86
5. TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG 5.1.
Tinjauan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi lahan basah ini (Tabel 32)
adalah pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak tahun 1954 diserahkan kepada Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 (Tim Terpadu 2005) yang merupakan penunjukan kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) seluas 10 481.15 ha yang telah ditata batas sesuai Berita Acara Tata Batas tanggal 3 Pebruari dan disahkan tanggal 31 Mei 1957. Kemudian Surat Menteri Kehutanan Nomor A.1357/INS.L/1963 tahun 1963 ke Kepala Direktorat Agraria, Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Jawatan Kehutanan tentang tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan tanah lain yang dikuasai negara dan telah digarap rakyat akan dijadikan tanah pertanian yang selanjutnya akan dibagikan kepada masyarakat. Perubahan kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertanian mengurangi fungsi hutan lindung. Dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 43/KA/1967 tahun 1967 seluas 1 123 ha tentang penambahan luas kawasan hutan akibat adanya tanah timbul (akresi) di Cabang Bungin. Dalam daftar lahan basah pada Wetlands International Indonesia Program (WI-IP 1997), salah satunya terdapat lahan basah pada pantai Utara Jawa adalah Cagar Alam Muaragembong dengan luas lahan basah 10.481 ha. Batasan lahan basah menurut Wetland Internasional (kode JAV09) terletak pada koordinat: Lintang 06º 02' 07'' S dan Bujur 107º 4' 45'' E dengan ketinggian 0 s.d 15 meter. Luas lahan basah ini sama dengan luas kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 tahun 1954. Keputusan Presiden nomor 48 tahun 1991 tentang pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. Bahwa di Ramsar, Iran, pada tanggal 2 Pebruari 1971 telah diterima konvensi lahan basah untuk kepentingan internasional khususnya untuk habitat burung air sebagai hasil konferensi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
87 (UNESCO) mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan internasional sebagai habitat burung air. Konvensi tersebut bertujuan melestarikan lahan basah berikut flora dan faunanya yang pelaksanaannya memerlukan keterpaduan antara kebijaksanaan internasional. Peraturan Pemerintah Nomor 25 / 1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani. Dan berdasarkan UndangPemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi tahun 2003-2013. Kecamatan Muaragembong merupakan bagian dari kawasan khusus pantai utara Kabupaten Bekasi. Serta Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 5 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun 2003-2013. Struktur pemanfaatan ruang kawasan khusus ini, diarahkan menjadi lima kawasan antara lain kawasan pengembangan Muaragembong Selatan (Desa Pantai Bahagia, Desa Pantai Harapanjaya) dan Muaragembong Utara (Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Bakti, Desa Pantai Sederhana) menjadi pusat pengembangan dan pelayanan yang diarahkan pada Kota Pantai Makmur dengan kegiatan pertanian, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran, pariwisata serta pergudangan/terminal peti kemas dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Pengembangan wisata di kawsan khusus pantai utara ini dilakukan secara terintegrasi yang antara lain dengan Taman Impian Jaya Ancol, Waterboom di Cikarang. Kawasan lindung berupa hutan bakau pada sepadan sungai dan sepadan pantai. Dalam Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tahun 2004 tentang Selayang Pandang Kabupaten Bekasi, tanah di Kecamatan Muaragembong dinyatakan
88 tanah hak milik sebesar 18.52% dan tanah Perum Perhutani sebesar 56.27% dan tanah negara bebas negara bebas sebesar 25.21%. Tanah Perhutani pada lahan basah ini merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat dan untuk menunjang kelestarian lingkungan hidup. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut-II/2005 tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) seluas ± 5 170 ha terletak di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi menjadi kawasan hutan Produksi Tetap. Berdasarkan hasil pengkajian Tim Terpadu yang terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Universitas Gadjah Mada, merekomendasikan kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) menjadi blok perlindungan dan blok pemanfataan (hutan produksi tetap), sedangkan blok penggunaan diperuntukan bagi kepentingan non kehutanan. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat nomor 2 tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung Muaragembong terletak di Kabupaten Bekasi merupakan kawasan hutan payau. Perlindungan terhadap kawasan hutan payau dilakukan untuk melestarikan hutan payau sebagai pembentuk ekosistem hutan payau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor,
Depok,
Tangerang,
Bekasi,
Puncak,
Cianjur
(Jabodetabekpunjur). Dengan tujuan antara lain, mewujudkan keterpaduan penataan ruang antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan
keseimbangan
kesejahteraan
dan
ketahanan.
Dengan
dikeluarkannya peraturan ini, maka diharapkan dapat terwujudnya keterpaduan penataan ruang antar daerah Jabodetabekpunjur sebagai kesatuan wilayah perencanaan dan pengelolaan kawasan pantai hutan bakau Muaragembong dapat dilestarikan sebagai pembentuk ekosisitem hutan bakau. Rencana pola ruang pada daerah penelitian ini diperuntukan sebagai; ruang untuk kawasan lindung yaitu zona non budidaya (N1); dan ruang untuk kawasan budidaya yaitu zona budidaya (B1, B2, B4 dan B7) dan zona penyangga (P1 dan P2).
89 Zona Budi Daya, selanjutnya disebut Zona B, adalah zona yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada kawasan budidaya. Zona Non Budi Daya, selanjutnya disebut N, adalah zona yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada kawasan lindung. Zona Penyangga, selanjutnya disebut zona P, adalah zona pada kawasan budidaya di perairan laut yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan untuk melindungi kawasan budidaya dan/atau kawasan lindung yang berada di daratan dari kerawanan terhadap abrasi pantai dan instrusi air laut. Ruang untuk kawasan lindung atau zona non budidaya (N1), tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya, kegiatan budidaya yang telah terlanjur dalam jangka panjang harus dikeluarkan dari zona ini, hutan lindung (HL), riset, hutan sepadan sungai, sepadan pantai, hutan bakau. Sedangkan ruang kawasan budidaya yaitu (1) zona B1 diarahkan untuk perumahan hunian padat (perkotaan), perdagangan dan jasa, industri ringan non polutan dan berorientasi pasar; (2) zona B2 diarahkan untuk perumahan hunian sedang (pedesaan), pertanian/ladang, industri berorientasi tenaga kerja; (3) zona B4 diarahkan untuk perumahan hunian rendah, pertanian lahan basah/kering, perkebunan, perikanan, peternakan agroindustri dan hutan produksi; (4) zona B4/HP adalah zona B4 yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai Peraturan Perundang undangan; (5) zona B7/HP adalah zona B7 yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai Peraturan Perundang undangan.; (6) zona P1 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, instrusi air laut, pencemaran, dan kerusakan dari laut. Pemanfaatan diarahan untuk menjaga fungsi zona N1; (7) zona P4 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah. Diarahkan untuk menjaga fungsi zona B2 dan B4. Peraturan,
Perundang-undangan
yang
berlaku
pada
lahan
basah
Muaragembong dan database Ramsar, yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah di Muaragembong dari tahun 1954 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 33.
90 Tabel 33.Peraturan dan Perundang-undangan dan database Ramsar berkaitan dengan pengelolaan lahan di Muaragembong lahan basah sampai dengan tahun 2008. Tahun
Kebijakan
Keterangan
Status
1954
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54.
Tentang penunjukan kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) seluas ± 10 482 ha yang telah di tata batas sesuai Berita Acara Tata Batas tanggal 3 Februari 1957 dan disahkan tanggal 31 Mei 1957.
Kawasan hutan lindung.
1963
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. A.1357/Ins/1963.
Tanah perkebunan, kehutanan dan tanah lain yang dikuasai negara dan telah digarap rakyat, dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat.
Tanah pertanian.
1987
Database Wetland dengan kode JAV09 (Silvius et al. 1987).
Lahan basah Muaragembong masuk dalam database Ramsar sebagai cagar alam, dengan luas 10 481 ha.
Cagar alam.
1991
Peraturan Presiden Nomor 48/1991.
pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat.
Kawasan perlindungan.
1999
Peraturan Presiden Nomor 25/1999.
Penetapan status kawasan Muaragembong di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani.
Peninjauan status kawasan.
2003
Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 tahun 2003.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2003-2013.
Kawasan khusus pantai utara Kabupaten Bekasi.
2003
Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 5 tahun 2003.
Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun 2003-2013.
- Menjadi Kota Pantai Makmur. - Kawsan lindung.
2005
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/MenhutII/2005.
Perubahan sebagian fungsi kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) seluas ± 5 170 ha terletak di Kecamatan Muaragembong menjadi kawasan hutan produksi tetap.
- Kawasan hutan lindung - Kawasan hutan produksi tetap.
2006
Peraturan Daerah Propinsi Jawa barat Nomor 2 tahun 2006.
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Muaragembong, terletak di Kabupaten Bekasi merupakan kawasan hutan payau.
- Kawasan hutan payau.
2008
Peraturan Presiden Nomor 54.
Penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur).
- Zona non Budidaya. - Zona Budidaya dan zona penyangga.
91 Hasil overlay kebijakan-kebijakan pada lahan basah Muaragembong dan analisis kesesuaian lahan dengan peta tahun 2008 (kondisi saat ini), menunjukan luas kawasan lindung (mangrove) pada lahan basah alami ditinjau pada kondisi saat ini berkisar antara 2% sampai dengan 13% (Tabel 34 dan Gambar 30). Tabel 34. Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (peta LANDSAT7 tahun 2008). Kebijakan di lahan basah Muaragembong dan Hasil Analisis Kesesuaian
Kawasan lindung hasil overlay kebijakan
Kawasan lindung berdasarkan
dengan kondisi saat ini (2008)
kebijakan yang ada dan
dan hasil analisis kesesuaian lahan
analisis kesesuaian
(ha) Ramsar 1987
(%)
(ha)
535
5
10 480
Tata Ruang 2003-2013
75
13
600
KEPMEN No.54/2005
405
5
8 390
Perpres 54/2008
405
3
4 954
Hasil Analisis Kesesuaian
219
5
6 354
Usulan penggunaan lahan
400
6
6 700
12 000
10 480 10 000
8 390
Luas (ha)
8 000
6 354
6 000
6 700
4 954 4 000
2 000 535 Ramsar 1987
600 405 75 Tata Ruang 2003-2013
405 219
KEPMEN No.54/2005
Perpres 54/2008
Hasil Analisis Kesesuaian
400 Usulan penggunaan lahan
Kawasan lindung hasil overlay kebijakan dengan kondisi saat ini Kawasan lindung berdasarkan kebijkan dan hasil analisis kesesuaian lahan
Gambar 30. Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (LANDSAT7 2008). Perubahan penggunaan lahan basah selama 62 tahun (1946 – 2008) yang disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah, kegiatan manusia dan alam, mengakibatkan berkurangnya luas lahan basah alami. Hasil analisis, persentasi luas lahan basah alami terhadap total luas lahan basah adalah; tahun 1946 sebesar
92 87%, tahun 1992 sebesar 15%, tahun 1998 sebesar 13%, tahun 2004 dan 2008 sebesar 6%. Sedangkan berdasarkan Ramsar (1987) sebesar 100%, Tata Ruang 2003-2013 sebesar 6%, KEPMEN 54/2005 sebesar 51%, Perpres 54/2008 sebesar 56%. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, maka penggunaan lahan basah alami sebesar 47% dan usulan penggunaan lahan basah alami sebesar 50%. Hal ini menunjukan usulan penggunaan lahan basah alami hasil analisis dalam penelitian ini, mendekati KEPMEN 54/2005 dan Perpres 54/2008. Penggunaan lahan basah alami dan non alami dapat dilihat pada Tabel 35 dan Gambar 31. Tabel 35. Kebijakan dan penggunaan lahan basah Muaragembong tahun 1946 – 2008 serta usulan penggunaan lahan basah tahun 2008. Penggunaan Lahan Basah Muaragembong Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami (ha) (%) (ha) (%) 10 956 87 1 625 13 1 856 13 12 011 87 874 6 12 686 94 836 6 12 724 94 10 480 100 878 6 12 682 94 6 896 1 6 664 49 7 655 56 5 905 44 6 353 47 7 207 53 6 760 50 6 800 50
Hasil Analisis Peta 1946 (digitasi) Peta LANSAT Tahun 1998 Peta SPOT5 Tahun 2004 Peta SPOT7 Tahun 2008 Ramsar 1987 Tata Ruang 2003-2013 KEPMEN No.54/2005 Perpres 54/2008 Hasil Analisis Kesesuaian Usulan penggunaan tahun 2010
Total Lahan Basah (ha) 12 581 13 867 13 560 13 560 10 480 13 560 13 560 13 560 13 560 13 560
14 000
Luas (ha)
12 000 10 000 8 000 6 000 4 000 2 000 -
Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami
Kebijakan pada lahan basah Muaragembong dan usulan penelitian
Gambar 31. Lahan basah alami dan non alami berdasarkan kebijakan.
93 Hasil peneltian, didapat (1) kawasan perlindungan (mangrove) sebesar 49%, yang diperuntukan sebagai perlindungan terhadap abrasi dan perlindungan habitat satwa dan (2) kawasan pemanfaatan umum sebesar 51% yaitu berupa ekowisata, perikanan (tambak) dan pertanian (sawah), pemukiman dan kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Atau lahan basah alami sebesar 49%, lahan basah non alami (lahan basah buatan) sebesar 45% dan lahan basah non alami (penggunaan kering) sebesar 6% (Tabel 42, 43 dan Gambar 36, 37). Perbedaan pemanfaatan lahan berdasarkan kebijakan-kebijakan yang ada pada Tabel 36, sedangkan luas dan presentasi pada Lampiran 5. Tabel 36 Perbedaan Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Ramsar, Tata Ruang Pemerintah Daerah dan Hasil Penelitian. No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
5.2.
Kawasan
Cagar Alam Kawasan Mangrove/Lindung Kawasan hutan produksi Ekowisata Kawasan Sawah Kawasan Tambak Permukiman Tempat pelelangan ikan (TPI) Pelabuhan Kantor Penelitian Ladang Sungai Rawa
Konvensi Ramsar
Perda 5/2003
PP 54/2008
Kondisi 2008
Hasil Penelitian
√
SK.475/ MenhutII/2005 √
√ -
-
√
√
√
-
-
√
√
-
√
-
√ √ √ √ √
-
-
√ -
√ √ √ -
√ √ √ √ √
-
√ √ √ -
√ -
√ -
√ √ √
√ √ -
Arahan Penzonaan dan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong. Kewenangan Pemerintah Daerah meliputi eksplorasi, konservasi dan
pengelolaan sumberdaya alam serta tanggung jawab untuk melestarikannya (UU Nomor 32 tahun 2004). Dengan kata lain Pemerintah Daerah diwajibkan untuk dapat memenuhi kebutuhan daerahnya, maka untuk mendukung pendapatan asli daerah di lahan basah dengan strategi melakukan kegiatan dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan dan keinginan masyarakat berupa ekowisata, budidaya tambak dan pertanian (sawah) dan tetap menjaga berfungsinya hutan mangrove. Peran serta masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan
94 ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya melalui pendidikan dan penyuluhan (Undang Undang Nomor 5 tahun 1990). Kebijakan Pemerintah yang berubah-ubah dalam peruntukan lahan basah, mengakibatkan luas lahan basah mengalami penurunan secara fisik dan habitat. Secara fisik kawasan mangrove mengalami penurunan luasan dari 10 955 ha (100%) pada tahun 1946 menjadi 186 ha (2.17%) pada tahun 2008, yang diakibatkan oleh perambahan kawasan mangrove menjadi kawasan tambak, sawah dan pemukiman. Secara habitat, terdapat satu jenis mamalia dan satu jenis mangrove (Bruguiera sp.) hilang. Penggunaan lahan (1946 s/d 2008) dapat dilihat pada Tabel 37 dan Gambar 32). Tahun 1946 luas lahan basah non alami sebesar 13%, tahun 2008 sebesar 94%. Terjadi perubahan luas lahan dari 10 481 ha (1946) menjadi 13 867 ha (1998) dan luas lahan menurun menjadi 13 561 ha (2004 dan 2008).
Tabel 37. Penggunaan Lahan Basah dari tahun 1946 s/d 2008. Tahun
Lahan Basah Alami (ha)
Lahan Basah Non Alami Lahan Basah Buatan Lahan Kering Total non Alami
(%)
(ha)
(ha)
(ha)
Total Luas Lahan Basah Lahan Basah (%)
(ha)
1946
10 955
87
1 520
105
1 626
13
12 581
1998
1 870
14
11 206
791
11 997
88
13 867
2004
852
6
11 880
829
12 709
94
13 561
2008
843
6
11 802
915
12 718
94
13 561
Luas Lahan Basah
14 000 12 000 10 000 8 000 6 000 4 000 2 000 1946
1998
2004
2008
Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami
Tahun
Gambar 32. Lahan basah alami dan lahan basah non alami.
95 Luas lahan basah mangrove setiap tahun semakin menurun (Tabel 38) Perubahan lahan ini disebabkan oleh dua hal utama yakni perubahan akibat alami dan non alami. Perubahan pantai bagian utara (Tanjung Wetan) akibat kegiatan penduduk. Laju perubahan garis pantai akibat abrasi dan akresi semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi karena adanya pengaruh konversi lahan yang dilakukan oleh penduduk. Konversi lahan umumnya untuk lahan tambak, sawah dan pemukiman (Gambar 33). Tabel 38. Perubahan penggunaan lahan basah. Tambak 931 9 795 10 344 10 265
Tahun Mangrove 1946 10 955 1998 704 2004 198 2008 192
Sawah Permukiman 589 105 1 410 369 1 536 380 1 537 464
12 000
10 000
Luas (ha)
8 000
6 000
4 000
2 000
Mangrove (ha) Tambak (ha) Sawah (ha) Pemukiman (ha)
1946
1998
2004
2008
Tahun
Gambar 33. Perubahan penggunaan lahan Muaragembong 1946 s/d 2008.
Hasil analisis potensi dan kondisi, terjadi satu jenis mangrove (Bruguiera sp.) hilang dari lima jenis mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans) yang ada dan satu jenis mamalia (Macan Tutul Jawa) hilang dari tiga jenis mamalia yang ada (Macan tutul jawa, Kera ekor panjang dan Lutung) sedangkan jenis burung dan reptilia tidak mengalami
96 perubahan jenis. Disamping itu, dalam 62 tahun (1946 – 2008) terjadi akresi seluas 979 ha atau 16 ha tiap tahun dan abrasi seluas 307 ha atau 5 ha tiap tahun, yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Namun demikian, lahan basah Muaragembong masih dapat berfungsi sebagai ekosistem lahan basah berdasarkan kriteria Ramsar dengan dibuktikannya terdapat jenis flora dan fauna dalam kriteria Ramsar. Sedimentasi yang terjadi setiap tahunnya dari Ci Tarum dan abrasi sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan penduduk. Hasil analisis kesesuaian lahan basah yang diperoleh sebagai berikut; lahan basah ini memiliki kesesuaian lahan mangrove, tambak, perikanan dan pemukiman. Lahan basah ini, mempunyai potensi sebagai kawasan mangrove, tambak dan sawah. Maka berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, potensi pengembangan pada lahan basah ini adalah kawasan mangrove 6 354 ha (47%), tambak 5 370 ha (40%), sawah 802 ha (5%) dan pemukiman 1 035 ha (8%). Hasil tinjauan kebijakan-kebijakan pengelolaan pada lahan basah Muaragembong didapat, luas lahan basah alami berdasarkan Tata Ruang 2003-2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi seluas 879 ha, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005 seluas 6 897 ha, Peraturan Presiden Nomor 54/2008 seluas 6 354 ha. Kondisi lahan basah ini tahun 1946 – 2008 pada Lampiran 3. Arah kebijakan adalah (1) bagi kawasan yang secara fisik teknis harus tetap menjadi kawasan perlindungan ekosistem akan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung (mangrove), termasuk sepadan pantai dan sekitar badan sungai dimana pada saat sekarang kawasan tersebut berupa tambak, (2) bagi kawasan yang tidak termasuk hutan mangrove, diusulkan sebagai kawasan pemanfaatan yaitu berupa ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan, (3) sedangkan kawasan yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap diusulkan pemindahan penduduk pada kawasan pengganti diluar kawasan perlindungan ekosistem dengan program pemindahan penduduk dan pemukiman kembali (masyarakat yang dipindahkan, kualitas hidupnya akan lebih baik atau paling tidak sama dengan ditempat asalnya. Langkah – langkah proses zonasi (modifikasi Situmorang, 2009) adalah pada Gambar 34, sedangkan langkah penetapan kawasan/zona pada Gambar 35.
97
Identifikasi kondisi dan potensi lahan basah : 1. Identifikasi jenis dan area sumberdaya (flora dan fauna).
2. Identifikasi penggunaan sumberdaya saat ini. (pemanfaatan lahan tahun 2008).
Analisis potensi dan kondisi lahan basah (item 1 s/d 3)
Penyusunan aturan pengambil keputusan.
Penetapan tujuan penggunaan setiap area sumberdaya. (Penggunaan secara berkelanjutan).
Penyusunan Draft Peta Zonasi lahan basah.
Menetapkan zonazona dan arahan pemanfaatannya
Rencana Zonasi
3. Identifikasi potensi perkembangan (konservasi dan pemanfaatan umum). Memeriksa konsistensi draft Rencana dengan Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabuten Bekasi 2003-2013, SK.475/Menhut-II/2005 dan PP 54/2008.
Identifikasi lokasi konflik (potensi) dan memberikan usulan penyelesaian permasalahan . (komersial > < konservasi)
Melaksanakan konsultasi publik dan menyesuaikan draft rencana zonasi berdasarkan input dari masyarakat
Menetapkan Penzonaan Pengelolaan dan Aksi 1. Kawasan Konservasi (mangrove) 2. Kawasan Pemanfaatan Umum.
Gambar 34. .Langkah-langkah proses zonasi (Modifikasi dari Situmorang, 2009).
98
Kajian kondisi dan potensi lahan basah : 1. Identifikasi jenis dan area sumberdaya (flora dan fauna). 2. Identifikasi penggunaan sumberdaya saat ini. (pemanfaatan lahan tahun 2008). 3. Identifikasi potensi perkembangan (konservasi dan pemanfaatan umum).
• Mengumpulkan Peta tahun 1946, Peta tahun 1998, SPOT5 tahun 2005 dan LANDSAT7 tahun 2008. • Mengumpulkan data jenis flora dan fauna. • Memetakan lokasi lahan basah Muaragembong.
Penyusunan Rencana Zonasi lahan basah Muaragembong: 1. Penyusunan aturan pengambil keputusan. 2. Penetapan tujuan penggunaan setiap area sumberdaya. • Penggunaan secara berkelanjutan. 3. Menetapkan zona-zona (pengelompokan area sumberdaya bertujuan sama dalam zonasi). 4. Identifikasi kegiatan sesuai di setiap zonasi • Kawasan konservasi (mangrove). • Kawasan Pemanfaatan Umum (kawasan ekowisata, hutan produksi, tambak, sawah, pemukiman, kantor penelitian, pelabuhan untuk nelayan, tempat pelelangan ikan).
• Berdiskusi dengan ahli • Bertanya kepada tokoh masyrakat
• Identifikasi pendapat dan harapan masyarakat. • Penggambaran pada peta. • Berdiskusi dengan Ahli. • Mengadakan rapat dengan stakeholders.
• Berdiskusi dengan stakeholders.
Gambar 35. Langkah penetapan kawasan/zona (Modifikasi dari Situmorang 2009).
99 Arah kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah bagi kawasan yang secara fisik teknis harus tetap menjadi kawasan perlindungan ekosistem akan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung (mangrove), termasuk sebagai hutan mangrove pada lokasi sekitar pantai dan sekitar badan sungai dimana pada saat sekarang kawasan tersebut berupa tambak. Bagi kawasan yang tidak termasuk hutan mangrove, diusulkan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan pemanfaatan yaitu berupa ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah, sedangkan kawasan yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap diusulkan masyarakat untuk dipindahkan pada kawasan pengganti diluar kawasan perlindungan ekosistem dengan program pemindahan penduduk dan pemukiman kembali, yang artinya penduduk yang dipindahkan, kualitas hidupnya akan lebih baik atau paling tidak sama dengan ditempat asalnya . Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, maka diusulkan lahan basah alami pada lahan basah Muaragembong seluas 6 700 ha. Luas lahan basah alami ini hampir sama dengan luas Keputusan Menteri Kehutanan dan peraturan Presiden tersebut diatas. Adapun rencana pengelolaan dan aksi lahan basah secara lestari adalah menggabungkan antara kepentingan ekologis dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat yaitu (1) kawasan perlindungan berupa pengendalian abrasi dan akresi serta perlindungan habitat satwa berupa hutan mangrove sebesar 49%; dan (2) kawasan pemanfaatan umum sebesar 51% yaitu berupa ekowisata, perikanan (tambak) dan pertanian (sawah), pemukiman dan kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Atau lahan basah alami sebesar 49%, lahan basah non alami (lahan basah buatan) sebesar 45% dan lahan basah non alami (penggunaan kering) sebesar 6% (Tabel 39, 40 dan Gambar 36, 37). Tabel 39. Penggunaan lahan basah alami dan lahan basah non alami. Penggunaan Lahan Basah
Luas Lahan Basah (ha)
Total
(%)
(ha)
Lahan Basah Alami
6 700
49
Lahan Basah non Alami (penggunaan basah)
6 080
45
781
6
Lahan Basah non Alami (penggunaan kering)
13 561
100 Tabel 40. Luas masing-masing arahan penggunaan lahan basah Muaragembong. No.
Peruntukan Lahan
Luas
Total Luas
(ha) 1.
Kawasan Konservasi (Mangrove)
2.
(ha)
1 244
c. Tambak
2 579
d. Sawah
1 325
f. Perkantoran penelitian
6 861
51
13 561
100
699 71
g. Tempat Pelelangan Ikan
5
h. Pelabuhan
7
Total
49
932
b. Hutan Produksi
e. Pemukiman
6 700 6 700
Kawasan Pemanfaatan Umum a. Ekowisata
(%)
Gambar 36. Penggunaan Lahan Basah Muaragembong berdasarkan Usulan Penelitian.
101
Gambar 37. Peta Usulan Pemanfaatan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.
102 5.2.1. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi pada lahan basah Muaragembong diusulkan seluas 6 700 ha sebagai pengendalian abrasi (di Tanjung Wetan, Muara Legon dan Muara Blakan) dan mendukung kelompok fauna (Bluwok Putih, Bangau Tongtong, Kuntuk Kecil, Kipas-kipasan, Kera Ekor Panjang, Lutung dan Biawak) yang berstatus langka. Sekitar 20 000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara pulau Jawa telah berhasil direhabilitasi dengan tanaman utama Rhizophora sp. dan Avicenia sp.
dengan
persen
tumbuh
hasil
penanaman
berkisar
antar
60-70%
(Soemadihardjo dan Soerianegara 1989 dalam Bengen 2001). Hutan mangrove yang rusak di Cilacap, telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. Tumbuhan mangrove pada sepadan pantai yang antara lain berfungsi sebagai daerah perlindungan pantai terhadap gempuran ombak, penahan lumpur, tempat hidup, mencari makan dan berkembang biak berbagai jenis hewan (ternasuk benih bandeng dan udang). Strategi yang dipakai adalah melakukan rehabilitasi pada hutan mangrove yang telah dialihkan fungsinya untuk mengembalikan fungsi ekologis. Rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat lokal dilakukan dengan dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi, sampai dengan sosialisasi akan pentingnya
ekosistem
hutan
mangrove.
Rehabilitas
dilakukan
dengan
pembentukan kelompok yang beranggotakan masyarakat lokal terkena dampak langsung dari kegiatan, misalnya pananaman dilakukan pada lahan tambak yang masih berproduksi, tambak yang sudah rusak, daerah sepadan pantai, tanah timbul. Pelibatan masyarakat lokal akan berdampak terhadap kesadaran masyarakat akan fungsi hutan mangrove. Jenis mangrove yang ditanam disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari penanaman mangrove. Untuk penahan abrasi digunakan jenis Bakau (Rhizophora sp.) dan untuk penghijauan saja cukup jenis Api-api (Avicennia sp.). Jarak tanam mangrove, bila ditanam untuk perlindungan pantai bibit ditanam pada jarak 1x1 meter, bila untuk produksi digunakan jarak 2x2 meter (Bengen 2001). Rehabilitasi yang dilakukan pada lahan basah ini adalah jenis Avicennia sp. dan Rhizophora sp. dengan jarak 1x1 meter. Pada lahan basah ini, maka pada daerah
103 terdepan pantai ditanam jenis Avicennia sp. (Api-api) dan pada bagian pinggir pantai kearah darat ditanam jenis Sonneratia sp. (Prapat). Sedangkan untuk mengembalikan jenis mangrove yang hilang, maka dilakukan penanaman jenis Bruguiera sp. (Tancang) pada daerah kearah darat dari garis pantai.
5.2.2. Kawasan Pemanfaatan Umum Zona pemanfaatan umum diperuntukan bagi ekowisata, hutan produksi, pertanian (sawah), perikanan (tambak), pemukiman, kantor penelitian, pelabuhan dan tempat pelelangan ikan.
1.
Ekowisata Lahan basah ini memiliki sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan
sebagai obyek wisata. Ci Tarum terdapat pada lahan basah ini, mengelilingi hutan bakau, daerah tambak, sawah, dan dekat dengan Jakarta serta Pulau Seribu, maka potensi pengembangan ekowisata hutan mangrove sangat dimungkinkan. Kawasan ekowisata berupa hutan mangrove (Avicennia sp., Sonneratia sp. dan Rhizophora sp.) seluas 932 ha pada pantai barat di desa Pantai Sederhana dengan konsep sebagai konservasi, rekreasi alam, kegiatan ekonomi, penelitian dan pendidikan serta partisipasi masyarakat lokal. Sebagai lahan konservasi dapat merupakan proteksi terhadap abrasi dan perlindungan terhadap habitat flora dan fauna. Ekowisata dapat menunjang ekonomi dengan meningkatkan pendapatan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Cilincing – Cikarang dan transportasi laut, maka kegiatan ekowisata akan menunjang peningkatan ekonomi. Pada saat ini, transportasi ke Kecamatan Muaragembong pada lahan basah ini dengan menggunakan kapal nelayan melalui tiga muara besar yaitu Muara Bendera, Muara Mati dan Muara Bungin. Dengan adanya ekowisata, wisatawan dapat menikmati, keindahan alam hutan mangrove, burung-burung yang terdapat dalam kriteria Ramsar, lutung, kera ekor panjang, biawak. Disamping itu, di sepanjang sungai dapat dilakukan kegiatan ekonomi yaitu berupa berupa penjualan kepiting bakau dan udang serta bandeng dari tambak-tambak maupun hasil tangkapan nelayan di laut. Hasil tersebut selama ini
104 dipasarkan kepada pedagang disepanjang sungai, sehingga di sepanjang sungai yang digunakan bagi pelayaran terdapat berbagi kegiatan ekonomi termasuk wisata yang antara lain masyarakata lokal dapat menjual ikan segar yang dimasak bersama para wisatawan. Lokasi potensi ekowisata pada pantai barat lahan basah ini yaitu di desa Pantai Sederhana berdasarkan faktor, (1) pengembangan ekowisata ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang Pemerintah Kabupaten Bekasi tahun 2003-2013, dimana pantai barat lahan basah Muaragembong merupakan daerah wisata, sehingga dapat dipastikan mendapat dukungan dari pemerintah daerah kabupaten Bekasi; (2) memiliki keunikan yaitu terdapat fauna dalam kriteria Ramsar; (3) dan dapat dijangkau dengan alat transportasi dengan jalan menyusuri Ci Tarum dari Muara Bendera dan keluar dari Muara Bungin, sehingga wisatawan dengan menggunakan perahu mengelilingi lahan basah Muaragembong; (4) kehidupan masyarakat lokal yang dapat diajak berperan serta untuk pengembangan ekowisata dimana selama ini masyarakat lokal hanya sebagai buruh tambak dengan pendapatan kecil. Dengan dilibatkan dalam ekowisata, maka masyarakat lokal mempunyai kegiatan sendiri, sehingga wisatawan diharapkan merasa aman dan nyaman terhadap masyarakat lokal; (5) direncanakan dilakukan kerjasama antara masyarakat lokal, Universitas, swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, serta Pemerintah Daerah DKI (Kabupaten Pulau Seribu dan Kodya Jakarta Utara), diharapkan kegiatan ekowisata yang merupakan satu paket, dengan wisatawan yang diberangkatkan dari Dunia Fantasi atau Marina Ancol. Disamping itu juga bekerjasama dengan organisasi inernasional, lembaga penyandang
dana
baik
pemerintah
maupun
non-pemerintah,
organisasi
kebudayaan, media massa baik cetak maupun elektronik (radio dan televisi). Kontribusi ekowisata secara langsung adalah adanya dana untuk kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan, termasuk penelitian, sedangkan secara tidak langsung adalah meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada lahan basah ini.
105 2.
Hutan Produksi Hutan produksi (1 244 ha) yang dimaksud adalah hutan budidaya dengan
mangrove jenis Bruguiera sp., yang dikombinasikan dengan tambak silvofishery model empang parit (Gambar 38), atau hutan mangrove dan empang menjadi satu hamparan yang diatur oleh pintu air. Tambak mengelilingi hutan produksi. Kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery), yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove (Bengen 2001).
Gambar 38. Silvofishery pola empang parit (Bengen 2001).
Luas daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak (Puspita et al. 2005). Pada lahan basah ini, maka daerah pada tambak dekat dengan laut ditanam Bruguiera sp. sebesar 80% dari keseluruhan luas lahan produksi.
Untuk menambah penghasilan masyarakat,
maka Bruguiera sp. tersebut dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar dengan pematang tambak. Bruguiera sp. yang ditanam di dekat pematang tambak berfungsi untuk melindungi tanah pematang dari kikisan air dan tempat berlindungnya hewan budidaya, dengan jarak tanam 2x2 meter. Strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan dan perikanan di sekitar hutan produksi adalah dengan jalan melibatkan masyarakat lokal dengan Perhutani, sehingga dapat terjamin fungsi ekologi (habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan, tempat berpijah, berkembang biak), ekonomi (produksi perikanan, produksi kayu, sumber pendapatan bagi masyarat lokal) dan sosial.
106 3.
Perikanan (Tambak) Berdasarkan data dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi (2000), tanah
di Kecamatan Muaragembong merupakan tanah hak milik (18.52%), tanah Perhutani (56.27%) dan tanah negara bebas (25.21%). Penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat sudah dilakukan dengan intensif, berdasarkan peta tahun 2008, luas tambak yang dibudidayakan mencapai 10 265 ha (76%) dan sawah seluas 1 537 ha (11%) dari total luas lahan basah seluas 13 560. Dalam hal ini tampak bahwa Perhutani tidak menguasai tanah secara fisik. Secara umum, masyarakat Muaragembong merupakan masyarakat nelayan. Hal ini merupakan potensi yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan tambak di Kecamatan Muaragembong. Perkembangan jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong didominasi oleh usaha tambak dan sawah yang mencapai 73% dari seluruh rumah tangga perikanan (Tabel 41). Hal ini merupakan potensi yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan tambak di Kecamatan Muaragembong. Tabel 41.
Jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi tahun 2005 – 2007. Jenis Usaha
Rumah Tangga Perikanan 2005
2006
2007
Perikanan laut
354
652
697
Perairan umum
164
184
189
60
90
130
Tambak Sawah
1 447 1 457
1 458 1 457
1 450 1 300
Jumlah
3 481
3 751
3 766
Kolam
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bekasi (2008). Produksi tambak (1998 – 2007) menempati urutan pertama (Bekasi Dalam Angka, 2009) (Tabel 42).
107 Tabel 42. Produksi Perikanan di Muaragembong 1998 s/d 2007. Jenis Usaha Perikanan Laut
Produksi (ton) 1998 1999
2000
1 570 1 644
1 671 1 685 1 432 1 474
Perairan umum
118
45
Kolam
750
789
Tambak
6 360 6 664
Sawah Jumlah
80
50
8 878 9 192
25 769
2001 2002 2003
2005 2006
1 503 1 556 1 481
2007 1 551
15
8
8
8
8
7
8
750
240
251
255
260
260
270
5 901 6 108 5 976
6 442
6 780 6 861 5 616 5 840 54
2004
60
20
21
9 298 9 371 7 316 7 594
21
22
17
20
7 687 7 955 7 741
8 291
Sumber: BPS Bekasi (2008). Kawasan tambak seluas 2 579 ha, dengan
pola silvofishery empang
terbuka, yang telah banyak dikembangkan pada lahan basah ini (Gambar 39). Mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak (Sofiawan 2000).
Gambar 39. Pola silvofishery empang terbuka (Puspita et. al. 2005)
Strategi dan pelaksanaan kegiatan tambak adalah dengan jalan melibatkan masyarakat lokal dengan Perhutani, sehingga dapat terjamin fungsi ekologi (habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan, tempat berpijah, berkembang biak), ekonomi (produksi perikanan, sumber pendapatan bagi masyarat lokal) dan sosial.
2.
Pertanian Kemampuan penanaman budidaya padi dua kali/tahun, kecuali di sekitar
Cikarang tiga kali/tahun dengan menggunakan saluran irigasi dari Cikarang dan
108 pompanisasi. Luas panen dan produksi padi sawah di Kecamatan Muaragembong mengalami peningkatan dari tahun 1992 (837 ha) ke tahun 2008 (1 534 ha). Namun hasil per hektar secara umum mengalami penurunan (Tabel 43). Tabel 43. Luas panen, hasil panen per hektar dan produksi sawah di Kecamatan Muaragembong tahun 1997 dan tahun 2004. Tahun
Luas Panen (Ha)
Hasil per Ha (Kg)
Produksi (Ton)
1992
837
49.24
85 888
2004
1 534
44.62
10 997
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bekasi 2008 Pertanian yang dimaksud adalah sawah pasang surut, yang tergenang air secara keseluruhan pada musim hujan. Sistem pengelolaan air pada sawah pasang surut ini dengan sistem Parit. Dibuat jaringan pengairan sehingga air tawar dapat masuk ke area sawah pada Gambar 40 (Muslihat dan Suryadiputra 2004 dalam Puspita et al. 2005).
Gambar 40. Sawah Pasang Surut dengan Sistem Parit (Puspita et.al. 2005).
3.
Pemukiman Pendorong utama perubahan lingkungan terjadi sejak awal 1985 adalah
akibat sosio-ekonomis. Bertambahnya penduduk sebesar 18.345 jiwa (1985-2005)
109 917 jiwa tiap tahun (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2006) (Lampiran 3). Pesatnya pertambahan penduduk tersebut mengakibatkan perubahan penggunaan lahan dan dorongan sosio-ekonomis menyebabkan tekanan terhadap lingkungan, yang pada akhirnya terjadi perubahan keadaan lingkungan, misalnya timbul abrasi pantai dan berkurangnya mangrove. Pada umumnya wilayah pemukiman di daerah ini tersebar di tepi sungai dan kanal yaitu dipinggir Ci Tarum, Kali Bekasi, Kanal CBL dan lain-lain. Untuk menunjang kegiatan ekonomi pada lahan basah ini, maka diusulkan kawasan pemukiman berada dekat dengan kegiatan perekonomian (ekowisata, hutan produksi, tambak dan pertanian). Pemukiman yang telah ada disekitar kegiatan perekonomian pada lahan basah ini tetap dipertahankan dan merupakan faktor potensial, hanya saja perlu penataan kembali. Berdasarkan hasil analisis, kawasan pemukiman seluas 699 ha (5% dari luas lahan). Strategi
penataan
kawasan
pemukiman
adalah
dengan
tetap
mempertahankan dan mengembangkan kawasan pemukiman yang sudah ada sebagai pendukung kegiatan ekonomi
dengan tetap mempertimbangkan
lingkungan.
4.
Kantor Penelitian Lahan basah Muaragembong masuk dalam database Ramsar (1987)
sehingga daerah ini baik untuk daerah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang ekosistem lahan basah pesisir termasuk flora dan fauna dan pendidikan penggunaan lahan basah secara berkelanjutan. Dalam Rencana Tata Ruang 2003 – 2013 (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, 2003), perkantoran terletak di desa Pantai Mekar dekat dengan percabangan Ci Tarum. Diusulkan perkantoran di daerah ini diperuntukan untuk kegiatan penelitian lahan basah Muaragembong seluas 71 ha.
5.
Pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan Dalam Rencana Tata Ruang 2003 – 2013 (2003), kawasan pelabuhan di
Desa Pantai Harapan Jaya yang berbatasan dengan laut, perlu ditinjau kembali, dikarenakan merupakan daerah sedimentasi dan terjadi pendangkalan secara terus-
110 menerus. Sehingga diusulkan lokasi pelabuhan di pindah ke Muara Karang dan tempat pelelangan ikan disamping lokasi pelabuhan. Yang dimaksukan pelabuhan disini adalah pelabuhan lokal (kapal nelayan) diperuntukan untuk nelayan tradisional dari dan ke pelabuhan nusantara atau dermaga lainnya.
5.3.
Rencana Aksi Dari hasil kajian ditemukan tiga issue pengelolaan lahan basah
Muaragembong sebagai dasar dalam penentuan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong. Issue tersebut adalah: (1) terjadi konflik kepentingan terhadap penggunaan lahan basah yaitu konversi penggunaan lahan dari kawasan hutan mangrove menjadi tambak dan sawah dan terjadi konflik kepentingan antara keputusan Menteri kehutanan tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujung Krawang menjadi kawasan hutan tetap, dan peraturan daerah propinsi Jawa Barat tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung; serta peraturan daerah kabupaten Bekasi tahun 2003 tentang pengembangan kecamatan Muaragembong bagian dari kawasan khusus pantai utara menjadi Kota Baru Pantai Makmur; (2) terjadi abrasi dan sedimentasi (terkikis dan pendangkalan pada daerah pantai) dan (3) berkurangnya luasan kawasan hutan mangrove disebabkan bertambahnya kawasan tambak dan sawah. Rencana aksi untuk menyelesaikan konflik kepentingan adalah: (1) pembangunan sesuai dengan tata ruang pada Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tetang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; (2) melakukan pengawasan; dan (3) pengendalian. Rencana aksi untuk menanggulangi abrasi dan sedimentasi adalah meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang rehabilitasi dan penanaman hutan mangrove pada daerah sepadan pantai; menanggulangi sedimentasi adalah kerjasama dengan Pemerintah Propinsi yang menguasai DAS Citarum. Rencana aksi untuk menanggulangi berkurangnya luas kawasan hutan mangrove adalah: (1) peningkatan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove; (2) rehabilitasi bersama masyarakat dan (3) pemanfatan tanah timbul untuk mangrove. Perkiraan lama waktu pelaksanaan dan alokasi anggaran tergantung program Pemerintah Daerah. Pemerintah diharapkan mengalokasi dana
111 untuk kegiatan rehabilitasi pada lahan basah ini yang mengalami perubahan lahan dan menghimpun dana Corporate Social Responsibility dari perusahaanperusahaan yang melakukan kegiatan pada lahan basah ini sebagai tanggung jawab sosial perusahaan dalam melakukan kegiatan.
5.4.
Kelembagaan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dengan instansi
terkait dan masyarakat akan dituangkan dalam pembentukan kelembagaan dengan tujuan untuk menghubungkan manajemen pada tingkat masyarakat dengan manajemen tingkat pemerintah kabupaten. Implikasinya adalah pemerintah dan masyarakat, bersama-sama dalam penentuan bentuk kelembagaan, merumuskan program kegiatan yang akan dilakukan dalam pembangunan kawasan lahan basah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan evaluasi. Berdasarkan hasil pertemuan diperoleh berbagai informasi dan persepsi mengenai pentingnya pembentukan kelembagaan atau forum yang bertugas untuk mengelola dan mengawasi pelaksanaan pemanfaatan lahan basah. Juga dirumuskan kebijakan pengelolaan yaitu (1) kawasan perlindungan (mangrove) berfungsi sebagai pengendalian abrasi dan akresi serta perlindungan habitat satwa, (2) kawasan pemanfaatan berfungsi sebagai pendukung aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Kelembagaan yang dimaksud disini adalah membentuk “Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong (FPLBM)” yang bertugas sebagai koordinator dan bertanggung jawab kepada Bupati Bekasi. Ketua FPLBM adalah Bupati. Apabila dilakukan perubahan pada lahan basah tersebut, harus ada keterlibatan FPLBM sebagai penanggung jawab. Strategi pengelolaan lahan basah Muaragembong dengan skema ABG (Academic, Business Entity, Government) yaitu pelibatan berbagai unsur, Academic termasuk masyarakat lokal, Business Entity melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Government (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dan Kecamatan). Tugas FPLBM adalah membantu Bupati Bekasi dalam perumusan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong, melaksanakan sosialisai mengenai pentingnya fungsi lahan basah, perumusan program pemberdayaan
112 masyarakat, review dan merekomendasi permintaan ijin pemanfaatan lahan berdasarkan pada (1) kawasan konservasi (mangrove) dan (2) kawasan pemanfaatan umum. Keanggotaan FPLBM terdiri dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, kelompok profesi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Peranan masing-masing pihak pada Tabel 44 dan Struktur FPLBM dan keanggotaannya dapat dilihat pada Gambar 41. Tabel 44. Peranan masing-masing pihak pada Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong melalui skema ABG. No
Kegiatan
Akademisi (Perguruan Tinggi, Masyarakat, LSM)
1.
Sosialisasi fungsi lahan basah, komunikasi, inovasi. Perumusan program dan pendampingan. Perumusan kebijakan pengelolaan lahan basah Merekomendasi permintaan ijin pemanfaatan lahan Pendanaan. Pendampingan tekhnis. Kerjasama (dalam dan luar negeri), konsultasi implementasi konvensi dengan negara anggota Ramsar. Payung hukum Pengawasan dan pemantaun
X
9. Ramsar Sumber : Modifikasi Atmadja 2004.
X
2. 3. 3.
4. 5. 6.
7. 8.
X
Business Entity
Government (Pemerintah Lokal) X
X
X
X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X X
113
GOVERMENT (PEMDA)
FPLMG AKADEMIS
Gambar 41.
Business entity / Industri
Struktur Forum Pengelola (Modifikasi Atmadja 2004).
Lahan
Basah
Muaragembong
Adapun tahapan dari alur pengambilan keputusan seperti pada Gambar 41. Pengambilan keputusan FPLBM diawali dari tingkat bawah yaitu di tingkat masyarakat dilakukan melalui musyawarah. Hasil keputusan dari tingkat masyarakat ini diteruskan ketingkat FPLBM dengan mengkoordinasikan dengan hasil keputusan instnasi teknis (Gambar 42), dan tingkat FPLBM untuk memberikan masukan kepada Bupati dalam arah dan pedoman pengelolaan lahan basah.
Dewan Pembina Bupati Bekasi
Badan Pengelola Lahan Basah Muaragembong (FPLBMG) • Stakeholders dan Tim Teknis
Kelompok masyarakat : Hasil-hasil rapat bulan, tahunan, dan insidentil
Instansi teknis terkait: Keputusan bersama
Gambar 42. Prosedur pengambilan keputusan FPLBM. FPLBM membentuk tim monitoring dan evaluasi yang tugasnya adalah memantau dan mengevaluasi pelaksaan rencana kegiatan secara berkala dan
114 hasilnya dilaporkan kepada FPLBM untuk diteruskan kepada Penanggung Jawab dengan tembusan Tim teknis dan Pelaksana Kegiatan. Tim Teknis memberi masukan kepada FPLBM sesuai dengan laporan hasil monitoring dan evaluasi. (Gambar 43). Metoda monitoring implementasi kegiatan dengan pengamatan sederhana di lapangan seperti mengumpulkan contoh flora dan fauna dan pengamatan perubahan nilai sosial. Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong membentuk tim monitoring dan evaluasi. Tim monitoring dan evaluasi bertugas secara berkala memantau dan mengevaluasi pelaksaan rencana kegiatan. Hasil kerja Tim Monitoring dan Evaluasi dilaporkan kepada Forum Pengelola lahan basah Muaragembong untuk diteruskan kepada Penanggung Jawab (Tabel 45).
Penanggung Jawab (Bupati Bekasi)
Tim Teknis
FPLBM
Pelaksana Kegiatan (Pemrakarsa)
Tim Monitoring
dan Evaluasi
Gambar 43. Tahapan monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan (Modifikasi Situmorang 2009) Tabel 45. Bagan Alir Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Lahan Basah ini. No.
Tim
Tugas
1
Tim Monitoring dan Evaluasi
Mempunyai fungsi monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kegiatan dari Pelaksana Kegiatan (Pemrakarsa) dengan menugaskan Tim Ahli
2
Forum Pengelola
Menyampaikan laporan hasil monitoring dan evaluasi kepada badan Penanggung Jawab kegiatan dan menembuskan kepada Tim Pengarah dan Tim teknis.
3
Tim Teknis
Memberi masukan kepada Tim Pengelola sesuai dengan laporan hasil monitoring dan evaluasi.
115 5.5.
Usulan Lahan Basah Muaragembong menjadi Ramsar site 1 909 Ramsar site yang terdapat dalam list of Wetlands of International
Importance, yang terdaftar adalah dari negara Inggris (175 Ramsar sites) dan dari Indonesia hanya tiga yaitu Taman Nasional Berbak (8 April 1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman Nasional Wasur (16 Maret 2006). Dua lokasi kawasan lahan basah lainnya saat ini masih dalam proses pengusulan ke Biro Ramsar, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Nirarita 2009). Indonesia memilki Ramsar site yang sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, Australia, Canada dan Amerika maupun negara Asia lainnya. Berdasarkan analisis potensi dan kondisi lahan basah, maka diketahui bahwa lahan basah ini merupakan lahan basah pesisir, yang dipengaruhi oleh oleh keberadaan Ci Tarum beserta anak-anak sungainya dan air laut. Atau dengan kata lain merupakan daerah pesisir yang bersifat payau, terpengaruh oleh limpasan air tawar dan air laut serta memiliki ketersediaan air yang mempunyai fungsi sebagai lahan basah. Lahan basah ini masih berfungsi sebagai lahan basah menurut kriteria Ramsar, walaupun terjadi perubahan fisik dalam periode 1946 s/d 2008 yaitu terjadi akresi seluas 16 ha per tahun dan abrasi seluas 5 ha per tahun serta bertambahnya lahan basah buatan menjadi 94% dan berkurangnya lahan basah alami menjadi 6 %, berkurangnya jenis flora (Bruguiera sp.) dan berkurangnya jenis fauna (Macan tutul jawa). Semula lahan basah ini berdasarkan kriteria Ramsar sebagai cagar alam dan termasuk lahan basah pasang surut yang khas atau mewakili dataran rendah (Silvius et al. 1987). Namun lahan basah ini mengalami perubahan fisik, sehingga diusulkan menjadi lokasi Ramsar yang kelima di Indonesia, berupa lahan basah alami (konservasi) seluas 6 700 ha (49%) dan lahan basah non alami (ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah) seluas 6 861 ha (51%). Beberapa kriteria Ramsar yang terdapat dalam lahan basah Muaragembong tahun 2010 adalah sebagai berikut. 1.
Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Memenuhi syarat di
116 lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans). 2.
Lahan basah ini dihuni beberapa jenis hewan yang terdaftar dalam buku IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), yang jenis-jenis tersebut telah disusun Silvius et al. yaitu jenis mamalia (kera ekor panjang dan lutung), jenis burung (Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, Kacamata Jawa, Burung Pecuk Ular, Kuntul Kecil, Burung Kipas-kipasan) dan jenis reptilia (biawak). Jenis-jenis fauna tersebut termasuk 15 jenis mamalia, seratus lima puluh delapan (158) jenis burung, enam (6) jenis reptilia dan sebelas (11) jenis ikan (Tim Terpadu, 2010).
3.
Terdapat jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti cerek, gajahan, trinil, kedidi dan dara laut akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan lindung Muaragembong, pada saat musim dingin di bumi belahan utara (Tim Terpadu 2005).
4.
Lahan basah ini mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang.
5.
Menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat local, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Potensi dan kondisi lahan basah Muaragembong berdasarkan kriteria
Ramsar Tahun 1987 dan 2010 pada Tabel 46 dan peta Ramsar pada Gambar 24). Pada progran SPL selama ini, penelitian mengenai lahan basah sangat kurang diminati. Pada umumnya SPL lebih menekankan pada tahapan Intergrated Coastal Zone Management (ICZN), maka diusulkan dalam tahapan ICZM tersebut pada studi SPL, ditambahkan rincian mengenai topik lahan basah secara umum (internasional) dan secara khusus merinci perkembangan lahan basah pesisir di Indonesia yang terdapat dalam database Ramsar (56 lokasi) dan tiga lokasi
117 lainnya merupakan Ramsar site. Diusulkan juga, lahan basah dimasukan sebagai materi dalam mata kuliah dinamika Sumberdaya Pesisir dan Lautan (MSP 532).
118 Tabel 46. Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius 1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 2010 berdasarkan hassil penelitian. Kriteria
Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 1987 (Silvius et al. 1987)
Kriteria
Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 2010 (berdasarkan hasil penelitan)
1
Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans).
1
Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp. dan Nypa fruticans). Sedangkan Bruguera sp., diusulkan untuk dapat ditanam kembali.
2a
Kriteria lahan basah untuk mendukung kelompok spesies atau sub-spesies tumbuhan atau hewan yang berstatus langka, rentan terhadap kepunahan, atau sejumlah individu dari satu atau lebih dari spesies tersebut. Memenuhi syarat di lokasi ini menurut IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), jenis-jenis yang telah disusun Silvius et al., adalah: - Jenis mamalia (Macan tutul jawa, Kera ekor panjang, Lutung), - Jenis burung (Bluwok putih, Bangau tong-tong, Kacamata jawa, Pecuk ular, Kuntul kecil dan Kipaskipasan).dan - Jenis reptilia (Biawak).
2a
Kriteria lahan basah untuk mendukung kelompok spesies atau sub-spesies tumbuhan atau hewan yang berstatus langka, rentan terhadap kepunahan, atau sejumlah individu dari satu atau lebih dari spesies tersebut. Memenuhi syarat di lokasi ini menurut IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), adalah : - Jenis mamalia : Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Kera Ekor Panjang (Macaca fasciculairs), Lutung (Trachypithecus cristata). - Jenis burung : Bluwok Putih (Mycteria cinerea), Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Kacamata Jawa (Zosterops flavus), Burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Kuntul Kecil (Egretta garzetta). Burung Kipas-kipasan (Rhipidura javanica). - Jenis reptilia : Biawak (Varanus salvator). - Terdapat jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti Cerek (Pluvialis), Gajahan (Numenius), Trinil (Tringa), Dara laut (sterna), Kedidi (Calidris), akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan
lindung Muaragembong, pada saat musim dingin di bumi belahan utara. Jenis fauna diatas, termasuk 15 jenis mamalia (Lampiran 6), seratus lima puluh delapan (158) jenis burung (Lampiran 7), enam (6) jenis reptilia (Lampiran 8) dan terdapat satu jenis amphibi (Lampiran 9), sembilan jenis serangga (Lampiran 10), terdapat dalam lahan basah ini (Tim Terpadu 2005).
119 Tabel 46 Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius 1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 2010 berdasarkan hassil penelitian.(Lanjutan). Kriteria
Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 1987 (Silvius et al. 1987)
Kriteria
Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 2010 (berdasarkan hasil penelitan)
2c
Kriteria lahan basah yang mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu lahan basah hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang.
2c
Kriteria lahan basah yang mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu lahan basah hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang. - Sebanyak 11 jenis ikan (Lampiran 11) di lahan basah Muaragembong, yaitu Kepala timah (Apiocheilus panchax), ikan sepat (Trichogaster trichopterus), Ikan kakap (Lates calcarifer), Ikan bandeng (Chanos chanos), Ikan gabus (Channa micropeltes), Ikan mujair (Oreochromis nilotichus), Ikan blosok (Oxyeleotris marmorata), Sidat (Moringua javanica), Ikan blanak (Mugil cephalus), Ikan glodok (Periophtalmus sp.), Ikan sembilang (Plotosus canius) (Tim Terpadu, 2005), . - Mangrove pada lahan basah ini, masih pemijahan,, pengasuhan untuk jenisjenis ikan laut, udang, serangga dan crustacea. - Lahan basah ini dekat dengan Cagar Alam Pulau Rambut, maka diharapkan lahan basah ini dapat mendukung 11 species burung air yang berada di Pulau Rambut dalam mencari makan dan mendukung kawasan konservasi disekitar lahan basah ini, antara lain kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke.
A1
Kriteria Wetland Value Menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat local, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi.
A1
Kriteria Wetland Value menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat lokal, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Erosi yang terjadi pada pantai saat ini sebesar 5 ha tiap tahunnya.
Lainlain.
Luas lahan basah 10 481 ha.
Luas lahan basah 13 651 ha.