6.
BAB 6
Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok 1. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran Indonesia telah melaksanakan inisiatif penting untuk meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses anggaran. Tetapi sistem anggaran baru masih terus bergantung pada dokumen anggaran yang terlalu rinci dan berfokus pada sisi input yang memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan dan membahasnya. Sekarang DPR memiliki wewenang yang begitu besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara pihak eksekutif dan legislatif terlalu berfokus pada hal-hal yang detail sehingga cenderung mengorbankan diskusi mengenai kebijakan.. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional. Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek pembangunan, umumnya berjalan lamban dan sering baru bisa direalisasi menjelang akhir tahun anggaran. Lambatnya pencairan anggaran ini menunjukkan adanya gejala hambatan struktural dalam siklus anggaran, termasuk ketentuan dokumentasi yang terlalu rinci, prosedur revisi anggaran yang sangat panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun, dan proses pengadaan barang dan jasa yang lamban.
• • •
2. Pengadaan barang dan jasa Walaupun kerangka kerja regulasi untuk pengadaan publik telah mengalami perbaikan, kapasitas untuk memenuhi persyaratan proses pengadaan tidak memadai, sehingga memperlambat pelaksanaan proyek.
•
3. Audit
• •
Jumlah pegawai dan sebaran geografis staf lembaga audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak sejalan dengan mandat mereka masing-masing. Pejabat BPK bertanggung jawab terhadap pemeriksaan eksternal dari seluruh aparatur pemerintah, tetapi hanya memiliki setengah dari auditor bersertifikat yang dimiliki BPKP, yang saat ini perannya lebih kecil dan terbatas. Sebagai akibat dari redefinisi peran BPK dan BPKP, semakin sering terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan mengenai fungsi tiga lembaga pemeriksaan internal, yang terdiri dari BPKP, Inspektur Jenderal (Irjen) pada setiap Departemen, dan badan pengawas daerah (Bawasda).
Rekomendasi Utama Penyusunan dan pelaksanaan anggaran Hanya setelah pengawasan purnawaktu (ex-post)menjadi semakin kuat, maka secara perlahan gantikan pengawasan berdasarkan line-item di anggaran, kurangi tingkat ke-detail-an dokumen anggaran, dan di saat yang sama sederhanakan proses pengeluaran dokumen anggaran. Pembahasan dan persetujuan DPR terhadap anggaran seharusnya disesuaikan untuk lebih berfokus pada kebijakan dan prioritas. Susun kerangka pengeluaran jangka menengah, berikan peluang untuk pengajuan anggaran multi tahun untuk kategori belanja modal, dan sederhanakan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun berikutnya. Langkah pertama bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.
• • •
Pengadaan barang dan jasa Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan seharusnya diberikan kemandirian yang lebih luas. Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk melaksanakan sistem e-procurement. Kerangka Peraturan yang ada saat ini seharusnya diperkuat melalui pembentukan UU pengadaan barang dan jasa dan peningkatan kapasitas para pelaksana pengadaan.
•
Audit
• • •
104
Pengaturan kelembagaan untuk melakukan pemeriksaan internal dapat disederhanakan. Berbagai lembaga pemeriksa internal dapat dokonsolidasikan ke dalam satu lembaga pemeriksaan internal dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas untuk bekerja sama dengan BPK, Staff dan infrastruktur di tingkat propinsi harus diseimbangkan lagi antara pemeriksaan internal dan eksternal untuk mencerminkan wewenang BPK yang baru. Peran DPR harus diperjelas dalam rangka meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif berdasarkan temuan-temuan BPK.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
77
Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktik-praktik keuangan berstandar internasional. Departemen Keuangan telah melaksanakan re-organisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukanRekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang mendasarinya. Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan Bidang Reform
Status Pelaksanaan
• Perencanaan Anggaran dan Keuangan Negara
• Peraturan pemerintah mengenai rencana kerja tahunan, rencana kerja departemen, rencana tahunan anggaran telah dikeluarkan, dengan memperkenalkan (i) anggaran berbasis kinerja dan output, (ii) klasifikasi GFS-, (iii) unifikasi anggaran dengan re-klasifikasi terhadap kategori anggaran. • Peraturan pelaksanaan mengenai akuntansi berbasis akrual belum terlaksana.
• Sistem Perbendaharaan
• Audit
• Kantor Akuntansi Regional (KAR) dan kantor verifikasi kabupaten/kota (Kasipa) kini sudah disatukan ke dalam Kanwil dan KPPN. • Kantor pembayaran daerah (KPPN) akan memegang fungsi verifikasi internal. • Rekening dengan Saldo Nihil (zero balance account) sedang diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan daerah (KPPN), tetapi sebagian besar pengeluaran masih dilaksanakan melalui berbagai rekening pemerintah. • Regulasi mengenai manajemen kas belum tersedia. • Kehadiran dan kondisi staf BPK di daerah telah mengalami perkembangan yang bagus. Kini BPK telah memiliki kantor di 16 provinsi dengan pegawai berjumlah 3.500 orang. • UU mengenai Audit Keuangan Negara memerlukan tujuh peraturan pelaksanaan, dan tidak satu pun dari peraturan ini yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. • UU No. 15/2006 tentang BPK yang dikeluarkan pada November 2006, tetapi peraturan pelaksanaannya masih tertunda.
Sumber: Bappenas.
77 Bab ini berfokus pada Pengelolaan Keuangan Publik pemerintah pusat. Untuk PKP di daerah, lihat Bab 7.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
105
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya 30.0
%
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 -5.0
FY 01
FY 02
FY 03
FY 04
FY 05
-10.0 -15.0 Total Pengeluaran Belanja Barang Belanja Pembangunan
Pengeluaran Pemerintah Pusat Belanja Modal Transfer ke daerah
Belanja Pegawai Subsidi
Sumber: DepKeu, Bank Dunia. Catatan: Angka-angka dalam persen dari total pengeluaran sebelum revisi pertengahan tahun.,
Sejauh ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran % pemerintah belum mengalami 100 perbaikan, terutama mengenai 90 indikator realisasi anggaran. Realisasi 80 pengeluaran pemerintah pusat selalu 70 menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan transfer anggaran kepada 60 pemerintah daerah cenderung 50 diperkirakan terlalu rendah, yang 40 mengakibatkan terjadinya kelebihan 30 pengeluaran secara keseluruhan. Pada 20 saat yang sama, beberapa bagian dari 10 anggaran tersebut—terutama realisasi pengeluaran modal/pengeluaran 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec pembangunan—sering lebih rendah Bulanan 06 Bulanan 05 Bulanan 01-04 daripada penentuan anggaran awal Kumulatif 06 Kumulatif 05 Kumulatif 01-04 (Diagram 6.1). Di samping itu, sekitar Sumber: DepKeu, Staff Bank Dunia. 50 persen dari total pengeluaran modal Catatan:Angka-angka dalam bentuk persen dari total anggaran tahunan. TA 01 -04 mengacu baru bisa terealisir pada kuartal terakhir pada pengeluaran pembangunan, TA 2005 dan 2006 mengacu pada pengeluaran modal dan tahun yang bersangkutan. Selama pengeluaran barang dan jasa kurun waktu lima tahun yang telah lewat, pengeluaran dimulai secara perlahan dan semakin gencar menjelang akhir tahun anggaran (Diagram 6.2). Pola pengeluaran seperti ini menimbulkan keperihatinan sebab hal ini menghambat pelaksanaan proyek. Akibat lain dari hal ini adalah pelaksanaan proyek dimulai agak terlambat, dan untuk proyek-proyek yang memerlukan penyelesaian selama beberapa tahun, pelaksanaan proyek selalu terhenti di awal tahun. Diagram 6.2 Pencairan Pengeluaran Non-Rutin
Pencairan yang lamban dan cenderung menumpuk dibelakang, merupakan gejala dari tantangan yang lebih berat yang harus dihadapi pada setiap tahapan siklus manajemen keuangan publik. Ada tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien: (i) lemahnya penyiapan anggaran; (ii) pelaksanaan anggaran yang kaku; dan (iii) hambatan implementasi. Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun (dikeluarkan pada bulan Agustus). Sejak tahun 2001, revisi pertengahan tahun mencapai rata-rata sebanyak 13 persen dari total anggaran. Revisi yang
106
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
begitu besar telah mengurangi kredibilitas anggaran yang telah disetujui dan mempersulit pelaksanaannya, karena hanya ada sisa waktu selama empat bulan untuk melaksanakan hasil revisi yang begitu besar dan seringkali berupa peningkatan anggaran yang cukup besar (lihat Kotak 6.1). Hal ini membaik secara substansial di tahun 2006 dalam arti revisi pertengahan tahun hanya sedikit saja karena asumí harga minyak telah disesuaikan pada waktu penyiapan anggaran. Kotak 6.1 Estimasi yangterlalu rendah terhadap harga minyak Dari tahun 2003 sampai 2005, Indonesia mencantumkan anggaran penerimaan agregat dan pengeluaran subsidi BBM secara lebih rendah karena menentukan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Harga minyak merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan anggaran sebab 28 persen dari pendapatan langsung berasal dari minyak dan gas (Pertamina) atau secara tidak langsung melalui pajak atas produk-produk migas. Pada tahun-tahun belakangan ini rata-rata harga minyak 50 persen lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada awal penentuan anggaran (lihat Tabel di bawah ini). Asumsi harga minyak memiliki dampak langsung terhadap tingkat alokasi anggaran kepada pemerintah daerah sebab dana DAU ditentukan sebesar 26 persen dari penerimaan pemerintah. Dengan adanya revisi kenaikan anggaran pada tahun 2005, DAU sebenarnya hanya berjumlah 19 persen dari total anggaran. Pada 2006, anggaran menggunakan asumsi harga minyak yang lebih tinggi— 79 dan lebih realistis, yang menyebabkan kenaikan transfer dana DAU sebesar 65 persen.
Anggaran vs. realisasinya Harga Minyak Anggaran (AS$/barel)
Realisasi (AS$/barel)
Total Pengeluaran Selisih (%)
Anggaran (Rp triliun)
Realisasi (Rp triliun)
Selisih (%)
2001
24
24.6
2.5
341,562.6
295,113.5
15.74
2002
22
23.5
6.8
315,529.2
344,008.9
-8.28
2003
22
28.8
30.9
376,505.2
370,591.6
1.60
2004
22
37.2
69.1
423,974.9
374,351.2
13.26
24
51.8
115.8
508,938.0
397,769.5
27.95
2005 Sumber: DepKeu
Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang fleksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Re-alokasi anggaran antar DIPA dari program-program yang tertunda kepada program yang berjalan lebih baik yang dapat mendorong pelaksanaan anggaran yang memuaskan secara keseluruhan memerlukan proses revisi yang panjang yang melibatkan anggota DPR. Dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam proses pelaksanaan anggaran untuk mempercepat realisasi pengeluaran anggaran akan memerlukan dicantumkannya tujuan dan target kinerja yang kredibel dan menerapkan langkah-langkah pengamanan, termasuk kemampuan untuk melakukan pemantauan dan pelaporan yang cukup dengan tujuan untuk mengurangi risiko ketidakkonsistenan dengan tujuan awal program dan pemanfaatan dana yang tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran Mengingat masalah yang ada dalam melakukan estimasi penerimaan dan dalam menentukan target anggaran yang realistis, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keseluruhan mutu penyiapan anggaran. Peningkatan mutu anggaran dapat dilaksanakan dengan memperbaiki mutu perkiraan makro-ekonomi dan penyusunan model, dan meningkatkan kemampuan estimasi penerimaan. Di samping itu, mutu penyusunan 78 Lihat Bab 7 untuk analisis lebih rinci mengenai pengalihan dana ke daerah pada 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
107
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
anggaran pengeluaran perlu diperhatikan secara terpisah. Inisiatif ini berkaitan baik dengan upaya untuk melakukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan perubahan dalam proses penyiapan anggaran. Tanggung jawab untuk membuat perencanaan dan menyusun anggaran dibagi antara Bappenas, Departemen Keuangan dan departemen teknis. Pembagian tugas antara Bappenas, Departemen Keuangan (Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan) dan jajaran departemen yang lain dirancang untuk mencapai (i) Penyiapan anggaran berbasis kebijakan, dan (ii) penerapan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) (Diagram 6.3). Setiap departemen dan lembaga menyiapkan rencana kerja masing-masing (Renja-KL) dengan merujuk rencana kerja pemerintah secara keseluruhan (RKP) dan pagu anggaran indikatif. Setelah melalui pembahasan dengan DPR, departemen teknis selanjutnya menyiapkan rencana kerja dan rencana anggaran mereka (RKA-KL) berdasarkan revisi pagu dari Ditjen Anggaran, Dokumen pengeluaran (DIPA) disiapkan oleh departemen dan selanjutnya diserahkan kepada Ditjen Perbendaharaan untuk memperoleh persetujuan. Pada saat yang sama, Ditjen Anggaran akan memeriksa kesesuaian antara DIPA dan RKA-KL. Hal ini lalu diikuti oleh pelaksanaan anggaran, yang melibatkan departemen dan Ditjen Perbendaharaan. Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik Bappenas
Ensure Consistency with Government Work Plan
Annual Work Plans with indicative Budget Ceilings (RenjaKL Ministerial Regulation)
Annual workplan and Budget (RKA-KL)
DepKeu, Ditjen DepKeu, Ditjen Anggaran Perbendaharaan
Kabinet/ Presiden
DPR
Deliberation of Government Workplan and Fiscal Policy Framework
Fiscal Policy Statement
General Policy and Budget Priorities
Temporary Budget Ceilings
Deliberation of Workplan and Budget
Ensure Consistency with Budget Priorities
Budget Preparation May-November
<
Planning Januar y-April
Annual Government Work Plan (RKP Government Regulation)
Jajaran Kementerian
Annual Workplans and Budgets (Annex to Budget Law)
Draft Budget Law) (RAPBN)
Draft Presidential Decree on Budget Enactment
Deliberation and Approval of Budget Law
Budget Law (UU APBN)
Budget Execution December
<
Presidential Decree on Budget Enactment
Draf t Spending Warrants (DIPA)
Review and Adjusment of Spending Warrants Issuance Spending Warrants (DIPA)
Sumber: Bappenas, staf Bank Dunia, PP No. 21 tentang RKA-KL.
Integrasi perencanaan dan penganggaran lebih lanjut dapat merupakan bagian dari langkah menuju penganggaran berbasis kinerja. Anggaran diharapkan didasarkan pada kebijakan yang ada dan disusun dengan prinsip dari bawah ke atas. Sejauh ini, proses ini baru diatas kertas dengan dampak yang terbatas terhadap keputusan mengenai alokasi anggaran.
108
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Indonesia bergerak dengan lambat menuju penentuan anggaran berbasis kinerja. Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang ada sekarang memuat 32 bidang prioritas, sekitar 250 program, dan 1.300 kegiatan untuk menangani prioritas-prioritas ini. Baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah secara formal memperkuat hubungan antara perencanaan dan penentuan anggaran. Program yang diuraikan di dalam RPJM, rencana kerja tahunan pemerintah (RKP), dan rencana kerja departemen (Renja-KL) secara formal dijadikan pedoman oleh jajaran departemen dalam menyusun rencana anggaran. Akan tetapi, pada kenyataannya proses pengambilan keputusan pada jajaran departemen, Ditjen Anggaran, Bappenas, dan DPR masih lebih didorong oleh fokus terhadap komposisi input anggaran daripada kesesuaian program pengeluaran dengan prioritas dan tujuan politik. Alokasi dan pelaksanaan anggaran masih didasarkan pada input (line item) yang terperinci yang membatasi fleksibilitas pengeluaran dalam satu program dan melemahkan manfaat dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Sejalan dengan hal itu, hanya ada sedikit kemajuan yang telah diperoleh dalam rangka mengembangkan anggaran yang berorientasi pada kinerja, apalagi pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja. Proses pelaksanaan akan memakan waktu yang cukup lama dan belum ada strategi yang jelas untuk merealisasikannya. Apalagi, pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya, bagian anggaran yang berjumlah besar seperti subsidi tidak dimasukkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada proses penyusunan anggaran untuk tahun anggaran 2008 pemerintah telah bergerak ke arah cakupan proses anggaran yang lebih komprehensif. Siklus penyusunan anggaran sekarang yang secara ketat bersifat tahunan tidak mampu memenuhi kebutuhan investasi publik jangka menengah. Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun 2008 Indonesia merencanakan melaksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF). Regulasi dalam UU tentang Keuangan Negara menyediakan pagu indikatif anggaran yang dikeluarkan untuk waktu dua tahun mendatang. Akan tetapi, pada anggaran 2006 dan 2007 pagu anggaran sementara telah dikeluarkan hanya untuk satu tahun anggaran kedepan. DPR memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran yang dirancang dalam persetujuan anggaran tahunan. Anggaran yang sekarang berbasis input, rinci dan memiliki peran yang penting dalam focus yang kuat terhadap pengawasan dimuka (ex-ante). Sejalan dengan hal itu, pembahasan di tubuh DPR cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item) dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya, setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Di samping itu, DPR juga memiliki wewenang untuk mengubah perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
109
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran DPR berperan aktif pada keseluruhan siklus anggaran. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 25 dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 menyatakan bahwa penyiapan anggaran seharusnya berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP). RKP bersama-sama dengan pernyataan kebijakan fiskal dan kerangka kerja makroekonomi diserahkan kepada DPR pada bulan Mei tahun sebelumnya untuk dilakukan pembahasan (UU No. 17/2003 Pasal 13). Kesepakatan pembahasan yang berhasil dicapai akan menjadi rujukan bagi Departemen dan lembaga pemerintah untuk menyiapkan usulan anggaran (RKA-KL). Kementerian dana lembaga lalu mengirimkan RKA-KL kepada Komisi di DPR yang menjadi rekan kerja pada pertengahan bulan Juni untuk pembahasan awal. Hasil pembahasan awal ini lalu dikirimkan kepada DepKeu pada pertengahan bulan Juli sebagai Rujukan untuk menyusun anggaran tahun berikutnya (UU No. 17/2003 Pasal 14). Pemerintah lalu menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya untuk dibahas (UU No. 17/2003 Pasal 15). Pembahasan dilakukan sebagai berikut: Sidang Pleno: DPR menyampaikan pandangan umum terhadap usulan pemerintah dan pemerintah menyampaikan Tanggapan atas pandangan umum tersebut. Dengar pendapat dengan Komisi Anggaran: Pembahasan berfokus pada asumsi makroekonomi, pendapatan pemerintah, prioritas pengeluaran, dan pendanaan atas defisit anggaran. Pembahasan dengan Komisi-Komisi Sektoral: Pembahasan berfokus pada RKA-KL.
• • •
Keputusan mengenai UU Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) harus diambil paling sedikit dua bulan sebelum dimulainya periode anggaran, yaitu bulan Oktober tahun sebelumnya (UU No. 17 Pasal 15). DPR lalu memberikan persetujuan rincian anggaran berdasarkan unit organisasi, jenis pengeluaran, fungsi pengeluaran, program dan kegiatan (UU No. 17 Pasal 15). Sebagai tindak lanjut dari penetapan anggaran, Presiden lalu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang rincian anggaran pada bulan November. Berdasarkan keputusan ini, kementerian dan lembaga lalu melakukan revisi terhadap RKA-KL dan menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) pada bulan Desember.
Sistem anggaran Indonesia menghadapi kesulitan jika diperlukan adanya fleksibilitas. Akhir-akhir ini Indonesia menghadapi berbagai bencana alam berskala besar. Peristiwa itu menimbulkan tuntutan yang tinggi terhadap sistem pengelolaan keuangan publik: bencana alam menuntut pemerintah untuk memberikan tanggapan cepat, dan biasanya memerlukan realokasi dan mobilisasi sumber daya dalam skala besar untuk tahun yang bersangkutan. Secara umum, Indonesia memiliki sistem penganggaran yang tidak fleksibe berkaitan dengan realokasi anggaran untuk tahun yang sedang berjalan. Lembaga pemerintah menerima anggaran terpisah untuk pembayaran gaji dan pengeluaran operasional lainnya. Hanya dengan persetujuan DPR dana tersebut dapat disalurkan untuk maksud yang berbeda atau antar pengeluaran operasional, investasi, dan program. Seperti yang terjadi di sebagian besar negara lain, Indonesia hanya memiliki dana cadangan yang sangat kecil di tingkat pusat untuk memenuhi pengeluaran umum yang tidak terduga (Untuk kajian tentang kinerja pengeluaran publik Indonesia setelah bencana tsunami pada bulan Desember 2004 dibandingkan dengan negara lain, lihat makalah yang akan datang Fengler et.al, 2007 ).
Pelaksanaan Anggaran Pada tahun 2005, pola pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun lebih terlihat daripada biasanya dan kemajuan yang diperoleh pada tahun 2006 mengenai hal ini masih mengecewakan. Pada akhir tahun 2005, pemerintah hanya menggunakan 68 persen dari belanja modal dan 72 persen dari belanja barang dibandingkan dengan jumlah anggaran yang telah disetujui. Lima puluh empat persen dari total belanja modal baru bisa dikeluarkan pada bulan Desember. Walaupun sedikit mengalami perbaikan daripada 2005, catatan realisasi anggaran pada tahun anggaran 2006 masih memperihatinkan. Sementara agregat realisasi belanja pemerintah untuk bulan September 2006 telah mencapai 62 persen dari anggaran yang terutama disebabkan oleh realisasi anggaran rutin yang tepat waktu seperti gaji pegawai, komponen pengeluaran pemerintah pusat yang bersifat variabel masih sangat dipengaruhi oleh penundaan pengeluaran. Sampai September 2006 hanya 41 persen dari target belanja modal dan 40 persen dari anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang bisa direalisasikan. Kakunya kerangka kerja pelaksanaan anggaran yang ada sekarang merupakan salah satu faktor penyebab menumpuknya anggaran pada akhir tahun. Sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk melakukan akselerasi pengeluaran dalam kuartal pertama pada tahun anggaran yang sedang berjalan, dokumen pengeluaran anggaran (DIPA) untuk 2006 dikeluarkan pada awal tahun anggaran. DIPA harus mencantumkan Pimpinan Proyek, Bendahara, dan Staf Bagian Pengadaan yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Walaupun sebagian besar DIPA
110
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
79
dikeluarkan pada bulan Januari 2006, sebagian besar staf proyek belum ditunjuk oleh instansi pelaksana proyek. Seleksi staf terjadi pada kuartal pertama dari tahun anggaran, yang mungkin menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek. Dilaporkan, sejumlah DIPA dikeluarkan walaupun tidak lengkap, tetapi pencairan dananya diblokir. Masalah ini diperbesar oleh fakta bahwa alokasi dan DIPA hanya dilakukan untuk satu tahun. Kerangka peraturan mengenai penganggaran memungkinkan adanya luncuran anggaran pada tahun berikutnya, tetapi hal itu hanya berkaitan dengan alokasi anggaran dalam satu tahun. Dengan demikian, anggaran untuk pelaksanaan proyek yang memerlukan waktu beberapa tahun mengalami banyak kendala. Anggaran dalam satu tahun telah menumpuk di akhir tahun, pelaksanaan proyek tertunda pada setiap tahun anggaran dan, dalam beberapa kasus, pendanaan untuk proyek terhenti sama sekali untuk beberapa tahun walaupun kemudian muncul lagi untuk dilanjutkan(Diagram 80 6.4). Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek Pencairan Dana
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Waktu
Sumber: Staf Bank Dunia.
Pendekatan tunda lalu jalan (stop-and-go) tentang penentuan anggaran ini telah menyebabkan timbulnya inefisiensi yang sangat besar dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Fasilitas penganggaran untuk beberapa tahun perlu dirancang dengan memperhitungkan berbagai isu kepemerintahan dalam konteks kelembagaan di Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan hati-hati adalah dengan menganggarkan biaya proyek multi tahun di satu tahun anggaran dengan uang dialokasikan pada rekening khusus dengan hak pencairan yang hanya dimiliki oleh organisasi pelaksana proyek. Alokasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kapasitas penyerapan. Pada tahun-tahun terakhir ini, anggaran untuk hampir seluruh lembaga pelaksana anggaran telah meningkat cukup besar. Akan tetapi, daya serap lembaga tersebut kini mendapat tekanan. Hubungan yang lemah antara perencanaan dan penentuan anggaran sebagian merupakan penyebab dari hal tersebut. Baik rencana kerja pemerintah (RKP) maupun rencana anggaran kementerian dan lembaga (RKA-KL) tidak memperhitungkan perencanaan proyek dan pengadaan. Akibatnya, jumlah anggaran untuk belanja modal dari program tersebut cenderung menjadi lebih tinggi daripada kapasitas penyerapan dari lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Penganggaran yang melebihi kapasitas penyerapan akan menimbulkan tekanan kuat untuk menggunakan anggaran melebihi kapasitas, terutama dalam sistem anggaran tahunan yang ketat dengan mengorbankan mutu pengeluaran tersebut. Perencanaan dan penganggaran harus bersifat pragmatis dan mempertimbangkan secara matang kapasitas penyerapan lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Pengembangan kapasitas penyerapan lembaga dan keterampilan staf sangat diperlukan. Mengingat bahwa hampir 30 persen dari anggaran dialokasikan untuk proyek (belanja modal dan barang), seharusnya lebih banyak yang harus dikerjakan untuk mengembangkan kapasitas penyerapan kementerian dan lembaga. Keterampilan perencanaan dan pengadaan perlu didorong dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat ditugaskan untuk memberikan layanan tersebut. LAN dapat merekrut para pelatih tambahan yang berasal dari jajaran kementerian. Jika dipandang perlu, departemen pengguna anggaran seharusnya juga diizinkan untuk merekrut dan melatih staf demi kepentingan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
79 Format DIPA baru diperkenalkan pada 2005. Pada tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan DIP hanya untuk pengeluaran pembangunan. Secara historis, dokumen anggaran baru bisa dikeluarkan pada kuartal pertama atau kedua pada tahun anggaran, dalam beberapa hal, bahkan bisa pada kuartal berikutnya. Format DIP yang digunakan sebelumnya juga mencantumkan tim pelaksanaan proyek. 80 Dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan masalah besar karena kegiatan ekonomi, seperti pembangunan jalan atau gedung sekolah, akan dapat didistribusikan lebih merata lagi pada setiap tahun anggaran. Sehingga, pembayaran untuk setiap kontrak sering dilaksanakan setelah pekerjaan selesai yang didasarkan pada tingkat penyelesaian pekerjaan. Sehingga,pelaksanaan proyek bermasalah dan kegiatan ekonomi menjadi tidak seimbang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
111
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Sistem manajemen kas yang terpecah-pecah merusak transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan rekening perbendaharaan tunggal (TSA) dari sudut pandang UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan negara masih terus berjalan. Pengaturan saldo nihil dengan bank-bank komersil telah berhasil diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan daerah terpilih (KPPN) dan pelaksanaan lebih lanjut sedang diuji pada 178 kantor KPPN akan mampu melakukan konsolidasi terhadap lebih dari 1.000 jenis rekening perbendaharaan pada satu TSA. Sementara itu, sebagian besar anggaran masih dilaksanakan melalui rekening bank pada bank komersial yang dipegang oleh unit pengeluaran dan pejabat pemerintah. Menurut laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tahun 2005, ini termasuk Rp 8,5 triliun yang disimpan dalam sekitar 1.300 rekening giro dan deposito yang tidak tercatat dalam sistem perbendaharaan negara. Dana yang tersimpan di luar buku (off books) ini tidak saja menyebabkan distorsi terhadap neraca konsolidasi kas pemerintah, tetapi juga sangat rentan terhadap penggelapan dan tindakan korupsi. Pelaksanaan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kas akan memperluas kewenangan Menteri Keuangan untuk menutup rekening bank tidak terotorisasi semacam itu dan akan menyediakan perangkat hukum untuk melaksanakan sensus terhadap seluruh rekening pemerintah pada tahun 2007.
Pengadaan Kerangka hukum dan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik telah mengalami kemajuan cukup pesat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003. Keppres ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa yang transparan, terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien. Dengan kata lain, hal ini memenuhi sebagian besar kelaziman yang berlaku secara internasional, dan mengatasi berbagai kekurangan yang sangat serius yang terjadi pada sistem yang diberlakukan sebelumnya. Akan tetapi, pengadaan publik masih membingungkan akibat instrumen hukum yang berlapis-lapis di setiap tingkat pemerintahan. Pelaksanaan sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan tersendiri untuk melakukan pengadaan publik. Departemen dan BUMN dapat juga mengeluarkan peraturan mengenai pengadaan publik. Dampak dari instrumen yang berbeda-beda terhadap pengadaan publik belum terdokumentasikan. Akan tetapi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak konsisten dalam aplikasinya akibat terjadi kesalahpahaman dan/atau perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan.
112
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan Sistem Indikator Baseline Internasional (BIS) untuk pengadaan merupakan metodologi, yang dikembangkan bersama antara OECD dan Bank Dunia, untuk melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif atas sistem pengadaan publik. Penilaian itu berdasarkan 12 indikator dasar, yang dibagi menjadi empat kelompok yang disebut pilar: (i) peraturan dan perundangundangan, (ii) kelembagaan dan kapasitas pengelolaan, (iii) operasional pengadaan dan praktik pasar, dan (iv) integritas sistem pengadaan publik. Dengan menggunakan BIS, penilaian terhadap sistem pengadaan publik di Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 2001. Hasil analisis ini tampak seperti diagram di bawah ini. Penilaian ini akan disempurnakan lagi pada Laporan Penilaian Pengadaan (CPAR) tahun anggaran 2007 dengan menggunakan versi 4 dari indikator ini, sebagai tambahan dari indicator kepatuhan/kinerja yang mengukur kinerja sesungguhnya dari sistem ini.
Tingkat pencapaian menggunakan pilar BIS Kerangka kerja Legislatif 100 75 50 25
Integritas dan Transparansi
0
Kerangka kerja Institusional
Operasional Proc dan Kinerja Pasar Indonesia
Tingkat Kepuasan
Skor menunjukkan persentasi terhadap elemen baseline yang menunjukan “standar praktek yang baik” yang diinginkan yang mampu dipenuhi oleh negara tertentu. Tingkat baseline untuk kinerja yang memuaskan berada pada angka 50 persen pada setiap indikator. Walaupun umunya memiliki nilai dibawah tingkat baseline, Indonesia memiliki skor lebih baik dalam hal indikator peraturan dan perundang-undangan serta integritas tetapi kurang baik untuk kinerja pasar dan kerangka kelembagaan. Sumber: Metodologi OECD 2006 untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengadaan nasional.
Regulasi pengadaan publik melalui keputusan Presiden tidak berada pada tingkat hukum yang cukup tinggi. Masalah utamanya adalah bahwa dalam lingkungan desentralisasi, regulasi pengadaan publik melalui keputusan presiden tidak menetapkan prinsip-prinsip dasar dan kebijakan yang mengatur pengadaan publik pada tingkat perundang-perundangan yang cukup tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa ada kebutuhan terhadap UU pengadaan yang memperhatikan baik kelaziman yang berlaku secara internasional maupun kepentingan spesifik Indonesia. Bappenas, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN) sedang dalam proses penyiapan rancangan UU tentang pengadaan. Pengesahan UU yang baru tentang pengadaan ini akan memperkuat kerangka perundang-undangan dan mampu menyiapkan instrumen hukum dengan jangkauan yang cukup panjang. Secara historis, tidak ada satu lembaga atau pejabat pemerintah pusat yang berwenang untuk meletakkan kebijakan yang sama dan konsisten mengenai hal ini, serta memastikan adanya sanksi dan mekanisme penegakan yang harus jelas. Keppres No. 80/2003 membutuhkan pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN). Tugas persiapan LKPN telah rampung dan pengaturan interim sudah dilaksanakan untuk pembentukan LKPN di dalam Bappenas yang bertujuan untuk memperkuat lembaga baru ini dan secara perlahan akan menjadi badan yang mandiri. Ada kebutuhan untuk membentuk LKPN sebagai lembaga independen dan berdayaguna dengan kelengkapan sumber daya yang memadai. Sementara LKPN yang ada dalam Bappenas memegang tanggung jawab utama dalam hal kebijakan pengadaan, situasi kelembagaan yang ada sekarang tidak menyediakan fungsi untuk memberikan nasihat kepada lembaga yang melakukan pengadaan, mengumpulkan data kinerja pengadaan, membina komunitas pengadaan di antara pejabat publik, atau menentukan sistem layanan terhadap keluhan dan, yang paling penting, pengembangan secara berkelanjutan tentang sistem pengadaan publik.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
113
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pelaksanaan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk mendapatkan sertifikat bagi praktisi pengadaan merupakan insiatif yang penting. Keahlian pengadaan hanya terbatas pada sekelompok kecil individu dalam jajaran departemen tertentu. Tidak ada kader praktisi pengadaan, dan tidak ada jalur karir atau sistem insentif yang jelas baik untuk manajemen proyek maupun manajemen pengadaan, Pimpro dan panitia tender kembali menduduki posisi mereka sebelumnya setelah proyek selesai dilaksanakan. Hal ini telah menimbulkan fragmentasi dalam menghimpun pengalaman pengadaan di kalangan PNS. Keppres No. 80/2003 telah menentukan bahwa bulan Januari 2005 sebagai tenggat waktu untuk melakukan sertifikasi anggota panitia tender dalam hal pengadaan untuk keperluan pokok. Tanggal ini telah diubah dua kali dan kini menjadi Januari 2008. Sertifikasi praktisi pengadaan tingkat menengah dan tinggi akan diperkenalkan di masa yang akan datang tetapi tanggal spesifik masih belum ada. Persentase PNS yang telah lulus ujian sertifikasi tingkat dasar pada akhir tahun 2006 jumlahnya kurang dari 12 persen dari 168.000 orang PNS yang telah mengikuti ujian. Usulan sertifikasi bagi praktisi pengadaan merupakan langkah awal untuk menuju ke arah yang benar tetapi ada begitu banyak permintaan yang masih harus dipenuhi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan tambahan imbalan setelah mereka berhasil memperoleh sertifikat atas tanggung jawab yang lebih besar serta mendorong para praktisi untuk meniti karir lewat kemampuan mereka. Regulasi sebelumnya memiliki dampak membatasi persaingan dan membagi pasar dalam negeri, dengan memberi jaminan bahwa UKM dapat diberikan kontrak kerja pada yurisdiksi pemerintah daerah tempat mereka berdomilisi. Keberhasilan membuka pasar berdasarkan Keppres No. 80/2003 masih harus diteliti mengingat adanya lingkungan desentralisasi yang masih baru dan kemungkinan praktik-praktik yang dilakukan di tingkat provinsi dan instrumen hukum yang berdampak terhadap partisipasi di tingkat daerah. Akan tetapi, ketidakhadiran UU pengadaan dengan jangkauan yang luas pada dasarnya mengurangi efektifitas penghentian praktik-praktik semacam itu. Penyusunan dokumen standard lelang merupakan langkah maju yang cukup besar untuk menjamin konsistensi instrumen ini di setiap lembaga dan pemerintah tingkat daerah. Penyusunan dokumen semacam ini sedang dalam proses dan diharapkan dapat diujicobakan pada tahun 2007. Isu pokok yang dihadapi dalam pengadaan publik dalam rangka pelaksanaan reformasi pengadaan di Indonesia adalah transparansi dan korupsi. Salah satu inisiatif penting untuk memperluas transparansi dan akses terhadap peluang mengikuti tender adalah melalui e-procurement. Draft UU yang sedang disiapkan menyediakan kerangka hukum secara keseluruhan mengenai otorisasi dan pemanfaatan tanda tangan elektronik. Langkah penting berikutnya untuk pembentukan LKPN adalah mengembangkan sebuah rencana induk untuk melaksanakan sistem pengadaan elektronik yang akan menentukan protokol umum yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia, mengembangkan sistem pengadaan elektronik yang kokoh, dan melaksanakan draft keputusan presiden. Dirasakan ada kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal terutama kapasitas penegakan aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Sementara Keppres No. 80/2003 memungkinkan untuk mengikuti prosedur penyampaian keluhan, hal itu diarahkan melalui lembaga pemakai (pembeli) dan tidak bersifat independen. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memegang peran penting terkait dengan penanganan keluhan terhadap isu korupsi yang menjadi tugas KPK dan persaingan yang tidak adil yang menjadi wewenang KPPU. Pengaturan ini menimbulkan isu mengenai reliabilitas dan efisiensi sistem penyampaian keluhan. Dalam hal mekanisme sanksi, ada ketentuan mengenai anti-korupsi di dalam Keppres No. 80/2003. Akan tetapi, sepanjang kapasitas itu terus-menerus pada posisi yang lemah, gaji yang rendah dan tidak ada jalur karir yang memuaskan bagi praktisi pengadaan publik, tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang baik, dan tidak ada sanksi tegas untuk tindak korupsi, maka perbuatan korupsi akan tetap tumbuh subur.
Audit Penguatan fungsi audit internal dan eksternal menjadi semakin penting sewaktu Indonesia melakukan modernisasi pada sektor publiknya. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi pengeluaran publik yang komprehensif dan kebutuhan untuk meningkatkan fleksibilitas anggaran lembaga pemerintah, ditambah dengan kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran publik sesuai dengan kelaziman umum yang dapat diterima, maka reformasi di bidang pemeriksaan/audit menjadi sesuatu yang sangat penting.
114
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Tabel 6.2 Peta Audit Lembaga
Akuntabel Kepada
Cakupan
Kapasitas
Kehadiran di Daerah
Jenis audit
Audit Eksternal BPK
Badan Pemeriksa
Seluruh pemerintah
3,500 staff
16 provinsi
Umumnya audit tentang kepatuhan, kadang-kadang audit kinerja
Presiden melalui Menteri Pemberdayaan Paratur Negara
Kementerian termasuk anggaran dekonsentrasi
6,800 staff
25 Provinsi
Umumnya untuk audit kinerja
Menteri
Kementeri termasuk anggaran dekonsentrasi
2,300 staff
Tidak Ada
Umumnya audit kinerja
Gubernur/Bupati
Pemerintah daerah
16,000 staff
Semua staf bekerja di 440 kabupaten/ kota
Baik audit kepatuhan maupun kinerja
Audit Internal BPKP
Inspektur Jenderal
Auditor pemerintah daerah (Bawasda)
Sumber: Penilaian staf Bank Dunia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan wawancara dengan pejabat pemerintah, Profil BPK 2006.
Penentuan kelembagaan yang rumit dan kerangka peraturan yang bersifat terfragmentasi tidak mendorong terjadinya transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi di antara lembaga pemeriksa. Selanjutnya, tampaknya tidak ada mekanisme informal yang berlaku untuk mengatasi hambatan struktural bagi tercapainya audit yang efisien dan efektif . Oleh karena itu, auditor terlatih dan bersertifikat yang jumlhanya sangat terbatas di Indonesia tidak dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagaimana mestinya. Di samping itu, hanya laporan dari BPK yang diteliti oleh pejabat-pejabat yang dipilih dan tersedia untuk umum. Laporan yang disampaikan oleh BPK kepada umum dan kepada DPR sangat bersifat umum dan tidak memiliki karakteristik dari suatu laporan audit. Penyimpangan yang ditemukan dalam audit disampaikan dengan secara sangat umum menggunakan klasifikasi secara garis besar, seperti (i) tidak sesuai, yang meliputi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ketentuan, (ii) praktik-praktik yang tidak ekonomis dan tidak efisien, dan (iii). ketidakefektifan, yang meliputi pengeluaran yang tidak sesuai dengan tujuan semula. Kebanyakan dari penyimpangan yang dilaporkan kepada DPR termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tidak ada uraian lebih rinci yang dicantumkan dalam laporan itu, walaupun laporan itu mestinya meliputi penyimpangan yang berskala luas mulai dari yang sangat serius sampai dengan pelanggaran kecil. BPK adalah lembaga independen tetapi dapat memperoleh manfaat dari peran DPR yang kuat untuk meminta akuntabilitasnya jika hal ini dilakukan dengan hati-hati. Sesuai dengan UUD 1945, UU tentang Pemeriksaan Keuangan Negara tidak mengatur tentang akuntabilitas eksternal bagi BPK. BPK hanya bertanggung jawab terhadap anggota badan pemeriksanya, yang diangkat oleh DPR melalui keputusan presiden. Badan ini memutuskan sendiri apakah anggota mereka harus mengundurkan diri atau tidak. Ada sejumlah manfaat dari pemberian peran yang lebih kuat kepada DPR untuk meminta akuntabilitas BPK: (i) keterlibatan DPR akan menciptakan tekanan yang lebih kuat untuk membuat tindakan audit menjadi relevan dan responsif, (ii) keterlibatan DPR dapat memperkuat kesadaran publik terhadap BPK dan laporan yang dibuatnya, (iii) penguatan peran DPR akan menjadi tekanan untuk memacu efisiensi dan efektivitas BPK. Perhatian seharusnya diberikan untuk mendefinisikan peran DPR secara jelas sehubungan dengan keberadaan lembaga pemeriksaan dan laporan mereka sehingga seluruh stakeholders mengetahui dan sepakat terhadap peran mereka. Mekanisme yang baik perlu diberlakukan—baik melalui komisi yang baru atau terpisah (Komisi Rekening Publik dan Audit), komisi yang sudah ada, sub-komisi dari komisi yang sudah ada, atau
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
115
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
organisasi khusus atau baru, Di samping itu, anggota DPR dan sekretariat mereka perlu membangun kapasitas yang diperlukan untuk menangani laporan pemeriksaan dan informasi secara konstruktif. Kini BPK memiliki mandat yang lebih luas tetapi masih memiliki keterbatasan terhadap perannya yang semakin luas tersebut. UU No. 5/1973 telah menentukan BPK sebagai lembaga pemeriksa “tertinggi” di Indonesia. UU tentang pemeriksaan negara baru ditetapkan pada tahun 2004 dan memberikan mandat kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kepada seluruh lembaga pemerintah di setiap tingkat. BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap BUMN, kecuali BUMN yang memperoleh modal melalui pasar modal Indonesia, dan dalam hal itu ketentuan yang ada mengharuskan perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar diaudit oleh perusahaan auditor yang terdaftar. Lembaga militer sekarang ini tidak harus diperiksa. Menurut UU tentang Audit Negara, BPK melaksanakan audit keuangan, audit kinerja, dan audit forensik. BPK menyampaikan laporan tahunan dan laporan semester kepada DPR atas pemeriksaan yang dilakukan dan menyampaikan laporan pemeriksaan pemerintah daerah. Laporan ini memberikan penilaian terhadap laporan keuangan instansi yang diaudit dan serta memberikan komentar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ditemui di dalam pelaksanaan anggaran yang mungkin ditemukan. Di samping itu, BPK juga berwenang untuk menentukan standar pemeriksaan untuk lembaga pemerintah, walaupun mereka masih belum mengeluarkan standar tersebut untuk penggunaan internal Tingkat staf BPK tidak sesuai dengan mandat barunya. Lembaga pemeriksaan eksternal yang hanya memiliki sekitar 3.500 pegawai diharapkan mampu menjamin mutu pemeriksaan internal dari hampir 25.000 staf. Sebelum penetapan UU tentang audit negara, pemeriksaan keuangan merupakan tugas BPK dan BPKP sebagai lembaga pemeriksa internal dari pemerintah. Kini BPKP memiliki mandat yang jelas yaitu untuk melakukan pemeriksaan internal bersama-sama dengan lembaga pemeriksa lain (seperti, Inspektur Jenderal pada setiap Departemen). Perubahan dalam tanggung jawab ini tidak seluruhnya tercermin dalam realokasi staf dan sumber daya antara kedua lembaga pemeriksa ini. Akibatnya adalah bahwa BPKP memiliki sumber daya yang sangat bagus dibandingkan dengan BPK. Misalnya, BPKP kini memiliki kantor di 26 provinsi di seluruh Indonesia, sementara BPK hanya memiliki kantor di 16 provinsi pada akhir tahun 2006. Mandat BPK relatif jelas tetapi strateginya tidak sesuai dengan kemampuan dan jumlah staf yang ada saat ini. UU No. 15/2004 tentang audit negara telah memberikan kejelasan atas peran yang berbeda dari lembaga pemeriksa dengan cara menyatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal yang independen pada seluruh tingkat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001 BPK menyiapkan rencana pengembangan institusional dan telah melaksanakan langkah praktis untuk menyiapkan diri sehubungan dengan perluasan mandat yang dimilikinya. Strategi internal BPK untuk periode 2006-10 telah disiapkan dan rencana pelaksanaan taktisnya sedang dalam penyelesaian tahap akhir. Mengingat tantangan yang dihadapi BPK dalam memberikan layanan pemeriksaan eksternal dasar dalam bidang pengelolaan keuangan, dan mengingat kapasitas yang dimilikinya saat ini, maka fokus pekerjaannya sekarang lebih baik diarahkan pada pemberian layanan audit keuangan tradisional yang bermutu tinggi, tepat waktu, daripada menyampaikan agenda pemeriksaan yang rumit dan canggih. Sementara UU tentang audit negara memberikan mandat yang semakin kuat kepada BPK, namun masih belum jelas dalam hal tata pemerintahan internalnya dan struktur manajemen. UU yang terpisah mengenai aspek-aspek semacam ini kini sedang disusun dan dipandang penting untuk mengukuhkan dasar lembaga ini sehingga akan diakui sebagai lembaga yang kredibel dan independen. Mandat dan pembagian tugas antara ketiga lembaga pemeriksaan yang ada sekarang tidak jelas. Audit Internal berada dalam ruang lingkup kerja BPKP, Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas pada setiap Departemen, dan fungsi pemeriksaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh Bawasda. BPKP didirikan berdasarkan keputusan presiden pada tahun 1983. Selanjutnya, mandat BPKP telah berubah melalui berbagai keputusan presiden. Pada saat ini, mandat BPKP menjadi tidak jelas, dapat membantu Itjen, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota atas undangan pemerintah daerah, dan mereka dapat menyediakan pelatihan bagi lembaga-lembaga ini. Walaupun mandatnya telahberkurang secara signifikan, BPKP masih memiliki kantor-kantor dengan staf lengkap yang terdesentralisasi di 26 provinsi dan stafnya yang penuh berjumlah 6.800 orang tidak digunakan secara optimal. Jumlah staf BPKP yang masih begitu besar belum mencerminkan pengurangan terhadap mandat yang dimiliki saat ini, terutama jika dibandingkan dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Selain itu, laporan dari BPKP tidak disampaikan kepada umum atau DPR.
116
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Itjen memiliki peran yang berbeda pada setiap Departemen. Mandat Itjen yang sebenarnya, staf, dan kegiatannya ditentukan oleh kemeterian yang bersangkutan. Oleh karena itu, Itjen bertindak sebagai lembaga tersendiri sesuai dengan jumlah menteri dan kegiatan pemeriksaan biasanya terfokus pada masalah-masalah rutin teknis dan kinerja, termasuk ketaatan kepada standar teknis yang berlaku. Oleh karena itu, latar belakang profesi staf Itjen, biasanya meliputi kualifikasi teknis dan bukannya akunting atau pemeriksaan keuangan. Audit mereka dilakukan secara acak atau sesuai dengan rencana pemeriksaan tahunan yang sudah disetujui, tetapi tidak berdasarkan pada metodologi berbasis risiko. Bawasda melakukan pemeriksaan umum terhadap pengeluaran anggaran daerah, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai. Audit terhadap transaksi keuangan masing-masing dari ke 33 pemerintah provinsi dan lebih dari 440 pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan berdasarkan ketentuan kelembagaan yang sangat rumit. Bawasda terdapat di setiap kabupaten/kota, tetapi staf Bawasda biasanya tidak memiliki keterampilan untuk melaksanakan tanggung jawab pemeriksaan. Di samping itu, setiap sumber pendanaan yang berbeda pada pemerintah daerah diperiksa oleh lembaga pemeriksa yang berbeda pula. Dengan demikian, Bawasda mendapat dukungan dari BPKP, Itjen, BPK dan Bawasda pada kabupaten/kota lain dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan terhadap pemerintah daerah masing-masing. BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal dari seluruh pemerintah daerah. Itjen pada Departemen Dalam Negeri mengkoordinasikan seluruh kegiatan dari lembaga pemeriksaan internal dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan mereka untuk setiap kabupaten/kota. Bawasda menyampaikan laporan tahunan mereka kepada masing-masing daerah dan mengirimkan salinan laporan mereka kepada Itjen Departemen Dalam Negeri, Bawasda Provinsi, dan pihak yang diperiksa. Laporan mereka tidak disampaikan kepada publik atau DPR. Akan tetapi, BPK menyampaikan rangkuman dan konsolidasi hasil laporan kepada DPR dan rangkuman itu mencakup seluruh Bawasda. Pengawasan terhadap pengeluaran dan sistem pembayaran sedang ditingkatkan, tetapi pelaksanaannya masih belum memuaskan. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap anggaran pada jajaran departemen, tugas pemberian perintah pembayaran telah dialihkan kepada departemen. Hal ini telah menimbulkan pemisahan yang lebih baik antara fungsi verifikasi transaksi dan pelaksanaan pembayaran. Sementara pemisahan tugas-tugas ini sudah dirancang dengan baik, pelaksanaan di lapangan tidak seluruhnya memuaskan karena tidak adanya standar yang jelas mengenai bukti-bukti akuntansi, prosedur verifikasi, dan unit pemeriksa pra bayar di instansi pembelanja. Salah satu kelemahan endemis yang perlu diperhatikan bahwa dalam praktik akuntansi berkaitan dengan mutu bukti-bukti akuntansi yang dapat diterima oleh Ditjen Perbendaharaan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
117
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Rekomendasi Kebijakan Reformasi yang sedang berjalan dalam penyiapan, pelaksanaan, dan pemeriksaan anggaran dapat mengambil manfaat dari adanya evaluasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan terhadap sistem anggaran di Indonesia. Biasanya, kajian terhadap pengeluaran lebih berfokus pada pengeluaran sektoral dan semakin sering menganalisis aspek-aspek kelembagaan dari pelaksanaan anggaran. Laporan pada bab ini merupakan upaya pertama yang cukup komprehensif dalam melakukan analisis dimensi kuantitatif kinerja anggaran di Indonesia. Beberapa kegiatan tindak lanjut masih sedang disiapkan atau dapat digali lebih jauh untuk terus memperkuat dasar analisis dari keputusan anggaran dan membudayakan evaluasi anggaran. Kegiatan tindak lanjut ini termasuk: (i) survei penelusuran pengeluaran publik untuk mengidentifikasi kebocoran; (ii) World Bank Country Procurement Assessment Report (CPAR) untuk menilai kemajuan modernisasi pengadaan; dan (iii) analisis tentang peran DPR mengenai pengawasan pra-laksana purna-laksana (ex ante dan ex post) terhadap anggaran.
Penyiapan dan pelaksanaan anggaran Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBB) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengan (MTEF). Mengingat sifat dari perubahan itu sendiri, maka diperlukan visi jangka panjang. Perlu disusun suatu peta perjalanan yang realistik, operasional, dan komprehensif untuk melakukan reformasi penganggaran dengan mempertimbangkan kondisi tata pemerintahan Indonesian yang unik, lingkungan pengawasan yang lemah, dan masalah korupsi yang sudah dikenal luas. Pada saat yang sama, perubahan yang mampu dicapai, dapat terlihat jelas bentuknya, dan didefinisikan dengan jelas harus dilaksanakan dalam jangka waktu pendek untuk menjawab tekanan politik untuk melakukan perubahan secara cepat dan menjaga momentum reformasi. Perubahan jangka pendek semacam itu dapat meliputi peninjauan dan penyederhanan terhadap dokumen anggaran, pembuatan laporan tentang hasil yang dicapai tiap tahun bagi program-program yang dilaksanakan di setiap departemen, serta otorisasi penganggaran multi tahun bagi proyek-proyek investasi berskala besar yang memerlukan waktu penyelesaian selama beberapa tahun. Untuk jangka menengah, pengawasan terhadap output seharusnya secara perlahan menggantikan pengawasan terhadap input dan pos-pos anggaran (line item). Reformasi proses anggaran, berikut isi dan struktur dokumen anggaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkenalkan penganggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja (PBB) sering dipahami sebagai alat untuk menunjukkan bahwa pengawasan terhadap input digantikan oleh pengawasan terhadap output dan bahwa tanggung jawab keuangan dan manajemen dari unit pelaksana anggaran mengalami peningkatan. Manajer diberikan kebebasan untuk mengelola, tetapi pada saat yang sama mereka harus akuntabel atas hasil yang mereka capai terhadap penggunaan dana milik publik. Mengingat bahwa isu tentang tata pemerintahan sangat rentan di Indonesia dan mengingat adanya pengawasan ex post yang lemah saat ini, upaya untuk melakukan perubahan dalam bidang ini seharusnya diawali dengan kehati-hatian dan pengawasan ex post yang perlu diperkuat sebelum pengawasan terhadap input diperlunak. Pembahasan dan persetujuan anggaran oleh DPR seharusnya disesuaikan untuk berfokus pada kebijakan dan prioritas pengeluaran. DPR memiliki wewenang yang kuat dalam pembahasan ex ante dan persetujuan terhadap penentuan anggaran tahunan. Anggaran berbasis input, rinci, dan memiliki peranan penting atas fokus yang kuat terhadap pengawasan ex ante. Sehingga, pembahasan DPR cenderung berfokus pada diskusi mengenai pos-pos pengeluaran secara rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan hasil yang hendak dicapai. Cara-cara untuk melakukan peningkatan kapasitas, serta upaya untuk melakukan reformasi kelembagaan, seharusnya menjadi fokus untuk memperjelas peran DPR dalam penyiapan anggaran dengan tujuan untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai hasil dan prioritas penggunaan anggaran. Proses untuk mobilisasi anggaran tahun berjalan dan realokasi sumber daya keuangan pada masa bencana harus disederhanakan. Harus ada upaya untuk mengembangkan proses anggaran jalur cepat untuk digunakan pada waktu terjadi kebutuhan yang luar biasa untuk pengeluaran publik sementara tetap memelihara kerangka pengamanan untuk memastikan dana publik digunakan secara efektif dan efisien.
118
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengadaan Pembentukan lembaga baru pengadaan merupakan kontribusi sistemik yang penting untuk memberantas korupsi, yang pada gilirannya akan membuat harga input menjadi lebih rendah dan meningkatkan tata kelola pengadaan. Di samping itu, diperlukan pelaksanaan strategi e-procurement secara komprehensif agar mampu berkontribusi untuk meningkat transparansi dan kompetisi pasar.
Audit Banyaknya peraturan terpisah yang mengatur pemeriksaan eksternal dan internal tidak memberikan ruang koordinasi dan kejelasan. Konsolidasi terhadap peraturan di bawah satu undang-undang dan menyederhanakan pemberian wewenang untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan sekunder akan memberikan transparansi yang lebih luas dan mendorong tercapainya peraturan-peraturan yang konsisten. Ada potensi sinergi dan manfaat lain untuk melakukan konsolidasi mengenai ketiga lembaga pemeriksa internal menjadi satu lembaga. Konsolidasi lembaga pemeriksa internal memiliki kelebihan di bawah ini:
• • • •
Koordinasi yang lebih baik terhadap pemeriksaan internal tanpa terjadi duplikasi. Akan tersedia sumber daya yang lebih banyak untuk mengembangkan produk-produk audit baru dan akan ada potensi untuk menghemat biaya untuk mendukung layanan pendukung seperti manajemen SDM, dan manajemen keuangan. Koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antara lembaga pemeriksa internal dan eksternal karena hanya ada dua pihak yang perlu berkoordinasi. Memperkuat kemandirian pemeriksaan internal. Hal ini sangat penting di daerah.
Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual memiliki implikasi yang sangat luas terhadap keterampilan para pejabat anggaran, auditor , dan pemakai anggaran dan rekening nasional, termasuk anggota DPR. Menurut UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, anggaran untuk 2006 harus sudah disampaikan berdasarkan sistem akrual dan laporan keuangan pada tahun itu harus pula disampaikan dan diaudit dengan basis akrual. Pelaksanaan yang dilakukan secara bertahap untuk melaksanakan reformasi tersebut harus direncanakan dengan memperhatikan tingkat keterampilan saat ini dan harus pula meliputi kegiatan pelatihan antar lain bagi auditor internal dan eksternal.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
119
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
120
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007