BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pembahasan tentang film Indonesia adalah topik yang luas. Lebih dari sekedar aktor
dan aktris, alur skenario yang disajikan, atau siapa produser maupun sutradara film saja. Film merupakan suatu industri yang terbentuk dari tiga mata rantai utama. Ketiga mata rantai utama tersebut yakni produksi, distribusi, dan ekshibisi1. Rantai produksi meliputi semua pekerjaan mulai dari pemilihan ide cerita sampai film siap didistribusikan. Rantai distribusi meliputi semua kegiatan menyebarluaskan film agar bisa dinikmati penonton. Sedangkan rantai ekshibisi meliputi semua pekerjaan menayangkan film di bioskop oleh jaringan bioskop 2. Usmar Ismail juga pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul Mengupas Film, bahwa dalam membicarakan perkembangan film di Indonesia, maka film itu haruslah ditilik dari segiseginya sebagai hasil industri dan barang perdagangan, hasil cipta kebudayaan, serta alat komunikasi massa (alat propaganda, alat penerangan, dan alat-alat pendidikan)3. Keberagaman
pandangan
ini
secara
singkat
menyatakan
bahwa
setiap
film adalah produk budaya sekaligus produk industri. Masing-masing fungsi atau peran itu memiliki pertanggungjawabannya sendiri terhadap para pemangku kepentingan (stakeholder) film4. Film sebagai produk budaya hanya perlu apresiasi dalam penilaian mutunya, namun di sisi lain film sebagai produk industri memerlukan profit dalam mengganjar proses produksinya. Pemasukan film bisa datang dari berbagai sumber seperti dari penjualan tiket di bioskop-bioskop, penjualan rekaman (VCD/DVD), pendapatan sewa, dan pendapatan dari pemutaran ulang di televisi5. Atau bahkan bisa lebih dari itu, tergantung bagaimana pemasaran sebuah film itu berjalan. Tak heran jika segala alternatif cara digunakan untuk memasarkan suatu film.
1
Heru Effendy. 2014.Mengawal Industri Film Indonesia. Jakarta: KPG. Hal. 3. Ibid. 3 Usmar Ismail. 1983. Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 67. 4 https://hikmatdarmawan.wordpress.com/2014/04/06/film-indonesia-sebagai-industri-konten/. Diakses pada tanggal 25 April 2015. Pukul 10.15 WIB. 5 Ibid. 2
Pendapatan yang diperoleh satu film Indonesia yang laris seperti Habibie Ainun saja misalnya, jika mengalikan 4 juta penontonnya dengan Rp 10.000,- (uang tiket bioskop yang masuk ke produser6) sudah mencapai Rp 40 Milyar. Belum ditambah dengan kerjasama produser dengan pengedar home video (VCD/DVD) yang menurut berbagai sumber saat ini bisa berkisar sampai Rp 150 juta7. Ditambah lagi dengan pemutaran ulang di televisi yang jika ratingnya bagus bisa mendapat hak siar lebih dari dua kali. Maka demi mendapatkan keuntungan yang besar, strategi pemasaran terhadap film memang diperlukan. Bahkan, jika menilik pada fenomena industri film Internasional saat ini, pola yang disajikan bukan hanya menciptakan film yang bisa “ditonton”, tetapi juga yang bisa “berinteraksi” dengan penontonnya. Sebut saja cara yang dilakukan oleh Trilogi The Hunger Games (2010, 2012, dan 2015), Sekuel Harry Potter (2001-2011), atau film-film animasi Jepang. Mereka menciptakan calon penonton jauh dari sebelum filmnya rilis di bioskop. Sejak setahun atau beberapa bulan sebelum film rilis, pihaknya menciptakan game online, berbagai merchandise, atau mempersilakan penggemar untuk merangkai skenario lanjutan yang akan dipakai–biasa disebut dengan user generated content movie, dan lain sebagainya8. Dari interaksi-interaksi semacam itulah yang menjadikan film sudah mencapai popularitasnya terlebih dahulu sebelum rilis. Apabila dibandingkan dengan industri film Indonesia, ternyata masih sangat sedikit yang mengaplikasikan pola interaksi semacam itu. Produser Film Filosofi Kopi, Handoko Hendroyono dalam wawancara pra-riset penelitian ini menceritakan bahwa kecenderungan pembuat film di Indonesia ini membuat film sampai rilis dahulu kemudian melihat jumlah penontonnya baru membuat konten pemasaran setelahnya9. Berkebalikan dengan sudah berlangsung di dunia internasional. Imbasnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang lebih senang menonton film-film impor dibandingkan film-film hasil karya anak bangsa. Meski bisa jadi kecenderungan itu berkaitan juga dengan efek gambar, akting para pemain, atau bahkan alur cerita film Indonesia yang membosankan. Berhubungan dengan hal ini Usmar Ismail pernah menyatakan dalam bukunya bahwa: “Prasangka terhadap mutu film Indonesia memang sudah agak berurat dan berakar di bawah kesadaran masyarakat. Salah satu pendapat yang biasa dikemukakan, ialah bahwa film Indonesia itu kesandiwara-sandiwaraan, baik ceritanya maupun cara 6
https://hikmatdarmawan.wordpress.com/2014/04/06/film-indonesia-sebagai-industri-konten/. Diakses pada tanggal 25 April 2015. Pukul 10.15 WIB. 7 Ibid. 8 Kevin L. Keller. 2013. Strategic Brand Management Fourth Edition. England: Pearson Education. Hal. 47. 9 Handoko Hendroyono pada wawancara di Jakarta, 30 September 2015.
berlakonnya, pendeknya tidak terdapat suatu kewajaran seperti yang ada pada filmfilm asing10.” Oleh karena itu, menjadikan film Indonesia memiliki daya tarik untuk ditonton adalah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Insan perfilman Indonesia mau tidak mau diharuskan untuk membuat film dengan kualitas yang unggul. Tak hanya itu, dibutuhkan pula adanya dukungan berupa proses pemasaran yang optimal, sehingga film mampu berperan sebagai motor penggerak industi kreatif di Indonesia. Salah satu film baru yang menarik bagi peneliti dalam menjawab tantangan ini adalah Film Filosofi Kopi. Film yang rilis pada tanggal 9 April 2015 lalu ini merupakan film besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Ia sebelumnya juga menyutradarai Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) yang berhasil meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2014 dengan kategori Film Terbaik. Tak hanya itu, pemeran utama dalam film ini juga merupakan peraih Piala Citra FFI 2014 kategori Pemeran Utama Pria Terbaik yaitu Chicco Jericho. Terlepas dari background penghargaan yang telah diraih orang dibalik Film Filosofi Kopi, film ini juga memiliki beberapa keunikan yang membedakannya dari film lain. Pertama bahwa film ini adalah film yang sudah punya rencana pengembangan kekayaan intelektual jauh sebelum filmnya rilis11. Anggia Kharisma selaku produser film ini pernah menyatakan bahwa dia ingin agar Film Filosofi Kopi nantinya bisa seperti sekuel Star Wars (1977-2015) yang tidak hanya dinikmati sebagai film, tapi berkembang menjadi action figure, komik, cosplay, dan lain sebagainya12. Kedua bahwa film ini merupakan pertama kalinya film Indonesia yang menggunakan metode user generated content, yakni calon penonton dilibatkan dalam pembuatan konten filmnya. Di Indonesia, aktifitas melibatkan calon penonton sudah pernah dilakukan oleh beberapa film. Namun keterlibatan itu hanya sebatas dari segi pendanaan saja, atau yang biasa disebut dengan crowfunding. Film Atambua 39 Derajat Celcius (2012) dan Demi Ucok (2012) termasuk dua film yang sukses dengan metode ini13. Sedangkan di Film Filosofi Kopi, calon penonton terlibat masuk ke dalam film sampai pada pengaturan detil konten filmnya. Melalui
10
Usmar Ismail. 1983. Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan. Hal 80. http://www.ziliun.com/articlesbikin-film-harus-berani-kayak-filosofi-kopi/. Diakses pada tanggal 6 Januari 2016. Pukul 12.40 WIB. 12 http://www.ziliun.com/articlesanggia-kharisma-dan-pentingnya-berkolaborasi-dalam-industri-kreatif/. Diakses 6 Januari 2016. Pukul 20.33 WIB. 13 https://dailysocial.id/post/the-state-of-crowdfunding-in-indonesia-part-1/. Diakses pada tanggal 6 Januari 2016. Pukul 21.28 WIB. 11
aplikasi yang bisa diunduh secara gratis, mereka dilibatkan dalam film sebagai produser digital. Dari aktiftas dalam aplikasi tersebut kemudian dua diantara yang paling aktif diberi kesempatan untuk menjadi produser film secara langsung di lokasi syuting14. Maka tidak heran untuk dapat mewujudkan berbagai terobosan baru itu, biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Pada saat sosialisasi filmnya di Bandung, produser Film Filosofi Kopi, Handoko Hendroyono mengakui bahwa, "Film ini meniru konsep di luar negeri, yang mana anggaran untuk promosi lebih tinggi dari budget untuk pembuatan film itu sendiri15." Semua upaya itu menurut sutradara Angga Dwimas Sasongko semata-mata agar film Indonesia kembali bisa menjadi pilihan bagi masyarakatnya16. Lebih jauh lagi, dari hasil pra-riset yang didapatkan bahwa manajemen Film Filosofi Kopi sebenarnya memandang film ini lebih dari sebuah film17. Ada spirit sebuah brand yang ada di dalamnya. Brand yang memiliki concern terhadap kopi. Maka tidak heran setelah filmnya dirilis, kedai kopi yang nyata pun dioperasikan, tak lama juga pihaknya akan menyajikan TV program yang masih sejalan dengan concern yang sama, dan masih banyak lagi rencana lainnya yang belum diketahui oleh khalayak. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengulas lebih dalam mengenai manajemen brand Film Filosofi Kopi ini. Harapannya upaya strategi komunikasi brand yang sesuai juga bisa dilakukan oleh film-film lain di Indonesia agar perfilman Indonesia menjadi lebih maju.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang hendak dijawab oleh peneliti adalah bagaimana proses komunikasi brand Film Filosofi Kopi (2015) dalam rangka manajemen brand Film Filosofi Kopi?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi yang dilakukan oleh
brand Film Filosofi Kopi dalam rangka manajemen brand Film Filosofi Kopi. 14
http://showbiz.liputan6.com/read/2119630/film-filosofi-kopi-ajak-calon-penonton-jadi-produser. Diakses pada tanggal 6 Januari 2016. Pukul 20.53 WIB. 15 http://www.antaranews.com/berita/491011/film-filosofi-kopi-genjot-promosi. Diakses pada tanggal 27 April 2015. Pukul 11.04 WIB. 16 Ibid. 17 Handoko Hendroyono pada wawancara di Jakarta, 30 September 2015.
D.
E. E.1
Manfaat Penelitian 1.
Menjadi alternatif manajemen brand bagi industri film di Indonesia.
2.
Memperkaya kajian manajemen brand dan perfilman di Ilmu Komunikasi.
Kerangka Pemikiran Konsep Brand dan Brand Management Menurut American Marketing Association (AMA), brand adalah nama, bentuk, tanda,
simbol, atau desain, atau bahkan kombinasi dari kesemuanya yang mengidentifikasikan sebuah barang atau jasa milik penjual dan untuk membedakannya dengan para pesaing18. Sedangkan brand secara sederhana dikatakan oleh Hermawan Kertajaya, pakar pemasaran di Indonesia dalam bukunya yang berjudul PDB (Positioning, Diferensiasi, dan Brand), dianggap sebagai sebuah value indicator19. Indikator yang dimaksud adalah sesuatu yang menggambarkan seberapa kokoh dan solidnya value yang ditawarkan kepada konsumen. Selain value tersebut ditujukan bagi konsumen, brand juga memberikan value untuk perusahaan atau produsen. Pertama karena bisa semakin meningkatkan harga. Kedua karena brand yang kuat akan memberikan peluang bagi produsen untuk melakukan perluasan brand untuk mengeksploitasi pasar secara lebih dalam20. Brand dapat dilihat sebagai sesuatu yang lebih daripada produk, karena di dalam brand yang dimiliki suatu produk terdapat dimensi yang membedakannya dengan produk lainnya, meskipun dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama. Perbedaan ini bisa jadi sesuatu yang rasional atau tangible, misalkan yang berhubungan dengan performa brand atau simbolis lainnya. Namun bisa juga bersifat emosional dan intangible, seperti yang berhubungan dengan hal implisit yang terwakilkan oleh sebuah brand21. Pada kenyataannya semua aspek kini bisa dibangun untuk menjadi sebuah brand. Mulai dari produk barang atau jasa, kegiatan distribusi, jualan online, seorang individu atau sebuah organisasi, bahkan kegiatan seni, olahraga, film, tempat atau wilayah, hingga gagasan
18
Kevin L. Keller. 2013. Strategic Brand Management Fourth Edition. England: Pearson Education. Hal. 30. Hermawan Kertajaya, Yuswohady, Jacky Mussry, dan, Taufik. 2004. Positioning, Diferensiasi, dan Brand. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 184. 20 Ibid. 21 Kevin L. Keller. Op. Cit. Hal. 31. 19
atau ide22. Hal tersebut dapat dilakukan dengan adanya sistem manajemen brand. Meski, dalam menjalankan sistem manajemen brand itu sendiri terdapat berbagai tantangan yang menjadikannya tidak mudah. Keller menyebutkan sedikitnya ada tujuh hal yang mencakup berbagai tantangan tersebut, antara lain konsumen yang semakin cerdas, kondisi ekonomi yang melemah, proliferasi brand, transformasi media, peningkatan persaingan, peningkatan biaya, serta akuntabilitas yang meluas23. Oleh karenanya, dibutuhkan sistem manajemen brand yang terarah agar mampu menjawab berbagai tantangan tersebut. Salah satu konsep kunci yang perlu diketahui untuk dapat melakukan manajemen brand yang baik adalah brand equity. Ketika brand equity sebuah brand telah berhasil dibangun melalui berbagai strategi, maka kekuatan sebuah brand akan terbukti. Menurut Aaker, seorang pakar manajemen brand, yang melihat dari perspektif perusahaan, brand equity diartikan sebagai gabungan dari brand assets yang dihubungkan dengan brand, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa kepada pelanggan atau perusahaan24. Terdapat lima aset brand equity yang dijabarkan oleh Aaker, yakni brand loyalty, brand awareness, perceived quality, brand association, serta properti aset lainnya seperti hak paten, logo, jalur relasi, dsb 25. Sedangkan di sisi lain Keller melihat ekuitas brand menurut perspektif konsumen yang kemudian dikenal dengan istilah customer based brand equity (CBBE). CBBE menilai brand equity berdasarkan seberapa besar pengenalan konsumen terhadap brand dan menyimpannya dalam memori mereka, beserta asosiasi brand yang mendukung, kuat, dan unik sebagai respon dari pemasaran sebuah brand26.
22
Ibid. Ibid. Hal. 54. 24 David Aaker. 1996. Building Strong Brand. USA: Simon & Schuster. 1996. Hal. 7. 25 Ibid. 26 Kevin L. Keller. Op. Cit. Hal. 73. 23
Gambar 1.1 Brand Knowledge27 Maka secara sederhana digambarkan dalam bagan di atas, ekuitas brand dalam perspektif konsumen terdiri atas dua bentuk pengetahuan (brand knowledge) yakni, kesadaran brand (brand awareness) yang dilihat dari pengenalan konsumen terhadap brand, serta kemampuan konsumen untuk mengingat brand dan citra brand (brand image) yang dilihat dari asosiasi brand yang mendukung, kuat, dan unik28. Brand awareness menggambarkan keberadaan merek di dalam pikiran konsumen, yang dapat juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku29. Menciptakan brand awareness berarti meningkatkan pengenalan terhadap brand melalui paparan yang berulang agar konsumen dapat terus berinteraksi dengan brand. Paparan tersebut dapat disalurkan melalui sejumlah elemen brand seperti, nama, simbol, logo, karakter, kemasan, ataupun slogan, bahkan termasuk juga melalui aktivitas periklanan, promosi, sponsorship, event marketing, publisitas, humas, dan periklanan luar ruang30. Maka kemudian peran komunikasi muncul di sini sebagai penyalur agar sejumlah elemen brand tersebut dapat sampai kepada konsumen.
27
Keller K.L. 1998. Building, Measuring, And Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice-Hall. Hal. 98. Terence A. Shimp. 2010. Advertising, Promotion, and Other Aspects of IMC Edisi Kelima. USA: South-Western Cengage Learning. Hal 39. 29 Darmadi Durianto, Sugiarto, dan Lie Joko Budiman. 2004. Brand Equity Ten. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 6. 30 Kevin L. Keller. 2013. Strategic Brand Management Fourth Edition. England: Pearson Education. Hal. 75. 28
Brand awareness merupakan konsep kunci dalam brand equity sebelum bisa masuk ke elemen-elemen lain di dalam aset brand equity. Terdapat piramida brand awareness yang telah dirumuskan oleh Aaker sebagai berikut:
Gambar 1.2 Piramida Brand Awareness31 Tingkat yang paling rendah adalah unware of brand, dimana konsumen tidak menyadari tentang adanya brand. Dilanjutkan oleh tingkat brand recognition, dimana pengenalan brand muncul lagi setelah konsumen diberikan pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall). Pada tingkatan yang ketiga atau tingkatan brand recall, konsumen mengalami pengingatan kembali terhadap brand tanpa bantuan (unaided recall). Terakhir, tingkatan puncak dimana brand merupakan yang pertama kali muncul dalam benak konsumen dari berbagai brand yang ada32. Dimensi kedua dari brand knowledge adalah brand image yang dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu33. Sehingga jika berbicara mengenai brand image, maka itu berarti membicarakan brand sebagai hasil intepretasi konsumen setelah merasakan sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh produk, pelayanan dan komunikasi dari sebuah brand34. Atau dengan kata lain, konsumen bertindak sebagai receiver. Menyoroti posisi konsumen sebagai receiver, Kapferer telah memberikan bagan yang memperlihatkan hubungan receiver dan sender dalam brand sebagai berikut:
31
David A. Aaker. 1997. Manajemen Ekuitas Merek: Memanfaatkan Nilai dari Suatu Merek. Hal. 92. Darmadi Durianto, Sugiarto, dan Lie Joko Budiman. 2004. Brand Equity Ten. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 6. 33 Terence A. Shimp. 2010. Advertising, Promotion, and Other Aspects of IMC Edisi Kelima. USA: South-Western Cengage Learning. Hal 39. 34 JN Kapferer. 2008. The New Strategic Brand Management. London: Cogan Page. Hal. 174. 32
Gambar 1.3 Identity dan Image35
Terlihat dari bagan tersebut bahwa sebelum sampai kepada receiver, brand merupakan pesan yang terpancar melalui sejumlah sinyal yang dikirimkan oleh sender yang membawa sejumlah brand identity. Proses yang berangkat dari brand identity menjadi sebuah brand image melalui sebuah proses komunikasi pesan. Brand identity disampaikan oleh sender yang berupa perusahaan atau institusi. Brand identity sendiri adalah visi atau nilai dasar yang dipegang sebuah brand yang pembentukannya dipengaruhi oleh latar belakang dan karakteristik perusahaan. Melalui brand identity inilah, sebuah brand mampu menciptakan pendukung atau fans yang memiliki loyalitas yang tinggi. Mengingat bahwa manajemen brand modern saat ini seperti yang telah dikatakan Kapferer, “Modern brand management starts with the product and service as the prime vector of perceived value, while communication is there to structure, to orient tangible perceptions and to add intangible ones36.” Maka benar bahwa produk dan layanan menjadi nilai utama yang dirasakan, sedangkan komunikasi merupakan struktur yang digunakan untuk mengorientasikan persepsi terhadapnya. Struktur tersebut terbentuk dari proses penyampaian brand identity yang konsisten melalui media yang diharapkan, sehingga dapat membangun brand image yang positif. Brand image sendiri terdiri atas dua aspek, yakni kognitif dan afektif37. Aspek kognitif meliputi pengetahuan dan kepercayaan akan atribut brand. Aspek afektif meliputi
35
Ibid. Ibid. Hal. 10. 37 Schiffman, Leon, G.,Leslie Lazar Kanuk. 2000. Consumer Behavior, Edisi Tujuh. Prentice-Hall: New Jersey. Hal. 10. 36
konsekuensi dari penggunaan brand tersebut, berikut evaluasi, perasaan dan emosi yang diasosiasikan dengan merek tersebut.
E.2
Film sebagai Brand Film, di era globalisasi seperti sekarang ini bukan lagi dipandang sebagai barang seni
belaka. Film tidak lagi diciptakan hanya untuk memberikan kepuasan batin penontonnya, tetapi juga untuk dapat memberikan keuntungan bagi si pembuat film. Dari situlah muncul pendekatan klasifikasi film berdasarkan orientasi pembuatan; yakni film komersial dan nonkomersial38. Film komersial adalah film yang sengaja dibuat untuk memperoleh jumlah keuntungan yang besar serta penonton yang banyak39. Keuntungan itu bisa didapatkan tidak hanya melalui penjualan tiket di bioskop, melainkan juga penjualan VCD/DVD, pemutaran ulang di televisi, dan lain-lain. Biasanya alur cerita yang ditawarkan bersifat “formulaik”, mengangkat genre-genre favorit dengan pakem cerita yang sudah tetap. Sementara film nonkomersial adalah film yang lebih mengutamakan nilai seni40. Tak jarang film non-komersial sengaja dibuat agar dapat memperoleh penghargaan. Film-film “non-formulaik” ini biasanya juga memiliki jalur khusus dalam urusan distribusinya. Meski begitu, tak sedikit pula film yang merupakan gabungan dari keduanya, ya “nyeni” ya laris seperti Taksi (1990), Badai Pasti Berlalu (1977), Laskar Pelangi (2008), Petualangan Sherina (2000), dan lain-lain41. Promosi film sebagai produk komersil sejatinya dipengaruhi oleh penonton itu sendiri. Setelah selesai menonton film, mereka tidak kemudian berhenti begitu saja. Ada yang membuat review film tersebut, ada yang bergerak mencari film serupa, atau film berbeda genre dengan aktor yang sama, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula penonton yang menginginkan adanya merchandise dari film yang ia tonton. Oleh karena itu, pembuat film kini semakin kreatif dalam mengeksplorasi film sebagai produk komersial. Pembuat film tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi pengiklanan dan promosi filmnya. Industri film Hollywood sendiri juga sudah terbiasa untuk mengeluarkan biaya promosi film mencapai
38
https://hikmatdarmawan.wordpress.com/2014/04/06/film-indonesia-sebagai-industri-konten/. Diakses pada tanggal 25 April 2015. Pukul 11.45 WIB. 39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid.
setengah dari biaya produksi atau bahkan lebih. Contoh pada tahun 2007, rata-rata biaya produksi mencapai $70,8 juta dengan biaya promosi rata-rata menghabiskan $35,9 juta42. Berbagai cara promosi film tersebut dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, baik itu dalam pembuatan creative product, merchandise, iklan di sejumlah media, hingga pembuatan commercial place tempat syuting film tersebut. Salah satu contoh yang fenomenal adalah film The Dark Knight43. Mereka sudah mulai berpromosi sejak setahun sebelum film itu rilis. Ada sebuah website yang sengaja dibuat sebagai sarana kampanye politik seorang tokoh tidak riil, Hendry Dent. Warner Bros Studio beserta agensinya juga menyebarkan koran fiksi berjudul The Gotham Times dan menyebarkannya ke masyarakat. Mereka membuat kondisi masyarakat saat itu selayaknya berada dalam film The Dark Knight dan itu semua pasti dengan kolaborasi banyak pihak. Maka untuk memperoleh hasil yang maksimal dari iklan dan promosi yang dilakukan, produser film membutuhkan pengelolaan yang baik dalam branding. Perencanaan terkait target audience yang dituju juga menjadi hal yang utama. Selain bahwa manajemen brand yang bisa dilakukan masa kini sangat beragam jenisnya. Pembuat film harus jeli dan terus berinovasi agar film yang dirilisnya mampu mencapai target yang dicanangkan. Di dalam praktik pemasaran film, terdapat dua istilah ciri keterlibatan sebuah film dengan pasar, yakni marketability dan playability44. Marketability atau kemampuan untuk dijual menunjukkan seberapa menarik sebuah film untuk calon target audiennya. Sedangkan playability atau daya main/putar, menandakan seberapa baik penonton menanggapi film tersebut setelah mereka berkomitmen untuk menontonnya, sehingga menimbulkan keinginan untuk menonton lagi atau memberikan feedback45. Secara sederhana marketability mencakup proses sebelum konsumen bersentuhan langsung dengan film. Antara lain proses yang terjadi adalah pengenalan mengenai siapa saja aktornya, bagaimana sinopsisnya, dimana lokasi syutingnya, dan lain-lain atau yang kemudian dapat dikatakan sebagai paket brand identitiy film yang disampaikan kepada calon penontonnya. Berbeda dengan playability yang merupakan proses setelah keduanya bersentuhan. Proses ini menimbulkan asosiasi antara
42
http://www.film.com/movies/the-greatest-viral-marketing-campaigns-in-movie-history. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. Pukul 07.56 WIB. 43 Ibid. 44 Daragh O’Reily dan Finola Kerrigan. 2011. A View to A Brand: Introducing The Film Brandscape. Hal. 770. Diakses melalui www.emeraldinsight.com/0309-0566.htm pada tanggal 26 Oktober 2015. Pukul 14.00 WIB. 45 Finola Kerrigan. 2010. Film Marketing. USA: Elsevier. Hal. 41.
keduanya dan menimbulkan persepsi penonton terhadap film, atau yang kemudian dapat disebut sebagai brand image. Uraian di atas menunjukkan bahwa film juga ternyata bisa dikategorikan sebagai sebuah brand. Pernyataan itu diperkuat juga di dalam jurnal yang ditulis oleh Daragh O’Reily dan Finola Kerrigan di tahun 2011 yang menyebutkan bahwa film adalah sebuah produk komersil46. Lebih rinci mereka menjelaskan bahwa film sebagai produk komersil yang memiliki dimensi simbol, subyek dari investasi modal dan teknologi, menawarkan penjualan, mengandung Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), membedakan dirinya dengan film yang lain, serta merupakan aset strategis dari portofolio studio produksinya47.
Gambar 1.4 Elements of Film Brand48
Dalam jurnal tersebut keduanya juga memaparkan sebuah kerangka konsep yang disebut sebagai film brandscape. Kerangka ini menunjukkan adanya berbagai elemen di dalam film yang sekaligus juga dapat dikatakan sebagai elements of brand. Antara lain elemenelemen tersebut adalah people brands (yang mencakup producer, director, actor, cinematographer, music composer, screenwriter, dan editor), character brands, placed products, place/tourism brands, studio brands, country of origin (COO), dan lain sebagainya di luar itu49. Daragh O’Reily dan Finola Kerrigan. Loc. Cit. Daragh O’Reily dan Finola Kerrigan. Op. Cit.. Hal. 772. 48 Daragh O’Reily dan Finola Kerrigan. 2011. A View to A Brand: Introducing The Film Brandscape. Hal. 776. Diakses melalui www.emeraldinsight.com/0309-0566.htm pada tanggal 26 Oktober 2015. 49 Ibid. 46 47
People brands mencakup orang-orang yang memiliki peran dalam sebuah film. Meliputi produser, sutradara, aktor, sinematografer, penata musik, penulis naskah, dan editor. Masing-masing dari mereka bisa saja menjadi sebuah brand atas diri mereka sendiri, namun secara tidak langsung identitas dan karakter people brands ini berpengaruh juga terhadap karakter brand film. Character brands adalah brand yang terbentuk dari tokoh karakter yang ada di dalam film. Sebut saja karakter Batman dalam film The Dark Knight, karakter Spiderman dalam sekuel film Spiderman, dan seterusnya. Ketika karakter dalam film menjadi sebuah brand, pihak pembuat film akan lebih mudah dalam melakukan pemasaran di berbagai platform. Product placement atau brand placement adalah praktik dimana produser film telah sepakat dengan pihak brand komersil bahwa produk atau nama brand-nya akan diletakkan ke dalam adegan film. Latar belakang biaya produksi film yang terus meningkat membuat product placement dirasa sesuai menjadi alternatif yang tepat karena produksi sepenuhnya akan dibiayai oleh klien komersial yang ingin mempromosikan produk mereka. Kegiatan penempatan brand ini memerlukan kerjasama erat antara tim kreatif yang terlibat dalam produksi film, komunikasi pemasaran, dan mungkin juga lembaga jasa product/brand placement. Place brands merupakan brand yang melekat pada wilayah geografis yang menjadi lokasi syuting film. Sejumlah penelitian mengungkap bahwa film yang laris akan memberikan nilai tambah kepada lokasi filmnya sebagai potensi pariwisata yang menarik. Hanya terkait pengelolaannya masih bergantung pada upaya setempat, terlepas dari manajemen pembuat film. Namun bukan tidak mungkin lokasi ini kemudian dimanfaatkan untuk pengembangan branding film ke depannya. Studio brands yang kita kenal seperti Warner Brothers, Universal, Dreamworks, Disney, dan sebagainya itu juga merupakan brand yang telah lebih dulu berdiri kokoh dibalik brand film produksinya. Mereka mengelola portofolio brand film dengan pendapatan yang diperoleh melalui reproduksi film ke dalam berbagai format, eksploitasi berbagai modus rilis, dan berbagai hal yang berkaitan dengan hak cipta seperti merchandising, original sountrack, dan lain sebagainya.
Country of origin (COO) dari suatu film juga berpengaruh terhadap karakter suatu brand film. Seperti kita tau dan klasifikasikan secara sadar bahwa Bollywood terkenal dengan lagu dan tari drama romantisnya, Korea terkenal dengan cerita percintaan yang kental dengan kebudayaan kerjaannya. Thailand terkenal dengan drama komedinya yang menyentuh. Maupun Hollywood yang sudah lazim dengan tradisi kebarat-baratannya menampilkan adegan kasur, dan lain sebagainya. Karakter COO ini bisa jadi keuntungan sekaligus tantangan bagi industri perfilman sejumlah negara untuk mampu bersaing secara internasional dengan beragam kebudayaan yang ingin ditembus. Berangkat dari teori inilah nantinya peneliti dapat memetakan elemen-elemen brand Film Filosofi Kopi yang kemudian dapat mendeskripsikan manajemen brand yang dilakukan sebagai implikasi dari adanya uraian teori di atas.
E.3
Proses Komunikasi dan Model SMCR (Source-Message-Channel-Receiver) Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai
makhluk sosial. Diawali dengan komunikator yang menyampaikan pesan dan diakhiri dengan komunikan yang menerima pesan50. Untuk dapat menjelaskan komunikasi sebagai suatu proses, berbagai model komunikasi telah dirumuskan oleh banyak ahli. Mengingat bahwa menggambarkan proses komunikasi merupakan salah satu fungsi model komunikasi selain menunjukkan hubungan visual dan membantu menemukan dan memperbaiki kemacetan komunikasi51. Model SMCR adalah salah satu model dari sekian banyak model komunikasi yang ada. Model ini digunakan dalam penelitian ini karena mampu menjelaskan proses komunikasi yang paling mendasar melalui keempat unsur pentingnya yakni source, message, channel, dan receiver. Tidak hanya komunikasi antarmanusia yang bisa dijelaskan oleh model ini, tetapi juga komunikasi publik antara radio dengan pendengarnya, surat kabar dengan pembacanya, maupun iklan dengan calon konsumennya, dan lain sebagainya. David K. Berlo yang merumuskan model ini berpendapat bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki tujuan, dimana tujuan dasar komunikasi adalah mempengaruhi orang lain,
50 51
Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: PT Grasindo. Hal. 18. Ibid. Hal. 11.
lingkungan, dan diri sendiri52. Sehingga manusia yang melakukan komunikasi pasti dalam keadaan sadar dalam mengungkapkan setiap pesannya. Berikut ini merupakan gambar bagan model SMCR yang dikemukakan oleh Berlo:
Gambar 1.5 Model S-M-C-R53 Model ini mencoba untuk menjelaskan beberapa komponen dalam proses komunikasi yang masing-masing dari komponen tersebut mengontrol beberapa faktor. Model komunikasi pada umumnya menekankan pada perpindahan informasi menjadi perspektif yang fokus pada interpretasi dari informasi tersebut. Berbeda dengan Berlo yang lebih menekankan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses dan pemaknaan itu berada pada manusia, bukan di katakata. Hal itu senada dengan pernyataan Berlo, “People can have similar meanings only to the extent that they have had similar experiences54.” Pernyataan tersebut menandakan bahwa “people” yang dalam model ini bertindak sebagai source dan receiver menjadi dua komponen penting dalam proses komunikasi. Komponen pertama dan terakhir ini keduanya sama-sama dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu communication skills, knowledge, attitude, dan social cultural system. Communication skills atau keterampilan komunikasi yang semakin baik, akan semakin efektif pula pesan yang disandi maupun disandi balik. Keterampilan komunikasi ini meliputi memahami dan mengaplikasikan tata bahasa kode, memahami dan menggunakan kosa kata yang luas, memahami dan menerapkan kaidah-kaidah, serta mengadaptasi penggunaan kode agar dapat dipahami audien.
52
Nitin Bathnagar dan Mamta Bathnagar. 2012. Effective Communication and Soft Skills. India: Dorling Kindersley. Hal. 105. 53 David K. Berlo. 1960. The Process of Communication: an Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Hal 134. 54 Ibid.
Faktor selanjutnya adalah knowledge atau pengetahuan yang sangat mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang. Pengetahuan yang berpengaruh disini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan sikap yang harus diperlihatkan serta pengetahuan akan cara bagaimana seseorang memproduksi atau mengolah pesannya. Attitude atau sikap juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi source dan receiver. Sikap yang dimaksud di sini adalah sikap yang meliputi tiga hal, yakni sikap terhadap diri sendiri, terhadap subjek yang dikomunikasikan, dan terhadap receiver yang bersangkutan. Sosial system adalah sejumlah aspek yang ada di dalam suatu lingkungan sosial seperti nilai, kepercayaan, budaya, agama, dan pemahaman/istilah-istilah umum dalam suatu lingkungan sosial. Sedangkan culture atau kebudayaan adalah bagian dari social system yang meliputi seluruh kebudayaan dimana komunikasi itu berlangsung. Baik source maupun receiver dalam berkomunikasi pasti dipengaruhi oleh posisinya di dalam sistem sosialbudayanya. Orang dengan kelas sosial yang berbeda akan berbeda juga cara berkomunikasinya, seperti halnya ayah seorang bos yang sedang berbicara dengan bawahannya pasti berbeda cara bicara ketika berhadapan dengan anaknya. Sistem sosialbudaya turut menentukan beberapa hal, seperti pilihan kata yang orang gunakan, tujuan orang berkomunikasi, makna yang ditanamkan dalam kata-kata tertentu, pilihan komunikan, serta saluran yang digunakan untuk mengantarkan pesan55. Komponen yang kedua adalah message atau pesan apa yang akan dikatakan/informasi apa yang akan disampaikan. Dalam menyandikan pesan, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan, antara lain konten, elemen, treatment, struktur, dan kode. Konten adalah apapun yang dipindahkan dari awal hingga akhir. Elemen adalah segala hal meliputi bahasa, gesture, bahasa tubuh, mimic muka, dan lain-lain yang mendukung konten. Ada elemen yang berbeda untuk setiap konten. Treatment merupakan packaging dari suatu pesan, merujuk pada cara bagaimana pesan itu disampaikan dari sumber pada komunikan. Structure pesan berkaitan dengan pengaturan suatu pesan dari awal, tengah, hingga akhir berupa kesimpulan atau sejenisnya. Bila pesan tidak terstruktur dengan baik, maka akan berpengaruh dalam penyampaian pesannya. Sedangkan code merupakan format dari suatu pesan, apakah itu pesan verbal, sinyal melalui gesture tubuh, atau berupa lagu, dsb56.
55
David K. Berlo. 1960. The Process of Communication: an Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Hal 135. 56 Ibid.
Komponen yang ketiga yakni channel adalah saluran komunikasi. Menurut Berlo, saluran komunikasi ini merupakan sarana yang bisa dilakukan dengan kelima panca indera yang
dimiliki
manusia,
yakni
melihat,
mendengar,
membau,
meraba,
dan
merasakan/mengecap. Namun secara luas bila diterapkan ke dalam proses komunikasi selain komunikasi antarmanusia, saluran bisa berarti media yang dipilih untuk menyampaikan pesan. Baik itu melalui media konvensional, seperti radio, televisi, surat kabar, maupun media-media un-conventional seperti yang sering digunakan oleh para pemasang iklan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi brand Film Filosofi Kopi dalam rangka manajemen brand Film Filosofi Kopi. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan adanya pemaparan menyeluruh bagaimana brand Film Filosofi Kopi menyampaikan pesan melalui saluran komunikasi yang tepat kepada audiennya. Pesan tersebut disampaikan oleh brand Film Filosofi Kopi berangkat dari sebuah tim yang memiliki karakteristik berupa brand identity. Adapun pesan itu sendiri adalah nilai brand yang kemudian disampaikan melalui elemen-elemen brand. Lalu pesan berusaha ditangkap oleh audien dengan bukti adanya brand image dalam benak mereka. Pemaparan mengenai proses penyampaian pesan kepada konsumen dalam rangka manajemen brand tersebut sesuai dengan model komunikasi S-M-C-R yang diciptakan oleh David K. Berlo. Secara sederhana terangkum dalam kerangka konsep di bawah ini: Source • Tim Filosofi Kopi dan karakternya (brand identity)
Message • Visi brand film Filosofi Kopi
Channel
Receiver
• Elemenelemen brand film Filosofi Kopi
• Audien komunikasi brand Film Filosofi Kopi • Brand image Film Filosofi Kopi
Gambar 1.6 Alur Kerangka Konsep Mengaplikasikan model komunikasi yang telah dipaparkan oleh Berlo, maka seluruh yang terlibat dalam proses branding beserta seluruh karakter berupa brand identity bertindak sebagai source. Nilai brand berupa visi misi brand Film Filosofi Kopi berlaku sebagai message, dan keseluruhan elemen brand Film Filosofi Kopi bertindak sebagai channel. Adapun audien brand Film Filosofi Kopi dipandang sebagai receiver dengan menggali adanya rangkaian brand image dalam benak mereka.
Penelitian ini akan melihat proses komunikasi brand yang dilakukan oleh source kepada receiver melalui sejumlah channel yang merupakan elemen brand film itu sendiri. Setelah hal-hal tersebut dapat dipetakan, maka peneliti dapat menyimpulkan bagaimana upaya manajemen brand Film Filosofi Kopi dilakukan.
F.
Metodologi Penelitian
F.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode yang digunakan adalah
metode penelitian studi kasus dengan strategi deskriptif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif merupakan sarana yang sangat berguna untuk mendapatkan sebuah pemahaman holistik mendalam tentang hubungan antara budaya internasional dan komunikasi dari perspektif yang ada dalam suatu lembaga atau kelompok masyarakat57. Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan, mengontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi, atau menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi itu terjadi58. Metode penelitian studi kasus akan digunakan dalam penelitian ini karena metode ini mampu memberikan uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial59. Selain itu, metode studi kasus menjadi lebih sesuai karena sifatnya yang fokus pada hal-hal yang signifikan dan unik yang mendukung adanya komunikasi yang direncanakan 60. Penelitian mengenai brand management terhadap film nasional ini merupakan hal yang unik dan signifikan karena masih sangat sedikit yang melakukannya. Selain karena memang brand management terhadap film di Indonesia ini masih jarang dilakukan. Penelitian studi kasus menurut tujuan penelitiannya, dibedakan menjadi tiga tipe yaitu eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif61. Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif karena penelitian yang dilakukan nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian ini biasanya berupa tipologi 57
Christine Daymon dan Immy Holloway. 2011. Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communication Second Edition. USA: Routledge. Hal. 7. 58 Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Hal. 35. 59 Deddy Mulyana. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Hal. 201. 60 Christine Daymon dan Immy Holloway. 2011. Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communication Second Edition. USA: Routledge. Hal. 144. 61 Robert K. Yin. 2009. Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publication. Hal. 9.
atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas. Tipe penelitian ini dipilih juga karena penelitian deskriptif diidentikkan dengan penelitian yang menggunakan pertanyaan “bagaimana” dalam mengembangkan informasi yang ada. Sesuai dengan pertanyaan penelitian ini yaitu bagaimana proses komunikasi brand Film Filosofi Kopi dalam rangka brand management film tersebut. Selanjutnya, tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori atau pola. Metode penelitian studi kasus memungkinkan adanya lebih dari satu kasus (jamak). Jelasnya, dalam suatu laporan penelitian boleh jadi terdapat beberapa studi kasus untuk diperbandingkan atau dikontraskan62. Adapun penelitian ini nantinya akan meneliti satu kasus saja (single case) dikarenakan tujuan peneliti bukan untuk membandingkan/mengontraskan objek penelitian melainkan lebih kepada penyajian terhadap suatu entitas yang unik dan holistik. Metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam studi kasus antara lain wawancara, pengamatan, penelaahan dokumen, dan data apapun yang bisa digunakan untuk menguraikan suatu kasus secara rinci.
F.2
Teknik Pengumpulan Data Penelitian studi kasus merupakan penelitian yang pengumpulan informasinya
dilakukan dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data, sehingga informasi yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari banyak ragam sumber63. Maka berikut sejumlah teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini:
F.2.1
Wawancara Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian
komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang diteliti64. Wawancara pada penelitian ini dilakukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses manajemen brand Film. Baik itu kepada informan primer dari sisi internal brand maupun informan sekunder dari sisi eksternal brand. Wawancara kepada informan primer diperlukan guna mengetahui secara rinci brand identity
62
Bill Gillham. Case Study Research Method. London: Continuum. 2000. Hal. 1. Robert E. Stake. 2005. Multiple Case Study Analysis. New York: The Guilford Press. Hal. 25. 64 Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. 2007. Hal. 132. 63
serta brand value yang ditawarkan kepada customer. Informan yang dipilih adalah informan kunci yang diharapkan dapat menjawab segala pertanyaan seputar brand management dari sisi internal brand, diantaranya yaitu:
Nama Handoko Hendroyono Angga Dwimas Sasongko Kori Adyaning
Peran Produser sekaligus Brand Manager Film Filosofi Kopi Sutradara Film Filosofi Kopi Executive Assistant Visinema Pictures
Tabel 1.1 Nama Narasumber
Sedangkan wawancara kepada informan sekunder dari sisi eksternal brand dilakukan bertujuan untuk mengetahui brand image Film Filosofi Kopi. Dalam menetapkan informan menggunakan teknik snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan bantuan key-informan, dan dari key-informan inilah akan berkembang sesuai petunjuknya65. Dalam hal ini peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel. Diantara kriteria tersebut adalah: a. Penonton Film Filosofi Kopi. b. Penonton Film Filosofi Kopi yang membaca Cerpen Filosofi Kopi. c. Penonton Film Filosofi Kopi yang pernah ke Kedai Filosofi Kopi. Peneliti mencari satu key-informan untuk masing-masing kriteria. Barulah dari keyinforman tersebut didapatkan sejumlah informan lain yang dapat memberikan data yang mencukupi.
F.2.2
Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti akan mengambil catatan lapangan terhadap perilaku dan aktivitas objek di lokasi penelitian66. Maka dalam melaksanakan penelitian, peneliti akan mengamati proses manajemen brand Film Filosofi Kopi secara langsung. Dikarenakan Film Filosofi Kopi ini telah rilis, observasi akan dilakukan
65
Joko Subagyo, P. 2006. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 31. John W. Cresswell. 2009. Researh Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: SAGE Publication. Hal. 244. 66
oleh peneliti berfokus terhadap segala bentuk aktifitas manajemen brand Film Filosofi Kopi pasca rilis yang melihat Film Filosofi Kopi sebagai sebuah sustainable brand.
F.2.3 Penelaahan Dokumen Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen baik dokumen publik maupun privat terkait manajemen brand Film Filosofi Kopi. Dokumen yang akan dikumpulkan oleh peneliti ini nantinya bisa berupa materi teks, audio, maupun visual.
F.3
Teknik Analisis dan Penyajian Data Cresswell mengakui beberapa hal terkait analisis data kualitatif diantaranya adalah
bahwa proses analisis data kualitatif mulai dari mengumpulkan, menganalisis, dan menuliskan bisa jadi dilakukan bersamaan, tidak berurutan seperti halnya penelitian kuantitatif67. Juga bahwa data yang terkumpul dalam penelitian kualitatif bersifat sangat kaya, sehingga perlu ada sebagian yang dihilangkan (tidak digunakan) dan berfokus pada beberapa data saja. Hal itu pula yang mungkin dialami oleh peneliti dalam melakukan analisis data. Secara konkrit terdapat langkah-langkah analisis data yang akan dilakukan peneliti berdasarkan apa yang telah dikemukakan Cresswell, yakni mengatur dan menyiapkan data untuk dianalisis68. Ini melibatkan menyalin wawancara, mengklasifikasikan data audio-visual, mengetik catatan lapangan, dan menyortir serta mengatur data ke dalam jenis yang berbeda berdasarkan pada sumber-sumber informasi. Kemudian menginterpretasikannya dan melakukan klasifikasi terhadap hasil interpretasi tersebut. Apabila proses tersebut telah selesai, maka hasil analisis akhir akan disajikan naratif dengan alur berikut ini: a.
Deskriptif Penyajian data deskriptif dilakukan dengan menguraikan secara deskriptif data-data
yang telah diperoleh dari wawancara, dokumentasi, dan observasi secara lengkap dan sistematis. Penyajian ini dilakukan untuk lebih memahami bagaimana manajemen brand Film Filosofi Kopi dilakukan.
b.
67 68
Evaluatif
Ibid. Hal. 246. Ibid.
Setelah data deskriptif terkait manajemen strategis brand Film Filosofi Kopi didapatkan dan dihimpun. Peneliti akan menyajikan analisis evaluatif terhadap manajemen strategis brand yang telah dilakukan, apakah sudah memenuhi syarat sebagai manajemen brand yang layak dan efektif ataukah belum.
c.
Konklusif Dari penyajian deskriptif dan evaluatif yang dilakukan peneliti sebelumnya, di akhir
peneliti akan memberikan kesimpulan terkait proses manajemen brand Film Filosofi Kopi sebagai hasil keseluruhan penelitian dan jawaban dari pertanyaan penelitian.