BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Permasalahan hak asasi anak telah menjadi isu global yang muncul dari fenomena sosial anak-anak terlantar, kelaparan, dan menjadi korban kekerasan. Sejarah perang dunia yang berkepanjangan menyebabkan banyak anak menjadi korban perang. Bahkan setelah perang berakhir pun, eksploitasi terhadap hak-hak anak justru semakin terjadi secara terangterangan di negara maju maupun berkembang. Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang berkepanjangan tak jarang berdampak pada sulitnya akses pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, dan perlindungan hukum bagi anak. Laporan UNICEF menjelaskan bahwa fenomena anak jalanan, pekerja anak, perdagangan anak, dan prostitusi anak yang semakin marak membuat Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child) pada 20 November 1989. Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu hak kelangsungan hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang, dan hak berpartisipasi. Dalam perkembangannya, Konvensi Hak-Hak Anak ini telah diadaptasi sesuai dengan kondisi negara-negara di seluruh dunia. Sebagai bentuk partisipasi dan komitmen terhadap perlindungan hak asasi anak, Indonesia telah menciptakan berbagai perangkat hukum dan undang-undang. Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 22 Oktober 2002 yang memuat ketentuan dan prinsip-prinsip dasar dalam Konvensi HakHak Anak. Di dalamnya, pengertian anak telah diperluas bukan hanya seseorang yang berusia di bawah 18 tahun seperti yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak, tapi juga termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 1
yang terarsip di dalam data Bappeda secara lebih detail menjelaskan tentang 31 hak anak lainnya. Karena hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), maka prinsip-prinsip HAM relevan untuk diterapkan sebagai pronsip hak anak. Adapun prinsip-prinsip HAM yang utama meliputi: prinsip inalienabilitas (tak terenggutkan), prinsip universalitas, serta prinsip individualitas dan interdependensi. Farid (2010) menambahkan dua prinsip tambahan, yakni “berpegang pada kepentingan terbaik anak” (the best interest of the child) dan “menghargai pendapat anak dengan mempertimbangkan usia dan tingkat kematangannya” (respect for the views of the child). Kedua prinsip ini perlu diterapkan secara saling bertautan. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa perlindungan hak anak seperti masih jauh dari apa yang tertera pada peraturan tertulis. Masih banyak anak yang hidup dalam kondisi yang jauh dari pemenuhan hak-hak dasarnya. Jaminan negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak belum optimal. Sebuah artikel Kompas pada Juni 2001 menyebutkan bahwa dalam periode 1992-2000 alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan masing-masing hanya 6 persen dan 3,9 persen. Dari semua hak yang direnggut dari anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara, ketidakadilan kerap kali justru berasal dari aparat pemerintah dan masyarakat sendiri yang memandang anak jalanan sebagai bagian marjinal yang tidak memiliki suara. Keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering juga mengalami penertiban (sweeping) oleh pemerintah kota setempat dengan alasan melanggar ketertiban. Data dari Bappenas menyebutkan bahwa jumlah anak jalanan di daerah Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2010 sudah mencapai angka 4.000. Sementara secara nasional, diperkirakan terdapat sebanyak 60.00075.000 anak jalanan di Indonesia. Data dari Departmen Sosial mencatat bahwa 60 persen putus sekolah. Fenomena tentang anak jalanan yang termarjinalkan dari kehidupan sosial masyarakat ini menjadi semakin
2
signifikan setelah dipicu krisis moneter dan ekonomi di Indonesia. Dari 39.861 anak jalanan yang dilaporkan survei Departmen Sosial tahun 1998, 48 persen di antaranya baru turun ke jalan di masa krisis. Dari jumlah itu, 13 persen mengalami masa putus sekolah. Di sisi lain, berbagai stigma negatif telah begitu lama diidentikkan pada lingkungan hidup anak-anak yang termarjinalkan dari lingkungan elit. Sumardi (2005) dalam bukunya yang berjudul “Melawan Stigma Melalui Pendidikan Alternatif” memaparkan tentang stigma yang berkembang di masyarakat bahwa anak, remaja, dan warga miskin pinggiran kota besar tak akan mampu keluar dari kemelut, dan kungkungan hidupnya. Hal tersebut dikarenakan salah mereka sendiri yang serba malas, bodoh, kotor, rawan, kriminal, labil, suka kekerasan, gampang tergantung pada pihak lain, patut dicurigai dan tak bisa dipercaya. Stigma ini, dianalogikan Sumardi, sebagai sesuatu yang sudah jadi nasib dari mereka yang tak mampu meraih martabat dan hak-hak asasi mereka untuk memperoleh pendidikan di negeri sendiri. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) muncul sebagai respon atas fenomena sosial ini. Sebuah yayasan bernama Sanggar Anak Akar yang bertempat di Jakarta telah bergerak sejak tahun 1994 untuk menciptakan rumah singgah dan model pendidikan alternatif yang berbasis pada perlindungan hak anak. Yayasan ini awalnya merupakan program biro advokasi anak dari Institut Seni Jakarta yang kemudian berdiri secara independen. Dengan mengemban misi untuk melaksanakan berbagai kampanye untuk menumbuhkan sikap penghargaan pada hak-hak dasar anak, Sanggar Anak Akar menggalang keterlibatan dan dukungan masyarakat sebagai wujud dari komitmen untuk mengembangkan potensi anak pinggiran lewat program-program pendidikan alternatifnya. Konsep dalam Sekolah Otonom Sanggar Anak Akar (SEKOSA) yang telah terbangun selama 18 tahun bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan humanistis yang berkualitas bagi anak-anak “pinggiran.” Sebutan anak pinggiran ini muncul sebagai eufimisme bagi anak-anak
3
yang haknya terpinggirkan. Tidak hanya pengetahuan dasar sekolah yang diusung dalam kurikulum pendidikan alternatif di sekolah ini, seni sebagai sarana aktualisasi diri pun menjadi bagian dari dinamika pengembangan dari modul belajar yang berbasis pengembangan pengetahuan (karya), kreativitas (cipta), kehendak (karsa), dan afeksi (rasa). Uniknya,
setiap
tahun
Sanggar
Anak
Akar
mengadakan
pertunjukan teater rutin sebagai bagian sebagai bagian dari kampanye hakhak anak. Sejak awal berdirinya 1994 Sanggar Anak Akar pada tahun 1994 sampai akhir tahun 2013, terhitung sudah ada 20 pertujukan teater yang mengangkat isu-isu tentang hak anak yang digelar untuk masyarakat luas. Di dalam perkembangannya, pertunjukan teater ini telah menjadi program besar yang telah dikenal oleh masyarakat luas, khususnya daerah Jakarta. Mulai tahun 2010, pertunjukan teater tahunan ini terintegrasi dalam event Akarnaval yang merupakan parade karya seni anak. Akarnaval digunakan sebagai strategi branding baru kampanye sosial Sanggar Anak Akar untuk publik. Penelitian ini akan mengkaji kampanye sosial yang dilakukan oleh Sanggar Akar lewat teater tahunan yang ditampilkan selama Akarnaval 2010-2013. Dengan mengambil obyek penelitian Yayasan Sanggar Akar, penelitian ini diharapkan bisa mengetahui bagaimana kampanye sosial yang dilakukan lewat seni pertunjukan teater di dalam sebuah organisasi sosial dikelola.
4
B. RUMUSAN MASALAH “Bagaimana pengelolaan kampanye tentang hak anak lewat seni pertunjukan anak pinggiran yang ditampilkan lewat teater tahunan dalam event Akarnaval Sanggar Anak Akar Jakarta tahun 2010-2013?”
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui pengelolaan kampanye tentang hak anak lewat seni pertunjukan anak pinggiran yang ditampilkan lewat teater tahunan dalam event Akarnaval Sanggar Anak Akar Jakarta tahun 2010-2013. 2. Untuk membandingkan perkembangan kampanye Sanggar Anak Akar Jakarta sebelum dan sesudah event Akarnaval Sanggar Anak Akar Jakarta tahun 2010-2013.
D. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Kampanye Sebagai Komunikasi Persuasif
Setiap kegiatan berkomunikasi yang bertujuan untuk mengubah pemikiran atau perilaku khalayak adalah bentuk komunikasi persuasif. Pace, Peterson, dan Burnett (1979) mendefinisikan persuasi sebagai tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu. Fungsi komunikasi untuk memberitahukan atau menerangkan (to inform) diperjelas oleh Mulyana (2009) sebagai sesuatu yang mengandung muatan
persuasif,
pendengarnya
dalam
mempercayai
arti
bahwa
bahwa
pembicara
fakta
atau
menginginkan
informasi
yang
disampaikannya akurat dan layak diketahui. Hal ini berarti informasi yang akan disampaikan untuk mempersuasi pendengar adalah bagian dari kepentingan pembicara. Melalui komunikasi, kepentingan tersebut dapat 5
termediasi. Fungsi komunikasi persuasif ini berlaku dalam konteks kampanye. Sebuah
organisasi
yang
memiliki
kepentingan
untuk
menyebarluaskan sesuatu baik ide, gagasan, produk, maupun kandidat melakukan aktivitas komunikasi untuk mencapai kepentingan tersebut. Fenomena kampanye mulai menjadi fokus perhatian di dunia komunikasi sejak tahun 1940-an. Saat itu, perbedaan yang nyata antara kampanye dan propaganda mulai ditegaskan. Walau sama-sama merupakan tindakan komunikasi terencana untuk mempengaruhi khalayak, kampanye dan propaganda berbeda dari segi sumber, waktu, sifat gagasan, tujuian, modus penerimaan pesan, modus tindakan, serta sifat kepentingan. Kriteria kampanye komunikasi menurut Venus (2012) terletak pada tujuh karakteristik mendasar. Pertama, sumber kampanye selalu dapat diidentifikasi dengan jelas. Kedua, kampanye senantiasa dilakukan dalam periode waktu tertentu. Ketiga, sifat gagasan-gagasan kempanye terbuka untuk diperdebatkan. Keempat, tujuan kampanye selalu jelas dan spesifik. Bahkan sebagian besar program kampanye memiliki tujuan yang dapat diukur dengan mudah. Kelima, kampanye sangat menekankan kesukarelaan dan menghindari pendekatan koersif. Keenam, dalam kampanye ada kode etik yang mengatur cara dilakukannya kegiatan. Ketujuh, kepentingan kedua belah pihak perlu diperhatikan agar tujuan dapat dicapai. Pfau dan Parrot (1993) mengartikan kampanye sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Sejalan dengan itu, Rogers dan Storey (1987)
mendefinisikan
kampanye
sebagai
serangkaian
tindakan
komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan menciptakan dampak tertentu pada sebagian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.
6
Di sini terlihat bahwa penekanan kampanye komunikasi terletak pada adanya: 1) Aktivitas komunikasi terencana, 2) Pesan untuk mempengaruhi khalayak, 3) Khalayak sasaran, 4) Tema spesifik dan sumber yang jelas, 5) Dalam jangka waktu tertentu. Jenis kampanye akan sangat bergantung kepada permasalahan yang disasar, serta tujuan yang ingin dicapai. Charles U. Larson (1992) membagi jenis-jenis kampanye komunikasi menjadi tiga bagian: a. product-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada produk, biasanya digunakan dalam kegiatan
promosi
komersial.
Kampanye
jenis
ini
bertujuan
membangun citra positif perusahaan serta meningkatkan penjualan. b. candiate-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada kandidat untuk kepentingan kampanye politik, misalnya pada kampanye pemilu. c. ideological or cause-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada dimensi perubahan sosial. Bisa juga disebut sebagai social change campaigns.
Dalam menganalisis proses kampanye, terdapat beberapa model yang dapat digunakan sesuai dengan jenis kampanye. Model kampanye Ostergaard dan model difusi inovasi misalnya, merupakan model yang dapat diterapkan dalam dalam product-oriented campaign dan social change campaign. Sementara “The Communicative Functions” sering digunakan sebagaimana model kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik atau yang biasa disebut candidate-oriented campaigns. Sebagai bagian dari komunikasi persuasif, kampanye dibagi oleh Pfau & Parrot (1993) ke dalam 3 tahapan. Pertama, tahap perencanaan (planning) yang merupakan tahap menentukan topik yang berpengaruh, mengidektifikasi
dan
memahami
kelompok
sasaran
yang
ingin
dipengaruhi, dan membuat sketsa objektif persuasif yang dihubungkan
7
dengan tiap kelompok dan topik yang berpengaruh tersebut. Kedua, tahap pelaksanaan (implementation) yang merupakan proses pengambilan keputusan secara sadar, sengaja, dan teoritis yang berhubungan dengan rancangan pesan, sumber pesan, dan pemilihan saluran dalam rangka memperoleh tujuan tertentu dengan audiens. Ketiga, tahap evaluasi untuk melakukan pengukuran hasil akhir secara sadar dan sengaja yang berkaitan dengan rancangan pesan, sumber pesan, dan pemilihan saluran dalam memperoleh tujuan tertentu dengan audiens. Sementara
itu
menurut
Ruslan
(1997),
untuk
mencapai
keberhasilan persuasi dalam berkampanye, ada beberapa teknik kampanye yang lazim digunakan, yaitu: a. Partisipasi (participating) Teknik yang mengikutsertakan (partisipasi) atau peran serta komunikasi atau audiensi yang memancing minat atau perhatian yang sama ke dalam suatu kegiatan kampanye dengan tujuan untuk menumbuhkan saling pengertian, menghargai, kerjasama, dan toleransi. b. Asosiasi (association) Menyajikan isi kampanye yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau objek yang tengah ramai atau sedang “in” dibicarakan agar memancing perhatian masyarakat. c. Teknik integratif (integrative) Teknik ini bagaimana untuk menyatukan diri (komunikator) kepada khalayaknya secara komunikatif dengan mengucapkan kata-kata seperti: “kita, kami, anda atau untuk anda, dan sebagainya yang mengandung makna bahwa yang disampaikan pihak komunikator bukan untuk kepentingan dirinya atau organisasinya, atau bukan untuk mengambil keuntungan sepihak, tetapi mengambil manfaat secara besama, demi untuk kepentingan bersama. d. Teknik ganjaran (pay off technique)
8
Bermaksud untuk mempengaruhi komunikan dengan suatu ganjaran (pay off) atau menjanjikan sesuatu dengan “iming-iming hadiah”. Hadiah tersebut bisa berupa benefit (manfaat), kegunaan, dan bisa juga berupa ancaman, atau suatu yang menakutkan. e. Teknik penataan patung es (icing technique) Upaya dalam menyampaikan pesan kampanye sedemikian rupa sehingga enak dilihat, didengar, dan dirasakan, dan sebagainya. f. Memperoleh empati (empathy) Suatu teknik berkampanye dalam menempatkan diri dalam posisi komunikan, ikut merasakan dan peduli terhadap situasi dan kondisi yang sedang dialami pihak komunikan. g. Teknik paksaan (coersion technique) Lebih menekankan paksaan yang dapat menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi komunikan.
2. Konstruksi Pesan Dalam Kampanye Berdasarkan apa yang dirujuk oleh Bettinghaus (1973); Applbaum & Anatol (1976); Shimp dan Delozier (1986); serta Johnston (1994) dalam dalam Venus (2012), setidaknya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kampanye, yaitu isi pesan dan struktur pesan. a.
Isi pesan Aspek isi pesan memiliki kontribusi besar dalam membangun
kualitas konten. Beberapa hal yang terkait dengan isi pesan harus diperhatikan, mulai dari materi pendukung, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. Material pendukung dalam pesan kampanye sangat didasari pada data dan ilustrasi yang mendukung tersampaikannya argumen yang kuat. Pada dasarnya, pesan yang diikuti dengan contoh akan lebih efektif untuk
9
menyasar perubahan perilaku audiens, karena mampu memberikan kekuatan pada isi pesan. Dari material pendukung, isi pesan membutuhkan ruang untuk memvisualisasikan diri ke hadapan audiens. Visualisasi mengenai dampak positif atau negatif atas respons tertentu yang diharapkan muncul dari khalayak sasaran dapat memberikan gambaran atas konsekuensi yang mereka pilih, baik ketika melakukan apa yang menjadi pesan kampanye ataupun tidak. Itulah sebabnya, beberapa kampanye sosial biasanya disertai dengan data statistik seperti tingkat kecelakaan di jalan raya yang semakin tinggi, atau contoh-contoh nyata berupa foto bagian paru-paru yang rusak akibat rokok. Pendekatan sebagai sudut pandang untuk mengkonstruksi isi pesan kampanye pun harus diputuskan sesuai dengan target khalayak. Pelaku kampanye harus melihat pesan dan memutuskan tipe pendekatan seperti apa yang paling sesuai dengan target kampanye. Umumnya, kampanye menggunakan pendekatan emosional, rasa takut, kreativitas, humor, serta pendekatan kelompok rujukan untuk mendekati audiens. Melalui pendekatan emosional, orang akan lebih menerima pesan berdasarkan dimensi afektif yang dimilikinya. Pesan dikonstruksi agar dapat menyentuh perasaan audiens untuk mengkondisikan diri mereka untuk terlibat langsung dalam situasi yang digambarkan dalam kampanye. Sementara untuk pendekatan rasa takut, pelaku kampanye menunjukkan buruknya dampak perilaku tersebut, seperti resiko penyakit kanker bagi para perokok. Namun himbauan rasa takut pun tidak selamanya efektif. Di Ontario, Kanada, kampanye pemakaian sabuk pengaman dengan himbauan rasa takut akan cidera ternyata lebih efektif ketimbang rasa takut terbunuh dalam kecelakaan lalu-lintas. Temuan ini menyatakan bahwa himbauan rasa takut yang berlebihan akan mengakibatkan pesan tidak efektif.
10
Lain halnya dengan pendekatan kelompok rujukan khalayak. Kelompok rujukan adalah sekumpulan orang yang memberikan inspirasi tertentu pada orang lain dan mereka menjadi panutan atau model untuk dicontoh. Orang atau kelompok yang menjadi rujukan ini adalah mereka yang memiliki pengaruh tinggi di lingkungan target audiens, yang berarti kemungkinan audines untuk mengadopsi isi pesan kampanye akan lebih mudah. Oleh karena itu beberapa kampanye menggandeng tokoh, artis, atlit,
dan
selebiriti
untuk
mempopulerkan
kampanye
sekaligus
memperkuat strategi persuasi.
b.
Struktur Pesan Dalam konstruksi pesan kampanye, elemen struktur pesan
memegang peran penting dalam menyusun keseluruhan makna yang akan didapatkan oleh audiens. Istilah struktur pesan merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan kampanye yakni sisi pesan (message sidedness), susunan penyajian (order of presentation), dan pernyataan kesimpulan (drawing conclusion). Aspek pertama, sisi pesan (message sidedness) adalah aspek struktur tentang bagaimana argumentasi yang mendasari suatu pesan persuasif disajikan kepada khalayak. Pola pesan satu sisi (one-sided fashion) digunakan ketika pelaku kampanye hanya menyajikan pesan yang mendukung posisinya. Pola ini biasanya digunakan untuk khalayak yang sudah mendukung posisi pelaku kampanye, khalayak yang sulit memahami isu, serta khalayak yang tidak menyadari adanya argumentasi yang bersebrangan. Sementara pola pesan dua sisi (two-sided message) digunakan ketika pelaku kampanye menyajikan sebagian dari kelemahan posisinya atau sebagian dari kelebihan dari posisi pihak lain. Argumentasi dua sisi akan terlihat objektif dan lebih efektif untuk khalayak cerdas, aktif, dan tingkat kebutuhan informasinya tinggi, yang belum sepakat dengan posisi yang ditawarkan oleh pelaku kampanye.
11
Aspek kedua, yaitu penempatan argumentasi dalam pesan adalah tahap penentuan apakah argumentasi akan ditempatkan di awal, di tengah, atau di akhir dari suatu pesan kampanye. Penempatan ini erat kaitannya dengan cara penyusunan pesan yang meliputi susunan klimaks, antiklimaks, dan susunan piramidal. Bila pelaku kampanye menginginkan pengaturan klimaks, maka ia harus menempatkan argumentasi terbaiknya di bagian akhir. Sebaliknya, untuk antiklimaks, argumentasi terbaik ditempatkan di bagian awal pesan kampanye. Sementara untuk susunan piramidal, argumentasi paling penting diletakkan di tengah pesan kampanye. Aspek ketiga berkaitan dengan pola pernyataan kesimpulan. Pelaku kampanye dapat menyajikan kesimpulan pesan secara eksplisit atau secar implisit.
Penentuan
tersebut
didapat
dengan
memperhitungkan
karakteristik khalayak dari berbagai segi, baik dari segi demografis maupun psikologis, seperti tingkat pendidikan, kepribadian, dan nilai-nilai yang dijunjung oleh khalayak sasaran. Perancangan pesan dalam komunikasi sebuah kampanye pun melibatkan strategi untuk membentk informasi atau berita. Harwood Childs dalam Ruslan (1997) menerangkan tentang strategi persuasi, yaitu berkampanye untuk membujuk atau menggalang khalayak melalui teknik sugesti atau persuasi untuk mengubah opini publik dengan mengangkat segi emosional dari suatu cerita, artikel, atau featuris berlandaskan humanity interest. Hal ini dapat dijadikan panduan dalam mengonstruksi elemen-elemen pesan dalam produksi sebuah kampanye. Seperti yang telah diketahui, elemen struktur pesan memegang peran penting dalam menyusun keseluruhan makna yang akan didapatkan oleh audiens.
3. Manajemen Komunikasi Manajemen dapat diartikan sebagai proses-proses pengoranisasian dalam sebuah sistem. Sebuah sistem komunikasi terpadu yang terbentuk dalam organisasi membutuhkan fungsi manajemen untuk perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Fungsi dasar manajemen terebut adalah untuk
12
merencanakan,
melaksanakan,
dan
mengevaluasi
proses
kegiatan
komunikasi yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Menurut M.T. Myers & G.E. Myers (1987), komunikasi memungkinkan seseorang untuk mengkoordinasikan suatu kegiatan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama, tetapi komunikasi tidak hanya sekedar penyampaian informasi/pesan dan mentransfer makna saja. Artinya, komunikasi mengandung arti suatu proses transaksional, yaitu berkaitan erat di mana orang berkomunikasi dengan pihak lainnya dalam upaya mempertukarkan suatu simbol/lambang, dan membentuk suatu makna serta mengembangkan harapan-harapannya. Sementara itu, Dessler (1996) mengelompokkan fungsi dasar manajemen
meliputi
planning
(perencanaan),
organizing
(pengorganisasian), staffing (pengelolaan staff), leading (pengarahan), dan controlling (pengontrolan atau pengendalian). 1. Planning (perencanaan) Perencanaan meliputi penentuan tujuan dan penentuan langkah tindakan,
pengembangan
aturan
dan
prosedur-prosedur,
pengembangan rencana (baik untuk organisasi maupun bagi yang akan
mengerjakan
rencana),
serta
melakukan
peramalan
(predicting). 2. Organizing (pengorganisasian) Pengorganisasian meliputi pemberian tugas kepada masing-masing bawahan; pembuatan struktur organisasi; pendelegasian wewenang kepada bawahan; membuat jaringan komando (network command), dan pengkoordinasian pekerjaan bawahan. 3.
Staffing (pengelolaan staff) Meliputi
penentuan
jenis
karyawan
yang
harus
direkrut,
penyeleksian karyawan, penentuan kriteria penampilan (kinerja) karyawan. 4.
Leading (pengarahan)
13
Pengarahan diwujudkan dalam bentuk memberi perintah agar pekerjaan diselesaikan, menjaga semangat, memotivasi, memberi apresiasi, dan menghukum bawahan yang tidak menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawab mereka. 5. Controlling (pengontrolan atau pengendalian) Pengontrolan berarti menentukan standar kinerja atau penampilan, membandingkan penampilan sesungguhnya dengan standar tadi, dan melakukan perbaikan apabila diperlukan. Pengontrolan bisa juga dikatakan sebagai evaluasi.
Manajemen komunikasi bisa diartikan sebagai pengelolaan komunikasi sebuah organisasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam konteks komunikasi. Konteks di sini berarti semua faktor di luar orangorang yang berkomunikasi, yang dipaparkan Mulyana (2009) terdiri dari aspek fisik, aspek fisiologis, aspek sosial, dan aspek waktu. Indikator paling
umum
untuk
mengklasifikasikan
komunikasi
berdasarkan
konteksnya adalah dengan melihat jumlah pesertanya. Berdasarkan hal tersebut, komunikasi dibagi ke dalam ranah komunikasi intrapribadi, komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi publik, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Manajemen
komunikasi
dilakukan
melalui
method
of
communication and state of being yang, menurut Ruslan (2002), berkaitan erat dengan beberapa kegiatan utamanya yaitu:
a. Human Relations Human relations dalam praktik manajemen lembaga/organisasi berarti interaksi antara seseorang dengan orang lain dalam segala aspek kehidupan untuk memperoleh kepuasan bagi kedua belah pihak. Sementara human relations dalam arti sempit, hanya terjadi pada
situasi
tertentu,
organisasi/perusahaan.
14
misalnya
hubungan
kerja
dalam
b. Komunikasi manajemen Organisasi sebagai kerangka kerja (frame of work) dari suatu manajemen yg jelas antara yang menunjukkan adanya pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas antara pimpinan dan bawahan dalam suatu sistem manajemen modern.
Komunikasi menjadi elemen utama dalam manajemen sebuah organisasi beserta program-programnya. Menurut George R. Terry (1972), terdapat lima macam komunikasi yang berlaku dalam manajemen organisasi, yaitu: 1. Komunikasi formal Komunikasi dalam jalur organisasi formal memiliki wewenang dan tanggung jawab melalui instruksi-instruksi lisan dan tertulis sesuai dengan prosedur yang berlaku. 2. Komunikasi non-formal. Terjadi di luar komunikasi formal secara spontan. Komunikasi ini berada dalam konteks menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan tugas, kewajiban, dan sebagainya. 3. Komunikasi informal Terjadinya kontak human relations lebih dominan yang berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan, lebih sensitif, dan sentimentil. Komunikasi informal dipergunakan oleh bagian personel dalam upaya mengetahui lebih dalam mengenai aspek psikologi karyawan/pekerja. 4. Komunikasi teknis Hubungan komunikasi yang bersifat teknis, hanya dipahami para tenaga kerja khusus yang berkaitan dengan pekerjaan tertentu. 5. Komunikasi prosedural Komunikasi yang lebih dekat dengan komunikasi formal tentang pedoman teknis pekerjaan. Hubungan pekerjaan antara pimpinan dan bawahan ditetapkan dalam bentuk peraturan mengenai suatu
15
deskripsi wewenang,
jabatan dan spesifikasi maupun
tanggung
teknis mengenai jawab
fungsi,
masing-masing
personel/karyawan.
Pengelolaan berdasarkan konteks dan tipenya inilah yang menjadi patokan dalam sistem manajerial sebuah organisasi atau institusi yang melakukan aktivitas-aktivitas dalam ranah komunikasi. Manajemen komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang yang telah ditetapkan di awal.
E. KERANGKA KONSEP Apresiasi terhadap hak-hak anak yang termarjinalkan oleh lingkungannya menjadi semangat utama dari kampanye sosial yang dilakukan oleh yayasan Sanggar Anak Akar. Kampanye sosial ini dikomunikasikan lewat proses edukasi dan latihan yang terjadi selama proses produksi, sehingga dapat menghasilkan karya teater anak yang dapat ditonton oleh publik sasaran dalam acara Akarnaval. Berangkat dari keinginan untuk memperjuangkan hak anak pinggiran, tim pengurus Sanggar Anak Akar konsisten melakukan kampanye selama 20 tahun terakhir. Kata pinggiran dipakai untuk merujuk kepada kondisi akibat tatanan masyarakat yang tidak adil. Ketidakadilan ini terefleksikan dalam berbagai bentuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar anak yaitu hak kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak memperoleh perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi. Kampanye yang bersifat persuasif ini berorientasi pada dimensi perubahan sosial, sehingga dapat dikategorikan dalam jenis
ideological
atau cause-oriented
campaigns. Kampanye ini bisa juga disebut sebagai social change campaigns, atau kampanye sosial. Kampanye sosial merupakan upaya terencana oleh pihak yang jelas dengan maksud mengubah perilaku anggota masyarakat, melalui
16
pengembangan wacana tentang sesuatu yang dianggap penting bagi masyarakat. Dalam hal ini, Sanggar Anak Akar menjadikan teater sebagai “paket pesan” tentang hak-hak anak yang mereka hantarkan sebagai produk inovasi kampanyenya. Media teater dipilih sebagai alat komunikasi massa yang dinilai inovatif untuk membuat masyarakat mengadopsi ide dan gagasan yang ingin mereka sampaikan. Hal ini sesuai dengan teori difusi inovasi yang dikembangkan oleh Everett M. Rogers dalam Venus (2012). Ia menekankan pada proses kampanye yang berdampak kepada publik, dimulai dari tahap informasi, persuasi,
keputusan
penerimaan
percobaan,
kemudian
konfirmasi
reevaluasi. Sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang hak-hak dasar anak pinggiran, Sanggar Anak Akar harus melewati keseluruhan tahapan manajemen kampanye, khususnya pada proses pengonstruksian pesan tentang perlindungan hak-hak anak lewat seni pertunjukan teater tahunan Sanggar Anak Akar. Penelitian ini akan mengkaji proses pengelolaan dalam kampanye yang dilakukan oleh Sanggar Akar lewat seni pertunjukan teater sebagai media
penyampai
pesannya.
Pengelolaan
kampanye
melingkupi
kemampuan merancang, melaksanakan, mengendalikan, dan mengevaluasi suatu program kegiatan secara rasional, realistis, efektif, dan efisien. Pendekatan yang digunakan untuk melihat pola kampanye dalam studi kasus ini adalah dengan model kampanye Ostergaard yang terdiri dari tahap pra-kampanye, pengelolaan, dan output. Berdasarkan model kampanye Ostergaard, langkah pertama yang harus dilakukan sebagai tahap pra-kampanye adalah mengidentifikasi masalah faktual yang ada, kemudian mencari hubungan sebab-akibat. Kemudian pengelolaan kampanye dilakukan meliputi perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Output akhirnya adalah perubahan perlilaku khalayak sasaran dari segi pengetahuan (knowledge)¸ sikap (attitude), dan keterampilan (skill).
17
Selanjutnya untuk memfokuskan penelitian pada ranah komunikasi persuasif, proses pengelolaan kampanye dianalisis menggunakan model Pfau & Parrot (1993) ke dalam 3 tahapan, yaitu tahap perencanaan (planning), tahap pelaksanaan (implementation), dan tahap evaluasi. Garis besar model ini dirumuskan menjadi tahapan-tahapan dalam proses pengonstruksian pesan kampanye yang dapat diaplikasikan dalam pola kerja tim manajemen kampanye Sanggar Anak Akar. Masing-masing proses memiliki indikator dan aspek lebih lanjut yang dapat digunakan untuk menganalisa keseluruhan kampanye. Dalam studi kasus kampanye hak anak yang gencar dilakukan oleh Sanggar Anak Akar, pemilihan format teater sebagai saluran media untuk menyampaikan pesan untuk khalayak luas merupakan tindakan strategis untuk membentuk persepsi penonton. Sanggar Anak Akar membuat agenda tertentu mengenai apa yang harus dipikirkan oleh khalayaknya dengan mengemas pesan kampanye lewat seni pertunjukan. Teater yang telah menjadi agenda tahunan ini menjadi perwujudan nyata dari teori difusi inovasi yang menjelaskan bagaimana inovasi-inovasi tertentu berkembang, kemudian diadaptasi oleh masyarakat luas. Menurut teori ini, ide, kritik, maupun pemikiran baru lebih efektif jika disampaikan oleh opinion leader. Sebagai sebuah organisasi yang merepresentasikan suara anak pinggiran, Sanggar Anak Akar dipandang sebagai penggerak dalam jaringan sosial kelompok masyarakat untuk mengembangkan inovasi ini, terutama dalam koridor kampanye perlindungan terhadap hak anak. Dengan berpatokan pada tahapan-tahapan yang dapat dilakukan dalam proses pengonstruksian pesan kampanye, proses pengelolaan kampanye yang dilakukan tim manajemen kampanye Sanggar Anak Akar lewat teater anak pada event Akarnaval 2010-2013 dapat dipetakan dan dianalisis.
18
F. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif. Untuk mengkhususkan arah penelitian, peneliti mengambil metode studi kasus. Menurut Yin (2005), metode studi kasus adalah metode yang paling memadai untuk menjawab tipe pertanyaan “how” dan “why”. Studik kasus dilakukan untuk memperdalam kasus yang diteliti. Syaratnya, kasus harus spesifik (mempunyai keunikan atas konteks alamiah; sejarah; lingkungan fisik; konteks ekonomi, politik, sosial, estetika), dibatasi waktu, dan dalam proses pengumpulan datanya menggunakan banyak ragam sumber. Dalam penelitian studi kasus terdapat tiga tipe penelitian, yaitu penelitian eksplanatoris, eksploratoris, dan deskriptif. Penelitian ini akan menggunakaan tipe studi kasus deskriptif yang bersifat memaparkan situasi atau peristiwa. Oleh karena itu, menurut Rakhmat (2009) ia tidak ditujukan untuk mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis, atau membuat prediksi. Seringkali penelitian deskriptif digunakan saat ada suatu peristiwa yang menarik perhatian peneliti, tetapi belum ada kerangka teoritis untuk menjelaskannya. Peneliti bergerak untuk menjawab pertanyaan bagaimana pesan kampanye sosial dikonstruksikan melalui penampilan seni teater musikal, dengan menggunakan berbagai sumber bukti. Penelitian ini menarik untuk dijadikan sebagai studi kasus karena memiliki konteks sejarah, ekonomi, sosial, dan dimulai dari waktu tertentu yaitu sejak tahun 2010 dan masih berlangsung sampai sekarang.
1. Lokasi Penelitian Tempat
: Di Sanggar Anak Akar, Jl. Inspeksi Saluran Jatiluhur No. 30 RT. 007/001 Cipinang Melayu Gudang Seng, Jakarta, Indonesia 13620.
Waktu
: September 2013 19
2. Objek Penelitian Objek penelitian adalah proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi yang dilaksanakan oleh tim manajemen kampanye hak-hak anak dalam teater tahunan Sanggar Anak Akar. Pengambilan data internal difokuskan kepada pelaksana kampanye yang terdiri dari anak-anak Sanggar Anak Akar, alumni Sanggar Anak Akar, dan para sahabat akar. Waktu untuk lingkup objek penelitian ini adalah kampanye lewat teater musikal yang dilakukan Sanggar Anak Akar pada tahun 2010 sampai 2013, yaitu: 1.
Nyanyian Negeri Pelangi (2010);
2.
Lentera Rumah Kita (2011);
3.
Gema Gita Mahardhika (2013); dan
4.
Swarga di Khatulistiwa (2013) Pengambilan empat sampel pertunjukan ini didasari pada
pertimbangan adanya momen launching event “Akarnaval” sebagai branding yang mengintegrasikan teater musikal tahunan tersebut dalam rangkaian acara utamanya. Akarnaval merupakan kegiatan parade kreasi anak di ruang terbuka sebagai ruang interaksi sosial antara Sanggar Anak Akar dengan masyarakat. Rangkaian program-program ini sudah dimulai sejak tahun 1998, namun sempat ini terhenti beberapa kali. Program dimulai lagi dengan branding baru menggunakan nama Akarnaval mulai tahun 2010 dan masih berlanjut ketika penelitian ini dibuat sampai waktu yang tidak ditentukan.
3. Metode Pengumpulan Data a. Observasi Peneliti masuk ke dalam objek penelitian sebagai observer untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya, seperti interaksi anggota, perumusan strategi, serta aktivitas komunikasi. Tujuan dari observasi ini adalah untuk memberikan gambaran lebih
20
luas tentang kondisi yang terjadi di dalam lingkungan Sanggar Akar, pola komunikasi, serta dinamika kampanye sosial. Dalam proses observasi, peneliti tinggal di Sanggar Anak Akar untuk mengamati proses manajemen dan produksi pesan dalam kampanye lewat teater Swarga di Khatulistiwa. Selain itu, peneliti juga dilibatkan di dalam kepanitiaan Akarnaval 2013 untuk memberikan pengalaman langsung terhadap sistem kerja tim Sanggar Anak Akar.
b. Wawancara (in-depth interview) Metode in-depth interview digunakan dengan mewawancarai para pemegang jabatan penting dalam manajemen kampanye. Terdapat 3 orang narasumber primer yang berhasil diwawancarai dalam penelitian, yaitu: 1. Uwak Ibe Karyanto (Sutradara teater, scriptwriter, konseptor pertunjukan dalam Akarnaval. Pendiri Sanggar Anak Akar sekaligus Rektor SEKOSA) 2. Pakde Susilo Adinegoro (Produser teater musikal Akarnaval, Ketua Yayasan Sanggar Anak Akar) 3. Dede Supriyatna (Pimpinan Produksi teater musikal Sanggar Anak Akar dalam Akarnaval 2013) Tujuan wawancara dengan ketiga narasumber ini adalah untuk mengetahui secara lebih spesifik tentang konteks acara yang terkait dengan tema penelitian.
c. Studi pustaka dan dokumentasi Studi pustaka berasal dari buku, majalah, jurnal, surat kabar, serta dokumentasi dari subjek penelitian sebagai pendukung untuk menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Sementara dokumentasi berasal dari arsip resmi Akarnaval 2010-2013 yang didapatkan dari tim sekretariat Sanggar Anak Akar.
21
4. Metode Analisis Data Penelitian
ini
menggunan
desain
kasus
tunggal
yang
memungkinkan pengajian sifat umum kampanye sosial sebagai obyek yang diteliti. Adapun tahapan dalam strategi analisis penelitian ini akan berpedoman kepada tiga tahap analisis: a.
Reduksi data Data yang terkumpul selama observasi, wawancara, dan studi dokumentasi difokuskan kepada area yang lebih spesifik dan terarah. Data dikategorikan berdasarkan tahun kampanye dari 2010-2013. Dari data-data yang telah disortir, kemudian dipilih yang relevan dengan proses pengelolaan kampanye.
b.
Penyajian data Penyajian data dari data yang telah tereduksi diturunkan ke dalam kategori berdasarkan fase pengelolaan, yaitu fase perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
c.
Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan setelah menganalisis data yang telah terkategori. Kesimpulan diambil setelah melihat bagaimana proses pengelolaan yang dilakukan oleh tim manajemen kampanye Sanggar Anak Akar, serta dinamika perkembangannya dari tahun ke tahun dalam rentang waktu 2010-2013.
Teknik analisa yang digunakan adalah teknis analisa kualitatif yang bersifat induktif. Hal ini berarti penelitian mendasarkan pada logika yang berawal dari proporsisi khusus dan berakhir pada kesimpulan yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep, pengertian, dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang ditemui di dalam data.
22