Dua Biografi Terkait Supersemar
Dua Biografi Terkait Supersemar Oleh : Asvi Warman Adam Ahli Peneliti LIPI dan Visiting Fellow di KITLV Leiden Meskipun ada undang-undang yang menyatakan bahwa seseorang yang menyimpan arsip negara dapat dihukum penjara, naskah asli Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 tak kunjung bersua. Entah siapa yang menyimpan dokumen yang begitu penting dalam proses peralihan kekuasaan di Indonesia. Penelitian sejarah tentu tidak tergantung semata-mata kepada adanya arsip yang otentik, tetapi juga menyangkut antara lain tentang proses keluarnya surat perintah yang berdampak sangat besar dalam sejarah negara. Pada buku sejarah yang diajarkan di sekolah terkesan bahwa surat itu didapatkan secara spontan. Tiga orang jenderal seusai sidang kabinet yang dihentikan secara mendadak tanggal 11 Maret 1966 berembuk di tangga Istana Negara lalu menemui Soeharto di rumahnya di Jalan Agus Salim, Menteng. Setelah berunding, mereka bertiga pergi ke Istana Bogor. Malamnya setelah memperoleh surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto mereka pulang ke Jakarta. Seakan-akan semuanya berjalan mulus. Tidak ada tekanan apalagi paksaan. Bahkan dalam buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA yang disunting oleh Nugroho Notosusanto dan Yusmar Bari digambarkan bahwa ketiga jenderal itu sengaja berkunjung ke Bogor agar Presiden Soekarno tidak kesepian. Bujukan Betulkah surat itu diberikan oleh Presiden dengan sukarela atas inisiatifnya sendiri? Kesaksian Wilardjito dari Yogyakarta yang menghebohkan itu --penyerahan surat itu melalui todongan senjata terhadap Bung Karno-- bisa saja dibantah. Namun tidak pelak lagi bahwa proses keluarnya Supersemar diwarnai dengan bujukan dan tekanan. Hal ini terlihat pada dua biografi tokoh yang terlibat dalam proses tersebut sebelum tanggal 11 Maret yaitu Jenderal Alamsjah Ratuprawiranegara (Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, 1995) dan pengusaha Hasjim Ning (Pasang Surut Pengusaha Pejuang, 1986). Rasanya mustahil keduanya bersekongkol mengarang cerita bohong. Memang pada biografi itu terdapat perbedaan mengenai terjadinya peristiwa yang melibatkan mereka, yang satu menyebut tanggal 6 Maret dan satu lagi mengatakan tanggal 9 Maret 1966. Namun mengenai substansinya mereka sejalan. Jadi pada tanggal 6 Maret malam Hasjim Ning dipanggil oleh Alamsjah untuk datang ke rumah pengusaha Dasaat di Pegangsaan, Jakarta. Baik Dasaat maupun Hasjim dikenal dekat dengan Bung Karno. Kedua pengusaha itu diminta oleh
Alamsjah untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaannya kepada
Mayor Jenderal Soeharto.
Terjadi perdebatan mengenai istilah penyerahan kekuasaan atau pemerintahan. Jadi Soekarno
tetap berkuasa (sebagai Presiden) sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah Soeharto.
Apa pun yang disepakati di rumah itu, Soeharto telah menanti hasilnya di tempat lain.
Pada tengah malam dibuat surat keterangan yang ditandatangani Soeharto bahwa kedua
pengusaha diutus untuk menemui Presiden Soekarno. Surat ini memperlihatkan bahwa
Soeharto mengetahui dan mendukung manuver yang dijalankan oleh Alamsjah. Berkat surat
itu pula kedua pengusaha bisa menembus dua lapis penjagaan di sekitar Istana Bogor.
Pada lapis terdalam terdapat pasukan Cakrabirawa yang setia kepada Bung Karno. Di
lingkaran sebelah luar terdapat pasukan Kostrad yang mengepung Istana. Kedua pengusaha itu
sempat bermalam di Istana Bogor dan Hasjim tidak lupa membawakan makanan kesukaan
Bung Karno. Bila saatnya tiba, mereka menyampaikan pesan Soeharto kepada Presiden
Soekarno. Soekarno tidak banyak bicara mengenai hal ini, tetapi pada pokoknya ia menolak
permintaan tersebut.
Akhirnya Dasaat dan Hasjim Ning pulang ke Jakarta tanpa membawa hasil. Meskipun
demikian dari kisah nyata ini dapat diambil kesimpulan bahwa Soeharto telah berupaya
sebelum keluarnya Supersemar untuk membujuk Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan
atau apa pun istilahnya. Karena bujukan itu tidak berhasil maka dilakukan usaha yang lebih
keras yaitu tekanan atau mungkin dapat disebut paksaan. Masyarakat Indonesia yang minus
dokumen sejarah terbantu oleh adanya biografi kedua tokoh tadi. Memang ada kesan bahwa
riwayat hidup seorang besar hanya ''kecap'' tentang kehebatan dirinya, tetapi sesungguhnya
dalam hal tertentu atau menyangkut suatu peristiwa, kisah itu --setelah dicek-silang-- bisa
dijadikan rujukan.
Dengan demikian, ketiga jenderal (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M Jusuf) yang
datang ke Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966 bukanlah untuk menemani Bung Karno agar
beliau tidak kesepian seperti ditulis dalam buku pelajaran sejarah pada era Orde Baru. Missi
mereka itu tercakup dalam konteks situasi yang dibangun sebelumnya, yaitu kekuasaan harus
direbut dengan segala cara, baik dengan bujukan atau, kalau tidak bisa, dengan tekanan dan
paksaan. Semoga suksesi kekuasaan semacam ini tidak terulang lagi dalam sejarah Indonesia.
Rabu, 09 Maret 2005, Republika
Date: 2005/10/11 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=51
Ini Pelajaran Sejarah, Bung!
Ini Pelajaran Sejarah, Bung! http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/22/humaniora/1980569.htm Senin, 22 Agustus 2005
Melalui berita di TV swsata, kemudian diperkuat oleh tulisan Asvi Warman Adam ( Kompas, 1 Juli 2005), penulis mendengar/membaca bahwa mata pelajaran Sejarah kembali bermasalah. Dikatakan kembali bermasalah karena pada tahun 1980-an muncul mata pelajaran PSPB (di samping masih ada PMP dan Sejarah), sehingga terjadi tumpang tindih antara mata pelajaran PMP dan Sejarah. Kemudian, belum lama ini, tahun 2002, ada berita yang menghebohkan, yakni mata pelajaran Sejarah akan dihapus dan digabung dengan mata pelajaran PPKN/PKN. Heboh yang menyangkut mata pelajaran Sejarah kali ini adalah bahwa Departemen Pendidikan Nasional belum akan menerapkan Kurikulum 2004 untuk bidang studi Sejarah. Khusus untuk mata pelajaran Sejarah, pemerintah akan menerapkan kembali Kurikulum 1994 beserta Suplemennya (1999). Buku mata pelajaran Sejarah yang sempat beredar akan ditarik kembali. Tepatkah kebijakan Depdiknas tersebut? Isi Suplemen 1999 Kurikulum 1994, Suplemen GBPP Mata Pelajaran Sejarah, Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru Sekolah Menengah (SMU/MA/SMK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 1999, sudah tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang G30S. Lebih dari itu, suplemen ini juga tidak menyebut lagi PKI sebagai pelaku G30S, apalagi sebagai dalang G30S. Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi itu, sekelompok pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan aksi bersenjata di Jakarta. Kelompok bersenjata ini bergerak meninggalkan daerah sekitar Bandar Udara Halim Perdanakusumah pada tengah malam di penghujung hari Kamis tanggal 30 September dan awal 1 Oktober 1965. Mereka menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat. Di dalam operasi itu, para tentara itu berhasil menculik 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat. Jenderal AH Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil meloloskan diri, dan mereka hanya berhasil menangkap ajudan KSAB. Penculikan dan pembunuhan terhadap perwira Angkatan Darat juga terjadi di Yogyakarta (Suplemen, 8). Kutipan di atas ini tidak menyebut PKI sebagai pelaku, namun hanya
menyebutkan nama Letkol Untung. Mengenai apakah PKI berperan sebagai dalang G30S, Suplemen Sejarah mengatakan demikian. Tidak mudah menjawab pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya G30S selain Letnan Kolonel Untung, karena sumber-sumber yang tersedia sampai saat ini hanya menghasilkan interpretasi yang berbeda. Setiap interpretasi menunjukkan pada orang atau kelompok yang berbeda, sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Satu pendapat menyatakan bahwa peristiwa itu berkaitan erat dengan strategi blok Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris dalam rangka perang dingin. Berkaitan dengan pendapat pertama ini, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan ini dilakukan oleh Angkatan Darat yang berhasil memperalat PKI dengan dukungan dinas intelijen asing. Pendapat lain menuju pada keterlibatan Presiden Soekarno yang memanfaatkan ketergantungan PKI kepadanya untuk melawan kelompok oposisi, khususnya dari Angkatan Darat. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa PKI yang menjadi dalang gerakan ini dengan memperalat unsur ABRI, dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya. Selain itu ada yang berpendapat bahwa gerakan ini merupakan akibat dari konflik di dalam tubuh Angkatan Darat, yang melibatkan kelompok pendukung dan anti-Presiden Soekarno, yang berhasil memanfaatkan PKI. Dalam hubungan inilah muncul pendapat bahwa Mayor Jenderal Soeharto memiliki keterkaitan dengan gerakan tersebut. Akhirnya, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam tragedi nasional itu (Suplemen, 9). Kutipan di atas ingin mengatakan bahwa dalang G30S bisa saja AS/blok Barat, bisa saja PKI, bisa Soekarno, bisa saja Angkatan Darat/Soeharto. Siapa pelaku yang benar, belum jelas, karena memang keterbatasan sumber. Dalam ilmu sejarah, siapa pun tidak boleh menyatakan suatu peristiwa sebagai benar-benar terjadi kalau sumbernya tidak cukup kuat. Sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan perkiraan. Bahwa indikasi keterlibatan PKI, AS/Blok Barat, Soekarno, Angkatan Darat/Soeharto ada, bukan serta merta bahwa pihak-pihak (salah satu pihak, PKI misalnya) adalah dalang dari G30S. Apakah Letnan Kolonel Untung dkk yang melakukan aksi bersenjata orang PKI atau digerakkan oleh PKI, harus dibuktikan dulu. Bukan semata-mata karena Harian Rakyat mendukung G30S, lalu disimpulkan bahwa G30S dilakukan oleh PKI. Tentu tidak semudah ini bukan? Dengan uraian di atas, sekali lagi mengatakan bahwa Suplemen Sejarah tahun 1999 sudah tidak menyebut lagi PKI sebagai dalang G30S. Hal ini juga bukan berarti bahwa PKI pasti bukan dalangnya. Tentang siapa dalang G30S, masih harus diteliti lebih lanjut. Penulis belum memiliki buku sejarah yang baru itu, apalagi membacanya. Haya saja, kok agak aneh, gara-gara buku itu tidak menguraikan pemberontakan PKI tahun 1965, lalu ditarik dari peredaran. Lalu pelajaran sejarah akan dikembalikan sesuai dengan Kurikulum 1994 dan Suplemennya 1999. Sedangkan dalam Suplemen 1999, jelas-jelas ditulis bahwa PKI belum terbukti sebagai pelaku tunggal G30S. Lalu? Secara kebetulan penulis menemukan buku sejarah untuk SMU kelas III, satu dari terbitan PT
Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2001; satunya lagi dari penerbit Erlangga, Jakarta, 2003; lainnya terbitan Grafindo Media Prtama, 2003. Baik buku terbitan Grafindo (halaman 40-47), serta buku terbitan Erlangga (halaman 42-47) tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang nama G30S. Hanya buku terbitan Galaxy Puspa Mega (halaman 51-63) mencantumkan nama PKI di belakang nama G30S. Putusan MK Kebijakan Mendiknas Nomor 7/2005 yang menghentikan uji coba Kurikulum 2004 untuk
mata pelajaran Sejarah dan larangan penggunaan buku teks mata pelajaran Sejarah yang
disusun berdasarkan standar kompetensi Kurikulum 2004 tersebut bahkan dapat bertentangan
dengan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi soal eks PKI.
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 (g) Undang-Undang
Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Pasal itu adalah larangan bagi anggota
organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau yang terkait dengan G30S/PKI,
untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Pasal
itu bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak membenarkan diskriminasi terhadap warga
negara (Kompas, 26 Februari 2004).
Semangat keputusan MK ini adalah mengampuni orang-orang eks PKI (yang belum tentu
benar-benar bersalah). Lebih-lebih lagi, pemojokan nama PKI sebagai pelaku G30S (dan
nyatanya belum benar-benar terbukti), membawa akibat buruk bukan saja kepada orang-orang
PKI (karena tidak jelas posisinya pada tahun 1965), namun juga (terlebih) bagi keturunan PKI
yang sepertinya harus menanggung dosa asal.
Kasihan mereka, memperoleh sanksi sosial, sulit mencari sekolah, sulit mencari pekerjaan,
dan sebagainya.
Sebagai catatan penutup, kebijakan Depdiknas untuk menarik buku pelajaran sejarah, hanya
karena buku tersebut tidak mengulas pemberontakan PKI tahun 1965, sebaiknya dikaji ulang
karena keterlibatan PKI secara tunggal pada tahun 1965 belum terbukti.
Beban eks PKI dan keturunannya jangan diperpanjang lagi. Akan lain halnya dengan ulah PKI
pada tahun 1948.
AA PADI, Mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Date: 2005/10/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=54
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Konspirasi dan Genosida:
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal OLEH BONNIE TRIYANA Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya. Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi coup d¡¦ etat. Menurut mereka, coup d¡¦ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20. Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara. Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4 Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan
sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.5 Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran. Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring. Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ¡§maju¡¨ itu kocar-kacir. Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d¡¦etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia. Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah. Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa. Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.8 Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat Islam telah mengobarkan ¡§Jihad¡¨ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok. Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.
Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam pembunuhan massal. Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini. Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11 Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI. Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI. Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak. Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun. Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia ¡V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman ¡V militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno ¡V Sentris atau dikenal sebagai SS.13 Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap.
Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya. Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15 Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh. Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.: ¡§saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI.¡¨17 Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18 Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya. Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun 1968. Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: ¡§saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya¡¨21
di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi. Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar. Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI. Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23 Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24 Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya. Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan komunisme.25 Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 ¡V 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.26 Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi. Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ¡§kampung janda¡¨ karena suami-suami mereka diciduk oleh militer. Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 ¡V 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa. Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa. Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979. ¡§Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi¡¨31 Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik. Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri. Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ¡§elek terus¡¨ (Indonesia: Jelek Terus). Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan
sendirinya.* „h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002. *Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. 3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8 4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138. 5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498. 6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129. 7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal. 457. 8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001) 9 ¡§Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ¡§kaum atheis¡¨ dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48. 10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969. 11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205 12 Memorandum Intelejen CIA, ¡§Indonesian Army Attitudes toward Communism¡¨ Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1. 13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali
Sastroamidjojo ¡V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya. 14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and unity nescessary for development. Far better to let the population ¡¥float¡¦ without party contact in the five year period during elections¡K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto¡¦s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109. 15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ¡§Think ¡V Tanks¡¨ dalam Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237. 16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246 17 Wawancara dengan Bapak Sp. 18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969. 19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa¡Klebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103. 20 ¡§Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak¡¨. Wawancara dengan Bapak A 21 Wawancara dengan Bapak Wt 22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik, kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76. 23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil ¡V Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50. 24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376. 25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas. 26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44. 27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220. 28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969. 29 Wawancara dengan Bapak S. 30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It¡¦s the Military, Stupid! Dalam Freek Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002), hal. 199. 31 Wawancara dengan Bapak Rk.
Date: 2005/9/13 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28
Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi
SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim Para hadirin yang terhormat! Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebihdahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective storyyang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip
kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?. Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya. Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah
segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekal i: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah pun ya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story". Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari oeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan
hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965. Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka ¡V tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak t ermasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum." Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan
lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar. Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderaljenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya di kurangi. Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S! Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira
tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang
saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya
pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih
dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan
Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah
ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu
berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan
menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut
pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari
rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu
peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala
kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi
pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia
dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya
keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas
perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan
DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu
dibawa ke Lubang Buaya, tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah
Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu
alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia
yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri
yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya'
kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi
bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa
Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan
pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin
bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut
menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S ?
Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA.
Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai
sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu,
kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan
Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri
dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada
Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam
proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar,
dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung
Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang,
yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri
Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro. Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di
sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga
diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta
dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden
Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan
KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu
yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan
akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN
DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai
kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan
kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan
PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu
pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul
pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan
mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal.
Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam
ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari
jawaban atas pertanyaan yang masih ada.
Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa
Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat
mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti
BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi
dan
sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling
bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang
memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk
membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya,
bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu
nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia"
pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media). Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barangbarang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65. Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara
lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini. Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar-kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung-jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!". Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para
pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas. Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di
sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagibagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderaljenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu. Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang
ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri. Terima kasih!
Date: 2005/11/2 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=71
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Konspirasi dan Genosida:
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal OLEH BONNIE TRIYANA Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya. Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi coup d¡¦ etat. Menurut mereka, coup d¡¦ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20. Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara. Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4 Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan
sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.5 Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran. Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring. Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ¡§maju¡¨ itu kocar-kacir. Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d¡¦etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia. Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah. Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa. Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.8 Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat Islam telah mengobarkan ¡§Jihad¡¨ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok. Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.
Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam pembunuhan massal. Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini. Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11 Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI. Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI. Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak. Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun. Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia ¡V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman ¡V militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno ¡V Sentris atau dikenal sebagai SS.13 Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap.
Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya. Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15 Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh. Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.: ¡§saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI.¡¨17 Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18 Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya. Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun 1968. Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: ¡§saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya¡¨21
di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi. Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar. Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI. Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23 Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24 Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya. Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan komunisme.25 Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 ¡V 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.26 Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi. Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ¡§kampung janda¡¨ karena suami-suami mereka diciduk oleh militer. Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 ¡V 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa. Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa. Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979. ¡§Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi¡¨31 Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik. Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri. Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ¡§elek terus¡¨ (Indonesia: Jelek Terus). Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan
sendirinya.* „h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002. *Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. 3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8 4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138. 5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498. 6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129. 7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal. 457. 8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001) 9 ¡§Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ¡§kaum atheis¡¨ dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48. 10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969. 11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205 12 Memorandum Intelejen CIA, ¡§Indonesian Army Attitudes toward Communism¡¨ Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1. 13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali
Sastroamidjojo ¡V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya. 14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and unity nescessary for development. Far better to let the population ¡¥float¡¦ without party contact in the five year period during elections¡K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto¡¦s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109. 15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ¡§Think ¡V Tanks¡¨ dalam Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237. 16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246 17 Wawancara dengan Bapak Sp. 18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969. 19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa¡Klebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103. 20 ¡§Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak¡¨. Wawancara dengan Bapak A 21 Wawancara dengan Bapak Wt 22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik, kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76. 23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil ¡V Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50. 24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376. 25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas. 26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44. 27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220. 28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969. 29 Wawancara dengan Bapak S. 30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It¡¦s the Military, Stupid! Dalam Freek Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002), hal. 199. 31 Wawancara dengan Bapak Rk.
Date: 2005/9/13 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28
tniad
Page 1 of 7
SOB Dalam Perspektif Sejarah
Oleh: M Amin Zuhri Di samping untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayahnya terhadap segala macam ancaman dan gangguan. Setiap negara pasti mempunyai tujuan untuk memberikan rasa aman dan tenteram kepada warganya. Dalam situasi dimana negara terancam kedaulatan atau keutuhannya maka pucuk pimpinan pemerintahan akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya atau Staat van Oorlog en van Beleg (SOB). Keputusan tersebut diambil agar persoalan hidup bangsa dan negara cepat teratasi. Demikian halnya dengan NKRI yang telah beberapa kali dinyatakan dalam SOB. Masa perang Belum genap setahun Indonsia merdeka, Presiden Soekarno menetapkan Indonesia dalam keadaan bahaya (Staat van Oorlog en van Beleg). Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno sehari setelah diculiknya PM Sutan Syahrir. Perculikan terjadi pada tanggal 27 Juni 1946 oleh lawan politiknya pada saat berkunjung ke Solo. Hilangnya simbl kenegaraan tentu membuat pemerintah RI yang masih muda itu bertekad untuk segera mengatasi. Dengan keputusannya itu presiden memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna penyelesaian yang cepat dan tepat. Wewenang selanjutnya diberikan kepada pucuk pimpinan militer untuk dapat menguasai keamanan dan ketertiban. Keadaan harus segera dapat dikendalikan agar tidak menjalar menjadi konflik vertikal maupun horizontal. Kejadian lain adalah pada waktu Belanda melakukan Agresinya pada tanggal 19 Desember 1948. Pada wkatu Agresi Milier Belanda II pemerintahan negara RI benar-benar lumpuh, demikian juga pemerintahan daerah. pucuk pimpinan pemerintahan ditawan oleh Belanda. Sedang aparat pemerintahan daeah mengungsi menyelamatkan diri. Walaupun ada PDRI (Pemerintahan Darurat RI) baik di dalam maupun di luar negeri tetapi tidakd apat berjalan sebagai mana mestinya. Situasi negara Indonesia benar-benar berada dalam jurang kehancuran. Belanda senantiasa terus menyusun organisasi pemerintahan bonekanya untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Dalam kondisi yang sedang sakit Panglima Besar Jenderal Sudirman tetap bertekad untuk meneruskan perjuangan bersenjata "met of zonder pemerintah". Untuk mengantisipasi kevakuman pemerintahan maka PTTD (Panglima Tentara dan Teitorium Djawa) dipimpinan Kolonel AH Nasution segera melakukan antisipasi. Tiga hari setelah agresi Belanda segera menyatakan berlakunya pemerintahan militer seluruh Jawa. Pernyaaa tersebut kemudian dikukuhkan dnegan Instruksi No 1/MBKD/1948 berisi tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer di Indonesia tiga hari kemudian. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah "colaps" serta untuk membangkitnya kembali struktur pemerintahan yang sempat hilang sesuai dengan tingkat komando kewilayahan. Setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 secara otomatis Pemerintahan Militer berakhir dan diserahkan kembali kepada pemerintahan sipil tanpa konsesi apapun. Masa parlementer Dalam perjalanan selanjutnya bangsa Indonesia terus mengalami berbagai macam krisis yang menganca dan membahayakan keutuhan NKRI. Krisis multi dimensional terutama diakibatkan oleh
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
9/2/2005
tniad
Page 2 of 7
tarik ulur kepentingan partai-partai politik. Sistem multi partai dan sistem parelementer telah menyeret seluruh elemen bangsa dalam konflik vertikal maupun horizontal. Negara dijadikan sebagai kuda beban untuk menarik kepentingan masing-masing partai politik. Sering terjadi bongkar pasang kabinet karena tidak ada kompromi politik antar partai yang berkuasa. TNI yang pada waktu itu merupakan organisasi yang otonom terus berusaha ditarik ke dalam lingkaran pengaruh atau kekuatan partai. Negara betul-betul dalam kondisi instabilitas politik dan keamanan. Konstituante tidak dapat menjalankan lagi fungsinya. Bahkan pad atahun 1957 Konstituanter terjadi reses sampai batas waktu yang ti dak ditentukan. Melihat gelagat yang kurang baik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara maka presiden memaklumkan negara dalam keadaan bahaya. Tidak lama kemudian Kasad Jenderal Nasution sebagai Penguasa Peang Pusat mengeluarkan larangan untuk melakukan kegiatna politik. Untuk mengatasi kebuntuan poitik maka TNI (AD) mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk segera kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dektit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Waktu G 30 S/PKI Konstelasi politik di Indonesia awal tahun 1960-an tidak kunjung reda bahkan cenderung meningkat. PKI (partai komonis Indonesia) semenjak Pemilu pertama tahun 1955 menjelma menjadi partai besar dan sangat berpengaruh. Partai yang berideologi komunis itu berusaha terus melemahkan lawanlawan politiknya, termasuk TNI/ABRI. Sebagai titik puncak konstelasi politik adalah pemberontakan PKI tahun 1965 yang kita kenal dengan G 30 S/PKI. Suatu pemberontakan yang mengakibatkan gugurnya putra-putra terbaik bangsa. Sekali lagi ABRI tampil ke depan untuk mengatasi kemelut politik dan bersenjata dengan dibantu oleh berbagai elemen masyarakat yang tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan selanjutnya ABRI/TNI terus berusaha memposisikan dirinya sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara Nasional. Ada niat kudeta Melihat dari awal perkembangan sejarahnya, TNI digariskan untuk tidak melakukan kudeta. Padahal dalam situasi tertentu sebenarnya jalan untuk ke arah itu sangat memungkinkan dan mendukung. Namun "merebut kekuasaan" tetap tidak dilakukan karena TNI terikat oleh kewajiban moril dan ikatan emosional seperti yang telah digariskan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tekad tersebut akan terus terpelihara dan tetap dipegang teguh oleh setiap prajurit yang Sapta Margais. Dalam suatu pidatonya tanggal 5 Juli 1946 di Yogyakarta Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan antara lain: Pertama: "......Kini per satuan telah tergalang antara pemeritnah, tentara, dan rakyat... Meskipun di sana-sini persatuan ini kadang- kadang terlihat retak tetapi pada umumnya persatuan bathin telah terasa dan persatuan telah nampak....Pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara terus berupaya untuk mencurahkan segala kekuatan guna keselamatan negara dari marabahaya sedang mengancam...." Kedua: ".....telah dikabarkan bahwa saya, Panglima Besar Jenderal Sudirman, akan merebut kekuasaan dan akan menempati singgahsana kepala negara. Berhubung dengan desas desus semacam ini maka dengan ini saya menyetakan kepada khalayak ramai bahwa saya tidak akan berusaha ke jurusan itu, bahwa saya akan menolak apabila kursi presiden disodorkan kepada saya...". Ketiga: "....Tentara tidaka akan ikut campur dalam lapangan politik.... Tentara terikat oleh sumpah untuk tetap mempetahankan kemerdekaan dengan sebulat-bulatnya....". Kalau kita jujur, bahwa perjalanan bangsa Indonesia ditaburi dengan kerjasama yang manis antara sipil dan militer demi cita-cita proklamasi. Kesantunan dan keharmonisan hubungan dalam perjuangan telah mereka contohkan dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa. Mereka berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang berbeda adalah tentang tugas dan
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
9/2/2005
tniad
Page 3 of 7
tanggung jawabnya. Di negara manapun tidak ada perjuangan sipil dan militer semanis perjuangan mereka di Indonesia. Dan tidak selayaknya kita membandingkan hubungan sipil-militer Indonesia dengan negara lain karena masing-masing memiliki latar belakang sejarah yang berbeda- beda dan telah mengalami proses/waktu yang panjang. Dikotomi sipil- militer sah-sah saja dilakukan dalam rangka pendewasaan diri tetapi jangan sampai dipertentangkan. Kalau kiranya boleh diibaratkan bawha hubungan sipil-militer di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya adalah seperti simbiose mutualisma. Berbeda bentuk dan rupa tetapi saling ketergantungan dan saling menguntungkan kedua belah pihak dalam rangka mempertahankan hidup. Sipil-militer di Indonesia berbeda dalam tugas dan tanggung jawabnya tetapi tetap memiliki tujuan yang mulia. Yaitu membela kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penulis Mayor CAJ Drs M Amin Zuhri adalah, Kasi Sejarah Bintaldam IM
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
9/2/2005
tniad
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
Page 4 of 7
9/2/2005
tniad
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
Page 5 of 7
9/2/2005
tniad
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
Page 6 of 7
9/2/2005
tniad
Page 7 of 7
Copyright ©2003 Dispenad, Jakarta-Indonesia. All rights reserved.
Webmaster: Dispenad.
Jalan Veteran Nomor 5 Jakarta Pusat
http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm
9/2/2005
Soebandrio; Kesaksianku
Soebandrio;
Kesaksianku tentang G30S
BAB I: PROLOG G-30-S KONFLIK KUBU Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri. Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar. Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:
3.
1. Unsur Kekuatan Presiden RI 2. Unsur Kekuatan TNI AD Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri. Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Landreform. Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI. Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah. Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD. Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk. Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya. Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk. Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR. Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah. Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan. Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution. Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI. Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno. POLITIK MUKA DUA Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro. Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem. Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara. Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution. Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto. Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersamasama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa. Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI. Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta. Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung. Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu. Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak. Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam
Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan. Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri. Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya. Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung. Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi. Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara. Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu. 2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya. SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno. Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan
penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik. Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua. EMBRIO DEWAN JENDERAL Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT. Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat. Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima? Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut. Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT. Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu. Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah
isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia. Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya? Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup. Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu. Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima. Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto. Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.
BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965. Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah. Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu
berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S. Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran. Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno. Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin. Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta. Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku. Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan. Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar.
Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar? Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih. Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas. Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. DEWAN JENDERAL Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu. Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden. Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh. Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa – ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara
menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama). Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI
(Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada
sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap
Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya
lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani
tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas
merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan
kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo
saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan
Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari
empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus
Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama
belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat
Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan
antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat.
Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang
membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini
sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya
rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat
orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat
provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang
semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa
Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist.
Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris
untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi
Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah
bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke
Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer. Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army friends.’ Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik. Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu. Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi? Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan. Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu. Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani. Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali. Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani. Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis. PERAN AMERIKA SERIKAT Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman. Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya. Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin. Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan? Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI. Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S. Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri. Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones. Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal. Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan. Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng. Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. MENJALIN SAHABAT LAMA Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya. Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anakbuahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa. Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang
didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam. Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen. Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar. Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran. Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta. Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur
tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka. Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto. Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana. Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam. Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II). Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata
Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar. Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya. Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal. Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto. Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief. Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo
Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo. Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada temantemannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka. Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik. Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah. Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965? Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum. MELETUSLAH PERISTIWA ITU Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya
ke Medan. Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor. Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor. Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak. Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding. Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi. Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas. Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto. Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal. 2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah malam seperti itu? 3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB. Yang sebenarnya terjadi: Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung. Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur. Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad. Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan
pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB. Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi. Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan. Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman. Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya). Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto. Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberondong tembakan. Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi. Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan
provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme internasional. Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain. Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI. Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto. DARI DETIK KE DETIK Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana. Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi
menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya. Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawankawan. Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap. Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana MenteriII Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu. Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir. Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno. Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik.
Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah. Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan). Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul
pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto. Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah. Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara. Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa. Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak
mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden. Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto: 1.
Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka. 2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto). 3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto. 4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud. NASIB AH NASUTION
Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution. Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik). Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi. Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun
dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB IIIA: KUASA BERPINDAH PERAN MAHASISWA Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad. Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI. Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak. Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap: 1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi. 2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno 3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden 4. Melumpuhkan Bung Karno. Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat): 2.
1. bubarkan PKI bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI 3. turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto. Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah). Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara. Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya. Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat. Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan. Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan
mereka didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu. Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah: bubarkan PKI. Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998. Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad. Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya. Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando… Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.
Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno. Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara. Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia. SUPERSEMAR Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad. Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka. Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara. Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju. Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadaphadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat. Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi
terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas. Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar. Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto: 1. dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas. 2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden. 3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga. Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri. Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburuburu sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu. Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah digembosi oleh para demonstran.
Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan. Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter. Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor. Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya. Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal menjadi buktinya. Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno. Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: 1.
mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya. 2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan 3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya 4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting. Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi. Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju? Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang. Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak.. Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar. Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang:
terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI. Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap: -habisi para jenderal saingan -hancurkan PKI -copoti para menteri -jatuhkan Bung Karno. Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto. Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya. 15 menteri yang ditangkapi adalah: 1.
Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI) 2. Waperdam-II Chaerul Saleh 3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo 4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo 5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat 6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam 7. Menteri Pertambangan Armunanto 8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman 9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo 10. Menteri Kehakiman Andjarwinata 11. Menteri Penerangan Asmuadi 12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i 13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka 14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi 15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.
Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian. Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah? MELENGGANG KE ISTANA Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu. Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S. Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional. Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia. Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman. Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno. Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas. Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963. Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama. Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri. Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut: - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang - Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.
- Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. - Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang
berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI. Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno. Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu kuat. AKHIR HAYAT UNTUNG Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan – seperti naik banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi. Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu. Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi. Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan
tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya. Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini. Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana. Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama. Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati. Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik. Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain. Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani
mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. KARIR SAYA Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi. Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak memerintahkan apa-apa. Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno. Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap: 1.
menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan
Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana
setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15 menteri
- termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966). 4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolaholah konstitusionil melalui ketetapan MPRS. Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan. Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan. Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
BAB IIIB: BIO-DATA & KUASA BERPINDAH
Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara. Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana. Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS. Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa. Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokteran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka. Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga). Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua. Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI. Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno. Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju. Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung Karno hanya
menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris. Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu. Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya. Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut. Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington. Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir. Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir. Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan. Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja. Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai. Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masingmasing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya. Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri. Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan. Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat. Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji. Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru. Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi. Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya
menolong mereka dengan ikhlas. Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat. Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI. Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah PKI. Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim. Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno. Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling
oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja. Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan. Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut. Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari. Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung. Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara? Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos. Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap proPKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil. Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana). Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara. Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus disubversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah. Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor. Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik. Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa. Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi
pejabat tinggi negara. Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang. Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benarbenar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk. Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia. Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali. Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas. Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan. Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti. Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan
sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka. Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri. Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat. Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin. KOMENTAR Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik. Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia. Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi. Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari). Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari
kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan. Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat. Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya. Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani. Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto. Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa? Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu. Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi. Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis demokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus. Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang sudah
dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun. Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman! Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000)
1
Date: 2005/7/16 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=5
Betulkah PKI Terlibat G30S?
Betulkah PKI Terlibat G30S? Asvi Warman Adam *) SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Bila ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama bisa direvisi. Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S). Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit beberapa buku baru yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi Kolonel A. Latief, Soeharto Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai arsip mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang peristiwa tersebut versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya adalah PKI dan Biro Chususnya. Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober 1965. Ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak. Selama 10 tahun ia berada dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya. Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan dalam buku Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999). Wanita ini ditangkap pada 1967 dan baru diadili pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan memerintahkan algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan geram interogator bertanya, ‘Bagaimana? Ngaku tidak?’ Saya diamkan saja. Ia teriak, ‘Cambuk sepuluh kali.’ Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...." Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa PKI--sebagai organisasi-mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman folio sebelum ditembak di Jawa Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh penjabat PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso Soerojo, 1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku, mengapa ia ditembak mati? Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu (1997), dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal. Simpati dan dukungan rakjat di pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan, "Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Politbiro CC PKI) bahwa "Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan Djenderal". Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpangsiur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap mediamedia pemberitaan". Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative." Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak lain. Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan. Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka." Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965. Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat.
Dalam dokumen dari pihak Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian Disturbances" (D 1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to weakening the P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation in last sentence your paragraph 2. Suitable propaganda themes might be: P.K.I. brutally in murdering Generals and Nasution's daughter; Chinese interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting Indonesia as agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.; etc., etc. We want to act quickly while the Indonesian are still off balance, but treatment will need to be subtle." Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1994 dibaca dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Dalam buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah 1)Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik. Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan bahwa "Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal), dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal." (Soegiarso Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku masih diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI, atau bisa juga ia merupakan agen ganda. Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah itu dirancang oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh unsur internal (dalam negeri), didukung faktor eksternal (unsur asing). Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih versi pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut dipertanyakan kembali. Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal pembredelan pers yang pertama dalam sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia. Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum tahun 1965. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam mengampanyekan ketentuan land reform telah menimbulkan konflik sosial, terutama di pedesaan. Di bidang seni dan budaya terjadi pengekangan kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII dipermalukan (seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan.
Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian terhadap paling sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham komunis di Indonesia. Rasanya, pembalasan itu sudah jauh dari setimpal. Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan pada 1966. Tapi itu tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja mengawetkan masalah ini dan menjadikannya sebagai alat legitimasi sekaligus alat represi. *) Sejarawan LIPI Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000,pi http://www.tempo.co.id/harian/kolom/02102000-1.html
Date: 2005/12/6 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=118
Catatan Harian Seorang Mantan Presiden
Catatan Harian Seorang Mantan Presiden (Membongkar Dokumen Soeharto) Oleh : Hafis Azhari 1 _____________ Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini. Sudah lama aku mempelajari buku-buku filsafat politik tentang cara-cara memimpin negeri. Aku hafal betul tentang apa yang ditulis oleh Machiavelli tentang teori-teori kepemimpinan serta cara-cara mengambil-alih kekuasaan. Aku sudah paham tentang tokoh-tokoh dalam filsafat Jawa, khususnya mengenai trik-trik Raja Kresna untuk menyelesaikan berbagai persoalan di muka bumi. Ya, dialah satu-satunya ahli strategi para Pandawa yang paling jitu. Figur reinkarnasi dari Wisnu yang identik dengan kebijaksanaan sejati. Bagaimanapun aku harus mengarungi dunia dan tradisi Jawa yang sudah berjalan selama berabad-abad. Dunia pewayangan Jawa yang sangat kaya, dan begitu melekat dalam pandangan hidup rakyat Nusantara, juga berpengaruh kuat dalam gerak-langkah hidup mereka. Tentu tidak lupa aku mempelajari buku-buku dari Negeri Cina juga, khususnya mengenai soal-soal kepemimpinan. Ada sebuah buku menarik berjudul “Ping Fa” yang dikarang oleh Sun Tzu sejak 510 BC. Buku itu diterjemahkan dalam bahasa Prancis oleh Joseph Amiot sejak 1782 M, kemudian diinggriskan dengan judul “Principles of War”. Selama berminggu-minggu aku merenungi isi yang terkandung di dalamnya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa buku itu harus menjadi guru suciku, dan tidak boleh ada orang lain yang ikut membacanya. Buku itu aku peroleh dari seorang petinggi militer, pada tahun-tahun ketika aku mengadakan studi kemiliteran di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia , entah oleh siapa. Namun bagaimanapun buku itu akan kujadikan pegangan hidupku, dan sampai sekarang pun akan tetap menjadi rahasia dalam hidupku. 2 _____________ Dulu waktu pangkat militerku masih rendah, bersama teman-teman tentara dan kerabatku, sering kami selundupkan barang-barang milik perusahaan Negara, bahkan memanipulasi
dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kami pun sudah terbiasa mengadakan pungutan-pungutan liar untuk barang-barang kebutuhan rakyat. Namun semua itu tidak berjalan mulus. Suatu ketika kami terpergok dan tertangkap basah. Kemudian oleh seorang jenderal diusulkan kepada Presiden Soekarno bahwa aku mesti dipecat dari dunia kemiliteran. Seketika itu aku manfaatkan Jenderal TNI Gatot Soebroto – bapak angkatnya Bob Hasan – agar menghadap Soekarno secara langsung, supaya dia memberi maaf dan mengampuni segala perbuatan kami. Saat itu Soekarno pun mengusulkan agar kami dididik dan disekolahkan saja, karena menurutnya, “Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita masih rendah, karena itu kita semua harus bertanggungjawab untuk mendidiknya dengan baik,” begitulah kata Soekarno, meskipun aku tidak paham apa yang diomongkannya itu. Segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Soewarto, seorang komandan Seskoad sekaligus agen aktif CIA, yang kemudian berhasil menatar dan membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf komando angkatan darat. Mulai sejak itulah karir militerku cukup lancar dan terarah, meski semuanya tak terlepas dari gagasan dan kebijakan Soekarno sendiri selaku Presiden RI . Oleh karena itu aku berusaha merahasiakan periode ini dalam sejarah hidupku kelak. Aku tidak akan menyebut-nyebut soal jasa-jasa Soekarno. Dia memang bukan sembarang orang dalam sejarah berdirinya republik yang besar dan kaya-raya ini. 3 _____________ Peristiwa 30 September 1965 berkobar. Keributan dan huru-hara di Jakarta membuat aku merasa tenang dan puas, seakan-akan masadepan sudah bersinar dalam hatiku. Separah apapun kerusakan dan kerugian, bahkan sebanyak apapun korban yang ditimbulkan, aku berusaha bersikap diam dan tak ambil peduli. Biar sajalah kekacauan itu terjadi. Tiapkali ada krisis kepercayaan pada pemerintah, biasanya kekerasan dan kekacauan timbul di mana-mana. Kalau perlu pembunuhan dan pembantaian sekalipun. Waktu itu pangkatku sudah Mayor Jenderal, dan posisiku sudah menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sampai kapanpun aku tetap akan merahasiakan, bahwa karena jiwa pemaaf dan kearifan Soekarno-lah yang membuatku berhasil dalam meniti karir setinggi itu di dunia kemiliteran. 4 _____________ Sekali lagi, biar sajalah kerusuhan dan huru-hara itu terjadi. Yang penting, sebelum tanggal 30 September 1965 posisiku harus berada di rumah sakit. Kini sudah kubawa seorang anakku ke rumah sakit, karena kakinya kesiram sayur sop. Aku akan menemaninya di rumah sakit, meskipun bisa diwakili oleh istriku atau anak sulungku, tetapi akulah yang harus menunggunya di sana . Soalnya, sebelum kejadian itu telah datang seorang Komandan Brigif bernama Latif ke rumahku, untuk melaporkan adanya “Dewan Jenderal” serta rencana sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup oleh para jenderal, serta rencana untuk merebut kepemimpinan Soekarno. Pelapor itu aku catat sebagai orang berbahaya, dan kelak akan kuasingkan di suatu tempat tersembunyi, serta tidak akan kubiarkan dia bicara di depan publik sampai kapanpun. Orang bernama Latif itu sebetulnya tentara kepercayaanku sejak dulu. Waktu kehidupan keluarga kami masih sulit, dialah yang carikan beras untuk kami, juga dia yang carikan uang tambahan untuk keperluan keluarga kami. Tapi bagaimanapun tetap aku catat sebagai orang berbahaya, supaya jangan membongkar persoalan-persoalan penting di masa lalu. Dalam pledoinya di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) orang ini memberi
pernyataan tegas: “Kenapa harus saya yang berdiri di sini, Pak Hakim? Kenapa bukan Soeharto? Padahal dia sudah tahu akan adanya Gerakan di pagi hari.” Orang brengsek ini memang telah dua kali melapor sebelum peristiwa itu meletus. Pada malam 30 September dia menghadap lagi ke rumah sakit, katanya akan dilancarkan Gerakan pada pagi hari, guna mencegah terjadinya kudeta yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Laporan itu tidak kutanggapi dan aku diam saja. Walaupun aku paham, mestinya tugas pengamanan ada di tanganku. Ya, sebagai Panglima Kostrad sekaligus orang kedua di Angkatan Darat, pada malam itu mestinya kuberitahu semuanya agar bersiap-siaga untuk pengamanan, karena pagi harinya akan ada Gerakan. Tapi apapun yang akan terjadi, biar sajalah. Toh sejak dulu aku jarang diperhitungkan di Angkatan Darat. Kalau ada rapat-rapat petinggi militer, sepertinya mereka tidak pernah mengundangku. Boleh jadi mereka berpendapat bahwa aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak mengerti apa-apa. Dan sekarang, buktikan, siapa di antara kami yang menjadi orang nomor satu di negeri ini. Cara apapun harus ditempuh, dan aku akan memperjuangkannya sesuai pendirian dan keyakinanku. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 06.00 pagi aku akan mengenakan seragam tempur, untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sudah menghadap Presiden. Kalau Jenderal Ahmad Yani sudah mati, bukankah aku – sebagai orang kedua – yang mestinya memberi laporan pada Presiden Soekarno? Tapi aku hanya berpura-pura di hadapan mereka semua… aku tidak perlu bertanggungjawab… apapun yang terjadi, biar sajalah…. 5 _____________ Sekarang impian dan ambisiku sudah tercapai. Aku adalah Presiden kedua Republik Indonesia . Jalan apapun harus ditempuh. Aku manfaatkan segala pengetahuan dan pengalaman hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya itu. Kini Presiden Soekarno sudah jatuh. Menyusul pembantu-pembantu dan para pendukungnya harus dijatuhkan pula. (Lebih baik kupergunakan istilah “diganti” daripada “dijatuhkan”). Jadi, aku mengganti kepemimpinan Soekarno sekan-akan akulah yang dipercayakan menduduki tampuknya. Kini mereka semua harus “diamankan” (aku sengaja tidak memakai istilah “ditangkap”). Ya, mereka adalah the founding fathers, para perintis dan pendiri republik yang berupaya keras untuk berkorban memerdekakan bangsa ini. Dan siapa pula yang tidak mengenal Soekarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah Nusantara, menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan ideologi. Dia berhasil merumuskan dasar negara serta diproklamasikannya Republik Indonesia . Daya pukaunya dalam berpidato, telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh semangat, bahkan rela berkorban dan mati demi kemerdekaannya. Tentang itu semua, sejarah kita belum mencatatnya secara utuh dan bulat. Para sejarawan masih takut. Karena itu istilah “revolusi” kelak akan kami batasi sebagai perang kemerdekaan. Adapun lahirnya Pancasila, kelak kami rahasiakan pada angkatan muda. Kini sejarah baru harus diciptakan. Aku kerahkan para penulis dan budayawan yang memihakku, serta kuberikan sarana dan fasilitas agar mereka menulis tentang seluk-beluk sejarah Indonesia . Kemudian kusensor karya-karya mereka secara ketat, agar terjadi keseragaman pandangan bahwa sejarah bangsa dan negeri ini identik dengan peristiwa 30 September 1965, yang di kemudian hari kuberi nama G30S/PKI. Maka apapun yang terjadi sebelum itu, sebesar apapun, tak perlu dikategorikan sebagai sejarah Indonesia . 6 _____________
Belakangan muncul beberapa penulis dan budayawan yang menaruh perhatian khusus pada pledoi dan kesaksian Latif di pengadilan Mahmillub. Kemudian muncul pula sebuah penerbit buku independen yang menamakan diri “Hasta Mitra”, dan dimotori oleh Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman. Segeralah kukerahkan para penulis dari kalangan sejarawan, budayawan dan seniman agar mereka kompak mendukung pernyataanku tentang seluk-beluk peristiwa 30 September 1965 itu. Telah kubentuk tim khusus untuk menciptakan sejarah baru tentang peristiwa itu; telah kukumpulkan sekelompok masyarakat untuk membikin kesaksian palsu; telah kubentuk tim dokter khusus untuk menyampaikan pembuktian yang dimanipulasi; juga telah kubangun tugu besar dan museum khusus untuk menciptakan kenangan dan ketakutan rakyat; bahkan aku namai museum itu dengan sebutan “Museum Lubang Buaya”. Aku ciptakan kreasi itu dengan detil-detil cerita fiktif yang menakutkan. Dan beginilah kisah kejadian itu: “Pada pagi hari suatu Gerakan dari Partai Komunis Indonesia telah membantai dan membunuh jenderal-jenderal yang merupakan tulang-punggung bagi berjalannya revolusi negeri ini. Jenderal-jenderal itu telah diinterogasi dan dilukai sekujur tubuhnya. Kemaluannya dipotongi, dibiarkan mereka merintih bergelimpangan. Sedangkan para wanita yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berlenggak-lenggok mengelilingi para korban, sambil mengadakan tarian-tarian cabul.” Yang jelas, aku harus membuat kreasi ini sebagus mungkin, agar seluruh masyarakat merinding ketakutan. Bahkan kuciptakan kreasi khusus, bersama bukti-bukti palsu bahwa Soekarno telah terlibat aktif dalam peristiwa tragis itu. Aku jadikan peristiwa itu patokan untuk memancing rasa kebencian. Untuk mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, sebagai lambang penderitaan manusia Indonesia sejak 1965 sampai kapanpun di masa yang akan datang. Ya, sudah kupelajari teknik-teknik seperti ini dari buku-buku tentang angkatan perang. Suatu teknik yang terbilang ampuh, dan sepanjang sejarah banyak dimanfaatkan angkatan perang di seluruh dunia. Dan kini, begitu banyak sarana teknologi untuk memberitakan kabar, sebagai pengungkap lambang dan simbol-simbol, yang kelak dapat membuat bulu kuduk siapapun akan merinding ketakutan. 7 _____________ Bicara tentang angakatan muda dan mahasiswa, yang kelak disebut sebagai “Angkatan 66”, mereka punya andil tersendiri yang dapat kumanfaatkan bantuannya pada peristiwa 30 September 1965 itu. Ya, dari merekalah gerakan dimulai, dari mulut merekalah sumpah-serapah dilontarkan, di kampus-kampus, di lapangan hingga sampai ke jalan-jalan raya. Dari fasilitas militer juga disediakan truk-truk hingga panser untuk mengangkuti mereka agar berteriak-teriak menentang Soekarno. Spanduk-spanduk, yel-yel bertebaran di mana-mana. Belum lagi bantuan dana dari CIA, ditambah lagi bantuan jaket-jaket kuning agar dikenakan oleh para demonstran. Lantas kukerahkan utusan khusus untuk memaksa orang-orang Telkom agar memutus aliran telpon pada saluran-saluran yang telah kutentukan. Bersamaan dengan itu Mayjen Pranoto Reksosamodra telah ditunjuk oleh Presiden Soekarno selaku Care-Taker MENPANGAD. Aku harus mengupayakan agar dia tak bisa dihubungi, kalau perlu mencegahnya agar tidak datang memenuhi panggilan Presiden di Halim. Sebelum itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 06.30 pagi, telah kuutus Brigjen dr. Amino agar memberitahu Pranoto perihal penculikan Letjen Ahmad Yani beserta jenderaljenderal lainnya. Pranoto kontan berangkat menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) serta mengadakan rapat darurat. Setelah ditampung hasil laporan dari sumber-sumber yang telah diatur sedemikian rupa, maka rapat MBAD menyimpulkan begini:
“Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang belum dikenal. Dengan ini rapat memutuskan bahwa Mayor Jenderal Soeharto, panglima Kostrad, agar mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat yang sedang fakum.” Pagi itu melalui kurir khusus, keputusan rapat segera disampaikan kepadaku, yang waktu itu sudah menunggu di Makostrad. Dan sewaktu muncul siaran RRI tentang penunjukan Pranoto sebagai Care-Taker, maka berturut-turut utusan Presiden memanggilnya agar segera menghadap ke Halim. Para utusan itu ialah Letkol Infantri Ali Ebram, Brigjen Sutardio, Brigjen Sunario dan Kolonel Bambang Wijanarko. Tapi apapun yang mereka lakukan, kini Pranoto sudah masuk jebakan dalam hubungan komando-taktis di bawah kewenanganku. Dia tidak akan bisa menghadap Presiden tanpa mendapat izin dan restu dariku. Dan sewaktu dia meminta izin, jelas aku larang mentahmentah dengan suatu ancaman: “Kalau kau memaksakan diri menghadap Presiden, kami tidak bertanggungjawab akan kemungkinan adanya korban lagi….” 8 _____________ Tibalah waktunya pada tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, ketika secara resmi aku telah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), maka segeralah dibentuk susunan staf-staf baru, dan kini Pranoto hanya kami tempatkan sebagai perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1966 kuperintahkan pasukan khusus untuk menahan Pranoto dengan tuduhan: terlibat dalam G30S/PKI. Pada tahun itu kuperintahkan agar ia segera dikenakan tahanan rumah, hingga kemudian dipindahkan ke Inrehab Nirbaya pada tahun 1969, juga dengan tuduhan yang sama. Dan untuk memperketat pengucilan dirinya sebaiknya ia dikenakan skorsing sebagai anggota angkatan darat, dengan tidak diberi gaji skorsing, juga tidak perlu diberi tunjangan apapun. Lantas memasuki tahun 1981 ketika posisiku sebagai Presiden semakin diakui masyarakat, dan setelah keberhasilanku menciptakan mitos Bapak Pembangunan, maka kuperintahkan Panglima Kopkamtib untuk membuat surat pembebasan resmi. Hingga terhitung sejak tanggal 16 Februari 1981 Pranoto kubiarkan bebas dari tahanan, yang berarti bahwa selama 15 tahun ia mendekam dalam tahanan, tanpa pemberhentian dan pemecatan resmi dari keanggotaan Angkatan Darat. Juga tanpa pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara resmi. Kini kubiarkan ia bebas dan – kalau perlu – silakan berbaur dengan masyarakat luas. Lagipula siapa yang akan mengakui keberadaan dia, dan siapa pula yang akan mendengarkan omongannya. Kini kepercayaan publik telah terpusat kepadaku sebagai Bapak Pembangunan, terutama jasa-jasaku dalam membangun negeri bersama dengan segala keamanan dan ketertiban nasional. Orang-orang semacam dia tidak perlu direhabilitasi, serta tidak usah diberi uang pensiun sampai kapanpun. Dan pada suatu hari aku pun menerima laporan bahwa ia telah wafat di suatu rumah kumuh di wilayah Kramatjati, Jakarta . Pranoto adalah satu dari sekian banyak pembantu dan pendukung Soekarno, yang kubiarkan mengalami nasib hidup seperti itu. Sekarang buktikan, siapa yang menang dan berjaya di antara kita…. 9 _____________ Sudah lama di kalangan masyarakat terjadi polemik yang dapat kusimpulkan menjadi dua golongan, yakni mereka yang berpendapat bahwa revolusi sudah selesai, sedangkan yang lain mengatakan bahwa revolusi belum selesai. Soekarno pernah menegaskan bahwa revolusi Indonesia harus melingkupi segala bidang
sosial-politik, budaya dan ekonomi sekaligus. Bahwa revolusi kemerdekaan 1945 hanyalah jembatan emas, dan kita harus memperjuangkan kemerdekaan dalam arti yang sebenarsebenarnya. Entahlah, apa lagi yang diomongkan oleh Soekarno. Aku tidak paham. Sekarang aku hanya membagi menjadi dua kekuatan saja, yakni siapa-siapa yang berpihak dan mendukung pemerintahanku, sedangkan yang lain dapat digolongkan sebagai kelompok yang membahayakan, dan karenanya harus disingkirkan. Dari kalangan seniman sudah jelas siapa mendukung siapa. Siapa kubu bagi siapa. Maka segeralah dikerahkan kesatuan-kesatuan tentara guna membakar rumah-rumah tokoh seniman yang membangkang. Dan kami tinggal menunggu kabar-berita dari para utusan, apakah tugasnya berhasil, tanpa peduli berapa korban yang ditimbulkan dari aksi-aksi pembakaran rumah itu. Lagipula, mereka toh akan mengira bahwa tindakan itu akibat dari ulah-ulah lawan polemik mereka sendiri sesama seniman. Ada seorang seniman yang – karena keberaniannya – membuat kami kesulitan untuk menangkapnya, hingga sesudah berkali-kali utusan dikerahkan, selalu saja membawa laporan yang sangat menjengkelkan. Maka kubuatkan saja skenario khusus untuk proses penangkapannya. Seniman satu itu pernah menulis novel tentang taktik perang gerilya sejak masa kemerdekaan. Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa ia pernah malang-melintang di dunia revolusi, bahkan pejuang keras dalam menyelesaikan persoalan sejarah sastra Indonesia . Pada awal revolusi 1945 dipimpinnya sebuah majalah yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah pendudukan Belanda. Dia aktif menyebarkan selebaran-selebaran gelap untuk usaha-usaha revolusioner, yang membuatnya pernah tertangkap dan dikucilkan di Pulau Edam pada tahun 1949. Waktu penangkapannya, militer Belanda menyita empat novel karyanya mengenai peristiwaperistiwa pada awal-awal revolusi 1945. Ya, tentulah dia adalah orang yang patut diperhitungkan dengan serius. Yang jelas, dari beberapa tulisannya dapat dipahami bahwa dia adalah pendukung setia dari kebijakankebijakan politik Soekarno. Dan untuk menghadapi seorang ahli perang gerilya, tentulah dibutuhkan siasat-siasat khusus untuk dapat meringkusnya… 10 _____________ Setelah berhasil ditangkap, aku mengutus seorang mayor dan dua letnan untuk menginterogasi
seniman itu. Aku tinggal menerima laporan dari mereka, dengan menyediakan sebuah tape
recorder dari hasil rekaman selama interogasi itu:
Ditanyakan oleh seorang letnan, bagaimana pendapatnya tentang Gerakan Untung, kemudian
seniman itu menjawab:
“Aku tidak tahu apa-apa tentang Gerakan itu…”
“Apakah Anda membenarkan Gerakan itu?”
Seniman itu diam, kemudian jawabnya:
“Kalau dapat kesempatan mempelajari peristiwa Gerakan 30 September, mungkin dalam
beberapa tahun akan bisa saya jawab.”
“Anda percaya negara Indonesia ini akan menjadi negara komunis?”
“Mungkin tidak.”
“Kenapa?”
“Karena faktor geografi dan konservatifitas rakyat kita.”
Rupanya memang sulit untuk mencari-cari kesalahan dari pernyataan-pernyataan seniman itu.
Namun karena dia termasuk pendukung setia dari pemikiran-pemikiran Soekarno, aku
berkesimpulan bahwa orang ini akan membawa masalah di kemudian hari. Aku tetap
menggolongkan dia sebagai orang berbahaya yang harus dijadikan korban.
Dan bukankah Raja Kresna dalam filsafat Jawa tidak mengkhawatirkan berapapun jumlah
korban, demi kelancaran pembangunan dan stabilitas negeri…? 11 _____________ Untuk menangani para pembantu dan pendukung Soekarno rupanya tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Aku harus mengerahkan ahli-ahli strategi dari kalangan militer, serta harus diperbantukan oleh pihak intelijen internasional seperti CIA. Dukungan dan bantuan Amerika memang sangat menggiurkan bagi kepentingan Angkatan Darat Indonesia, yang sejak tahun 1955 telah terang-terangan menampakkan kecurigaanya pada Soekarno, terlebih-lebih ketika ia diakui sebagai pemimpin besar Asia-Afrika. Maka segeralah di bulan-bulan awal tahun 1966, harus dikerahkan aksi-aksi profokasi untuk membuat keributan dan kekacauan di sekitar ibukota Jakarta, untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Soekarno sudah tidak berdaya lagi untuk mengatasi aksi-aksi kerusuhan itu. Selain itu, aku akan mengusahakan agar Soekarno membuatkan surat-resmi yang berisi “pelimpahan kekuasaan”, dengan ancaman bahwa aku tidak mau bertanggungjawab mengenai korban-korban, sekiranya kekuasaan negeri tidak dilimpahkan kepadaku. Saat itu di Istana Merdeka akan dilangsungkan Sidang Kabinet untuk membahas persoalan “tiga tuntutan rakyat” (tritura), maka dikerahkanlah sekelompok pasukan tentara berpakaian preman untuk membikin keributan di sekitar Istana Merdeka, serta untuk mengacaukan berlangsungnya Sidang Kabinet yang akan segera dilangsungkan. Kemudian ketika sidang dialihkan ke Istana Bogor, kuciptakan aksi-aksi teror hingga acara pun gagal lagi untuk ke sekian kalinya. Sementara itu di Jakarta sedang hiruk-pikuk oleh kerusuhan dan bentrokan keras antara mahasiswa dan aparat, maka korban-korban pun berjatuhan di sana-sini, antara lain dua korban yang kami tampilkan untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintahan Soekarno telah layak disebut sebagai “diktator”. Dua korban itu adalah Arif Rahman Hakim dan Zainal Sakse, yang kelak akan kuberi gelar “Pahlawan Ampera” atau Amanat Penderitaan Rakyat, yang di kemudian hari berhasil memuluskan harapanku untuk membentuk Kabinet Pertama Orde Baru, dengan sebutan “Kabinet Ampera”. 12 _____________ Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga orang Jenderal bawahanku telah kuutus untuk membawa surat pada Presiden Soekarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, bahwa aku, Soeharto, tidak akan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, seandainya tidak diberikan kekuasaan penuh untuk menumpas G30S/PKI di seluruh Indonesia. Aku mintakan tiga Jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia membuatkan surat perintah khusus kepadaku, yang kelak surat itu disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), meskipun redaksinya telah kurubah dari perintah pengamanan Jakarta, menjadi “pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto”. Seketika itu kami umumkan mengenai surat itu, dan kami nyatakan pada masyarakat bahwa surat itu adalah mukjizat dari Tuhan yang dianugerahkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia . Sebagai gebrakan awal, meskipun dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun berhasil membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia . Dalam beberapa hari, limabelas menteri pendukung Soekarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura tidak tahu ketika Soekarno menyatakan kaget mendengar gebrakanku ini. Kabarnya dia bertanya-tanya, kenapa Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang tidak dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku menjawab, mengapa harus dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat, dan siasat yang jitu harus diraih dengan sekuat-mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak manapun. Kemudian langkah-langkah selanjutnya, sebaiknya dipercepat sajalah… Pada tanggal 25 Juli 1966 harus diadakan Sidang Umum IV MPRS. Kabinet pemerintahan
Soekarno (Dwikora) yang 15 menterinya telah ditahan, segara kami bubarkan. Sebagai gantinya kami bentuk kabinet baru AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), yang tentunya akulah yang harus tampil sebagai Ketua Presidiumnya. Dan puncaknya segeralah diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga 12 Maret 1967 yang membuat aku diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan kontan disambut hangat oleh Jenderal Besar A.H. Nasution, yang kemudian menandatangani Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Sejak saat itu, dicabutlah semua kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno. Lantas diperintahkan agar dia dilarang keras melakukan kegiatan politik. Dan jalan terbaik sebaiknya dijebloskan sajalah ke dalam tahanan, menyusul para pembantu dan pendukungpendukungnya di seluruh tanah air. Kini sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Pemahaman angkatan muda tentang mereka, akan kami alihkan. Keluarga-keluarga dan anak-cucu mereka, biarlah mengais-ngais rezeki berkalang tanah. Semua jasa-jasa dan jejak-langkah perjuangan mereka, akan kubuat kabur dan suram. Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri. Ya, semuanya itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk menciptakan iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional…? 13 _____________ Kini kekuatan dari kalangan pers tengah dipersiapkan. Pers-pers pendukung Soekarno, serta pers-pers berhaluan kiri sudah dibredel semuanya. Para wartawannya sudah kami tahan. Kami mengutus beberapa tentara untuk menculik seniman nasional Trubus, Japoq Lampong serta pengarang lagu Genjer-genjer, namun kemudian para penculik mengabarkan adanya “kecelakaan” di tengah jalan. Aku memaklumi mereka, dan aku paham apa yang mereka maksudkan. Pada suatu hari aku juga menerima berita dari Solo tentang tertangkapnya seorang tokoh dari Partai Komunis. Secepat kilat aku harus mengatur strategi agar dia jangan sampai diperiksa, atau memberi pernyataan apapun di muka pengadilan. Mula-mula Kolonel Yasir dan pasukannya kuperintahkan melakukan penggrebekan di wilayah perkampungan Sambeng. Tokoh partai itu rupanya bersembunyi di rumah seorang pensiunan pegawai bea-cukai, yang kabarnya hidup bersama seorang cucunya yang masih gadis remaja. Ketika gadis itu diancam mau digagahi beramai-ramai, maka kakek tua itu terpaksa memberitahu tempat persembunyian sang tokoh partai, yakni di belakang lemari yang tersekat tembok dinding. Seketika itu aku mengontak Kolonel Yasir agar segera menghabisi orang itu di tengah jalan, sebelum tiba di ibukota Jakarta . Setelah itu kami pun mengatur siasat untuk penggelapan mayatnya, agar orang-orang tidak dapat menemukan di mana rimbanya. Di kemudian hari, persoalan ini memang dipertanyakan oleh sejarawan-sejarawan angkatan muda yang berani mengungkap teka-teki ini: “Mengapa seorang tokoh penting yang menjabat Sekjen PKI serta menjabat resmi selaku Menko, telah dibunuh begitu saja, tanpa proses pengadilan?” Pernyataan ini senada dengan para penulis sejarah yang berani menggugat: “Mengapa Soekarno yang sudah siap diperiksa untuk menyampaikan yang sejujurnya perihal seluk-beluk G30S, lantas dikenakan tahanan rumah hingga wafatnya?” Untuk menangani persoalan pertama, aku mengarang jawaban seperti ini: “Dikarenakan tokoh partai itu melawan dan hendak melarikan diri, terpaksa kami tembak di tengah jalan.” Kemudian untuk menangani persoalan kedua, aku sudah mengatur jawaban seperti ini: “Dikarenakan Soekarno adalah bapak bangsa, maka kita harus mengamankan beliau. Tidak boleh ia dibawa ke pengadilan, karena kita harus menghormatinya, mikul duwur, mendem jero.” Dua jawaban itu kukira sudah cukup menjadi alasan kuat untuk mengibuli para sejarawan, budayawan atau kalangan pers di negeri ini.
14 _____________ Ada seorang cendikiawan muslim dalam suatu wawancara di suratkabar, mengutip sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi: “Barangsiapa memulai kezaliman maka ia akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan.” Aku tidak paham apa yang diomongkan si cendikiawan itu. Pada kesempatan lain dia mengutip dua buah ayat Al-Quran: “Barangsiapa membunuh manusia bukan karena kejahatannya maka ia telah membunuh seluruh manusia, barangsiapa memelihara hidup seorang manusia maka ia telah menghidupkan seluruh manusia. Mereka yang beriman, dan tidak mengaburkan imannya dengan kejahatan, mereka itulah yang memperoleh kedamaian dan bimbingan yang benar.” Bahkan pernah pada suatu acara dialog di televisi, tokoh satu itu mengupas dua buah hadits Nabi yang berbunyi: “Seorang mukmin senantiasa mendapat kelonggaran dari agamanya selama ia tidak melakukan pembunuhan tanpa hak. Dan jika seorang penguasa mati dalam keadaan masih menipu rakyatnya, maka Tuhan akan mengharamkan sorga baginya….” Aku tidak mengerti apa maksudnya mengutip-ngutip ayat dan hadits semacam itu. Tapi dalam komentarnya tentang sosial-politik, tokoh satu itu kelihatan gegabah dan sembarangan. Dikiranya siapa dia. Punya kekuatan apa. Dari sindiran-sindirannya sering diungkap mengenai keluargaku atau keluarga cendana, bahkan disinggungnya perihal bisnis anak-cucu serta kerabat-kerabatku dengan gaya bahasanya yang mengandung teka-teki. Dikiranya aku tidak paham sama sekali, ke mana arah pembicaraannya itu. Mau apa dia. Apa mau menggulingkan dan mengambil-alih kepemimpinan yang susah-payah sudah kuraih mati-matian. Akhirnya tokoh satu ini pun patut diperhitungkan kelak demi berjalannya stabilitas dan keamanan negara. 15 _____________ Pembangunan sarana dan infrastruktur sebaiknya dipacu secepat-mungkin. Kucetuskan istilah “Ideologi Pembangunan” agar merasuki pikiran masyarakat. Investor-investor datang membanjiri negeriku. Bantuan-bantuan ekonomi kami manfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam kami keruk dan jalur-jalur perekonomian dibentangkan, dan keuntungannya dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing kami undang demi kelestarian dan jaminan keamanan kapitalnya. Tentulah tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan sungguh menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional menawarkan programprogramnya. Dan tanpa perlu pikir panjang, kami sambut semuanya dengan senang hati. Seorang pakar ekonomi Profesor Kurt Biedenkopf pernah menyatakan: “Ternyata bangsabangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi untuk mengorbankan bangsabangsa yang lemah.” Pernyataan macam itu searah dengan pidato-pidato Soekarno selama Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Meskipun aku tidak banyak menyimak apa yang diomongkan mereka-mereka itu. Aku tak ambil pusing. Biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh dikerjakan oleh siapapun. Karena itu para anak-cucu dan kerabat terdekatku kupercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala sarana dan fasilitas buat mereka segera kupermudah. Maka kebutuhan pun segera diproduksi, agar produsen memproduksi pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang sebenarnya, dan mana yang harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi tuan dari kebutuhan dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia mengabdi demi produksi.
Untuk kelancaran semuanya mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus dibantu dan dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk dikorbankan. Campur-tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menegakkan Ideologi Pembangunan yang sudah kucetuskan. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta sengaja kami abaikan. Soalnya dia termasuk dari sekian banyak pembantu Soekarno yang paling dekat. Segala sistem aparatur sampai wilayah agama sekalipun harus ditangani dan dikendalikan oleh negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus ditundukkan untuk mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang boleh berlaku hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Maka kami putuskan untuk membentuk tim propaganda khusus bersama departemen penerangan, untuk menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan masyarakat, hingga kalangan ulama dan kiai-kiai pesantren di seluruh pelosok negeri. 16 _____________ Ada lagi seorang tokoh publik dari kalangan penyanyi yang menjadi idola kaum muda selama beberapa dasawarsa. Kini dia semakin berani mengungkap beberapa peristiwa sengit yang sengaja sudah dirahasiakan. Namun dengan lantang dia membongkar tentang peristiwa Malari, Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Aceh. Belum lagi masalah konflik Kedungombo, Nipah dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan pada kesempatan lain dia pernah menyindir-nyindir soal korban-korban Orde Baru, pembangunan semu, kekayaan anak-cucu presiden dan para elite politik Indonesia . Kontan saja kalangan pers selalu mengikuti gerak-gerik dan jejaklangkahnya. Karena itu, penyanyi satu ini harus menjadi perhitungan tersendiri, dan aku harus merancang siasat khusus untuk dapat melumpuhkannya. Kini aku makin tekun merumuskan tentang siapa-siapa yang layak menduduki pemerintahan daerah, dari tingkat pusat hingga bawah, bahkan rektor-rektor universitas pun harus ditentukan oleh kekuatan Orde Baru. Sistem untuk menyaring dan memilih mereka sederhana saja, yakni seberapa jauh pemahamannya tentang peristiwa 30 September 1965, serta seberapa besar kewibawaannya di tengah masyarakat. Kalau sudah memenuhi kriteria, maka gulingkan saja mereka yang sudah duduk memimpin, atau sebaiknya digeser secara halus dan pasti, supaya masyarakat maklum bahwa cara-cara konstitusional telah ditempuh oleh si calon pemimpin baru itu. Untuk menangani wilayah-wilayah tertentu yang sulit diatasi, seperti Timor-Timur, Aceh dan lain-lain, maka operasi militer besar-besaran akan kami kerahkan. Beberapa petinggi-militer kupercayakan untuk menjadi komandan penuh, khususnya mereka yang pernah kuutus mengikuti program Terrorism in Low Intensity Conflict, yakni suatu pelatihan training bagaimana membuat aksi-aksi profokasi dan teror, yang diselenggarakan oleh Pentagon melalui program kerjasama militer IMET. 17 _____________ Rupanya makin lama makin memerlukan penanganan serius. Aku mencoba menenangkan masyarakat, seakan-akan keadaan aman dan tidak terjadi apa-apa. Tiga majalah dan tabloid dibredel sekaligus, agar tak ada lagi yang mencoba menghasut dan memprofokasi masyarakat, serta agar menjadi pelajaran berharga bagi yang lainnya. Namun reaksi yang terjadi malah sebaliknya. Seketika itu muncul gelombang protes untuk membela majalah dan para wartawan yang bertugas. Dan setelah kami terbitkan majalah baru sebagai tandingannya, rupanya gelombang protes semakin marak dan meluas di mana-mana. Mereka menyerukan pembelaan terhadap Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Udin Syafrudin, Xanana Gusmao, Budiman Sujatmiko, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi penghargaan Hak Asasi Manusia kepada pahlawan buruh yang bernama Marsinah.
Bahkan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada politikus Ramos Horta dan rohaniwan Ximenes Belo untuk perjuangan Timor-Timur. Ditambah lagi kasus-kasus baru karena maraknya teknologi komunikasi dan media informasi: di Indonesia bagian timur diberitakan tentang ratusan ribu korban rakyat Timor-Timur, di bagian barat dikabarkan ribuan korban rakyat Aceh. Belum lagi Ambon, Maluku, Poso, Lampung, Makassar dan seterusnya. Mau tidak mau semuanya harus ditangani secara serius. Mau tidak mau harus terjadi bentrokan di sana-sini. Mau tidak mau harus ada korban-korban baru yang menjadi tumbal, agar dijadikan pelajaran berharga bagi yang lainnya. Ya, mengapa tidak. Bukankah stabilitas nasional dan roda-roda pembangunan harus berjalan terus. Kini aku pun tinggal memantau dan menerima hasil laporannya: Kematian wartawan bertambah lagi; bentrokan mahasiswa dan aparat semakin menelan banyak korban; para aktifis LSM sudah diamankan; para penulis buku tentang Soekarno sudah ditangkapi; ratusan orang telah diciduk dan dikurung secara rahasia; puluhan orang yang tertembak di lapangan sengaja dirahasiakan jejak-jejaknya, dan banyak lagi yang lainnya. 18 _____________ Namun angkatan muda negeri ini semakin berani dan berani saja. Ada apa ini. Dari mana asal
muasalnya, dan watak siapa yang mereka warisi.
Ada lagi laporan mengenai ulah seorang sastrawan yang baru dibebaskan dari Pulau Buru,
tiba-tiba dia menulis buku yang berjudul “Arus Balik”. Coba bayangkan, judulnya saja Arus
Balik. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini?
Sebelum itu pun sudah diluncurkan oleh Penerbit Hasta Mitra, sebuah buku yang berjudul,
“Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, menyusul sebuah buku lagi: “Era Baru Pemimpin Baru: Badio
Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru”.
Tak berapa lama mulai bermunculan penerbit-penerbit independen yang mengikuti jejak Hasta
Mitra, lantas menerbitkan buku-buku yang berjudul seperti ini: “Kehormatan bagi Yang
Berhak”, “Bayang-bayang PKI”, kemudian seorang etnis Cina berani-beraninya meluncurkan
otobiografinya dengan judul: “Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno”.
Tentu saja aku harus membuat gebrakan untuk melarang semua buku-buku semacam itu….
19 _____________ Tapi makin lama keadaan makin parah saja. Gelombang demonstrasi makin marak di manamana. Negeri ini seperti dikepung oleh gurita raksasa yang membuat aku merinding ketakutan. Bantuan-bantuan ekonomi dicabut dari negara-negara asing. Timor-Timur menuntut kemerdekaan mutlak. Aceh dan Irian Jaya ikut-ikutan bergolak. Sedangkan di Jakarta sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. Gedung-gedung megah terbakar, pusat-pusat pertokoan dijarahi massa , bahkan dalam satu hari dikabarkan telah terjadi pemerkosaan massal yang mengorbankan 150 lebih para wanita dari etnis Cina. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? Para investor dan pengusaha asing pada kabur ke negerinya masing-masing. Mereka menuntut kejelasan tatanan ekonomi serta penyelenggaraan hak asasi manusia yang baik di Indonesia . Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? Bukankah lebih dari 30 tahun aku memimpin negeri ini, dan selama itu tak pernah kuhadapi hal-hal aneh yang mengherankan macam ini? Aku tidak paham… aku tidak ngerti semua kejadian ini… ampun, aku sudah tidak sanggup lagi…. Namun tiba-tiba mereka yang ikut-serta mendirikan pemerintahan Orde Baru pada hengkang dan berlarian ke sana kemari. Mereka telah berpaling dari komitmen semula… mereka saling berpencar dan kocar-kacir tak keruan…. Lantas siapa yang akan menanggung semuanya ini… di mana kawan-kawan dan mitra-mitra
bisnisku… di mana tanggungjawab mereka… kenapa mereka diam saja… kenapa mereka tak ambil peduli… apakah aku harus segera melarikan anak-cucu dan semua kerabatku ke luar negeri…. 20 _____________ Bagaimanapun aku harus berusaha bersikap tenang. Akan kurancang siasat jitu untuk mundur dari kursi pemerintahan. Akan kurekayasa bahasa yang tepat untuk dapat menenangkan masyarakat. Sebab ada seorang seniman memakai istilah “terjengkang dari kursi kekuasaan”. Aku harus memasyarakatkan istilah Jawa, yakni “lengser keprabon” (yang berarti mundur secara baik-baik). Aku harus manfaatkan siasat-siasat lamaku, serta mengatur situasi dan kondisi untuk menyelesaikan kepemimpinanku secara sah dan konstitusional. Bukankah cara-cara semacam ini pernah dipercayai masyarakat, hingga berhasil mengangkatku menjadi orang nomor satu di negeri ini? Akan kuciptakan suasana seakan-akan aku dengan sukarela meletakkan jabatan serta memberikan mandat kepada Wakil Presiden. Aku yakin masyarakat tidak banyak komentar. Mereka tidak mengerti apakah cara-cara ini legal atau tidak, karena aku telah berhasil mengelabui mereka agar tidak paham dan buta politik. Aku yakin bahwa mereka akan tetap menghormatiku dan tunduk kepadaku. Juga akan kusebarkan berita dan informasi di seluruh jaringan televisi dan radio, bahwa saat ini aku tidak memiliki kekayaan sesen pun yang tersimpan di bank. Kini sudah kuatur siasat jitu bersama anak-cucu dan kerabatku, agar aku jangan sampai dipersalahkan di muka pengadilan, supaya segala kekayaan yang tersimpan di bank-bank luar negeri menjadi aman dan terlindungi. Aku akan manfaatkan semuanya itu untuk keperluan anak-cucu dan keturunanku, dan jangan sampai jatuh di tangan negara. Sampai kapanpun akan kurancang siasat ampuh, seperti yang sudah-sudah, agar masyarakat tetap bisa dibodohi dan dininabobokan. 21 _____________ Terhitung mulai tanggal 21 Mei 1998 aku lengser kepabon atau mundur secara baik-baik. Secara konstitusional murni aku menyerahkan mandat kepada wakilku, seorang teknolog lugu dari kalangan sipil yang selama ini terang-terangan menganggapku sebagai “guru”. Akan kubiarkan dia memimpin negeri ini dengan segala kepolosan dan keluguannya. Dan seperti dugaanku, hari-hari pemerintahannya kemudian dihiasi dengan keributan dan kekerasan brutal yang memuncak di sana-sini. Para pembantu dan bekas-bekas pendukungku, bahkan kesatuan militer hingga organisasi agama, yang dulu memanfaatkan sarana-fasilitas dari Orde Baru, yang dulu kami berikan bantuan moril dan materil, kini semakin adu otot, saling tuding dan saling menyalahkan. Sudah kuduga sebelumnya, mereka kemudian menjadi petualang-petualang politik di tiap-tiap kota dan propinsi, berebut kursi dan kekuasaan, menjadi raja-raja kecil, seakan-akan akulah yang menjadi guru dan teladan bagi mereka semua. Sementara itu, para koruptor kakap yang selama ini menjadi kaki-tanganku, dengan lihainya menyembunyikan diri untuk mundur selangkah, serta membiarkan hutang negara menumpuk, hingga menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang mengakibatkan kerusuhan dan keributan terus merebak di seluruh penjuru negeri. Biar sajalah semuanya itu terjadi. Toh aku sudah menjadi masyarakat biasa, dan aku tak perlu tanggungjawab mengenai semua huru-hara dan kekacauan di negeri ini. Aku perintahkan seorang anakku untuk merawatku dengan baik-baik, seakan-akan aku menderita sakit permanen, atau – kalau perlu – pura-pura sakit jiwa, agar aku terselamatkan dari tuntutan pengadilan.
22 _____________ Partai-partai baru berdiri di sana-sini. Kekacauan semakin merebak di mana-mana. Angkatan muda menuntut agar aku beserta keluarga dan kroni-kroniku segera diadili atas pelanggaran HAM selama 32 tahun, juga tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mahkamah agung – sesuai lobi dan rancanganku – hanya memusatkan perhatian pada soal KKN, dan masyarakat pun sepertinya maklum. Sebelum itu, tentu saja sudah kuatur siasat dan strategi untuk menggelapkan, memalsukan serta memindah-tangankan semua nomor-nomor rekening atas namaku – baik di dalam dan luar negeri – hingga pembuktian materil tidak lengkap, dan karenanya tuntutan hukum bisa dimentahkan. Dan ketika saatnya diadakan pemeriksaan, orang-orang kejaksaan rupanya cukup lihai untuk menghimpun pertanyaan yang membuatku bisa berkelit ke sana kemari, hingga suasana tetap mengambang dan menemui jalan buntu. Ketika angkatan muda semakin berduyun-duyun memadati halaman kejaksaan agung, pemeriksaan pun dipindahkan ke tempat lain, tanpa sepengetahuan publik. Seketika itu para mahasiswa dan pemuda nampaknya sudah tidak bisa dikelabui lagi. Ada apa ini? Watak dan keberanian siapa yang mereka warisi? Perjuangan mereka sepertinya tanpa pamrih, dan atas dasar kemauan dan semangat mereka sendiri. Padahal pemuda angkatan ‘66 masih bisa diperalat dan dikelabui untuk menjatuhkan Soekarno, dengan berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan buat mereka. Tapi kali ini, coba bayangkan, mereka secara serentak meneriakkan yel-yel dan spandukspanduk bertuliskan: Bersihkan Kabinet dari Orang-orang Orde Baru Soeharto Dalang Semua Bencana Hentikan Penjajahan Gaya Orde Baru Rombak Badan Yudikatif Indonesia Bersihkan Aparat-aparat Hukum yang Tersangkut dengan Orde Baru Bung Karno dan Pendukungnya Harus Direhabilitasi Pada aksi-aksi demonstrasi di kampus-kampus dan jalanan, nampak pula spanduk-spanduk berbunyi: Usut Tuntas Surat Perintah Sebelas Maret Bubarkan 3 Partai Bentukan Orde Baru Jadikan Museum Lubang Buaya Sebagai Museum Rekayasa Orde Baru Tindak Tegas Para Perampok Hutan Perkuat Sistem Pertahanan Maritim Kita Revolusi Belum Selesai Kembalilah pada Bung Karno dan Semangat ‘45 23 _____________ Kini aku tidak mau lagi mengikuti berita-berita yang terjadi di negeri ini. Aku harus mengisi masa-masa tuaku dengan istirahat penuh di rumah, meskipun aku masih kuat untuk berziarah ke makam istriku di Solo, atau menengok anakku di Nusakambangan. Entah karena kesalahan apa dia bisa mendekam di sana (tak seorang pun memberitahu aku). Sekarang aku tidak peduli bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari, bahkan nasib bangsa ini pun, aku tak mau ambil pusing. Ya, aku hanya senang mengikuti acara-acara televisi yang menyiarkan perjudian dan kuis-kuis, seperti Who Want to be a Millioners, baik dari dalam dan luar negeri. Selain itu, aku tidak peduli dan tidak mau ambil pusing perihal demonstrasi, spanduk-spanduk dan yel-yel yang bertebaran di sana-sini. Biar sajalah pemuda
dan mahasiswa itu berteriak-teriak menggugat kami, toh mereka tidak paham tentang dunia hukum dan pengadilan Indonesia yang masih bisa disetting untuk bersikeras membelaku beserta kerabat dan saudara terdekatku. Kini aku sudah mempersiapkan pengacara-pengacara handal dan termahal di negeri ini, sambil kupancing daya tarik mereka agar bersimpati kepadaku. Mereka sudah kukerahkan untuk serentak tampil di depan publik, agar menyampaikan kesan-kesan baik tentang aku dan keluargaku. Aku berusaha bersikap sopan dan lembut di hadapan mereka, supaya mereka makin gigih dalam pembelaanya terhadap kami. Sampai kapanpun aku berusaha – dengan cara apapun – agar masyarakat Indonesia tetap menjadi bangsa-bangsa budak dan kuli, yang mudah diperalat dan dikelabui oleh segalamacam alasan dan perkataanku…. *** (Ditulis untuk menggugat buku “Sukarno File” karya Antonie CA Dake, dari hasil penelitian penulis selama 9 tahun, sekaligus sebagai korban langsung dari kejahatan rejim Soeharto dan Orde Baru). Hafis Azhari Ketua K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia )
Sumber: http://www.geocities.com/k2psi_lsm/artikel1.htmtarget="_blank">
Date: 2005/12/8 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=124
Remembering 30th September 1965: Introduction [01-04]
Remembering 30th September 1965: Introduction September 07, 2004 The last day of September marks the anniversary of the most infamous date in Indonesian history. Events on the evening of 30th September 1965 set off a chain of events that left up to 1 million Indonesians dead, slaughtered, their bodies buried, burnt or cast into the sea. President Sukarno survived the violence but was a political victim, deposed by a military general by the name of Suharto. Suharto, with Western patronage, would rule Indonesia for the next 22 years. Suharto’s iron grip on power ensured that the truth of the events on that fateful night would never be discussed. But since his departure in 1998 and the dawn of Reformasi, there have been murmurings. Mass graves have been uncovered. Survivors have raised their voices and fingers pointed at Suharto, blaming him for the coup and violence that followed. Even talk of an official government inquiry to uncover the truth. Many Indonesians wish never to speak of the horrific days and months that followed 30th September 1965; others are just plain ignorant, victims of institutional brain-washing; yet others seek to exhume the skeletons, grieve and let justice be done. Only then can Indonesia as a nation move on. The families of those who died deserve nothing less. So as we count down to the 39th anniversary of that infamous night over the coming weeks, Macam-Macam will bring a series of posts that seeks to retell the mystery-shrouded events of that night and the days that followed as well as touching on the alternate theories that have been put forward over the years to explain what happened and who was pulling the strings. Update: It seems that the DPR has passed a bill to establish a Truth and Reconciliation Commission with the aim of uncovering the truth behind the murderous excesses of the Suharto era, all the way back to the bloody war for independence, 1945-49. Source: Macam-Macam Australian excursions in South-East Asia http://www.theswanker.com/
Date: 2005/12/11
Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=136
Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster
Capitalism
Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism Apakah orde baru adalah pemerintahan boneka buatan Amerika? Inilah pertanyaan yang muncul di benak saya ketika membaca buku yang ditulis oleh Geoff Simons berjudul Indonesia: The Long Oppression. (London: MacMillan/N.Y.: St. Martin, July 2000). Sebagian besar dari uraian Simon tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan otoriter orde baru dalam buku setebal 304 halaman itu, bukanlah hal baru bagi masyarakat kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru. Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia pada khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis mendarat di bumi pertiwi pada abad ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam situasi terjajah dari kekuatan opresif yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri (orde baru). Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatorannya dengan darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada akhirnya, orde baru menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) sebut sebagai “sejarah korban” (Suara Pembaharuan, 3/11/2000). Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang, kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster capitalism, penguasa orde baru terus menerapkan system opresi yang tak berperikemanusiaan atas rakyat bangsanya sendiri, demi interest imperialisme kooperatif gaya baru, yang beraksi atas nama agung “globalization”. Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerintahan orde baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster capitalism itu berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo dan lain sebagainya. Tapi siapa harus mengeritik siapa? Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama masa pemerintahan
orde baru. Lewat coup d’etat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang setelah kejatuhan Soeharto dituduh sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini. Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang muncul sebelum dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing. Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup (1991), Terry Cavanagh melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia' (jewel of Asia). Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak bumi (Caltex di Sumatera) dan karet di negeri ini, pasti tidak mau kehilangan interest ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan eksploitasi kaum borjuis asing (termasuk Amerika) yang pada waktu itu menguasai sebagian besar kekayaan alam di negari ini. Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemeritahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia merupakan langkah konkrit Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI. Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS. Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan dictator orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini dengan melukiskan bahwa setelah kudeta 1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris bawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975. Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat berpengaruh selama masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto 1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas tiga bagian dan dipublikasikan oleh World Socialist Web Site (WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999), - secara tranparant melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA (agen rahasia Amerika), dalam keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer dibawah komando Soeharto. Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak bangsa yang selama 32 tahun diindroktinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis. Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa fugur-figur yang sekian lama dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkianat bangsa. Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi caci-maki atas pengkianatannya.
Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan transparansi sejarah versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk secara kritis meninjau kembali kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah bangsa kita. Karena sebuah bangsa yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah. Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses reformasi itu sendiri. Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman pada sejarah nasional yang kabur, seorang pengkianatpun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan. Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh penguasa yang otoriter bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita. Kalau kita mau memberikan sebuah contoh, sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa diangkat sebagai suatu perbandingan. Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser Showa masih menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh kaisar Showa selama perang dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa, Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia. Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang borok dan dikomando oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya, agak sulit bagi kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran bahwa sejarah ala orde baru adalah sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk segera menulis kembali sejarah bangsa dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan kukuh bagi generasi mendatang. Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya harus ditanggapi sebagai suarasuara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap terpaku pada kebanggaan hampa dan kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde baru untuk mengembangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan mengeksloitasi kekayaan alam di daerah itu. Dalam konteks kedasadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita bukan cuma boneka berlabel permata Asia (jewel of Asia). Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke 21. (Steven Mere, Mahasiswa Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang) 1
Date: 2005/7/17 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=15
Penjara LOWOKWARU 1965/1966
Catatan Seorang Eks Tapol Oleh : Harsutejo Pada pagi hari 1 Oktober 1965 aku tidak mendengarkan siaran apa pun, kami tidak memiliki pesawat radio. Aku baru mendengarnya pada sore hari di rumah teman, ketika Jendral Suharto bicara di radio. Maka hari-hari berikutnya diwarnai dengan berbagai perdebatan di kalangan kami beserta kebingungan dan ketakutan akan tindak kekerasan yang terjadi di banyak tempat. Perdebatan kian sengit ketika ada seruan kabur tak jelas yang bisa ditafsirkan macam-macam untuk menyelamatkan diri, seperti kata-kata defensif aktif. Apanya yang defensif, dan apanya yang aktif. Kemudian tiap hari orang digerebek, ditangkap, ditahan, dicomot. Selanjutnya berita lebih seram, orang dibantai baik yang digelandang dari tempat tinggalnya maupun dari tempat kerjanya, juga di jalanan, di tempat persembunyian, bahkan juga dari tempat tahanan dan penjara. Menyelamatkan diri dan menghindar dari penangkapan, bersembunyi? Menghadapi peristiwa lokal, tiap orang mampu melakukannya. Tapi ini peristiwa politik nasional dengan mobilisasi massa luar biasa. Hanya para profesional yang bisa lari dan bersembunyi dengan rapi, itu pun belum tentu berhasil terus menerus dalam jangka panjang. Kian ke pelosok, makin runyam keadaannya, di sana terjadi pembantaian di tempat. Sanak keluarga, teman, atau orang yang kau kenal baik, mungkin sedang diincar untuk diciduk nanti malam atau esok. Atau di antara orang itu justru ada yang akan menyeretmu ke mulut macan atau buaya. Akhir bulan Oktober 1965 isteriku sedang hamil tua anak kami pertama. Jam 3.00 pagi buta pintu rumah kami diketuk agak keras dan tidak sabaran. Setelah bangun aku bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Seperti telah terlatih beberapa minggu, isteriku yang membukakan pintu. Aku segera keluar kamar menemui mereka, seorang polisi dan tentara. Dengan sopan mereka mengemukakan maksudnya untuk mengamankan diriku, meski tidak ada ancaman orang, binatang, api, atau banjir yang membahayakan. Ini sekedar istilah konyol untuk kata menangkap, bagian dari setumpuk kosa kata ciptaan orde baru yang menyesatkan dan membodohi dan menipu. Kami baru beberapa hari pindah ke tempat baru itu, rumah tante isteriku yang hidup sendiri setelah ditinggal ibunya di Jl. Kenanga. Kami mendapatkan sebuah kamar. Kekayaan kami terdiri dari sebuah tempat tidur, sebuah almari pakaian dan dua rak buku kecil yang penuh. Terutama rak buku menjadi sasaran penggeledahan. Beberapa minggu sebelum G30S, di Jakarta telah terjadi demonstrasi besar anti India karena
sikap Sondhi, seorang India pengurus suatu badan olah raga Asia yang dipandang menghina Indonesia. Notabene demo itu dilakukan oleh golongan kiri. Rupanya sang polisi masih disegarkan ingatannya terhadap kejadian tersebut. Maka dikumpulkanlah semua buku saya yang berbau India untuk disitanya termasuk semua text books sejarah kebudayaan dan kesenian India, buku karya Rabindranath Tagore, riwayat hidup Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. Tentu saja buku yang berbau Rusia, apalagi terbitan Moskow, The Road To Life sebanyak tiga jilid karya Makarenko, seorang pedagog Rusia tersohor, juga diboyongnya. Percobaanku untuk menjelaskan bahwa itu semua buku-buku sejarah dan pendidikan sesuai dengan sekolah dan pekerjaanku, mendapatkan jawaban klasik, "Hanya untuk diperiksa, nanti dikembalikan." Barangkali jawaban demikian mengacu pada text books polisi. Bagaimana akan dikembalikan kalau tidak pernah dibuat berita acara penyitaan sementara. Tapi soal buku ini begitu remeh temeh terbanding urusan kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Di luar rumah ternyata berkumpul segerombolan orang yang mengawasi dengan berbagai alat kekerasan yang tajam maupun tumpul. Rupanya mereka menjadi kurang bernafsu setelah menyaksikan sang pesakitan cumalah seorang berbadan ceking yang sekali tepuk akan mampus. Buru-buru isteriku memberikan jaket untuk kukenakan beserta cucuran air mata. Mencinta itu saling mendidik. Ini bagian panjang dari proses percintaan kami dalam rumah tangga baru, ibarat pemahkotaan dan penyaliban sekaligus seperti yang digambarkan pujangga Khalil Gibran, tentu dalam skala mini saja. Pagi itu jalan-jalan kota Malang mulai menggeliat. Kami sampai ke Polresta Malang di pojok jalan Oro-oro Dowo dan Kayutangan. Setelah didata, aku diantar ke sebuah bangunan seperti los pasar. Di sana sudah ada barang 150 orang, ada yang tidur, duduk-duduk, rebahan, ada yang sedang salat. Beberapa orang telah kukenal, seorang dosen, pegawai penerangan, wartawan, mahasiswa. Ada juga seorang lurah yang telah kukenal ketika sebagai mahasiswa melakukan acara turun ke desa, di suatu pelosok Malang Selatan. Ia menceritakan kisah pelariannya setelah seluruh perangkat desanya dibantai habis di depan keluarganya masingmasing. Hanya secara kebetulan saja ia bisa selamat dan lari ke kota Malang, kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setelah menggelandang beberapa waktu. Ia tak tahu nasib anak isterinya. Tentunya cerita itu ulangan yang ke sekian kalinya meski masih dengan getar emosi. Ia menerima solidaritas teman-teman lain berupa ganti pakaian lengkap dengan sarung. Ia hanya berbekal naluri dan pikiran mnyelamatkan diri serta baju yang menempel. Banyak dari kami masih lebih beruntung daripada banyak orang lain yang langsung dibantai di tempat seperti Pak Marsidik, seorang Digulis, Heruliman yang langsung diantar ke kuburan untuk disembelih setelah dijemput dari tahanan. Betapa ironis, Heru pun disebut diamankan. Masih banyak kisah lain, satu keluarga dibantai di tempat sampai cindil abange, sampai bayinya yang masih merah di bawah pengawasan aparat. Itulah salah satu aspek kekenyalan budaya Jawa, masih merasa beruntung dalam keadaan sulit, mendorong optimisme, mengacu berpikir positif. Agaknya disebut juga rasa bersyukur. Meski begitu aku tak tahu bagaimana caranya seorang isteri dan ibu bersyukur, sedang ia menyaksikan sendiri pembantaian suami dan anak remajanya, anak satu-satunya. Dengan gampangan dan dingin bisa dijawab, ia patut bersyukur karena ia masih hidup dengan segala kemungkinan yang terbuka. Manusia bukan sekedar badan fisik apalagi angka, ia sekaligus pikiran, perasaan, pengalaman, intelektualita, juga emosi sedih marah sakit hati takut, dengan segala naluri dan keterikatannya. Pada hari ke lima penahananku, suatu malam beberapa puluh di antara kami disuruh bersiap dengan barang milik kami untuk dipindahkan ke suatu tempat tanpa disebutkan. Pemindahan itu pun tak diberitahukan kepada para keluarga. Ini juga suatu metode teror massal yang dilakukan penguasa kepada para keluarga tahanan. Beberapa orang benar-benar panik karena teringat Pak Lurah beserta beberapa orang lain yang dijemput polisi beserta sejumlah pemuda, selanjutnya raib untuk selamanya. Seorang polisi tanpa maksud menakuti-
nakuti menceritakan hal itu, mayat mereka dibuang ke Kali Brantas. Sementara itu isteriku termasuk sebarisan isteri para tahanan yang kebingungan mencari suaminya. Sampai di situ teror tersebut telah mencapai sasarannya. Kemudian hari isteriku menceritakan, ia datang tiap hari selama seminggu ke kantor polisi dengan perut buncitnya. Para petugas tetap tidak memberikan keterangan tentang keberadaanku, juga tak mengijinkannya bertemu Kapolres. Isteriku pun pergi ke Kodim dan Korem. Kedua instansi itu menyarankannya untuk ke kantor polisi. Dalam kekhawatiran dan ketakutan semacam itu bakat intelijen isteriku timbul. Ia bisa mendapatkan alamat rumah kepala polisi lengkap dengan nomor teleponnya. Beberapa teman dekatnya sangat mengkhawatirkan, bahkan mengecam langkah yang diambilnya sebagai membahayakan diri sendiri. Isteriku cukup gigih, orang lain menamainya keras kepala. Akhirnya ia mendapat kepastian akan keberadaanku. Sejumlah keluarga lain ikut mendapatkan manfaat. Meski ia tak dapat menemuiku, kirimannya berupa satu bungkus abon, satu bungkus sambal pecel, dan satu setel pakaian kusambut dengan sukacita. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan berita, sebenarnyalah isteriku mengirimkan lebih banyak dari yang kuterima. Itu bukan cerita baru, jeruji besi dan tembok tebal itu tidak cuma menyekap dan memisahkan orang dari dunia ramai, ia juga menggerogoti dan menyunat milik pesakitan yang sekarat sekali pun. Dalam keadaan sulit dan kritis, tanpa sadar orang membuka topengnya masing-masing. Dalam keadaan semacam itu, dengan mudah tanpa belajar psikologi, orang bisa mengamati dan mendapatkan potret kepribadian sebenarnya dari seseorang. Pada hari-hari pertama di penjara aku mendapatkan seseorang yang dikenal sebagai jago pidato berkelahi dengan seorang buta huruf untuk memperebutkan puntung rokok sipir penjara. Berdasar sejumlah pengalaman dapat kutarik kesimpulan sementara, dalam keadaan kritis darurat semacam itu perokok berat dengan cepat jatuh moralnya. Maaf perokok berat! Agaknya kebiasaan merokok dapat memberikan kontribusi negatif dalam kepribadian seseorang. Dan topeng-topeng lain pun pada tanggal. Seseorang menyembunyikan sebungkus permen, gula, dendeng kering, dan barang berharga lain untuk ukuran penjara, bagi diri sendiri, dan dijaganya dari jamahan orang lain. Di penjara orang bisa menyembunyikan sesuatu dari petugas, tapi tidak dari temannya sendiri. Untuk mengerti perilaku manusia, berbagai ilmu menganalisis tentang dorongan alamiah dan manusiawi untuk bertahan hidup. Dalam situasi penjara semacam itu, solidaritas dipandang sangat berharga, taruhan nilai-nilai bersama. Sementara para egois dipandang seperti nyamuk yang dalam tahap tertentu bisa berbahaya. Kalau seseorang begitu sayang terhadap sebungkus permennya tanpa menghiraukan orang lain yang sedang memerlukan energi, pada saat lain ia pun dapat menjual kepala temannya untuk sebungkus gula. Pada suatu hari seorang polisi yang tak kukenal masuk blok kami dan mencariku. Dengan berpura-pura omong keras ia menyelipkan sepucuk surat. Ia mengabarkan, isteriku telah melahirkan bayi laki-laki dan menunggu nama dariku. Aku menuliskan nama pada sepotong kertas yang disodorkannya untuk diteruskan pada isteriku. Di Lowokwaru aku sempat bertemu Goei Poo An, pemimpin redaksi dan pemilik koran Trompet Masjarakat Surabaya yang berada di sel berseberangan. Koran itu dikenal sebagai penyokong Bung Karno, pembela rakyat kecil serta dikelompokkan sebagai kiri. Koran tersebut beredar luas di Jawa Timur, aku telah mengenalnya sejak di SMP ketika menjadi loper koran. Pada hari-hari itu sel-sel di blok kami masih cukup mendapat pasokan makanan dari luar. Pada hari-hari pertama orang biasanya tak bisa makan jatah penjara, nasi yang keras dan bulukan di ompreng dekil. Aku sendiri pernah masuk dapur penjara ketika perploncoan, melihat sendiri bagaimana kondisi makanan dan kebersihannya. Tak aneh kalau di dalamnya tersimpan bekicot, kecoak dan yang lain. Setelah pasokan makanan dari luar surut, tak ada cara lain kecuali harus belajar bertahan hidup. Pada minggu ketiga kedatangan rombonganku, banyak di antara kami yang sulit tidur. Gelombang pemangggilan pada jam 2.00 3.00 pagi mulai lagi. Seorang dosen
FKIP, teman baikku, Drs.Adinegoro, seorang yang lembut dan santun serta penuh semangat,
beserta 60-an yang lain telah terpanggil ketika ditahan di belakang stasiun. Mereka semua tak
ada kabar beritanya, lenyap ditelan bumi.
Di kemudian hari kuketahui sebagian dari mereka dibantai di muara Kali Lesti, Gladakperak,
pantai selatan Malang.
Malam itu sebagian besar penghuni sel kami berjaga-jaga, beberapa orang tidur nyenyak. Hal
itu terjadi juga dengan sel-sel blok lain. Pada hari-hari berikutnya aku biasa tidur nyenyak
tanpa mendengar panggilan tersebut.
Ketika pagi kulihat sel-sel yang berhadapan dengan sel kami telah hampir kosong termasuk
Pak Goei. Orang-orang baru pun datang dan sel-sel itu penuh kembali. Tiap kali rombongan
baru datang, koleksi kisah-kisah seram pembantaian pun selalu bertambah. Pada suatu hari
seorang pelarian dari daerah Blitar mengisahkan kejadian di suatu rumah sakit. Pada suatu kali
rumah sakit didatangi gerombolan yang dijaga tentara dan menggelandang siapa saja yang
dikehendakinya. Di antara yang dicomot terdapat sejumlah pasien luka parah yang selamat
dari pembantaian beserta sejumlah pegawai rumah sakit. Semuanya dimusnahkan. Rumah
sakit dituduh melindungi pelarian PKI, tuduhan maut. Kami mendengar teman kami Drs.
Mulyakno, seorang guru yang isterinya baru saja melahirkan, telah lenyap dari penjara Blitar
beserta banyak orang lain termasuk dua orang guru saudara sepupuku, Mas Hardi dan Mas
Harlan.
Seorang teman karena kekeliruan nama di kembalikan lagi ke sel setelah ia sempat melihat
teman-teman lain diikat kedua tangannya, kemudian dimasukkan ke truk-truk yang siaga di
dekat gerbang bagian dalam, jauh dari sel kami.
Kebusukan merebak ke hidung kami melalui berbagai sumber, nara pidana, sipir, polisi,
tentara. Mereka manusia biasa lengkap dengan emosi dan perasaannya, yang suatu kali tak
bisa menahan untuk tidak bicara. Truk-truk itu dilarikan ke beberapa tujuan yang telah
ditetapkan ke luar kota yang terpencil. Lubang-lubang besar telah disiapkan beserta
segerombolan pembantai dengan segala macam senjata tajamnya. Pemusnahan demi
pemusnahan di pagi buta, ketika ayam jantan berkokok di balik kebun dan sawah di kejauhan.
Ketakutan merupakan sesuatu yang amat manusiawi. Berhari-hari Mas Karno, seorang sarjana
ekonomi, ketika di luar kami anggap pemimpin. Ia selalu dalam keadaan panik, gemetar, susah
makan, tapi sering ke belakang. Ia mondar-mandir menyebarkan kepanikan dan ketakutannya.
Ia sebal ketika kubilang bahwa segala kekhawatiran dan keluhan tidak membuat keadaan lebih
baik, tidak membuat kita dibebaskan. Yang bisa dilakukan adalah pasrah, menjaga kesehatan
fisik dan mental dalam solidaritas. Betapa mudah diucapkan. Kalau anda mengalaminya,
terpulang pada diri sendiri. Mampukah kamu mendidik diri sendiri setelah menerima sejumlah
pendidikan yang benar maupun yang salah. Dalam kenyataannya yang disebut pasrah dan
solidaritas itu tidak gampang dilaksanakan, juga dalam kesulitan bersama. Ego sejumlah
manusia tidak surut. Topeng-topeng berguguran tanpa rencana, menelanjangi sejumlah egois
yang tak mampu meningkatkan diri. Ini semua tak ada hubungan sejajar dengan kedudukan
seseorang ketika masa damai, kursus politik yang telah ditempuhnya, ilmu yang telah
ditimbanya. Tentu saja hal-hal itu bisa berdampak pada kepribadian orang, positif maupun
negatif. Agaknya kemampuan mendidik diri sendiri adalah salah satu kuncinya.
Di penjara itu Bung Amir Syarifudin pernah disekap dan disiksa oleh penguasa Jepang dengan
digantung. Yang dialami ratusan teman kami lebih ringkas, langsung digelandang dan
dibunuh. Selama di Lowokwaru aku sempat merenungkan kembali tentang berbagai kejadian
yang telah lewat. Terngiang kembali kata-kata dokter Sudarsono, tokoh PSI, mantan menteri
dan duta besar, kebetulan adik ibu mertuaku, ketika itu pejabat tinggi di Deplu. Sepulang dari
kongres HSI bulan Agustus 1965 aku mampir ke rumahnya di Jl. Utankayu.
Ia nyeletuk, "Hati-hati kamu, PKI mau brontak lagi!" Aku menganggapnya sebagai bercanda
seperti sering terjadi. Dengan perkembangan kejadian adakah ini berarti datangnya peristiwa
tersebut bukan rahasia bagi mereka? Lalu retorika Aidit tentang revolusi dan merelakan cangkir piring pecah berantakan. Hal itu disampaikannya dalam pertemuannya dengan beberapa peserta kongres HSI. Perdebatan terjadi di kalangan utusan kongres, kemudian diredam oleh pemegang otoritas. Pemberontakan? Siapa terhadap siapa? Revolusi? Sebuah kosa kata dengan batas-batas amat luas. Apa revolusi bisa dirancang dan dibikin? Perdebatan politik dan ideologi sejak abad lampau, sampai juga ke penjara Lowokwaru. Apa revolusi hanya urusan beberapa gelintir pemimpin dan komandan tentara? Kudeta militer, nah ini yang jejaknya mudah dilihat dalam rentetan kejadian. Sebagian dari kami menamainya sebagai petualangan militer, itu terlepas dari segala yang kemudian menimpa kami secara kelompok dan pribadi. Pagi itu tiba-tiba Drs Amim dan Drs Harsomo menerima panggilan. Selama ini interogasi yang kualami biasanya bersifat agak massal, beberapa orang sekaligus berderet-deret. Aku giliran pertama dipanggil. Ketika menghadap, pejabat itu memperkenalkan diri sebagai Letkol Sutrasno SH, Komandan Korem 83, Malang. Ia sebagai ketua tim pemeriksa langsung menembakku dengan pernyataan, "Jadi saudara yang membacakan pernyataan HSI menyokong Dewan Revolusi di RRI Malang pada 1 Oktober malam itu?" Aku pura-pura tak menangkap pertanyaannya dan meminta diulangi. Secara kebetulan pada malam hari tanggal tersebut aku mengisi acara di RRI Malang seperti telah dijadwalkan jauh sebelumnya. Topiknya tiada lain dari urusan revolusi berdasar ajaran Bung Karno. Untuk pertama kalinya keberadaanku pada hari genting itu di RRI dipertanyakan. Selanjutnya kami berbincang tentang keluarga, pendidikan, pekerjaan. Akhirnya ia mengabarkan bahwa isteri dan anakku yang baru lahir dalam keadaan baik. Tak terbayang bagiku bahwa isteriku pun rupanya menghubungi pejabat ini. Seminggu setelah interogasi yang aneh itu, bulan Januari 1966 kami berdua dipanggil kembali. Kali ini dibawa dengan mobil pesakitan menuju Polres. Kami berdua tak tahu apa yang akan kami hadapi, petugas yang membawa kami hanya memberitahukan tempat tujuan. Kami dikawal memasuki ruang di samping kantor Kapolres Letkol Drs Suhartono. Ternyata di sana telah menanti isteri dan anak kami masing-masing yang baru berumur empat minggu. Para isteri segera mencucurkan air mata dan sesenggukan dalam pelukan suami masing-masing. Dengan ukuran jaman itu, kenyataan ini sesuatu yang langka. Segala sesuatu hampir tanpa aturan, kecuali kekuasaan di bawah clurit dan laras senjata. Aku merasa dimanja benar oleh hidup ini, menatap wajah isteriku, bersama mencium bayi kami, sementara banyak teman lain kemarin atau esok, dirampas seluruh hak hidup mereka, dikubur massal entah di mana, atau mayatnya dilempar ke kali. Kemewahan yang kualami itu hanya berlangsung selama setengah jam. Dalam keterbatasan penjara akal sejumlah orang amat berguna bagi orang banyak. Tidak boleh ada pisau atau silet atau benda tajam apa pun yang lain? Sekeping pecahan botol bisa menjadi pisau cukur memadai. Sepotong paku atau besi apa saja bisa dijadikan pisau tajam. Sebuah kaleng bekas susu dengan mudah menjadi kompor minyak. Sekerat tulang tebal dan sepotong kayu keras, itu barang berharga yang bisa disulap jadi benda-benda seni. Hal-hal semacam itu sudah pernah aku dengar dan baca, bagaimana para tahanan kamp Nazi dapat membuat radio, bahkan pemancar sendiri. Manusia dikaruniai nalar dan kreativitas, tapi manusia juga mampu memasung dan menghancurkan keduanya. Ada berbagai cara orang menyusun kalender. Ada yang menyusunnya pada potonganpotongan kecil kertas sampai akhir tahun berikutnya. Yang banyak dilakukan coretan di tembok sel. Sementara orang menghitung sebulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya dengan harapan dalam hitungan bulan akan dibebaskan, sedang ia melihat sendiri di depan hidungnya serombongan orang dibawa pergi dan lenyap. Adakah ia merasa memiliki keistimewaan untuk terpilih dibebaskan, atau harapan biasa saja untuk bertahan hidup. Dengan memahami perkembangan kekuasaan Jendral Suharto, kami tak ingin memiliki mimpi yang
menyesatkan. Aku meledek Mas Karno dengan mengatakan bahwa kita akan tinggal di penjara bukan enam atau tujuh bulan, tapi enam atau tujuh tahun atau bahkan lebih. Ia marah dan menuduhku sebagai pesimis dan menyebarkan pesimisme. Pada bulan ke empat beberapa orang di blok kami dipindah ke blok lain yang hanya terdiri dari dua sel kecil, masing-masing dengan lima penghuni. Aku berkumpul dengan Pak Jarwo, seorang pengusaha kota Malang yang cukup beken. Terdapat peralatan memadai seperti kompor kaleng susu yang dibarter dari blok lain. Terdapat pasokan makanan dengan tetap dari luar lewat jalur sang penguasaha kaya. Di jaman itu kami belum mengenal peralatan elektronik kecil dengan kapasitas besar. Kelak Pak Jarwo dan beberapa teman lain dicomot dan lenyap tanpa jejak. Maka kekayaannya yang berupa beberapa rumah tinggal, toko buku, percetakan, pabrik rokok, kendaraan, dan yang lain diambil alih oleh para penguasa baju hijau menjadi bancaan seperti warisan moyangnya. Kelak aku juga mengetahui sebenarnyalah namaku bersama Drs Amim tercantum dalam daftar mereka yang harus dilenyapkan. Penguasa ketika itu menggolongkan sarjana dan kaum cendekiawan kiri sebagai kelompok amat berbahaya. Kelak aku juga mendengar samar-samar pencoretan nama kami dari daftar berkat campur tangan Letkol Sutrasno SH atau dan Letkol Polisi Drs Suhartono. Aku baru mengenal keduanya ketika ditahan. Beberapa tahun kemudian baru kudengar bahwa Letkol Sutrasno diberhentikan dari jabatannya. Setelah enam bulan ditahan, pagi itu aku dan Drs Amim lagi-lagi dipangggil untuk segera berkemas. Seorang sipir berbisik bahwa kami berdua dibebaskan. Meski kami sempat gembira tapi kami tak bisa mempercayainya. Kami pun membenahi barang kami lengkap termasuk bantal dan tikar sesuai dengan saran teman-teman. Pemindahan tahanan termasuk pemindahan ke alam baka tidak pernah diberitahukan dengan jelas. Berjam-jam kami berdua berada di sebuah ruangan tertutup Kodim Malang di Jl. Kahuripan. Sekitar jam dua siang seseorang memasukkan dua nasi bungkus. Menjelang sore kami berdua sudah kehabisan gairah dan bahan percakapan, juga persediaan air putih. Jam enam, jam tujuh, jam delapan, jam sembilan baru kami berdua dipanggil menghadap seorang mayor. Kami dibebaskan dengan wajib lapor. Kami harus menandatangani setumpuk kertas yang hampir-hampir tak sempat kami baca. Aku dijemput Nyak Alan, adik iparku. Dengan becak kami menuju Jl. Muria 6, rumah mertuaku, tempat isteri dan anakku tinggal setelah penangkapanku. Adik ipar ini pernah ditahan sebentar dan wajib lapor. Ia tidak takut menjemputku. Harap maklum, rezim berkuasa telah membuat stigma, mengkondisikan masyarakat untuk jeri berhu bungan dengan tapol atau bekas tapol karena akan dikucilkan, dipecat, ditangkap, ditahan, bahkan dibunuh. Ketika berada di penjara aku dipecat sebagai dosen, tanpa surat pemecatan. Pak Dwidjo, Rektor IKIP ketika itu datang menemui isteriku, menyatakan ikut prihatin. Tak lama kemudian kedudukannya diganti oleh orang lain. Aku mencatat nama beliau sebagai seorang yang jujur dan penuh rasa kemanusiaan, pengabdi pendidikan. Kelak aku mendengar sampai beberapa tahun kemudian namaku masih tercantum dalam daftar gaji. Tiap bulan seseorang telah menandatanganinya. Emploken! Beberapa minggu setelah dibebaskan aku diijinkan oleh pejabat tempat aku wajib lapor untuk pindah ke Surabaya dengan alamat yang kukarang sendiri. Selanjutnya dengan bantuan saudara dan teman aku lari ke hutan rimba Jakarta. Dengan berdebar dapat kuikuti berita ditangkapnya kembali bahkan dibunuhnya teman-teman yang telah dibebaskan bersamaku, di antaranya mas Nuryono, kemenakan Pak Jarwo. [Jakapermai2000].Subject: PENJARA LOWOKWARU 1965/1966 Catatan Seorang Eks Tapol PENJARA LOWOKWARU
1965/1966
(MALANG)
Date: 2005/9/14 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=35
G30S, Terlibatkah Soeharto?
G30S, Terlibatkah Soeharto? Tulisan oleh James Luhulima ini, dimuat di Kompas, pada tanggal 27 Oktober, 2004, Kompas, 27 Oktober 2004 - SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri. Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi. Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain. Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red). Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora),
dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra,
menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia
telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30
September 1965 itu.
Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan
menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada
Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang
peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai
Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang
ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.
Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6
September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula
upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda
tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi
oleh Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu
pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak
mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah
biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.
Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998,
muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade
3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan
tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi
mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21
September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5
Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama".
Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan
"perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari
anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah
serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota
pasukannya juga terlibat dalam peristiwa G30S.
Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai
akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September 1965, atau sembilan
hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur
garis pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan
"gerakannya".
Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto,
mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam
Karuzzaman.
Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan
pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat
orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-
tanya apa yang sesungguhnya terjadi.
Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya,
maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya,
termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk
dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa G30S.
Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu, Panglima Kostrad). Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S. Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional, Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik. Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah Angkatan Darat. PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro. Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad. Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil (toilet). Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi. Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room. Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan. Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang penembakan tersebut. Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut." Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan jelas…"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Utara. Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati. Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi secara langsung. Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana. Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V. Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya. Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan
informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk menghindari pertumpahan darah. Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya. Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S. Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS. Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965. Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada. Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang Widjanarko sebagai orang yang menyerahkan surat Untung tentang penjemputan paksa para jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September 1965 malam. Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? (Kutipan dari tulisan James Luhulima, selesai)
Date: 2005/9/19 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=38
US And British Complicity In Indonesia 1965
US And British Complicity In Indonesia 1965 by Mark Curtis October 21, 2002 US officials at the time called a “reign of terror” and British officials “ruthless terror”. However, unlike the terrorists responsible for the outrage of September 11, precisely nothing has ever been done to bring those responsible in Indonesia – and their supporters in Washington and London - to account. The killings in Indonesia started when a group of army officers loyal to President Sukarno assassinated several generals on 30 September 1965. They believed the generals were about to stage a coup to overthrow Sukarno. The instability, however, provided other anti-Sukarno generals, led by General Suharto, with an excuse for the army to move against a powerful and popular political faction with mass support, the Indonesian Communist Party (PKI). It did so brutally: in a few months hundreds of thousands of PKI members and ordinary people were killed and the PKI destroyed. Suharto emerged as leader and instituted a repressive regime that lasted until 1998. The declassified documents show five ways in which the US and Britain were complicit in this slaughter. First, both the US and Britain wanted the army to act and encouraged them to do it. US officials expressed their hope of “army at long last to act effectively against Communists” [sic]. “We are, as always, sympathetic to army’s desire to eliminate communist influence” and ”it is important to assure the army of our full support of its efforts to crush the PKI”, other officials noted. The British were equally enthusiastic. “I have never concealed from you my belief that a little shooting in Indonesia would be an essential preliminary to effective change”, the ambassador in Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, informed the Foreign Office on 5 October. The following day the Foreign Office in London stated that “the crucial question still remains whether the Generals will pluck up enough courage to take decisive action against the PKI”. Later it noted that “we must surely prefer an Army to a Communist regime” and declared: “It seems pretty clear that the Generals are going to need all the help they can get and accept without being tagged as hopelessly pro-Western, if they are going to be able to gain ascendancy over the Communists. In the short run, and while the present confusion continues, we can hardly go wrong by tacitly backing the Generals”. British policy was “to encourage the emergence of a General’s regime”, one intelligence official explained.
Support for army actions continued throughout the period of the worst killings; there is no question that US and British officials knew exactly what they were supporting. US Ambassador Marshall Green noted three weeks after the attempted coup and with the killings having begun, that “Army has… been working hard at destroying PKI and I, for one, have increasing respect for its determination and organisation in carrying out this crucial assignment”. Green noted in the same despatch the “execution of PKI cadres”, putting the figure at “several hundred of them” in “Djakarta area alone” [sic]. “To date, army has performed far better than anticipated in attacking PKI and regrouping”. On 1 November, Green informed the State Department of the army’s “moving relentlessly to exterminate the PKI as far as that is possible to do”. Three days later he noted that “Embassy and USG generally sympathetic with and admiring of what army doing” [sic]. Four days after this the US Embassy reported that the Army and allied elements “has continued systematic drive to destroy PKI in northern Sumatra with wholesale killings reported”. By 16 November, the US Consulate in Medan was reporting that “much indiscriminate killing is taking place”. “Something like a reign of terror against PKI is taking place. This terror is not discriminating very carefully between PKI leaders and ordinary PKI members with no ideological bond to the party”. A British official reported on 25 November that “PKI men and women are being executed in very large numbers”. By mid December the State Department noted approvingly that “Indonesian military leaders’ campaign to destroy PKI is moving fairly swiftly and smoothly”. By 14 February 1966 Ambassador Green could note that “the PKI has been destroyed as an effective political force for some time to come” and that “the Communists…have been decimated by wholesale massacre”. The British files reveal that by January the US estimated the number of dead at 150,000, although one Indonesian armed forces liaison officer told US attaches of a figure of 500,000. By March one British official wondered “how much of it [the PKI] is left, after six months of killing” and believed that over 200,000 had been killed in Sumatra alone. By April, the US Embassy stated that “we frankly do not know whether the real figure is closer to 100,000 or 1,000,000 but believe it wiser to err on the side of the lower estimates, especially when questioned by the press”. Summarising the events of 1965 the British Consul in Medan referred to the army by noting that: “Posing as saviours of the nation from a communist terror, they unleashed a ruthless terror of their own, the scare of which will take many years to heal.” Another British memo referred to the “an operation carried out on a very large scale and often with appalling savagery”. Another simply referred to the “bloodbath”. The US and British files reveal total support for these massacres. I could find no reference to any concern about the extent of killing at all - other than constant encouragement for the army to continue. And it was not only PKI activists who were the targets of this terror. As the British files show, many of the victims were the “merest rank and file “ of the PKI who were “often no more than bewildered peasants who give the wrong answer on a dark night to bloodthirsty hooligans bent on violence”, with the connivance of the army. The second way in the US and Britain supported the slaughter concerned the “Confrontation” between Malaya and Indonesia. Here, Britain had deployed tens of thousands troops, mainly in Borneo, to defend Malaya against possible Indonesian encroachments following territorial claims. British policy “did not want to distract the Indonesian army by getting them engaged in fighting in Borneo and so discourage them from the attempts which they now seem to be making to deal with the PKI”. British Ambassador Gilchrist proposed that “we should get
word to the Generals that we shall not attack them whilst they are chasing the PKI”, described as a “necessary task”. In October the British passed to the Generals, through a US contact “a carefully phrased oral message about not biting the Generals in the back for the present”. The US files confirm that the message from the US, conveyed on 14 October, read: “First, we wish to assure you that we have no intention of interfering Indonesian internal affairs directly or indirectly. Second, we have good reason to believe that none of our allies intend to initiate any offensive action against Indonesia” [sic]. The message was greatly welcomed by the army: One of the Indonesian Defence Minister’s aides noted that “this was just what was needed by way of assurances that we (the army) weren’t going to be hit from all angles as we moved to straighten things out here”. Third is the “hit list” of targets supplied by the US to the Indonesian army. As the journalist Kathy Kadane has revealed, as many as 5,000 names of provincial, city and other local PKI committee members and leaders of the mass organisations of the PKI, such as the national labour federation, women’s and youth groups, were passed on the Generals, many of whom were subsequently killed. “It really was a big help to the army” noted Robert Martens, a former member of the US embassy. “They probably killed a lot of people and I probably have a lot of blood on my hands, but that’s not all bad. There’s a time when you have to strike hard at a decisive moment”. The declassified US files do not provide many further details about the provision of this hit list, although they do confirm it. One list of names, for example, was passed to the Indonesians in December 1965 and “is apparently being used by Indonesian security authorities who seem to lack even the simplest overt information on PKI leadership at the time”. It also notes that “lists of other officials in the PKI affiliates, Partindo and Baperki were also provided to GOI [Government of Indonesia] officials at their request”. The fourth means of support was propaganda operations. On 5 October a “political adviser” at the British intelligence base in Singapore reported to the Foreign Office in London that: “we should not miss the present opportunity to use the situation to our advantage… I recommend that we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the army and the people of Indonesia”. The Foreign Office replied: “We certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar [psychological warfare] activities which would contribute to weakening the PKI permanently. We therefore agree with the [above] recommendation… Suitable propaganda themes might be… Chinese interference in particular arms shipments; PKI subverting Indonesia as agents of foreign communists”. On 9 October the political adviser confirmed that “we have made arrangements for distribution of certain unattributable material based on the general guidance” in the Foreign Office memo. This involved “promoting and coordinating publicity” critical of the Sukarno government to “news agencies, newspapers and radio”. “The impact has been considerable”, one file notes. The fifth means of support was provision of equipment - although this remains the murkiest area to uncover. Past US support to the military “should have established clearly in minds Army leaders that US stands behind them if they should need help”, the State Department noted. US strategy was to “avoid overt involvement in the power struggle but… indicate, clearly but covertly, to key Army officers our desire to assist where we can.” The first US supplies to the Indonesian army were radio equipment “to help in internal security” and to help the Generals “in their task of overcoming the Communists”, as British Ambassador Gilchrist out it. The US historian Gabriel Kolko has shown that in early November 1965 the US received a request from the Generals to “arm Moslem and nationalist
youths…for use against the PKI”. The recently published files confirm this approach from the Indonesians. On 1 November Ambassador Green cabled Washington that “as to the provision of small arms I would be leery about telling army we are in position to provide same, although we should act, not close our minds to this possibility… We could explore availability of small arms stocks, preferable of non-US origin, which could be obtained without any overt US government involvement. We might also examine channels through which we could, if necessary, provide covert assistance to army for purchase of weapons”. A CIA memo of 9 November stated that the US should avoid being “too hesitant about the propriety of extending such assistance provided we can do so covertly, in a manner which will not embarrass them or embarrass our government”. It then noted that mechanisms exist or can be created to deliver “any of the types of the materiel requested to date in reasonable quantities”. One line of text is then not declassified before the memo notes: “The same can be said of purchasers and transfer agents for such items as small arms, medicine and other items requested.” The memo goes on to note that “we do not propose that the Indonesian army be furnished such equipment at this time”. However, “if the Army leaders justify their needs in detail…it is likely that at least will help ensure their success and provide the basis for future collaboration with the US”. “The means for covert implementation” for the delivery of arms “are within our capabilities”. In response to the Indonesia request for arms, Kolko has shown that the US promised to provide such covert aid, and dubbed them “medicines”. The declassified files state that “the Army really needed the medicines” and that the US was keen to indicate “approval in a practical way of the actions of the Indonesian army”. The extent of arms provided is not revealed in the files but the amount “the medicines would cost was a mere pittance compared with the advantages that might accrue to the US as a result of ‘getting in on the ground floor’”, one file reads. A meeting in Washington of 4 December approved the provision of such “medicines”. The British knew of these arms supplies and it is likely they also approved them. Britain was initially reluctant to see US equipment go to the Generals lest it be used in the “Confrontation”. Thus the British files show that the US State Department had “undertaken to consult with us before they do anything to support the Generals”. It is possible that the US reneged on this commitment; however, in earlier discussions about this possibility, a British official at the embassy in Washington noted that “I do not think that is very likely”. The British files in particular show very close relations between the US and British embassies in Jakarta. They point to a somewhat coordinated joint US-UK operation to help install a Generals regime and bring about a government more favourable to Western economic and political interests. The Indonesia campaign is one of the most bloody in the postwar history of US-UK collaboration that includes the joint overthrow of the Musaddiq regime in Iran in 1953, the removal of the population of the British island of Diego Garcia to make way for a US military base in 1965, UK support for US aggression in Vietnam, Central America, Grenada, Panama and Libya and covert operations in Cambodia and Afghanistan. The current phase of the special relationship is witnessed in joint military operations in Iraq and Afghanistan. Basic US and British concerns and priorities regarding mid-1960s Indonesia are laid out in the files. For the British the importance of Southeast Asia was partly explained by the fact that “Southeast Asia is a major producer of some essential commodities” such as rubber, copra and chromuim ore. “Economically, Southeast Asia is a major producer of raw materials… and the defence of the sources of these products and their denial to a possible enemy are major interests to the Western powers”. Indonesia also “occupies a key position in world communications”, straddling important sea and air routes. And Britain wanted, of course, to
see a change in regime in Jakarta to bring an end to the “Confrontation” with Malaya. British Foreign Secretary Michel Stewart wrote at the time that “it is only the economic chaos of Indonesia which prevents that country from offering great potential opportunities to British exporters. If there is going to be a deal in Indonesia… I think we ought to take an act and try to secure a slice of the cake ourselves”. The British feared “the resurgence of Communist and radical nationalism”. For the US, Under Secretary of State George Ball had noted that Indonesia “may be more important to us than South V-N [Vietnam]” (251). “At stake”, one US memo read, “are 100 million people, vast potential resources and a strategically important chain of islands”. Basic US priorities were virtually identical in Vietnam and Indonesia: to prevent the consolidation of an independent nationalist regime, with communist components and sympathies, that threatened Western economic and political interests and that could act as a successful development model. The US Ambassador in Malaysia cabled Washington a year before the October 1965 events in Indonesia saying that “our difficulties with Indonesia stem basically from deliberate, positive GOI [Government of Indonesia] strategy of seeking to push Britain and the US out of Southeast Asia”. Ball noted in March 1965 that “our relations with Indonesia are on the verge of falling apart”. “Not only has the management of the American rubber plants been taken over, but there are dangers of an imminent seizure of the American oil companies”. The Sukarno regime clearly had the wrong priorities. According to one US report: “the government occupies a dominant position in basic industry, public utilities, internal transportation and communication”. “It is probable that private ownership will disappear and may be succeeded by some form of production-profit-sharing contract arrangements to be applied to all foreign in vestment”. Overall, “the avowed Indonesian objective is ‘to stand on their own feet’ in developing their economy, free from foreign, especially Western, influence” – clearly all heretical priorities to basic US-UK strategy that – as today - needed to be defeated. The problem with the PKI was not so much its communism but its nationalism: “it is likely that PKI foreign policy decisions, like those of Sukarno, would stress Indonesian national interests above those of Peking, Moscow or international communism in general”, one memo reads. The real danger of a Communist Indonesia was outlined in a Special National Intelligence Estimate of 1 September 1965. This referred to the PKI’s moving “to energize and unite the Indonesia nation” and stated that “if these efforts succeeded, Indonesia would provide a powerful example for the underdeveloped world and hence a credit to communism and a setback for Western prestige”. The problem was that Indonesia would be too successful, a fear in the minds of US planners well documented by Kolko and Noam Chomsky in policy towards numerous other countries. The Army was by no means the perfect ally of the US in Indonesia – as the files note, it “was strongly nationalist in orientation and strongly favours the takeover of Western economic interests”. Nevertheless in the choice between Sukarno and the PKI on the one hand and the army on the other, “the army deserves our support”. And over time a combination of Western advice, aid and investment did transform the Indonesian economy into one that, although retaining an important nationalist element, provided substantial opportunities and profits for Western investors, aided by an increasingly corrupt President Suharto. The West supported Suharto throughout the three-decade long rule of repression, including in the regime’s murderous policies in East Timor after the invasion of 1975. The hundreds of thousands of deaths then were as irrelevant to US and British officials as those in 1965.
For notes and sources, see the forthcoming book, The Web of Deceit: Britain’s Real Role in the World, Vintage, 2003. Mark Curtis can be contacted at
[email protected].. He is the author of The Great Deception: Anglo-American Power and World Order, Pluto, London (www.plutobooks.com) Note: The US files referred to were published last year in the Foreign Relations of the United States series by the US Government Printing Office. British files are in Public Record Office, London. source: Znet http://www.zmag.org/content/showarticle.cfm?ItemID=2521
Date: 2005/9/29 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=42
Flashback: Tragedi Nasional 30 September '65
Para pembaca yang terhormat, Siapa saja yang ingin mencari "kebersihan Tragedi Nasional 30 September'65" harus berusaha menjelujuri seluruh sejarah perkembangan Republik Indonesia, dari hari Proklamasi Kemerdekaan R.I. s/d terjadinya Tragedi Nasional tersebut dan sampai hari ini. Dibawah ini sedikit flashback: Tragedi Nasional 30 September '65 adalah satu bagian matarantai dari aktivitas kaum Kolonial, terutama kaum Kolonial Belanda, dalam usaha untuk mempertahankan dan merehabilitasi kembali kekuasaan Kolonialisme diatas wilayah Republik Indonesia. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak henti-hentinya serangan dan subversi kaum Kolonial Belanda, menyerang dan melakukan subversi untuk menghancurkan Republik Indonesia. Agresi Belanda I dan ke-II. Pengkhianatan kekuatan politik yang pro kaum Kolonial Belanda didalam RI, seperti "joint venture" Pemerintahan Hatta-Sukiman dengan kaum Kolonial Belanda yang diwakili oleh van Mook yang melahirkan Red drive proposal, dan kemudian dikenal dengan apa yang dinamakan Peristiwa Madiun, dimana Pemerintahan Hatta-Sukiman dan bersama dengan Perwira TNI AD di Kementerian Pertahanan menterror/membunuh pada Pejuang, Pendiri dan Pembela RI, karena mereka adalah aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia. Republik Indonesia dengan aksi yang demikian dilemahkan, baiknya Presiden RI. Soekarno masih berada dalam kekuasaan Negara, sebagai Presiden RI., karena Presiden Soekarno mendapat kepercayaan Rakyat Indonesia yang tanpa batas. Selanjutnya, Col.TNI AD Zulkifli Lubis membawa Meriam ke Istana Negara, menodong Presiden Soekarno untuk meletakkan jabatan sebagai Presiden R.I. Usaha coup d'etat Col.Zulkifli Lubis gagal. Justru itu, kaum Kolonial Belanda dengan bantuan antek-antek mereka dalam kekuasaan RI, selanjutnya mengorganisasi DII & TII Kartosuwiryo di JawaBarat dan DII & TII Daud Bereuh di Aceh yang berfungsi menterror/membunuh PimpinanPimpinan Serikat Buruh dan Tani di Perkebunan-Perkebunan Teh, Karet,etc., karena kaum Kolonial Belanda masih beranggaban bahwa Perkebunan-Perkebunan tsb. adalah hakmilik mereka. Anehnya, Kementerian Pertahanan dibawah Jendral Nasution dan para Perwira TNI AD takpernah berhasil menangkap Kartosuwiryo atau Daud Bereuh. Selanjutnya, diorganisasi Gerakan Separatisme hampir diseluruh wilayah RI, seperti apa yang dinamakan PRRI, PERMESTA, RMS, dan lain-lain seperti itu, untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah Pimpinan Presiden Soekarno. Fungsi utama dari Perwira-Perwira TNI AD pada Gerakan Separatisme tsb. yalah menterror/membunuh Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota PKI, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota
Serikat Buruh, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota Barisan Tani Indonesia, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Pemuda Rakyat,CGMI, etc. Kita kenal pembunuhan massal terhadap Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Partai dan Organisasi-Organisasi tersebut diatas seperti di Situjuh-Payakumbuh Sumatra-Barat atas perintah Perwira TNI AD Col.Ahmad Husen, dan yang seperti itu, ratusan banyaknya disepanjang wilayah RI. Mereka tidak memberontak, mereka tidak melakukan Gerakan Separatisme melawan RI., tapi mereka di terror, dibunuh tanpa prozes apapun. Hak Azasi Manusia? Convention Geneva yang mengatur Hak-Hak Asasi? Atau "Bill of Right" dari PBB yang menyatakan, bahwa "dignity of the people is inviolable?". Jendral A.H.Nasution sebagai Perwira TNI didikan kaum Kolonial Belanda di Breda dan para Jendral TNI AD lainnya, tidak pernah mengenal/mendengar mengenai Hak Azasi Manusia. Komando Militer didaerah KODAM menentukan hidup atau mati seseorang warganegara RI, terutama kalau person tsb. angota PKI, maka Hak-Kewarganegaraannya dirampas, diperkosa, ditahan tanpa prozes apapun, atau ditembak mati dan hilang taktentu rimbanya. Col.TNI AD Ahmad Husen, Col.TNI AD Simbolon dan yang lain-lainnya seperti itu, yang memberontak, mengadakan Gerakan Separatisme melawan RI. dianugrahi "Bintang Jasa" kehidupan mewah dibawah Kementrian Pertahan di Jakarta. Para Gubernur di Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Komando Militer-KODAMsetempat. Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Perwira KODIM, pun Camat dan Lurah ditentukan Komando Distrik Militer setempat. Status ini dinamakan Jendral A.H.Nasution sebagai SOB. Jendral A.H.Nasution harus mempergunakan istilah bahasa Breda ( bahasa VOC). Penunjang kekuatan politik Presiden Soekarno, terutama PKI menjadi lemah, kendatipun demikian Presiden Soekarno, sebagai jawaban RI terhadap subversi asing, terutama subversi Belanda, men-Dekrit-kan penasionalisasian asset asing, terutama Modal Monopol Belanda di Indonesia dan dijadikan hakmilik RI, guna memperkuat Perekonomian Sektor Negara. Dengan mempergunakan SOB (istilah VOC) Jendral A.H.Nasution menempatkan para Jendral TNI AD untuk mengambil Management disemua Perusahaan-Perusahaan, PerkebunanPerkebunan dan system per-Bank-an, yang telah dijadikan PN-PN Negara RI. Dimulai Business Militer dalam sejarah RI, dan Jendral A.H.Nasution mengeluarkan Doctrin apa yang dinamakan "Dwi Fungsi ABRI", untuk melegalisasi kekuasaan Militer tersebut. Militer bukan lagi Aparat Negara, melainkan Badan Exekutive dalam Tatanegara RI, hanya masih "Dualisme" dengan Presiden Soekarno, dengan Manipol dan USDEK yang ditunjang oleh kekuatan politik NASAKOM, terutama oleh Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Untuk merebut seluruh kekuasaan Negara RI, Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya harus menghancurkan NASAKOM, terutama menghancurkan PKI dan kemudian membunuh Presiden Soekarno. Bantuan untuk itu bukan hanya dari Amsterdam-Balanda, tetapi dan terutama dari CIA akan diperoleh oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, karena Pentagon yang sedang bankrupts/bankrott di Perang Vietnam, membutuhkan "orang Asia untuk membunuh orang Asia di Vietnam" untuk Petagon-USA (Doctrin Nixon). Provokasi dan Provokasi - apakah dikalangan Partai-Partai Politik dalam NASAKOM, ataukah dikalangan ABRI, pun dikalangan Mahasiswa/Pemuda di organisasi oleh CIA bersama dengan para Jendral TNI AD dan puncaknya yang mentukan adalah 30 September'65, ketika konflikt terbuka didalam intern TNI AD, diantara Perwira Tinggi TNI AD/para Jendral
dengan Perwira Menengah TNI AD. Para Perwira Menengah seperti nama-nama yang sering disebut, seperti Col.Sabur, Col.Untung, Col.Latief, yang menolak permainan CIA dengan Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, untuk menjatuhkan Presiden Soekarno-artinya untuk menghancurkan RI-. Para Perwira Menengah tsb. - Col.TNI AD Sabur, Col.TNI AD Untung, Col.TNI AD Latief tidak ada hubungan organik dengan PKI, karena mereka itu bukanlah anggota atau Pimpinan PKI. Kesempatan tsb.diatas diambil oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya untuk melaksanakan Program Red drive Proposal seperti di Madiun, seperti yang dijalankan oleh DII & TII, seperti yang dilakukan oleh para Perwira TNI AD yang melakukan Gerakan Separatisme PRRI, PERMESTA, etc. Dalam tempo tigabulan pertama para Jendral TNI AD menjagal manusia Warganegara RI. dari Mentri s/d orang awam hampir 750.000 manusia; dan selanjutnya, Pemerintahan Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU hampir 1,7 juta WarganegaraRepublik Indonesia yang dijagal/dibunuh oleh TNI AD. Presiden Soekarno dibunuh a la Hamlet atau a la Singosari. Dengan demikian Militer (TNI AD)-Jendral Suharto menguasai sepenuhnya Exekutive; KOPKAMTIB sebuah Aparat yang Non-Konstitusionil, menguasai bukan hanya Exekutive untuk memperkuat kekuasaan Militer, tetapi juga menguasai Yudikative - menjatuhkan dan melaksanakan Hukuman atas Warganegara RI yang dituduh PKI atau Soekarnois dan diantaranya Tahanan Politik-Legislative -Para Jendral TNI AD meletakkan seratus orang para Perwira TNI AD dalam MPR. Mereka inilah sesungguhnya yang menguasai kekuasaan Negara RI - Coup d 'etat para Jendral TNI AD berhasil. Dan GOLKAR diperlukan untuk applauds. Amsterdam puas, karena Jendral TNI AD Suharto mengembalikan kepada "Pemiliknya" Perusahaan-Perusahaan dan Perkebunan-Perkebunan, etc. yang dinasionalisasi oleh Pemerintah NASAKOM. Modal Asing bisa beroperasi di Indonesia tanpa pajak, dan Prof.Sadli bangga dengan Konsep Ekonomi-nya. IMF menganugrahi Jendral TNI AD Suharto jutaan US-Dollar. Pentagon gembira, karena Jendral Suharto-Golkar(Orde-Baru) tidak menentang Perang USA di Vietnam. Tetapi Rakyat Indonesia kembali mengalami GLOBALISASI sebelum terminology ini populer di Media seperti sekarang. Dan Globalisasi Ekonomi ini dialami Rakyat Indonesia/Nusantara hampir 350 Tahun, yang dimulai oleh J.P.Coon, disempurnakan oleh Jendral van den Bosch (VOC), dijaga keras oleh Jendral Daendels, dan diteruskan oleh Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU. Pemerintahan sekarang? ORDE-BARU dalam bentuk yang diselubungi oleh tabir sutra yang tipis. Para Tehnokrat sekarang ini yang berada di Institut-Institut Ilmu Pengetahuan, seperti LIPI atau CSIS, etc. sibuk mengobrol "Apakah Jendral Suharto terlibat dalam melakukan Genoside 30 September'65". Terang-terangan Exekutiv, Yudikative dan Legislative dikuasai oleh para Jendral TNI AD dan masih ingin mengajukan pertanyaan seperti itu, Sebagai Sarjana Tinggi adalah sangat menyedihkan atau usaha untuk mengelabui mata 200 juta Rakyat Indonesia.Penarik Beca dari Tanjungperiok, di Manggarai, s/d Bukitduri,etc. dengan pengalaman pengamatan mereka, mereka mengerti sangat, bahwa Militer, dibawah Komando para Jendral TNI AD melakukan coup d'etat dan untuk itu membunuh ribuan manusia, tetangga dan anggota keluarga mereka. Dalam waktu yang sama, sekarang ini para Sarjana CSIS sibuk mengobrol/Seminar mengenai "Pertahanan Nasional" atau "Keamanan Nasional" atau terminology apalagy, yang seperti itu.
Hanya para Tehnokrat tsb. dalam Paper mereka tak pernah menyebut, bahwa masalah Pertahanan Nasional menyangkut erat masalah Perekonomian Nasional/Sektor Negara yang kuat. Doctrin Pertahanan Nasional yang bagaimana yang akan bisa dirumuskan oleh CSIS, kalau Perekonomian Sektor Negara berada ditangan global corporation of multinational company? Kalau TNI AD hanya berfungsi untuk menjagal/membunuh para Patriot, Pendiri, Pembela Republik Indonesia, semenjak RI diproklamasikan? Kalau para Jendral TNI sudah tidak mempunyai harga diri sebagai Bangsa Merdeka,bahwa disaat Senat USA meng-Undang-kan EMBARGO penjualan alat-alat tehnik Militer dan Persenjataan ke Republik Indonesia,Mentri Pertahanan RI memerintahlan untuk melakukan latihan Bersama antara Angkatan Laut RI dengan Angkatan Laut USA beberapa bulan yang lalu di wilayah perairan RI?. Kalau Rakyat Indonesia lapar,sakit,penganggur,etc? Delegasi Kementrian Pertahan RI hari ini membicarakan di Moskow dengan Pemerintahan R.F.Russia mengenai pembelian senjata (kemungkinan utang jangka panjang) seperti beberapa biji Pesawat Tempur SU 27, beberapa biji Helicopter, beberapa biji Peluru-Kendali, beberapa buah Kapal Selam, etc. Andaikan Delegasi tsb. berhasil mencapai persetujuan dengan Utang Jangka Panjang pembelian persenjataan tsb. dengan Pemerintah R.F.Russia, bagaimana Pesawat-Pesawat tsb. bisa terbang tanpa BBM?, karena Minyak telah diberikan oleh Yusuf Kala/Aburizal Bakrie pada "Majikan mereka" Exxon dan Texaco. Justru itu, kalau para Sarjana di CSIS ingin merumuskan Doctrin Pertahan Nasional, pertamatama harus menasionalisasi Asset Asing/Kapitalmonopol Asing di Indonesia, terutama yang mempromosi dan membantu Gerakan Separatisme melawan RI dan re-nasionalisasi BUMNBUMN yang di-divertasi dan membantu perkembangan Industri Nasional untuk memperkuat Perekonomian Sektor Negara, seperti yang diajukan oleh Program Tuntutan ALIANSI PERJUANGAN RAKYAT. 60 Tahun Sejarah Kemerdekaan RI, tapi Rakyat Indonesia belum mengenal apa itu Hak Azasi Manusia dan Yusril Ihza Mahendra yang memegang Mentri Kehakiman dan Hak-Hak Manusia dalam dua pemerintahan berusaha menutupi kejahatan genoside Jendral TNI AD Suharto-Golkar. Rakyat Indonesia belum pernah menghirup udara Demokrasi, karena Rakyat Indonesia hanya mengenal SOB dan sepertinya. Rakyat Indonesia tidak mengenal apa itu Kesejahteraan Sosial, hanya mengenal miskin, lapar, sakit busunglapar, ditindas dan dihina oleh penguasa. Justru itu, pemutarbalikkan sejarah Rakyat Indonesia, takkan membawa akhir yang baik, karena lambat atau cepat Rakyat Indonesia akan meluruskan sejarahnya sendiri. = Perdura lo que un pueblo defiende = Segala perkembangan ditentu oleh Rakyat, seruan Angkatan Bersenjata Venezuela. Dr.rer.pol.A.Tchaniago Alamat Penulis: Dr.rer.pol.A.Tchaniago Joseph-Oertgen-Weg 37 45327 Essen - Germany Phone : 0201/46 90 486 Mobil : 0177/62 45 486 E-Mail :
[email protected].
Date: 2005/10/11 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=49
Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan
Diterbitkan oleh Jurnal Solidaritas (SKP HAM )
Dipresentasikan dalam Seminar SKP-HAM di Balairung Universitas Negeri Manado (UNISMA) Tondano Kata Pengantar : Apa yang diuraikan dalam brosur ini hasil investigasi penulisnya sebagai wartawan, anggota DPA & anggota MPRS, pada saat saat G30S sedang direncanakan, yang kemudian diuji kebenarannya dengan pertemuannya dengan pihak pihak yang terlibat dalam gerakan itu, mulai dari Letnan Kolonel Untung Samsuri , komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang menjadi komandan gerakan , serta perwira perwira pendukungnya seperti Kolonel A. Latief., Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya , Mayor Bambang Soepeno. Komadan Batalion 450 / Brawijaya dari Madiun dan Kapten Kuncoro ,Kepala Staf Batalion 454/Diponegoro dari Semarang, yang didatangkan oleh Panglima Kostradi Mayjen Soeharto ke Jakarta untuk mendukung gerakan. Demikian pula pembicaraannya dengan Nyono orang pertama PKI untuk DKI Jakarta dan Sekitarnya yang menjadi komandan kekuatan PKI mendukung gerakan. Juga pembicaraannya dengan Ketua Umum PKI D.N. Aidit menjelang meletusnya G-30-S. Masih dilengkapi lagi pembicaraannya dengan semua Komandan Regu yang ditugasi menculik para Jendral ketika bertahun tahun kumpul bersama dalam tahanan. Pembicaraan penulisnya dengan DR. Soebandrio setelah dia bebas dari tahanan, yang mengakui menjadi bagian dari G-30-S , memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai gerakan yang akhirnya menggulingkan Bung Karno dari posisinya sebagai Kepala Negara dan dari semua jabatan kenegaraan yang melekat pada dirinya. Dan semuanya menjadi lebih gamblang setelah terbitnya "The Foreign Relation of The United States" yang menjelaskan bagaimana CIA (AS.) dan MI 6 (Inggris) menggulingkan Bung Karno. Mudah- mudahan kehadiran brosur ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. AMIN..! Pemimpin Umum
Jurnal Solidaritas Freddy Sutedi Jakarta , 21 Mei 2003.
APA SEBAB BUNG KARNO BISA DIGULINGKAN ?
Oleh : A. Karim DP Ada sebuah pertanyaan yang pernah ditujukan kepada saya, sebuah pertanyaan yang amat berat, tapi sekaligus juga pertanyaan yang cerdas : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan", maksudnya setelah meletus G30S. Belanda yang berpengalaman 350 tahun menjajah Indonesia dan menindas rakyat Indonesia habis-habisan, tidak mampu menundukkan Bung Karno yang menuntut Indonesia merdeka sekarang juga. Lima tahun perang kemerdekaan, dimana Belanda sudah berhasil menangkap Bung Karno, perlawanannya tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dunia menjadi saksi, pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana DE DAM Amsterdam, Ratu Belanda Juliana harus menyerahkan kedaulatannya atas Hindia Belanda kepada Indonesia di depan mata dunia, sambil meneteskan air mata. Tapi mengapa pada tahun 1967 Bung Karno melepaskan kekuasaannya direbut Jendral Soeharto ? Ini bertentangan dengan ajaran Bung Karno sendiri untuk jangan sekali-kali menyerahkan kekuasaan yang ada di tangan dengan sukarela kepada musuh. Apakah Bung Karno sudah sangat lemah semangat juangnya, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menyerah ? Orang awam bisa menjawab, Bung karno bisa digulingkan karena memang dia mau di gulingkan tapi tentunya tidak sesederhana itu. Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa Bung Karno menyatakan kepadanya begini : "Cak Roes ! saya sadar bahwa saya mau tenggelam. Biarkanlah saya tenggelam asal rakyat Indonesia tetap bersatu". Saya tidak mendengar langsung Bung Karno berkata begitu, karena saya sudah ditahan. Tapi kalau Bung Karno bersikap seperti apa yang di katakan oleh Pak Roeslan, perlu diteliti apa sebabnya. Karena hati kecil kita akan mengatakan bahwa sikap itu tidak sesuai dengan karakter Bung Karno yang kita kenal, yaitu tidak mudah menyerah. Apa lagi kepada Jendral Soeharto hanya orang bawahannya. Namun itulah yang terjadi Mengapa ? Pada hari Maritim 1967, Bung Karno diundang oleh Markas Besar Angkatan Laut untuk memberikan amanat langsung pada peringatan itu di Surabaya. Yang datang menghadap Bung Karno menyampaikan undangan dua orang Laksamana Madya yaitu Jatidjan waktu itu menjabat Mentri Maritim dan Mursalim D.M. Menko Wakil Ketua DPR-GR. Bung Karno menolak. Alasannya, kalau ia ke Surabaya, kemungkinan besar akan timbul kesulitan dengan
kemungkinan tidak bisa kembali ke Jakarta, karena rakyat Jawa Timur memang menghendaki komando perlawanan. Saya pernah membaca salah satu tulisan Jenderal A.H. Nasution, katanya di malang sudah disediakan 6 perumahan untuk ditempati Bung Karno dan keluarganya. Agaknya Bung Karno memperhitungkan, kalau ia berada di Surabaya, kemungkinan besar perang saudara tidak dapat di hindari. Jawa Timur dengan bantuan Jawa Tengah akan menyerang kekuatan Soeharto. Ini tidak di inginkan oleh Bung Karno. "Biarkan saya tenggelam asal rakyat Indonesia tidak pecah, tetap bersatu" demikian Bung Karno. Siapa yang menang jika pecah perang saudara, tidak ada kalkulator yang bisa menghitungnya. Sungguh malang nasib Bung Karno, karena Jenderal Soeharto kemudian memerintahkan kepadanya supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno beserta semua anak-anaknya pergi dari Istana dengan pakaian kaos oblong dan celana piyama beralaskan kaki dengan sendal, menumpang mobil volkswagen kodok satu-satunya mobil milik pribadinya yang dihadiahkan oleh piola kepadanya, pergi kewisma yaso, dimana kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, di tinggalkan di Istana, tidak sepotongpun yang di bawa pergi kecuali bendera pusaka Merah Putih yang di bungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknya pun tidak boleh membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku buku pelajaran sekolah dan perhiasannya sendiri. Selebihnya ditinggalkan semua di Istana dan sampai sekarang tidak kedengaran bagaimana nasib barangbarang itu. Megawati yang sekarang Presiden kita, sepertinya melupakan begitu saja TAP MPRS No. XXXIII/1967yang menggulingkan Bung Karno, yang juga menugaskan kepada Jenderal Soeharto waktu itu Pejabat Presiden, untuk menyelesaikan persoalan hukum menyangkut Dr.Ir.Soekarno, yang tidak pernah di laksanakan sampai Bung Karno wafat sebagai Tahanan G30S. Selama Bung Karno di tahan di Wisma Yaso, diperlakukan sangat tidak manusiawi. Bung Hatta menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijet ahli langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, di tolaknya. Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya akan berkurang. Itulah kemudian yang mendorong Bung Hatta menulis surat kepada Bung Soeharto yang mengecam tidak manusiawinya sikap itu, pada tanggal 15 Juli 1970. Bahkan sebelumnya, Bung Hatta sudah minta kepada Soeharto lewat Durmawel, SH, penuntut umum perkara Dr. Soebandrio, supaya Soeharto sesudah 3 tahun lebih mengusut perkara Bung Karno, segera mengajukannya kepengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak di adili, maka rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintahan Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta. (Baca : Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik). Dan memang itulah yang terjadi, Soeharto tentu di tuduh sengaja membunuh Bung Karno. Bung Karno menderita penyakit gagal ginjal, dimana kedua ginjalnya tidak berfungsi lagi dengan baik, tapi saya kira tidak di berikan pengobatan cuci darah, sehingga nampak wajahnya bengkak-bengkak, menyebabkan jiwanya tidak tertolong lagi. Seumpama penyiksaan Soeharto terhadap Bung Karno yang begitu tidak manusiawinya di lupakan oleh Mega dan memaafkannya seperti yang di tuntut oleh pendukung Soeharto, dengan alasan bahwa Soeharto sekarang menurut pengakuan para dokternya sudah menderita
sakit di otak yang tidak bisa di sembuhkan lagi, betul-betul sangat mulia budi Mega yang tidak bisa dicarikan bandingannya. Karena Tuhan sendiripun tidak bisa mengampuni dosa seorang hambanya, sebelum yang bersangkutan bertobat dan meminta maaf kepada pihak yang di cederai, dan memaafkannya. MAHA KARYA PARA PENDONGKEL Apa yang saya uraikan di atas merupakan maha karya dan prestasi agung dari para pendongkel Bung Karno, yang di pelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda/Pelajar (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan berbagai kesatuan aksi lainnya lengkap dengan laskar-laskarnya dan backing ABRI, yang terus-menerus lakukan demonstrasi sambil menghujat Bung Karno, dengan mendapat ransum tiap hari 5000 (lima ribu) nasi bungkus lengkap dengan lauk-pauknya, dari Kedutaan Besar Amerika yang mengalokasikan dana satu juta US $, di tukar dengan rupiah di pasar gelap. Demikian di sinyalir oleh Bung Karno. Disamping itu juga DPR-GR dan MPRS yang susunan keanggotaanya sudah direvisi oleh Soeharto, serta berbagai partai politik yang cepat berbalik menjadi anti Soekarno, semuanya serentak bergerak mensukseskan maha karya dan program agung untuk menggulingkan Soekarno, serta menghujatnya habis-habisan, untuk menaikkan Soeharto yang mereka nilai sebagai "Pahlawan dan Pemimpin Besar" yang baru muncul. Partai Nasional Indonesia (PNI)partai yang didirikan oleh Bung Karno pada tahun 1927 dan terus menerus mendukungnya, tiba-tiba dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, seperti Yudas mengkhianati Yesus, menyatakan mengingkari kepemimpinan Bung Karno .Bahkan dalam pernyataan Kebulatan Tekad , partai itu menyatakan tidak menghendaki lagi kembalinya Bung Karno dalam kepemimpinan Nasional dan Negara. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tadinya berdiri paling depan mendukung Bung Karno , kini jangankan membela, menyelamatkan dirinya saja tidak mampu karena garisnya yang mempertahankan legalitas dan kader kadernya disuruh mendaftarkan diri di Front Nasional, langsung ditangkap atau dibunuh. PKI sendiri yang karena sejak awal sudah terlibat dalam gerakan, untuk menutupi keterlibatannya , partai ini menempuh jalan mempertahankan legalitas yang berakibat fatal. Banyak kader PKI yang tidak tahan uji, menerima "jabatan" menjadi interrogator dari penguasa dan membuka isi perut partainya kepada musuhnya Sesudah Soeharto berhasil didudukkan di singgasana kekuasaan, ia segera ditopang bukan saja oleh ABRI, tetapi secara politik oleh GOLKAR yang tidak lain dari partai politiknya Soeharto, yang selama 30 tahun di desain terus menerus menang mutlak dalam Pemilihan Umum dan terus menerus juga memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Soeharto duduk disinggasana kepresidenan selama 30 tahun, sedang Bung Karno yang memproklamasikan kemerdekaan hanya sempat berkuasa 20 tahun. G30S yang disebut oleh Bung Karno sebagai GESTOK (Gerakan 1 Oktober)yang langsung dipimpin oleh Soeharto , memang dialah arsiteknya, Dr Soebandrio yang waktu itu Wakil Perdana Menteri 1 , Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Intelijen (BPI) menambahkan bahwa prestasi gemilang Soeharto tidak terlepas dari dukungan Amerika Serikat , yang memang sudah lama berusaha menggulingkan Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI , seperti yang terungkap dalam buku "Foreign Relations of the United States" yang diterbitkan dan dicetak oleh percetakan Negara AS, tapi yang ditarik kembali oleh Departemen Luar Negeri dari peredaran , karena isinya masih harus dirahasiakan . Tetapi sudah banyak yang lolos ke luar negeri , dan saya menerima copynya dari sahabat saya di
Australia, Prof. Dr. Angus Mc Intyre. Pembuktian lain bahwa Soeharto adalah sang arsitek , menurut pengakuan Untung , 3 minggu sebelum M meletusnya G30S , ia dan Kol. Latief , masing masing sebagai Komandan Batalion 1 Tjakrabirawa dan Komandan Brigade Infanteri 1 Kodam V Jaya , sudah merundingkan dengan Soeharto langkah-langkah yang perlu diambil. Untung dan Latief kedua-duanya bekas anak buah Soeharto , dan persahabatan mereka terus berkelanjutan . Kunjungan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada malam gerakan akan dilancarkan 4 jam kemudian, menemui Soeharto sedang menemani isterinya menunggui anak bungsu mereka Tommy yang sedang dirawat di sana karena kena guyur sup mendidih , anak kesayangannya yang diyakini membawa rezeki , adalah kontak terakhir pelaksana gerakan, untuk melaporkan bahwa gerakan segera dilaksanakan (4 jam kemudian) , yang diterimanya dengan penuh keseriusan. Belakangan Kolonel Latief mengakui dalam bukunya edisi ke II bahwa laporan yang sama disampaikan juga kepada Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusuma. Jadi, kedatangan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada tanggal 30 September 1965 pukul 11.00 malam , samasekali bukan untuk membunuh Soeharto seperti yang pernah dikatakannya kepada seorang wartawan Jerman , tapi untuk menerima laporan akhir mengenai gerakan. Menurut seorang saksi, segera sesudah itu, Soeharto berangkat ke KOSTRAD untuk konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan , lewat di depan RRI, kantor Telkom dan TVRI. Rencana ini diperhitungkan dengan cermat untuk menjamin kesuksesannya, dengan seminggu sebelum pelaksanaan, Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD mendatangkan 3 (tiga) Batalion pasukan tempur berpengalaman , masing masing dari Semarang , Madiun dan Bandung yang berada dibawah komando KOSTRAD . Kapten Kuncoro, kepala staf Batalion 454/Diponegoro yang ditahan satu sel dengan saya di blok isolasi Blok N penjara Salemba (Jakarta), menceritakan bahwa ketika batalyonnya tiba di Jakarta menumpang serentetan kereta api panjang memuat prajurit, kendaraan, senjata ringan dan berat serta peluru yang cukup untuk pertempuran 10 hari sebagaimana diinstruksikan, Soeharto datang mengucapkan "selamat datang" dan meng-inspeksi pasukan serta perlengkapan-perlengkapannya. Kendaraan yang sudah tua diganti dengan yang baru, begitu juga senjata-senjatanya. Semua tidak ada yang dilaporkan oleh Soeharto kepada atasannya, padahal persiapan gerakan ini beresiko tinggi, sehingga tidak ada secuilpun tindakan untuk mencegah di bunuhnya 6 Jenderal teras Angkatan Darat yang diculik oleh gerakan militer yang sudah dipersiapkan dengan baik. Ternyata Jenderalyang diculik lalu dibunuh itu, adalah musuh-musuhnya Soeharto, demikian diterangkan oleh Dr. Soebandrio. Banyak keterangan yang bisa saya gali dari kapten Koencoro, Kepal Staf Batalyon 454/Diponegoro, Mayor Bambang Soepeno, Komandan Batalyon 530/Brawijaya dan Kapten Soeradi, Kepala Seksi I-nya Kol. Latief,ketika saya berkumpul dengan mereka satu sel dalam tahanan isolasi di Blok N penjara Salemba, yang tidak mungkin saya ceritakan semua disini karena memerlukan waktu panjang, namun semuanya memperjelas keterlibatan Soeharto dalam G30S. Di penjara Salemba saya pernah bertanya kepada M. Naibaho, staf Agitprop PKI dan pemimpin redaksi "Harian Rakyat" organ resmi PKI : "Mengapa PKI mendukung G30S ?", padahal gerakan itu kalah ? jawabnya : Karena waktu itu PKI berpendapat, minimal dengan kehadiran 2 Batalyon tentara dari Semarang dan Madiun yang katanya progressif atas perintah Soeharto, adalah kesempatan yang tidak akan berulang lagi. Oleh karenanya, gerakan di dukung untuk menghacurkan kekuatan di AD yang anti PKI dan anti Kabinet NASAKOM.
Tapi ada alasan lain yang layak dipertimbangkan, karena bersumber dari orang pertama PKI, yaitu DN. Aidit. Kebetulan Aidit yang ikut dalam delegasi Indonesia ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair dibawah pimpinan Presiden Soekarno (yang gagal), berangkat dari Jakarta 23 Juni 1965 dan berhenti sampai Kairo, tidak melanjutkan ke Aljir. Hari itu gedung Konperensi di ledakan dengan bom, yang tidak di ketahui siapa pelakunya. Aljazair sendiri sendiri sedang dalam kondisi politik yang tidak stabil, karena tiba-tiba saja menjelang penyelenggaraann KAA-II, Presiden Ben Bella di-coup oleh Kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair pada tgl. 19 April 1965. Ben Bella dituduh bertindak sewenang-wenang selama masa kekuasaannya yang 641 hari, mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Saya sendiri ikut dalam rombongan ini sebagai wartawan. Dari Kairo, Bung Karno pergi ke Paris dan mengumpulkan para Duta Besar kita yang ada di AS dan Eropa, untuk mendapatkan briefing mengenai kegagalan KAA-II dan sekaligus menguraikan persiapan Conference of the New Emerging Forces (CENEFO) yang akan diselenggarakan di Jakarta. Di Paris Aidit berjumpa dengan6 tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri dari negrinya, karena takut di tangkap oleh Boumedienne. Kata Aidit kepada saya, justru dia minta kepada mereka supaya segera kembalike Aljazair dan memobilisasi massa rakyat untuk mendukung Boumedienne ,karena di nilainya, berbeda dengan coup d'etat yang bisa dikenal, coup Boumedienne ini berwatak progressif. Aidit yang saya interview sesudah pertemuannya dengan kamerad kameradnya dari Aljazair dan tokoh-tokoh Partai Komunis Perancis, mengatakan pendapatnya bahwa coup seperti yang di lancarkan oleh Boumedienne, apabila di dukung 30 Pct rakyat, bisa bermutasi menjadi revolusi. Ia berjanji akan menjelaskan kepada saya teorinya itu di tanah air. Waktu itu ia tergesa-gesa mengejar pesawat terbang yang hendak berangkat ke Moskowdan memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, dengan membawa teorinya itu, mungkin hendak di terapkan di Indonesia. Sayangnya sejak itu, saya tidak pernah lagi bertemu dia sampai ia dieksekusi atas perintah Soeharto. Mungkin teori inilah yang diterapkannya di Indonesia, karena dalam sidang Dewan Harian Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, di putuskan mendukung gerakan perwira muda yang tergabung dalam G30S yang bertujuan hendak mematahkan gerakan para Jenderal yang beroposisi terhadap Bung Karno dan hendak merevisi ajaran-ajarannya, dan sekaligus menghendaki terbentuknya Kabinet baru dengan intinya para Jenderal. Tpi ketika saya berjumpa dengan Ismail Bakri, Sekretaris CDB PKI Jawa Barat di Bandung, ketika kami sudah sama-sama bebas, ia mengaku ikut hadir dalam sidang Dewan Harian Politbiro yang dimaksud, dan menyatakan tidak mendukung putusan itu. Ia mengeluarkan statement yang menolak ke-ikut sertaan PKI mendukung G30S. NASIB SIAL UNTUNG. Nasib sial menimpa Let. Kol.Untung, meski pun ia sudah membantu Soeharto. Dr. Soebandrio mengatakan kepada saya, Soeharto memutuskan Untung harus di bunuh sesuai petunjuk dukunnya, karena inilah syarat untuk kejayaan Soeharto. Sebetulnya, kata Soebandrio, ia sendiri juga akan di eksekusi 4 hari sesudah untung, tapi oleh suatu keajaiban mendadak DIBATALKAN. Untung sempat mengucapkan "selamat tinggal sampai bertemu di sana", sambil menunjuk kelangit, kepada Dr. Soebandrio. Soebandrio menceritakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang G30S", ini saya mengulangi
saja karena mungkin saudara-saudara sudah membaca bukunya -, suatu hari diakhir 1966, Untung di jemput dari selnya di penjara Cimahi oleh beberapa sipir penjara. Diberitahukan bahwa ia akan di eksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Kata Dr. Soebandrio lagi : Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara di Cimahi, benar-benar hanyut dalam suasana haru. Saya bukan saja terharu, tapi juga panik, sebab Ahmad Durmawel, SH, oditur militer yang mengadili saya, saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapatkan giliran 4 hari kemudian. Saya ingat saat itu hari selasa, berarti saya akan di eksekusi pada hari sabtu. Sebelum Untung di jemput untuk dibawa ke luar penjara, saya sempat menemuinya. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir seperti lazimnya bagi orang yang akan di eksekusi. Mungkin karena Untung panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari sabtu. Maka pertemuan saya dengan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak keruan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya saya 4 hari lagi. Saat itu ada kalimat perpisahan dari Untung yang saya ingat sampai sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat itu, ketika Untung menyampaikan kata-kata perpisahannya kepada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker lengkap dengan senjata mautnya, dalam sikap siaga mengawal Untung dan mengawasi saya dari jarak yang agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberikan kesempatan terakhir kepada Untung untuk berpesan kepada saya, kata Soebandrio. Untung mangatakan demikian : "Pak Ban , selamat tinggal, jangan sedih, empat hari lagi kita bertemu di sana", sambil menunjuk kelangit. Untung mengucapkan kata perpisahannya dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Perwira yang gagah berani itu, pahlawan pembebasan Irian Barat yang di terjunkan dari udara, tidak menangis, tapi saya lihat dia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka akan di khianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya, bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianatinya. Sebab ia adalah sahabat Soeharto dan ia mengulangi lagi bahwa Soeharto sangat mengetahui rencana G30S, bahkan memberikan bantuan pasukan. Karena itu ia sangat yakin tidak akan di khianati oleh Soeharto. Tapi toch kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi keyakinan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang mengawal kami, menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini. Menjelang senja, dengan pengawasan ekstra ketat, Untung berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan penjara Cimahi. Saya mengamatinya dari penjara dan ia tampak berjalan tegap. Mungkin ia sudah bisa menguasai perasaannya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung di eksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya tidak sempat lagi sedih memikirkan nasib Untung. Hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Terus terang, setelah Untung di eksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah di tentukan. Tapi - inilah keajaiban -, Presiden AS, Lyndon B. Johnson dan Ratu Kerajaan Inggris Elizabeth, diluar pengetahuan saya mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat kawat dari kedua Kepala Negara itu ini juga ajaib -, hampir sama intinya berbunyi demikian : "Soebandrio jangan di tembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat".
Itulah pengakuan Dr.Soebandrio sendiri. Tentu saja pernyataan Presiden Jhonson dan Ratu Elizabet yang sama itu kembali menjadi keajaiban besar, karena Soebandrio sendiri mengatakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang G30S" bahwa ia bukan sekedar bagian dari sejarah G30S, melainkan pelaku sejarah itu sendiri. Biarlah sejarah mencatat siapa yang jujur dan siapa yang bohong. Saya hanya ingin menambahkan nasib Bung Karno, yang juga sangat berjasa kepada Soeharto, karena mengangkatnya menjadi Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena perbuatan korupsinya sewaktu menjabat Panglima Diponegoro, dengan mengganjarnya dengan hanya di suruh belajar di Seskoad, yang justru ijazahnya di jadikan modal untuk menggulingkan Bung Karno dan menyiksanya . Saya mendengar sepenggal cerita dari orang yang mengakui ikut memperhatikan dan mendengar dialog saat-saat Bung Karno COMA. Sebentar-bentar telepon berdering, kira kira menanyakan bagaimana kondisi Bung Karno. "Belum", di jawab dari telepon jaga di RSPAD Gatot Subroto. Akhirnya cairan dari tabung infuse tidak menetes lagi, tanda jantung tidak lagi berfungsi, telepon yang terus berdering di jawab .." sudah selesai !". Inna lillahi wa-inna ilaihi rojiun ! Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto berupa pangkat Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya, kemudian Soeharto mengkhianatinya. Soedisman, Sekjen CC PKI, telah mengeluarkan buku KRITIK DAN OTOKRITIK saya kira saudara saudara sudah membacanya yang secara tidak langsung mengakui keterlibatan PKI dalam G30S. Pada awal tadi sudah saya katakan bahwa Panitia Seminar minta kepada saya untuk menjawab pertanyaan yang amat berat : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan ?". Kalau saudara-saudara sudah membaca buku "Foreign Relations of the United States" yang mengenai Indonesia saja 800 halaman, menunjukkan betapa pentingnya Indonesia di mata Amerika akan menemukan jawaban pertanyaan diatas .Dokumen itu mengungkapkan upaya Smerika hendak menjatuhkan Bung Karno dan menghancurkan PKI, upaya mana berhasil. Katakanlah upaya itu adalah faktor external, yang seharusnya tidak menentukan jika tidak mendapat dukungan dari faktor internal yang kuat. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa tergulingnya Bung Karno yang berawal dari terjadinya malapetaka G30S, sesuai dengan kesimpulan Bung Karno sendiri, ialah karena adanya 3 faktor sebagai berikut : 1. Lihaynya Nekolim. 2. Keblingernya pemimpin pemimpin PKI. 3. Adanya ke-tidak-beresan dalam tubuh aparat kita sendiri. Sesungguhnya rumusan Bung Karno itu diperluas olehnya. Rumusan yang pas dan sesuai dengan kenyataannya, ketiga faktor yang menyebabkan terjadinya G30S ialah : 1. Adanya intervensi Nekolim di Indonesia (AS dan Inggris) yang diikuti dengan persiapan melakukan invasi (menyerbu) ke Indonesia meskipun dikatakan secara terbatas.
2. Keblinger-keblingernya pemimpin PKI yang tadinya merupakan kekuatan besar pendukung Bung Karno, karena mengharapkan kekepentingan politik yang lebih besar dari kemungkinan menangnya gerakan tersebut. Ini di buktikan dengan di bentuknya Dewan militer oleh PKI menjelang gerakan di mulai, dan semua rapat persiapan G30S dari perwira perwira muda, di pimpin oleh Syam (Kamaruzzaman), Ketua Biro Ketentaraan (Biro khusus menurut istilah Orde Baru). 3. Adanya oposisi yang kuat dalam jajaran kekuasaan Bung Karno sendiri, terutama dari Angkatan Darat dan partai-partai politik yang tadinya pura-pura mendukung Bung Karno sebelum G30S. Sebagai ganti Nasakom, mereka memperkenalkan istilah baru : "Soekarnoisme" yang di tolak oleh Bung Karno, karena tafsirannya sesuai selera mereka sendiri, yang di populerkan oleh "Badan Pendukung Soekarnoisme" (BPS) dan mendapat dukungan dari Angkatan Darat dan CIA. Uraiannya ada dalam buku "Foreign Relatio of the United States". Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Bung Karno dan teman-temannya pada tahun 1927, dan terus menerus mendukung politik Bung Karno, dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, Sudah mengingkari kepemimpinan Bung Karno. Bahkan dalam "Pernyataan Kebulatan Tekad" 21 Desmber 1967, PNI mengatakan tidak menghendaki lagi kembalinya Bung Karno dalam kepemimpinan Negara dan Pemerintahan. Juga PKI yang tadinya mendukung Bung Karno, jangankan membela, untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja sudah kerepotan. Walhasil Bung Karno sudah dikepung dari segala penjuru, sehingga tidak mungkin lagi meloloskan diri, apalagi ia sendiri menolak memberikan komando perlawanan, meskipun pendukungnya sampai 1966 masih sangat optimis menang, jika Bung Karno mau saja memberikan komando perlawanan. Soeharto sejak awal sudah mengatakan bahwa yang mendalangi G30S ialah PKI. Dr. Soebandrio yang memegang jabatan strategis pada saat itu, yaitu sebagai Wakil Perdana Menteri I Menteri luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Inteligent (BPI), mengatakan justru G30S di siapkan oleh Soeharto sejak awal sampai pelaksanaan dan selesainya. Dr. Soebandrio tidak percaya kalau PKI di sebut dalangnya, sebab kalau PKI yng mempunyai anggota 3 juta dan pendukung aktif 17 juta yang mendalanginya, akan terjadi banjir darah yang luar biasa hebatnya. PKI dalam kesibukannya membantah ke-tidak terlibatan, di mentahkan oleh pengakuan pengakuan yang di berikan oleh Nyono, anggota politbiro dimuka sidang MAHMILLUB, dengan mengakui keterlibatan PKI setelah di giring oleh ketua Mahkamah dan Oditur dengan pertanyaan pertanyaan yang diajukan dimuka sidang. Pengakuan-pengakuan yang lebih jelas, bisa dibaca dalam buku tentang hasil-hasil persidangan MAHMILLUB dalam penyelesaian perkara G30S, yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan Kehakiman Angakatan Darat. Disamping itu, masih ada lagi surat DN Aidit selaku Ketua Central Comite PKI tertanggal 10 November 1965 (sebelum ia di tangkap), di tujukan kepada seluruh CDB PKI se-Indonesia terdiri 11 point (di sita dari seorang kader PKI di Jawa Tengah), beberapa yang pokok saya kutipkan di bawah ini : 1. Akibat gerakan 30 September yang seharusnya adalah 100 pct. Soal Angkatan Darat, telah mendatangkan malapetaka besar pada PKI, walaupun semua soal ini dalam diskusi dan instruksi-instruksi yang lalu, telah kami perhitungkan, namun jelas semua tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan Jendral, dapat mengecilkan anggota partai yang masih belum berpengalaman.
2. Dalam menanggulangi hal-hal ini memang dalam praktek tidak semua persiapan perkiraan yang lalu, sesuai dengan kenyataanyang telah kita pikirkan, baik dari partai-partai sekawan, mau pun dari Sosro (maksudnya:Bung Karno)dan Tjeweng (maksudnya: Dr. Soebandrio), jelas tidak membuktikan kesetia-kawanan, apa lagi memenuhi janji yang telah di ucapkan. 3. Karena itu sekali lagi CC partai perlu menandaskan, semua ini walau tinggal satu orang partai duduk, akan tetap berjuang; apa yang sekarang terjadi adalah sebagai jenderal repetisi, tapi bila ucapan politik Sosro dapat di terima Dewan Jenderal, bahwa gerakan 30 September adalah "een rimpel in't grote oceaan", atau soal kecil, ini untuk kita sagat menolong, berarti dor-doran dan jor-joran yang sekrang di hadapkan Dewan Jenderal terhadap partai dan oknumoknum kita dapat terhenti,sehingga kita dapat berkonsolidasi kembali. 4. Sebagai Instruksi yang lalu dan salinan surat kami pada Sosro yang kami sampaikan kepada CDB di Jawa, walaupun sekaligus belum tercapai, CC partai yakin usaha-usaha Sosro dan Tjeweng sedang mengarahkan kepada soal-soal yang kami usulkan pada tanggal 6 Oktober yang lalu, tapi kami lebih yakin bahwa bila Sosro hingga kini belum secara tegas berbuat, tak lain karena dia tidak begitu saja dapat melangkahi Dewan Jenderal yang ada di depan hidungnya. 5. Sosro telah menyetujui untuk sementara saya menyingkir ke tetangga, sebenarnya aslkan saya bertemu ombak, berarti tercapailah penyingkiran itu, juga pihak Gatotkotjo (AURI) telah menyanggupi mengirim belalang (pesawat terbang) untuk membawa kalau melangkahi daerah Dewan Jenderal. Bila ini berhasil, berarti jaminan bagi perjuangan jangka panjang telah ada, sebab dari san semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan di gugat terus. Jelasnya dalam memperjuangkan konsep Partai kita, tidak perduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban, bila dia tidak memenuhi semua perjanjian. Point-point selanjutnya lebih memberikan semangat supaya meneruskan perjuangan , sambil mengingatkan (point 9) bahwa Sosro dan Tjeweng tidak akan berkhianat, maka dari negara tetangga perjanjian perjanjian yang telah kami sampaikan secara / R (rahasia) pada bulan Agustus yang lalu terpaksa di umumkan dan ini berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Sosro/Tjeweng. Tapi pengumuman janji ini tidak pernah ada. Aidit juga minta disiapkan semua fakta dan dokumen penulisan Buku Putih Pengkhianatan Dewan Jendral. Tentang Dewan Jendral yang terus disebut sebut Aidit , cukup menarik keterangan Prof Dr Wertheim dari Belanda yang terkenal membela PKI , menulis dalam makalahnya "Missing Link" (mata rantai yang hilang), bahwa tadinya ia memang percaya adanya Dewan Jendral. Tapi setelah menelusuri keterangan keterangan yang ada .ia berubah pikiran menjadi tidak ada. Bahkan pengakuan Mayor Rudhito (dari SUAD I). di muka Sidang MAHMILLUB tentang adanya rekaman rapat Dewan Jendral , dianggap isi rekaman itu sebagai rekayasa, sedangkan mata rantai yang putus akhirnya dia temukan , yaitu "Soeharto". Jadi , Soehartolah dalang G30S, kata Wertheim. PESANAN 5000 KEPALA ORANG PKI Sekarang bagaimana pengakuan Amerika? Mati matian Amerika membantah keterlibatannya , kecuali mantan Duta Besar Amerika di Jakarta Marshall Green mengakui bahwa AS mendapat keuntungan dari kejadian itu. Menurut seorang wartawan Amerika Nona Kathy Kadane dari States News Service , Marshall Green adalah salah satu expert pada biro intelijen dan penelitian State Department .Dialah yang mengatur segala bantuan AS untuk Soeharto. Dia pula menurut Bung Karno yang
memerintahkan menukar satu juta dollar AS di pasar gelap dengan rupiah, yang digunakan untuk membeli nasi bungkus dengan lauk pauknya, untuk makan 5000 demonstran yang tiap hari berdemonstrasi menghujat Bung Karno dan menuntut supaya diturunkan dari jabatan Presiden. Keterlibatan AS memang sudah sangat jelas, apalagi setelah terbitnya buku "Foreign Relations of the United States" , yang tebalnya 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat dokumen dokumen tentang keterlibatan AS. Memang mula mula pejabat pejabat resmi AS membantah keterlibatannya tapi dilain pihak , adajuga orang Amerika seperti Kathy Kadane yang membocorkan rahasia dan lebih jelas lagi apa yang dimuat dalam buku "Foreign Relations of the United States". Kathy Kadane melaporkan bahwa pada tahun 1965 1966 CIA memesan 5000 kepala orang orang PKI yang harus dibantai atau dipenjarakan. Nama nama mereka diserahkan kepada Angkatan Darat dan selalu dikontrol apakah sudah dilaksanakan atau belum. Ternyata yang dibantai lebih banyak dari yang dipesan. Tentu menyenangkan sekali bagi AS. Ada laporan yang menarik dimut dalam "Foreign Relations of the United States ", bahwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur sepanjang tahun 1966 adalah hal-hal yang biasa bahwa setiap malam dibantai 50 sampai 100 oang di banyak tempat. Laporan dari konsulat AS di Surabaya menyebutkan ada 3500 warga PKI yang dibunuh di Kediri dalam periode 4 sampai 9 November 1965 dan 300 orang didaerah sekitar 30 km dari Kediri. Di Bali, 8000, kata laporan itu. Seorang diplomat AS yang bertugas di Jakarta pada tahun 1970 , Richard Howland, membantah seolah olah jumlah korban PKI yang dibunuh dalam peristiwa G30S 1,5 juta. Katanya dia pernah mencari keterangan dari seorang Let.Kol.AD, mengatakan bahwa bahwa total korban di Jawa 50.000 , di Bali 6000 dan di Sumatera Utara 3000. Diplomat itu mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan metode yang digunakan sang Letnan Kolonel menghitung jumlah itu, namun jika dikombinasikan dengan data yang dimilikinya, jumlah yang mendekati kebenaran 150.000 saja, kata Richard Howland. Kedutaan Besar AS di Jakarta mengakui bahwa di Indonesia memang terjadi pembasmian orang orang komunis, tapi katanya lagi , banyak ceritera yang dilebih lebihkan. Jumlah korban 100.000 atau mendekati 1 juta orang, sebenarnya tidak pernah diketahui dengan pasti.Karenanya sulit untuk mereka reka berapa jumlah yang sesungguhnya .Oleh karenanya lebih bijaksana jika mengakui yang lebih kecil. Orang Indonesia, kata laporan itu, memang suka melebih lebihkan fakta. Bahwa jumlah yang dibantai di Indonesia, tidak ada angkanya yang pasti, karena memang belum pernah diadakan penelitian oleh siapapun. Panitia Amnesti Internasional yang berpusat di London menaksir 1 juta. Sk Washington Post memperkirakan 500.000 sedang CIA memperkirakan hanya 250.000, tapi menyebutnya itupun sebagai salah satu pembunuhan masssal terburuk dalam abad XX. Apalagi jika seperti yang dikatakan oleh Jendral Sarwo Edhie, panglima penumpasan G30S, sebelum beliau meninggal , kepada Bapak Permadi, SH yang datang menjenguknya mengatakan jumlah yang sebenarnya 3 juta. Bapak Permadi tekejut mendengar angka itu, tapi Sarwo Edhie mengatakan : jangan kaget memang itu yang sebetulnya. Mudah menunjuk siapa yang memprovokasi sehingga terjadi pembunuhan pembunuhan yang kejam itu. Amerika ! Sejak 1957 1958 pada peristiwa pembrontakan PRRI/PERMESTA, rencana hendak membunuh Bung Karno sudah dipertimbangkan dengan matang. Pembrontakan PRRI/PERMESTA ini sepenuhnya didukung oleh AS. Untung mereka kalah.
Menurut buku "Foreign Relations of the United States", Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones yang pandai ngibulin Bung Karno, melapor ke Washington bahwa coup d'etat Angkatan Darat hendak menggulingkan Presiden Soekarno, semula di rencanakan akan di langsungkan pada bulan Mei atau Juni 1965, mengambil kesempatan ketika Bung Karno berada di luar negeri. Tapi rencana ini gagal karena orang-orang yang terlibat di dalamnya lambat bertindak. Akhirnya Let. Kol. Untung yang mendahului rencana AD yang akan diadakan pada 5 Oktober, bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata dengan melancarkan Gerakan 30 September. Tapi banyak laporan yang mengatakan bahwa Untung hanyalah sekedar boneka yang di korbankan oleh Soeharto, yang ambisinya sudah sampai di ubun-ubun. Begitu laporan CIA tanggal 6 Oktober 1965. Laporan itu cocok dengan apa yang diketahui bahwa Untung adalah kaki tangan Soeharto. Semua rencana persiapan G30S di laporkan dan dikoordinasikan dengan Soeharto, baik oleh Untung maupun Latief. Begitu kesaksian Dr. Soebandrio yang mengakui dirinya adalah bagian dari sejarah G30S. Ketika Latief melapor kepada Soeharto di RSPAD "Gatot Subroto" 4 jam sebelum Gerakan di laksanakan, Soeharto membiarkan semua itu berjalan. Masalahnya menjadi krusial dan kritis, ketika harus menjawab pertanyaan: Siapa sebenarnya sponsor G30S itu ? CIA selalu dituding sebgai sponsor. CIA mempunyai agen yang bernama Kamaruzzaman alias Syam, dia juga menjadi Intel AD di PKI. Kedudukannya sangat penting yaitu apa yang dikenal dengan Kepala Biro Khusus. Sebetulnya istilah Biro di ciptakan oleh Orde Baru, karena istilahnya yang sebenarnya menurut Cugito (anggota Politbiro) yang pernah saya wawancarai sebelum meninggal, katanya :"Biro Ketentaraan". Peran Syam sebagai double agent sempat memusingkan kepala Prof. Dr. Wertheim, karena katanya istilah double agent hanya di publiksikan sekli oleh "Sinar Harapan", sesudah itu tidak pernah muncul lagi. Menurut Wertheim, tentu di larang oleh Orde Baru. Oknum Syam ini sangat di percayai oleh Aidit dan seolah-olah dialah yang menjadi orang kedua di PKI sesudah Aidit. Kamaruzzaman-lah yang memimpin semua pertemuan perwira-perwira maju yang mempersiapkan gerakan. Semuanya di laporkan Syam kepada Aidit dan tentu Aidit senang sekali mendengarkan laporan Syam itu karena yang di gambarkan adalah kemenangan dan kemenangan. Keterlibatan tokoh-tokoh PKI sulit dibantah, karena Soedisman sendiri secara samar-samar mengakuinya dalam "Kritik dan Otokritik". Nyono angota politbiro dan Peris Pardede calon anggota politbiro juga mengakui di sidang MAHMILLUB adanya tiga kali rapat yang penting, yang di hadiri oleh DN Aidit, MH Lukman, Nyoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Anwar Sanusi, Nyono, Peris Pardede,Rewang dan Suwandi. Dalam rapat-rapat itu Aidit menginformasikan adanya Dewan Jenderal yang hendak mengadakan kup. Ketika Ketua Mahkamah menanyakan, apakah ada bukti tertulis yang di perlihatkan oleh Aidit, dijawab oleh Nyono "tidak ada". Informasi secara lisan yang di sampaikan oleh Ketua Aidit, selalu di nilai sudah benar. Nyono dan Peris Pardede juga mengakui di bicarakannya imbangan kekuatan antara Dewan Jenderal dan kelompok perwira perwira maju. Hasil penilaian imbangan itu positif bagi perwira-perwira maju yang didukung PKI. Tidak disadari sama sekli bahwa gerakan perwira maju sebetulnya bukan di kendalikan oleh PKI, melinkan oleh Jenderal Soeharto, karena tokoh-tokohnya adlah orang-orangnya Soeharto. Sehingga timbul pertanyaan usil : Apakah juga Soeharto seorang PKI, meskipun dia munafik.
Namun seorang Komandan Batalyon dari Tanggerang, Mayor Agus Sigit , yang selalu ikut dalam rapat-rapat persiapan, karena Batalyonnya disiapkan untuk mendukung, mengatakan kepada saya waktu bertemu di Salemba (ia juga di tahan), pada waktu rapat membicarakan imbangan kekuatan , ia sudah menyatakan bahwa imbangan kekuatan yang dilaporkan, belum bisa menjamin kemenangan. Tapi pendapatnya tidak di terima. Oleh karena itu ia tidak hadirhadir lagi dalam rapat rapat berikutnya dan juga tidak hadir serta menggerakkan pasukannya ke Lubang Buaya pada saat Gerakan ini dimulai. Tapi PKI sangat percaya diri. MH Lukman pernah menulis buku yang menilai bahwa PKI telah berdominasi di bidang politik, satu penilaian yang sama sekali tidak terbukti kebenarannya. Anggota Politbiro Anwar Sanusi menjelang 30 September 1965 mengatakan di hadapan sukarelawan di hadapan BNI, bahwa kita sekarang sedang berada dalam situasi dimana ibu pertiwi sedang hamil tua. Sang bidan siap dengan alat-alat peraji yang di perlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang adalah kekuatan politik yang sudah di tentukan dalam MANIPOL (itulah G30S). Sebenarnya apakah yang di-disain dengan mencetuskan G30S ?. Apakah memang di maksud unutk mencari pemimpin baru unutk memimpin revolusi ? Ya, memang hendak mendudukan Jenderal Soeharto di atas singgasana ke-Presidenan yang bersepuh darah. Oleh karena itu, sesungguhnya semua kekuatan yang pernah aktif bergerak di sekitar terjadinya G30S, ikut menyumbang pada krisis politik yang kita alami sampai sekarang. Dan sekarang pun akibatnya kelihatan masih terus hidup Nostalgia yang hendak memaksakan stabilitas keamanan melalui pola militer yang mungkin akn menciptakan kembali hal-hal yang mengerikan. Saya hanya ingin bertanya, tidaklah pantas kita belajar dari Bung Karno, yang selma masa kepemimpinannya berhasil menjadikan Indonesia survive sebagai nasion yang bersatu, sekalipun begitu beragam budaya yang ada di masyarakat kita, yang tidak ada bandingannya di planit kita ini. Bung Karno berhasil sebagai pembangun dan pemersatu Indonesia dengan sistem Pancasila sebgai hasil pemikirannya yang mengilhami dan menjadi sumber terbaik bagi menata kembali mesyarakat kita. Wawasan Soekarno berhasil menguasai masa depan politikdean ekonomi Indonesia, meskipun belum sempurna. Kata seorang Diplomat Kanada Prof. Peter Dale Scott yang terkenal di Indonesia karena kajiannya tentang hasil konspirasi CIA bersama Kliek militer Soeharto menggulingkan Presiden Soekarno, menyampaikan sepucuk surat kepada editor "Hasta Mitra" yang menerbitkan buku 100 tahun Bung Karno dalm liber Amicorum (kumpulan tulisan para sahabat Bung Karno) mengatakan bahwa dengan membaca pidato-pidato Bung Karno, betulbetul memberikan inspirasi yang sangat kaya dengan muatan Intelektual. Justru sekarang wawasan Bung Karno mempunyai peluang lebih besar direalisasi, terutama ajaran Pancasilanya yang bukan saja cocok untuk Indonesia tapi juga cocok bagi dunia. Peter Dale Scott juga menulis sebuah karangan dalam buku itu. Apa yang saya uraikan mudah mudahan sudah menjawab pertanyaan Panitia Seminar. Namun saya minta difahami bahwa saya tidak memberikan jawaban dengan harga mati. Artinya, saya
serahkan kepada saudara-saudara untuk mengambil kesimpulan setelah mempertimbangkan bahan bahan yang saya kemukakan. Bahan-bahan itu tentu tidak lengkap, mungkin lebih banyak yang belum saya ketahui. Oleh karena itu, saya harap Seminar ini sendiri dapat mendiskusikannya, setidak-tidaknya oleh satu team yang dipilih. Namun menurut pendapat saya, apapun kesimpulan kita, semua yang kita bicarakan disini, sudah menjadi catatan sejarah. Kita tidak bisa lagi mengingkarinya artinya yang salah tetaplah salah, sebaliknya yang benar tetap saja benar. Apakah dengan demikian kita akan terus frustasi dan mencaci maki mereka yang mau kita caci maki ? Jika ini yang menjadi sikap kita, maka pastilah kita akan ditinggalkan dinamikanya perkembangan zaman yang tidak bisa di stop. Saya setuju jalan keluar yang di tunjukan oleh Bung Karno. Dalam menyikapi kondisi yang semacam ini, kita jangan membiarkan diri kita terperangkap oleh gelapnya masa silam, karena dengan demikian kita tidak bisa membuat kemajuan-kemajuan baru. Ini artinya kepada masa depanlah kita harus berorientasi dan bukan menengok kebelakang sambil menangisi manisnya masa silam kita yang hilang dan membiarkan diri kita merana, meskipun kita juga tidak boleh meninggalkan sejarah. Mari kita berusaha sekuat tanaga melepaskan diri dari belenggu masa silam yang menyesakkan nafas. Hiruplah udara segar masa depan, dimana harapan kita bisa di letakkan. Tentunya kita harus mampu menarik pelajaran dari kegagalan masa silam, dengan menelusuri makna adagium klasik,bahwa kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Sikap seperti ini, rasanya lebih dialektis. Jangan pelihara sikap pessimisme dan seperti yang pernah dikatakan Presiden Megawati dalam pidato Tahun Baru-nya 2000 : Dunia ini akan belum kiamat. Mari bulatkan tenaga, samakan visi dan misi dalam mendayung bahtera perjuangan, untuk melawan bahaya disintegrasi bangsa dan penginjak-injakan hukum, serta bahaya korupsi yang di wariskan oleh Soeharto kepada kita, menuju reformasi sejati, karena seperti yang di katakan Presiden Mega, kepadanya hanya diwariskan pemerintahan keranjang sampah. Mungkin Soeharto memang mewariskan orang-orangnya kepada Mega. Mari kita teriakkan tekad yang sekuat-kuatnya di tegakkannya hukum untuk membasmi korupsi politik dan ekonomi, kolusi dan nepotisme warisan Soeharto dan Orde Barunya, yang sekeranjang sampah. Mari kita memasuki milenium baru dengan penuh optimisme, namun di sertai tekad yang kuat tanpa henti-hentinya melakukan instropeksi dari saat ke saat. Saya akhiri uraian saya sampai disini, dengan kesadaran bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu marilah kita sempurnakan. Saya mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyajian yang mungkin tidak memenuhi harapan. Sekian. Terima kasih.
Merdeka ! 12 April 2003 http://www.geocities.com/arsip_nasional/politik/politik12.htm
Date: 2005/10/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=56
Sang Orator di Senja Masa
Sang Orator di Senja Masa HARI terasa sangat panjang di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Sebelum saya benar-benar terbangun pada Rabu pagi itu, Hardono, satu di antara staf keamanan Menteri Negara Nyoto, mengetuk pintu kamar kos saya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, yang hanya terpisah satu rumah dari Mess Perwira Tjakrabirawa, tempat tinggal Letnan Kolonel Untung, "pemimpin" Gerakan 30 September. "Bung diajak Bung Nyoto ke Istana Bogor," kata Hardono dengan wajah serius. "Ngapain?" saya bertanya. "Kayaknya diminta motret," katanya. "Tapi ndak usah bawa toestel, pakai Bung Nyoto punya," ia melanjutkan. Saya maklum: Nyoto tentu tahu alat-alat potret saya tak lebih dari sekelas Kiev, buatan Rusia, yang sebentar-sebentar engkol filmnya macet. Tak sampai lima menit kami sudah berada di ruang tamu rumah Nyoto di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat. Pada hari-hari tertentu saya biasa datang ke rumah itu, meminjam buku atau menonton Nyoto bermain musik dengan teman-teman masa mudanya, antara lain Jack Lesmana. Dalam sekejap Nyoto muncul, menyalami saya, lalu menyerahkan dua kamera dan segepok film. "Buatlah foto sebanyak-banyaknya," katanya. "Foto apa?" saya bertanya. "Apa saja." Dalam hitungan menit pula sebuah mobil resmi menteri—Dodge Dart—berhenti di depan rumah. Penumpangnya, Menteri Negara dan Wakil Ketua I CC PKI, M.H. Lukman, memasuki ruang tamu. Lukman tak mengenal saya, dan inilah pertemuan saya yang pertama dengan dia. Lukman dan Nyoto mengenakan setelan putih-putih, "pakaian resmi" anggota Kabinet Dwikora. Di depan saya kedua orang itu bersalaman, berpelukan, kemudian saya dengar Nyoto bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menjawab, "Saya juga tak tahu!" Mampus, pikir saya. Kalau betul kedua orang ini tak tahu apa yang terjadi pada 30 September 1965, lalu siapa yang berada di balik peristiwa yang, konon, digerakkan oleh PKI itu? Nyoto, pada akhir September itu, memang sedang berada di Medan dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I Subandrio. Dalam kendaraan terpisah, kami berangkat ke Bogor, langsung menuju Istana. Pengawalan di sana terasa lebih ketat dari biasanya. Beberapa menteri datang dengan pengawalan panser, di antaranya Menteri Negara Boegi Sumpeno, kolonel polisi. D.N. Aidit tak tampak di antara para menteri. Selama beberapa hari beredar kabar, Ketua CC PKI itu minggat ke Jawa Tengah.
Tak banyak yang dihasilkan sidang kabinet itu. Nyoto membacakan pernyataan ringkas ketidakterlibatan PKI dengan Gerakan 30 September. Kemudian Bung Karno berpidato, singkat juga, yang pada dasarnya mengulangi pidatonya yang kemarin-kemarin, bahwa kejadian tersebut adalah "...een rimpeltje in de oceaan...."—sebuah riak di tengah samudra. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan pidato Bung Karno seperti tidak terstruktur, dan tidak terlalu fokus. Ia, misalnya, di samping menyatakan PKI cukup banyak berjasa dalam revolusi Indonesia dan sebagai partai tidak bersalah, juga "menyenggol" Gerakan 30 September sebagai "penyakit kekanak-kanakan" yang dipersamakan dengan Peristiwa Madiun 1948. Di dalam kepustakaan Leninisme, "penyakit kekanak-kanakan" adalah nama lain untuk "penyakit kekiri-kirian", yang biasanya dirujukkan kepada partai komunis yang ingin cepat menang dan melupakan penggalangan kekuatan front nasional. Bung Karno terkesan lelah, walau tampak masih berwibawa. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Ia saya lihat berbincang-bincang sebentar dengan Nyoto, sebelum masuk ke ruangan dalam Istana. Itulah pula untuk terakhir kalinya saya menyaksikan kedua orang itu. Untuk seorang wartawan muda pada masa itu, mendengarkan pidato Bung Karno merupakan keasyikan tersendiri. Artikulasinya bagus, intonasinya dinamis, dan ia sering mengulang kalimat tertentu sehingga memudahkan pencatatan. Saya dengar beberapa pidatonya ditulis oleh orang lain, termasuk Nyoto. Tapi, dalam pidato tanpa teks pun, Sukarno tetap memikat. Bung Karno selalu seperti punya "skenario" yang matang untuk membangkitkan dan "mempermainkan" emosi massa. Dia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk menggunakan frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia. Begitu meluncur dari Bung Karno, frasa itu segera menemukan "rumah"-nya di hati jutaan rakyat Indonesia. Dengan kefasihannya dalam beberapa bahasa asing, ia bisa "seenaknya" mengutip kalimat orang besar mana saja dalam bahasa aslinya. Bahkan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada masa itu, Howard P. Jones, mampu terkekeh ketika dituding Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Senayan: "Go to hell with your 'Indonesia going to collapse'!" Biasanya, setelah dituding begitu, besoknya Duta Besar Jones dan Nyonya diundang ke Istana Bogor untuk sarapan nasi goreng.... Tapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul, dan madu arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu, dan tampaklah kakinya yang membengkak. Setelah 6 Oktober 1965, saya hanya mengikuti pidato Bung Karno dari radio dan televisi. Jelas sekali terasa, kesempatannya berpidato di depan massa yang besar mulai dibatasi. Kehilangan kontak langsung dengan lautan massa itu membawa perubahan tersendiri dalam pidato-pidato Bung Karno. Ia tak lagi sebergelora dulu, tapi sebaliknya, di lingkungan yang lebih kecil ia seperti lebih bebas dan spontan, termasuk dalam menggunakan kata-kata yang rada "saru". Atau itu hanya bagian dari kemarahan dan kejengkelannya yang terpendam? Apalagi setelah pidato kenegaraan (dan "pertanggungjawaban")-nya bolak-balik ditolak oleh MPR(S) pasca-G30S, semangat berpidato Bung Karno menyusut drastis. Keahlian Bung Karno berpidato sangat tidak sebanding dengan kemampuannya menyanyi. Ia
hampir tak pernah menampik kesempatan tarik suara, tapi orkes yang mengiringi selalu mengalami kesulitan untuk mencari tangga nada yang pas dengan suara si Bung. Pilihan lagunya tak banyak. Kalau bukan Di Timur Matahari, tentulah Siapa Bilang Bapak dari Blitar, Burung Kakaktua dengan lirik improvisasi, atau paling jauh Aryati. Ia suka lagu keroncong, dan hafal sejumlah gubahan komponis klasik Barat. Ketika malam-malam yang menyenangkan itu pun mulai "dibredel", makin lengkaplah persiapan menuju babak penutup sang Orator. Ia sudah dipisahkan dari massanya, dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari keluarganya. Yang tersisa hanyalah sejumlah penyakit dan sebuah era yang siap ditelan senja masa, menuju malam sangat panjang. Amarzan Loebis Sumber: PI, Iqra, TEMPO, No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003
Date: 2005/12/6 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=111
Analisis G. 30. S. 1965 Ditinjau dari Sudut Filsafat
ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT Oleh : Dr. Darsono Prawironegoro Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia 1. Pendahuluan Filsafat adalah berpikir mendalam mencari sebab-sebab yang paling dalam atas suatu kejadian,
peristiwa, atau suatu keberadaan. Ia selalu mencari saling hubungan, mempertanyakan, dan
meragukan setiap kejadian, peristiwa, dan suatu keberadaan, sehingga ia selalu berusaha
memberi jawaban dan menjelaskannya secara rasional.
Filsafat menjelaskan tentang:
(1) hubungan sebab dengan akibat, (2) hubungan bentuk dengan isi, (3) hubungan gejala dengan hakikat, (4) hubungan kebetulan dengan keharusan, dan (5) hubungan kekhususan dengan keumuman, atau logika induktif dengan logika deduktif. Di dunia ini yang memiliki kebebasan adalah hanya berpikir, karena berpikir tidak memiliki dampak apa-apa dalam kehidupan praktis, asal pikiran itu tidak dipublikasikan dan tidak ditindaklanjuti dengan perbuatan. Hanya perbuatan saja yang bisa mengubah dunia ini; pikiran tanpa perbuatan tidak ada artinya apa-apa, atau ide tanpa aksi hanyalah suatu utopia. Dalam filsafat otak adalah "dewa" karena otak mampu berpikir membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak rasional untuk mencapai tujuannya. Dalam hidup ini, manusia mempunyai tujuan hidup berdasar status sosialnya: (1) jika ia berstatus sosial rakyat jelata, maka tujuan hidupnya adalah mencari atau menciptakan kerja untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan; (2) jika ia berstatus sosial pengusaha atau pedagang, maka tujuan hidupnya adalah mencari laba, (3) jika ia berstatus sosial rohaniawan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebaikan di dunia dan di akhirat, (4) jika ia berstatus sosial ilmuwan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebenaran ilmu, dan
(5) jika ia berstatus sosial politikus, maka tujuan hidupnya adalah mencari kemenangan dan kekuasaan. Peristiwa 30 September 1965 (G/30S) adalah peristiwanya orang-orang yang berstatus sosial
politik, jadi tujuannya adalah kemenangan dan kekuasaan.
Ada pihak yang kalah, ada pihak yang menang, dan ada pihak yang dikorbankan. Yang
menang dan kalah adalah pihak yang berstatus sosial politik, dan pihak yang dikorbankan
adalah rakyat jelata, karena rakyat jelata adalah pihak yang dikuasi oleh penguasa politik.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G/30S/1965) merupakan peristiwa yang memakan
korban ribuan orang, terutama adalah rakyat jelata, orang-orang desa-kota yang tidak berdosa,
artinya tidak mengerti tentang gerakan pada tanggal 30 September 1965.
Rezim Soeharto (orde baru) menuduh bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI), maka orang-orang yang dituduh anggota PKI atau simpatisannya ditangkap
untuk dipenjara dan dibunuh. Banyak orang-orang desa-kota rakyat jelata yang menjadi
korban, bukan karena mereka itu anggota PKI atau simpatisan PKI melainkan karena
"dendam" pribadi atau "dendam sosial" yang diakibatkan oleh konflik pribadi atau konflik
sosial.
Setelah Soeharto turun tahta pada tahun 23 Maret 1998, banyak kaum cendekiawan yang
mengadakan analisis tentang peristiwa tersebut di atas.
Saya Darsono Prawironegoro yang pada waktu kejadian berumur 17 tahun, ingin memberi
sumbangan pemikiran tentang kejadian tersebut berdasarkan analisis kritis secara filsafat,
melalui penelitian kepustakaan.
2. Hubungan Soeharto dan Latief Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, komandan KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani. Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat diklasifikan dua macam yaitu: (1) hubungan pribadi, yaitu bahwa Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum tanggal satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada waktu Soeharto pindah ke Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai peristiwa tersebut, (2) hubungan kedinasan militer, yaitu bahwa Latief seorang Kolonel Angkatan Darat dan Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat. Pada tangal 28 September 1965, Latief datang ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Soeharto mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio Yogyakarta tentang hal itu sehari sebelumnya. Soeharto menanggapi bahwa akan diadakan penyelidikan. Hubungan pribadi yang sangat baik itu, Latif berkesimpulan bahwa Soeharta adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu dengan mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Kostrad. Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, atau jam 9 malam, Latief datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu itu Soeharta sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharta) yang sedang sakit di rumah sakit tersebut. Alasan Latief
datang menemui Soeharto adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya adalah anggota pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia Bung Karno, tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi persahabatan, bahwa ia dipercaya oleh Soeharto sahabat karibnya. Secara politik, sebagai pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut adalah merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya Latief tidak melakukan hal itu; itu menunjukkan bahwa mental politik Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya. Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer, salah seorang pelaku G/30S/1965, menjelaskan bahwa pada waktu Latief diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung Soeharto terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu adalah suatu siasat bahwa ia adalah bukan orangnya Soeharto dan supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-kawannya di G/30S/1965. Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di Rumah Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung, mengapa Soeharto tidak ikut ditangkap?. Untung menjelaskan bahwa dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan pendapat tentang Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 dan loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra gerakan G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro dengan G/30S/1965 adalah Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI), sedangkan yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S/1965 adalah saya sendiri (Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan sukses, menurut Untung, ia dan Soeyono mengalah tidak menangkap Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan Jenderal. Ternyata Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Berdasarkan kenyataan yang demikian ini, Latief harus bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto, karena seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti sekarang ini, yaitu : (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun jika kurs Rp 10.000 per US$1 saat ini, tergantung pada Internationale Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia dijajah kembali oleh bangsa-bangsa asing, kita menjadi kulinya bangsa-bangsa.. 3. Ketrampilan Soeharto. Kita harus mengakui bahwa Soeharto adalah Jenderal yang memiliki luar biasa dalam mengatur strategi militer dan politik. Pada tahun 1948 ia pernah diperintahkan oleh Bapak Jenderal Besar Soedirman untuk meneliti dan menyelesaikan Peristiwa Madiun dan berhasil dengan baik, PKI dapat dihancurkan. Pada Peristiwa 3 Juli 1946, ia mampu menyerahkan pelaku-pelaku kup kepada pemerintah, ia tampil sebagai pahlawan. Dan dalam peristiwa 30 September 1965, ia keluar sebagai pemenang dan sekaligus bekuasa sampai dengan 1998. Itu menunjukkan bahwa Soeharto memiliki keberanian dan ketrampilan yang luar biasa. Pada tanggal 30 September 1965, Soeharto menerima informasi dari Latief bahwa Latief dan kawan-kawanya akan menangkap Achmad Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal). Seharusnya Soeharto bertindak untuk menyelamatkan Yani dan kawan-kawannya, karena
Yani adalah Panglima Angkatan Darat, dan kawan-kawannya adalah satu kesatuan Angkatan Darat. Latief dan kawan-kawannya pada malam itu juga bisa ditangkap dan praktis malam itu juga gerakan 30 September 1965 dapat digagalkan, mengingat bahwa saat itu Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang memiliki pasukan siap tempur. Soeharto nampaknya menghendaki Yani dan kawan-kawannya terbunuh, mungkin ini disebabkan oleh persaingan dikalangan Jenderal Angkatan Darat, mungkin "dendam", mungkin menghendaki jabatan Panglima Angkatan Darat, karena ada konsesus bahwa jika Panglima Angkatan Darat berhalangan, maka langsung diganti oleh Panglima Kostrad. Soeharto membiarkan G/30S/1965 beraksi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 dengan membunuh Yani dan kawan-kawannya, atau mungkin ia merestui gerakan tersebut, karena itu merupakan jalan untuk menjadikan dirinya orang nomor satu di Angkatan Darat. Dalam situasi yang gawat itu, Soeharto berdiri di atas "dua perahu", kaki kiri berdiri pada barisan G/30S, sehingga G/30S tidak memusuhinya, dan kaki kanan berdiri di barisan Dewan Jenderal, jika Yani dkk tidak bisa dibunuh oleh G/30S, maka ia bersama Yani dkk akan menghancurkan G/30S.. Melihat G/30S telah membunuh Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal), Soeharto cepat mengambil langkah yaitu menumpas G/30S. Hal itu dilakukan karena basis kekuatan Bung Karno adalah Yani dkk, G/30S, dan PKI. Agar dapat membunuh PKI maka G/30S dikaitkan dengan PKI menjadi G/30S/PKI. Setelah G/30S dihancurkan, Soeharto menghancurkan PKI. Dengan demikian kekuatan Bung Karno sudah punah. Jalan menuju ke RI Satu sudah terbuka lebar. Proses selanjutnya adalah merekayasa secara hukum agar bisa menjadi presiden secara konstitusional. Pada tanggal satu Oktober 1965, jam 6 pagi, Soeharto pergi ke Kostrad setelah menerima informasi dari tetangganya Mashuri (yang kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam kabinetnya). Ia mengendarai sendiri mobil Toyotanya tanpa pengawal. Ini menunjukkan bahwa ia memang Jenderal yang gagah berani, atau mungkin ia sudah bekerja sama dengan G/30S/1965, sehingga ia tidak takut dengan pasukan G/30S/1965 yang telah mengepung daerah itu. 4. Keputusan Yang "Hebat" Pagi hari tanggal satu Oktober 1965, Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pejabat sementara (caretaker) Panglima Angkatan Darat. Namun pada pagi hari itu juga, tanggal satu Oktober 1965 Soeharto mengambil keputusan yang "Maha Hebat" yaitu mengangkat dirinya sebagai Panglima Angkatan Darat tanpa persetujuan Bung Karno Presiden Republik Indonesia. Jabatan panglima suatu angkatan perang adalah hak prerogatif presiden, karena jabatan tersebut adalah jabatan politik. Pada siang hari tanggal satu Oktober 1965, Bambang Widjanarko ajudan presiden diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk menemui Pranoto Reksosamudro di Kostrad, agar Pranoto menghadap Presiden di Halim Perdanakusumah. Widjanarko tidak berhasil bertemu Pranoto, ia bertemu Soeharto, dan Soeharto memberi petunjuk kepada Presiden Soekarno sebagai berikut: (1) Mayjen Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno di Halim agar tidak menambah korban; artinya Soeharto tidak rela kedua Jenderal itu dibunuh di Halim oleh G/30S/1965 seperti Yani dan kawan-kawannya; petunjuk tersebut mengandung arti bahwa dibunuhnya Yani dan kawan-kawan subuh dinihari satu Oktober 1965 adalah atas perintah Soekarno, (2) Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasar perintah harian Panglima Angkatan Darat yang menyebutkan bahwa jika Panglima Angkatan Darat berhalangan, maka Panglima Kostrad akan menggantinya; ini menunjukkan bahwa Soeharto menempatkan perintah harian Panglima Angkatan Darat lebih tinggi daripada Hak Prerogatif Presiden,
(3) Perintah harian Presiden Soekarno diharapkan disampaikan kepada Mayjen Soeharto, ini berarti Soeharto mendikte Presiden Soekarno, (4) Presiden Soekarno harus meninggalkan Halim, karena pasukan Kostrad akan membersihkan G/30S/1965 di Halim. Berdasarkan petunjuk Soeharto kepada Presiden Soekarno di atas, menunjukkan bahwa pada
tanggal Satu Oktober 1965, Soeharto secara nyata telah menguasai Republik Indonesia. Secara
hukum akan diproses lebih lanjut. Inilah tesis sulit disangkal secara ilmiah bahwa "keadaan
menentukan kesadaran", artinya kuasai dulu keadaan sosial, baru kemudian dibentuk
kesadaran sosial.
Mengubah keadaan sosial harus menggunakan tindakan dan keberanian.
Di sini "kehebatan" Soeharto, berani bertindak mengubah keadaan atau berani mengambil alih
kekuasaan politik Soekarno.
5. Teknik Soeharto Berkuasa Frans Seda mantan anggota kabinet Bung Karno (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa teknik Soeharto berkuasa adalah membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Soeharto menggerakkan mahasiwa untuk berdemontrasi ke Istana Merdeka yang dikawal oleh pasukan khusus tanpa seragam. Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang tersebut dengan alasan sakit. Sidang kacau, Bung Karno meninggalkan sidang untuk menuju ke Istana Bogor, kemudian sidang bubar dengan penuh kepanikan. Sarwo Eddie (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan RPKAD tanpa tanda pengenal kesatuan dan membawa senjata mengawal mahasiswa berdemontrasi. Kemal Idris (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan "liar" itu berada di sekitar Istana Merdeka beberapa hari sebelum tanggal 11 Maret 1966. Itu menunjukkan bahwa Soeharto adalah seorang ahli strategi yang baik, ia menggunakan mahasiswa dan tentara untuk merebut kekuasaan politik; ia memahami bahwa hanya kekuatan tentara saja tidak cukup kuat untuk merebut kekuasaan. Setelah Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor, Soeharto memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal Andi Yusuf, Jenderal Basuki Rachmad, dan Jenderal Amir Mahmud ke Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno, tujuannya adalah agar Bung Karno memberi surat perintah untuk pengamanan. Bung karno memberikan surat perintah pengamanan pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikenal dengan sebutan "Supersemar". Dengan surat pengamanan tersebut, Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Surat perintah pengamanan itu ditafsirkan oleh Soeharto sebagi "Pelimpahan Kekuasaan". Dengan dibubarkannya PKI maka kekuatan politik pendukung Bung Karno relatif sudah habis. Setelah tanggal 12 Maret 1966, hakikatnya Bung Karno adalah "Sebatang Kara" dalam kehidupan politik, hal ini adalah akibat kurang tepatnya Bung Karno mengambil keputusan pada tanggal Satu Oktober 1965. Jika pada tanggal tersebut Bung Karno mengambil keputusan menghadapkan G/30S dengan pasukan Soeharto, keadaannya mungkin tidak seperti sekarang ini. Secara hukum, Bung Karno setelah 11 Maret 1966 masih menjabat presiden, tetapi tanpa pasukan, karena sebagian besar angkatan perang telah dikuasai Soeharto. Pada tanggal 17 Agustus 1966, dalam pidato kenegaraan, Bung Karno mengatakan bahwa surat perintah 11 Maret 1966 itu bukan pelimpahan kekuasaan. Surat perintah itu hanyalah
suatu perintah pengamanan, yaitu perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan
keselamatan Bung Karno, dan pengamanan ajaran Bung Karno. Hanafi menjelaskan bahwa
Bung Karno tidak mengakui pembubaran PKI dengan menggunakan "Supersemar".
Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1966 memerintahkan Leimena Wakil Perdana Menteri dan
Brigadir Jenderal KKO Hartono mendatangi Soeharto ke rumahnya dengan membawa surat
yang isisnya mengkoreksi tindakan Soeharto membubarkan PKI. Setelah membaca surat Bung
Karno, Soeharto mengatakan bahwa: "Sampaikan Kepada Bapak Presiden, semua yang saya
lakukan atas tanggung jawab saya sendiri".
Ucapan Soeharto yang demikian itu dapat ditafsirkan sebagai kudeta, artinya ia telah melawan
Bung Karno yang pada waktu itu secara hukum masih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Seharusnya Bung Karno setelah mendapat laporan dari Leimena dan Hartono harus
mengambil sikap yaitu menonaktifkan Soeharto sebagi Panglima Angkatan Darat. Dalam hal
ini nampaknya Bung Karno bimbang ragu mengambil sikap, sehingga mengorbankan dirinya
sendiri. Sikap bimbang ragu adalah awal dari kehancuran diri.
Wiratmo Sukito menjelaskan bahwa setelah Bung Karno mendengar jawaban Soeharto, pada
tanggal 16 Maret 1966 melalui Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh dan Wakil Perdana
Menteri J.Leimena mengeluarkan pengumuman bahwa pembubaran PKI adalah tidak syah.
Berdasarkan penjelasan tersebut secara hukum pembubaran PKI yang dilakukan oleh Soeharto
adalah batal demi hukum, karena keputusan Presiden lebih tinggi daripada keputusan
pemegang Supersemar.
Namun perlu diingat bahwa dalam kondisi sosial yang gawat, hukum relatif tidak berlaku,
yang berlaku adalah kekuatan senjata. Saat itu kekuatan senjata berada di tangan Soeharto.
Dalam hal ini Soeharto lebih berani mengambil risiko daripada Bung Karno. Barang siapa
yang berani mengambil risiko tinggi, akan memperoleh hasil tinggi pula.
Keberanian Soeharto itu diwujudkan lebih lanjut dalam tindakannya yaitu menangkap dan
memenjarakan 15 menteri termasuk Soebandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang
sangat termasyur itu. Kemudian menangkap dan memenjarakan 136 anggota DPRGR/MPRS,
diganti oleh orang-orang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI).
Soeharto dengan kekuatan senjata dapat melakukan hal itu semuanya, walaupun ia bukan
seorang presiden; ia mampu mendirikan DPRGR/MPRS baru yang diisi oleh orang-orangnya
dan diketuai oleh Nasution, yang nantinya akan mengesahkan dia secara hukum sebagai
Presiden Republik Indonesia Kedua. Dengan demikian proses kekuasaan harus dimulai dari
proses kekuatan senjata baru kemudian proses kekuatan hukum.
Kekuatan senjata merupakan materi dan hukum merupakan ide, materi menentukan ide, atau
keadaan menentukan kesadaran.
Nampaknya Soeharto memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai bahwa kekuasaan
politik harus dibangun dari kekuatan senjata. Pengalaman dan pengetahuan itu diperoleh dari
ketika Soeharto menjadi Tentara Belanda, Tentara Jepang, dan Tentara Republik Indonesia, di
mana Belanda dan Jepang dapat menguasai Nusantara dengan kekuatan senjata, dan Indonesia
Merdeka juga dengan kekuatan senjata (Revoulsi 17 Agustus 1945). Sekali senjata diangkat
jangan dilepaskan agar tujuan politik dapat tercapai, pemikiran ini diyakini Soeharto sebagai
kebenaran universal dalam merebut kekuasaan, tetapi tidak diyakini oleh G/30S/1965
sehingga mereka mudah dikalahkan oleh Soeharto.
Di samping itu sejarah membuktikan bahwa ketrampilan berpikir (kepandaian) Soekarno yang
tinggi dikalahkan oleh keberanian bertindak Soeharto. Pandai tidak berani tidak menghasilkan
sesuatu, tetapi berani walaupun kurang pandai bisa menghasilkan sesuatu. Orang yang pandai
dan berani pada umumnya sukses mencapai sesuatu yang direncanakan.
Pengalaman Soeharto merebut kekuasaan Soekarno dapat dijadikan diskusi filsafat dan diskusi keilmuan lebih lanjut. 5. Peranan Nasution. Sumbangan besar Nasution terhadap Soeharto ialah membawa Supersemar ke dalam Sidang Umum MPRS pada tangal 21 Juni 1966 tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Dalam sidang itu dikeluarkan Ketetapan MPRS No. IX 1966 tentang Supersemar. Dengan demikian sulit bagi Presiden Soekarno untuk mencabut kembali Supersemar. Kemudian MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXV 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia. Ketetapan MPRS No. XXV 1966 itu hakikatnya adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan Panca Sila. Dalam UUD 1945 pasal 27 dan 28 menyebutkan bahwa semua warga negara hak sama di depan hukum (pasal 27), semua warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara tertulis dan lesan tanpa mempersoalkan paham politik atau ideologi yang dianutnya (pasal 28). Dalam Panca Sila, seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam lahirnya Panca Sila bahwa Negara Republik Indonesia ini didirikan bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua. Undang-undang, hukum, ketetapan, peraturan, dan sejenisnya sebagai ide atau bangunan atas suatu masyarakat sangat tergantung pada alat pelaksana ide yaitu kekuasaan politik. Berlakunya Undang-undang dan sejenisnya sangat tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya peduli pada undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan dirinya. Soeharto nampaknya mengetahui dan memahami benar pemikiran tersebut, maka ia membuat undang-undang, hukum, dan sejenisnya untuk melindungi kepentingan politiknya. Tap MPRS No. IX/1966 dan Tap MPRS No.XXV/1966 adalah langkah awal secara hukum untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk mempercepat dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno, Soeharto-Nasution mendesak DPRGR mengusulkan Sidang Umum Istimewa MPRS dengan alasan bahwa Presiden Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia membubarkan PKI. GBHN yang berlaku pada waktu itu adalah GBHN Manipol yang berbasis pada NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), membubarkan PKI berarti bertentangan dengan GBHN Manipol. Usul DPRGR untuk mengelar Sidang Istimewa tersebut disetujui oleh MPRS SoehartoNasution, dan diselenggarakan SI MPRS pada tanggal 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret 1967. Soeharto-Nasution menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tidak dapat mengganti presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden Soekarno 10 November 1960, MPRS tidak berwenang merubah UUD 1945, dan memililh presiden dan wakil presiden. Tetapi Nasution kurang menaruh perhatian tentang hal itu, ia mengatakan bahwa MPRS sekarang ini adalah hasil pemilihan umum masa lalu, jadi syah untuk merubah UUD 1945, dan mengangkat presiden dan wakil presiden, dan merupakan satu-satunya kekuasaan negara yang tidak terbatas. Berdasarkan pemikiran yang demikian ini MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 tentang melarang Ajaran Soekarno. Dengan dua Tap MPRS Soeharto-Nasution tersebut, Bung Karno menghakhiri kekuasaannya. Soeharto berhasil merebut kekuasaan secara hukum berdasar Supersemar dan Tap MPRS. Soeharto berhutang budi besar kepada Nasution, sebab peranan Nasution sebagai ketua MPRS sangat besar dalam melahirkan Tap MPRS No. XXXIII dan XXXVI/1967. 6. PKI Tidak Terlibat Gerakan 30 September 1965
Latief adalah pelaku kunci G/30S menjelaskan di depan wartawan Tempo tanggal 16 April 2000 bahwa ide menghadapkan para Jenderal (Yani dkk) adalah dari inisiatif kami (Latief, Untung, Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami diperintah PKI; jika ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk menutupi tindakannya. Pendapat Latief itu dapat diterima oleh akal sehat, karena program Partai Komunis untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi seperti yang dilakukan di Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup. Khusus di Indonesia, program PKI adalah mencapai demokrasi rakyat melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali kemungkinannya PKI kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan konsep NASAKOM. Di sisi lain, Brigjen Soepardjo pada tanggal Satu Oktober siang 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden Soekarno, dan pada waktu itu juga Presiden Soekarno memerintahkan Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Itu menunjukkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi terlibat, maka: (1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit pimpinan polit biro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat G/30S itu ada yang dibina oleh Syam. Tetapi itu tidak berarti bahwa PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung Bung Karno. Seperti dijelaskan di atas kekuatan Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dari Angkatan Darat, para pelaku Gerakan 30 September 1965, dan PKI. Presiden Soekarno tidak pernah berpikir dan merasa dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada tanggal 21 Oktober 1965 bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme, dan agama. Itu menunjukkan bahwa Bung Karno menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif, berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh. 7. Ketakutan Soeharto Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau rakyat Indonesia mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua insan tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti dijelaskan di atas bahwa dalam pertemuan itu, Latief memberi tahu Soeharto bahwa nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya menangkap
Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Itu menunjukkan bahwa kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk mengakhiri hidupnya. Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan di atas, Soeharto membuat berbagai pernyataan antara lain sebagai berikut: 1. Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto Jakarta, termasuk Kolonel Latief. 2. Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa bahwa Latief datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum. 3. Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit itu. Dari tiga pernyataan tersebut, jelas terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu yang pertama,
Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk menjenguk anaknya, kedua, Latief datang
ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya melihat Latief
di koridor rumah sakit Gatot Soebroto.
Ketiga pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap dirinya sendiri
tentang pertemuan "penting" dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam.
Dalam pertemuan Soeharto-Latief tersebut dapat diduga:
1. Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih gerakan tersebut dengan pasukan khususnya. 2. Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965, lima jam sebelum gerakan dimulai untuk memberitahu bahwa akan ada gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk, harap hati-hati, dan bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya. Diduga yang mendekati kebenaran adalah pendugaan yang kedua (Latief memberi tahu Soeharto tentang G/30S). Dengan demikian hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita bersahabat, jika kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang berbeda; atau tidak ada front persatuan universal, yang ada adalah front persatuan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama maka kita berada dalam satu front persatuan, jika kepentingannya berbeda maka kita berjalan sendiri-sendiri. 8. Peranan Imperalisme Pada tanggal 12 Agustus 1941 terjadilah suatu perjajian yang maha penting karena dilakukan oleh dua tokoh terkenal di dunia yaitu F.D. Roosevelt Presiden Amerika Serikat dan Winston Churchill Perdana Menteri Inggris. Perjanjian itu dinamakan Perjanjian Atlantic atau Atlantic Charter.
Isi pokoknya ialah Sebuah Hari Depan Yang Lebih Baik Bagi Dunia. Isi selengkapnya adalah: 1. Mereka tidak berupaya melakukan perluasan wilayah 2. Mereka tidak ingin melihat adanya perubahan wilayah yang tidak diinginkan oleh bangsabangsa yang bersangkutan 3. Mereka menghormati hak setiap bangsa untuk berdaulat 4. Semua negara bebas berdagang dan memperoleh bahan mentah 5. Kerjasama ekonom bagi semua bangsa 6. Hidup damai, bebas ketakutan 7. Bebas mengarungi samudera tanpa rintangan 8. Tidak diperkenankan memaksakan kehendak dengan kekuatan senjata Yang terpenting dalam perjanjian itu adalah bebas berlayar tanpa rintangan, bebas berdagang, bebas memperoleh bahan mentah. Amerika Serikat dan Inggris memiliki armada laut yang hebat, mereka mudah menguasai dunia secara ekonomi, sosial, dan politik. Hakikatnya perjanjian Atantik itu adalah membagi dunia menjadi "milik" Amerika Serikat dan Inggris, itu diisyaratkan pada perjanjian nomor 7. Bangsa-bangsa lain harus "tunduk" (harus bersedia bekerja sama) kepada kedua negara tersebut, khususnya di bidang ekonomi. Nampaknya mereka sadar bahwa bentuk penjajahan dengan kekuatan militer yaitu kolonialisme harus diganti dengan kekuatan ekonomi yaitu imperalisme (neo-kolonialisme), itu diisyaratkan pada perjanjian nomor 4, 5, dan 8. Dalam perjanjian nomor 6, bangsa-bangsa di dunia harus membuat pakta pertahanan terutama dengan Amerika Serikat dan Inggris, agar mereka bebas dari ketakutan perang dan dapat hidup damai. Dapat dipastikan bahwa dalam pakta pertahanan itu akan dihegemoni (dipimpin) dan didominasi (dikuasai atau didekte) oleh pihak yang memiliki peralatan senjata yang kuat; dalam hal ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. Perjanjian nomor 1,2, dan 3 mengisyaratkan bahwa tidak layak lagi melakukan kolonialisme dengan kekuatan militer, mereka sadar bahwa itu hanya akan mengakibatkan perang antar mereka seperti Perang Dunia Pertama dan Kedua. Sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat dan Inggris bersekutu untuk membuat badan keuangan dunia yang disebut IMF (International Monetary Fund). Lembaga Keuangan Internasional yang dibentuk itu antara lain: ·IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944 oleh kaum kapitalis internasional tujuannya: kerjasama moneter internasional, stabilisasis kurs, menyediakan dana pinjaman untuk memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar negara, mewujudkan perdaganan bebas. ·Bank Dunia (International Bank for Recontruction and Development), 1944, tujuan: memberi pinjaman untuk pembangunan ekonomi negara-negara anggota ·IFC (International Finance Corporation), tujuannya membantu perusahaan swasta , terutama kaum Multi National Corporation atau Trans National Corporation yaitu perusahaanperusahaan raksasa yang beroperasi di luar batas negaranya atau beroperasi di negara orang lain ·IDA (International Development Association), tujuannya membantu pembangunan ekonomi negara-negara yang kalah perang dan negara-negara yang baru merdeka
·BIS (Bank for International Settlement), tujuannya membantu negara tau perusahaan yang dilanda krisis keuangan ·RDA (Regional Development Agencies), tujuannya membantu pembangunan ekonomi regional (Asia, Afrika, Amerika Latin). Hakikatnya semua lembaga keuangan internatioanl yang dibentuk oleh Amerika dan Inggris itu adalah sebagai alat negara kapitalis dan MNC untuk menguasai ekonomi, sosial, politik, dan budaya Negara Sedang Berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Bung Karno pernah mengatakan bahwa menolak bantuan asing jika dikaitkan dengan kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian Indonesia. Nampaknya Bung Karno memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang taktik dan strategi negaranegara bekas kolonialis untuk menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya dengan model bantuan keuangan dan ekonomi. Inilah yang lazim disebut Imperalisme, yaitu suatu penjajahan bentuk baru dengan kekuatan modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, lahirlah bangsa-bangsa merdeka, termasuk bangsa Indonesia. Dalam kehidupan yang merdeka, Presiden Soekarno ingin hidup ekonomi secara mandiri, artinya tidak mau bergantung kepada modal asing, berdaullat dalam bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Kebijakan Bung Karno dalam bidang ekonomi khususnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan asing adalah bahwa perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia dijadikan milik negara yaitu menjadi Badan Usaha Miliki Negara Republik Indonesia (BUMN RI). Itu artinya Bung Karno melawan Atlantic Charter atau melawan Inggris dan Amerika atau melawan imperalisme. Karena BUMN itu pada umumnya adalah bekas milik Inggris dan Amerika. Berdasarkan tesis ini, maka Inggris dan Amerika harus menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya. Inggris dan Amerika mengetahui dan memahami bahwa kekuatan Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dan PKI. Oleh sebab itu untuk menggulingkan Bung Karno harus terlebih dahulu menghancurkan Jenderal Yani dkk dan PKI. Metode yang digunakan ialah menciptakan konflik di tubuh Angkatan Darat antara Jenderal Yani dan Jenderal yang lainnya dan melibatkan pimpinan PKI dalam konflik tersebut. Marshall Green duta besar AS di Jakarta beberapa bulan sebelum G/30S telah datang di Jakarta. Ia adalah arsitek penjatuhan Syngman Rhee di Korea Selatan. Diduga pengangkatan Green sebagai duta besar AS di Indonesia adalah untuk maksud menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan PKI yang anti feodalisme, kolonialime, dan imperalisme. Rencana Barat Menghancurkan PKI sejak PKI berdiri tahun 1920-an karena ciri utama perjuangan PKI adalah anti kolonialisme. Sejak pemberontakan PKI melawan Belanda tahun 1926 sampai menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh PKI dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda kemudian oleh pemerintah Jepang. Kemudian berturutturut dilanjutkan dengan: (1) instruksi rahasia Amerika pada waktu pemerintah Hatta dengan menggunakan divisi Siliwangi untuk menghancurkan pelaku peristiwa Madiun 1948, (2) rasionalisasi tentara yang lahir dari laskar rakyat yang banyak didominasi oleh orang-orang yang bersimpati dengan PKI, (3) larangan mogok dan razzia Agustus yang dilakukan oleh pemerintah Natsir dan Sukiman tahun 1950-1951, (4) penindasan berdarah kaum tani di Tanjung Morawa dan tempat-tempat lainnya sekitar tahun 1952-1953, (5) pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta sejak tahun 1956-1961 yang sepenuhnya dibantu senjata oleh Amerika, (6) pemeriksaaan Aidit, Nyoto, dan Sakirman sehubungan dengan pemikiran kritisnya tentang
Demokrasi Terpimpin; semuanya itu gagal sampai dengan tahun 1965. Pada tahun 1965 bagi kaum imperalis melihat gejala di Indonesia dari tiga dimensi yaitu: (1) PKI makin besar, hal ini makin membahayakan pengaruh kaum imperalis terhadap Indonesia dan menyulitkan mereka menanam modal di Indonesia, berarti kaum imperalis makin sulit melakukan dominasi ekonomi dan politik di Indonesia, (2) kekuasaan Angkatan Darat makin kuat, merupakan kekuatan bagi kaum imperalis untuk menguasai kembali Indonesia secara ekonomi dan politik, karena sebagaian jenderal Angkatan Darat menjadi sahabat baik Amerika dan Inggris, dan (3) seriusnya sakitnya Bung Karno, menjadi perhatian utama kaum imperalis untuk dijadikan langkah awal menguasai Indonesia kembali pada saat Bung Karno meninggal dunia. Ketiga gejala tersebut, diduga kaum imperalis menyiapkan strategi untuk menempatkan Angkatan Darat menjadi penguasa politik di Indonesia, dengan menyingkirkan jenderaljenderal pendukung Soekarno dan menghancurkan PKI, karena garis politik PKI sejalan dengan garis politik Bung Karno yang anti feodalisme, kolonialisme, dan imperalisme. Hal yang menguntungkan kaum imperalis adalah bahwa pada tahun 1960-1963, PKI telah dijinakkan oleh Bung Karno. Itu berarti garis politik komunis dengan aksi dan revolusi bersenjatanya untuk membangun pemerintahan demokrasi rakyat telah hilang. PKI tidak lagi menjadi partai yang revolusioner, tetapi menjadi partai yang evolusioner berbasis pada program parlementer; PKI yakin bahwa ia dapat berkuasa melalui jalan parlementer. Hal itu dapat dilihat sejak 1963, PKI tidak mempunyai program revolusi bersenjata seperti di China, Kuba, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Pada tahun 1964, aksi sepihak PKI makin meluas di pedesaan, menuntut diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang intinya tanah untuk petani, bukan untuk tuan tanah, dan menuntuk diberlakukannya Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), yang intinya petani penggarap harus diuntungkan. Aksi ini hanya merupakan aksi ekonomi, bukan aksi politik bersenjata. Aksi ini melahirkan konflik sosial antar pengikut PKI dengan pengikut Partai lainnya, karena sebagian pemilik tanah luas adalah menjadi anggota partai lain seperti PNI, NU, dsb. Aksi sepihak itu merupakan tindakan PKI membuka front pertentangan dengan rakyat pengikut partai lain. Setelah pemilu 1955, Soekarno menemukan jatidirinya yaitu anti kolonialisme baru (imperlasime) dan bekerja sama dengan PKI untuk mengganyang (menghancrukan) Malaysia. Oleh Soekarno, Malaysia adalah boneka Inggris dan Amerika untuk mengepung Indonesia. Pendapat ini didukung oleh PKI. Dalam hal ini PKI kurang tepat sasarannya. Mestinya sasaran PKI adalah anti imperalisme di Indonesia, bukan anti Malaysia. Malaysia sebagai boneka Inggris dan Amerika adalah masalah yang abtrak, yang kongkrit adalah penghisapan dan penindasan kaum imperalis di Indonesia melalui penanaman modal asing. Keadaan yang demikian, Inggris dan Amerika makin marah terhadap PKI. Konflik Bung Karno dengan Angkatan Darat adalah masalah "Angkatan Kelima" yaitu buruh dan tani harus dipersenjatai; ini mungkin gagasan PKI yang ingin meniru Revolusi Tiongkok, di mana kaum tani bersenjata dibantu kaum buruh bersenjata melawan tuan tanah. Di samping itu konflik Soekarno dengan Angkatan Darat adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Nasution dan Gatot Subroto ingin merebut kekuasaan. Konflik Soekarno dengan Angkatan Darat yang paling gawat adalah bahwa sebagian Jenderal-Jenderal Angkatan Darat (Dewan Djenderal) tidak setuju dengan program revolusi Indonesia yang belum selesai dan adanya berita bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kup tanggal 5 Oktober 1965. Berita kup Dewan Jenderal itu diperoleh dari dokumen Sir Andrew Gilchrist Duta Besar Inggris di Indonesia; ia mengatakan kepada temannya Amerika, bahwa operasi militer telah dispersiapkan dengan our local army friends. Soekarno marah dan PKI terjebak dengan berita tersebut. Dokumen Gilchrist itu sengaja disebarluaskan. Dokumen kup Dewan Jenderal
sengaja dibocorkan, yang terdiri dari Nasution, Yani, Harjono, Suparpto, S. Parman, Sutojo, Sukendro, Sumarno Ibu Sutowo, Rusli. Anggotanya 40 orang di mana Soeharto masuk di dalamnya, aktif 25 orang, 7 orang diantaranya adalah pimpinan puncak. Mungkin dokumen itu sengaja dibuat oleh Gilchrist untuk memancing Bung Karno marah dan mengadakan tindakan pembersihan di tubuh Angkatan Darat yaitu Jenderal Yani dkk., di mana sebenarnya mereka itu adalah pendukung setia Bung Karno. Bung Karno memerintahkan Letnan Kolonel Untung dari kesatuan Cakarabirawa pengawal presiden, untuk membereskannya. Perintah Bung Karno kepada Untung tersebut disambut baik oleh sebagian pimpinan PKI yaitu Aidit dan Syam Kamaruzaman. Kedua tokok PKI itu yakin bahwa Bung Karno dengan kekuatan pasukan Cakrabirawa dapat menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, maka Untung bergerak mendahuluinya dengan mengadakan gerakan penangkapan para Jenderal pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal peristiwa G/30S. Konflik intern Angkatan Darat sebenarnya dimulai dari Nasution kontra Yani. Yani menggantikan Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat; Yani setuju Soekarno bahwa Nasution sebagai Panglima Angkatan Bersenjata hanya tugas administratif saja, Yani mengganti orang-orang Nasution di Kodam-Kodam. Yani setuju pembubaran panitia Rituling Apratur Negara yang dipimpin oleh Nasution. Soeharto dan Basuki Rachmad, dkk menjadi mediator konflik Nasution-Yani. Diduga, Soeharto memanfaatkan konflik Nasution lawan Yani, Yani lawan Soekarno, dan konflik Yani lawan PKI. Pada trahun 1965 Yani dan Nasution bersatu melawan Soekarno dan PKI, karena merasa bahwa Soekarno selalu mengikuti politik PKI, atau mungkin karena Bung Karno memberi ruang gerak yang leluasa bagi PKI untuk mengadakan propaganda anti feodalisme, kolonialisme dan imperlisme. Hakikatnya dalam kubu Angkatan Darat terdapat empat kelompok, yaitu: Kubu Nasution dkk, Yani dkk, Soeharto dkk.(terutama trio Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo), dan kubu Jenderal Mursjid dkk calon pengganti Yani tanggal 1Oktober 1965. Dari empat kelompok tersebut, Inggris dan Amerika diduga bersekutu dengan kubu Soeharto, karena Soeharto tidak anti Amerika. Amerika kurang percaya kepada Nasution, karena Nasution gagal kup 17 Oktober 1952. Amerika kurang percaya kepada Yani, karena Yani telah menghancurkan PRRI dan Permesta yang didukung senjata Amerika. Amerika tidak percaya kepada Mursyid, karena Mursyin pengikut Bung Karno yang sangat loyal, patriot, dan nasionalis anti imperalisme. Berdasarkan informasi di atas, diduga Inggris dan Amerika dengan CIA nya membantu Soeharto untuk naik ke panggung kekuasaannya. Tujuannya adalah penguasaan sumbersumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya. Jadi tujuannya adalah penguasaan ekonomi, yaitu masuknya modal asing atau Multi National Corporation mendominasi ekonomi Indonesia. Kenyataanya, sejak Soeharto berkuasa sampai saat ini, modal asing menguasai ekonomi Indonesia. 9. Strategi Soeharto Untuk Berkuasa. Soeharto berpura-pura menjadi anggota Dewan Jenderal untuk memantau persiapan yang sedang dilakukan; Yoga (Trio Soeharto) memberi info kepada S. Parman (atasannya Yoga) bahwa akan ada penculikan-penculikan. Tentu saja tindakan Yoga itu diketahui oleh Soeharto. S. Parman tidak percaya atas kebenaran info Yoga tersebut. Tujuan info info itu adalah untuk mengetahui apakah Yani tahu atau tidak tentang akan adanya gerakan 30 September. Ternyata Yani belum tahu, berdasar ketidakpercayaan S. Parman tentang info tersebut. Diduga Soeharto menyimpulkan bahwa rencana Untung dkk melakukan penculikan 30 September belum diketahui oleh lawan Yani dkk). Keadaan sekitar peristiwa 30 September menguntungkan Soerharto; kalau Untung gagal
membunuh Yani dkk, Soeharto menjadi pahlawan, karena ia dengan kawan-kawannya telah memberitahu S. Parman sebelumnya; dan jika Untung berhasil menangkap Yani dkk, Untung dkk harus dilenyapkan. Ternyata yang menjadi kenyataan adalah Untung dkk berhasil menangkap dan membunuh Yani dkk, kemudian Untung dilenyapkan oleh Soeharto dkk. Soeharto dkk naik ke panggung kekuasaan Republik Indonesia. Peristiwa G/30S yang hampir mirip pernah dilakukan sebelumnya oleh Soeharto pada peristiwa penolakan pengangkatan Panglima Kodam Diponegoro, dan pada tahun 1946, yang dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946. Soeharto mampu menggusur Kolonel Bambang Supeno yang akan dilantik menjadi Panglima Kodam Diponegoro, dengan cara menyuruh Yoga dkk mengadakan rapat gelap di Kopeng Salatiga Jawa Tengah yang hasilnya adalah menolak Bambang Supeno menjadi Panglima Kodam Diponegoro. Akhirnya Soekarno membatalkan pengangkatan tersebut dan menggantinya dengan Letkol Soeharto. Soeharto mampu menggagalkan kup 3 Juli 1946, yang dilakukan oleh Tan Malaka dari Partai Murba bersama militer di Jawa Tengah termasuk Soeharto. Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Syahrir dkk diculik oleh Soedarsono komandan Divisi III, Sutarto Komandan Militer, dan Abdul Kadir Yusuf Komandan Batalyon di Surakarta. Tanggal 1 Juli 14 orang sipil pendukung komplotan penculik ditangkap dan dijebloskan di penjara Wirogunan Yogya. Sudarsono, Abdul Kadir Yusuf, Sucipto Kepala Intelejen AD, berkumpul di markas Soeharto Komandan Resimen III di Wijoro. Pada tanggal 2 Juli 1946 mereka menggerakkan dua batalyon dari Resimen I dan Resimen III untuk membebaskan kawan-kawannya yang dipenjara di Wirogunan dan berhasil, dan berhasil menguasasi stasion radio, kantor telpon. Dari Wirogunan, kawan-kawan yang dipenjara dibawa ke markas Soeharto untuk dilindungi. Malamnya mereka mempersiapkan kup untuk membubarkan pemerintah Syahrir dan Amir Syarifudin, tetapi dapat digagalkan. Pelaku-pelakunya diadili, dan Soeharto berbalik arah bahwa keberadaan kawan-kawan di markasnya itu adalah dalam rangka mengamankannya atau menawannya. Soeharto tampil sebagai pahlawan. Untung dan Latief yang gagah berani adalah bekas anak buah Soeharto. Supardjo dan Soeharto adalah sama-sama menjadi anggota dewan jenderal, Soeharto Panglima Kostrad, Supardjo wakil Panglima Kostrad dan merangkap Panglima KOLAGA (Komando Mandala Siaga). Untung, Latief, Supardjo, adalah pimpinan kolektif G/30S yang mempunyai hubungan baik secara pribadi dengan Soeharto. Dalam kondisi yang demikian itu, Soeharto memiliki empat jalur yaitu : (1) jalur Dewan Jenderal di mana ia sebagai salah satu anggotanya; dalam jalur ini Soeharto dapat memantau rencana Dewan Jenderal mengadakan kup, (2) jalur Sujono, dan Dul Arief sebagai pelaksana G/30S, (3) jalur Latief, Untung dan Soeparjo, yaitu pimpinan kolektif G/3S, dan (4) jalur luar negeri dukungan Inggris dan Amerika yang ingin melenyapkan Bung Karno. Keempat jalur tersebut berhasil dikelola oleh Soeharto dkk untuk memenangkan pertandingan merebut kekuasaan politik dari Bung Karno. Kemudian Soeharto melaksanakan kekuasaan politik yang didukung oleh Angkatan Darat, Inggris, dan Amerika. Modal asing mengalir masuk ke Indonesia dengan dilindungi oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Politik Ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) Soekarno runtuh diganti oleh politik ekonomi liberal kapitalisme; berdaulat di bidang politik hancur, diganti oleh politik yang dihegemoni oleh imperlisme; kepribadian dalam kebudayaan hancur, diganti oleh kebudayaan Barat individualistik dan liberalistik. 10. Renungan Filsafat Tidak ada kata terlambat dalam kamus politik. Yang ada adalah bahwa kegagalan adalah awal
dari kemenangan. Bangsa Indonesia telah gagal membangun dirinya yaitu gagal berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan gagal berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Kegagalan itu harus menjadi bahan pelajaran untuk menuju sukses dengan cara melakukan pendidikan politik bagi rakyat melalui kegiatan partai politik, kegiatan mahasiswa, dan kegiatan kaum cendekiawan. Ketiga elemen masyarakat itu harus bersatu padu mendidik rakyat agar rakyat sadar politik, kemudian mampu membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan, dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman imperalisme (penjajahan dalam bentuk baru). Bagi PKI, kehancurannya itu disebabkan karena salahnya sendiri, karena penyakit subyektivisme dalam bidang ideologi, avonturisme dalam bidang politik, dan legalismeliberalisme dalam bidang organisasi. Ketiga jenis kesalahan itu yang membawa kehancuran PKI. Semua organisasi politik yang menderita tiga penyakit itu pasti akan hancur. Organisasi politik yang mampu bertahan hidup adalah organisasi yang obyektif (memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat) di bidang ideologi, garis perjuangan jelas dan konsisten membela kepentingan sebagian besar rakyat di bidang politik, dan harus ada kristalisasi kader dan disiplin tinggi di bidang organisasi. Sumber: PI, Indonesia - L Jakarta, 28 Februari 2001
Date: 2005/12/6 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=116
Bertarung Melawan Pembodohan
HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan Razif* Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga. Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja. Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosialbudaya dirasuki semangat “penertiban dan penyeragaman”, di mana pikiran berbeda adalah ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan negara. Sekeping Pernyataan Demokrasi Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya. Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas. Pramoedya pun setuju. “Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi,” tulis Pramoedya
beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu. Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. “Kami mau membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan hanya cerita sedih dan penderitaan saja,” kata Hasjim ketika itu. Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang kapten TNI-AL datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran kabarnya lagi. Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi wartawan sekian suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan keuangan. Bulan Mei mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih mendekam di tahanan, Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan mereka. “Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim,” kenang Joesoef. Beberapa kerabat dan sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa mulai berjalan. Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik. Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset dari harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti “suatu kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada perkembangan demokrasi di Indonesia – dan bukan demokrasi warisan sah kolonial, demokrasi hasil keringat sendiri”. Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk dari Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan oleh berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran penuh dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan.
Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya “karya sastra yang terbagus saat ini.” Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI pun menyebutnya sebagai “sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia”. Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan,” kata Joesoef. Seorang kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat canggih untuk zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan. Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. “Mimpi saya sudah macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata Joesoef. Tidak semua mimpinya terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang harus ditindak. Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas itu meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan yang aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang buku yang sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Tiga hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa Bumi Manusia “mengandung teori Marxisme terselubung”, tanpa menjelaskan maksudnya tentu saja. Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka membenarkan bahwa karya itu memang “mengandung ajaran Marxis” walau selalu gagal menunjukkannya dengan jelas. “Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar, justru bungkam,” kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan tokoh kebudayaan yang mengaku “penggemar berat Pramoedya”, tapi tidak memberi pendapat apa pun ketika karyanya dilarang. Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang memproduksi Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta agar tidak mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak memuat resensi apalagi pujian bagi karya Pramoedya. Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak Semua Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit di luar negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi bahasa asingnya. Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian disiarkan melalui media massa sebagai “bukti keresahan masyarakat”, modal penting bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan
pengarangnya. Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya. Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK052/JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu antara lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan Rakor Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya. Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi “landasan ilmiah dan kultural” kepada pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. “Menariknya, ada juga di antara mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis besar,’ kata Joesoef sambil tersenyum. Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua karya pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan. Akibatnya saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim terpaksa mencari percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anakanaknya. Bagi Hasta Mitra yang “bermodal dengkul”, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar. Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. “Itulah esensi pelarangan buku-buku kami: untuk menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi,” kata Joesoef. Ekspansi di Tengah Represi Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia
adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya. Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif. Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan modal 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa. Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu para eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai mengurus paspor dan izin tinggal. Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk kegiatan seperti itu sehingga modalnya tidak pernah berkembang. “Memang sejak awal Hasta Mitra punya misi membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua,” kata Joesoef. Modal awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan Manus Amici pun gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing – saat ini karya Pramoedya sudah diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa – ditangani langsung dari kantor di Jakarta. Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak membayar royalti seperti seharusnya. Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak “keuntungan” lain. Konsep “tangan sahabat” berkembang karena banyak aktivis yang membantu menyalurkan buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil penjualan untuk membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga ekstapol yang bisa mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi, sosial maupun politik. Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca terbitan Hasta Mitra menjadi semacam “syarat pergaulan” dan bahkan bacaan wajib untuk mereka yang tertarik pada nasib negerinya. “Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan demokrasi. Di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga bisa digunakan oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mitra mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan akumulasi modal. Dan memang karena bukan itu kehendak kami.” Menjadi Penerbit Gerakan Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan
besar yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung. Uluran “tangan sahabat” ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun pertama “reformasi” bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra. “Tapi setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi, mereka mundur teratur,” ujar Joesoef sambil tertawa. Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. “Itu tidak betul,” kata Joesoef. “Buktinya dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun. Karena uangnya tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka. Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh Joesoef Isak. “Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim,” katanya. Ditambah lagi kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawabawa. Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit gerakan untuk menegakkan demokrasi dengan keringat sendiri. * RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya Sumber, ip: Jaringan kerja Budaya http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-062001/mkb-rubrik-062001/profil-062001.htm
Date: 2005/12/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=137