BAB III TINJAUAN MASALAH TERHADAP KONFLIK BERSENJATA DI FILIPINA
A. Latar Belakang Terjadinya Konflik Bersenjata di Filipina Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang diisi oleh beraneka ragam suku, bahasa dan budaya. Keanekaragaman yang terdapat di dalam kawasan Asia Tenggara, menjadikannya sebagai suatu kawasan yang rawan terhadap konflik. Terjadi nya konflik di wilayah yang sifatnya heterogen adalah suatu fenomena yang tidak asing lagi. Tentunya konflik yang terjadi dapat mempengaruhi stabilitas dari suatu wilayah. Konflik yang terjadi pun sifatnya bermacam-macam, ada yang bersifat vertikal dan juga horizontal. Pada umumnya, konflik akan mudah sekali terjadi pada negara yang baru saja merdeka ataupun negara yang berkembang. Hal ini dikarenakan keadaan politik pada negara yang baru merdeka dan negara yang berkembang, masih belum stabil. Berbagai pemberontakan dapat dengan mudahnya muncul dengan berbagai maksud dan tujuan, baik dalam skala kecil atau skala besar. Tanpa melihat apakah konflik tersebut dalam bentuk skala kecil atau skala besar, hal ini tetap menjadi suatu ancaman bagi negara tersebut. Konflik dapat dipicu oleh beragaam faktor, seperti perbedaan paham dan faktor sejarah. Faktor-faktor inilah yang pada akhirnya mendorong pihak pemberontak untuk melakukan pemberontakan dengan berbagai macam tujuan, seperti:
47 Universitas Sumatera Utara
48
1. Menggulingkan pemerintah resmi dan kemudian menggantikannya dengan pemerintah yang baru sesuai dengan yang dikehendaki oleh pihak pemberontak. 2. Memisahkan diri dari negara induk, untuk kemudian membentuk negara sendiri. 3. Menggabungkan diri dengan negara lain. 4. Menuntut adanya otonom yang lebih luas. Kedua faktor penyebab terjadi nya konflik yang telah disebutkan diatas, itulah yang turut menjadi pemicu terjadinya konflik bersenjata yang terjadi di bagian selatan Filipina, tepatnya di daerah Mindanao dan Sulu. Bermula dari adanya perbedaan sejarah, yaitu kesalahpahaman antara penjajah Amerika Serikat dengan Spanyol dalam memperlakukan daerah tersebut, kini meluas kepada masalah perbedaan budaya dan agama. Keadaan inilah yang pada akhirnya menyebabkan bangsa Moro sebagai penduduk asli Mindanao dan Sulu menuntut hak nya kepada pemerintah Filipina melalui berbagai usaha, baik dengan cara soft power maupun hard power. Pada mulanya Filipina pada merupakan jajahan dari Spanyol. Ketika bangsa ini tiba di Filipina, mereka langsung menguasai Filipina bagian utara. Awalnya bangsa ini datang dengan tujuan melakukan penjajahan dan berdagang. Namun ternyata, Spanyol juga melakukan penyebaran agama (kristenisasi) pada setiap wilayah yang mereka duduki termasuk Filipina ini. Ketika Spanyol hendak menguasai bagian selatan Filipina, mereka mengalami kesulitan. Sebab di daerah ini terdapat sebuah kesultanan yang berbau kerajaan islam. Tentu hal ini bertolak
Universitas Sumatera Utara
49
belakang dengan misi bangsa Spanyol untuk menyebarkan agama Kristen di wilayah tersebut. Mindanao dan Sulu merupakan wilayah yang berada dikawasan kepulauan Filipina. Di wilayah ini terdapat sebuah kerajaan yang independen bagi penduduk asli setempat. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada abad ke-8 masehi melalui para pedagang. Dan pada pada abad ke-14, Islam berkembang diwilayah ini serta diterima oleh penduduk asli setempat. Sekitar tahun 1565, Bangsa Spanyol akhirnya tiba diwilayah selatan Pulau Mindanao dan kepulauan Sulu. Akibat misi Bangsa Spanyol tentang penyebaran agama Kristen bertentangan dengan keadaan di 2 wilayah ini, akhirnya Bangsa Spanyol melakukan penyerangan. Bangsa Spanyol menyebut penduduk asli Mindanao sebagai bangsa Moro. Kata Moro diambil dari "Moors", yang artinya adalah seorang yang pernah dikuasai Spanyol.36 Pada Abad ke-19, akhirnya Kesultanan Mindanao mengizinkan Bangsa Spanyol untuk memasuki wilayah bagian utara pulau Mindanao untuk melakukan usaha bisnis. Tetapi Bangsa Spanyol melanggar ketentuan yang diberikan Kesultanan Mindanao. Bangsa Spanyol melakukan migrasi besar-besaran warga Kristen ke wilayah Mindanao dan Sulu. Sehingga pada akhirnya, bangsa Spanyol berhasil menguasai secara penuh kawasan kepulauan Filipina serta berhasil merubah penduduk lokal dan melakukan misi kristenisasi (catholicism). Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksenangan penduduk Mindanao dan Sulu yang pada mulanya bermayoritaskan agama Islam. 36
Syed Sirajul Islam, The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia. Singapore: Thomson Learning, 2005, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
50
Tahun
1898,
Amerika
Serikat
memenangkan
Spanyol.
Spanyol
menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat. Demikian juga Mindanao dan Sulu yang saat itu belum resmi menjadi wilayah jajahan Spanyol, juga turut diserahkan kepada pihak Amerika Serikat. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan pertumpahan darah antara Bangsa Moro (Muslim Mindanao) dengan Amerika Serikat. Pertumpahan darah tersebut akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Mindanao dengan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut dikenal dengan "Treaty Bates" , yang diprakarsai pada 22 Agustus 1899. Namun sayangnya, perjanjian ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1902, secara tiba-tiba Amerika Serikat menetapkan wilayah Mindanao sebagai salah satu wilayah yang masuk ke dalam pembentukan wilayah Filipina. Hal ini jelas mendapatkan reaksi penolakan yang cukup keras dari Kesultanan Mindanao, sebab mereka memiliki anggapan bahwa Mindanao berbeda dengan Filipina. Tahun
1940,
Amerika
Serikat
menghapuskan
kesultanan
dan
memasukkan kawasan Mindanao kedalam sistem administratif Filipina. Fillipina akhirnya merdeka pada tahun 1946. Namun sebelum kemerdekaan, Bangsa Moro menyampaikan kekecewaan yang begitu besar kepada pemerintah Amerika Serikat. Kekecewaan Bangsa Moro disampaikan dalam memorandum Mindanao dan Sulu, dimana isi memorandum tersebut ialah bahwa Bangsa Moro tidak ingin menjadi salah satu unsur yang terkandung dalam kemerdekaan Filipina. Mereka beranggapan bahwa Kepulauan Mindanao dan Sulu tidak akan diberikan kepada masyarakat yang bukan Bangsa Moro. Bangsa Moro menegaskan bahwa bukanlah
Universitas Sumatera Utara
51
suatu hal yang pantas apabila didalam satu negara terdapat dua pihak yang saling bermusuhan. Akan tetapi, Amerika Serikat menolak dan tidak menerima memorandum tersebut.37 Pada era pembangunan Filipina, pemerintah Filipina ternyata tidak mengakui hukum adat Moro. Pemerintah Filipina memiliki suatu perasaan dendam terhadap Bangsa Moro atas penyerangan yang terjadi di pusat pemerintahan, di Manila. Keadaan ini yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan antara penduduk minoritas muslim Moro dengan para pendatang pada pemberontakan Bangsa Moro yang terjadi pada tahun 1960-1970. Tahun 1972, Nur Misuari yang merupakan pemimpin pemberontak Moro melaksanakan suatu deklarasi untuk merencanakan pendirian Republik Bangsa Moro melalui Moro National Liberation Front (MNLF). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai kebebasan penuh Bangsa Moro serta memerdekakan diri dari penjajahan Filipina. Akhirnya peristiwa ini menimbulkan intervensi militer yang luar biasa terhadap Bangsa Moro yang ingin melepaskan diri. Hasil dari kontak senjata antara militer Filipina dengan Pemberontak Moro ialah terjadinya pembunuhan massal di wilayah Sulu oleh militer Filipina atas instruksi langsung presiden Marcos. Peristiwa pembunuhan massal yang terjadi pada Maret 1968 menjadi awal terjadinya konflik bersenjata di pulau Mindanao.38 Seiring berjalannya waktu, ketegangan yang terjadi antara pemberontak Moro dengan pemerintah Filipina tidak kunjung mendapatkan solusi atau jalan 37
Ibid., Hlm 30. Cagoco-Guiam, Rufa. Mindanao: Conflicting Agendas, Stumbling Blocks and Prospects Towards Sustainable Peace. Dalam buku Searching for Peace in Asia Pacific: an Overview of Conflict prevention and peace building activities. United States: Lynne Rienner Publisher,inc. 2004, Hlm 40. 38
Universitas Sumatera Utara
52
keluar untuk mengakhiri pertikaian yang telah terjadi sejak tahun 1968. Namun pada akhirnya, di tahun 1976 pemerintah Filipina beserta dengan pimpinan MNLF (Nur Missuari) mengadakan suatu perjanjian damai. Perjanjian damai tersebut dikenal dengan Perjanjian Tripoli. Perjanjian Tripoli dilakukan melalui proses mediasi dengan mediator nya ialah OKI (Organisasi Konferensi Islam). Perjanjian yang dibentuk dibawah pimpinan negara Libya, telah menghasilkan keputusan yang berkenaan dengan hak-hak otonomi daerah untuk 13 provinsi yang terdapat di wilayah Mindanao, Sulu dan kepulauan Palawan. Ketiga wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki pengaruh kuat terhadap MNLF. Hak-hak otonomi yang diberikan kepada 13 provinsi yang dimaksud adalah berupa otonomi penuh dalam bidang pendidikan dan pengadilan. Untuk hak otonomi di bidang pertahanan dan politik luar negeri, tidak diberikan karena kedua bidang ini memiliki sifat yang sangat penting. Oleh karena itu, otonomi di bidang pertahanan dan politik luar negeri tetap berada dibawah kebijakan pemerintah Filipina.39 Namun sayangnya, perjanjian damai yang di mediatori oleh Libya tersebut, tidak mendatangkan hasil sesuai yang diharapkan sebelumnya. Adanya multi tafsir dari para pihak menyebabkan perjanjian damai tersebut tidak ditaati sehingga sulit untuk bisa diimplementasikan. Perjanjian Tripoli yang gagal tersebut, pada akhirnya menyebabkan MNLF kembali melakukan serangan terhadap militer Filipina. Saat itu juga, terjadilah suatu peristiwa besar bahwa MNLF terbagi menjadi 2 bagian yaitu Moro Islamic Liberation Front (MILF) 39
John L. Esposito. Islam in Asia Religion, Politics and Society. New York: Oxford University Press, 1987. hal 107.
Universitas Sumatera Utara
53
yang berada dibawah pimpinan Salamat Hashim dan MNLF berada dibawah pimpinan Dimas Pundatu.40 Tahun 1986, setelah pergantian Presiden dari masa pemerintahan presiden Marcos kepada masa pemerintahan presiden Cory Aquino, dilakukan sebuah pertemuan dengan Nur Misuari dan MNLF di Sulu. Pertemuan yang diprakarsai oleh Presiden Cory Aquino pada saat itu, menimbulkan kemarahan dari pimpinan MILF. Pimpinan MILF merasa seperti tidak diakui keberadaan nya karena dalam pertemuan tersebut, pemerintah Filipina tidak mengundang perwakilan dari MILF. Pertemuan antara Nur Misuari dan MNLF di Sulu, merupakan salah satu langkah yang ditempuh pemerintah Filipina untuk melakukan negosiasi. Selang 10 tahun setelah diadakannya pertemuan antara petinggi-petinggi MNLF pada tahun 1986 silam, Pada 2 September 1996 ketika Filipina berada dibawah pemerintahan Presiden Fidel V. Ramos, dibentuklah sebuah rekonsiliasi perjanjian pada 2 September 1996. Perjanjian yang dimaksud dikenal dengan Final Peace Agreement (FPA). Namun sayangnya, perjanjian tersebut hanya berhasil mengawali terbentuknya proses rekonsiliasi terhadap MNLF saja. Sebab ketika perjanjian ini dibentuk, untuk kesekian kalinya pemerintah Filipina tidak melibatkan MILF. Hasilnya adalah perjanjian tersebut hanya membawa keuntungan bagi MNLF saja. Dan di sisi lain, komunitas MILF menjadi sebuah tantangan politik bagi pemerintah Filipina.41 Setelah masa kepemimpinan Presiden Fidel V. Ramos, Filipina dipimpin oleh Presiden Estrada. Pada saat masa pemerintahan Presiden Estrada, pasukan 41
Ibid., Hlm 487.
Universitas Sumatera Utara
54
tentara militer Filipina melakukan serangan terhadap markas MILF. Aksi penyerangan tersebut (All out War) dilakukan untuk menghancurkan markas Abu Bakar, yang tak lain merupakan markas terbesar MILF. Sebab disana terdapat banyak sekali komunitas pemukiman Muslim. Peristiwa penghancuran markas Abu Bakar berhasil dilaksanakan. Pada akhirnya peristiwa ini menyebabkan penginternasionalisasian konflik antara pemerintah Filipina dengan komunitas MILF. Peristiwa tersebut menjadi titik awal bagi MILF untuk melakukan perjuangan secara diplomatik dan mencari bantuan dalam dunia internasional, terutama dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) .42 Diawali dari adanya perbedaan paham dan sejarah yang berbeda hingga kepada keputusan-keputusan sepihak dari pemerintah pusat yang dianggap merugikan pihak pemberontak, inilah yang menyebabkan konflik antara pemerintah pusat Filipina dengan gerakan-gerakan separatis yang ada di dalam negara itu tidak kunjung terselesaikan.
B. Hal-hal yang Menjadi Dampak Konflik Bersenjata Konflik bersenjata memiliki beberapa dampak yang bersifat jangka panjang dan jangka pendek. Dampak dari konflik berimbas pada pengembangan negara, lingkungan dan kesejahteraan manusia yang berada di dalam wilayah terjadinya konflik bersenjata. Dampak yang terjadi akibat adanya konflik bersenjata dapat dirasakan di berbagai tingkat kehidupan, mulai dari masyarakat golongan bawah hingga masyarakat golongan atas. Dampak tersebut juga tidak 42
Erni Budiwanti. Tantangan Pembangunan Negara Bangsa di Filipina: Gerakan Separatisme Moro. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI) dalam katalog.pdii.lipi.go.id diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
55
hanya dirasakan di dalam wilayah terjadinya konflik, namun juga dapat dirasakan oleh wilayah-wilayah diluar dari wilayah terjadinya konflik tersebut. Konflik bersenjata mampu menghancurkan lingkungan, manusia, pergerakan ekonomi dan keadaan politik suatu negara. Konflik bersenjata juga mampu memberikan impact terhadap pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan cara mengurangi kesempatan yang tersedia untuk pelaksaan pembangunan berkelanjutan.43 Konflik bersenjata yang terjadi dalam suatu wilayah dapat berdampak kepada kesejahteraan manusia, lingkungan, dan ekonomi. Sangatlah jelas bahwa konflik bersenjata mampu mengurangi kualitas hidup masyarakat, serta mengakibatkan setiap masyarakat menjadi tidak mampu untuk hidup lebih layak. Selain hal tersebut, konflik bersenjata juga mengakibatkan hilangnya nyawa pihak-pihak yang turut dalam pertikaian maupun yang tidak turut dalam pertikaian. Masyarakat juga kehilangan mata pencaharian sebagai sumber penghidupannya dan kehilangan martabat serta hak asasi nya sebagai manusia.44 Pelanggaran terkait hilang nya hak asasi manusia yang sering terjadi selama konflik terjadi adalah berupa tindakan kekerasan atas jiwa raga seperti pembunuhan, penganiayaan, penyanderaan, perkosaan terhadap kehormatan pribadi.45 Tindakan ini lebih banyak terjadi terhadap kaum perempuan dan anakanak dikarenakan kedua kaum ini merupakan kaum yang dianggap lemah. Jutaan anak-anak dan kaum wanita hidup dengan luka dan cacat yang disebabkan oleh 43
http://www.unep.org/dewa/Africa/publications/AEO-2/content/203.htm, diakses pada tanggal 12 Desember 2013. 44 Loc.cit. 45 Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Op. Cit., hlm 60.
Universitas Sumatera Utara
56
konflik bersenjata. Dalam setiap konflik bersenjata yang terjadi di berbagai tempat, tidak jarang ada yang memanfaatkan anak-anak dan wanita untuk turut serta dalam pertikaian. Dalam situasi konflik bersenjata, anak-anak dan wanita dikerahkan, diculik, dipaksa bersekongkol melawan musuh, atau dengan kata lain dipaksa untuk menjadi tentara anak-anak dan tentara wanita.46 Selain tindakan tersebut, hal lain yang sering terjadi dalam setiap konflik bersenjata ialah tindakan penyanderaan. Tindakan penyanderaan ini biasanya terjadi tidak hanya pada pihak yang turut dalam pertikaian (kombatan), tetapi juga sering terjadi kepada warga sipil yang tidak turut dalam pertikaian. Penyanderaan dilakukan sebagai salah satu bentuk ancaman kepada pihak musuh untuk tidak memperkuat serangan atau sebagai salah satu cara agar apa yang menjadi tujuan dari pihak penyandera dapat dengan segera dipenuhi oleh pihak yang menjadi lawannya. Tentunya keadaan ini jelas bertentangan dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Konflik bersenjata juga memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah tempat berlangsungnya konflik. Dampak konflik terhadap lingkungan dapat berupa: degradasi habitat, hilang nya akses pada titik air dan sumber daya lainnya yang bersifat vital, musnahnya beberapa spesies hewan dan tumbuhan, dan terjadinya perubahan rantai makanan alami.47 Dampak yang terjadi pada lingkungan disebabkan oleh polusi yang dihasilkan dari senjata-senjata yang 46
“Impact of War” sebagaimana dimuat dalam http://cultureofpeace.org/impactofwar diakses pada tanggal 14 Desember 2013. 47 United Nations Environment Programme, “Environtmental and Socioeconomic Impacts Armed Conflict”, dalam http://www.unep.org/dewa/Africa/publications/AEO-2/content/203.htm diakses pada tanggal 14 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
57
digunakan selama konflik berlangsung. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada kondisi alam di wilayah konflik. Konflik bersenjata yang terjadi di suatu wilayah, juga turut menimbulkan kerusakan terhadap infrastruktur bangunan dan jalan yang ada di wilayah konflik. Tempat tinggal warga sipil juga tidak luput terkena dampak serangan senjata yang digunakan oleh para pihak yang bertikai. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan banyak warga sipil kehilangan tempat tinggal dan mengharuskan mereka mengungsi ke tempat yang lebih aman. Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, konflik bersenjata juga turut mempengaruhi stabilitas ekonomi suatu bangsa. Konflik bersenjata menyebabkan banyak warga sipil yang kehilangan pekerjaan nya dan pada akhirnya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada maa konflik sampai masa pasca konflik, angka kemiskinan akan semakin bergerak keatas. Konflik bersenjata memberikan dampak makro terhadap keadaan ekonomi bangsa yang sedang mengalami konflik. Hal ini menyebabkan penurunan kapasitas negara yang berkaitan dengan basis pendapatan yang menyusut dan mengurangi belanja publik serta stagnasi ekonomi sebagai akibat dari turunnya ekspor - impor.48 Dampak Konflik terhadap keadaan ekonomi juga mempengaruhi keadaan inflasi dari negara yang sedang dilanda konflik. Inflasi akan mengalami kenaikan dan pada akhirnya menyebabkan depresiasi nilai tukar mata uang, penarikan investasi dan pelarian modal.
48
Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
58
a. Dampak Konflik Bersenjata di Filipina Selatan Seperti
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya,
konflik
bersenjata
menimbulkan dampak yang cukup besar bagi wilayah yang menjadi lokasi dari terjadinya konflik tersebut. Dampak yang ditimbulkan akan mempengaruhi sendisendi kehidupan masyarakat yang berada di wilayah konflik. Konflik bersenjata yang terjadi antara Bangsa Moro dengan pemerintah pusat Filipina menimbulkan banyak sekali dampak buruk. Dampak buruk yang ditimbulkan dari konflik ini adalah sebagai berikut: 1. Pengungsian Konflik bersenjata yang terjadi di Selatan Filipina pada 8 September 2013 yang lalu, cukup menimbulkan keresahan yang luar biasa pada masyarakat yang berada di daerah Zamboanga City dan sekitarnya. Akibat kontak senjata yang terjadi antara kelompok separatis Moro dengan kelompok militer Filipina, menyebabkan warga sipil harus mengungsi ke daerah yang lebih aman untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Menurut data yang diperoleh, pada hari ketiga sejak gencatan senjata dimulai, yakni pada tanggal 12 September 2013, sekitar 13.000 warga kota melarikan diri dan berlindung di sebuah stadion olahraga yang terletak tiga kilometer dari daerah pertempuran.49 Zamboanga City menjadi titik pusat pertempuran antara MNLF dengan pasukan militer Filipina. Keadaan kota yang semakin tidak kondusif menyebabkan jumlah warga sipil yang mengungsi terus mengalami peningkatan hingga berjumlah 82.000 jiwa.50 Peningkatan 49
http://www.suarapembaruan.com/home/mnlf-tolak-negosiasi-dengan-pemerintahfilipina/41732 diakses pada tanggal 15 Desember 2013. 50 http://berita.plasa.msn.com/internasional/okezone/pemberontak-moro-lumpuhkan-filipinaselatan diakses pada tanggal 15 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
59
jumlah warga yang mengungsi terjadi setelah kelompok pejuang pimpinan Nur Misuari itu menembakkan dua roket ke pelabuhan utama kota tersebut dan membakar beberapa rumah di salah satu desa yang berada di kota Zamboanga.51 2. Meningkatnya korban jiwa Selain menyebabkan banyak nya warga sipil yang harus meninggalkan tempat kediamannya dan mengungsi ke tempat yang lebih aman, konflik ini juga menyebabkan banyak warga sipil yang kehilangan nyawa. 3 hari setelah kontak senjata dimulai, sudah ada 12 warga yang kehilangan nyawanya. Jumlah ini semakin meningkat sampai kepada 14 hari sejak konflik tersebut terjadi. Jumlah korban yang tewas setelah 14 hari konflik dimulai adalah 87 jiwa, yang terdiri dari 6 jiwa dari pihak militer Filipina, 3 jiwa dari personel kepolisian Filipina, 7 jiwa dari warga sipil dan 71
jiwa dari anggota MNLF.52 Angka kematian yang
disebabkan oleh konflik bersenjata antara pasukan pemberontak dengan pasukan militer pemerintah pusat semakin bertambah setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan di kota Zamboanga semakin hari semakin chaos. 3. Kerusakan sarana dan prasarana Dampak konflik bersenjata yang terjadi di kota Zamboanga, Filipina Selatan juga berimbas pada sarana dan prasarana umum yang ada di kota tersebut. Properti penduduk sipil yang bersifat vital banyak yang musnah dikarenakan oleh serangan yang terjadi antara pasukan militer MNLF dengan pasukan militer Filipina. Sarana dan prasarana yang terkena dampak dari konflik adalah sebagai 51
http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/09/11/msytiq-mnlf-harapkanmediasi-internasional diakses pada tanggal 6 Januari 2014. 52 http://www.suarapembaruan.com/home/militer-filipina-bebaskan-para-sandera/41942 diakses pada tanggal 6 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
60
berikut: tempat tinggal penduduk, jalan raya, bandara sipil, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah dan sebagainya.53 Tindakan ini dapat dipastikan telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengabaikan aturan Hukum Humaniter Internasional (HHI) seperti yang terdapat dalam Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977 Pasal 48. Protokol I yang berbunyi “pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan, antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek-objek militer.”54 4. Eksploitasi anak-anak Tindakan pengeksploitasi anak-anak selama berlangsungnya konflik bersenjata, bukanlah sesuatu hal yang baru. Menurut data dari United Nations of Children’s Fund (UNICEF) ada 24 studi kasus yang menunjukkan bahwa pemerintah atau pemberontak tentara telah merekrut puluhan ribu anak-anak untuk dijadikan sebagai tentara anak-anak.55 Sebagian besar adalah remaja lakilaki, tetapi banyak juga yang berasal dari kaum perempuan. Banyak diantaranya direkrut secara paksa, disita dari jalan-jalan, atau bahkan dari sekolah dan panti asuhan. Ada juga yang didorong untuk bergabung dengan kelompok-kelompok
53
http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-09-19/militer-filipina-paksa-pemberontakmenyerah/1192638 diakses pada tanggal 16 Januari 2014. 54 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003:61. 55 Information Impact of Armed Conflict on Children: Wars Against Children dalam http://www.unicef.org, diakses pada tanggal 16 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
61
bersenjata oleh rasa takut atau kemiskinan, yang percaya bahwa ini adalah satusatunya cara untuk mencapai perlindungan dari kekerasan di sekitar mereka. Pada konflik bersenjata yang terjadi di Filipina, tercatat bahwa telah ada 11 insiden perekrutan dan penggunaan anak-anak, yang melibatkan 23 anak lakilaki dan 3 perempuan antara 12 dan 17 tahun. Angka itu menunjukkan penurunan pada tahun 2012, mengingat bahwa ada 26 insiden yang mempengaruhi 33 anak laki-laki dan 21 anak perempuan pada tahun 2011. Melalui kasus tersebut, 2 dilaporkan direkrut dan digunakan oleh Front Pembebasan Islam Moro, 11 oleh Tentara Rakyat Baru ( NPA ) , 11 oleh Abu Sayyaf Group dan 2 oleh Angkatan Bersenjata Filipina.56 Tentara anak sering dijadikan sebagai “pendukung” dalam pertikaian bersenjata. Anak laki-laki berfungsi sebagai kuli atau sebagai utusan. Perempuan menyiapkan makanan dan terkadang juga dapat dipaksa untuk memberikan layanan seksual atau menjadi 'menikah' untuk tentara lainnya. Tindakan ini jelas dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pelanggarab terhadap konvensi internasional mengenai perlindungan anak. Badan PBB turut prihatin atas penggunaan anak-anak oleh angkatan bersenjata nasional sebagai panduan dan informan selama operasi militer. 5. Melemahnya keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Konflik yang telah terjadi di wilayah selatan Filipina juga turut melemahkan keadaan ekonomi masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Kekuatan sentralisasi Filipina gagal mengangkat kesehatan sosial dan ekonomi masyarakat di Filipina selatan. Sementara Mindanao dikenal sebagai salah satu 56
Laporan Sekretaris Jenderal kepada Dewan Keamanan (A/67/845-S/2013/245) dalam http://childrenandarmedconflict.un.org/countries/philippines/, diakses pada tanggal 16 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
62
daerah yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia.57 Penduduk yang berada di daerah Mindanao hidup dalam kemiskinan, setelah lebih dari seperempat abad pemerintah Filipina mengklaim telah mengembangkan Mindanao. Namun pada kenyataannya, statistik menggambarkan suatu realitas yang menyedihkan. Pembangunan ekonomi dan segala kepentingan sosial masyarakat di wilayah selatan Filipina tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Inilah
sebabnya
mengapa
para
pemberontak
semakin
gencar
melaksanakan aksi memperjuangkan nasib wilayahnya. Merujuk pada konflik yang kembali terjadi pada September 2013 di kota Zamboanga, kerusuhan di daerah tersebut telah memberikan dampak kerugian ekonomi hanya selang beberapa hari setelah meletusnya gencatan senjata antara pasukan militer MNLF dengan pasukan militer Filipina. Menurut pejabat perkantoran sipil bidang perdagangan Kota Zamboanga, konflik bersenjata yang terjadi telah berimbas buruk pada perekonomian wilayahnya. Kota Zamboanga yang sebelumnya dikenal sebagai pusat industri pengalengan ikan sarden telah mengalami kerugian secara ekonomi diperkirakan mencapai 50 miliar peso atau setara 1,1 miliar dollar AS per hari.58
57
E. Tadem, J. Reyes, and L.S. Magno, Showcases of Underdevelopment in Mindanao: Fishes, Forests, and Fruits (Davao City: Alternative Resource Center, 1984 ) dalam The State Moro Armed Conflict in The Philippines: Unresolved National Question or Question of Governance (https://www.academia.edu/3068547/The_state Moro_armed_conflict_in_the _Phil ippines_Unresolved_national_question_or_question_of_governance), diakses pada tanggal 19 Januari 2014. 58 Militer Sudutkan Gerak MNLF dalam koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/128 860 diakses pada tanggal 19 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
63
6. Penyanderaan warga sipil Penyanderaan terhadap warga sipil oleh pasukan pemberontak saat terjadinya konflik bersenjata di kota Zamboanga, menjadi suatu tindakan yang dilakukan secara nyata, berkelanjutan, dan dalam jumlah yang cukup banyak. Pada konflik yang terjadi di awal September 2013, pemberontak terkesan menjadikan tindakan penyanderaan ini sebagai bentuk ancaman yang keras terhadap pemerintah pusat Filipina. Tindakan ini merupakan suatu perbuatan yang ditentang keras oleh peraturan internasional mengenai perlindungan orang-orang yang menjadi korban konflik bersenjata yang tercantum dalam Hukum Jenewa 1949. Tetapi pada kenyataannya, konflik bersenjata yang terjadi di Filipina Selatan menimbulkan aksi penyanderaan warga sipil secara besar-besaran.
C. Upaya-upaya Pemerintah Filipina dalam Menangani Konflik Bersenjata di Filipina Selatan Konflik yang terjadi antara pemerintah pusat Filipina dengan separatis MNLF yang terjadi sejak tahun 1972 telah menarik perhatian dunia internasional, terlebih bagi negara-negara yang menjadi peserta Organisasi Konferensi Islam (OKI). Yang menjadi alasan dari ketertarikan mereka terhadap konflik ini ialah bahwa konflik terjadi dikarenakan ketidakmengertian pemerintah pusat Filipina mengenai Islam dan Bangsa Moro. Indonesia yang pernah ditunjuk sebagai mediator dari konflik ini, sejauh mungkin harus mampu memaklumi hal-hal yang sebenarnya terjadi. Merupakan
Universitas Sumatera Utara
64
suatu hal yang bijaksana jika obyektifitas dari masalah yang ada dijaga dengan baik dengan melakukan penelitian menyeluruh dengan sikap yang netral. Berdasarkan latar belakang serta dampak konflik yang telah dipaparkan di atas, selanjutnya penulis mencoba memaparkan bagaimana penyelesaian konflik tersebut secara rinci dan sederhana. Masalah yang terjadi antara pemerintah Filipina dengan bangsa Moro dianggap sebagai suatu masalah internal oleh Filipina. Dikarenakan sifat nya merupakan konflik internal, maka pemerintah Filipina memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikannya di dalam kerangka kedaulatan nasional dan ketentuan wilayah Filipina. Berbagai penyelesaian dengan cara damai, adil, dan terhormat telah ditempuh pemerintah Filipina untuk mengakhiri konflik antara bangsa Moro. Perundingan juga dilakukan secara langsung dan menggunakan jasa-jasa baik dari Organisasi Konferensi Islam. Perundingan dan Persetujuan dengan MNLF:59 1. Kairo, Januari 1975. Pertemuan Panel Pemerintah yang terdiri dari para Duta Besar Lininding Pangandaman dan Duta Besar Paufico A. Castro, dengan wakil-wakil MNLF Hasim Selamat, Balindung, dan Hasami. 2. Jedah, Tripoli, Kairo, Riyadh, Januari 1975. Pertemuan Panel Pemerintah yang dihadiri oleh Sekretaris Eksekutif Alejandro Meleliar, Laksana RomuloEspeldon, Duta Besar Lininding Pangandaman, Duta Besar Paufico A. Castro, Kanselir Ruben Cuyugan, Dekan Cesar Mojul, Kol. Jose Almonte,
59
Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm 160-162.
Universitas Sumatera Utara
65
Ahli Ekonomi, dan wakil-wakil MNLF Nur Misuari, Hashim Salamat, Abdul Baki dan Hasami. 3. Tripoli, November 1976. Pertemuan dengan Ibu Negara Filipina Ny. Imelda Romueldez Marcos dan Pemimpin Libya Qadhafi. 4. Tripoli, Desember 1976. Pertemuan Panel Pemerintah yang terdiri dari Menteri Muda Pertahanan Carmulo Barkero, Duta Besar Lininding Pangandaman, Komisaris Simon Datumanoeng, SPDA Administrator Karim Sidri, Duta Besar Pasifico A. Castro dan Kolonel Eduardo Ermita Nur Misuari, Hashim Salamat, Abdul Baki dan Hasami. Perundingan ini melahirkan Persetujuan Tripoli 23 Desember 1976. 5. Zamboanga City, Januari 1977. Perundingan ini dihadiri oleh Laksamana Romilo Espaldon dan Panglima MNLF Tham Manjaorsa. Perundingan ini melahirkan persetujuan II yaitu Persetujuan Gencatan Senjata 20 Januari 1977. 6. Tripoli, Februari-Maret 1977. Antara Panel Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Muda Pertahanan Carmelo Barbero, Duta Besar Pasifico A. Castro, Jenderal Pacienco Magtibay, DLGCD Assistant Secretary Ronaldo Puno dan Penasehat Kementerian Kehakiman Minerva Reyes dan MNLF yang diwakili oleh Nur Misuari, Hashim Salamat, Abdul Baki, Gubernur Candao dan Pengacara Balindong. 7. Tripoli, Banghari, Maret 1977. Pertemuan-pertemuan antara Ibu Negara Filipina Madame Imelda Romaldez Marcos dan pemimpin Libya Kolonel Mjuammar Al-Qadhafi . melalui pertemuan-pertemuan yang terjadi sepanjang Maret 1977 yang lalu, menghasilkan 2 persetujuan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
66
a. Persetujuan III tentang kesepakatan antara Marcos dan Al-Qadhafi pada 18-19 Maret 1977. b. Persetujuan IV tentang kesepakatan antara Marcos dan Al-Qadhafi pada 14 April 1977. 8. Manila, April 1977. Pertemuan Panel Pemerintah yang terdiri dari Menteri Luar Negeri Carlos P. Romulo, Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile, Menteri Kehakiman Jose Abad Santos, Menteri Urusan Pemerintah Daerah Jose Rono, Menteri Muda Pertahanan Carmulo Barbero, Duta Besar Pasifico A. Castro, Duta Besar Lininding Pangandaman, Laksamana Romulo Espaldon, Mayor Jenderal Fidel Ramos dengan wakil MNLF Kagim Jujuria dan Komite Menteri Empat Negara (Menteri Luar Negeri Libya, Ali Treki, Direktur Politik dan Direktur Darman dari Somalia). 9. Kairo, Maret 1979. Pertemuan Panel Pemerintah yang terdiri dari para Duta Besar Lininding Pangandaman, Pasifico A. Castro dan Felino Menez dengan wakil- wakil MNLF Hashim Salamat, Balindung dan Hasami. 10. Kairo, April 1979. Pertemuan Panel Pemerintah yang terdiri dari Duta Besar Lininding Pangandaman, Abdul Khayer Alonto dan Dr. Loong dengan pihak dari MNLF yang diwakili oleh Hashim Salamat Candao dan Balindong. Inti dari kesepuluh pertemuan diatas adalah Persetujuan Tripoli 1976 yang berisikan tentang perubahan-perubahanyang mendasar antara kedua pihak yang berkonflik serta upaya untuk menterjemahkan persetujuan tersebut dalam satu konsep sehingga memberikan suatu visi yang sama beserta penerapannya. Hal
Universitas Sumatera Utara
67
inilah yang pada akhirnya menjadi permasalahan terhadap perundingan setelah persetujuan Tripoli 1976 tersebut terlaksana. Persetujan Tripoli tidak begitu saja terlaksana tanpa ada hambatan. Hambatan berasal dari proses sosialisasi persetujuan tersebut karena beratnya tuntutan dari gerakan separatis MNLF terhadap pemerintah Filipina.60 Selain itu, hambatan juga berasal dari dinamika politik yang ada di Filipina. Setelah masa pemerintahan Presiden Marcos, Filipina dipimpin oleh Corazon Aquino. Pada masa kepemimpinannya, perjanjian Tripoli sudah berhasil dicapai. Namun sayangnya , sistem pemerintahan Corazon Aquino sangat berbeda jauh dengan pemimpin sebelumnya. Presiden Corazon Aquino secara tegas menyatakan keberatannya terhadap keinginan bangsa Moro yang ingin melepaskan diri dari Filipina. Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu isyarat bahwa masalah kaum separatis Moro masih akan menjadi masalah politik yang sangat rancu di Filipina.61 Tahun 1992, Corazon Aquino digantikan oleh Fidel Ramos. Presiden Fidel Ramos memiliki keinginan yang kuat untuk menyelesaikan konflik antara Filipina dengan gerakan separatis Moro. Setelah 16 tahun sejaka diselenggarakannya Perjanjian Tripoli 1976, Indonesia ditunjuk oleh pemerintah Filipina sebagai tuan rumah dalam pelaksanaan perundingan. Perundingan tersebut dilaksanakan di Jakarta. Perundingan yang terjadi di Jakarta pada saat itu hanya melanjutkan hal-hal yang 60
Gandi Surianti Siregar, dimuat dalam Skripsi “Peranan Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Separatis MNLF Dengan Pemerintah Pusat Filipina Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Hlm. 51. 61 Syahbuddin Pangandaralam, Mengenal Dari Dekat Filipina, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Hlm.45-46.
Universitas Sumatera Utara
68
belum disepakati dalam Perjanjian Tripoli. Perundingan yang dilaksanakan di Jakarta diharapkan menjadi peluang terakhir bagi kedua pihak yang bersengketa untuk mencapai perdamaian. Upaya perundingan dan persetujuan antara pemerintah pusat Filipna dengan gerakan separatis MNLF yang dicapai pada saat masa kepemimpinan Presiden Corazon Aquino dan Presiden Fidel Ramos yang diadakan di Indonesia, antara lain:62 1. Bogor, April 1992, pertemuan ini membahas mengenai agenda acara perundingan dilanjutkan kemudian di Jakarta. 2. Jakarta, Oktober dan November 1993, mengadakan pembicaraan tentang teknis pemberian otonomi bangsa Moro. Perundingan ini pada akhirnya hanya menghasilkan rancangan pertemuan berikutnya. 3. Jakarta, September 1994, kedua belah pihak mengemukakan penafsirannya tentang pelaksanaan otonomi, dimana pemerintah Filipina mengizinkan lewat jalur hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1973 Filipina yaitu diadakannya Referendum di wilayah yang termasuk dalam Persetujuan Tripoli, sedangkan MNLF menginginkan pemberian otonom berdasarkan Perjanjian Tripoli 1976. Selanjutnya pada tahun 1996, kembali diadakan suatu perjanjian antara pemerintah Filipina dengan gerakan separatis MNLF. Perjanjian tersebut dilaksanakan pada 2 september 1996 dibawah pimpinan Fidel V.Ramos. Perjanjian damai yang dikenal dengan "Final Peace Agreement" (FPA), telah berhasil mengawali terbentuknya proses rekonsiliasi terhadap MNLF saja dan 62
Gandi Suriati Siregar, Op. Cit., hlm. 52-53.
Universitas Sumatera Utara
69
tidak termasuk komunitas MILF. Hal ini hanya membawa keuntungan bagi MNLF sebagai pihak yang turut dalam pelaksanaan perjanjian, adapun MILF menjadi sebuah tantangan baru bagi pemerintah Filipina.63 Penandatanganan FPA memang telah dilaksanakan dan keadaan setelah penandatangan FPA merupakan suatu proses damai yang disebut dengan tahapan peacemaking. Kondisi peacemaking berfokus antara kedua belah pihak pada kesepakatan untuk menghentikan peperangan. Dengan perjanjian tersebut berarti konflik itu harus dihentikan dan secara tidak langsung terdapat tanggung jawab bersama untuk menjaga perjanjian tersebut baik dari pemerintah maupun MNLF. Sehingga, apabila perdamaian sudah terwujud maka perdamaian tersebut harus dijaga, ini akan berlangsung ketahap perdamaian selanjutnya. Setelah masa kepemimpinan Presiden Fidel Ramos, Filipina dipimpin oleh Presiden Estrada. Presiden Estrada menyatakan "all out war" antara pasukan militer pemerintah Filipina dengan MILF. Presiden Estrada tidak mengindahkan hal-hal yang telah diatur dalam akan perjanjian FPA. Sehingga yang terjadi adalah kegagalan resolusi konflik melalui negosiasi FPA tersebut. Hal ini bertentangan dengan ekspektasi para pihak yang mengharapkan tidak terjadi lagi suatu tindakan kekerasan. Resolusi terhadap konflik ini hanya menghasilkan kegagalan antara pemerintah Filipina dengan MILF, sehingga terjadi suatu eskalasi konflik yang kembali terjadi. Sebaliknya, proses rekonsiliasi antara pemerintah dengan MNLF dapat dikatakan berhasil sebab pemerintah hanya akan melakukan penyerangan 63 Rufa Cagoco-Guiam. Mindanao: Conflicting Agendas, Stumbling Blocks and Prospects Towards Sustainable Peace. Dalam buku Searching for Peace in Asia Pacific: an Overview of Conflict prevention and peace building activities. United States: Lynne Rienner Publisher,inc. 2004. hlm. 487
Universitas Sumatera Utara
70
terhadap kelompok separatis MILF dan kelompok separatis lainnya. Sejarah berbicara bahwa pemerintah Filipina enggan untuk melakukan suatu perundingan dengan MILF dikarenakan pemerintah memiliki pandangan bahwa MILF merupakan gerakan islam yang banyak melakukan aksi-aksi terorisme. Rasa diskriminasi yang dimiliki oleh MILF karena tindakan pemerintah Filipina yang tidak pernah melibatkan mereka dalam setiap perundingan menyebabkan MILF melakukan aksi separatisme di Filipina Selatan. Aksi ini dilakukan untuk memperjuangkan cita-cita mereka, yakni melepaskan diri dari pemerintah pusat Filipina. Melihat hal ini, pemerintah Filipina berupaya melaksanakan perdamaian dengan kelompok MILF untuk meminimalisir aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh MILF. Tindakan pemerintah Filipina yang berkeinginan melakukan perundingan damai dengan MILF mendapat tantangan dari kelompok separatis lainnya, yakni kelompok MNLF. Pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Nur Misuari, mengatakan pakta dengan MILF itu ilegal karena melanggar kesepakatan lain yang diakui oleh PBB.64 Presiden Benigno Aquino, yang memenangkan pemilu di tahun 2010, menyebutkan bahwa pembentukan kawasan Muslim itu suatu percobaan gagal.65 Benigno Aquino lebih mengandalkan pada persetujuan baru untuk membawa perdamaian dan mengentaskan kemiskinan di wilayah selatan. Misuari berpendapat sebaliknya, bahwa perjanjian perdamaian dengan MILF itu tidak 64
“Perjanjian perdamaian pemerintah Filipina dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) bisa menghadapi tantangan hukum dari kelompok pemberontak Moro lain”, sebagaimana dimuat dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-1010/perjanjian-damai-filipinamilf-hadapi-ancaman/1028140, diakses pada tanggal 21 Februari 2014. 65 Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
71
akan menyelesaikan masalah, dan bahkan akan menjerumuskan lagi pulau Mindanao dalam perang. Dalam perkembangan lain, pemerintah Filipina berharap keberhasilan kesepakatan damai dengan MILF tersebut mampu mendorong dimulainya lagi perundingan perdamaian dengan kaum pemberontak komunis yang lain. Pemerintah Filipina mulai melaksanakan perundingan dengan kelompok MILF. Perundingan-perundingan yang terakhir dilaksanakan pada Agustus 2013 yang lalu di Malaysia. Presiden Benigno Aquino mengatakan bahwa perundingan yang terjadi dengan MILF sebenarnya bukan untuk menciptakan suatu perjanjian damai, tetapi membahas kerangka kerja damai dengan MILF.66 Kerangka kerja damai ini merupakan suatu awal proses menuju persetujuan perdamaian. Pertemuan yang digelar di Malaysia membahas kerangka kerja damai yang berisikan penyerahan senjata serta pemulihan kondisi-kondisi wilayah yang telah menjadi wilayah otonom bangsa Moro.67 Pertemuan antara pemerintah Filipina dengan MILF yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia pada Agustus 2013 yang lalu ternyata menimbulkan amarah dari pihak MNLF. MNLF menganggap langkah pemerintah Filipina melakukan perundingan dengan MILF adalah suatu langkah yang salah. MNLF juga merasa dikhianati oleh pemerintah Filipina karena tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut. Situasi tersebut menyebabkan MNLF melakukan penyerangan secara 66
“Manila and Rebel Group Take Step Toward Peace Plan”, sebagaimana dimuat dalam http://www.nytimes.com/2012/10/08/ world/asia/manila-and-rebel-group-take-step-toward-peaceplan.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2014. 67 “Filipina Setujui Perjanjian Damai Dengan Muslim Moro”, sebagaimana dimjuat dalam http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2014/01/26/15504/filipinasetujui-perjanjian-damai-dengan-muslim-moro.html, diakses pada 26 Februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
72
tiba-tiba ke Balai Kota di kota Zamboanga dan mengibarkan bendera MNLF.68 MNLF melakukan kontak senjata dengan militer Filipina di kota Zamboanga sebagai bentuk dari protes terhadap perundingan yang sedang terjadi di Malaysia. Kejadian ini menimbulkan krisis kemanusiaan di kota Zamboanga, sebab mengharuskan ribuan warga sipil di kota tersebut untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Krisis kemanusiaan di kota Zamboanga masih belum dapat diredakan hingga pada saat penulisan skripsi ini. Dapat disimpulkan bahwa langkah pemerintah Filipina untuk menciptakan perdamaian dengan cara mengadakan perundingan dengan kelompok MILF semakin memperkeruh suasana di Filipina Selatan.
68
“Moro Lumpuhkan Filipina Selatan”, dalam http://berita.plasa.msn.com/internasional/okezo ne/pemberontak-moro-lumpuhkan-filipina-selatan , diakses pada tanggal 25 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA SIPIL SEBAGAI KORBAN PENYANDERAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI FILIPINA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata di Filipina Hal menarik yang terjadi pada konflik bersenjata yang dilakukan oleh pasukan pemberontak MNLF pada 9 September 2013 yang lalu ialah adanya tindakan penyanderaan terhadap warga sipil (civilians hostage) di kota Zamboanga, Filipina Selatan. Hari pertama terjadinya konflik bersenjata yakni pada Minggu, 9 September 2013, pasukan MNLF telah berhasil menyandera sebanyak 20 warga sipil.69 Berdasarkan informasi dari media massa online, jumlah penduduk sipil yang menjadi korban sandera bertambah. Hingga berita terakhir yang diperoleh, ada sekitar lebih dari 200 warga yang di sandera oleh kelompok MNLF. MNLF tidak hanya menyandera warga sipil, namun juga menjadikan mereka sebagai tamen hidup (human shields). Para pemberontak MNLF yang mengambil alih desa-desa di kota Zamboanga, menyandera ratusan wrga sipil dan menggunakan mereka sebagai perisai manusia (tameng hidup) untuk mencegah serangan dari pasukan militer Filipina. Dalam melakukan penyanderaan, MNLF
69 “Timeline: Crisis in Zamboanga City”, sebagaimana dimuat dalam http://www.gmanetwork. com/news/story/325855/news/regions/timeline-crisis-in-zamboanga-city, diakses pada tanggal 25 Maret 2014.
73 Universitas Sumatera Utara
74
tidak akan menyakiti sandera nya sepanjang tidak ada perlawanan dari warga yang di sandera. Berdasarkan informasi dari media massa online, pada hari kedua yakni tanggal 11 September 2014, para pemberontak mengikat para warga yang di sandera untuk pidah ke tengah jalan kota Zamboanga. Warga sipil yang di sandera dipaksa untuk berdiri di luar di bawah sinar matahari, dimulai dari jam 10 pagi waktu setempat hingga malam hari. Para sandera akan dipantau oleh sniper sporadic MNLF.70 Tindakan tersebut dimaksudkan agar ketika pasukan militer Filipina mendekati wilayah tersebut, warga sipil yang di sandera dapat segera memberi tanda kepada pasukan pemberontak. Tentu hal ini membahayakan warga sipil tersebut sebab pasukan militer Filipina melakukan serangan tanpa pandang bulu.71 Para warga sipil yang dijadikan sebagai tameng hidup oleh kelompok MNLF dimaksudkan sebagai pengawal pasukan MNLF ketika akan menghadapi pasukan militer Filipina. Para sandera akan diperintahkan untuk keluar dari tempat persembunyian dan dituntun turun ke jalan oleh MNLF. Pasukan MNLF memanfaatkan sandera tersebut dengan berlindung tepat di belakang para sandera. Akibat dari pebuatan MNLF yang menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup, tidak sedikit warga sipil yang di sandera harus kehilangan nyawa.72
70
“Philippines Mistreatment Hostage Taking Zamboanga” sebagaimana dimuat dalam http://www.hrw.org/news/2013/09/19/philippines-mistreatment-hostage-takingzamboanga, diakses pada tanggal 2 Maret 2014. 71 Loc. Cit. 72 “Many Hostages Escape Amid Army Assaults in Philippines”, sebagaimana dimuat dalam http://www.arabnews.com/news/465009, diakses pada tanggal 2 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
75
Selain kehilangan nyawa, para sandera juga mengalami penganiayaan fisik. Menurut Human Right Watch Filipina, penganiayaan fisik tersebut dilakukan dalam bentuk pemukulan dan pencekikan leher terhadap para sandera. Disamping itu, para sandera dipaksa untuk bergabung menjadi bagian dari MNLF.73 Para sandera yang tidak mau menuruti perintah MNLF, akan mendapatkan perlakuan kasar seperti memaksa meminum alcohol dari hidung para sandera dan membenamkan kepala mereka ke dalam toilet.74 Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan ini, Presiden Benigno Aquino tidak tinggal diam. Presiden Aquino mengkerahkan lebih dari 8.000 tentara Filipina untuk menyelamatkan dan mengamankan para warga yang terjebak di kota Zamboanga.75 Melihat aksi yang dilakukan oleh kelompok separatis MNLF, MNLF merupakan pemberontak yang pertama sekali dalam melakukan pelanggaran tata aturan peperangan karena menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia (human shields). Hal senada juga dibenarkan oleh Presiden Filipina, yakni Presiden Benigno Aquino III. Konfrontasi yang terjadi di Zamboanga, dimana para pemberontak bersembunyi dibalik warga sipil yang di sandera dan tentara menembaki mereka, menunjukkan bagaimana buruknya pertempuran tersebut terjadi. Kedua belah pihak yakni pemberontak dan tentara militer pemerintah,
73
“Human Right Watch for Philippines: Mistreatment, Hostage Taking in Zamboanga”, sebagaimana dimuat dalam http://www.hrw.org/news/2013/09/19/philippines-mistreatmenthostage-taking-zamboanga, diakses pada tanggal 6 Maret 2014. 74 Loc. Cit. 75 ”Philippine: Conflicts Collateral Damage”, sebagaimana dimuat dalam http://blogs.aljazeera. com/blog/asia/philippine-conflicts-collateral-damage, diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
76
perlu melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari kehidupan warga sipil.
B. Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional Kata penyanderaan berasal dari kata dasar “Sandera”. Dalam istilah asing, sandera disebut juga dengan Hostage, yang berarti seseorang yang ditawan oleh seseorang yang lain agar keinginannya dituruti.76 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sandera memiliki arti sebagai orang yang ditawan untuk dijadikan jaminan (tanggungan).77 Penyanderaan berkaitan dengan perbuatan menyandera, yang memiliki arti bahwa menyandera merupakan suatu perbuatan menawan orang untuk dijadikan sandera. Makna penyanderaan lebih kepada mengenai cara atau proses. Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyanderaan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menyandera. Sebagai salah satu bentuk kejahatan perang, tindakan penyanderaan menjadi salah satu hal yang patut untuk diperhatikan. Sebab dalam setiap peperangan yang terjadi, baik itu yang bersifat internasional dan non internasional, tindakan penyanderaan sering terjadi dan menimpa pihak-pihak yang berada di wilayah konflik. Tindakan penyanderaan sudah tentu melanggar ketentuan-ketentuan yang terkadung dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa IV, dan Protokol Tambahan II 1977. 76
“Sandera”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sandera, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013. 77 “Sandera” sebagaimana dimuat dalam http://id.kbbi.web.id/sandera, diakses pada tanggal 1 November 2013.
Universitas Sumatera Utara
77
Pada dasar nya, Konvensi Jenewa 1949 tidak memberikan suatu penjelasan yang konkrit mengenai tindakan penyanderaan. Namun PBB telah mengeluarkan suatu konvensi internasional yang berisikan penjelasan mengenai tindakan penyanderaan terhadap warga sipil. Konvensi internasional yang dimaksud adalah International Convention Against the Taking of Hostages yang dibuat pada 17 Desember 1979, di kota New York dan telah diratifikasi oleh 173 negara.78
Konvensi Internasional 1979 mencoba memberikan penjelasan mengenai apa yang disebut dengan penyanderaan. Dalam Pasal 1 dari konvensi ini, didefinisikan pelanggaran tersebut sebagai suatu bentuk penyitaan atau penahanan seseorang (sandera), yang dikombinasikan dengan mengancam untuk membunuh, melukai atau melanjutkan untuk menahan sandera, dalam rangka untuk memaksa pihak ketiga untuk melakukan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan apapun karena kondisi eksplisit atau implisit untuk membebaskan sandera.79 Dalam Pasal 3 konvensi ini, dapat dilihat bahwa ada suatu kewajiban kepada negara peserta dengan segala cara untuk mencegah, melarang wilayah negaranya dijadikan tempat, baik dalam taraf mempersiapkan maupun melakukan tidak pidana penyanderaan. Lalu dalam Pasal 4 diwajibkan juga kepada negara yang wilayahnya dijadikan tempat penyanderaan untuk segera melakukan tindakan penghentian penyanderaan serta mengambil alih dan menyelamatkan sandera tersebut. Selanjutnya di Pasal 5, semua negara juga diberi kewajiban 78
“International Convention Against The Taking of Hostages”, sebagaimana dimuat dalam https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII5&chapter=18&lang=en, diakses pada tanggal 1 Maret 2014. 79 ”International Convention Against the Taking of Hostages”, Article 1 sebagaimana di muat dalam http://www.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v1_cha_chapter32_rule96, diakses pada tanggal 1 November 2013.
Universitas Sumatera Utara
78
untuk perduli terhadap kegiatan pemberantasan tindak pidana penyanderaan, dan menerapkan yuridiksinya terhadap tindak pidana tersebut. Negara tidak terlibat secara langsung, namun negara bertanggung jawab terhadap kejahatan tersebut, apabila tidak melaksanakan kewajiban seperti apa yang ditetapkan didalam konvensi ini. Selain dalam konvensi internasional tersebut, ICC (International Criminal Court) atau Mahkamah Pidana Internasional sebagai salah satu tempat untuk mengadili pelaku pelanggaran kejahatan perang, juga turut menggunakan definisi yang sama. Defenisi mengenai penyanderaan dapat dilihat dalam Elements of Crimes for the ICC. Akan tetapi , Mahkamah Pidana Internasional memberikan
sedikit tambahan mengenai uraian defenisi penyanderaan yang dipaparkan oleh Konvensi Internasional. Hal ini bertujuan untuk memberikan suatu defenisi yang konkrit sehingga pemahaman mengenai penyanderaan lebih mudah diperoleh. Mahkamah Pidana Internasional menambahkan bahwa ketika terjadi tindakan penyanderaan, perilaku yang diperlukan dari pihak ketiga bisa menjadi kondisi tidak hanya untuk pembebasan sandera tetapi juga untuk keselamatan sandera.80 Defenisi yang telah dipaparkan oleh kedua sumber hukum internasional tersebut memiliki maksud tertentu yang mencirikan tindakan penyanderaan. Serta memberikan perbedaan pengertian tentang tindakan perampasan kemerdekaan seseorang sebagai tindakan administratif atau yudikatif. Meskipun larangan penyanderaan pada dasarnya ditentukan dalam Konvensi Jenewa Keempat dan biasanya terkait dengan penyelenggaraan warga sipil sebagai sandera, tidak ada 80
Elements of Crimes for the ICC, Definition of the taking of hostages as a war crime (ICC Statute, Article 8(2)(a)(viii) and (c)(iii)) dalam Loc.cit., diakses pada tanggal 12 November 2013.
Universitas Sumatera Utara
79
indikasi bahwa kejahatan tersebut terbatas untuk mengambil sandera warga sipil. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Statuta Pengadilan Pidana Internasional dan Konvensi Internasional melawan Penyanderaan tidak membatasi pelanggaran untuk mengambil warga sipil, tetapi menerapkannya ke pengambilan setiap orang. Walaupun
dalam
Elemen-elemen
kejahatan
untuk
Mahkamah
Pidana
Internasional, definisi tersebut berlaku untuk pengambilan setiap orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa.81
C. Akibat Hukum bagi Pelaku Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional Tindakan penyanderaan terhadap warga sipil dalam suatu konflik bersenjata yang bersifat internasional maupun yang bersifat non internasional merupakan suatu tindakan yang dilarang secara tegas oleh hukum humaniter internasional. Civilians hostage dapat pula dikategorikan kedalam jenis-jenis tindak pidana internasional. Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV dengan tegas melarang perbuatan sandera terhadap penduduk sipil. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan
dan
sanksinya
dapat
ditegakkan
apabila
ada
yang
melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma tersebut dapat ditegakkan. Dalam salah satu common articles dari Konvensikonvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa Pihak Peserta Agung memiliki kewajiban 81
Elements of Crimes for the ICC, Definition of the taking of hostages as a war crime (ICC Statute, Article 8(2)(a)(viii) dalam Loc.cit., diakses pada tanggal 12 November 2014.
Universitas Sumatera Utara
80
untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.82 Ketentuan yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter terdapat dalam beberapa pasal, yaitu: 1. Pasal 49 ayat (1) Konvensi I. 2. Pasal 50 (1) Konvensi II. 3. Pasal 129 (1) Konvensi III. 4. Pasal 146 (1) Konvensi IV. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undangundang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses
82
http://pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf, diakses pada 29 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
81
peradilan nasional dari tiap-tiap negara.83 Artinya, bila terjadi suatu kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan
peraturan
perundangan
nasional
dan
dengan
menggunakan
mekanisme peradilan nasional yang negara bersangkutan. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Secara umum terdapat 5 bentuk sanksi atau akibat hukum terhadap pelanggaran mengenai hukum perang, yaitu: Protes, Penyanderaan, Kompensasi, Reprisal, dan Penghukuman pelaku yang tertangkap.84 Secara khusus ada pula sejumlah bentuk akibat hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang dapat dikenakan kepada pihak yang berperang, yaitu Kompensasi, Sanksi Militer, Sanksi Non militer.85 Sedangkan bagi individu yang terlibat dalam perang yang melakukan pelanggaran hukum perang dapat dikenakan pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban komandan.86 Berkenaan dengan tindakan penyanderaan warga sipil yang terjadi di Filipina, maka bentuk sanksi yang diberikan kepada MNLF sebagai pelaku penyanderaan adalah dalam bentuk sanksi militer dan penghukuman terhadap pelaku yang tertangkap. Hal ditunjukan dengan adanya aksi kontak senjata antara 83
Loc Cit. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2009, Hlm. 97. 85 Oliver Rambotsham, Conflict Resolution, Second Edition, Cambridge: Polity Press, 2006, Hlm. 88. 86 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2000, Hlm 40. 84
Universitas Sumatera Utara
82
pasukan militer Filipina dengan pasukan MNLF, serta ditangkapnya beberapa anggota militer MNLF.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan
terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata ditinjau dari
Hukum Humaniter Internasional diatur dalam Konvensi Jenewa IV 1949 beserta Protokol Tambahan II dan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Pada Konvensi Jenewa IV 1949, terdapat pengaturan yang umum mengenai perlindungan terhadap warga sipil yaitu dalam Pasal 27-39, dan Pasal 47, 48, 50, 55, dan 58. Substansi ini turut diatur dalam Pasal 7, 13, 14, 17 Protokol Tambahan II 1977. Sedangkan di dalam Hukum Kebiasaan Internasional Humaniter juga ditegaskan mengenai perlindungan warga sipil ini yaitu terdapat dalam aturan 1, 2, 5-7, 9, 10, 12, 13, 20-24, 33-35, 42, 5355, 70-84, 86-105, dan 131. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pihak-pihak yang bertikai dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: Memaksa baik secara jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan, menimbulkan
penderitaan
jasmani,
menjatuhkan
hukuman
kolektif,
mengadakan intimidasi, terorisme, dan perampokan, melakukan tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil dan menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera. Hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-
83 Universitas Sumatera Utara
84
pihak yang bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. 2. Yang melatarbelakangi terjadinya konflik
bersenjata di Filipina adalah
diawali dengan adanya perbedaan paham dan sejarah hingga kepada keputusan-keputusan sepihak dari pemerintah pusat yang dianggap merugikan pihak pemberontak. Dalam melakukan perundingan, pemerintah Filipina juga tidak mengikutsertakan para pihak-pihak pemberontak untuk duduk secara bersama-sama dalam meja perundingan, sehingga keadaan seperti selalu memunculkan kesalahpahaman dari pihak-pihak pemberontak yang merasa dibohongi oleh pemerintah Filipina karena cara pemerintah yang kurang efektif dalam melakukan upaya perundingan damai. Inilah yang menyebabkan konflik antara pemerintah pusat Filipina dengan gerakan-gerakan separatis yang ada di dalam negara itu tidak kunjung terselesaikan 3. Akibat hukum bagi pelaku penyanderaan warga sipil dalam konflik bersenjata menurut hukum humaniter internasional atau sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku penyanderaan warga sipil diberikan sesuai dengan hukum nasional yang berlaku di tiap-tiap negara. Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa Pihak Peserta Agung memiliki kewajiban untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pemberian sanksi dilakukan oleh Pengadilan nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila hukum nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya (baik
Universitas Sumatera Utara
85
melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen). Ketentuan yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter terdapat dalam beberapa pasal, yaitu: Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III, dan Pasal 146 (1) Konvensi IV. Secara umum terdapat 5 bentuk sanksi atau akibat hukum terhadap pelanggaran mengenai hukum perang, yaitu: Protes, Penyanderaan, Kompensasi, Reprisal, dan Penghukuman pelaku yang tertangkap. Secara khusus ada pula sejumlah bentuk akibat hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang dapat dikenakan kepada pihak yang berperang, yaitu Kompensasi, Sanksi Militer, Sanksi Non militer. Sedangkan bagi individu yang terlibat dalam perang yang melakukan pelanggaran hukum perang dapat dikenakan pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban komandan.
B. Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Konflik yang terjadi di Filipina sejak tahun 1968 menjadi suatu konflik yang berkepanjangan disebabkan karena tindakan pemerintah Filipina yang kurang bijak menyelesaikan masalah, karena pemerintah tidak secara langsung bertemu dengan seluruh kelompok separatis yang ada di wilayah Selatan Filipina untuk melakukan perundingan. Cara pemerintah Filipina yang seperti ini pada akhirnya hanyalah menimbulkan kesalahpahaman oleh masing-masing kelompok separatis. Untuk itu, diharapkan pemerintah Filipina dapat
Universitas Sumatera Utara
86
melakukan duduk bersama dengan seluruh kelompok separatis untuk melakukan perundingan secara bersama-sama. 2. Hendaknya pemerintah dari pihak yang bertikai dapat secara sigap melindungi orang-orang sipil yang tidak bersalah agar tidak dijadikan sasaran kekerasan. Bagi yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi yang tegas/dihukum dengan hukuman yang berat. 3. Perlu diadakan suatu pembaharuan terhadap konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, terutama dalam hal sanksi atau akibat hukum yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelanggar konvensi tersebut.
Universitas Sumatera Utara