan setiap dimensi. Analisis keberlanjutan yang menggunakan teknik MDS adalah rapfish. Rapfish dikembangkan untuk membantu penerapan the code of conduct for responsible fisheries yang diluncurkan pada tahun 1995 oleh FAO (Pitcher 1999). Rapfish merupakan teknik multidisiplin yang baru yang berupaya mengevaluasi status keberlanjutan perikanan didasarkan pada skoring yang bersifat transparan dan semikuantitatif pada aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik. Teknik ini menggunakan ordinasi non-parametrik
MDS
untuk menyediakan nilai yang
mengindikasikan keberlanjutan relatif perikanan pada kondisi di mana data-data atau informasi kuantitatif tidak tersedia atau tidak mencukupi. Data diperoleh dari pendapat
pakar
yang
mendefinisikan
ketidakpastian
dalam
bentuk
skor
(Tesfamichael dan Pitcher 2006). 2.7 Teknik MDS (Multidimensional Scaling) MDS adalah teknik analisis data yang banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti pemasaran, sosiologi, fisika, ilmu politik dan biologi. MDS adalah teknik statistika untuk memvisualisasikan ketakmiripan (dissimilarity) dari obyek yang bersifat kuantitatif (metric) maupun kualitatif (non-metric) ke dalam ruang berdimensi rendah, umumnya 2 dimensi. Dalam MDS, obyek direpresentasikan sebagai titik di mana semakin dekat jarak antar titik semakin besar kemiripannya (similarity). Ukuran yang digunakan untuk mengukur hubungan antar obyek adalah proximity yang berarti kedekatan obyek satu dengan lainnya. Kegunaan MDS adalah untuk menyajikan obyek-obyek secara visual berdasarkan kemiripan yang dimiliki. Selain itu, kegunaan lain dari teknik ini adalah mengelompokkan obyek yang memiliki kemiripan dilihat dari beberapa peubah yang dianggap mampu mengelompokkan obyek-obyek tersebut (Groenen dan Velden 2004; Wickelmaier 2003; Young 1985).
45
Menurut Alder et al. (2000) teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada euclidian distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:
d
x x 1
2
2
y1 y2 z1 z2 ... 2
2
Nilai tersebut kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian ( d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal ( ij ) sebagaimana persamaan di bawah ini: dij ij
Persamaan tersebut diregresikan menggunakan metode ALSCAL. Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance = d ij ) terhadap data kuadrat (titik asal = oijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j,k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut: S
d o 1 m o
2 2 ijk
2 ijk
m
i
j
4 ijk
k 1
i
j
Setelah dilakukan ordinasi, kemudian dilakukan penilaian goodness of fit, yaitu jarak titik pendugaan dengan titik asal. Nilai Goodness of fit dicerminkan dari nilai S-Stress. Apabila nilai
stress kurang dari 0.25 menunjukkan bahwa hasil
analisis telah cukup baik. Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) menentukan perlu tidaknya penambahan peubah untuk memastikan bahwa peubah yang digunakan telah mewakili sifat obyek yang dibandingkan. Pada tahun 1998, teknik MDS digunakan oleh Fisheries Centre at the University of British Columbia, Kanada untuk mengembangkan rapfish. Teknik rapfish adalah teknik penilaian keberlanjutan perikanan menggunakan sejumlah atribut yang bersifat multidisipliner. Beberapa rekayasa dilakukan pada rapfish sehingga visualisasi obyek dapat menggambarkan tingkat keberlanjutan secara efektif dan akurat. Pada teknik rapfish, selain dilakukan ordinansi obyek ke dalam ruang 2 dimensi, dilakukan juga proses rotasi dan pembalikan (fliping) agar posisi titik acuan utama, yaitu buruk (bad) dan baik (good) berada sejajar dengan sumbu aksis horisontal, sedangkan titik atas (up) berada di atas sumbu aksis horisontal dan titik bawah (down) berada di bawah sumbu aksis horisontal. Pada akhir analisis
46
MDS, skala keberlanjutan telah berada antara 0 sampai 100 pada sumbu aksis horisontal, sedangkan pada titik atas (up) adalah +50 pada skala sumbu y, dan titik bawah (down) adalah -50 pada skala sumbu y (Kavanagh dan Pitcher 2004). Analisis yang menyertai MDS adalah analisis sensitivitas (leverage) dan analisis ketidakpastian (montecarlo). Analisis montecarlo merupakan analisis untuk menduga pengaruh galat (error) acak dalam proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis disebut indeks montecarlo. Apabila perbedaan antara indeks montecarlo dan indeks MDS kecil mengindikasikan bahwa 1) Kesalahan pembuatan skor dalam setiap atribut relatif kecil; 2) Variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisisnya stabil; 4) Kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat indikator apa yang paling sensitif atau peka memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan. Analisis dilakukan dengan melihat perubahan ordinasi apabila sejumlah indikator atau atribut dihilangkan dari analisis. Pengaruh setiap atribut atau indikator dilihat dalam bentuk perubahan RMS (root mean square) ordinasi, khususnya pada aksis horisontal atau skala keberlanjutan. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut atau indikator, semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan indeks keberlanjutan atau sebaliknya (Kavanagh dan Pitcher 2004).