50 Tahun Supersemar, Kontroversi Sejarah nan Tak Kunjung Usai... Jumat, 11 Maret 2016 | 05:05 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/05050021/50.Tahun.Supersemar.Kontroversi.Sejarah.nan.Tak.Kunjung.Usai.?utm_campaign=related&utm_medium=bp&utm_source=news&
KOMPAS Salinan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar
JAKARTA, KOMPAS.com - Pada hari ini, 50 tahun yang lalu, Presiden Soekarno "dikabarkan" memberikan mandat kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan stabilitas politik nasional yang goyah akibat Gerakan 30 September 1965. Surat mandat untuk Letjen Soeharto itu hingga saat ini "dikabarkan" dalam bentuk Surat Perintah 11 Maret, yang lebih dikenal dengan sebutan Supersemar. Kata "dikabarkan" yang digunakan dalam kalimat di atas sebenarnya untuk menunjukkan mengenai polemik yang terjadi seputar Supersemar. Banyak yang meragukan adanya pemberian mandat itu. Apalagi, hingga saat ini naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Supersemar bahkan menjadi salah satu dokumen penting yang diminta Komisi II DPR kepada Arsip Nasional RI untuk masuk dalam daftar pencarian arsip (DPA). Sebagai sebuah dokumen negara, Supersemar tentu memiliki arti yang sangat penting. Sebab, Supersemar menjadi penanda peralihan kekuasaan dari Orde Baru yang dipimpin Soekarno menuju Orde Baru yang dibangun Soeharto. 1
Sejarawan Asvi Warman Adam bahkan menilai Supersemar menjadi "kunci" dalam pengambilalihan kekuasaan. "Betul kalau dikatakan dampaknya kalau surat itu adalah kunci pengambilalihan kekuasaan. Jadi kalau pakai itu, tinggal diputar kuncinya dan dapatlah kekuasaan," kata Asvi Warman Adam kepada Kompas.com, akhir pekan lalu (6/3/2016). Untuk memperingati 50 Tahun Supersemar, Kompas.com membuat topik liputan khusus mengenai surat yang diserahkan Soekarno kepada Soeharto melalui tiga jenderal, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. Kompas.com berusaha menuliskan kembali sejumlah polemik, seperti bermacam versi atas keluarnya Supersemar. Sejumlah versi yang berbeda dengan yang dipelajari di buku Sejarah dan Perjuangan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di masa Orde Baru memang baru muncul setelah Soeharto jatuh. Ada versi yang menyebut tentang penodongan terhadap Presiden Soekarno yang dilakukan "jenderal keempat" selain Basuki Rachmat, Muhammad Jusuf, dan Amir Machmud. Ada juga versi yang menyebut bahwa Soeharto salah tafsir terhadap Supersemar. Selain itu, kehidupan Presiden Soekarno pasca-Supersemar juga menarik untuk disajikan. Begitu juga dengan sejumlah langkah yang diambil Letjend Soeharto setelah menerima Supersemar. Kompas.com juga akan menyajikan tulisan mengenai sejumlah salinan naskah Supersemar, dan upaya penelusuran Arsip Nasional RI dalam mencari dokumen asli. Ikuti terus tulisan mengenai Supersemar yang hadir di Kompas.com sepanjang hari ini. Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
50 Tahun Supersemar Penulis : Bayu Galih Editor : Bayu Galih
2
Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar Jumat, 11 Maret 2016 | 08:18 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/08180021/Jelang.Lahirnya.Supersemar.Soekarno.Ketakutan.Istana.Dikepung.Pasukan.Liar.?page=all
Istimewa/Arsip Kompas Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
JAKARTA, KOMPAS.com - Hari itu, Jumat (11/3/2016), seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Presiden Soekarno dalam memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka. Seluruh menteri hingga kepala lembaga diperintahkan wajib hadir dalam rapat paripurna pertama Kabinet 100 menteri yang merupakan hasil reshuffle Kabinet Dwikora yang didemo mahasiswa. Dikutip dari buku Presiden (daripada) Soeharto, pagi-pagi sekali, Soekarno meminta para pembantunya hadir ke istana untuk menghindari aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa. Rapat dimulai pada pukul 09.00, meski ada beberapa menteri yang terlambat datang karena dihadang mahasiswa di jalan. Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat, tidak bisa hadir karena sakit. Untuk itu, Soekarno memerintahkan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Mahmud untuk ikut sidang kabinet sebagai sandera apabila terjadi sesuatu.
3
Sepuluh menit rapat berjalan, Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur, mengirim nota kepada Brigjen Amir Mahmud yang menyatakan ada pasukan liar di luar istana. Namun, hal ini tidak digubris Amir Mahmud. Sabur pun ketakutan hingga akhirnya mengirim nota langsung kepada Presiden Soekarno yang masih memimpin sidang. "Membaca laporan Brigjen Sabur, Soekarno menjadi kalut. Laporan tersebut dilaporkan kepada Wakil Perdana Menteri Dr. Leimena, Dr. Soebandrio, dan Chairul Saleh," tulis Jonar T.H Situmorang dalam bukunya "Presiden (daripada) Soeharto" ini. Soekarno langsung meninggalkan rapat dan menyerahkan sisa rapat dipimpin oleh Leimena. Namun, ketergesaan Soekarno itu, membuat para menterinya tak tenang mengikut rapat. Hingga akhirnya, rapat ditutup. Soebandrio yang saat itu menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI), lari terbirit-birit mengejar Bung Karno yang sudah berjalan bersama pengawalnya menaiki helikopter untuk diamankan ke Istana Bogor. Pasukan liar menarget Soebandrio Di dalam buku Misteri Supersemar, dilaporkan bahwa pasukan liar yang dimaksud adalah pasukan Kostrad. Hal ini kemudian diakui oleh Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris. "Saya disuruh Pak Harto. Lalu, saya memerintahkan Sarwo Edhie untuk menggerakkan pasukannya ke istana untuk menangkap Bandrio," kata Kemal Idris. Menurut dia, pasukan sebanyak dua kompi atau sekitar 80 personil itu sengaja tidak memakai tanda kesatuan supaya Soebandrio tidak takut keluar istana. Pengerahan pasukan liar ini dianggap terkait dengan keinginan Soeharto yang disampaikannya langsung kepada Soekarno soal menteri-menteri yang terlibat G30S akan segera ditangkap. Soekarno menolak mentah-mentah permintaan itu. Sehingga, Soeharto menggunakan strategi lain untuk menangkap para menteri yang diduga terlibat PKI dengan bekerja sama dengan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa. Kekuatan Soeharto di mata mahasiswa saat itu terbilang kuat pasca peristiwa
4
penumpasan pelaku G30S. Soeharto dianggap sebagai pahlawan, sehingga segala perkataannya didengar kala itu. Di sisi lain, wibawa Soekarno kian tergerus pasca peristiwa G30S. Apalagi, tuntutan mahasiswa agar Soekarno segera membubarkan PKI tidak juga digubris. Soekarno meyakini ada oknum yang "keblinger" di PKI hingga akhirnya membuat sejumlah jendera TNI Angakatan Darat terbunuh pada peristiwa G30S. Namun, peristiwa itu bukan berarti harus membubarkan organisasi. Lahirnya Supersemar Setelah keberadaan pasukan liar yang menyamar di antara mahasiswa diketahui, Presiden Soekarno meninggalkan Jakarta menuju ke Istana Bogor menggunakan helikopter. Tiga jenderal AD yakni Brigen Amir Mahmud, Brigjen M. Yusuf, dan Mayjen Basuki Rahmat menghadap Presiden Soeharto di kediamannya dan menceritakan soal situasi terakhir. Dari hasil pertemuan itu, Soeharto mengatakan kepada tiga jenderal itu dirinya bersedia mengatasi keadaan jika sudah ada surat perintah resmi. Tiga jenderal itu pun mendapat tugas untuk segera mendapatkan surat mandat dari Soekarno yang kemudian dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Supersemar ditandatangani Presiden Soekarno di hadapan tiga jenderal itu disaksikan oleh seorang ajudannya, Soekardjo Wilardjito. Banyak versi menyebutkan situasi saat penandatanganan terjadi. Ada yang mengatakan, Soekarno mendapat tekanan hingga ditodongkan senjata. Versi ini kemudian dibantah oleh keluarga Soeharto. Supersemar yang menjadi surat mandat kepada Soeharto itu kemudian dimaknai sebagai tiket untuk membubarkan langsung PKI tanpa persetujuan Soekarno, penangkapan sejumlah menteri, hingga penangkapan orang-orang yang dicurigai terkait PKI.
5
Surat itu kemudian juga dimaknai sebagai peralihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto. Soekarno pun berang dan menyindir aksi Soeharto itu. Meski demikian marahnya Soekano melihat aksi yang dilakukan Soeharto, Soekarno tetap saja tak bisa lagi melawan karena seluruh kekuatan politiknya saat itu sudah dipreteli. "Dari satu kalimat 'mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu', mungkin blunder yang dilakukan Bung Karno, oleh seorang sipil, dengan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara," ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada wartawan Kompas.com, Kristian Erdianto dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu. Melalui Supersemar itu pula, Soeharto akhirnya berkuasa menjadi Presiden kedua RI hingga 32 tahun lamanya. Sementara masa tua Soekarno dihabiskan menjadi tahanan rumahan yang harus mendapat bantuan pihak luar untuk biaya berobatnya.
Jelang Supersemar, Jepang Alihkan Dukungannya dari Soekarno ke Angkatan Darat http://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19034031/Jelang.Supersemar.Jepang.Alihkan.Dukungannya.dari.Soekarno.ke.Angkatan.Darat?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Dok. Kompas/SongPresiden Soekarno (kanan, berpeci)
6
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Jepang pada Januari 1958, sekitar 8 tahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Lewat San Francisco Peace Treaty, Jepang diperintahkan untuk membayar ganti rugi perang kepada negara-negara yang telah dirusaknya selama Perang Dunia II. Pembayaran ganti rugi perang ini bermakna penting karena memberi warna hubungan Indonesia-Jepang pada periode terakhir pemerintahan Soekarno. Namun, hubungan Jepang dan Indonesia kembali bergejolak setelah Tanah Air dilanda pergolakan politik pada tahun 1965.
*** Local Caption *** Dewi Soekarno berdarah Jepang Istri Bung Karno
Penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang, Aiko Kurasawa, mengatakan, pada awal tahun 1965, hubungan Jepang dengan Soekarno masih sangat baik. Jepang masih tetap mendukung Soekarno dan tidak menganggap Soekarno berpihak pada sayap kiri. Namun, menjelang Oktober 1965, Jepang melihat Soekano tidak bisa mengendalikan situasi. Situasi politik dan ekonomi Indonesia kian memburuk. "Pada akhirnya, bulan Oktober 1965, Jepang mulai mengalihkan keberpihakannya pada
7
Angkatan Darat," ujar Aiko dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016). Menurut penuturan Aiko, Jepang saat itu menerapkan politik diam atau wait and see. Pada awal bulan Januari 1966, Dewi Soekarno berkunjung ke Jepang. Ia menyerahkan surat dari Soekarno kepada Perdana Menteri Sato. Namun, responsnya dingin. "Tidak ada bantuan atau nasihat dari Jepang untuk Soekarno saat itu," ungkapnya. (Baca: Arsip Supersemar 1966) Lebih lanjut, Aiko menceritakan, saat Indonesia mulai bergejolak, media massa Jepang banyak memberitakan bahwa Soekarno akan meminta suaka ke Jepang. Pemerintah Jepang sudah yakin bahwa Soekarno akan jatuh. Maka dari itu, Jepang berinisiatif untuk mendukung kelompok-kelompok yang anti-Soekarno. Jepang juga memprediksi bahwa Soekarno akan meminta suaka karena istri keduanya itu, Dewi Soekarno, sudah kembali ke Jepang. Bahkan, kata Aiko, Dewi Soekarno pernah bercerita kepada dirinya, ada seorang pejabat pemerintahan Jepang yang memberikan 6 juta yen kepada seorang aktivis anti-Soekarno. "Itu menurut penuturan dari Dewi Soekarno, meski setelah itu dibantah oleh Pemerintah Jepang," kata Aiko.
Arsip Supersemar 1966 http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15060091/Arsip.Supersemar.1966?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd
8
KOMPASSalinan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar
Oleh: Azmi Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu. Dalam konsep kearsipan, Supersemar merupakan salah satu jenis arsip kepresidenan berupa "Surat Perintah", yang benilai kesejarahan sangat tinggi, khususnya sejarah awal Orde Baru. Sebagai bagian dari catatan penting sejarah perjalanan bangsa Indonesia, meski sudah berusia hampir setengah abad, naskah asli Supersemar belum juga ditemukan. Publik pun bertanya-tanya: apakah Supersemar memang benar-benar ada? Tiga versi Hilangnya naskah asli Supersemar masih jadi misteri. Saat ini, Supersemar yang beredar di tengah masyarakat ada tiga versi. Mengapa harus ada tiga? Apakah ada bagian-bagian tertentu yang sengaja ditutup-tutupi? Keraguan keaslian Supersemar yang dipublikasikan secara luas muncul setelah Orde Baru (Orba) tumbang pada 1998. Keraguan publik atas keaslian fisik dan ketepercayaan isi Supersemar semakin diperkuat oleh keterangan beberapa saksi sejarah bekas tahanan
9
politik Orba yang akhirnya buka suara. Sejumlah versi Supersemar pun beredar. Entah mana yang benar. Namun, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini bukan naskah aslinya. Saat ini ANRI menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing. Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno. Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno. Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua. Dengan terdapatnya beberapa perbedaan, banyak pihak meragukan keaslian ketiga Supersemar tersebut. Untuk menjawab keraguan itu, ANRI bekerja sama dengan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri telah melakukan pengujian terhadap material/bahan yang digunakan untuk membuat Supersemar (kertas, tinta, pita mesin ketik), ciri-ciri fisik dan intelektual yang terdapat dalam Supersemar (kop surat, lambang, stempel, huruf, format ketikan). Hasilnya? Supersemar tersebut dinyatakan tidak asli (tidak otentik). Meski demikian, ANRI tidak dapat mengatakan Supersemar itu palsu sebelum naskah aslinya ditemukan untuk digunakan sebagai pembanding. Naskah asli Supersemar seharusnya ada di tengah-tengah bangsa Indonesia yang merdeka sehingga ada kepastian terkait sejarah awal Orba. Dengan begitu, tidak ada lagi mitos terhadap Supersemar maupun tokoh-tokoh pelakunya. Ketidaksediaan naskah asli Supersemar juga mengakibatkan muncul berbagai persepsi
10
publik. Apakah Supersemar sebagai tujuan Soeharto untuk memperoleh kekuasaan presiden, alat untuk melakukan kudeta secara terselubung, pintu masuk Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, atau Supersemar sebagai dasar pijakan perjuangan Soeharto untuk membangun Orde Baru? Persepsi publik akan mendapatkan kualitas kebenaran jika publik melihat secara langsung isi informasi sebenarnya yang tertera dalam naskah asli Supersemar. Jika dilihat dari konteks peristiwanya, Supersemar tercipta dalam rangka penyelenggaraan kegiatan kenegaraan dan pelakunya adalah penyelenggara negara. Karena itu, Supersemar merupakan arsip negara, seperti disebutkan dalam Pasal 33 UU Nomor 43/2009 tentang Kearsipan. Sebagai arsip negara, pencarian naskah asli Supersemar merupakan tanggung jawab pemerintah (presiden). Konstitusi kita mengamanatkan bahwa presiden wajib menjamin pelayanan kepada warganya untuk memenuhi hak konstitusionalnya dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Salah satu hak konstitusional warga adalah hak memperoleh informasi yang terdapat dalam naskah asli Supersemar. Sebagai lembaga kearsipan, ANRI wajib menyelamatkan arsip statis (arsip kesejarahan) dan membuat daftar pencarian arsip (DPA), yakni daftar berisi arsip yang memiliki nilai guna kesejarahan. Baik naskah yang telah diverifikasi secara langsung maupun tidak langsung oleh lembaga kearsipan dan dicari oleh lembaga kearsipan serta diumumkan kepada publik. Dalam Pasal 73 UU Kearsipan juga disebutkan, setiap orang yang memiliki atau menyimpan arsip statis wajib menyerahkan kepada ANRI atau lembaga kearsipan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam pengumuman DPA. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan imbalan kepada anggota masyarakat yang berperan serta dalam penyerahan arsip yang masuk dalam kategori DPA. Catatan akhir Pemerintah harus terus mendukung ANRI dalam melakukan pencarian naskah asli Supersemar, terutama dalam hal anggaran, sehingga upaya pencarian dapat dilakukan secara optimal. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan ANRI. Pertama, mencantumkan naskah asli Supersemar pada urutan pertama dalam DPA dengan menyediakan imbalan tertentu bagi warga yang menyerahkan naskah aslinya.
11
Kedua, mengoptimalkan penelusuran ke institusi-institusi yang terkait dengan penerbitan Supersemar (Mabes TNI, lembaga kepresidenan). Ketiga, mengonfirmasi ulang kepada anggota keluarga para tokoh yang terlibat langsung dengan Supersemar (Soekarno, Soeharto, M Yusuf, Basuki Rahmat, Amir Machmud). Keempat, meningkatkan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang mengetahui peristiwa Supersemar. Kelima, menerima berbagai masukan dari masyarakat terkait dengan naskah asli Supersemar. Sekecil apa pun informasi harus ditanggapi dan terus ditelusuri hingga naskah asli Supersemar ditemukan. Dalam konteks sejarah nasional, peristiwa diterbitkannya Supersemar termasuk dalam periode sejarah Indonesia kontemporer pasca kemerdekaan. Para pelaku yang terlibat langsung dengan peristiwa itu sudah tidak ada lagi, tetapi pembuktian historis masih dapat dilakukan karena institusi-institusi terkait dan saksi-saksi sejarah masih ada sehingga bisa ditelusuri. Untuk memperkuat restorasi sosial, kepastian sejarah, dan menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa Indonesia, pemerintah dan ANRI perlu terus melakukan pencarian. Jangan pernah berhenti atau menyerah hingga naskah asli Supersemar 1966 benar-benar ditemukan. Kerja! Kerja! Kerja! Azmi Direktur Pengolahan Arsip, Arsip Nasional Republik Indonesia Editor : Laksono Hari Wiwoho Sumber : Harian Kompas
Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri Jumat, 11 Maret 2016 | 07:07 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/07070051/Supersemar.Surat.Sakti.Penuh.Misteri?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
12
Istimewa/Arsip Kompas Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi. Surat perintah bertanggal sebelas maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Republik Indonesia itu menyimpan segudang misteri. Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Ia juga merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno. Namun, pengungkapan misteri seputar Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat aslinya tidak diketahui keberadaannya. Ia hilang secara misterius. Bersama dengan raibnya surat maha penting itu, berbagai spekulasi pun muncul. Orang bertanya tentang siapa yang menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya, hingga apa tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan. Dalam artikel berjudul “Arsip Supersemar 1966” yang diterbitkan Kompas 10 Maret 2015, ditulis: Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu. 13
Namun hingga saat ini setidaknya ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaannya: Mengapa ada tiga? Mana yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi? Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing. Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno". Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno". Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua. "Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016). Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80). Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu. Dalam wawancara oleh Majalah Forum edisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan bahwa naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
14
Namun kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut “menghilang.” Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain? Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar. Penugasan atau Pemaksaan? Nah, selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial. Dalam buku “Kontroversi Sejarah Indonesia” (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan anggota Tjakrabirawa , Letnan Dua Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46. Dikatakan Wilardjito, saat itu Mayjen Nasoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad) Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di istana Bogor dengan membawa map merah muda. M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno. Wilardjito mengaku, dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, dia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta. Namun begitu, keterangan Wilardjito dibantah M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku “Kontroversi Sejarah Indonesia” halaman 186 Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor. “Adalah Pak Jusuf yang mengusulkan supaya kita bawa bren, bawa sten, dan segala macam. Saya bilang, di sana ada dua batalyon Cakra (Tjakrabirawa), kita mau apa di sana?” katanya. Cerita lain,menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.
15
"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi, Kamis. Baca: Tiga Kontroversi di balik Supersemar Kontroversi selanjutnya adalah soal isinya. Bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan. Dengan interpretasi seperti itulah, Soeharto kemudian naik ke tampuk kekuasaan. Mengungkap Kebenaran Kini, setelah 50 tahun berlalu, belum ada jawaban terang soal pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Namun ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap. Salah satu titik berangkatnya adalah konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia dalam mencari dokumen asli Supersemar. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung. Sejarawan Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya peraturan pemerintah atas UU Kearsipan. Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli itu. Bisa jadi, kewenangan itu termasuk menggeledah pihak-pihak yang mungkin menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut. Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah. Bila dahulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang. 16
Adagium “Sejarah ditulis oleh para pemenang” tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak. Walau Soeharto tak lagi berkuasa, dan tak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia. Setidaknya sebagai bangsa, sejarah kita dengan gamblang bisa diceritakan. Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.
Supersemar Bukan Kudeta Merangkak Kamis, 11 Maret 2010 | 23:46 WIB http://nasional.kompas.com/read/2010/03/11/23465529/Supersemar.Bukan.Kudeta.Merangkak?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com - Peringatan 44 Tahun Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang digelar oleh Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Universitas Mercu Buana ini berusaha untuk meluruskan sejarah Supersemar yang simpang siur. Sampai saat ini, publik memang kerap menyimpulkan Supersemar sebagai sesuatu yang masih misterius keberadaannya dan banyak rekayasa di dalamnya. Sejarah tentang Supersemar memang muncul dalam berbagai versi. Masing-masing berusaha memihak beberapa tokoh yang terlibat dalam pengesahan Supersemar. Hal ini dipaparkan oleh Sekjen PPAD, Mayjen TNI Purn. Soetoyo saat peringatan 44 tahun Supersemar dengan tema "Refleksi Supersemar Demi Penyelamatan Pancasila dan UUD 1945" yang berlangsung di Jakarta, Kamis (11/3/2010). Seperti diberitakan, Peringatan 44 Tahun Supersemar yang banyak dihadiri oleh tokoh orde baru ini memang dijadikan sebagai ajang pelurusan sejarah tentang Supersemar. "Banyak buku yang berusaha memutarbalikkan sejarah. Bahkan di buku pelajaran sejarah kurikulum 1994, ada beberapa peristiwa sejarah seperti peristiwa Madiun 1948 yang dihapuskan. Seharusnya tidak seperti itu, karena generasi muda perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya. Jadi, Supersemar itu bukan kudeta merangkak." tutur Soetoyo. Kudeta merangkak sendiri dimaksudkan sebagai kudeta perlahan yang dilakukan oleh Soeharto untuk menjatuhkan kepemimpinan Soekarno saat itu.
17
Editor : primus
Sejarawan: PP Turunan UU Kearsipan Perlu Diterbitkan untuk
Cari Naskah Supersemar Asli Kamis, 10 Maret 2016 | 17:59 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/17590571/Sejarawan.PP.Turunan.UU.Kearsipan.Perlu.Diterbitkan.untuk.Cari.Naskah.Supersemar.Asli?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com — Belum ditemukannya arsip Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 sampai berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1998 menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, sejak Orde Baru runtuh, upaya pencarian naskah otentik terus dilakukan. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung. (Baca: Arsip Supersemar 1966) Sayangnya, sampai sekarang, peraturan pemerintah atas UU Kearsipan belum dikeluarkan. "Sebenarnya, ini bisa menjadi jalan keluar untuk mencari Supersemar," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016). Menurut Asvi, apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang untuk menggeledah rumah mantan Presiden RI, Soeharto, di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Asvi percaya, naskah otentik Supersemar masih disimpan oleh Soeharto atau keluarganya. 18
"Soeharto orang yang sangat menghargai benda-benda yang memiliki arti bagi dirinya," kata Asvi. (Baca: Supersemar dan Kontroversinya) Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk segera menerbitkan PP atas UU Kearsipan agar ANRI memiliki wewenang lebih luas dalam melakukan pencarian arsip-arsip sejarah nasional. "Dengan ada ketentuan ini, maka petugas arsip, misalnya, dapat memeriksa rumah mantan Presiden RI, Soeharto, di Jalan Cendana kalau-kalau arsip itu masih terselip di sana," kata Asvi. Dokumen Supersemar yang diteken Presiden pertama RI, Soekarno, pada 11 Maret 1966, menjadi momentum peralihan kuasa kepada Soeharto yang kemudian menjadi presiden RI selanjutnya. Isi Supersemar itu mengundang kontroversi karena beberapa pihak yakin bahwa tak ada klausul penyerahan kekuasaan. Yang ada hanyalah instruksi Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk menstabilkan situasi Tanah Air yang kacau-balau.
Dokumen Otentik Supersemar Harus Dicari Jumat, 28 Agustus 2009 | 16:54 WIB http://nasional.kompas.com/read/2009/08/28/16542110/Dokumen.Otentik.Supersemar.Harus.Dicari?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) membantu negara untuk melacak dan mencari keberadaan dokumen otentik Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang sampai saat ini belum ditemukan aslinya. "Presiden SBY minta info-info dikumpulkan dan mohon ditindaklanjuti. Kabarnya staf Setneg ada yang mempunyai info dan Presiden juga minta Mensesneg Hatta Rajasa dan Seskab Sudi Silalahi ditindaklanjuti," kata Juru Bicara Presiden Andi Malarangeng dalam jumpa pers bersama Kepala Arsip Nasional RI (ANRI) Djoko Utomo di Kantor Presiden,
19
Jumat (28/8). Sebelumnya, Djoko bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan berbagai hal terkait arsip nasional. Menurut Andi, dalam pertemuan itu Presiden SBY meminta ANRI juga membantu mencari dokumen Supersemar dengan menanyakan kepada semua pejabat pemerintahan lama yang mengetahui keberadaan dokumen Supersemar. Dikatakan Djoko, dalam pertemuan itu Presiden SBY sangat memberikan perhatian mengenai keberadaan Supersemar sebagai dokumen penting bagi sejarah bangsa Indonesia. "Presiden memberikan perhatian karena yang asli belum ketemu, tetapi ini memang ada," kata Djoko. Djoko mengharapkan dokumen Supersemar akan dikembalikan ke negara seperti naskah Proklamasi yang ditulis tangan tetapi tanpa tanda tangan Presiden Soekarno, yang baru dikembalikan ke negara pada 1992 dan teks Proklamasi yang diketik Sayuti Malik, yang baru diserahkan ke negara pada 1960. Selain Supersemar, Presiden SBY juga mengharapkan ANRI bisa mendokumentasikan semua naskah-naskah penting dalam perjalanan bangsa dan negara, seperti hasil pemilu, keputusan DPR, MPR, dan Mahkamah Konstitusi. Djoko mengatakan, pihaknya terus berusaha mengumpulkan berkas-berkas sejarah mengenai Indonesia dan dokumen yang diberkaskan di Indonesia untuk disimpan di Indonesia, seperti surat-surat VOC. Selain itu, juga telah bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan lain seperti NU dan Muhammadiyah untuk menyimpan arsip lama mereka di ANRI. ANRI juga telah mengumpulkan sejumlah lagu daerah untuk didokumentasikan, seperti lagu "Rasa Sayange" yang pernah diakui oleh negara Malaysia. Presiden Yudhoyono rencananya akan meresmikan gedung biorama perjalanan bangsa di Jalan Ampera Raya 7 Jakarta pada Senin mendatang.
20
Presiden Punya Informasi tentang Naskah Asli Supersemar Sabtu, 29 Agustus 2009 | 04:08 WIB http://nasional.kompas.com/read/2009/08/29/04081550/Presiden.Punya.Informasi.tentang.Naskah.Asli.Supersemar?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki informasi tentang keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Untuk informasi itu, Presiden minta Arsip Nasional menindaklanjuti benar atau tidaknya informasi tersebut. ”Presiden minta ditindaklanjuti. Ada informasi (Supersemar yang asli) benar atau tidak. Informasi itu dimiliki mantan staf Sekretariat Negara. Presiden minta Kepala Arsip Nasional berkoordinasi dengan Pak Sudi Silalahi dan Pak Hatta Rajasa,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (28/8). Sebelumnya, Presiden memanggil Kepala Arsip Nasional Djoko Utomo di Kantor Presiden. Menurut Djoko, staf Sekretariat Negara yang memiliki informasi adalah Daryoto. Djoko akan menindaklanjuti informasi itu seperti yang telah dilakukan selama ini. ”Terus-menerus kami menindaklanjuti informasi yang ada. Kepada Pak AH Nasution sebelum meninggal kami gali informasi karena sebagai Ketua MPRS ketika Supersemar keluar. Kami juga menggali informasi kepada Sekretaris Jenderal MPRS Abdul Kadir Besar. Namun, semua nihil,” ujar Djoko. Meskipun belum mendapatkan naskah asli Supersemar, Djoko yakin Supersemar instruksi kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) itu ada. Soeharto diinstruksikan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. ”Arsip Nasional menyimpan film berisi pidato Soekarno yang berbicara panjang lebar tentang Supersemar yang sampai sekarang yang aslinya belum ketemu. Pidato itu yang membuat kami yakin. Upaya pencarian ketika ada informasi terus-menerus kami lakukan,” ujar Djoko. Tidak mudah Upaya menyimpan arsip bernilai sejarah tinggi, apalagi yang sudah bertahun-tahun, memang tidak mudah. Selain naskah asli Supersemar, Presiden juga minta kepada Arsip 21
Nasional untuk mengumpulkan arsip tentang peristiwa Palagan Ambarawa, yaitu perlawanan rakyat terhadap kekuatan Sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah, akhir 1945. Tentang arsip bernilai sejarah tinggi, Djoko memberi contoh, teks Proklamasi Kemerdekaan yang ditulis tangan Soekarno tanpa tanda tangan baru disimpan di Arsip Nasional tahun 1992. Teks itu diserahkan BM Diah yang menyimpannya kepada negara. Sementara teks Proklamasi Kemerdekaan yang diketik Sayuti Melik disimpan di Arsip Nasional tahun 1960. Selain fokus untuk mengumpulkan, menyimpan, dan membuka arsip bernilai sejarah pada masa lampau kepada publik, Presiden juga minta agar peristiwa sejarah 5 sampai 10 tahun terakhir juga diarsipkan. Permintaan Presiden itu ditujukan, antara lain, untuk dokumen asli Pemilu 2004 dan 2009 serta empat kali perubahan UUD 1945. Arsip Nasional membuka akses seluas-luasnya kepada publik, kecuali arsip yang bersifat rahasia. ”Tidak ada pembatasan dan kita tidak menganut rezim tahun. Yang bersifat rahasia adalah yang berpotensi mengganggu keamanan nasional,” katanya
Sebelum Supersemar, Dua Pengusaha Bujuk Soekarno Serahkan Kekuasaan Jumat, 11 Maret 2016 | 08:02 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/08020081/Sebelum.Supersemar.Dua.Pengusaha.Bujuk.Soekarno.Serahkan.Kekuasaan?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini, transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dianggap berlangsung sejak 11 Maret 1966, yang ditandai penyerahan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Namun, sebelum Supersemar diserahkan oleh Soekarno kepada Soeharto melalui Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen M Jusuf dan Brigjen Amirmachmud di Istana Bogor, sudah ada upaya untuk membujuk Soekarno agar mau menyerahkan kekuasaannya. Bujukan itu datang dari dua pengusaha yang juga disebut sebagai orang dekat Soekarno, Hasjim Ning dan Dasaad.
22
Cerita ini terungkap dalam biografi Hasjim Ning yang ditulis AA Navis dengan judul Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Otobiografi Hasjim Ning (1987), serta buku otobiografi Alamsjah Ratu Prawiranegara, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim (1995). Bujukan orang dekat Menurut Alamsjah Ratu Prawiranegara, sebelum kemunculan Supersemar, dia yang saat itu menjabat Asisten VII Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Soeharto, mengusulkan untuk mengirim Dasaad dan Hasjim Ning. Kedua pengusaha itu diminta membujuk Soekarno agar membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyerahkan mandatnya kepada Soeharto. Pertemuan disebut berlangsung 6 Maret 1966. Mereka berdua dianggap sebagai sosok yang dipercaya oleh Soekarno. Saking dekat dan percayanya, kata Alamsjah dalam otobiografinya, Dassad dapat bebas keluar-masuk kamar Soekarno. "Alamsyah tahu betul siapa saja orang-orang yang dekat dengan Soekarno. Untuk membujuk perlu memakai orang-orang yang dekat dengan Soekarno," ujar sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, kepada Kompas.com, akhir pekan lalu (6/3/2016). Alamsjah bertemu Dasaad dan Hasjim di rumah Dasaad, Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Ketika itu, Alamsjah menceritakan bahwa negara dalam keadaan kritis. Menurut dia, Soekarno tidak memenuhi tuntutan untuk membubarkan kabinet tapi malah memperbanyak menteri, tidak menurunkan harga melainkan menurunkan nilai uang, dan tidak membubarkan PKI. Oleh karena itu, Alamsjah meminta Dasaad dan Hasjim menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka diminta meyakinkan Soekarno bahwa Letjen Soeharto telah membuktikan kemampuannya mengendalikan keadaan. "Jenderal Soeharto akan mampu melaksanakan penertiban dengan tuntas, apabila Presiden Soekarno mau melimpahan kekuasaannya," kata Alamsjah, dikutip dari otobiografi Hasjim Ning. Namun, otobiografi Hasjim Ning menyebut bahwa pertemuan itu berlangsung 10 Maret 1966. Hal ini berbeda dengan versi Alamsjah yang menyebut pertemuan itu dilakukan pada 6 Maret 1966 23
Hasjim Ning dan Dasaad setuju. Namun, ada catatan, mereka membujuk Soekarno untuk menyerahkan pemerintahan, bukan melimpahkan kekuasaan. Mereka dibekali surat keterangan dari Menpangad Letjen Soeharto yang menyatakan sebagai penghubung antara Menpangad dengan Presiden Soekarno. Setibanya di Bogor dan berbicara dengan Soekarno, mereka mengatakan perihal penyerahan kekuasaan. "Kedua orang itu membawa surat dari Soeharto. Dengan berbekal surat dari Soeharto, Mereka datang ke Bogor dan meminta supaya Soekarno tetap Presiden, tetapi urusan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Soeharto," kata Asvi. Menurut penuturan Asvi, Hasjim berkata kepada Soekarno, "Menteri-menteri Bapak tidak melaksanakan tugasnya lagi. Keluar rumah pun mereka tidak. Sehingga, Bapak sama sekali tidak terbantu. Hanya seorang yang berfungsi dan mampu melaksanakan tugasnya, yakni Jenderal Soeharto." "Ah, kamu bicara seenaknya saja," kata Soekarno. "Aku tahu itu Soeharto menyuruh Sarwo Edhie memimpin mahasiswa untuk demonstrasi. Mestinya dia larang itu demonstrasi." Tidak hanya itu, Soekarno pun menaruh curiga, "Apa kamu disuruh Soeharto datang ke sini?" Ketika itu keduanya belum menyerahkan surat dari Menpangad. Hasjim berkilah, namun dia memberanikan diri menyatakan, "Kalau Bapak menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto, Bapak akan tetap berada di tengah-tengah rakyat yang mencintai Bapak." Usul itu pun ditolak Presiden Soekarno. Soekarno Melempar Asbak Menurut penuturan Asvi, mengutip dari buku biografi Alamsjah, Soekarno sempat marah sampai melempar asbak kepada Hasjim. Saat itu Soekarno membentak, "Kamu juga sudah pro-Soeharto."
24
"Soekarno sangat marah waktu itu, dan menurut Hasjim Ning, Soekarno sempat melemparkan asbak ke dirinya. Proses itu diceritakan dalam biografi Hasjim Ning dan Alamsyah, walaupun mereka memberikan tanggal yang berbeda," ucap Asvi. Upaya membujuk Soekarno, Perwiranegara, gagal.
seperti
diakui
Hasjim Ning
dan
Alamsjah
Ratu
Kemudian, terjadilah peristiwa pada 11 Maret 1966. Saat itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor. Soeharto mengirim petinggi Angkatan Darat, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud, pada 11 Maret 1966. Ketiga jenderal itu meminta Soekarno mengeluarkan surat perintah yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Dengan Supersemar, Soeharto menjalankan kekuasaannya jauh dari sekadar mengatasi keadaan. Sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia. Padahal, seperti ditegaskan Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966, Supersemar bukan surat transfer of authority (pengalihan kekuasaan). Supersemar hanya surat perintah pengamanan. "Jika melihat rangkaian peristiwa sebelum 11 Maret, artinya sudah ada upaya membujuk melalui orang-orang terdekat Soekarno. Karena gagal, dicoba lebih keras lagi melalui demonstrasi dari mahasiswa dan tentara, kemudian mengirim tiga jenderal," tutur Asvi. Tidak direncanakan Menurut Asvi, pertemuan sebelum 11 Maret 1966 itu menunjukkan adanya peristiwa yang tidak spontan, melainkan direncanakan dan penuh nuansa tekanan. "Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Soeharto. Semua itu tidak ada di buku sejarah. Bukan melemahkan lagi, tapi menghabisi kekuasaan Soekarno," ucap Asvi. Akan tetapi, mengutip arsip Harian Kompas terbitan 31 Maret 1982, Amirmachmud mengaku tidak tahu menahu soal peristiwa pertemuan kedua pengusaha itu dengan Soekarno.
25
Menurut Amirmachmud, Supersemar tidak pernah direncanakan, disusun konsepnya, atau didiskusikan terlebih dulu. "Karena itu saya selalu mengatakan, SP 11 Maret adalah pemberian Tuhan yang mencintai bangsa Indonesia," kata Amirmachmud yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Sedangkan dalam buku Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit (2006), Jusuf mengaku bahwa Hasjim Ning pernah menceritakan pertemuan itu. Namun, Jusuf tidak mau bercerita lebih jauh mengenai pertemuan itu.
Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966 Kamis, 10 Maret 2016 | 19:45 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/10/19451281/Tiga.Kontroversi.di.Balik.Supersemar.11.Maret.1966?utm_campaign=related&utm_medium=bp&utm_source=news&
JAKARTA, KOMPAS.com — Ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto. Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
proses
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui. Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. "Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016). Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut. Perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa 26
Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan. Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak. "Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi. Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966. Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD. (Baca: SBY: Arsip Tidak Beres Timbulkan Polemik seperti Supersemar) Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
“Mengambil Suatu Tindakan yang Dianggap Perlu”,
Kalimat Fatal dalam Supersemar Jumat, 11 Maret 2016 | 07:13 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/07133951/.Mengambil.Suatu.Tindakan.yang.Dianggap.Perlu.Kalimat.Fatal.dalam.Supersemar?page=all
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) sebenarnya berisi perintah Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum.
27
Perintah lainnya, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya. Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno. Menurut Asvi, tindakan yang dilakukan Soeharto karena Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu." (Baca: Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri)
KOMPAS.com/KRISTIAN
ERDIANTO
Peneliti
sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, saat menghadiri sebuah diskusi mengenai Supersemar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (10/3/2016).
"Frasa itu menjadi blunder yang dilakukan Bung Karno. Seorang sipil memberikan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara. Perintah kepada tentara seharusnya itu kan jelas, terbatas, dan jelas jangka waktunya," ujar Asvi, saat dijumpai Kompas.com, Minggu (6/3/2016). Asvi mengatakan, sebagai seorang sipil, Soekarno seharusnya tidak memberikan perintah yang tidak jelas kepada seorang tentara. Lebih dekat dengan kekuasaan Surat perintah itu dinilai membawa Soeharto selangkah lebih dekat dengan kekuasaan. Tafsir atas "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu" menjadi pengambilalihan kekuasaan dari Soekarno. "Itu kan selangkah lagi untuk mengambil kekuasaan. Betul Jika dikatakan surat itu adalah kunci pengambilalihan kekuasaan. Jadi kalau pakai itu, tinggal diputar kuncinya dan
28
dapatlah kekuasaan," ujar Asvi. Setelah menerima Supersemar, langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No 1/3/1966. Surat itu dibuat dengan mengatasnamakan Presiden bermodal mandat Supersemar yang ditafsirkan oleh Soeharto sendiri. (Baca: Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta") Langkah kedua, Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan yang diberikannya. Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”. "Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu suatu transfer of soverignty. Transfer of authority. Padahal tidak! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengaman ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal!" Tap MPRS Pada tahun itu pula MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar karena kekhawatiran Supersemar akan dicabut oleh Soekarno Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya melalui buku "Membongkar Supersemar", penetapan Supersemar sebagai ketetapan MPRS telah mengikis habis kekuasaan Soekarno sekaligus menghilangkan kemampuannya untuk mencegah tindakan politis yang dilakukan Soeharto atas nama surat tersebut. Sementara itu, menurut Asvi, awalnya Soebandrio pernah menyarankan kepada Soekarno bahwa perintah kepada Soeharto sebaiknya diberikan dalam bentuk lisan saja. 29
Saran tersebut ditolak oleh Amirmachmud, sehingga menjadi perintah tertulis. Soekarno juga pernah mencoba mengeluarkan perintah untuk menyebarkan surat yang membantah Supersemar. Ia meminta bantuan Dubes Indonesia untuk Kuba, AM Hanafi, namun tindakan tersebut tidak membuahkan hasil. Upaya kedua dilakukan Soekarno lewat Suryadharma, bekas Panglima Angkatan Udara. Tindakan ini juga gagal karena Suryadharma mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi jalur yang bisa digunakannya untuk menyebarluaskan perintah Soekarno. "Pers juga tidak mau memberitakan," tutur Asvi.
Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar? Jumat, 11 Maret 2016 | 08:33 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/08330081/Benarkah.Soekarno.Ditodong.Pistol.Saat.Teken.Supersemar.?page=all
JAKARTA, KOMPAS.com - Misteri Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tak melulu soal naskah asli yang hingga kini belum ditemukan. Proses bagaimana Presiden pertama RI Soekarno meneken surat tersebut juga masih menjadi tanda tanya. Apalagi, surat itu seolah menjadi pintu bagi proses peralihan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tahun 1968. Ajudan Soekarno, Soekardji Wilardjito mengungkap bahwa sang presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal AD bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar. Penuturan ini disampaikan Sukardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa. Sukardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden 30
Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno. Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M. Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI). Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes. "Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Sukardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno. Sukardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD. "Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M. Panggabean mencabut pistolnya. Sukardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata. "Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Sukardjo. Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu. "Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno. Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali Soehartp untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan kepada Soeharto. Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi tanah air ke situasi normal. Dia angsung membubarkan PKI,
31
menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI. Dibantah Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Karena selama ini, diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean. Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada bulan Agustus 1998. "Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998). Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto. Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, melainkan ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. "Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden. "Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi. Bantahan kemudian juga disampaikan M. Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken. Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu mempercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar. "Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana
32
ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada Jendral yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu. Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supsemar. Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan tanah air. Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya. "Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi. Hari ini adalah 50 tahun lahirnya Supersemar. Sebuah misteri sejarah yang hingga kini masih belum terungkap. Naskah asli Supersemar pun masih diburu untuk menjawab tanda tanya seputar peralihan kekuasaan itu.
Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"? Jumat, 11 Maret 2016 | 06:06 WIB http://nasional.kompas.com/read/2016/03/11/06060031/Supersemar.Surat.Kuasa.atau.Alat.Kudeta.?page=all
KOMPAS/PAT HENDRANTO Presiden Soeharto saat dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Presiden pada 27 Maret 1968.
33
JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah memasuki usia emas, 50 tahun sejak dikeluarkan. Namun, hingga saat ini kabut misteri mengenai surat yang dianggap menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno yang dilanjutkan oleh Soeharto itu belum juga surut. Perdebatan berawal dari eksistensi atau keberadaan Supersemar yang dicurigai tidak pernah ada. Akan tetapi, keraguan mengenai keberadaan Supersemar itu dianggap sirna setelah munculnya jawaban dari Presiden Soekarno. Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya. Akan tetapi, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk transfer kekuasaan kepada Letjen Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat. "Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah". Soekarno kemudian memberikan penjelasan mengenai alasan dikeluarkannya Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar tak lain sebagai perintah untuk menjaga stabilitas keamanan. Sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965, situasi politik di Indonesia bisa dibilang genting. Sejumlah aksi kekerasan di berbagai wilayah sudah terjadi, dengan menjadikan anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan kelompok underbouw-nya sebagai sasaran. Sejarawan Asvi Warman Adam menambahkan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan. Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.
34
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno. Atas laporan itu, Soekarno yang saat itu memimpin sidang kabinet lalu menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter. "Jika kondisinya masih normal, Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas," ujar Asvi Warman Adam saat ditemui Kompas.com akhir pekan lalu (6/3/2016). Melihat rawannya situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki konteks yang bisa dipahami. Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin keselamatan dirinya, juga keluarga. "Itu juga perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah itu dengan baik," ujar Soekarno dalam "Jasmerah". Ditafsirkan berbeda Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Menpangad Letjen Soeharto. Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI. Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan kata "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi". "Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi. Soekarno, dalam penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto. Surat keputusan untuk membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut. Namun, Soeharto menolak. Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi "alat kudeta" muncul.
35
"Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," tutur Asvi. Supertasmar Tidak hanya marah, Soekarno kemudian membuat surat perintah baru yang menyatakan Supersemar itu tidak sah. Surat perintah itu dibuat pada 13 Maret 1966, yang dikenal dengan sebutan Supertasmar. Keberadaan mengenai Supertasmar itu terungkap di biograi AM Hanafi, mantan Duta Besar di Kuba, yang berjudul Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998). AM Hanafi menjelaskan, Supertasmar itu mengumumkan bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta tidak melampaui wewenangnya dan memberi laporan ke presiden. "Hanafi disuruh untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Tapi dia tidak punya jalur lagi," tutur Asvi. Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu. "Pers pun tidak mau memberitakan," tutur Asvi Warman. Hingga saat ini, keberadaan Supertasmar pun tidak jelas. Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan juga mengakui lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai Supertasmar itu. "Kudeta merangkak" Perbedaan pandangan ini kemudian menjadi dasar yang menyebut bahwa Presiden Soekarno menerbitkan Supersemar bukan atas kehendaknya. Selama ini memang ada sejumlah kabar yang menyebut Soekarno berada dalam tekanan saat menyerahkan Supersemar kepada Letjen Soeharto, melalui tiga jenderal yang menjadi utusan. Adapun tiga jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. 36
Versi lain menyebut kehadiran jenderal keempat, Mayjen Maraden Panggabean. Versi kehadiran Maraden Panggabean itu diungkap mantan penjaga keamanan Istana Bogor, Sukarjo Wilardjito. Menurut mantan Kepala Arsip Nasional RI, M Asichin, dalam wawancara kepada Arsip Nasional RI pada 2005, Sukarjo bahkan mengaku menyaksikan penodongan kepada Soekarno oleh Panggabean. Asvi Warman Adam meragukan kebenaran cerita Sukarjo. Menurut dia, yang bisa mendekat ke ring 1 Presiden Soekarno bukan orang sembarangan. "Tidak mungkin juga ada jendral yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean itu berani," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut. Istilah dipaksa dianggap Asvi tidak tepat. Soekarno dianggap lebih tepat disebut berada dalam tekanan. "Tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto," ucapnya. Asvi Warman Adam memiliki istilah sendiri untuk situasi itu: Kudeta merangkak. Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan". "Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
37