493
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo)
KAJIAN POTENSI KAWASAN PERTAMBAKAN DI KABUPATEN PANGKEP, SUL AWESI SEL ATAN DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERA AN JAUH YANG DIINTEGRASIKAN DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Utojo dan Rachmansyah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litkan
[email protected]
ABSTRAK Pendataan potensi kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan sampai saat ini belum divalidasi secara tepat melalui survei lokasi. Adanya laju perubahan fungsi lahan pesisir yang cepat menyebabkan terjadinya perubahan potensi lokasi budidaya tambak, sehingga diperlukan akurasi data terkini melalui validasi potensi, luas tambak dan lokasi potensial untuk budidaya tambak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi data potensi lokasi budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang akurat dan terkini. Penentuan data potensi lahan pesisir tersebut bersumber dari citra landsat ALOS AVNIR-2 digital akuisisi 21 Juni 2008 dan peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000, lembar Pangkep sebagai peta dasar. Mekanisme pemetaan potensi, luas tambak dan lokasi potensial budidaya tambak yang akurat dan terkini melalui integrasi hasil klasifikasi citra dengan hasil digitasi peta Rupabumi Indonesia menggunakan analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendapatkan peta awal. Keakuratan peta awal ditingkatkan dengan survei lapang dan didapatkan peta akhir potensi, luas tambak dan lokasi potensial budidaya tambak yang akurat dan terkini. Hasil analisis spasial menggunakan SIG, di dapatkan data potensi lokasi budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan tahun 2008 seluas 14.885,44 ha dan luas tambaknya 13.616,17 ha yang berarti masih ada lokasi potensial untuk pengembangan budidaya tambak seluas 1.269,27 ha, yang tersebar di tujuh kecamatan. Luas tambak pada tahun 2002 yaitu 13.528,50 ha dan pada tahun 2008, luasnya meningkat menjadi 13.616,17 ha. Pada tahun 2002, luas sawah 18.280,00 ha dan pada tahun 2008, luasnya menurun menjadi 16.486,72 ha. Pada tahun 2002, luas pemukiman 4.684,60 ha dan mangrove 32,30 ha dan pada tahun 2008, luasnya meningkat menjadi 5.120,96 ha dan 347,84 ha. Peningkatan luas tambak di kabupaten tersebut sebagian besar berasal dari konversi lahan sawah dan sisanya berasal dari konversi lahan pesisir untuk penggunaan lainnya seperti mangrove dan pemukiman. KATA KUNCI:
validasi, potensi, tambak, sistem informasi geografis,KabupatenPangkep
PENDAHULUAN Kabupaten Pangkep memiliki potensi budidaya tambak yang cukup luas yaitu luasnya mencapai 12.527 ha (luas kotor) dengan produksi total tambak 13.448,6 ton yang terdiri atas udang windu 1.746,7 ton, udang api-api 233,1 ton, mujair 401,7 ton, rumput laut Gracilaria sp. 1.947,8 ton dan ikan lainnya 95,6 ton (Anonim, 2006 a). Namun demikian, sampai saat ini data potensi, luas tambak dan lokasi yang potensial untuk pengembangan budidaya tambak melalui perencanaan tata ruang wilayahnya di kabupaten tersebut, belum terinventarisir secara lengkap. Hal ini disebabkan pemerintah daerah belum merencanakan tata ruang wilayah pesisir terutama untuk pengembangan budidaya tambak secara rinci, jelas dan tepat. Pada umumnya kawasan pesisir di Kabupaten Pangkep memiliki lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah produktif yang cukup luas serta lahan mangrovenya hanya di sepanjang tepi laut sehingga peningkatan luas tambaknya saat ini lebih mengarah ke kawasan lahan persawahan. Hal ini terbukti dari hasil evaluasi data potensi tambak lebih banyak berasal dari konversi lahan sawah dari pada lahan mangrove menjadi tambak. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup dengan bertambah banyaknya jumlah penduduk di kawasan pesisir kabupaten tersebut disertai dengan keberhasilan budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak di awal tahun 1990-an merupakan penyebab terjadinya peningkatan luas tambak cukup besar yang berasal dari lahan sawah produktif. Menurut
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
494
Utojo et al. (2009), kawasan pesisir merupakan daerah transisi antara ekosistem darat dan laut yang memiliki karakteristik tersendiri dan sifatnya peka terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitarnya akibat adanya suatu kegiatan. Usaha pembukaan tambak berarti kawasan pesisir mengalami tekanan dan perubahan biofisik lingkungan yang cepat. Membuka tambak baru di kawasan mangrove, akan banyak masalah yang dihadapi seperti pembersihan pohon, tanahnya masam, bergambut, bahan organik dan kandungan piritnya tinggi serta perluasan tambak dengan mengkonversi hutan mangrove yang tidak terkendali dapat merusak ekosistem pesisir dan sumberdaya perikanan. Apabila membuka tambak baru di lahan sawah produktif yang umumnya berada jauh dari tambak dan laut, airnya tawar, tidak terjangkau oleh sungai air laut dan sulit dalam pergantian air, akan menghambat laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang dan bandeng serta rentang penyakit sehingga dapat menurunkan produktivitas tambak. Oleh karena itu, dalam pengembangan usaha budidaya tambak harus berhati-hati, terkendali, efektif, ekonomis dan ramah lingkungan. Beralihnya usaha tani menjadi petambak di Kabupaten Pangkep, dengan mengkonversi lahan sawah menjadi tambak semakin meningkat, selain meningkatnya kebutuhan hidupnya, juga ditunjang dengan harga udang jauh lebih tinggi dari pada harga beras serta mengelola tambak dengan kondisi tanah di lahan sawah, lebih baik dari pada yang berasal dari lahan mangrove, sehingga tingkat keberhasilannya tinggi. Pertimbangan lain hasil konversi lahan sawah menjadi tambak, sebagian besar terjadi pada persawahan yang kurang produktif karena berdekatan dengan pertambakan yang airnya payau sebagai akibat terjadinya intrusi air asin dan kondisi lingkungannya sesuai dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang dan bandeng yang dipelihara, seperti yang terjadi di Kabupaten Pinrang, Barru dan Maros, Sulawesi Selatan (Naharuddin, 1990; Sanusi, 2001). Sawah yang dikonversi menjadi tambak di Kabupaten Pangkep, dapat juga dijumpai di tempat dimana saluran atau sungai air laut masih menjangkau sawahnya. Selain itu walaupun sawahnya tidak berdekatan dengan tambak atau tidak terjangkau oleh saluran atau sungai air laut, ada juga pembudidaya sawah mengkonversi sawahnya menjadi tambak dengan memanfaatkan air tanah yang tergolong payau melalui sumur bor sebagai sumber air untuk budidaya tambak. Dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan sawah menjadi tambak di beberapa daerah di Indonesia, maka Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk melarang adanya konversi dan alih fungsi lahan pertanian yang produktif serta setiap penggunaan lahan harus sesuai dengan peruntukannya seperti halnya yang diatur dalam perencanaan tata ruang wilayah secara tepat pada setiap daerah (Anonim, 2006b). Adanya laju perubahan fungsi lahan yang cepat menyebabkan adanya perubahan ekosistem, karakteristik lahan dan tipologi pesisir serta potensi kawasan pertambakan, sehingga diperlukan akurasi data terkini melalui validasi potensi, luas tambak dan lokasi yang potensial untuk budidaya tambak. Menurut Kushardono (1999), pengembangan kawasan atau pemodelan lingkungan suatu lahan, data dan informasi penggunaan lahan atau penutup lahan terkini adalah sangat diperlukan. Barnsley et al. (2001) menyatakan bahwa penggunaan lahan dan penutup lahan merupakan konsep yang berbeda, tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat. Pengetahuan mengenai penutup lahan dapat memberi petunjuk ke arah pengenalan penggunaan lahan (Treitz & Rogan, 2004). Teknologi penginderaan jauh melalui pemanfaatan citra satelit telah digunakan sebagai sumber data utama penggunaan lahan (Campbell, 2002). Manfaat teknologi Sistem Informasi Geografis untuk memvalidasi data potensi lokasi budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang akurat dan terkini. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Maret 2010. Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir Kecamatan Minasatene, Pangkajene, Segeri, Bungoro, Labakkang, Marang, dan Mandalle (Gambar 1). Luas tambak dan penggunaan lahan pesisir lainnya tahun 1991, digunakan peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 No. Lembar 2011-31 (Lembar Pangkajene), 2011-33 (Lembar Segeri) dan 2011-22 (Lembar Balang Lompo). Untuk tahun 2002, digunakan citra satelit landsat-7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) akuisisi 28 September 2002 sebanyak 1 scene dengan Path/Row 114/63 dan untuk tahun 2008, digunakan citra satelit ALOS
495
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo)
Gambar 1. Lokasi survai di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan AVNIR-2 akuisisi 21 Juni 2008. Citra satelit landsat tersebut digunakan untuk mengetahui perubahan penggunaan atau penutup lahan (Sitanggang, 1999). Diagram alir dalam menentukan validasi potensi, luas tambak dan lahan yang potensial untuk tambak, disajikan pada Gambar 2. Peta Rupabumi Indonesia yang digunakan terlebih dahulu di scan dan dilakukan digitasi serta selanjutnya dilakukan analisis spasial dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Citra satelit landsat yang digunakan merupakan citra yang sudah terkoreksi geometrik, terkoreksi radiometrik dan teregistrasi. Penajaman citra dengan cara modifikasi kontras data citra dengan bantuan Program “ER Mapper 6.4”. Untuk mengurangi pengaruh kecerahan/kegelapan dari titik citra di dalam
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
Citra Satelit
Persiapan
496
Peta Rupabumi Indonesia
Penajaman Citra
Penajaman Citra
Pentapisan Citra
Digitasi dengan Aplikasi SIG
Reduksi Kanal Pengklasifikasian
Peta Hasil Klasifikasi
Integrasi
Peta Awal
Cek Lapang Peta Akhir
Gambar 2. Diagram alir analisis spasial dalam sistem informasi geografis untuk menentukan validasi potensi, luas tambak dan lahan yang potensial untuk tambak di Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan citra, maka dilakukan pentapisan citra. Reduksi kanal dilakukan dengan menggunakan Metode Pemilihan Kombinasi Kanal Spektral dan klasifikasi dilakukan dengan Metode Terbimbing. Peta hasil digitasi dan peta hasil klasifikasi diintegrasikan untuk menghasilkan peta awal (Danoedero, 1996) tahun 2002 dan 2008. Pengecekan lapang dilakukan untuk pengukuran keakuratan peta awal dengan memilih area yang diketahui secara pasti jenisnya di lapangan. Data dan referensi yang diperoleh dari cek lapang digunakan untuk melakukan reinterpretasi citra hasil klasifikasi dan peta awal. Reinterpretasi terutama dilakukan untuk mengoreksi bias-bias poligon tambak pada citra hasil klasifikasi dan peta awal sehingga diperoleh hasil luas tambak aktual yang akurat. Proses reinterpretasi menghasilkan luasan tambak terkoreksi, selanjutnya dibuat peta akhir yang menggambarkan secara spasial sebaran tambak dan penggunaan lahan lainnya di Kabupaten Pangkep (Gambar 3). HASIL DAN BAHASAN Hasil klasifikasi Citra satelit ALOS AVNIR-2 akuisisi 21 Juni 2008 menunjukkan ada 7 jenis penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep yang utama diidentifikasi. Ketujuh jenis penggunaan lahan tersebut antara lain tambak, sawah, lahan kering, pemukiman, mangrove, sungai dan laut dangkal. Luas kawasan lahan pesisir yang didapatkan adalah 38.338,6 ha (Gambar 3 & Tabel 1). Citra satelit tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jenis penggunaan lahan yang teridentifikasi, namun yang lebih penting lagi adalah penyebaran masing-masing jenis penggunaan lahan tersebut pada suatu kawasan. Informasi penyebaran ini penting dalam rangka memudahkan perencanaan dan pengembangan suatu kawasan termasuk kawasan pesisir. Menurut Mustafa et al. (2006), berdasarkan hasil analisis spasial menggunakan peta Rupabumi Indonesia, potensi tambak di Kabupaten Pangkep pada tahun 1991 seluas 7.779,4 ha, sedangkan hasil analisis spasial menggunakan citra landsat-7 ETM + akuisisi 28 September 2002 pada tahun 2002 seluas 13.528,5 ha atau terjadi peningkatan potensi tambak seluas 5.749,1 ha selama 11 tahun atau 522,7 ha/tahun. Sebaliknya luas sawah yang ada di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep dari 22.803,1 ha
497
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo)
Gambar 3. Potensi lahan budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi 18.280,0 ha atau terjadi penurunan luas sawah seluas 4.523,1 ha. Hasil analisis spasial menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 akuisisi 21 Juni 2008, potensi tambak di Kabupaten Pangkep pada tahun 2008 yaitu 14.885,44 ha, dibandingkan dengan tahun 2002, terjadi peningkatan potensi tambak seluas 1.356,94 ha selama 6 tahun atau 226,2 ha/tahun. Sebaliknya luas sawah yang ada di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep dari 18.280,0 ha menjadi 16.486,7 ha atau terjadi penurunan luas sawah seluas 1.793,3 ha. Untuk lahan mangrovenya dari seluas 32,3 ha menjadi 347,8 ha atau terjadi peningkatan luas mangrove seluas 315,5 ha, sedangkan luas lahan pemukiman dari 4.684,60 ha menjadi 5.120,9 ha atau terjadi peningkatan luas pemukiman seluas 436,3 ha. Hal ini menunjukkan bahwa sawah adalah penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep yang terbesar dikonversi menjadi tambak dan penurunan luas sawah juga sebagai akibat dikonversi menjadi pemukiman (Anonim, 2003). Sisa lahan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep yang dikonversi menjadi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
498
Tabel 1. Luas setiap penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan
Jenis penggunaan / Penutupan lahan Potensi tambak Sawah Belukar Hutan Ladang/lahan kering Pemukiman Mangrove Sungai/laut dangkal
Luas lahan pesisir (ha) dengan analisis spasial menggunakan Citra satelit landsat-7 ETM+ akuisisi 2002 13.528,5 18.280,0 16.793,2 24.526,3 4.961,7/4.684,6 32,3 159,0/-
Citra satelit ALOS AVNIR-2 akuisisi 2008 14.885,44 16.486,7 1.390,9 5.120,9 347,8 67,7/39,2
Sumber: Luas lahan pesisir dengan citra landsat-7 ETM+ akuisisi 2002 (Mustafa et al ., 2006)
tambak dapat berasal dari lahan kering, sedangkan meningkatnya luas mangrove, sebagian besar dari hasil penanaman jenis tanaman Avicennia marina, Sonneratia alba dan Rhizophora mucronata oleh masyarakat di kawasan tepi pantai dan tepi sungai di Kecamatan Labakkang serta di kecamatan lain seperti di Kecamatan Marang dan Pangkajene terdapat juga penambahan mangrove, baik dari hasil penanaman maupun tumbuh secara alami. Menurut Mustafa & Hanafi (1996), pembudidaya tambak di Kabupaten Pangkep memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menanam mangrove di kawasan pesisir dan sungai untuk melindungi tambaknya dari pengaruh ombak dan arus yang kuat. Sebaiknya pemerintah daerah berupaya untuk merehabilitasi hutan mangrove tersebut dengan menggabungkan kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove. Menurut Bengen (2004), habitat hutan mangrove yaitu di daerah intertidal yang berjenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, mendapatkan pasokan air tawar yang cukup atau air bersalinitas payau (2-22 ppt) hingga asin (mencapai 38 ppt), terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Penggunaan lahan pesisir untuk pertambakan seperti luas tambak yang ada, potensi lahan pertambakan dan lahan yang potensial untuk pengembangan budidaya tambak setiap kecamatan, disajikan pada Tabel 2. Lahan pertambakan di Kabupaten Pangkep, didapatkan di tujuh kecamatan yaitu di Kecamatan Mandalle, Segeri, Marang, Labakkang, Bungoro, Pangkajene dan Manasatene, yang masing-masing seluas 1.573,64 ha, 785,46 ha, 3.270,55 ha, 3.212,43 ha, 1.578,23 ha, 2.528,76 ha, dan 667,1 ha. Luasnya pertambakan di tujuh kecamatan ini akibat adanya sebagian besar dari konversi lahan sawah dan sisanya berasal dari konversi penggunaan lahan lainnya terutama lahan kering (belukar dan ladang) yang letaknya mulai di dekat laut, di sekitar bantaran sungai sampai agak jauh dari laut. Keberadaan pemukiman di lahan pesisir yang semakin meningkat akan berdampak terhadap menurunnya kualitas lahan dan sumber air (laut dan sungai) yang selanjutnya dapat menurunkan produktivitas tambak. Oleh karena itu, dengan banyaknya penggunaan lahan pesisir untuk berbagai kepentingan akan membawa konsekuensi terhadap tingkat limbah dan degradasi lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan. Menurut Wirasantosa (2004), setiap kegiatan pengelolaan di kawasan lahan pesisir terutama di lahan mangrove, sebaiknya harus berhati-hati dan dilakukan bersama-sama dengan sektor lain yang terkait secara efektif, efisien dan ekonomis, mulai dari saat perencanaan hingga akhir pelaksanaan dengan mempertimbangkan daya dukung lahan dan karakteristik lingkungan serta menjaga kelestarian organisme yang hidup di sekitarnya. Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove, sawah, belukar dan ladang di kawasan lahan pesisir Kabupaten Pangkep, terutama diakibatkan belum adanya kejelasan tentang tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir sesuai peruntukkannya sehingga banyak terjadi tumpang tindih penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan seperti pemukiman, pertambakan dan kawasan industri secara tidak terkendali. Dampak laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
499
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo)
pesatnya kegiatan pembangunan di lahan pesisir untuk berbagai peruntukan seperti pemukiman, pertambakan dan lain-lain secara bertahap dapat menurunkan kualitas lahan mangrove, sawah, belukar dan ladang yang berdampak terhadap kerusakan ekosistemnya. Saat ini masyarakat pesisir di Kecamatan Labakkang, Marang dan Pangkajene sudah mulai menanam mangrove di sekitar tepi pantai dan sungai untuk melindungi kawasan pertambakan dari abrasi pantai dan erosi sungai serta sebagai filter alami. Pentingnya merehabilitasi hutan mangrove di kawasan lahan pesisir yang telah gundul untuk mengembalikan nilai estetika dan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove. Seperti yang terjadi di pantai utara Jawa sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak telah berhasil direhabilitasi menggunakan tanaman utama Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dengan tingkat persentase tumbuh 60%-70% (Soemodihardjo & Soerianegara, 1989). Konversi lahan sawah menjadi tambak di Kabupaten Pangkep sebagian besar terjadi pada persawahan yang letaknya berdekatan dengan tambak. Hal ini sebagai akibat terjadinya intrusi air laut di persawahan yang berdekatan dengan tambak, menyebabkan air di persawahan menjadi payau dan berdampak pada rendahnya produktivitas sawah. Lahan pertanian yang terintrusi air asin, baik di lahan kering maupun di lahan beririgasi, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup tanaman dan produksi pertanian (Metternicht & Zinck, 2003). Hal ini juga merupakan dasar pertimbangan pembudidaya sawah di Kabupaten Pangkep mengkonversi sawahnya menjadi tambak. Di beberapa tempat di kabupaten tersebut, pembudidaya sawah ada yang tetap mempertahankan sawahnya walaupun berdekatan dengan tambak untuk memproduksi padi, tetapi yang ditanam adalah padi varietas lokal relatif tahan terhadap salinitas air payau, namun waktu pemeliharaannya lebih lama dan produksinya lebih rendah dari pada varietas unggulan seperti yang terjadi di Kabupaten Maros. Sawah yang dikonversi menjadi tambak dapat juga dijumpai di bantaran sungai, dimana air laut atau air payau masih menjangkau sawahnya. Terdapat juga pembudidaya sawah yang mengkonversi sawahnya menjadi tambak yang lokasinya tidak berdekatan dengan tambak atau tidak terjangkau sumber air payau atau air laut terutama di beberapa desa pada Kecamatan Marang dan Segeri dengan memanfaatkan air tanah yang dipompa melalui sumur bor pada kedalaman 17 m, memiliki salinitas 3-8 ppt. Menurut Effendi (2003), karateristik air tanah yaitu memiliki salinitas yang relatif stabil, namun kandungan besinya relatif tinggi sehingga untuk mengurangi kandungan besi, diperlukan penanganan khusus melalui aerasi. Sumber air untuk pengairan pertambakan di Kabupaten Pangkep, sebagian besar berasal dari 3 sungai besar yaitu Sungai Limbangan, Sungai Pangkajene dan Sungai Binangasangkara serta sungaisungai lainnya yang berukuran sedang dan kecil dengan kisaran salinitas 10,6-25,3 ppt. Kawasan pertambakan yang letaknya dekat laut dan jauh dari sungai, sumber airnya hanya dipasok dari laut Selat Makassar dengan kisaran salinitas 29,5-35,2 ppt. Adanya tiga sungai besar ini, dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perluasan tambak yang berasal dari konversi sawah, lahan kering dan jenis penggunaan lahan lainnya. Menurut Poernomo (1992), salinitas air yang baik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang windu dan bandeng di tambak berkisar 15-25 ppt. Didukung juga dengan kualitas airnya terutama salinitas air laut dan sungai yang relatif sesuai untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang dan bandeng, sehingga memudahkan bagi pengguna lahan pesisir dalam upaya pengembangannya yang mengakibatkan terjadinya percepatan perubahan fungsi lahan pesisir menjadi pertambakan. Berdasarkan hasil analisis tanah tambak di Kabupaten Pangkep, umumnya memiliki jenis tanah alluvial dengan tekstur tanah lempung liat berpasir hingga pasir berlempung serta terdapatnya kandungan pirit, besi dan aluminium terutama di tambak lahan mangrove. Status penggunaan lahan pesisir di Kabupaten Pangkep saat ini sebagian besar merupakan pertambakan rakyat yang umumnya memiliki bentuk petakan dan saluran irigasi tambak yang berbeda serta luas tambak yang bervariasi yaitu berkisar 0,5-3 ha dengan 1 pintu, kedalaman air tambaknya berkisar 0,4-0,6 m dengan ratarata 0,5 m. Sistem irigasi tambak yang terdapat satu saluran air masuk dan keluar tambak melalui satu pintu, dinilai kurang efektif dalam pergantian air saat pasang terutama dalam pasokan debet air baru yang cukup dan pengencerannya sehingga dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan udang yang dibudidayakan. Rata-rata kedalaman air tambak 0,5 m, tidak bermasalah bagi budidaya bandeng sesuai dengan hasil penelitian Chiang et al. (2004), bandeng dapat dipelihara pada tambak
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
500
dangkal dengan kedalaman air 0,3–0,4 m. Rata-rata tinggi air dalam tambak tergolong rendah untuk budidaya udang windu seperti dikatakan oleh Chiang et al. (1989), kedalaman air optimum untuk budidaya udang windu di tambak pada saat penebaran yaitu 0,3–0,6 m dan selanjutnya kedalaman air ditingkatkan hingga mencapai 1,0–1,2 m dengan teknologi yang semakin intensif. Komoditas yang dibudidayakan di tambak yaitu udang windu dan bandeng dengan pola monokultur atau polikultur yang dikelola secara tradisional hingga tradisional plus, yang saat ini ada yang aktif dan ada yang masih dalam persiapan. Rata-rata setiap unit pertambakan di sepanjang kawasan pesisir terdapat tempat pemukiman. Unit pertambakan yang ramah lingkungan, terletak di luar pemukiman atau yang penduduknya relatif sedikit. Semakin padat penduduknya yang hidup di kawasan pesisir, semakin meningkat limbah yang terdegradasi, secara bertahap terjadi penurunan kualitas perairan tambak yang selanjutnya dapat menurunkan produktivitas tambak. Apabila membuka tambak baru di kawasan mangrove, memiliki kecenderungan dapat menurunkan kualitas sumberdaya lahan dan ekosistem mangrove serta memerlukan biaya yang tinggi untuk pembersihan lahan dan konstruksi tambak. Menurut Poernomo (1992), dalam pengelolaannya akan terjadi permasalahan seperti tanahnya dominan pasir, bergambut, berpirit, kemasamannya tinggi dengan pH 2,5–5,0, kandungan bahan organik dan besi tinggi serta mudah dalam pengisian tambak secara gravitasi saat pasang tinggi, namun terdapat kesulitan dalam pengeluaran air dan pengeringan pelataran tambak. Hampir semua tambak baru di lahan mangrove yang elevasinya rendah dengan amplitudo pasang surut hanya 1 m, tidak dapat digunakan secara cepat untuk berproduksi, terlebih dahulu dilakukan reklamasi atau perbaikan tanah tambak melalui penjemuran tanah dasar, perendaman dan pencucian tambak yang memerlukan waktu minimal 3 bulan. Setelah reklamasi, tanah dasar tambak dijemur dan dilakukan pengapuran minimal 1 ton/ha serta produktivitasnya rendah pada tahap awal operasional. Oleh karena itu, sebaiknya pembudidaya tambak tidak memperluas tambaknya dengan membuka tambak baru di kawasan mangrove yang banyak permasalahan dan mengintensifikasikan tambak yang sudah ada melalui perbaikan kualitas tanah dan air. Pembukaan dan pengembangan budidaya tambak yang ramah lingkungan di kawasan pesisir termasuk di lahan mangrove, pembudidaya wajib mempertahankan jalur hijau. Hasil pengukuran langsung dan analisis pasang surut di daerah ini menunjukkan data tunggang pasang 125 cm. Berdasarkan Keppres No. 32, Tahun 1990, lebar jalur hijau di sepanjang pantai Kabupaten Pangkep yang harus diaplikasikan dan dipertahankan minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah setempat (1,25 m) yang diukur dari garis pantai saat air surut terendah yaitu 162,5 m dan lebar jalur hijau di tepi sungai minimal berjarak 100 m dari kiri dan kanan sungai besar serta 50 m dari kiri dan kanan sungai kecil yang berada di luar pemukiman. Pengelolaan di kawasan hutan mangrove yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, disarankan menggabungkan kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove (Raharjo, 1996). Dalam hal ini masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, memonitor dan mengevaluasi sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Dari Tabel 2, terlihat bahwa luas lahan yang potensial untuk tambak di Kabupaten Pangkep mencapai 1.269,27 ha yang tersebar di tujuh kecamatan yaitu di Kecamatan Mandalle, Segeri, Marang, Labakkang, Bungoro, Pangkajene dan Minasatene. Lahan yang potensial untuk tambak di lima kecamatan yaitu Kecamatan Minasatene, Pangkajene, Bungoro, Segeri dan Mandalle, sebagian besar berasal dari konversi lahan kering, lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah produktif. Hal ini terlihat dari Tabel 3 bahwa luas mangrove di lima kecamatan tersebut relatif kecil, masing-masing 25,95 ha, 59,78 ha, 39,56 ha, 40,32 ha dan 37,84 ha. Sedangkan lahan yang potensial untuk tambak di Kecamatan Marang dan Labakkang sebagian berasal dari lahan mangrove karena luas mangrove di kecamatan tersebut relatif besar, masing-masing 66,35 ha dan 78,00 ha. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Maros, Barru dan Pinrang dimana konversi sawah menjadi tambak umumnya terjadi pada sawah-sawah yang berdekatan dengan tambak. Akibat dari sawah, lahan kering seperti tegalan dan ladang yang berdekatan dengan tambak yaitu terjadinya intrusi air asin yang menyebabkan air di sawah, tegalan dan ladang menjadi payau dan produktivitasnya menjadi rendah. Dengan mempertimbangkan nilai ekonomis, keberhasilan budidaya dan lahan yang tidak produktif untuk
501
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo) Tabel 2. Potensi lahan tambak, luas tambak yang ada dan lahan yang potensial untuk tambak di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan
Kecamatan
Potensi lahan Luas tambak tambak yang ada
Mandalle Segeri Marang Labakkang Bungoro Pangkajene Minasatene
(ha) 1.742,39 880,27 3.369,30 3.427,55 1.620,46 3.124,25 721,22
(ha) 1.573,64 785,46 3.270,55 3.212,43 1.578,23 2.528,76 667,1
Total
14.885,44
13.616,17
Luas lahan potensial untuk tambak (ha) 54,12 595,49 42,23 215,12 98,75 94,81 168,75 1.269,27
Tabel 3. Luas mangrove di setiap kecamatan di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan
Kecamatan
Luas mangrove (ha)
Minasatene Pangkajene Bungoro Labakkang Marang Segeri Mandalle Jumlah
25,95 59,78 39,56 78,00 66,35 40,32 37,84 347,80
sawah, tegalan dan ladang, sehingga pembudidaya sawah, tegalan dan ladang mengkonversi sawah, tegalan dan ladangnya menjadi tambak. Menurut Metternicht dan Zinck (2003), lahan yang terintrusi air asin akan berdampak negatif terhadap hasil tanaman dan produksi pertanian bukan hanya pada lahan kering tetapi juga pada lahan beririgasi sebagai akibat miskinnya lahan dan pengelolaan air dan juga memperluas lahan pertanian yang marjinal. Perubahan penggunaan lahan terutama berkorelasi dengan laju pertumbuhan penduduk, kondisi ekonomi pertanian, level kemakmuran dari pembudidaya, tingkatan teknologi dalam produksi pertanian dan faktor kebijaksanaan (Weng, 2002; Quan et al., 2006). KESIMPULAN Potensi lahan budidaya tambak di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 adalah 14.885,4 ha dan luas tambak yang ada 13.616,17 ha yang berarti masih ada lahan potensial untuk pengembangan budidaya tambak seluas 1.269,27 ha. Potensi tambak pada tahun 2002 yaitu 13.528,5 ha dan pada tahun 2008, potensinya meningkat menjadi 14.885,44 ha. Pada tahun 2002, luas sawah 18.280,00 ha dan pada tahun 2008 menurun menjadi 16.486,70 ha, sedangkan luas mangrove dan pemukiman pada tahun 2002, masing-masing yaitu 32,30 ha dan 4.684,60 ha, pada tahun 2008, luasnya meningkat menjadi 387,84 ha dan 5.120,90 ha. Peningkatan luas tambak di kabupaten tersebut sebagian besar berasal dari konversi lahan sawah dan sisanya berasal dari konversi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
502
lahan mangrove serta lahan pesisir untuk penggunaan lainnya seperti pemukiman. Sebaiknya tidak memperluas kawasan pertambakan melalui konversi lahan mangrove, sawah, tegalan dan ladang, tetapi meningkatkan kualitas lahan tambak yang ada secara intensif dengan reklamasi, pengapuran dan pemupukan, ditunjang dengan pengelolaan air, pemilihan benur udang windu dan nener bandeng serta kualitas pakan buatan yang baik dan pengaturan pelaksanaan budidaya tambak yang tepat waktu, dapat meningkatkan produktivitas tambak. DAFTAR ACUAN Anonim. 2003. Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Pangkep. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Pangkep. Anonim. 2006a. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 2006. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar 217 pp. Anonim. 2006b. SBY: hentikan alih fungsi lahan. Lampung Post, Rabu, 22 November 2006. Barnsley, M. J., Møller-Jensen, L. and Barr, S. L. 2001. Inferring urban land use by spatial and structural pattern recognition. In: J. P. Donnay, M. J. Barnsley and P. A. Longley (Eds.), Remote Sensing and Urban Analysis. Taylor and Francis, London. pp. 225-242. Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 59 hlm. Campbell, J. B. 2002. Introduction to Remote Sensing. Third edition. Guilford Press, New York. Chiang, F.S., Sun, C.H., and Yu, J.M. 2004. Technical efficiency analysis of milkfish (Chanos-chanos) production in Taiwan an aplplication of stochastic frontier production function. Aquaculture, 230: 99-116. Chiang, P.D.M., Kuo, C.M., and Liu, C.F. 1989. Pond preparation for shrimp growout. In: Akiyama, D.M. (Ed.). Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management Workshop. American Soybean Assosiation, Singapore, p. 48-55. Danoedero, P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit KANISIUS (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 258 pp. Kushardono, D. 1999. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan dari data inderaja. Dalam: Suharmanto, IL. Arisdyo, R. Ginting dan A. Effendi (Eds.). Pengantar Teknologi, Aplikasi Penginderaan Jauh Satelit dan Sistem Informasi Geografi. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi, Jakarta, p. 167-184. Metternicht, G. I. and Zinck, J. A. 2003. Remote sensing of soil salinity: potentials and constraints. Remote Sensing of Environment 85, 1-20. Mustafa, A. dan A. Hanafi. 1996. Pola Penataan Kawasan Tambak Berwawasan Lingkun gan. Disajikan pada Rapat Kerja Teknis Balai Penelitian Perikanan Pantai, Makassar, 17-18 April 1996. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Mustafa, A., Utojo, Hasnawi dan Rachmansyah. 2006. Validasi data luas lahan budidaya tambak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta, 3(1):419-430. Naharuddin. 1990. Potensi sumberdaya perikanan pantai Kabupaten Pangkep. Dalam: F. Cholik, MJR, Yakob, Rosmiati, A. Mustafa, H. Pramana, dan A.M. Pirzan (Eds.). Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Perikanan Pantai Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Budidaya Pantai, Maros. P. 59-60. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. PHP/KAN/PATEK/004/1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerjasama dengan USAID/FRDP, Jakarta. 40 pp. Quan, B., Chen, J. F., Qiu, H. L., Römkens, M. J. M., Yang, X. Q., Jiang, S. F. and Li, B. C. 2006. Spatialtemporal pattern and driving forces of land use changes in Xiamen. Pedosphere 16(4), 477-488.
503
Kajian potensi kawasan pertambakan di Kabupaten Pangkep ... (Utojo)
Raharjo, Y. 1996. Pengelolaan berbasis masyarakat di wilayah pesisir. Pelatihan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sanusi, A. 2001. Konversi Lahan Sawah Menjadi Tambak Ditinjau dari Pendapatan Petani. Tesis Magister. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Sitanggang, G.M. 1999. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi darat. Dalam: Suharmanto, F. Tjinda, S. Yulmantoro, IL. Arisdyo, R. Ginting dan A. Effendi (Eds.). Pengantar Teknologi, Aplikasi Penginderaan Jauh Satelit dan Sistem Informasi Geografi. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi, Jakarta, p. 225-240. Soemodihardjo, S. dan I. Soerianegara. 1989. The status of mangrove forests in Indonesia. In Soerianegara, I., D.M. Sitompul & U. Rosalina (Eds.). Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations. Biotrop Special Publication 37: 73-114. Treitz, P. and Rogan, J. 2004. Remote sensing for mapping and monitoring land-cover and land-use change-an introduction. Progress in Planning 61, 269-279. Utojo, A. Mustafa, Rachmansyah dan Hasnawi. 2009. Penentuan lokasi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan dengan aplikasi sistem informasi geografis di Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta 3(4): 407-423. Wirasantosa, S. 2004. Pengawasan Ekosistem Laut dan Permasalahannya. Pengawasan Semakin Menggigit. Media Informasi dan Komunikasi Internal Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan “Barracuda” 1(2): 33-37. Weng, Q. 2002. Land use change analysis in the Zhujiang Delta of China using satellite remote sensing, GIS and stochastic modeling. Journal of Environmental Management 64, 273-284.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
504