BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembahasan makalah ini merupakan pembahasan dari buku “” karangan David Matsumoto dengan lebih terfokus pada tema “Culture dan Basic Psycological Processes” yakni Budaya Dan Dasar Proses Psikologi. Menurut Andreas Eppink, culture atau kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Setiap penduduk di dunia memiliki budaya yang berbeda-beda dengan cirri khas tertentu. Dalam
mengeksplorasi
keberagaman
budaya
dan
perbedaan
psikologi dapat dijelaskan dasar pembentukan rangkain psikologi sebagai berikut: Dimulai dengan menyelidiki seseorang dari budaya yang berbeda, dan mungkin berbeda pula dalam sudut pandang dasar biologi tentang tingkah laku. Kemudian, menjelaskan hubungan antara kultur dan persepsi dengan focus pada penelitian yang menjelaskan perbedaan budaya pada persepsi visual dan menggunakan ilusi optic. Menjelaskan hubungan antara budaya dan kognisi, kenangan, penghargaan, pengelompokan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan kreativitas. Diskusi tentang hubungan antara budaya dan kesadaran yang menjelaskan penelitian lintas budaya tentang impian,
perspektif
waktu
dan
orientasi,
serta
persepsi
kesedihan.Menyimpulkan dengan memperhatikan topik yang penting dan penelitian terbaru tentang lintas budaya yang dapat menjelaskan pembahasan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana permasalahan seperti penggunaan test intelegensi dan kepribadian yang digunakan dalam menyeleksi pekerjaan dan pengakuan untuk sekolah.
Persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut secara spesifik. fokus pembahsan ini yakni perbedaan budaya pada persepsi visual dengan
menggunakan ilusi optic. Ilusi optic adalah persepsi yang
mengandung diskrepansi atau perbedaan antara kenampakan sebuah banda dengan benda yang sesungguhnya. Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang menngubah masukan masukan dari indra menjadi penegtahuan.
B. Tujuan Pembahasan Tujuan penyusunan makalah ini untuk mengetahui tentang budaya dan dasar proses psikologi dari buku “ ” dengan pembahasan: 1. untuk mengatahui sudut pandang tentang individu dari budaya yang berbeda, dan berbeda pula dalam sudut pandang dasar biologi tingkah laku 2. untuk mengatahui hubungan antara kultur dan persepsi dengan focus pada penelitian yang menjelaskan perbedaan budaya pada persepsi visual dan menggunakan ilusi optic 3. untuk mengatahui hubungan antara budaya dan kognisi, kenangan, penghargaan,
pengelompokan,
pemecahan
masalah,
pengambilan
keputusan dan kreativitas 4. untuk mengatahui hubungan antara budaya dan kesadaran yang menjelaskan penelitian lintas budaya tentang impian, perspektif waktu dan orientasi, serta persepsi kesedihan 5. mengatahui topik yang penting dan penelitian terbaru tentang lintas budaya seperti permasalahan seperti penggunaan test intelegensi dan kepribadian
C. Metode Pembahasan Adapun metode pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini dengan menggunakan : 1. Metode studi literatur kepustakaan. 2. Metode pencarian lewat internet. 3. Metode menerjemahkan.
D. Sistematika Penulisan Berikut merupakan sistematika penulisan : BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembahasan B. Tujuan Pembahasan C. Metode Pembahasan D. Sistematika Pembahasan BAB II. POKOK BAHASAN BAB III. ANALISIS BAB IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
BAB II CULTURE AND BASIC PSYCHOLOGICAL PROCESSES BUDAYA DAN DASAR PROSES PSIKOLOGI Seperti sebuah atom dan molekul yang siap membentuk rangkaian materi, proses psikologi siap membentuk konstruk psikologi. Dengan demikian untuk mengeksplorasi keberagaman budaya dan perbedaan psikologi dapat dijelaskan dasar pembentukan rangkain psikologi sebagai berikut: 1. Dimulai dengan menyelidiki
seserang dari budaya yang berbeda, dan
mungkin berbeda pula dalam sudut pandang dasar bilogi tentang tingkah laku. 2. Menjelaskan hubungan antara kultur dan persepsi dengan focus pada penelitian yang menjelaskan perbedaan budaya pada persepsi visual dan menggunakan ilusi optic 3. Menjelaskan hubungan antara budaya dan kognisi, kenangan, penghargaan, pengelompokan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan kreativitas 4. Diskusi tentang hubungan antara budaya dan kesadaran yang menjelaskan penelitian silang budaya tentang impian, perspektif waktu dan orientasi, serta persepsi kesedihan. 5. Menyimpulkan dengan memperhatikan topik yang penting dan penelitian terbaru tentang silang budaya yang dapat menjelaskan pembahasan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana permasalahan seperti penggunaan test intelegensi dan kepribadian yang digunakan dalam menyeleksi pekerjaan dan pengakuan untuk sekolah.
A. Budaya Dan Biologi Sebagai Dasar Tingkah Laku Dalam mempelajari psiokologi salah satu hal yang harus dipelajari adalah system anatomi dan fisiologi yang sangat penting bagi tingkah laku manusia. Dasar dari system tersebut adalah otak dan system saraf pusat, struktur mata, telinga, dan system sensori lainnya, system saraf otomatis seperti system simpatetik dan parasimpatetik.
Informasi tersebut sangat penting untuk memahami penomena psikologi dengan alasan: 1. Memberikan pemahaman secara tepat tentang informasi bagaimana proses sensori, seperti bagaimana stimulus yang datang mengenai retina. 2. Membantu memahami bagaimana penomena psikologi yang digambarkan dalam tubuh, seperti apa yang terjadi ketika seseorang mengalami stress 3. Membantu memahami fungsi tubuh yang menekankan pada pergerakan dan tingkah laku. Banyak sekali informasi yang diberikan dalam pemikiran psikologi. Seorang yang ahli dalam biologi sebagai dasar tingkah laku pun
akan
membuktikan bahwa semua orang mempunyai struktur anatomi yang sama. Tentunya semua orang itu mengagumkan sebagaimana struktur anatomi dan fungsi psikologi tanpa memperhatikan budaya, ras dan etnik. Tetapi bukti dari beberapa sumber menunjukan perberdaan yang baik. Yakni perberdaan struktur anatomi tidak dibutuhkan. Semua orang mempunyai mata, telinga, jantung perut, syaraf, otak. Bukti tersebut menunjukan bahwa orang itu berbeda dalam ukuran yang relative dari struktur anatomi sebagaimana
fungsionalnya, dengan demikian dapat dinyatakan
perbedaan dalam psikologi dan fungsi tingkah laku. Dalam bidang kedokteran menyadari bahwa setiap orang memiliki perbedaan dalam fungsi biologi dan proses bioligi. Pengobatan pun mempunyai efek yang berbeda terhadap individu ada yang menimbulkan sakit dan ada pula yang menimbulkan sehat dalam menunjukan tingkah laku. Beberapa efek terhadap individu tersebut dapat dihubungkan dengan perbedaan genetic pada individu tersebut dalam komposisi biologi yang tepat. Maka efek tersebut bila dihubungkan dengan selektif dapat mempengaruhi seseorang dalam karakteristik biologis. Sedangkan yang tidak berhubungan dengan efek genetic maka hal tersebut dapat dihasilkan dari pembelajaran dan lingkungan. Hal ini sangat penting ddalam menentukan karakteristik biologi, pokok interaksi antara biologi dan gaya hidup.
Efek dari lingkungan dan gaya hidup tersebut tergambar dalam beberapa kelompok seperti efek dari budaya. Contonya kalsium sangat penting bagi pertumbuhan tulang seseorang yang kekurang kalsium akan menderita osteoporosiss. Pada wanita jepang mereka selalu memnurunkan kadar mineral tetapi memiliki dasar yang tidak kuat dalam budayanya. Dari contoh tersebut maka fakta yang didapatkan adalah hubungan fungsi antara kalsium atau mineral dengan kepadatan tulang.
Gaya hidup sangat mempengaruhi
kemunginan individu tersebut menderi suatu penyakit seperti diet, gerak badan, dorongan social dan factor lainnya yang sangat penting dalam komponen budaya. Maka psikologi sangat penting untuk menjelaskan hubungan antara biologi dan psikologi. Biologi dapat menyebabkan pskologi dengan asumsi komposisi biologi menyebabkan kecenderungan untuk bertingkah laku. (APS Observer 1997). Pada sebuah penelitian bukan hanya efek dari psikologi melainkan pengalaman mengubah psikologi pada struktur dan kegunaan otak. Factor yang ditimbulkan dari lingkungan seperti diet, trauma, pola asuh. Efek tersebut memberikan kemungkinan bahwa gaya hidup budaya mempengaruhi komposisi biologi dengan demikian dasar bilogi mempengaruhi tingkah laku. Area lain dalam penelitian, seperti penelitian tentang olahraga yang didokumentasikan pada perbedaan ras, fisik. Setiap orang dilahirkan dengan memiliki struktur anatomi yang sama. Persamaan dan perbedaan tersebut terletak pada kegunaan dan fungsi psikologis yang dihubungkan dengan budaya sehingga bias didefinisikan lebih jauh. Perbedaan
budaya
bisa
menimbulkan
permasalahan
seperti
pembahasan moral intelegensi dan tingkah laku. Beberapa penelitian sangat sulit dilakukan dengan alasan 1. asumsi orang yang menyatakan bahwa biologi itu menyebabkan psikologi 2. kepercayaan yang salah sebagai ukuran dalam budaya 3. prasangka dalam interpretasi penemuan dari penelitian personal atau agen politik.
Oleh karena itu penelitian dapat dilakkukan oleh orang yang memiliki kompetensi yang dapat menguraikan persamaan dan perbedaan dasar biologi bagi tingkah laku Karena persamaan dan perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar bagi budaya, yang didefinisikan sebagai fungsi gaya hidup, diet, dan pengalaman. Kebutuhan Public secara umum dapat dipelajari dari isu yang berkembang maka informasi yang didapatkan dapat menjadi dasar yang membangun ilmu pengetahuan bukan untuk merusak seseorang.
B. Budaya dan Persepsi 1. Persepsi dan Pengalaman Persepsi merupakan proses pengambilan informasi dengan pemikiran kita. Sebelum memperhatikan akibat dari budaya terhadap persesi kita maka pertama kita harus merealisasikan apa yang sebanding dengan realitas fisik tanpa memerhatikan budaya dan perepsi kita. Dengan mempertimbangkan persepsi visual. Setiap orang memiliki bitik hitam pada matannya. Bintik tersebut bukan penerima sensori ketika saraf otak melewati saraf receptor menuju ortak. Tutuplah satu mata maka kita dapat melihat dunia seolah-olah utuh. Tidak ada bintik hitam dalam kesadaran kita, meski ada satu area yang tidak dapat melihat wilayah visual itu sebahai suatu yang hilang. Otak kita dapat merasakan hal tersebut sehingga kita bisa melihat segala sesuatu. Hal tersebut mengilustrasikan eksperimen pengenalan psikologi yang komplit yang tidak selalu sesuai dengan realitas fisik dari sensasi yang kita dapatkan melalui system visual kita. Setiap hari kita melakukan percobaan dengan ilustrasi sentuhan yang dapat disimpan dalam persepsi kita. Misalnya kita mengisi dua buah mangkok dengan dua buah air yang berbeda. Mangkok yang pertama diisi dengan air dingin sedangkan mangkok yang kedua diisi dengan air hangat kuku. Beberapa menit kita meletakan tangan kita pada air yang dingin kemudian setelah itu kita meletakan tangan kit pada air yang hangat kuku, maka tangan kita akan merasa bahwa hangat, sebaliknya apabila kita
meletakan tangan kita pada air yang hangat dulu setelah beberapa menit baru dimasukan pada air yang dingin maka kita kan merasa dingin. Dari percobaan tersebut didapatkan bahwa temperature air tidak berubah, yang berubah adalah persepsi kita tentang air yang kita pilih, (Segall 1979) Salah satu hal yang diketahui tentang persepsi yakni persepsi itu berubah. Persepsi dapat berubah dapat dilihat dari eksperimen mangkuk tadi. Persepsi kita berubah apabila mengetahui lebih bayak tentang sesuatu. Bagaimanapun juga kita akan melihat sesuatu itu berubah seiring dengan pengalaman kita yang berhubungan dengan hal yang kita lihat
2. Pengaruh Budaya Pada Persepsi Visual Ada penelitian penelitian spporadis tentang pengaruh budaya pada persepsi pengecapan, bau, sentuhan dan pendengaran. namun
bagian
terbesar dari penelitian di bidang ini sampai saat ini terfokus pada pengaruh budaya pada persepsi visual. Sebagian besar pekerjaan yang sempurna didasarkan pada perbedaan test pada ilusi optic yang dikemukakan oleh Segall, Campbell, dan Horsokovitas (1963,1966). Ilusi optic yaitu persepsi yang mengandung diskrepansi atau perbedaan antara kenampakan sebuagh benda dengan benda itu sesungguhnya. salah satu ilusi optic yang paling popular adalah ilusi Mueller-Lyer (gambar 6.1) dalam ilusi ini ada dua garis yang masing masing memiliki tanda panah di ujungnya. Tanda panah pada salah satu garis itu mengarah keluar menjauhi garisnya, sedangkan pada garis yang lain mengarah kedalam.
Garis mana yang lebih panjang? Bagi sebagian orang gari yang bawah tampak lebih panjang dari pada yang atas. Dua garis ini sebenarnya sama
Gambar. 6.1 Ilusi Mueller-Lyer
Ilusi lain yang popular adalah ilusi horizontal atau vertikal. Dalam ilusi ini dua garis dengan panjang yang sama ditempatkan secara saling tegak lurus, ketika para subjek diminta menilai garis mana yang lebih panjang biasanya mereka memilih garis yang vertical.
Garis mana yang lebih panjang? Meski sebenarnya sama panjang, bagi sebagian orang garis yang vertical tampak lebih panjang dari garis horizontal
Gambar: 6.2 Ilusi Horizontal/Vertikal Ilusi ketiga yang juga terkenal adalah ilusi Ponzo dalam ilusi ini dua garis horizontal ditempatkan sejajar satu diatas dan satu dibawah. setelah itu ditarik dua garis diagonal yang lebih rapat di ujung atas ke ujung bawah. Ketika para subjek melihat gambar ini, mereka biasanya
mengatakan bahwa garis horizontal dibawahnya tampak lebih panjang. Tentu saja kedua garis tersebut sama panjang.
Garis horizontal mana yang lebih panjang? Maski sebenarnya sama panjang, bagi kebanyakan orang garis yang atas tampak lebih panjang daripada garis yang bawah.
Gambar 6.3 ilusi ponzo. Teori teori yang mendukung tentang ilusi diantaranya adalah Teori Carpentered World Theory, atau Teori Lingkungan Buatan, FrontHorizontal Foreshortening Theory, atau Teori Pemendekan HorizontalDepan,
Kemudian
Teori
Symbolozing
Three-Dimension-In-Two-
Dimension atau Teri Menyimbolkan Tiga Dimensi Dalam Dua Dimensi.
Carpentered World Theory, atau Teori Lingkungan Buatan, menyatakan bahwa individu cenderung mempersepsikan benda yang dilihat sebagaimana mereka melihat bennda yang sering dilihat. Dalam ilusi Muller-Lyer kita menafsirkan sebuah garis seolah lebih panjang bila terproyeksi menjauhi kita, dan lebih pendek bila terproyaksi mendekati kita. Front-Horizontal Foreshortening Theory, atau Teori Pemendekan Horizontal-Depan, menyatakan bahwa kita menafsirkan garis vertical di mata kita sebagai garis garis horizontal yang terentang sampai kejauhan. Kedua teori ini memiliki kesamaan diantaranya : 1) cara kita melihat benda berkembang seiring waktu dan pengalaman, maka apa yang kita lihat merupakan kombinasi dari objek yang memantulkan cahaya pada mata kita dan hasil belajar kita tentang cara melihat secara umum. 2) kita
hidup dalam tiga dimensi dan terproyeksikan oleh mata kita dalam bentuk dua dimensi. Beberapa penelitian lintas budaya yang meneliti tentang persepsi visual diantaranya adalah W.H.R. River (1905) membandingkan efek Muller-Lyer dengan horizontal verikal terhadap orang inggris, pedesaan India, dan papua nugini. Hasil dari penelitian tersebut berbeda antar budaya, para peneliti menyimpulkan bahwa pasti ada pengaruh budaya pada bagaimana kita melihat dunia. Teori Symbolozing Three-Dimension-In-Two-Dimension atau Teri Menyimbolkan Tiga Dimensi Dalam Dua Dimensi. Menyatakan bahwa orang-orang barat lebih menafsirkan apa yang tertera dalam kertas dari pada budaya lain, karena orang barat lebih banyak mengahbiskan waktu untuk belajar dari pada orang papua nugini. Segal dan kolega (1963,1966) membandingkan temuan river, mereka membandingkan tiga kelompok industri, dengan empat belas kelompok non industri pada ilusi muller-lyer hasilnya menunjukan bahwa efek Mueller-lyer lebih kuat pada kelompok non-industri daripada kelompok industri hal ini mendukung temuan River. Wagner (1977) mengkaji persoalan dengan menggunakan ilusi Ponzo yang digunakan terhadap orang desa dan orang kota. Hal ini memberikan bukti langsung tentang pengaruh lingkungan perkotaan dan pengalaman sekolah pada ilusi Muller-Lyer Pollack dan Silvar (1967) menunjukan efek Ilusi Muller-Lyer terkait dengan mendeteksi kontur dan kemampuan ini akan menurun seiring dengan pertambahan umur. Polack dan Silvar menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan culture bisa dijelaskan dalam perbedaan rasial dalam pigmentsi retina. Stewart (1973) menguji efek ilusi Muller-Lyer pada anak-anak kulit hitam dan kulit putih pada satu desa yang sama. Ia menemukan bahwa efek lusi ini tergantung pada sejauh mana seorang anak tinggal di lingkungan berarsitekture, ia juga menemukan seiring pertambahan usia
maka efek ilusi ini akan berkurang yang menunjukan bahwa hasil belajar dan sifat bawaan memberikan pranan dalam perbedaan cultural yang nampak. Hudson (1960) mengenbangkan sebuah test proyektif yang mirip dengan Thematic Apperception Test (TAT) yang digunakan pada suku Buntu di Afrika Selatan. Ia menemukan perbedaa-perbedaan dalam persepi tergantung pada budaya. Seperti suku Bantu yang terdidik di sekolah eropa maka atau mempunyai pengalaman seperti orang Eropa maka akan melihat benda-benda seperti halnya orang Eropa, sedangkan suku Bantu yang tidak berpendidikan akan melihat secara berbeda.
C. Budaya dan Kognisi 1. Kategori Dan Pembentukan Konsep Pengetahuan Tradisional Salah satu proses mental paling mendasar adalah cara bagaimana orang mengelompokan hal-hal kedalam kategori kategori orang melakukan kategorisasi berdasarkan kemiripan-kemiripan dan kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk mengelompokan hal-hal yang kelihatannya punya kemiripan. Babarapa aspek universal kategorisasi meski banyak dikelompokan secara berbeda dari satu budaya ke budaya lain penelitian lintas budaya mengindikasikan bahwa beberapa kategori yang digunakan untuk berfikir dan menyampaikan informasi yang kurang relative tidak tergantung atau dipengaruhi budaya. Orang dari budaya yang berbeda cenderung mengalompokan bentuk berdasarkan contoh terbaik dari bentuk bentuk dasar (lingkaran sempurna, segitiga sama kaki dan bujur sangkar) daripada mempbuat kategori untuk bentuk-bentuk geometria yang tak beraturan. Kesamaankesamaan lintas budaya ini menunjukan bahwa yang mempengaruhi cara manusia mengelompokan beberapa stimulus daasar adalah factor-faktor pisiologis artinya, orang tampaknya memiliki kecenderungan bawaan untuk lebih memilih bentuk, warna dan ekspresi wajah tertentu.
Beberapa aspek kategorisasi yang khas budaya, ketika ada perbedaan cultural dari budaya yang berbeda akan memberikan penilaian yang berbeda tentang berbagai hal. Oleh karena itu dasar dari proses kategorisasi tidaklah berbeda sedangkan yang berbeda adalah dasar pengalaman yang digunakan dalam membuat kategori. Salah satu cara lain yang digunakan penelitian untuk mempelajari bagaimana orng melakukan pengelompokan adalah dengan melakukan tugas penyortiran seiring pertambahan usia mereka akan mengelompokan benda berdasarkan bentuk dan fungsinya (CV. Bruner, Oliver, dan Grenfield, 1966). Namun ketika dihadapkan pada tugas serupa orang dewasa afrika ternyata punya kecenderungan kuat untuk mengelompokan benda
berdasarkan
warna
dan
bukan
fungsi
(Suchmen,
1966;
Greenfield,Reich, & Oliver, 1966) hal ini menunjukan bahwa sesuatu selain sekedar proses pematangan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Evans dan segall 1969 mencoba memisahkan efek pendidikan dan efek pematangan dengan cara membandingkan anak-anak dan orang dewasa di Uganda. Sebagian subjek penelitian ini pernah masuk sekolah formal sedangkan yang lain tidak. Para peneliti memberikan tugas penyortiran pada mereka dan menemukan bahwa pengelompokan berdasar warna lebih umum ditemui pada orang yangt tidak atau hanya sedikit mengalami sekolah formal.
2. Budaya Dan Daya Ingat Ada beberapa jenis ingatan, seperti ingatan sensori (inderaw), ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Ingatan sensori mengacu informasi asli yang bertahan di organ-organ indra selama beberapa saat, biasanya hanya sepersekian detik setelah diterima. Ingatan jangka pendek mengacu pada kapasitas yang terbatas diman informasi bisa dipertahankan untuk selang waktu yang sedikit lebih panjang biasanya 2030 detik. Ingatan jangka panjang mengacu pada masuknya informasi yang disimpan dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Dua
aspek
ingatan
yang
sering
dikaji
dalam
psikologi
eksperimental adalah efek urutan posisi yang terdiri dari efek awal dan efek akhir. Efek awal adalah kecenderungan untuk lebih mengingat hal-hal pertama dari suatu konteks dari pada yang berada di tengah-tengah,. Efek akhir dalah kecenderungan kita untuk mengingat dengan lebih baik hal0hal yang lebih akhir atau baru saja terjadi dari pada yang sebelumnya. Orang orang dari masyarakat
yang tak mengenal
huruf
mengembangkan keterampilan ingatan yang lebih baik karena mereka tidak bisa menuliskan sesuatu untuk membantu mengingat-ingat (Barlett,1932) Ross
dan
Millson
(1970)
menduga
bahwa
orang
yang
mengandalkan pada tradisi oral akan lebih baik ingatannya, dengan begitu tampaknya budaya-budaya yang memiliki tradisi oral memang lebih unggul dalam ingatannya. Namun Cole dan rekannya menemukan bahwa subjek-subjek afrika yang buta huruf tidak lebih unggul ingatannya bila mereka dihadapkan pada daftar kata dan bukan cerita. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk mengingat informasi yang tidak saling berhubungan tampaknya tidak begitu dipengaruhi oleh budaya melainkan terkait dengan apakan orang tersebut pernah mengenyam sekolah atau tidak. Hal ini ditunjukan oleh Skibner (1974) menyatakan bahwa orang afrika yang berpendidikan dapat mengingat kembali daftar kata sedangkan yang tidak berpendidikan lebih sedikit mengingat kata. Dengan demikian penelitian lintas budaya tentang ingatan menunjukan bahwa orang-orang dengan terdisi budaya oral punya ingatan yang lebih baik dari pada orang dari budaya dengan tradisi tulis tapi sampai saat ini pengaruh budaya dalam hal ini belum dapat dipisahkan dari efek sekolah gaya erofa.
3. Budaya Dan Ekspresi Wajah Penelitian dalam suatu daerah yang berhubungan dengan kebudayan yang diterima dalam 2 dasawarsa ini adalah ekspresi wajah. Penelitian di bidang ini menunjukan adanya prasangka dalam sebuah ras tentang kemampuan untuk mengenal wajah. Malpas dan Kravit (1969) meneliti salah satu orang bangsa amerika dan afrika atau eropa amerika. Hasilnya menunjukan bahwa para peneliti mengakui individu dari mereka mendapatkan ras lebih baik dari pada mereka yang berasal dari ras lainnya. (sebagai contoh Malpass, 1974). penelitian telah didokumentasikan sehingga mempunyai pengaruh bagi wajah-wajah bangsa Asia secara baik, untuk membandingkan pendapat tentang wajah dari bangsa Eropa Asia Amerika (O’Toole,Deffenbacher,Valentin,danAbdi.1994). dalam hal ini juga dapat ditunujukan perbedaan antara ekspresi wajah pria dan wanita. {O’Toole,Peterson dan Deffenbachaer,1996} Sejumlah orang telah mengusulkan beberapa alasan mengapa prasangka ekspresi wajah ini boleh terjadi. Bringham dan Malpass (1985), memberi kesan bahwa sikapnya terhadap sesamanya dan dari ras yang lain, orientas social, kesulitan tugas dan pengalaman semuanya manyalurkan untuk kemampuan pengakuan yang berbeda ini. Brigham dan Malpass (1985) juga memberi kesan adanya keterangan yang menjelaskan teori-teori ekspresi wajah yang berbeda berasal dari pengalaman diantara anggota-anggota dari grup-grup yang lain, hal ini bisa diterima dari sumber penelitian. Devine dan Malpass (1985)menunjukan bahwa orientasi strategi dapat mempengaruhi ekspresi wajah yang berbeda. Ketika para pengamat belajar menceritakan bahwa mereka berpartisipasi dalam eksperimen dan memberikan pendapat yang berbeda tentang orang– orang yang mereka teliti, ternyata tidak ada perbedaan dalam pengakuan yang terjadi. Sebuah pembelajaran oleh Levy ,Lysne dan Underwood (1995) dalam kondisi yang tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa kesamaan jenis kelamin, kesamaan usia, dan kesamaan ras. Akhirnya disana beberapa penelitian menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh yang
menyebabkan kesamaan ras dan wajah-wajah ras yang lainya boleh jadi actual,
sehingga
dapat
diklasifikasikan
perbedaannya,
dengan
keistimewaan-keistimewaan ras yang di kodekan berbeda dalam kesamaan dan persepsi ras yang lain (Levin,1996)
4. Budaya Dan Pemecahan Masalah Pemecahan masalah merupakan proses dimana kita menemukan cara-cara mencapai suatu tujuan yang tampaknya tidak langsung didapat. Masalah yang berbeda mengarahkan pada pemecahan masalah yang bereda pula. Ada beberapa factor yang mempengaruhi tingkat kesulitan pemecahan masalah misalnya kurangnya informasi yang relevan, memilki mental set tentang cara memecahkan masalah yang lalu tetapi tidak dapat digunakan dalam memecahkan masalah pada saat ini, tidak mampu menggunankan elemen permasalahan. Para ahli pskologi berusaha memproses pemecahan masalah ini dengan meminta orang orang dari beberapa kebudayaan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum mereka kenal dalanm seting buatan. Dalam salah atu eksperimen seperti ini (Cole dkk., 1971) subjek subjek amerika dan Liberia diminta menggunakan sebuah alat yang memiliki berbagai tombol panel slot. Untuk membuka alat tersebut, agar mendapatkan suatu hadian para subjek eksperimen harus bisa melakuakan dua prosesdur terrpisah pertama, menekan tombol yang tepat untuk mengeluarkan sebuah kelerang dan kemudian masukan kelerang tersebut kedalam slot yang tepat untuk membuka sebuah panel. Meskipun itu opbjektivitanya jelas kelihatan bagaimanapun percobaan ini telah berat sebelah pada bangsa amerika. Cole dkk sejawatnya menyimpulkan bahwa bangsa Liberia untuk bernalar secara logis dalam memecahkan masalah tergantung pada konteks. Kemampuan memecahkan maslah merupakan suatu aspek penlaran logis yang sudah diteliti dalam lintas budaya. Salah satu jenis soal kata
yang dipakai untuk mengukur kemampuan penalaran logis adalah silogisme. Luria (1976) menyimpulkan bahwa orang yang buta huruf memang berfikir berbeda dari orang yang berpendidikan. Menurut hipotesis ini penalaran logis merupakan sesuatu yang butan, karena merupakan keterampilan yang harus dipelajari dalam seting sekloah. Dengan demikian penalaran logis merupakan keterampilan yang lebih dahhulu diperoleh dan diterapkan di ruang kelas dan baru kemudian diterpkan pada kehidupan sehari-hari mereka. Scribner (1979) menyangsikan bahwa orang yang buta hurup tidak dapat berfikir logis, tetapi orang tersebut tidak mampu menerapkan konsep pemikiran logis pada soal verbal, bukan mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berfikir logis, tetapi mereka tidak paham bahwa soal verbal tersebut bersifat hipotesis. Oleh karena itu sekolah mempengaruhi kemampuan untuk memecahkan soal-soal verbal karena di lingkungan sekolah orang menjadi terbiasa menjawab pertanyaan yang terasa aneh dalam seting social.
5. Budaya Dan Pengambilan Keputusan Kita membuat banyak keputusan dalam kehidupan kita sehari-hari, penelitian di United States dalam proses pembuat keputusan telah menunjukan bahwa kita umumnya menggunakan strategi atau cara keyakinan ketika kita membuat keputusan. Kita mengumpulkan beberapa informasi untuk membuat suatu solusi, membuat penyataan yang didasarkan pada pemikiran pertama kita kemudian membaningkan informasi tersebut sehingga kita bisa memilih mana yang positif dan mana yang negative dari kejadian tersebut. (Kahnman & Tversky,1973, Tversky& Kahnman,1981) Penelitian lintas budaya pada pembuatan keputusan menunjukan bahwa
orang dari kelompok kebudayaan yang berbeda boleh
menggunakan cara atau strategi yang sama. perbedaan budaya tentunya
sangat relative dan penting dari beberapa proses dan perwujudan yang tepat. Penelitian pada pembuatan keputusan mengilustrasikan beberapa konsep-konsep Keltikangas-Jaervinen Dan Terav (1966), menunjukan adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan pada cara masyarakat dalam membuat keputusan.
Diantara remaja-remaja Pinlandia dan Estonia
mereka menerjemahkan penemuan-penemuannya mengidentifikasikan individualistis disimpulkan
dengan bahwa
perbedaan-perbedaan
kemampuan
tanggapan
bersama pribadi
sehingga
tidak
boleh
menghasilkan jika identitas bersama yang diharapakan dapat terjadi sebelum identitas pribadi telah mengalami perubahan bentuk. Perbedaan kebudayaan juga dapat didokumentasikan pada hubungan suatu topic atau bahasan seperti perguruan tinggi (valadez, 1998), jenis kelamin (Flores, eyre, & Millstein, 1998), pilihan krir (martin &1994), dan manajemen organisasi (Walters, 1994). Bagaimanapun juga penelitian lintas budaya telah menjadi lambat persis bagaimana perbedaan kebudayaan cenderung berhubungan dengan berbagai macam strategi apa yang digunakan dalam membuat suatu keputusan, dan bagaimana strategi tersebut dapat berbeda dalam suatu konteks. Kedepan dengan belajar kita membutuhkan latihan yang sangat penting.
6. Budaya Dan Kreatifitas Aspek lain dari kognisi atau pengertian kesadaran yang telah diterima adalah kretifitas. Penelitian tentang kreativitas di US menunjukan bahwa orang yang kretif berfikir divergen daripada konvergen, hal ini menjadi kekhasan dalam pengukuran intelegensi. Individu yang kreatif telah menunjukan mempunyai kemampuan tinggi untuk bekerja keras, sebuah kemauan untuk mendapatkan mendapatkan resiko-resiko dan sebuah toleransi tinggi untuk dua makna dan kekacaaun Stren Berg dan Lubart (1995).
Individu yang kreatif mempunyai peranan yang sangat penting, mereka dapat menymbangkan ide-ide yang baru. Individu yang creative mempunyai andil dalam beberapa keadaan karakteristik lintas budaya, mereka membutuhkan penyesuaian dengan kemampuan budaya secara spesifik terutama dalam implementasi dan pengambilan ide kreatif mereka. Selanjutnya penelitian dalam wilayah yang kita butuhkan untuk menjelaskan keumuman lintas budaya terhadap karakteristik individu yang kreatif dan prosesnya secara lebih formal sebagaimana proses tersebut dapat dihasilkan dari perbedaan budaya dan rintangan yang dihadapi. Maka untuk kedepannya pelajar dan kewibawaannya, diperlukan sesuatu yang kreatif untuk mencapai tujuan.
D. Budaya dan Kesadaran Dalam psikologi kontemorer kita memberi definisi kesadaran sebagai sebuah penempatan tidndakan pikiran dan perasaan. Isi dari pernyataan tersebut bisa berarti berubah dari waktu ke waktu. Beberapa pengarang kontemporer yang mempunyai pengaruh menyatakan bahwa kesadaran diri merupakan sebuah konstruk kebudayaan (Lutz,1992). Kesadaaran individu setiap orang berbeda-beda karena hal tersebut inheren dengan pengalaman pribadi dan perkembangan. Kesamaan sudut pandang akan berpengaruh pada persamaan lintas budaya dalam perspektif kesadaran. Bagian ini membahas kajian lintas budaya dari leteratur antropologi yang berhubungan dengan kebudayaan dan kesadaran yang meliputi pembelajaran tentang mimpi, waktu dan persepsi kesedihan.
1. Budaya Dan Impian Psikologi mempelajari dan menggunakan mimpi-mimpi untuk membuat sebuah perbedaan diantara dua aspek yakni isi yang tersembunyi dan perwujudan. isi nyata mengacu pada isi aktual dari mimpi-mimpi seperti yang terlihat dan dialami oleh pemimpi. Isi yang tersembunyi
terlihat pada tema psikologi yakni pemikiran untuk menggaris bawahi acuan pada isi yang nyata. Penelitian lintas budaya mengenai mimpi diteliti oleh Punamaeki dan Joustie (1998) menjelaskan bagaimana kebudayaan dan factor-faktor yang perasaan pada isi mimpi kehidupan anak palestina dengan lingkungan yang sangat keras, anak palestina dengan lingkuangan yang damai. Hasil belajar tersebut mengindikasikan bahwa kebudayaan bukan hanya yang mempengaruhi isi mimpi. Hal ini merupaka kehidupan anak di wilayah yang tidak lepas dari penyiksaan dan penyerangan, mereka mengalami mimpinya setiap hari maka mimpinya dibuat-buat seperti sangat benar. Nyatanya isi mimpi dan penggunaan berbeda pada beberapa jalan penting
dan
menarik
dalam
perbedaan
kebudayaan-kebudayaan.
Pembelajaran masa depan akan mengaharapkan celah pada pengetahuan kita dan barangkali dalam jalan dari kesadaran pemahaman kita.
2. Budaya Dan Waktu Orang dari kebudayaan yang berbeda akan mengalami waktu yang berbeda, hal ini menjadi sangat objektik dan secara teknik sama bagi setiap orang. Perbedaan perspektif dan orientasi waktu merupakan hal yang sering menjadi sumber kebingungandan kejengkelan untuk pada pengujung dalam kebudayaan yang baru. Orientasi waktu juga dapat menjadi sumber kebanggan dari sebuah kebudayaan. Hall (1973) adalah orang pertama yang meneliti bahwa kebudayaan berbeda pada perspektif waktu dan orientasi mereka. Dia menganalisis perbedaan-perbedaan kebudayaan pada waktu yang mereka pergunakan dan bagaiman perwujudan waktu disana bagi mereka pada prilaku peraktis kenyataannya dalam kontek seperti bisnis, kita dapat membayangkan perbedaan kebudayaan yang digunakan pada pandangan dari waktu menjadi hal yang utama dalam perundingan antar budaya.
3. Budaya Dan Persepsi Kesedihan Psikoogi lintas budaya dan antropologi sama memiliki daya tarik dalam hubungan diantara kebudayaan dan perasaan menyedihkan utamanya karena dari laporan bersifat anekdot dan penelitian-penelitian yang amat berbeda pada pengaturan rasa sakit dan toleransi dalam kebudayaan yangberbeda. Lebih dari 30 tahun yang lalu ilmuamn memulai resmi
mengakui pengaruh dari kebudayaan dan factor sikap pada
tanggapan untuk perasaan menyedihkan (Wolff dan Langley, 1968) Toleransi dan perasan menyedihkan juga menjadi akar dari nilai budaya, sikap sabar dalam wajah dari peraaan sakit adalah idealis dan respon yang tepat untuk perasaan sakit adlah betul-betul dipertimbangkan untuk identitas bangsa. Keistimewaan seperti toleransi, perasaaan sakit seperti sonatan diibaratkan keberanian dan kehormatan dimana disana nilai amat penting dalam budaya yang tepat.
E. Kebudayaan Dan Intelegensi 1. Definisi Tradisional Tentang Intelegensi Psikologi Di Amerika Kata intelligence dalam bahasa inggris berasal dari sebuah kata latin yang dimunculkan sekitar dua ribu tahun silam oelh orator romawi, ciceros. Di amerika serikat kita menggunakan istilah intellegensi untuk mengacu
pada
sejumlah
kemampuan,
keterampillan,
bakat
dan
pengetahuan yang berbeda yang secara umum mengacu pada kemampuan kognitif atau mental. Dengan demikian secara tradisional ada beberapa proses yang kita pandang mewakili intelegensi, seperti ingatan, kosakata, komperhensi tau pemahaman, kemampuan matematis, penalaran logis dan hal-hal semacam itu. Beberapa tahun belakangan bisa tumbuh terhadap konsep kreatifitas sebagai bagian dari intelegensi sampai belum lama ini, kreatifitas belum dipandang sebagai bagian dari intelegensi itu sendiri.
Namun para ahli psikologi semakin memandang aspek penting ini sebagai salah satu jenis intelegensi. Meski berbagai tipe intelegensi menambah dimensi baru pada keragaman definisi kita tentang intelegensi, Definisi tradisional dan mainstream kita masih cenderung pada kemampuan-kemampuan kognitif dan mental yang terkait denga tugas-tugas verbal dan matematika.
2. Perbedaan Budaya Dalam Makna Dan Konsep Intelegensi Banyak bahasa yang tak memiliki kata yang sepadan dengan apa yang kita pahami sebai intelegensi. Definisi-definisi intelegensi sering kali merupakan scermian dari nila-nilai buudaya. Karena cara tiap budaya mendefinisikan intelegensi begitu berbeda, pengertian konsep ini sulit untuk dibandingkan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain dengan valid. Orang dari budaya yang berbeda tidak hanya berbeda dalam
pengertian tenntang sifat dari
intelegensi itu sendiri, tapi juga memiliki sikap yang sangat berbeda-beda mengenai cara yang tepat untuk menunjukan kemampuan seseornag. Di masyarakat yang menekankan pada hubungan personal, kerjasama dan kerendahan hati, perilaku yang sama mungkin akan dipandang atak pantas, sombong atau tidak sopan.
3. Pengaruh Budaya Pada Pengukuran Intelegensi Test intelegensi modern pertam dikembangkan diawal 1900 an untuk mendefinisikan anak anak terbelakng mental. Test intelegensi menjadi cara untuk membedakan anak-anak yang membutuhkan pendidikan luar biasa dari mereka yang terhambat dalam pelajaran di sekolah karena alasan-alasan lain. Namun kini test intelegensi digunakan secara luas di sekolah imum dan berbagai progam pemerintah lainnya. Namun tidak semua orang diuntungkan oleh test intelegensi tersebut karena setidaknya sebagian dari test semacam itu bergabtung pada kemampuan verbal dan pengetahuan kultural.
Pandangan lain yang dipegang sebagian ahli psikologi lintas budaya adalah bahwa test intelegensi mengukur perbedaan yang nyata antar masyarakat yang berbeda tapi perbedaan tersebut tidak dipandang sebagai suatu kekurangan satu budaya disbanding dengan yang lainnya.
BAB III ANALISIS Ilmu biologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk kehidupan, bak kehidupan manusia, kehidupan tumbuhan, dan juga kehidupan hewan, serta timbale balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Namun ilmu biologi yang berhubungan dengan psikologi adalah biologi yang mempelajari tentang tingkah laku manusia. Oleh Karena itu biologi dijadikan sebagai dasar bagi tingkah laku manusia. Dalam biologi dipelajari struktur anatomi seperti alat indra dan berbagai syaraf dalam tubuh manusia. Setiap manusia tentunya mempunyai struktur anatomi yang sama yakni mempunyai alat indra, saraf, otak, dan sebagainya tetapi dalam fungsionalnya berbeda. Ilmu kedokteran pun menyatakan bahwa setiap individu mempunyai fungsi dan proses bioogi yang berbeda. Misalnya setiap orang mempunyai mata untuk melihat, dalam proses belajar tidak semua siswa yang memiliki
pemahaman
yang sama
terhadap
pelajaran,
tergantung
mempersepsikan pelajaran tersebut, dan mengangkap informasi yang ia dapatkan. Dari contoh tersebut dapat kita analisis walaupun kita mempunyai struktur anatomi yang sama yakni mempunyai mata, telinga, otak, hati, dan sebagainya tetapi proses biologi dan cara memfungsikan anggota badan yang berbeda maka prilaku yang ditampilkan oleh individu tersebut berbeda pula. Biologi yang dijadikan sebagai dasar tingkah laku dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya factor genetic dan ada juga factor lingkungan. Misalnya seseorang yang menderita osteoporosis maka ia akan mengkonsumsi kalsium untuk kebutuhannya. Sedangkan yang dipengaruhi oleh factor lingkungan misalnya gaya hidup diet untuk menjaga penampilan tubuh. Berbagai kebutuhan dan gaya hidup tersebut menimbulkan keragaman dalam bertingkah laku, sedangkan tinngkah laku yang berbeda dapat dijadikan sebagai dasar bagi perbedaan budaya, antara individu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu dalam untuk mengetahui bagaimana dasar proses psikologi dapat dilakukan dengan berbagai penelitian oleh berbagai para ahli misalnya penelitian tentang persepsi, pandangan budaya dan persepsi, padangan budaya dan kognisi, pandangan budaya dan kesadaran serta mengetahui permasalahan terbaru dalam psikologi lintas budaya seperti pengukuran intelegensi. Budaya dan persepsi, persepsi merupakan pemahanan kita memproses stimulus tersebut. Persepsi banyak diartika oleh para ahli diantaranta Yusuf (Sobur : 2003: 446) menyatakan bahwa persepsi merupakan pemaknaan hasil pengamatan, sedangkan menurut Gulo (Sobur : 2003: 446) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada di lingkungannya melalui indra-indra yang dimilikinya. Maka persepsi merupakan tindakan seseorang memproses stimulus melalui organ-organ sensoriknya, untuk memehami sesuatu yang damatinya, sehingga ia sadar akan segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Sebagian besar penelitian dilakukan terfokus pada persepsi visual. Persepsi dapat berubah sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebagaimana yang telah dicontohkan tentang temperature, uji coba temperature tersebut mengidentifikasikan bahwa temperature itu tidak berubah tetapi yang berubah adalah pengetahuan klita dan penngalaman yang telah dialami. Maka persepsi akan berubah jika kita mengetahui banyak tentang sesuatu. Situasi dan pengalaman yang berbeda dapat membuat banyak hal terlihat menjadi berbeda hal ini menjadi landasan bahwa budaya mempengaruhi persepsi. Ada beberapa kajian yang mengkaji tentang persepsi diantaranya adalah ilusi optic. Ilusi optic adalah persepsi yang mengandung perbedaan antara kenampakan sebauh benda dengan benda yang sesungguhnya. Jika kita melihat sendok yang dimasukan kedalam air putih maka kita akan melihat sendok tersebut seolah olah patah tetapi yang sebenarnya sendok tersebut tidak patah. Ilusi dalam pembahasan ini ada beberapa macam diantaranya Ilusi Muller-lyer, Ilusi Horizontal Vertikal, dan ilusi ponzo.
Ilusi
Muller-Lyer
merupakan
sebuah
ilusi
dimana
sudut-sudut
perpanjangan suatu garis membuatnya lebih panjang atau lebih pendek tergantung pada arah dari sudut perpenjangan tersebut. Ilusi Horizontal Vertikal merupakan ilusi dimana sebuah garis vertical dan garis horizontal yang sama panjang dan ditempatkan berdekatan seolah panjangnya berbeda. Dan ilusi ponzo merupakan iludi psnjsng garis yang terjadi ketika garis horizontal ditempatkan diatas serangkaian garis yang melebar kearah kita. Dari ketiga ilusi terseut berpsrinsip sama yakni sesuatu yang garis yang sama panjang tetapi ditempatkan bebeda maka kita akan mempersepsi bahwa garis tersebut seolah-olah berbeda. Persepsi visual tersebut didasari oleh berbagai teori diantaranya adalah teori Carpentered World Theory atau teori lingkungan buatan, yang menyatakan bahwa pengalaman bertempat tinggal yang sebagian besar lingkungannya merupakan buatan manusia dan mempunyai sudut berbenuk persegi yang mempengaruhi cara kita mempersepsi garis. Teori yang kedua yakni Front-Horizontal Foreshortening Theory teori yang menyatakan bahwa kita cenderung melihat garis vertical seolah terentang dalam ruang dan melihat garis horizontal seolah melayang diatas kertas. Sedangkan Teori Symbolozing Three-Dimension-In-Two-Dimension menyatakan bahwa kita mempersepsi dunia secara berbeda karena pengaruh frekuensi melihat representasi dua dimensi dari objek tiga dimensi seperti pada gambar dan lukisan. Sebagian besar penelitian yang dilakukan terpusat pada bagaimana kebudayaan turut membentuk cara kita mempersepsi lingkungan kita secara visual. Meski penelitian berbicara tentang persepsi visual ada beberapa kajian yang mengindikasikan perbedaan cultural dalam persepsi. Persepsi dipengaruhi oleh beberpa factor diantanya factor usia, pematangan, lingkungan dan latar belakang kebudayaan. Persepsi berhubungan dengan kognisi. Persepsi merupakan cara manusia untuk mengangkap rangsangan sedangkan kognisi merupakan cara mempberi sumber pada rangsangan. Dalam istilah lain kognisi mencakup seluruh proses metal yang mengubah masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Dalam hubungannya dengan budaya, budaya sanat mempengaruhi proses berfikir.
Salah satu proses mental yang paling mendasar adalah cara bagaimana orang mengelompokan kedalam beberapa kategori, orang melakukan kategori berdasarkan
kemiripan-kemiripan
kemudian
melekatkan
label
untuk
mengelompokan hal yang kelihatannya mirip. Misalnya kursi bantal, kursi identik dengan tempat duduk, kursi yang popular misalnya kursi makan, kursi belajar. Orang erofa menganggap bahwa bigbag atau kursi bantal sebagai kursi meski betuknya berbeda tetapi mempuntai fungsi yang sama yakni tempat duduk. Fungsi bukanlah satu-satunya cara untuk mengelompokan sesuatu, bisa juga dengan mewakili ataupun dengan membandingkan. Salah satu aspek kognisi yang lain adalah ingatan, ingatan merupakan kekuatan fisik untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan-kesan atau informasi (Yusuf, 2003:26). Ingatan terdiri menjadi dua bagian yakni ingatan jangka pendek dan ingatan jangkla panjang. Setiap orang dari budaya yang berbeda tentunya mempunyai ingatan yang sangat berbeda pula. Hal ini juga terlihat perbedaan antara orang yang mengalami pendidikan dengan orang yang tidak megalami pendidikan. Aspek lain dalam kognisi adalah pemecahan masalah. Kebudayaan sangat mempengaruhi terhadap pemecahan masalah ini, misalnya dalam penggunaan kata silogisme, terhadap orang suku Bantu dengan orang yang mengalami pendidikan, tentunya orang suku Bantu tidak dapat menjawab soal silogisme tersebut karena suku Bantu terbiasa menggunakan penalaran secara logis, bukan secara verbal. Penelitian lintas budaya pada pembuatan keputusan menunjukan bahwa orang dari kelompok kebudayaan yang berbeda boleh menggunakan cara atau strategi yang sama. Salah satu aspek lainnya adalah creative. Kreatif yaitu kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dari yang telah ada atau sama sekali baru baik berupa benda fisik atau benda abstrak. ide, gagasan, pola pikir Orang yang kretif berfikir divergen daripada konvergen, hal ini menjadi kekhasan dalam pengukuran intelegensi. Orang yang creative berfikir menyebar jadi tidak terfokus pada satu pemikiran saja.
Budaya berhubungan dengan kesadara ini berarti bahwa kesadaran sebagai sebuah penempatan tindakan pikiran dan perasaan. kebudayaan dan kesadaran yang meliputi pembelajaran tentang mimpi, waktu dan persepsi kesedihan. Mimpi dari seseorang dengan budaya yang berbeda sangat berbeda tergatntung pada pengalaman yang sering mereka alami. Misalnya anak-anak yang tinggal di palestina yang selalu mengalami peperangan, mereka tentunya mempunyai mimpi yang berbeda dengan anak-anak yang tinggal di daerah yang penuh dengan kedamaian. Dalam perspektif waktu kebudayaan juga sangat berbeda terutama dalam masalah bisnis, misalnya orang jepang sangat menghargai waktu sekecil apapun, karena waktu sangat berharga. Toleransi dan perasan menyedihkan juga menjadi akar dari nilai budaya, sikap sabar dalam wajah dari peraaan sakit adalah idealis dan respon yang tepat untuk perasaan sakit adlah betul-betul dipertimbangkan untuk identitas bangsa Kata intelligence dalam bahasa inggris berasal dari sebuah kata latin yang dimunculkan sekitar dua ribu tahun silam oelh orator romawi, ciceros. Di amerika serikat kita menggunakan istilah intellegensi untuk mengacu pada sejumlah kemampuan, keterampillan, bakat dan pengetahuan yang berbeda yang secara umum mengacu pada kemampuan kognitif atau mental. Cara tiap budaya mendefinisikan intelegensi begitu berbeda, pengertian konsep ini sulit untuk dibandingkan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain dengan valid. Pandangan lain yang dipegang sebagian ahli psikologi lintas budaya adalah bahwa test intelegensi mengukur perbedaan yang nyata antar masyarakat yang berbeda tapi perbedaan tersebut tidak dipandang sebagai suatu kekurangan satu budaya dibanding dengan yang lainnya.
BAB IV KESIMPULAN A. Kesimpulan Dalam mengeksplorasi keberagaman budaya dan perbedaan psikologi dapat dijelaskan dasar pembentukan rangkain psikologi. Dalam mempelajari psiokologi salah satu hal yang harus dipelajari dalam biologi adalah system anatomi dan fisiologi yang sangat penting bagi tingkah laku manusia. Biologi dapat menyebabkan pskologi dengan asumsi komposisi biologi menyebabkan kecenderungan untuk bertingkah laku. Persamaan dan perbedaan fungsi gaya hidup, dan pengalaman dapat dijadikan sebagai dasar bagi budaya, yang didefinisikan
sebagai fungsi gaya hidup, diet, dan
pengalaman. Untuk mengetahui bagaimana dasar proses psikologi, dapat dilakukan dengan berbagai penelitian oleh berbagai para ahli misalnya penelitian tentang persepsi. Sebagian besar penelitian yang dibahas dalam bab ini mengenani persepsi terpusat bagaimana kebudayaan turut membentuk atau mengkonstruksi cara kita mempersepsi lingkungan kita secara visual. Jelas sekali bahwa persepsi merupakan suatu proses kontruksi atau proses menyusun informasi agar menjadi bermakna karena meruna merupakan suatu konstruksi persepsi kita pelajari seiring perkembnagan kita nmulai dari lahir, masa anak anak dan masa remaja. Persepsi bisa dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan diman kita dibesarkan. Cara kita mempersepsi dunia sekeliling kita, terutama bagi kita dipengaruhi oleh bagaimana budaya membantu kita mempelajari cara mengkonstruksi makna dan pemahaman dari informasi sensorik yang kita terima lewat indra kita. Meski memang sebagian besar penelitian di bidang psikologi ini berbicara tentang persepsi visual atau tentang ilusi optic, bukan berarti bahwa tidak ada penelitian lainnya. Beberapa kajian meski masih sporadic, yang mengindikasikan adanya perbedaan cultural dalam persepsi rasa sakit.
Ada beberapa kajian yang mengkaji tentang persepsi diantaranya adalah ilusi optic. Ilusi optic adalah persepsi yang mengandung perbedaan antara kenampakan sebauh benda dengan benda yang sesungguhnya. Ilusi dalam pembahasan ini ada beberapa macam diantaranya Ilusi Muller-lyer, Ilusi Horizontal Vertikal, dan ilusi ponzo. Persepsi visual tersebut didasari oleh berbagai teori diantaranya adalah teori Carpentered World Theory atau teori lingkungan buatan, yang menyatakan bahwa pengalaman bertempat tinggal yang sebagian besar lingkungannya merupakan buatan manusia dan mempunyai sudut berbenuk persegi yang mempengaruhi cara kita mempersepsi garis. Teori yang kedua yakni Front-Horizontal Foreshortening Theory teori yang menyatakan bahwa kita cenderung melihat garis vertical seolah terentang dalam ruang dan melihat garis horizontal seolah melayang diatas kertas. Sedangkan Teori Symbolozing Three-Dimension-In-Two-Dimension menyatakan bahwa kita mempersepsi dunia secara berbeda karena pengaruh frekuensi melihat representasi dua dimensi dari objek tiga dimensi seperti pada gambar dan lukisan. Apapun tampaknya jelas bahwa meski persepsi juga dipengaruhi oleh beberapa factor termasuk usia, kematanga lingkungan situasi dan latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang berpengaruh dalam persepsi kita terhadap dunia. Apa yang kita lihat mungkin sekali berbeda dengan apa yang dilahat dan diyakini orang lain dari kebudayaan yang berbeda. Pengaruh budaya pada persepsi ini mempertannyakan keprecayaan bahwa biudaya kita bisa lebih menangkap kebenaran absolute disbanding kebudayaan lain. Budaya
berhubungan
dengan
kognisi,
karena
budaya
mempengaruhi proses berfikir kita. Salah satu cara yang digunakan dalam hubungannya adalah kategorisasi. Kategori menjadi berbeda ketika orang mengalami latar belakang budaya yang berbeda. Dalam tugas penyortiran kita melihat adanya efek dari pengalaman sekolah, yang tidak akan disadari bila tidak dikaji oleh psikologi lintas budaya.
Dalam ingatan, ingatan terbagi menjadi dua yakni ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Adanya batasan terhadap efek posisi urutan dalam ingatan tergantung pada budaya. Dalam membahas pemecahan masalah keakraban cultural mempunyai pengaruh pada kemampuan orang untuk memecahkan masalah. Kita menyadari bahwa dunia ini semakin beragam dan semakin komplek. Penelitian lintas budaya berhasil menunjukan keterbatasan proses pemikiran kita. Pengalaman sekolah kita berpengaruh pada proses-proses berfikir. Beberapa pengarang kontemporer yang mempunyai pengaruh menyatakan bahwa kesadaran diri merupakan sebuah konstruk kebudayaan. kajian lintas budaya dari leteratur antropologi yang berhubungan dengan kebudayaan dan kesadaran yang meliputi pembelajaran tentang mimpi, waktu dan persepsi kesedihan. Setiap budaya mempunyai mimpi yang berbeda, digambarkan dengan seseorang yang tinggal di daerah yang penuh dengan pertarungan, dengan seseorang yang tingal di daerah yang nyaman, oleh karena itu mimpi dipengaruhi oleh pengalaman. Waktu bagi sebagian orang dari budaya yang berbeda tentunya sangat berbeda, menurut sebagian orang dari budaya tertentu waktu merupakan hal yang sangat berharga. Terlepas dari bagaiman kita menafsirka perbedaan lintas budaya dalam mengukur intelegensi kita harus menghargai nilai budaya lain. Lebih baik lagi apabila kita dapat mempertimbangkan evaluasi intelegensi di budaya lain menurut definisi budaya tersebut tentang intelegensi. Pemahaman lintas budaya tentang perbedaan dan definisi dan proses –proses intelegensi dan kognisi seharusnya membantu meningkatkan apresiasi dan penghargaan kita terhadap definisi-definisi intelegensi dan kognisi yang berbeda dari pandangan kita. Pandangan lain yang dipegang sebagian ahli psikologi lintas budaya adalah bahwa test intelegensi mengukur perbedaan yang nyata antar
masyarakat yang berbeda tapi perbedaan tersebut tidak dipandang sebagai suatu kekurangan satu budaya dibanding dengan yang lainnya.
B. Implikasi Budaya dasar proses tingkah laku sangat penting bagi konselor karena membahas bagaimana seorang konselor memahami dirinya dan memahami orang lain. Sebagaimana konsep psikologi lintas budaya yang focus utamanya pada tingkah laku manusia. Pada pembahasan ini dikaji beberapa penelitian tentang persepsi, kognisi dan intelegensi. Implementasi praktis bagi konselor diantaranya adalah konselor memadang bahwa individu itu dalam tingkah lakunya tentu dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor biologis yang mencakup genetic dan lingkungan seperti gaya hidup diet, hal ini sangat mempengaruhi terhadap tingkah laku individu. Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda, maka individu dengan latar belakang budaya yang berbeda mempunyai persepsi yang berbeda. Persepsi bisa berubah, dan persepsi juga dipengaruhi oleh beberapa factor diantaya adalah kematangan, factor usia dan factor pengalaman. Dalam menerima respon dari stimulus maka stimulus tersebut akan diproses
oleh
kognisi,
kognisi
mencakup
kreatifitas,
daya
ingat,
penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan. Dalam proses konseling konselor bisa memahami konseli dari segi kognisinya, kreativitas yang dihasilkan dan bagaimana konselor bisa membantu konseli dalam menyelesaikan masalah dan mengembil keputusan. Dari kajian tentang budaya dan persepsinya maka implikasinya konselor bisa lebih peka terhadap individu yang berada di sekitarnya, terutama konseli yang dihadapi. Bagaimana persepsi konseli, dan bagaimna cara berfikir konseli
tersebut sangat menentukan proses keberhasilan
konseling karena dengan mengenal karakteristik kepribadian konseli maka konselor bisa membantu koseli.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1992. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Matsumoto, David. 2004. Pengantar
Psikologi Lintas Budaya. Yogyakatra:
Pustaka Pelajar Sobur, Alex. Drs. M.Si.2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia Yusuf, Syamsu. Dr. H. LN. M.Pd. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya. Willis, Sofyan. Dr. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. http://group.e-psikologi .co.di/ group. Kontak dalam Budaya Multikultur. http://id.wikipedia.org../b/u/d/Budaya.html"http://id.wikipedia.org../b/u/d/Budaya. html" Budaya.