BAB II KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA
A. Defenisi dan Pengertian Benda Budaya Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.39 Kebudayaan sebagai hasil ciptaan manusia membuat kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itulah manusia disebut makhluk yang berbudaya. Para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Begitu juga jika ditinjau dari segi bahasanya, kebudayaan memiliki arti yang berbeda-beda dan makna yang luas. Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. 40 Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi mengatakan bahwa, ―kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar‖. 41
39
Elly M. Setiadi dkk, ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR, PT Kencana, Jakarta, 2006, hal. 38 Drs. Herimanto, ILMU SOSIAL & BUDAYA DASAR, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal. 24 41 Prof. Dr. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal. 144 40
Universitas Sumatera Utara
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi merupakan unsur rohani, sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian, budaya merupakan hasil budi dan daya dari manusia.42 Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture. Dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur. Dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani).43 Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 44 Walaupun terdapat defenisi yang berbeda-beda baik oleh para ahli maupun dari segi bahasa, dapat dikatakan secara garis besar bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Hal ini karena dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia pasti akan menciptakan sesuatu. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud45, yaitu : 1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat atau adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam arsip, tape, dan komputer. Kesimpulannya, budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan dan kebudayaan yang bersifat abstrak. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena 42
Drs. Herimanto, Op. Cit. hal. 24 Elly M. Setiadi dkk., Op. Cit., hal. 27 44 Ibid. hal. 64 45 Elly M. Setiadi dkk., Op. Cit., hal. 29-30 43
Universitas Sumatera Utara
menyangkut tindakan dan kelakukan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi , difoto, dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulannya, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia . Wujud yang terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal –hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil. Contohnya : Candi Borobudur (besar), kain batik, dan kancing baju (kecil), teknik bangunan, misalnya, cara pembuatan tembok dengan fondasi rumah yang berbeda bergantung pada kondisi. Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/artefak. Sejatinya seluruh hasil karya cipta manusia yang berwujud nyata atau konkret adalah kebudayaan fisik. Namun, tidak semua kebudayaan fisik dapat disebut sebagai benda budaya. Hanya kebudayaan fisik yang dapat memberikan pengaruh besar dan manfaat besar bagi umat manusia atau suatu peradaban sajalah yang dapat disebut sebagai benda budaya. Benda budaya dapat menjadi ciri khas suatu peradaban. Budaya dan warisan kebudayaan, sebagai ekspresi identitas masyarakat, repositori memori atau dokumentasi sejarah dan pengetahuan tradisional, merupakan komponen penting dari identitas suatu peradaban atau masyarakat.46 Benda budaya dapat menjadi lambang atau identitas yang nyata dari suatu masyarakat atau peradaban. Hal ini tentu karena benda budaya tersebut bersifat kebendaan atau konkret yaitu dapat dilihat dan dapat disentuh. Selain itu, benda budaya dapat menjadi identitas suatu masyarakat atau peradaban tentunya karena benda budaya tersebut memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi umat manusia pada masa lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa akan datang. John Henry Merryman, seorang pakar hukum internasional mengatakan benda budaya dengan istilah ―kekayaan budaya‖, yaitu mengacu pada benda-benda yang memiliki ―artistik, 46
UNESCO, UNESCO‘S RESPONSE TO PROTECT CULTURE IN CRISES, Hal. 5, Dapat diunduh pada http://unesdoc.unesco.org/images/0024/002449/244984e.pdf
Universitas Sumatera Utara
etnografi, arkeologi, atau nilai sejarah.‖47 Dalam hukum internasional, benda budaya memiliki banyak defenisi dan makna yang luas. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para ahli dan konvensi-konvensi internasional yang memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang benda budaya. Beberapa konvensi-konvensi internasional tentang benda budaya48 :
1. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict – 1954: i. Text of the Convention – 1954 ii. First Protocol – 1954 iii. Second Protocol – 1999 2. UNESCO Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property – 1970 3. Convention for the Protection of the World Cultural and Natural Heritage – 1972 4. UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects – 1995 5. Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage – 2001 6. Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage – 2003 7. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions – 2005 Konvensi Den Haag 1954 atau disebut juga The 1954 Hague convention for the protection of cultural property in the event of armed conflict merupakan konvesi internasional tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata.
49
Pembuatan konvensi ini
dilatarbelakaangi oleh kerugian-kerugian luar biasa yang menimpa benda budaya selama
47
John Henry Merryman Dalam Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments, International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer 2010 , Hal. 187. Jurnal dapat diakses pada https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf 48
UNESCO, Main conventions on the protection of the cultural heritage, http://portal.unesco.org/culture/en/ev.phpURL_ID=33920&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html# , Diakses pada tanggal 17 Februari 2017, pukul 15.20 WIB. 49
Konvensi Den Haag http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001875/187580e.pdf
1954
dapat
diunduh
di
Universitas Sumatera Utara
Perang Dunia Kedua.50 Konvensi ini memfokuskan perlindungan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. Pasal 1 Konvensi Den Haag 1954 menyatakan bahwa benda budaya adalah : a. benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai kepentingan besar terhadap warisan budaya setiap orang, seperti monumen-monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat religius maupun sekular; situs arkeologi; kelompok bangunan yang secara keseluruhan mempunyai kepentingan sejarah atau artistik; karya seni; sebagaimana koleksi-koleksi ilmiah dan koleksi-koleksi penting dari buku-buku dan arsip-arsip atau reproduksi dari benda-benda yang ditetapkan diatas; b. bangunan-bangunan yang kegunaan utama dan efektifnya adalah untuk memelihara atau mempertunjukkan benda budaya bergerak yang ditetapkan pada sub-paragraf (a) seperti museum-museum, perpustakaan-perpustakaan besar dan penyimpanan-penyimpanan arsip-arsip, dan, dan tempat penampungan untuk melindungi, pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya bergerak yang ditetapkan dalam subparagraf (a); c. pusat-pusat yang berisi sejumlah besar benda budaya sebagaimana ditetapkan dalam sub-paragraf (a) and (b), untuk diketahui sebagai "pusat-pusat yang berisi monumen-monumen". (Terjemahan Bebas) Dalam Konvensi Den Haag 1954 ini, kita dapat melihat bahwa benda budaya tidak diberikan defenisi atau diartikan secara langsung, melainkan diartikan dengan kriteria atau karakteristik benda-benda yang dapat disebut sebagai benda budaya. Pada dasarnya dalam konvensi ini benda budaya dikelompokkan berdasarkan dapat atau tidaknya benda budaya tersebut berpindah atau bergerak dan juga dikelompokkan terhadap bangunan maupun pusatpusat wilayah yang berisikan benda budaya. Hal ini tentu sangat memudahkan kita dalam membedakan benda budaya. Konvensi internasional lainnya yang memberikan defenisi terkait benda budaya adalah Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property 197051. Definisi benda budaya dalam konvensi ini
50
Pembukaan atau Preumbule Konvensi Den Haag 1954 Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970 Dapat diunduh pada http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001333/133378mo.pdf 51
Universitas Sumatera Utara
disebut dengan istilah cultural property atau properti budaya diuraikan secara rinci dalam Pasal 1 yang berbunyi: "Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh masing-masing negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah, sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang milik kategori berikut: a. Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi, dan obyek paleontologi; b. Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi, militer, dan sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang terkait) pada kepentingan event nasional; c. Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat umum dan rahasia) atau dari penemuan arkeologi; d. Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis yang telah patah; e. Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak, koin, atau stempel; f. Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik); g. Properti yang memiliki nilai seni, seperti: i.
Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan tangan dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan tangan); ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun; iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan); iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage (komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun; h. Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun 1500-an), buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus (sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau koleksi; i. Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau koleksi; j. Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat musik tua". (Terjemahan Bebas) Konvensi the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970 ini ditujukan untuk melindungi benda budaya dengan mengawasi perdagangannya, juga menjembatani kerjasama antar pemerintah untuk mencari dan menemukan kembali benda budaya yang telah dicuri atau diambil secara ilegal yang melewati batas-batas negara.52 Dalam konvensi ini dapat kita lihat,
52
UNESCO, Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970, http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/illicittrafficking-of-cultural-property/1970-convention/text-of-the-convention/ , Diakses pada tanggal 17 Februari 2017, pukul 16.02 WIB.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 1 defenisi benda budaya secara sangat rinci dijelaskan lengkap dengan contoh-contohnya. Namun perlu dicatat, dalam konvensi ini, untuk dapat disebut sebagai benda budaya membutuhkan penunjukkan atau pengesahan oleh negara sebagai benda budaya dalam keagamaan maupun sekuler yang bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah, sastra, seni dan ilmu pengetahuan. Dalam World Heritage Convention 197253 atau Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972 tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia, mengenalkan konsep yang lebih moderen yaitu menjelaskan benda budaya sebagai warisan yang harus dilindungi dan dilestarikan oleh seluruh umat manusia. Dalam World Heritage Convention 1972, benda budaya yang biasanya dikenal dunia internasional sebagai properti budaya atau cultural property diganti dengan istilah warisan budaya atau cultural heritage. Dalam Preumbule World Heritage Convention 1972, juga disebutkan bahwa, ―Considering that parts of the cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be preserved as part of the world heritage of mankind as a whole‖, yang berarti bahwa warisan dunia atau world heritage terdiri dari warisan budaya atau cultural heritage (benda budaya) dan warisan kekayaan alam atau natural heritage yang merupakan warisan yang harus dilindungi dan dilestarikan seluruh umat manusia. Hal ini menjadi menarik, karena dalam Preumbule World Heritage Convention 1972, disebutkan bahwa kekayaan alam merupakan bagian dari warisan budaya dunia yang menarik luar biasa dan oleh karena itu perlu dilindungi dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan. Sehingga, dalam hal ini, kekayaan alam yang adalah bukan ciptaan manusia ikut dilindungi dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia atau World Heritage.
53
World Heritage Convention 1972 Dapat diunduh pada http://whc.unesco.org/archive/convention-
en.pdf
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi tentang benda budaya dengan istilah warisan budaya atau Cultural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau World Heritage, adalah bahwa benda budaya dapat dikelompokkan sebagai : 1. Monuments: architectural works, works of monumental sculpture and painting, elements or structures of an archaeological nature, inscriptions, cave dwellings and combinations of features, which are of outstanding universal value from the point of viewof history, art or science; 2. Groups of buildings: groups of separate or connected buildings which, because of their architecture, their homogeneity or their place in the landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science; 3. Sites: works of man or the combined works of nature and man, and areas including archaeological sites which are of outstanding universal value from the historical, aesthetic, ethnological or anthropological point of view. Terjemahan bebas : 1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur purbakala, prasasti dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang, karena arsitektur mereka, kesamaan mereka atau tempat mereka dalam lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologi pandang.
Sedangkan dalam Pasal 2 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi tentang kekayaan alam atau Natural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau World Heritage yaitu : “For the purposes of this Convention, the following shall be considered as "natural heritage": natural features consisting of physical and biological formations or groups of such formations, which are of outstanding universal value from the aesthetic or scientific point of view; geological and physiographical formations and precisely delineated areas which constitute the habitat of threatened species of animals and plants of outstanding universal value from the point of view of science or conservation; natural sites or precisely delineated natural areas of outstanding universal value from the point of view of science, conservation or natural beauty.” Terjemahan Bebas : Untuk tujuan Konvensi ini, berikut ini akan dianggap sebagai "warisan alam": fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok formasi tersebut, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut estetika atau ilmiah pandang; formasi geologi dan fisiografi dan daerah justru digambarkan yang merupakan habitat
Universitas Sumatera Utara
spesies hewan dan tumbuhan yang terancam dan mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi; situs alam atau daerah alami yang mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi atau keindahan alam.
Secara khusus, berdasarkan The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage54, terdapat jenis benda budaya yaitu berupa benda budaya yang menjadi warisan budaya yang berada bawah air atau lautan yang dikenal dengan istilah Underwater Cultural Heritage dapat kita temukan dalam Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage, yaitu : a) “Underwater cultural heritage” means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water,periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context;and (iii) objects of prehistoric character. b) Pipelines and cables placed on the seabed shall not be considered as underwater cultural heritage. c) Installations other than pipelines and cables, placed on the seabed and still in use, shall not be considered as underwater cultural heritage.
Terjemahan bebas : a) "Warisan budaya bawah air" berarti semua jejak keberadaan manusia yang memiliki karakter budaya, sejarah dan arkeologi yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus menerus, paling sedikit 100 tahun seperti: i. lokasi, struktur, bangunan, artefak dan jenazah manusia, bersama dengan konteks arkeologi dan alaminya; ii. kapal, pesawat terbang, kendaraan lain atau bagiannya, kargo atau barang lainnya, beserta arkeologi dan alaminya konteks; dan iii. objek karakter prasejarah. b) Pipa dan kabel yang ditempatkan di dasar laut tidak dianggap sebagai warisan budaya bawah laut. 54
The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage Dapat diunduh pada http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001260/126065e.pdf
Universitas Sumatera Utara
c) Instalasi selain pipa dan kabel, ditempatkan di dasar laut dan masih digunakan, tidak boleh dianggap sebagai warisan budaya bawah laut.
Dapat kita lihat, benda budaya sebagai warisan budaya tidak hanya benda budaya yang berada di darat saja seperti yang diatur konvensi-konvensi internasional yang lain. Berdasarkan Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage, benda budaya yang berumur minimal 100 tahun dapat juga berada di bawah air atau lautan, seperti bangkai pesawat terbang atau kapal laut yang karam di dalam laut, benda arkeologi di bawah air, artefak bawah air, dan lain-lain. Pengecualian diberikan pada pipa, kabel, dan instalasi lainnya yang berada di bawah air adalah tidak merupakan benda budaya bawah hair. Perkembangan selanjutnya, menunjukkan warisan budaya yang merupakan ciptaan manusia tidak hanya berwujud benda namun juga berwujud tidak benda. Hal ini dapat kita lihat pada Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 55 . Berdasarkan konvensi tersebut warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the Intangible Cultural Heritage. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 2 Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003, yaitu : 1.
2.
The “intangible cultural heritage” means the practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity. For the purposes of this Convention, consideration will be given solely to such intangible cultural heritage as is compatible with existing international human rights instruments, as well as with the requirements of mutual respect among communities, groups and individuals, and of sustainable development. The “intangible cultural heritage”, as defined in paragraph 1 above, is manifested inter alia in the following domains:
55
Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 Dapat diunduh pada http://unesdoc.unesco.org/images//0013/001325/132540e.pdf
Universitas Sumatera Utara
a. oral traditions and expressions, including language as a vehicle of the intangible cultural heritage; b. performing arts; c. social practices, rituals and festive events; d. knowledge and practices concerning nature and the universe; e. traditional craftsmanship. Terjemahan bebas : 1. ―Warisan budaya tidak benda‖ berarti praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan - serta alat, benda, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya bahwa komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, diwariskan dari generasi ke generasi, terus diciptakan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan menyediakan mereka dengan rasa identitas dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan diberikan semata-mata untuk warisan budaya takbenda seperti kompatibel dengan instrumen HAM internasional yang sudah ada, serta dengan persyaratan saling menghormati di antara masyarakat, kelompok dan individu, dan pembangunan berkelanjutan. 2. ―Warisan budaya tidak benda‖, sebagaimana didefinisikan dalam ayat 1 di atas, diwujudkan antara lain dalam domain berikut: a. tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tidak benda; b. seni pertunjukan; c. praktek-praktek sosial, ritual dan acara meriah; d. pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta; e. keahlian tradisional. Dapat kita lihat warisan budaya yang merupakan ciptaan manusia tidak hanya berwujud benda saja (benda budaya), namun ada yang berbentuk tidak benda yang diatur dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003. Contoh warisan budaya tidak benda tersebut adalah tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual, pengetahuan dan keahlian tradisional. Warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the Intangible Cultural Heritage. Dengan adanya warisan budaya tidak benda atau the Intangible Cultural Heritage membuat defenisi benda-benda budaya dari berbagai konvensi-konvensi internasional secara otomatis dapat dikelompokkan kedalam kelompok yang lebih kecil lagi yaitu kelompok warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage. Berdasarkan website resmi UNESCO, warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage adalah warisan berwujud benda meliputi bangunan dan tempat bersejarah,
Universitas Sumatera Utara
monumen, artefak, dan lain-lain, yang perlu dilestarikan untuk masa depan. Ini termasuk objek yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu. 56 Oleh sebab itulah, dapat dikatakan benda budaya sebagai warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage adalah segala macam benda atau materi yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu sehingga perlu dilestarikan untuk masa depan.
56
UNESCO, the Tangible Cultural Heritage, Dalam http://www.unesco.org/new/en/cairo/culture/tangible-cultural-heritage/ Diakses pada tanggal 18 Februari 2017, pukul 10.02 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Ringkasan Benda Budaya Berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional Benda budaya sebagai cultural property. (Konvensi Den Haag 1954)
WARISAN DUNIA atau World Heritage (Berdasarkan World Heritage Convention 1972, Warisan Dunia atau World Heritage terdiri dari benda budaya sebagai warisan budaya (cultural heritage) dan kekayaan alam sebagai warisan kekayaan alam (natural heritage)
Benda budaya sebagai cultural property. (UNESCO Convention On The Means Of Prohibiting Cultural Property 1970)
Benda budaya sebagai bagian dari warisan dunia (world heritage) adalah warisan budaya (cultural heritage). (World Heritage Convention 1972)
CULTURAL HERITAGE atau Warisan Budaya
Natural Heritage atau Warisan Kekayaan Alam
(World Heritage Convention 1972)
(World Heritage Convention 1972)
=Memiliki hubungan dalam suatu konvensi
= Pengelompokkan atau terdiri dari Benda budaya sebagai warisan budaya bawah air atau underwater cultural heritage (The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage)
= Perkembangan istilah benda budaya
Warisan Budaya Tidak Benda atau The Intangible cultural Heritage.
WARISAN BUDAYA BENDA (Tangible Cultural Heritage)
(Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage – 2003)
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian-uraian tersebut, kita dapat melihat bahwa benda budaya memiliki defenisi yang berbeda-beda dan makna yang luas. Benda budaya juga memiliki istilah-istilah yang berbeda. Benda budaya disebut juga properti budaya atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai cultural properti. Dalam perkembangannya, benda budaya dikenal sebagai warisan budaya atau cultural heritage yang merupakan warisan dunia yang wajib dilindungi dan dilestarikan. Jenis benda budaya juga berkembang, tidak hanya benda budaya di darat saja, namun benda budaya bawah air atau underwater cultural heritage juga sudah diakui dunia internasional. Lalu berkembang lagi dengan mengelompokkan benda budaya ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi yaitu warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage. Walaupun memiliki defenisi yang berbeda-beda dan makna yang begitu luas, pada intinya dapat dikatakan bahwa benda budaya adalah salah satu wujud kebudayaan yaitu kebudayaan fisik bersifat kebendaan yang memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi umat manusia pada masa lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa depan yang dapat menjadi identitas atau ciri khas suatu bangsa, masyarakat atau peradaban yang diwariskan dari generasi ke generasi sehingga perlu untuk dilestatikan dan dilindungi. B. Sejarah Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Dalam sejarahnya, posisi benda budaya dalam berbagai konflik bersenjata internasional atau perang antar negara dan juga perang internal dalam suatu negara (konflik bersenjata non-internasional) seperti perang saudara, perang agama dan perang pembebasan, sudah menjadi isu penting dan perhatian masyarakat internasional. 57 Hal ini karena banyakya peristiwa penghancuran benda budaya maupun penjarahan benda budaya dalam konflik bersenjata. Berikut akan diuraikan sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik
57
Patrick J. Boylan, The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada www.euromedheritage.net/old/rmsu.../amman/boylan2001.rtf
Universitas Sumatera Utara
bersenjata. Namun, tidak semua peristiwa akan diuraikan karena sangat banyaknya peristiwa penghancuran benda budaya yang terekam oleh sejarah. Penulis hanya menguraikan beberapa peristiwa penting terkait penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dan juga membaginya dalam suatu periode waktu. Zaman Kuno atau Sejarah Kuno58 Di zaman kuno, tepatnya pada Masa Yunani Kuno 59 kita dapat dapat melihat contoh penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata yang sangat terkenal pada masa Yunani Kuno adalah pembakaran Perpustakaan Alexandria. Dinasti Yunani, Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan menguasai negeri itu sampai Caesar Octavianus Augustus mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada tahun 30 SM. Dibawah Ptolemeus, Aleksandria berubah secara drastis. Daya tarik kota itu adalah perpustakaan kerajaannya. Didirikan pada awal abad ketiga Sebelum Masehi. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14, Perpustakaan Sorbonne yang katanya memiliki koleksi terbesar dizamannya hanya memiliki 1700 buku.60 Perpustakaan Alexandria yang berdiri pada tahun 290 SM di Mesir, pada tahun 48 SM dibakar oleh Julius Caesar. Padahal di perpustakaan tersebut, Ptolemy I pernah mengundang cerdik cendekia lintas negara untuk berdiskusi dan menulis hingga menghasilkan 700 58
Zaman Kuno atau Sejarah kuno adalah studi mengenai masa lalu tertulis dari awal mula sejarah manusia tertulis sampai Abad Pertengahan Awal. Jangka waktunya sekitar lima ribu tahun, dengan aksara kuneiform, bentuk tulisan koheren tertua yang pernah ditemukan, dari periode protoliterat sekitar abad ke-30 SM.Ini adalah awal dari "sejarah," sebagai kebalikan dari prasejarah, berdasarkan pengertian yang digunakan oleh sebagian besar sejarawan. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kuno diakses pada 13 Maret 2017, pukul 18:47 WIB 59
Yunani Kuno adalah peradaban dalam sejarah Yunani yang dimulai dari periode Yunani Arkais pada abad ke-8 sampai ke-6 SM, hingga berahirnya Zaman Kuno dan dimulainya Abad Pertengahan Awal. Carol G. Thomas (1988). Paths from ancient Greece. BRILL. pp. 27–50. ISBN 9789004088467 Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Yunani_Kuno Diakses tanggal 15 Maret 2017, pukul 19:43 WIB. 60 Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Selayang Pandang Mesir, KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA CAIRO,Cairo, 2014, hal. 23-24
Universitas Sumatera Utara
ribu gulung papyrus. Salah satu dari gulungan papyrus itu adalah Kitab Perjanjian Lama I yang diterjemahkan dari bahasa Yahudi ke bahasa Yunani.61 Pada masa Yunani Kuno kita dapat melihat penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sangat merugikan umat manusia. Perpustakaan Alexandria yang menjadi simbol pusat ilmu pengetahuan pada masa itu dihancurkan dalam suatu konflik bersenjata. Selain dihancurkan, benda budaya juga mengalami penjarahan atau pengambilan secara paksa dalam konflik bersenjata pada zaman kuno. Hal ini dapat kita lihat pada masa kekaisaran atau imperium Romawi. Berdasarkan penelitian oleh para ahli sejarah maupun ahli hukum menyatakan bahwa penjarahan, pengerusakan maupun penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata secara sistematis dan terorganisir mula-mula berawal dari masa Kekaisaran atau Imperium Romawi. 62 Tentara Romawi yang sering diterjunkan di medan perang dan menundukkan bangsa-bangsa lain, sepulangnya ke Roma juga kerap kali membawa serta karya-karya seni.63 Bangsa Romawi mengagungkan penjarahan dan pengambilan secara sistematis terhadap karya seni milik masyarakat atau daerah yang ditaklukan. Benda seni diutamakan diambil di antara barang rampasan, dan Prajurit atau Tentara Romawi melakukan prosesi acara kemenangan atau Triumph dengan memamerkan jarahan mereka.64
61
Dian Sinaga, Kejahatan Terhadap Buku dan Perpustakaan, Majalah Online Visi Pustaka, Edisi Vol. 6 No. 1 - Juni 2004, Dalam http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan-terhadap-buku-dan-perpustakaan/ , Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 21:10 WIB. 62 John Henry Merryman, Albert E. Elsen, dan Stephen K Urice, LAW, ETHICS, and the Visual Arts, Halaman 1 Paragraf 3, Kluwer Law International, USA, 2007. 63 P. Swantori, MASALALU selalu AKTUAL, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2016, hal.197 64 Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments , International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer 2010 Article 11 , Rutgers University Center for Law and Justice, 2010, hal. 191. Jurnal dapat diakses pada https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf
Universitas Sumatera Utara
Pada masa Kekaisaran atau Imperium Romawi 65 kita dapat melihat dalam konflik bersenjata banyak benda-benda seni yang merupakan benda budaya mengalami kerugian yang sangat besar. Tujuan perang tidak hanya untuk menaklukan suatu daerah melainkan juga untuk mengambil atau menjarah benda-benda seni dari daerah yang ditaklukkan. Tentaratentara Romawi secara beringas mengambil dan menjarah benda-benda seni lalu memamerkannya di Roma dalam suatu prosesi acara yang disebut Triumph. Triumph sebagai simbol dan bukti kemenangan perang oleh Kekaisaran atau Imperium Romawi yang dilakukan dengan cara memamerkan benda-benda seni hasil rampasan tentara Romawi di wilayah Roma. Masa Abad Pertengahan66 Pada abad pertengahan kita dapat melihat penghancuran benda budaya terjadi pada saat Perang Salib67. Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap kekuatan Muslim sejak tahun 1096 dikenal sebagai Perang Salib. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan tersbut didorong oleh motivasi keagamaan, selain itu mereka menggunakan simbol Salib.68
65
Pada tahun 27 SM, Senat dan Rakyat Roma mengangkat Oktavianus sebagai princeps ("warga negara pertama") dengan prokonsul imperium, dan dengan demikian memulai Principatus (zaman pertama dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimulai dari tahun 27 SM sampai 284 M). Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Romawi , Diakses pada tanggal 16 Maret 2017, pukul 22:28 WIB 66 Masa pertengahan sejarah Eropa dimulai dari abad ke-5 M hingga abad ke-15 M. Abad pertengahan sejarah Eropa merupakan suatu masa peralihan dari masa kejayaan kekaisaran Romawi dan Hellenisme ke kemenangan kelompok Kristen. Pada masa ini, agama Kristen sudah menjadi agama resmi negara. Kekaisaran Romawi berubah menjadi kekaisaran Romawi Suci; kaisar harus taat dan patuh pada perintah agama dan Paus. Dalam Herawati, AUGUSTINUS: POTRET SEJARAWAN MASA PERTENGAHAN DAN KONTRIBUSI BAGI KAJIAN SEJARAH ISLAM, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurnal THAQÃFIYYÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, Jurnal dapat diakses pada http://ejournal.uinsuka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/download/25/25 . 67 ―Perang Salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia Kristen di Erofah terhadap dunia Islam di Asia, sejak 632 M, dianggap sebagai pihak ―penyerang‖ bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan Salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan orang-orang Islam.‖ Oleh : Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008, hal. 171. 68 Latifa Annum Dalimunthe, ANALISIS KAJIAN DAN DAMPAK PERANG SALIB (SEBUAH STUDI PUSTAKA), IAIN Palangaka Raya, Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015, hal. 69. Jurnal dapat diakses pada http://jurnal.umpalangkaraya.ac.id/libs/download.php?file=FAI_Vol2_No2_part235_LATIFAH%20ANOM.pdf
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1204 banyak benda budaya yang dirusak, dijarah dan juga dihancurkan saat terjadinya Perang Salib . Walaupun Paus sudah menginstruksikan kepada para prajurit Perang Salib untuk tidak mengambil bahkan menghancurkan benda budaya, tetap saja banyak prajurit perang salib yang melanggar instruksi tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya benda budaya yang dijarah juga dihancurkan oleh para prajurit Perang Salib saat menyerang Kota Konstatinopel.69 Nicetas Choniates, Rohaniawan Ortodoks pada masa itu menulis bahwa : ―Nor can the violation of the Great Church [Hagia Sophia] be listened to with equanimity. For the sacred altar, formed of all kinds of precious materials and admired by the whole world, was broken into bits and distributed among the soldiers, as was all the other sacred wealth of so great and infinite splendor. When the sacred vases and utensils of unsurpassable art and grace and rare material, and the fine silver, wrought with gold, which encircled the screen of the tribunal and the ambo, of admirable workmanship, and the door and many other ornaments, were to be borne away as booty, mules and saddled horses were led to the very sanctuary of the temple.‖70 Terjemahan Bebas : Juga tidak bisa dalam pelanggaran Gereja Besar [Hagia Sophia] disimak dengan tenang (dianggap wajar). Untuk altar suci, yang terbentuk dari semua jenis bahan berharga dan dikagumi oleh seluruh dunia, dipecah-pecah dan didistribusikan di antara para prajurit, seperti semua kekayaan suci lainnya kemegahan begitu besar dan tak terbatas. Ketika vas suci dan peralatan seni tak tertandingi dari bahan langka, dan perak halus, ditempa dengan emas, yang mengelilingi layar pengadilan dan ambo, pengerjaan mengagumkan, dan pintu dan banyak ornamen lainnya, yang menjadi ditiup sebagai rampasan, keledai dan kuda berpelana yang memasuki bait suci. Tulisan Nicetas Choniates menunjukan bahwa pada masa Perang Salib, khususnya Perang Salib Keempat menunjukan banyak sekali benda budaya yang dicuri dan dihancurkan menjadi bagian-bagian kecil untuk dibagi-bagikan kepada sesama Prajurit Perang Salib sebagai barang rampasan dan harta pribadi mereka. Benda-benda budaya yang sangat berharga banyak diambil dan dihancurkan dari Gereja Hagia Sophia di kota Konstatinopel.
69
Patrick J. Boylan, The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada www.euromedheritage.net/old/rmsu.../amman/boylan2001.rtf 70
Ibid., hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Para Prajurit Perang Salib bebas memasuki Gereja Hagia Sophia yang kudus dan suci dengan menunggangi kuda dan keledai untuk mengangkut benda-benda budaya dari Gereja Hagia Sophia.
Perang Dunia71 Persenjataan canggih sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya digunakan untuk menyengsarakan umat manusia. Perang Dunia I dan II merupakan suatu tragedi yang sangat mengerikan. Pada masa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya digunakan untuk saling menghancurkan, bukan untuk kesejahterahan umat manusia.72 Perang Dunia I (PD I) berlangsung antara tahun 1914-1918. 73 Perang Dunia II berlangsung antara tahun 1939 sampai tahun 1945.74 Pada perkembangannya tercatat telah cukup banyak pengaturan hukum tentang perang yang merumuskan beberapa ketentuan mengenai perlindungan benda budaya di waktu perang atau pendudukan militer (military occupation), diantaranya terdapat pada pasal 27 regulation annexed Konvensi III DenHaag 1899 tentang hukum dan kebiasaan perang didarat, pasal 56 Konvensi IV DenHaag 1907 tentang hukum dan kebiasan perang di darat dan pasal 5 Konvensi IX DenHaag 1907 tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang.75 Hal ini
71
Perang dunia adalah suatu perang yang berskala besar dan melibatkan sebagian besar negara dunia yang jangkauannya antar benua hingga persekutuan militer. Perang dunia telah menimbulkan banyak kerugian dan perubahan era menuju Globalisasi. Sampai saat ini telah terjadi 2 perang dunia: Perang Dunia I dan Perang Dunia II Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_dunia . Diakses pada 16 Maret 2017, Pukul 03:43 WIB. 72
M. Taupan, dkk.., SEJARAH untuk SMA/MA Kelas XII IPA, Penerbit Srikandi Empat Widya Utama, Bandung, 2013, hal.59 73 Ibid., hal. 59 74 Ibid., hal. 66 75 Adam Roberts and Richard Guelff, Documents On The Laws Of War, Third Edition, (New York: Oxford University Press,2000), h. 371. Dalam Hilda, KEDUDUKAN DAN DAYA MENGIKAT KONVENSI DENHAAG 1954 TENTANG PERLINDUNGAN OBYEK BUDAYA DALAM SENGKETA BERSENJATA TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA (AMERIKA SERIKAT-IRAK) MENURUT KONVENSI WINA 1969 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL, Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2013, Jurnal dapat diakses pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=437772&val=7177&title=KEDUDUKAN%20DAN%20DA YA%20MENGIKAT%20KONVENSI%20DENHAAG%201954%20%20TENTANG%20PERLINDUNGAN%
Universitas Sumatera Utara
menunjukan bahwa memasuki awal Perang Dunia sudah banyak perangkat hukum yang mengatur perlakuan terhadap benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. Walaupun pada saat Perang Dunia I terdapat peraturan yang mengikat terkait benda budaya seperti dalam Konvensi Den Haag 1907 76 , tetap saja banyak terjadi penghancuran benda budaya. Banyak bangunan-bangunan ibadah seperti Gereja dan Katedral, bangunanbangunan bersejarah, monumen bersejarah, museum, perpustakaan dan benda-benda budaya lainnya yang dihancurkan dalam masa Perang Dunia I. Kepentingan militer menjadi alasan pembenaran yang dilakukan oleh para pihak dalam penghancuran benda budaya saat Perang Dunia I. Mereka beranggapan bangunan-bangunan yang relatif tinggi seperti Gereja, Katedral, dan bangunan lainnya dianggap sebagai target militer yang sah untuk diserang. Hal ini karena interpretasi mereka pada saat itu bahwa bangunan-bangunan yang relatif tinggi dapat digunakan sebagai tempat atau titik pengamatan penembak gelap oleh musuh sehingga untuk kepentingan militer bangunan-bangunan tersebut dapat diserang.77 Teknologi yang tinggi dan kepentingan militer membuat banyak benda budaya seperti bangunan suci dan bangunan bersejarah mengalami kehancuran akibat diserang pada saat terjadinya perang dunia. Sesungguhnya hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan peraturan Konvensi Den Haag 1907, bangunan-bangunan tersebut tidak boleh diserang. Pada bulan Maret 1935, ketika keberadaan Luftwaffe diumumkan secara terbuka sebagai sebuah cabang independen dari Wehrmacht (Angkatan Bersenjata) yang baru dan ditingkatkan oleh Goring ke status sebuah senjata militer –politik, para insinyur Jerman dalam 20OBYEK%20BUDAYA%20DALAM%20SENGKETA%20BERSENJATA%20TERHADAP%20PIHAKPIHAK%20YANG%20BERSENGKETA%20(AMERIKA%20SERIKATIRAK)%20MENURUT%20KONVENSI%20WINA%201969%20%20TENTANG%20PERJANJIAN%20INTE RNASIONAL 76 Terjemahan Bebas Pasal 27 Konvensi Den Haag 1907 : ―Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada pihak penyerang.‖ , Dapat diakses pada https://arlina100.files.wordpress.com/2009/01/translation-hague-convention-iv-its-annex.pdf 77 Patrick J. Boylan, Op. Cit., Hal. 6
Universitas Sumatera Utara
waktu singkat berhasil menyempurnakan badan pesawat terbang, mesin, persenjataan dan bom.78 Contohnya adalah Heinkel He-219 Uhu, sebuah pesawat mutakhir yang unggul dan dapat dikatakan sebagai pesawat pemburu malam terbaik selama Perang Dunia II. 79 Pada awal Perang Dunia II, Luftwaffe adalah angkatan udara paling mutakhir di dunia.80 Segala sesuatu yang ditemukan oleh Luftwaffe diratakan. 81 Hal ini menunjukan bahwa, daya serang udara Jerman dengan pemboman dari udara luar biasa dahsyatnya. Dengan teknologi mutakhir tersebut, Jerman dapat menghancurkan apa saja termasuk juga benda budaya. London menjadi sasaran suatu serangan Jerman pada tanggal 29 Desember 1940, yang terutama diarahkan ke jantung kota yang penuh dengan gereja-gereja kuno dan bangunan terkenal.82 Stanley Baron, seorang wartawan surat kabar menggambarkan peristiwa London Blitz dengan suatu pernyataan yaitu : ―London terbakar. Guildhall (kantor gubernur dan pusat perdagangan bersejarah) terbakar. Sejauh mata memandang ke lorong-lorong kota, terlihat badai salju dari api. Kilatan api bersumber dari gedung-gedung… aku sungguh cinta kota itu berikut bangunan-bangunannya. Dan disitulah aku menyaksikan semuanya terbakar begitu saja.‖ 83 Akibat dari serangan Jerman yang luar biasa dahsyatnya, banyak benda budaya di London seperti gereja-gereja kuno dan bangunan bersejarah mengalami kehancuran. Pada 6 dan 9 Agustus1945, Sekutu menjatuhkan bom atom pertama di dunia di atas dua kota pelabuhan Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.84 Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 8:15 pagi, bom itu dijatuhkan di atas Kota Hiroshima. Hantamannya sama dengan 22 kiloton bahan peledak, tapi ada yang lebih mengerikan ketimbang itu : panas itu luar biasa. Seluas 10
78
Nino Oktorino, Konflik Bersejarah-Luftwaffe : Kisah Angkatan Udara Jerman NAZI 1935-1945, PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO, Jakarta, 2013, hal. 17 79 Ibid., hal. 160 80 Ibid., Cover Belakang 81 Ibid., hal. 103 82 Nino Oktorino, Op. Cit., 2013, hal. 85. 83 Fiona Macdonald, Kehidupan Rakyat Sipil Dalam Kancah PD II, Edisi Terjemahan : Beti Sakinah, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, hal. 19 84 Ibid., hal. 19
Universitas Sumatera Utara
kilometer persegi wilayah kota itu rata dengan tanah, 100 ribu orang mati seketika. 85 Dapat kita lihat dengan teknologi yang tinggi dapat menghasilkan ledakan yang luar biasa dahsyatnya. Semua langsung rata dengan tanah, bahkan benda-benda budaya yang berumur ribuan tahun yang kemungkinan berada di Nagasaki dan Hiroshima langsung lenyap seketika. Pada masa Perang Dunia, baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II banyak bendabenda budaya yang dihancurkan. Utamanya hal ini terjadi karena kemajuan teknologi militer pada masa itu yang memiliki daya hancur sangat dahsyat. Selain itu juga karena benda budaya dijadikan target militer yang dapat diserang dengan alasan untuk kepentingan militer. Bombom dari udara dengan dahsyatanya menghancurkan Gereja, Katedral, Perpustakaan, Bangunan Bersejarah, dan lain sebagainya yang adalah merupakan benda-benda budaya. Zaman Moderen Warisan budaya dan alam kita adalah rapuh dan terancam. Khususnya yang telah berumur ratusan tahun. Sebagai contoh, selama Perang Dunia Pertama dan Kedua banyak kota tua dirusak. Monumen budaya yang penting dirusak dan musnah. Dalam menjawab ancaman mendesak di tahun-tahun antara Perang Dunia I dan II, Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian diganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa, mulai bekerja dengan cara melindungi warisan kita. Liga Bangsa-Bangsa menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk bekerjasama dalam melindungi warisan. Ketika UNESCO didirikan pada tahun 1945, pada akhir Perang Dunia II, usaha ini dipercepat dengan mengembangkan beberapa kampanye untuk melindungi situs yang signifikan dan merancang konvensi internasional baru dan merekomendasi untuk melindungi warisan manusia. Salah satu dari konvensi yang secara khusus dirancang untuk melindungi warisan budaya adalah Konvensi Den Haag 1954. 86
85
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir : Nulkir, Majalah Tempo, Edisi 14-20 Mei 2007, hal 138 Tim Komisi UNESCO , Warisan Dunia di Tangan Pemuda-Untuk Mengetahui, Melindungi, dan Bertindak, UNESCO Edisi Bahasa Indonesia, 2001, Hal. 62. Dapat diakses pada http://whc.unesco.org/uploads/activities/documents/activity-54-14.pdf 86
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan yang berawal sejak Konvensi Den Haag untuk Perlindungan terhadap Properti/Benda Budaya(1954), hingga Konvensi mengenai Cara-cara Pelarangan dan Pencegahan Impor, Ekspor, dan Pengalihan Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal(1970) dan Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia(1972), Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air (2001) serta Konvensi mengenai Perlindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda (2003), mencerminkan perluasan pemahaman yang demikian maju atas konsep warisan budaya.87 Zaman modern dapat kita kategorikan dari masa setelah Perang Dunia II sampai dengan masa sekarang. Setelah Perang Dunia II, benda budaya menjadi perhatian masyarakat internasional karena banyaknya kerugian terhadap benda budaya pada masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi internasional UNESCO yang salah satu fokus utamanya adalah perlindungan benda budaya 88 dan juga telah dibuatnya pengaturan-pengaturan hukum internasional tentang benda budaya seperti Konvensi Den Haag 1954. Namun, tetap saja penghancuran benda budaya masih terjadi dalam konflik bersenjata walaupun tidak separah masa Perang Dunia. Hal ini karena perang sudah sangat berkurang setelah masa Perang Dunia II. Pada zaman moderen penghancuran benda budaya biasanya terjadi dalam perang saudara atau dalam konflik bersenjata non-internasional. Hal ini disebabkan selain karena diakibatkan oleh pihak pemberontak dalam suatu negara, banyak juga karena diakibatkan para teroris atau kelompok ekstremis. Ada beberapa peristiwa penghancuran benda budaya yang terkenal dalam konflik bersenjata pada masa zaman moderen. 87
Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,, 2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada http://www.unesco.org/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indonesie.pdf 88 Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,, 2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada http://www.unesco.org/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indonesie.pdf Lihat juga Website UNESCO, Culture at Risk, http://en.unesco.org/themes/culture-risk-0, diakses pada tanggal 19 Maret 2017, pada pukul 16:10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara tetangga.89 Perang Suriah tidak hanya menyebabkan ribuan orang tewas. Warisan budayanya juga hancur akibat bentrokan yang tiada henti. Empat ribu tahun lamanya kebudayaan Babilon, Mesir, Persia, Yunani dan Roma bertemu dan meninggalkan bekas. UNESCO khwatir dengan warisan budaya negara itu, dan kembali menerbitkan laporan tentang kerusakan.90 Selain penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Suriah, di tempatempat lainnya juga marak terjadi penghancuran benda budaya yang dilakukan oleh para teroris atau kelompok ekstremis pada zaman moderen. Inilah tujuh situs bersejarah yang kini hancur lebur akibat aksi keji teroris91 : 1. Nimrud Nimrud adalah sebuah situs kota kuno yang terletak di Mosul, Irak. Situs ini sangat bersejarah hingga dianugerahi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Saat ini situs yang dibangun sekitar abad ke-13 sebelum masehi ini hancur lebur tak bersisa. Militan ISIS bertanggung jawab atas perusakan situs super penting di Irak. ISIS membawa buldozer dan juga beberapa kendaraan militer berat untuk meruntuhkan bangunan ini. Mereka juga menghancurkan 'lamassu'. Sebuah patung makhluk mitologi dengan bentuk singa bersayap. UNESCO menyebut aksi ISIS ini sebagai kejahatan perang yang sangat berat. 2. Khorsabad Khorsabad adalah sebuah kota kuno yang dulunya digunakan oleh Raja Sargon memerintah Suriah kuno. Sekitar tahun 721 masehi kerajaan ini memasuki masa kejayaan sebelum akhirnya runtuh dan berganti Suriah modern. Khorsabad berisi banyak sekali benda bersejarah yang tak ada duanya. Tapi lagi-lagi ISIS kembali 89
Michael Hartlep, Konflik Terburuk di Dunia, 2014, Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/konflik-terburuk-di-dunia/17468982/35910620 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:35 WIB. 90 Ananda Grade, Warisan Kebudayaan di Suriah Terancam, 2013 Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/warisan-kebudayaan-di-suriah-terancam/17060195/36677008 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:40 WIB. 91 Rinjanisasak, 7 Situs Bersejarah Dunia yang Dihancurkan oleh Teroris, Dalam http://forum.viva.co.id/indeks/threads/7-situs-bersejarah-dunia-yang-dihancurkan-oleh-teroris.1938177/, Diakses pada tanggal 21 Maret 2017. Pada pukul 02:51 WIB.
Universitas Sumatera Utara
3.
4.
5.
6.
7.
membuat ulah. Mereka masuk dan membuat situ budaya bersejarah ini hancur. Apa saja yang merupakan situs sejarah dianggap tak pantas oleh ISIS. Lalu dengan membabi buta mereka menghancurkan tanpa berpikir akibatnya terlebih dahulu. Museum Mosul Kita harus menyebut ISIS sebagai militan penghancur benda sejarah. Setelah menghancurkan Nimrud dan Khorsabad, kini mereka juga menghancurkan museum Mosul. Militan yang tak tahu belas kasih ini langsung masuk dan mengobrak-abrik segala hal yang mereka temui. Tak peduli berapa harga dan arti sejarahnya. Mereka menghancurkan sebuah benda seni yang telah berumur sekitar 3.000 tahun. Selain itu ISIS juga menghancurkan Winged Bull, sebuah artefak dari Niveneh yang ada di abad ke-7 masehi. ISIS juga membuat video penghancuran lalu mengunggahnya. Museum Nasional Afganistan Sekitar 70% artefak atau benda sejarah yang ada di Museum Nasional Afganistan telah dirampok dan juga dihancurkan. Selama 35 tahun bertarung dengan Taliban, museum ini telah mengalami banyak penyerangan yang sangat mematikan. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 silam. Saat terjadi baku tembak dengan Taliban, museum ini akhirnya jadi sasaran empuk. Sekitar 2.500 artefak yang sangat bersejarah akhirnya dihancurkan. Patung Buddha di Bamiyan Pada tahun yang sama saat Museum Nasional Afganistan dihancurkan, patung Buddha di lembah Bamiyan juga dihancurkan oleh Taliban. Mereka menganggap jika patung ini melanggar Islam. Akhirnya mereka meletakkan dinamit dan meledakkannya hingga tak berwujud lagi sekarang. Patung ini dibangun sekitar tahun 507-554 masehi atau abad ke-6. Patung Buddha di lembah Bamiyan ini memiliki tinggi sekitar 250 meter. Patung ini telah bertahan selama 1.500 tahun sebelum akhirnya hancur lebur akibat serangan Taliban. Kuil Imam Awn al-Din Kuil Imam Awn al-Din adalah sebuah kuil yang dibangun sekitar abad ke-13 masehi. Kuil ini adalah sebuah bukti kehebatan Irak di masa lalu. Kuil ini adalah sebuah perhiasan berharga bagi pengamat arsitektur kuno seperti Yasser Tabbata. Kini, sejak Juli 2014, benda bersejarah ini hancur lebur dibom ISIS. Situs Kuno Kamboja Situs Kuno Kamboja Pada tahun 1975-1979, pasukan Khmer merah telah membantai sekitar 2 juta orang Kamboja tanpa belas kasihan. Penguasa saat itu juga menghancurkan semua situs budaya yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Sekitar 3.000 kuil yang ada dihancurkan tanpa bersisa. Padahal situs itu sangatlah berharga.
Untuk pertama kalinya Mahkamah Pidana Internasional memproses penghancuran warisan budaya UNESCO. Di kota oasis di Mali utara, 2012 pemberontak Islam Ansar Dine menghancurkan beberapa mausoleum Muslim yang umurnya ratusan tahun. Alasan penghancuran makam sejumlah ulama Islam tersebut adalah jadi tempat pemujaan berhala.92
92
Uta Steinwehr, Dihancurkan Teroris: Warisan Budaya UNESCO, 2016, Dalam http://www.dw.com/id/dihancurkan-teroris-warisan-budaya-unesco/g-35954587 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, Pada pukul 03:50 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Timbuktu di utara Mali sudah jadi pusat Islam sejak jaman Abad Pertengahan. Tiga mesjid dari tanah lempung di daerah itu sudah berusia 700 tahun dan jadi saksi bagi masa itu. Juli 2012 kelompok ekstrem Islam menghancurkan sebagian warisan budaya ini. Menurut mereka, pemujaan orang suci yang sudah ada di Mali sejak ratusan tahun lalu bertentangan dengan Islam.93 Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang menjadi fokus utama dalam pembahasan skripsi ini menjadi menarik karena kasus ini merupakan kasus pertama penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata yang ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan penulis mengambil kasus ini menjadi topik dalam pembahasan skripsi ini. Kita dapat melihat dari penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata pada zaman moderen banyak terjadi karena perang saudara dan juga perkembangan kelompok ekstremis atau para teroris seperti ISIS dan Taliban. Latarbelakang utamanya adalah karena benda-benda budaya dianggap sebagai berhala yang dapat menyesatkan umat. Namun yang patut dicatat adalah di zaman moderen, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sudah dapat dituntut ke pengadilan internasional yaitu Mahkamah Pidana Internasional. Dari berbagai uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sudah terjadi sejak zaman dahulu atau zaman kuno sampai pada masa sekarang atau zaman moderen. Periode waktu penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat kita kelompokkan dari zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman perang dunia hingga zaman moderen. Selama periode waktu tersebut, benda budaya tidak hanya dihancurkan namun juga dilakukan penjarahan atau pengambilan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata.
93
Hilke Fischer, 10 Warisan Budaya Dunia Terindah di Afrika, 2014, Dalam http://www.dw.com/id/10warisan-budaya-dunia-terindah-di-afrika/g-17816249, Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 03:57 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Dalam periode waktu tersebut, penghancuran benda budaya dan penjarahan benda budaya dalam konflik bersenjata dilatarbelakangi oleh banyak hal yaitu : 1. Penghancuran Benda budaya dianggap sebagai tanda penaklukkan dan simbol kemenangan terhadap daerah atau negara yang diserang. 2. Penghancuran Benda Budaya disebabkan oleh luar biasanya daya hancur senjata militer seperti ledakan bom, bom dari udara dan bom atom atau bom nuklir. 3. Penghancuran Benda Budaya disebabkan benda budaya dijadikan sebagai target militer dengan alasan kepentingan militer yaitu benda budaya dijadikan tempat persembunyian musuh atau penembak gelap. 4. Penghancuran Benda Budaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang musyrik yaitu dijadikannya benda-benda budaya sebagai berhala untuk disembah. 5. Dalam hal penjarahan benda budaya, dilakukan untuk koleksi pribadi, menambah harta kekayaan dan juga kepentingan pribadi. Ridwan Kamil dalam bukunya Mengubah Dunia Bareng Bareng mengatakan bahwa ―Dunia ini diciptakan Tuhan sedemikian indahnya. Namun, sering kerusakan alam dan pertentangan peradaban terjadi hanya karena umat manusia tidak pernah sepakat dalam cara memandang dan memaknai dunia. Oleh karena itu, di sisi lain , semiotika mengajarkan sebuah kearifan. Kearifan tentang kemungkinan hadirnya makna-makna lain dari nilai-nilai yang selama ini kita yakini. Setetes kearifan sederhana. Kearifan bertoleransi‖. 94 Sampai dengan sekarang penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata masih terjadi. Hal ini sangat disayangkan, karena benda budaya merupakan aset penting sebagai identitas suatu masyarakat dan juga sebagai alat perekam sejarah. Sependapat dengan pernyataan salah satu tokoh nasional yaitu Ridwan Kamil, yang menyatakan bahwa diperlukan kearifan bertoleransi dalam memandang dan memaknai dunia. Begitu juga dengan benda budaya sebagai bagian dari 94
Ridwan Kamil, Mengubah Dunia Bareng-Bareng, Penerbit Kaifa, Bandung, 2015, Hal. 72
Universitas Sumatera Utara
dunia, diperlukan kearifan bertoleransi dalam memandang dan memaknai benda budaya bahwa di dalam benda budaya ada nilai-nilai positif yang dapat kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menuju hidup yang lebih baik lagi. C. Kedudukan Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Pada zaman Yunani Kuno, para ahli sudah merumuskan pengaturan tentang kedudukan benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau perang. Adalah seorang ahli pada masa Yunani Kuno yang bernama Polybius yang mengatakan bahwa : ―Future conquerors should learn not to strip the towns that they subjugate and not to inflict misfortune on other peoples, the embellishment of their native land… But although some advantage may be derived from that, no one can deny that to abandon oneself to the pointless destruction of temples, statues and other sacred objects is the action of a maadman.‖95 Terjemahan Bebas : Penakluk masa depan harus belajar untuk tidak menjarah kota-kota yang mereka taklukkan dan tidak menimbulkan kemalangan pada orang lain atas kekayaan dari tanah air mereka... Tapi meskipun beberapa keuntungan dapat diperoleh dari itu, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa tindakan meninggalkan diri sendiri untuk penghancuran yang tidak ada gunanya pada kuil, patung dan benda-benda suci lainnya adalah tindakan orang gila. Melihat pernyataan Polybius tersebut, tampak jelas sejak zaman kuno pada masa Yunani Kuno sudah ada gagasan untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Polybius tidak mendukung penghancuran benda budaya seperti kuil, patung dan benda-benda suci lainnya dalam suatu peperangan atau konflik bersenjata. Polybius menghendaki kedudukan benda-benda budaya dalam peperangan adalah suatu obyek yang dilindungi dan dihormati. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan tindakan orang gila, sehingga dalam hal ini tidak wajar dilakukan dan tentunya dilarang dilakukan.
95
JIRI TOMAN, ―The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict‖, Dartmouth Publishing Company, USA, 1996, Hal. 4, Buku dapat diunduh pada http://digitalcommons.law.scu.edu/monographs/11/
Universitas Sumatera Utara
Namun, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya kita dapat melihat bahwa dalam sejarahnya peperangan atau konflik bersenjata, tetap saja benda budaya mengalami banyak kerugian yaitu terutama penghancuran selain juga penjarahan. Dalam perkembangannya, kedudukan benda budaya menjadi perhatian masyarakat internasional karena banyaknya kerugian terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata atau masa perang. Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian salah satu ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. 96 Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama. 97 Protokol I maupun II adalah merupakan tambahan dari konvensi-konvensi Jenewa 1949.98 Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa : ―Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.‖ Dengan melihat pasal tersebut (Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977) , maka kita dapat mengetahui bahwa istilah dan defenisi tentang ‗obyek sipil‘ dan ‗sasaran militer‘ baru tercantum diterima oleh negara-negara untuk pertama kalinya dalam suatu naskah perjanjian yang telah berlaku (‗enter into force‘), yaitu dalam Protokol Tambahan I 1977.99 Hal tersebut
96
Ambarwati dkk., Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 45 Prof.Sulaiman, S.H., dkk., Diktat Kuliah : Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 2015, Hal. 12 98 Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, 1999, hal. 33 99 Ibid, hal. 204 97
Universitas Sumatera Utara
menunjukan bahwa selain pembedaan terhadap penduduk sipil dengan kombatan, pada tahun 1977 berdasarkan Protokol Tambahan I 1977100 telah ada pembedaan terhadap obyek sipil dan sasaran militer dalam Hukum Humaniter Internasional.
Defenisi obyek sipil dan sasaran militer tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 yaitu Perlindungan umum bagi obyek-obyek sipil : 1. Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau tindakan pembatasan. Obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat (2). 2. Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer. Sebegitu jauh mengenai obyek-obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyekobyek yang oleh sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti. 3. Apabila diragukan apakah suatu obyek yang biasanya diabdikan pada tujuan-tujuan sipil, seperti tempat pemujaan, rumah atau tempat tinggal lainnya atau rumah sekolah, sedang digunakan untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer, maka obyek itu harus dianggap sebagai tidak dipergunakan sedemikian. Dari Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa obyek sipil mendapat perlindungan yaitu tidak boleh diserang atau dijadikan sasaran militer. Terkait dengan defenisi, berdasarkan ayat 1 pada pasal tersebut, obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer. Ruang lingkup obyek sipil tidak terbatas sepanjang obyek tersebut bukan sasaran militer. Sedangkan ayat (2) dari pasal diatas (Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977), memberikan penjelasan tentang Sasaran Militer. Ada beberapa kriteria yang dicantumkan, yaitu sifat (‗nature’), tempat/lokasi (‗location‘), dan tujuan (‗purpose‘), serta keuntungan militer yang pasti (‗definite military advantage‘). Kriteria pertama berhubungan dengan dengan sifat suatu sasaran militer., yang harus menghasilkan kontribusi yang efektif pada aksi 100
Protokol Tambahan I 1977 Dapat https://drive.google.com/file/d/0B_ekamY8L73gcG4tZTZ3YzAxOGM/edit
diunduh
pada
:
Universitas Sumatera Utara
militer. Kategori ini dapat meliputi semua obyek yang digunakan secara langsung oleh suatu angkatan bersenjata seperti : persenjataan, peralatan, transportasi, perbentengan, depot militer, markas dan markas besar, pusat-pusat komunikasi, dan sebagainya. Kriteria kedua berkaitan dengan lokasi sasaran militer. Dalam hal ini ada obyek-obyek yang karena sifatnya tidak memiliki fungsi militer, namun apabila ditinjau dari lokasinya, maka obyek tersebut akan sangat bermanfaat bagi tujuan-tujuan militer, seperti : jembatan atau konstruksi lain yang sejenisnya. Kriteria ketiga berkenaan dengan tujuan digunakannya suatu obyek tertentu pada waktu terjadi sengketa bersenjata. Misalnya, rumah sakit dan sekolah-sekolah merupakan obyek sipil, namun apabila obyek tersebut digunakan untuk bersembunyi tentara, maka obyek itu akan berubah fungsinya menjadi sasaran militer. Namun jika ada keragu-raguan mengenai hal ini , sesuai dengan ayat (3), maka obyek-obyek tersebut harus dianggap sebagai obyek sipil. 101 Hal tersebut menunjukan bahwa obyek sipil dapat berubah dan dianggap sebagai obyek militer. Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu obyek sipil menjadi sasaran militer mencakup dua hal yaitu sebagai berikut102 : a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh; dan b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak yang melakukan tindakan. Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai berikut : ―Apabila dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang dipilih adalah adalah sasaran yang apabila diserang dapat 101 102
Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal. 205-206 Ibid., hal. 43
Universitas Sumatera Utara
diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan objekobjek sipil.‖ 103 Prinsip kepentingan militer atau necessity menuntut yang dapat menjadi sasaran militer adalah obyek yang benar-benar memberikan keuntungan militer dan juga memberikan akibat seminimal mungkin bagi orang sipil dan obyek sipil. Hal ini menunjukan bahwa walaupun Hukum Humaniter Internasional telah menetapkan obyek yang
dapat
dijadikan sasaran milter atau obyek militer, tidak tertutup kemungkinan suatu obyek sipil dapat berubah menjadi obyek militer dengan persyaratan tertentu dan prinsip necessity atau prinsip kepentingan militer. Terkait dengan benda budaya dapat kita rumuskan berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977, kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan obyek sipil. Hal ini karena berdasarkan konvensi-konvensi hukum internasional, benda budaya menjadi obyek yang dilindungi dari serangan militer dalam konflik bersenjata. Setiap obyek yang dilindungi dari serangan militer adalah obyek sipil. Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907104 tertulis bahwa : ―In sieges and bombardments all necessary steps must be taken to spare, as far as possible, buildings dedicated to religion, art, science, or charitable purposes, historic monuments, hospitals, and places where the sick and wounded are collected, provided they are not being used at the time for military purposes. It is the duty of the besieged to indicate the presence of such buildings or places by distinctive and visible signs, which shall be notified to the enemy before hand.‖ Terjemahan bebas Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907: ―Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada pihak penyerang.‖
103 104
Ibid, hal. 43-44 Konvensi Den Haag IV 1907 dapat diunduh pada : http://www.opbw.org/int_inst/sec_docs/1907HC-
TEXT.pdf
Universitas Sumatera Utara
Dari Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907 tersebut diatas, pada tahun 1907 masyarakat internasional telah menyatakan bahwa benda-benda budaya harus dihormati dan dilindungi dalam suatu konflik bersenjata. Benda budaya dalam hal ini bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan monumen bersejarah, sejauh mungkin dihindari untuk dibom atau diserang. Penghindaran serangan tersebut untuk melindungi benda budaya dengan cara menandainya dengan tanda khusus sehingga dapat dilakukan pembedaan dengan obyek yang bisa diserang. Selanjutnya, pengaturan yang lebih lengkap dan komprehensif tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata dapat kita lihat dalam Konvensi Den Haag 1954 105. Perlindungan benda budaya dalam Konvensi Den Haag 1954 tidak hanya berlaku dalam konflik bersenjata internasional namun juga berlaku dalam konflik bersenjata noninternasional.106 Perlindungan benda budaya dalam Konvensi Den Haag 1954 terdiri dari dari pengamanan dan penghormatan terhadap benda budaya. 107 Pengamanan benda budaya berdasarkan Pasal 3 Konvensi Den Haag 1954 : ―Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai untuk mempersiapkan pengamanan benda budaya yang terletak dalam teritorinya dari efek-efek yang dapat diperkirakan terjadi pada waktu sengketa bersenjata, dengan melakukan tindakantindakan yang mereka anggap sepatutnya.‖ Penghormatan benda budaya berdasarkan Pasal 4 Konvensi Den Haag 1954 : 1. Pihak-Pihak Peserta Agung bertanggung jawab untuk menghormati benda budaya baik yang terdapat dalam teritorinya maupun dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya dengan cara mencegah penggunaan benda budaya dan lingkungan sekitarnya atau penggunaan alat-alat yang digunakan untuk perlindungan benda budaya yang dapat mengakibatkan kehancuran atau kerusakannya pada waktu sengketa bersenjata; dan dengan cara mencegah setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap benda budaya tersebut.
105
Konvensi Den Haag 1954 Tentang Perlindungan Benda Budaya Pada Waktu Sengketa Bersenjata, Dapat diunduh pada : https://www.academia.edu/25712182/KONVENSI_TENTANG_PERLINDUNGAN_BENDA_BUDAYA_PAD A_WAKTU_SENGKETA_BERSENJATA_Den_Haag_14_Mei_1954?auto=download 106 107
Pasal 19 Konvensi Den Haag 1954 Pasal 2 Konvensi Den Haag 1954
Universitas Sumatera Utara
2. Kewajiban-kewajiban yang disebutkan diatas dalam paragraf 1 dari Pasal ini hanya dapat dikesampingkan dalam hal dimana kepentingan militer mengharuskan adanya pengenyampingan yang demikian. 3. Pihak-Pihak Peserta Agung selanjutnya berusaha untuk melarang, mencegah dan, apabila perlu, menghentikan setiap bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap benda budaya. Mereka seharusnya, menghentikan pengambil alihan-benda budaya bergerak yang terletak dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya. 4. Mereka seharusnya mencegah setiap cara tindakan pembalasan yang diarahkan langsung terhadap benda budaya. Tidak ada Pihak Peserta Agung, dalam kaitannya dengan Pihak Pesera Agung lainnya, yang boleh mengelak dari kewajibankewajiban yang ditetapkan dalam Pasal ini, dengan alasan fakta bahwa Pihak yang disebut terakhir belum menerapkan tindakantindakanpengamanan yang dimaksud dalam Pasal 3. Dari Pasal 3 dan 4 Konvensi Den Haag 1954 tersebut, kita dapat melihat bahwa perlindungan benda budaya berdasarkan Konvensi Den Haag 1954 tidak hanya mengatur perlindungan benda budaya pada saat terjadinya konflik bersenjata saja, namun juga mengatur perlindungan benda budaya pada masa damai. Pada saat terjadinya sengketa bersenjata, benda-benda budaya dilindungi. Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti Rumah Ibadah, Museum dan sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan milliter, semaksimal mungkin harus dilindungi terhadap serangan. 108 Para pihak harus memberikan penghormatan terhadap benda budaya dengan melarang segala serangan terhadap benda budaya seperti penghancuran, vandalisme atau pengerusakan, penjarahan dan seranganserangan lainnya yang mengarah kepada benda budaya sepanjang benda budaya tersebut tidak dimanfaatkan untuk kepentingan milliter . Dimasa damai, setiap negara harus mempersiapkan perlindungan benda budaya di wilayahnya dari akibat pertikaian bersenjata. Untuk itu, obyek budaya dapat dilindungi, antara lain dengan cara mendirikan bangunan khusus, dengan merencanakan pemindahannya ke tempat yang lebih aman, atau dengan menandainya dengan tanda pelindung khusus. Semua tindakan ini merupakan perlindungan umum. 109 Hal tersebut menunjukan bahwa di masa
108 109
Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal 45 Ibid, hal 45
Universitas Sumatera Utara
damai para negara harus melakukan tindakan pengamanan benda budaya sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya konflik bersenjata di masa yang akan datang. Secara umum benda-benda budaya wajib mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata. Namun, dalam Konvensi Den Haag 1954 juga mengatur perlindungan khusus terhadap benda-benda budaya yang dapat dikenakan perlindungan khusus. Kriteria bendabenda budaya yang diberi perlindungan khusus dapat kita lihat dalam Pasal 8 Konvensi Den Haag 1954, yaitu : 1. Terhadap sejumlah terbatas tempat penampungan yang dimaksudkan untuk menyimpan benda budaya bergerak pada saat sengketa bersenjata dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dan juga terhadap pusat-pusat yang berisi monumenmonumen dan benda budaya tak bergerak lainnya yang sangat penting, apabila mereka : a. terletak pada suatu jarak yang memadai dari setiap pusat industri besar atau dari setiap objek militer penting yang merupakan suatu titik rawan, seperti, misalnya, suatu aerodrome,stasiun siaran, perusahaan yang berkaitan dengan kerja pertahanan nasional, suatu pelabuhan atau stasiun kereta api yang relatif penting atau suatu jaringan utama komunikasi; b. tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. 2. Suatu tempat penampungan untuk benda budaya bergerak juga dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dimanapun lokasinya, jika didirikan sedemikian rupa sehingga, dalam semua kemungkinan, tidak bisa dirusak oleh bom. 3. Suatu pusat yang berisi monumen-monumen harus dianggap digunakan untuk tujuantujuan militer apabila ia digunakan untuk gerakan personil atau bahan militer, walaupun dalam transit. Hal yang sama juga berlaku apabila kegiatan-kegiatan dihubungkan secara langsung dengan operasi-operasi militer, penempatan personil militer, atau produksi bahan-bahan perang yang dilakukan dalam pusat tersebut. 4. Penjagaan benda budaya yang disebut dalam paragraf 1 diatas oleh petugas bersenjata yang ditugaskan untuk itu, atau kehadiran petugas polisi yang sehari-harinya bertanggung jawab untuk pemeliharaan ketertiban umum disekitar disekitar benda budaya, seharusnya tidak dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer. 5. Jika setiap benda budaya yang disebutkan dalam paragraf 1 dari Pasal ini terletak berdekatan dengan suatu objek militer yang penting sebagaimana ditetapkan dalam paragraf tersebut, maka benda budaya tersebut bagaimanapun dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus jika Pihak Peserta Agung yang meminta perlindungan tersebut itu berusaha, pada saat sengketa bersenjata, untuk tidak menjadikannya sebagai sasaran, dan khususnya untuk suatu pelabuhan, stasiun kereta api atau aerodrome, untuk mengalihkan semua lalu-lintasnya daripadanya. Dalam hal yang demikian maka pengalihan tersebut harus dipersiapkan pada waktu damai. 6. Perlindungan khusus diberikan untuk benda budaya melalui pendaftarannya dalam "Pendaftaran Internasional atas Benda budaya dibawah Perlindungan Khusus". Pendaftaran ini hanya dapat dilakukan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi
Universitas Sumatera Utara
ini dan dibawah syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Konvensi ini. Dari Pasal 8 Konvensi Den Haag 1954 tersebut diatas, kita dapat melihat kriteria-kriteria apa saja bagi benda budaya untuk mendapat perlindungan khusus. Status perlindungan khusus tersebut dapat diperoleh melalui Pendaftaran Internasional atas Benda Budaya dibawah Perlindungan Khusus. Pendaftaran tersebut ditujukan kepada UNESCO, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 23 Konvensi Den Haag 1954, yaitu :
1. Pihak-Pihak Peserta Agung boleh meminta bantuan teknis dari UNESCO untuk pengorganisasian perlindungan dari benda budaya mereka, atau dalam hubungannya dengan persoalan lain yang timbul dari pemberlakuan Konvensi ini atau PeraturanPeraturan untuk pelaksanaannya. ONESCO akan memberikan bantuan yang dimaksud dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh program dan sumber dayanya. 2. UNESCO berwenang untuk membuat, dengan inisiatifnya sendiri, usulan-usulan mengenai persoalan ini kepada PIhak-Pihak Peserta Agung. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 12 Peraturan Pelaksana Konvensi Den Haag 1954, yaitu : 1. Suatu " Daftar Internasioanl Benda Benda Budaya Dibawah Perlindungan Khusus" akan disusun. 2. Direktur Jenderal UNESCO akan mengurusi daftar ini. Direktur Jenderal memberikan tembusan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan kepada Pihak Pihak Peserta Agung. 3. Daftar tersebut dibagi menjadi bagian bagian, masing masing atas nama Pihak Peserta Agung. Setiap bagian akan dibagi lagi menjadi tiga paragraph, dengan judul : Tempat penampungan, Pusat-pusat dimana monumen berada, Benda Benda Budaya yang tidak dapat dipindahkan. Direktur Jenderal akan menentukan rincian isi dari masing masing bagian. Dari Pasal 23 Konvensi Den Haag 1954 dan Pasal 12 Peraturan Pelaksana Konvensi Den Haag 1954 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa pendaftaran benda budaya untuk mendapatkan status perlindungan khusus dapat dilakukan oleh para pihak atau negara-negara dengan mendaftarkannya kepada UNESCO dan juga perlindungan khusus tersebut dapat diberikan oleh UNESCO atas inisiatifnya sendiri. Pemberian perlindungan khusus tersebut dapat dikenali dengan lambang pengenal yang dilekatkan kepada benda budaya yang diberi perlindungan khusus. Lambang pengenal
Universitas Sumatera Utara
pada benda budaya yang diberi perlindungan khusus diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954. Pasal 16 Konvensi Den Haag 1954, yaitu : 1. Lambang pengenal dalam Konvensi ini berupa tameng yang mengarah kebawah dengan saltir biru dan putih (sebuah tameng yang terdiri dari suatu segi empat sama sisi biru yang salah satu sudutnya merupakan ujung dari tameng, dan sebuah segitiga sama sisi biru yang berada pada bagian atas; ruang disisi kiri dan kanannya terdiri dari masing-masing sebuah segitiga warna putih). 2. Lambang harus digunakan sebuah, atau digunakan tiga buah dalam formasi segitiga (satu tameng dibawah), menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 17.
Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954, yaitu : 1) Lambang pengenal yang digunakan tiga buah digunakan sebagai alat identifikasi dari: a) benda budaya tak bergerak yang berada dibawah perlindungan khusus; b) pengangkutan benda budaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 12 dan 13; c) tempat penampungan sementara, menurut syrat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvensi. 2) Lambang pengenal yang digunakan satu buah digunakan sebagai suatu alat identifikasi dari : a) benda budaya yang tidak dibawah perlindungan khusus; b) orang-orang yang bertanggung-jawab untuk melaksanakan pengawasan sesuai dengan Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvnesi; c) personil yang terlibat dalam tugas perlindungan benda budaya; d) kartu-kartu identitas yang disebut dalam Peraturan-Peraturan pelaksanaan Konvensi. 3) Selama suatu sengketa bersenjata, penggunaan lambang khusus dalam kasus-kasus lainnya dari yang disebut dalam paragraf sebelumnya dari Pasal ini, dan penggunaan untuk setiap maksud apapun dari suatu tanda yang mirip lambang pengenal, harus dilarang. 4) Lambang pengenal tidak boleh ditempatkan pada setiap benda budaya tak bergerak kecuali pada saat yang sama ada suatu otorisasai yang dapat diperlihatkan sepatutnya dan ditandatangani oleh penguasa yang berwenang dari Pihak Peserta Agung.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1 Lambang pengenal yang digunakan tiga buah110
Gambar 1.2 Lambang pengenal yang digunakan satu buah111 Bedasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954 tersebut kita dapat melihat lambang pengenal terdiri dari 2 bagian, yaitu lambang pengenal yang digunakan tiga buah untuk benda budaya yang diberi perlindungan khusus dan lambang pengenal yang digunakan satu buah untuk benda budaya yang bukan diberi perlindungan khusus dan untuk personil pelindung benda budaya. Menurut hemat penulis, walaupun ada benda budaya yang tidak memiliki lambang pengenal, benda budaya tersebut tetap dilindungi karena kedudukannya sebagai obyek sipil. Penggunaan lambang pengenal terhadap benda budaya semata-mata hanya untuk agar semakin mudah dibedakan dengan obyek militer sehingga dapat menghilangkan keragu-raguan terhadap kedudukan suatu obyek tersebut. Benda budaya yang diberi perlindungan khusus mendapat keuntungan yang dapat kita lihat dari Pasal 9 dan Pasal 11 ayat 2 Konvensi Den Haag 1954. Pasal 9 Konvensi Den Haag 1954 yaitu : ―Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk menjamin kekebalan benda budaya dibawah perlindungan khusus yaitu mulai dari waktu pendaftarannya dalam Pendaftaran Internasional, menghentikan setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung kepada benda tersebut dan, kecuali dalam kasus-kasus yang disebutkan dalam paragraf 5 Pasal 8, menghentikan setiap penggunaan benda tersebut atau sekitarnya untuk tujuan-tujuan militer.‖ 110
Gambar dapat diunduh pada https://arlina100.wordpress.com/2008/12/17/lambang-perlindungankhusus-benda-budaya/ 111 Gambar dapat diunduh pada https://arlina100.wordpress.com/2008/12/15/lambang-baru-untukperlindungan-benda-benda-budaya/
Universitas Sumatera Utara
Pasal 11 ayat 2 Konvensi Den Haag 1954 tertulis bahwa : ―Terlepas dari kasus yang disebutkan dalam paragraf 1 Pasal ini, kekebalan terhadap benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus seharusnya dicabut hanya dalam hal adanya kepentingan militer yang tidak dapat dihindarkan dan pencabutan itu berlangsung hanya pada waktu kepentingan militer itu berlangsung. Kepentingan militer yang demikian hanya dapat ditetapkan Komandan dari suatu pasukan setingkat divisi atau yang diatasnya. Apabila keadaan memungkinkan, Pihak lawan harus diberitahukan tentang keputusan pencabutan kekebalan tersebut sebelumnya dalam tenggang waktu yang cukup.‖ Pasal 9 Konvensi Den Haag 1954 dan Pasal 11 ayat 2 Konvensi Den Haag 1954 tersebut menunjukkan bahwa benda budaya yang diberi perlindungan khusus mendapatkan keuntungan berupa jaminan kekebalan atau tidak boleh di jadikan target serangan. Selain itu, jika ada pencabutan kekebalan atau imunitas tersebut harus berdasarkan kepentingan militer yang ditetapkan Komandan dari suatu pasukan setingkat divisi atau yang diatasnya. Berdasarkan Konvensi Den Haag 1954 kita dapat melihat bahwa benda budaya dilindungi dalam konflik bersenjata baik perlindungan secara umum maupun perlindungan secara khusus. Dilindunginya benda budaya dalam konflik bersenjata juga dikuatkan dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I 1977, yaitu : ―Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan Konvensi Den Haag 1954 dan PiagamPiagam Internasional lainnya yang bersangkutan dengan hal itu, adalah dilarang : (a) melakukan tindakan-tindakan permusuhan apapun yang ditujukan terhadap monumen-monumen sejarah, karya-karya seni atau tempattempat pemujaan yang merupakan warisan budaya atau spirituil dari suatu bangsa; (b) menggunakan obyek-obyek seperti itu untuk menunjang usaha militer; (c) menjadikan obyek-obyek seperti itu sebagai obyek pembatasan.‖
Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan hukum humaniter internasional dengan melalui konvensi-konvensi internasional, kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata adalah sebagai obyek sipil. Benda budaya sebagai obyek sipil wajib dilindungi dan tidak boleh dijadikan target serangan atau obyek militer. Namun patut dicatat berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I Tahun 1977, bahwa kedudukan benda budaya sebagai obyek sipil dapat berubah menjadi obyek militer apabila sifat, lokasi, tujuan, atau
Universitas Sumatera Utara
penggunaannya benda budaya tersebut memang benar-benar dapat menunjukkan kepentingan militer oleh pihak musuh atau telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh. Sehingga, sesuai dengan prinsip kepentingan militer, diperlukan tindakan penyerangan balik yang memberikan keuntungan militer yang pasti dalam menanggapi dijadikannya benda budaya tersebut sebagai obyek militer. Contohnya adalah ketika demi kepentingan militer pihak musuh, benda budaya seperti gereja dijadikan pihak musuh
sebagai tempat persembunyian dan juga tempat untuk
melakukan penyerangan diam-diam yang menghasilkan kontribusi efektif bagi tindakan pihak militer musuh, maka benda budaya tersebut pada saat itu juga otomatis berubah kedudukannya menjadi obyek militer. Sehingga, karena kedudukannya sudah berubah, benda budaya tersebut dapat diserang namun harus menghasilkan keuntungan militer yang pasti yaitu kemenangan militer atau keberhasilan misi dengan mengusahakan seminimal mungkin kerugian obyek sipil dan korban sipil yang jatuh.
Universitas Sumatera Utara