7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Konflik perikanan tangkap dapat muncul karena berbagai alasan. Menurut Bennett et al. (2004) konflik muncul sebagai fungsi struktur sosial (perspektif sosiologis), fungsi hubungan kekuatan (perpektif politis) atau akibat dari proses pengambilan keputusan rasional oleh individu dalam memaksimumkan utilitasnya pada kondisi sumberdaya yang terbatas (perspektif ekonomi). Isu yang sering muncul tentang konflik adalah adanya ”persepsi” bahwa satu kelompok memperoleh keuntungan dengan merugikan kelompok lainnya. Warner (2000) mengidentifikasi empat isu yang dapat menjelaskan sebab terjadinya konflik sumberdaya alam, yaitu : 1) perubahan demografik, 2) kompetisi sumberdaya alam, 3) tekanan pembangunan
sebagai dampak dari perubahan kebijakan
pemerintah, dan 5) ketidakadilan struktural. Demikian pula Charles (1992) mengemukakan
bahwa
konflik
perikanan
terkait
dengan
bagaimana
mempertahankan kesejahteraan masyarakat disatu sisi dengan kepentingan industri disisi yang lain. Keterangan diatas secara eksplisit menunjukkan keterkaitan konflik perikanan dengan isu ekonomi dan issue teknologi yang sejalan dengan temuan dari hasil penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan Faktor penyebab konflik perikanan tangkap terdiri dari 11 sub variabel yaitu, banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), jumlah nelayan (POPU), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Faktor penyebab konflik tersebut merupakan pemicu munculnya konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, yaitu 1) konflik retribusi (RETR), 2) konflik tambat labuh (TAML), 3) konflik daerah tangkap (DAET), 4) konflik alat tangkap (ALTA), 5) konflik penggunaan potas/obatobatan (POTA), 6) konflik bagi hasil (BAGH), 7) konflik nelayan lokal vs andon
(LOKA), 8) konflik pengolahan limbah (PENL)dan 9) konflik perusakan terumbu karang (PERK). Menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah penyebab konflik yang terkait dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi stok sumberdaya (STOK). Hasil wawancara secara mendalam menunjukkan bahwa sebagian masyarakat di lokasi penelitian memiliki pemahaman bahwa ketersediaan stok SDI menunjukkan tendensi yang menurun yang direpresentasikan pada hasil tangkapan yang dari waktu-kewaktu semakin berkurang. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya konflik daerah penangkapan (DAET), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK). Persepsi keterbatasan stok SDI ini tidak seluruhnya benar karena hasil perhitungan dengan menggunakan metoda Walter-Hillborn (1977) menunjukkan bahwa pemanfaatan SDI saat ini dilokasi penelitian sesungguhnya masih berada dibawah MSY. Hal ini berarti pemanfaatan SDI masih bisa untuk ditingkatkan. Penyebab konflik yang terkait dengan struktur sosial adalah: banyak sedikitnya pihak terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), populasi nelayan (POPU), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), adanya keinginan tertentu (INTE), serta keberadaan aturan dan penegakan hukum (LAWS). Penyebab konflik yang terkait dengan fungsi ekonomi adalah kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya (COMP), persepsi masyrakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Hasil analisis menggunakan principle component analysis dan structural equation model menunjukkan faktor penyebab konflik dapat dibedakan menjadi dua cluster, yaitu teknologi dan ekonomi. Cluster teknologi mencakup keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Sedangkan cluster ekonomi terdiri dari isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Faktor penyebab konflik tersebut merupakan
236
pemicu munculnya konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, khususnya konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik alat tangkap (ALTA) dan konflik daerah tangkap (DAET). Demikian pula hasil analisis yang mengkaitkan variabel penyebab konflik dengan variabel jenis konflik menunjukkan kombinasi dari faktor penyebab konflik di lokasi penelitian terutama menyebabkan terjadinya konflik daerah penangkapan (DAET) yang terjadi di tiga lokasi penelitian.. Temuan ini menjelaskan bahwa konflik daerah penangkapan (DAET) ternyata disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor penyebab konflik (multy factors) yang terutama dipicu oleh adanya tokoh yang melakukan provokasi (LEAD). Kondisi ini diperburuk oleh adanya peraturan atau kesepakatan (LAWS) lokal yang tidak dipatuhi oleh masyarakat nelayan.. Temuan penelitian ini relevan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bennet et al. (2004) dan Walker (2000) yang menyebutkan bahwa konflik tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan kombinasi dan akumulasi dari berbagai faktor penyebab konflik.
7.2 Efektivitas Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Berdasarkan pengalaman empiris, Bennet dan Neiland (2000) menyatakan bahwa pengelolaan konflik perikanan tangkap umumnya bersifat site spesific, yang berarti tidak seluruh tehnik resolusi konflik cocok untuk menyelesaikan jenis konflik tertentu. Resolusi konflik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Konflik-konflik
yang
terjadi
seluruhnya
diselesaikan
melalui
alternatif
penyelesaian sengketa (ADR). Dari tehnik ADR yang ada, hanya empat tehnik yang digunakan di lokasi penelitian, yaitu: negosiasi, mediasi, fasilitasi dan avoidance. Jika dilihat berdasarkan frekuensi penggunaannya, maka tehnik negoisasi merupakan tehnik yang paling banyak digunakan. Tehnik negosiasi digunakan untuk mengelola delapan jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon
237
(LOKA), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik tambat labuh (TAML). Tehnik mediasi digunakan untuk mengelola enam jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA),dan konflik retribusi (RETR). Tehnik fasilitasi digunakan untuk mengelola enam jenis konflik yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA),
konflik perebutan daerah tangkap
(DAET), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik tambat labuh (TAML). Serta tehnik avoidance digunakan untuk mengelola enam jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), dan konflik pengolahan limbah (PENL). Temuan ini menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan konflik perikanan tangkap dapat digunakan berbagai tehnik resolusi konflik sesuai situasi dan kondisi. Hasil analisis persamaan struktural, menunjukkan bahwa dari ke empat variabel tehnik resolusi konflik tersebut
maka berdasarkan koefisien faktor
loadingnya tehnik resolusi yang paling besar kontribusinya dalam pembentukan variabel resolusi konflik (RESO) adalah mediasi. Namun besaran koefisien tersebut beragam untuk tiap jenis konflik sehingga bisa disimpulkan bahwa tehnik resolusi tersebut bersifat spesifik. Penelitian ini juga menemukan tidak terdapat konflik yang diselesaikan dengan tehnik litigasi (pengadilan). Hasil pengukuran mengenai ketepatan tehnik ADR dengan menggunakan instrumen yang diadopsi dari Priscolli (2003), menunjukkan bahwa penggunaan tehnik ini memiliki kesesuaian yang tinggi dengan konflik yang terjadi. Hal ini sejalan dengan Koesnoe (1979), yang mengatakan bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan dan kerjasama, merupakan prasarat penting bagi suksesnya penggunaan tehnik ADR. Hasil analisis model persamaan struktural (SEM) untuk seluruh jenis konflik dilokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa tehnik resolusi yang paling berpengaruh positif terhadap outcome adalah mediasi. Metoda ini memiliki loading tertinggi dibandingkan dengan ketiga tehnik resolusi lainnya.
238
Dari perspektif outcome, resolusi konflik ternyata memberikan pengaruh positif terhadap partisipasi masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi belum mampu memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkeadilan. Temuan ini secara empiris menjelaskan bahwa semakin baik proses resolusi konflik maka akan semakin baik pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Partisipasi dalam hal ini mencakup peran serta masyarakat nelayan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya. 7.3 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Terdapat dua model mendasar dalam memandang suatu konflik yaitu: model medis dan model friksi (Roark dan Wilkinson 1979). Asumsi yang mendasari model medis adalah konflik itu seperti penyakit, semakin sedikit penyakitnya semakin baik. Sementara model friksi mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk hubungan (relationship) akan mendorong terjadinya konflik. Model yang dikembangkan oleh Gordon (1970) dalam Hill (1982) merupakan model yang paling dikenal. Secara umum model tersebut menyatakan bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik memperoleh kemenangan (win-win solution) sebab resolusi konflik harus dapat diterima oleh kedua belah pihak, konflik dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan dan setiap orang berpartisipasi dalam menemukan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setiap pihak yang berkonflik saling menghormati satu sama lain dan power tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah. Memperhatikan tipologi konflik dan analisis keefektivan resolusi konflik yang dilakukan di lokasi penelitian, maka model proses pengelolaan konflik perikanan
tangkap
dirancang
menggunakan
community
based
fisheries
management/community management (CBFM/CM), dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: 1) perundangan dan regulasi, 2) peran serta organisasi masyarakat pantai, 3) infrastruktur dasar dan 4) kondisi sosial. Pengalaman dari lokasi/negara lain membuktikan CBFM/CM cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil (artisanal fisheries), yang berarti sesuai dengan karakteristik nelayan yang ada di lokasi penelitian.
239
Sesuai dengan karakteristik masyarakat nelayan yang mengutamakan kerukunan, dan kerjasama serta adannya peran-serta masyarakat nelayan yang cukup tinggi dalam pengelolaan perikanan tangkap, maka kelembagaan yang dapat digunakan adalah pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM). Bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena didalamnya sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik. Kelembagaan PSBM sudah berjalan Prigi, tetapi belum berjalan di dua lokasi lainnnya. Pada waktu penelitian ini dilakukan, perkembangan PSBM baru pada tahapan consultative co-mangement, yang dicirikan dicirikan oleh masih kuatnya intervensi pemerintah dalam membuat keputusan pengelolaan perikanan. Kondisi PSBM ini harus terus dikembangkan sehingga menjadi delegated co-management (Pomeroy, 2003). Pada delegated comanagement
keputusan-keputusan
pengelolaan
perikanan
dilakukan
oleh
stakeholder sementara peran pemerintah disatu sisi akan menjadi sangat kecil. Pada kondisi ini masyarakat nelayan memiliki kontrol yang besar terhadap pengelolaan perikanan, dilain pihak peran pemerintah akan menjadi sangat kecil.
240