915
Hubungan antara kelimpahan plankton dan ... (Andi Marsambuana Pirzan)
HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN PL ANKTON DAN PEUBAH KUALITAS AIR DI KAWASAN PERTAMBAKAN KABUPATEN PANGKEP PROVINSI SUL AWESI SEL ATAN Andi Marsambuana Pirzan dan Utojo Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Plankton memegang peranan penting dalam budidaya ikan dan udang di tambak sebagai pakan alami serta sebagai indikator kesuburan dan kestabilan suatu perairan yang hidup dan perkembangannya tergantung dari berbagai peubah kualitas air, baik yang bersifat fisika maupun kimia. Penelitian ini bertujuan menelaah hubungan antara kelimpahan plankton dan berbagai peubah kualitas air di tambak. Penelitian dilakukan di kawasan pertambakan dengan budidaya udang dan ikan bandeng, baik secara monokultur maupun polikultur di Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan dan pengambilan contoh plankton dan air. Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian adalah kelimpahan plankton, sedangkan peubah bebas adalah berbagai peubah kualitas air, suhu, Total Dissolved Solid (TDS), salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrit, nitrat, amonia, fosfat, besi, Total Suspended Solid (TSS), dan Bahan organik total (BOT). Pemilihan model regresi “terbaik” didasarkan pada metode kuadrat terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan plankton antara 18,0 dan 69.837,0 ind./L dengan ratarata 2.837,3 ind./L. Terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan plankton dan peubah kualitas air, yaitu: suhu, oksigen terlarut, nitrit, dan TSS berbanding lurus sedangkan salinitas, amonia dan fosfat berbanding terbalik di antara peubah tersebut. Jumlah genus berkisar 2-7 genera dengan rata-rata 3,7 genera, keragaman berkisar 0,0003-1,8286 dengan rata-rata 0,7413; keseragaman berkisar 0,0004-1,1697 dengan rata-rata 0,5924 dan dominansi plankton berkisar 0,20-1,6335 dengan rata-rata 0,6127. Berdasarkan nilai indeks keragaman, keseragaman, dan dominansi secara rata-rata, maka perairan ini termasuk tidak stabil, genus relatif tidak merata dan terdapat genus yang secara ekstrim mendominasi genus lainnya. KATA KUNCI:
plankton, kualitas air, tambak, Kabupaten Pangkep
PENDAHULUAN Secara umum tambak di Kabupaten Pangkep memiliki bentuk petakan tidak beraturan dengan luas per petak bervariasi, jaringan irigasi tidak memadai, yaitu saluran pemasukan dan pengeluaran air memiliki satu pintu bahkan sebagian besar tidak memiliki jaringan irigasi (pengairan berantai), mengandalkan sumur bor, pengelolaan dilakukan secara tradisional sehingga banyak tergantung pada plankton sebagai pakan alami. Selain itu, plankton, juga merupakan komponen penting sebagai indikator kestabilan dan kekayaan suatu perairan serta dapat digunakan untuk mengestimasi kesuburan dan potensi perairan. Peran fungsional plankton khususnya zooplankton sangat penting sebagai vektor energi yang mengalirkan energi ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Fungsi ini banyak tergantung pada kemampuannya berperan sebagai konsumen dari fitoplankton yang merupakan komponen dasar dalam struktur kehidupan di suatu perairan. Dalam hubungannya dengan tingkatan trofik ini, di mana perubahan kuantitas zooplankton banyak dipengaruhi oleh kuantitas fitoplankton (Wiadyana, 1997). Luas tambak di Kabupaten Pangkep mencapai 12.367 ha dengan produksi total 13.448,6 ton yang terdiri atas ikan, udang, dan rumput laut (Diskanlut Prov. Sul-Sel, 2006), perluasan tambaknya tidak dibarengi dengan peningkatan produksi yang proporsional. Penyebab utamanya berkaitan erat dengan pengelolaan kawasan pesisir yang tidak bertanggung jawab, di mana pembangunan tambak tanpa disertai dengan penataan jaringan irigasi yang memadai dan gerakan penghijauan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kawasan tambak yang tidak memiliki jaringan irigasi dan jalur hijau (hutan mangrove) sebagai pengaman tambak. Petambak pada satu sisi tidak merelakan lahan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
916
tambaknya untuk pembangunan irigasi dan di sisi lain berkeinginan memperluas tambaknya dengan membabat mangrove yang tumbuh di tepi sungai untuk dijadikan lahan tambak. Hal ini terbukti, sebagian besar kawasan tambak berbatasan langsung dengan laut, mangrove hanya didapatkan di sepanjang sungai/saluran primer dengan kerapatan rendah. Berkurangnya hutan mangrove menjadi satu di antara penyebab terjadinya kerusakan habitat yang diperkirakan berpengaruh terhadap penurunan keragaman hayati di lingkungan perairan tambak, termasuk penurunan keragaman plankton dan akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas tambak. Di samping itu, tambak tidak dikelola dengan baik sehingga kualitas lingkungan berada dalam kisaran yang tidak sesuai dengan pertumbuhan plankton sebagai pakan alami organisme budidaya di tambak. Tambak umumnya dilkelola secara tradisional, terbukti dengan produksi yang dicapai masih relatif rendah. Produksi tersebut masih berpeluang besar untuk ditingkatkan melalui penerapan sistem tradisional plus dan semi intensif yang diiringi dengan perbaikan desain, tata letak, konstruksi dan jaringan irigasi tambak, dan gerakan penghijauan. Pengelolaan tambak secara tradisional dengan menggunakan plankton (fitoplankton dan zooplankton) sebagai pakan alami ikan dan udang, dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam keberhasilan usaha budidaya di tambak. Plankton khususnya fitoplankton selain sebagai sumber nutrien untuk ikan dan udang, juga sangat penting dalam memperbaiki kualitas air dan menjaga keseimbangan lingkungan serta dapat membuang senyawa-senyawa dalam air yang dapat menimbulkan racun terhadap ikan dan udang yang dibudidayakan (Pirzan & Pong-Masak, 2007), juga berguna untuk memacu pertumbuhan dan menekan tingkat kematian organisme budidaya. Di samping itu, dengan memelihara dan menjaga jumlah plankton tetap optimum di dalam tambak melalui pemupukan seimbang akan mencegah lingkungan dari degradasi dan dapat menjamin oksigen terlarut tetap tersedia. Lingkungan tambak yang stabil ditandai dengan keragaman plankton tinggi, jumlah individu setiap spesies tinggi dan merata dan kualitas air lingkungan tambak berada dalam kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan organisme budidaya, termasuk di dalamnya plankton sebagai pakan alami yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik yang bersifat fisika maupun kimia di tambak. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menelaah hubungan antara kelimpahan plankton dan berbagai peubah kualitas air di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada kawasan pertambakan di Kecamatan Mandale, Segeri, Ma’rang, Labakang, Bungoro, Pangkajene, dan Minasatenne, Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Sebanyak 88 stasiun pengamatan ditetapkan posisinya dengan GPS (Global Positioning System) dan sebarannya dapat dilihat pada Gambar 1. Di setiap stasiun, contoh plankton dan air diambil pada tambak yang sedang dalam masa pemeliharaan ikan dan udang. Plankton dikoleksi dengan menyaring air sebanyak 50 L menjadi 30 mL menggunakan plankton net No. 25, kemudian diawetkan dengan larutan Lugol 1%. Peubah kualitas air ditentukan dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dan di laboratorium. Identifikasi jenis plankton dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop yang berpedoman pada Newel & Newel (1977), Yamaji (1976) dan Botes (2003) serta kelimpahannya menggunakan Sedgwick Rafter Counter Cell (APHA, 2005). Untuk mengetahui kekayaan dan kestabilan perairan, maka dilakukan analisis kuantitatif indeks biologi plankton meliputi perhitungan keragaman, keseragaman dan dominansi dari Shannon-Wiener (Odum, 1971; Basmi, 2000) dan formulanya sebagai berikut: Indeks Keragaman Jenis:
H' - Pi In Pi
Pi
ni N
917 H’ ni N Pi = ni / N
Hubungan antara kelimpahan plankton dan ... (Andi Marsambuana Pirzan) = = = =
indeks keragaman jenis jumlah genus ke-i jumlah total genus proporsi genus ke-i
Indeks keseragaman : E
E H’ H’ maks
= = =
H' H' maks
indeks keseragaman jenis indeks keragaman jenis indeks keragaman maksimum
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
918
Indeks dominansi D (Pi)2
D = indeks ni N Pi = ni / N
dominansi = jumlah genus ke-i = jumlah total genus = proporsi genus ke-i
Kualitas air yang diukur terdiri atas peubah fisika dan kimia yang dianggap berpengaruh terhadap kelimpahan plankton seperti ditampikan pada Tabel 1. Contoh air diambil dari lokasi yang dianggap merepresentasikan kondisi lingkungan perairan tambak dan metode analisisnya berpedoman pada Haryadi et al. (1992) dan APHA (2005). Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum (minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku) dari kelimpahan, jumlah genus, dan indeks biologi (keragaman, keseragaman, dan dominansi) plankton serta kondisi lingkungan perairan. Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian ini adalah kelimpahan plankton, sedangkan peubah bebas, yaitu berbagai peubah kualitas air. Hasil perhitungan angka korelasi antara kelimpahan plankton dan peubah kualitas air merupakan keeratan hubungan peubah tersebut. Untuk menghitung besarnya pengaruh peubah kualitas air terhadap kelimpahan plankton digunakan angka R square. Pengujian tentang benar atau layaknya model regresi yang digunakan perlu dilakukan uji hubungan linieritas antara peubah kualitas air dan plankton digunakan angka R square. Pengujian tentang benar atau layaknya model regresi yang digunakan perlu dilakukan uji hubungan linieritas antara peubah kualitas air dan kelimpahan plankton. Taraf signifikansi dari statistik ditetapkan pada P<0,05 dan data dianalisis dengan bantuan program Statistical Product Service Solution (SPSS) 15,0 (SPSS, 2006).
Tabel 1. Peubah kualitas air yang diamati di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan Peubah Fisika Suhu (°C) Kimia Total Dissolved Solid (TDS) (mg/L) Salinitas (ppt) DO (mg/L) pH NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) NH3 (mg/L) PO4 (mg/L) Fe (mg/L) Total Suspended Solid (TSS) (mg/L) Bahan organik total (BOT) (mg/L)
Alat/metode
Analisis laboratorium/lapangan
DO-meter
Lapangan
DO meter Refraktometer Oksigen meter pH meter Botol sampel, spektrofotometer Botol sampel, reduksi cadmium Botol sampel, phenat Botol sampel, asam askorbit Botol sampel, phenantrolin Gravimetrik Titrimetrik
Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Plankton net ukuran 60 µm, botol sampel, mikroskop
Laboratorium
Biologi Plankton (ftoplankton & zooplankto)
919
Hubungan antara kelimpahan plankton dan ... (Andi Marsambuana Pirzan) Tabel 2. Kelimpahan dan genus plankton, keragaman, keseragaman, dominansi tiap stasiun di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan Parameter Kelimpahan (ind./L) Jumlah genus Keragaman (H’) Keseragaman (E) Dominansi (D)
Minimum Maksimal 18 2 0,0003 0,0004 0,2
Rataan
69.837,00 2.837,30 7 3,66 1,8286 0,7413 1,1697 0,5924 1,6335 0,6127
Simpangan baku 10.353,46 1,37 0,3679 0,288 0,0256
HASIL DAN BAHASAN Beberapa genera plankton melimpah pada perairan payau, sedangkan genera lainnya melimpah pada perairan yang lebih asin. Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk suhu, pH, konsentrasi nutrien, cahaya, cuaca, penyakit, pemangsaan ikan, dan zooplankton, kompetensi antara spesies, toksin alga (Boyd, 1990). Kelimpahan plankton dalam penelitian ini pada kisaran 18,0-69.837,0 ind./L dengan rata-rata 2.837,3 ind./L (Tabel 2). Kelimpahan plankton dalam penelitian kisarannya lebih lebar bila dibandingkan dengan kelimpahan plankton di Kabupaten Luwu Utara dengan jumlah individu 60-1.110 ind./L (Pirzan & Mustafa, 2008), Luwu Timur dengan jumlah individu yaitu 50-810 ind./L (Pirzan & Mustafa, 2010). Sinjai pada kisaran 140-2.060 ind./L (Pirzan et al., 2003) serta di Bulukumba, Jeneponto, Maros, Pinrang, dan Takalar pada kisaran 455-1.475 ind./L (Pirzan & Pong-Masak, 2007). Perbedaan tersebut, disebabkan sebagian besar stasiun pengamatan memiliki jumlah individu tinggi untuk genus plankton tertentu yang tahan terhadap lingkungan perairan yang bermutu rendah misalnya dari genus Oscillatoria. Rendahnya mutu lingkungan perairan karena sebagian besar tambak tidak memiliki jaringan irigasi dan untuk mengairi tambak mengandalkan sumber air dari sumur bor, akibatnya penggantian air sangat sulit dilakukan bahkan sama sekali tidak dilakukan pergantian air. Pirzan & Utojo (2010) mengukapkan bahwa Oscillatoria ditemukan melimpah pada salinitas 90 ppt dan suhu 37°C dengan kedalaman air tambak yang rendah di kawasan pertambakan Kabupaten Bone. Jumlah genus yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar 2-7 genera (Tabel 2) sama dengan di Mamuju pada kisaran 2-7 dan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan di Sinjai, yaitu pada kisaran 2-8 genera (Pirzan et al., 2003), juga relatif lebih rendah dengan di Lakawali Luwu Timur pada kisaran 4-8 genera (Pirzan et al., 2006) dan di kawasan pertambakan Kabupaten Bone pada kisaran 2-8 genera (Pirzan & Utojo, 2010), tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Bulukumba, Jeneponto, Maros, Pinrang, dan Takalar dengan kisaran 8-14 genera dan jumlah genus lebih merata pada lima lokasi yang disebutkan terakhir (Pirzan & Pong-Masak, 2007). Demikian juga bila dibandingkan dengan tambak tanah sulfat masam di Luwu Utara memperlihatkan jumlah genus lebih tinggi, yaitu berkisar 2-17 genera (Pirzan & Mustafa, 2008). Jumlah genus rendah karena penelitian ini dilakukan pada kawasan tambak yang umumnya tidak memiliki jaringan irigasi sehingga sulit melakukan pergantian air dan menggunakan sumur bor, sehingga lingkungan perairan mengalami penurunan mutu secara drastis. Walaupun jumlah genus relatif sama dengan lokasi di kabupaten lain, tetapi jumlah individu setiap genus sangat bervariasi, sehingga terjadi dominansi antar genus. Pengamatan di lapangan mengungkapkan bahwa plankton dari genus Oscillatoria memiliki jumlah genus jauh lebih tinggi daripada genus lainnya untuk semua stasiun pengamatan, karena genus ini di samping tahan terhadap salinitas tinggi seperti ditemukan di tambak bandeng dan garam di Kabupaten Jeneponto (Utojo & Pirzan, 2009), juga spesies dari genus Oscillatoria ini termasuk indikator pencemar perairan mulai dari tingkat cemaran moderat sampai dengan cemaran ekstrim (Anggoro, 1988). Selain itu, juga dipengaruhi oleh tingkat kerusakan habitat karena tidak memperhatikan tata ruang dan tidak menyisahkan mangrove sebagai jalur hijau di sepanjang sungai, saluran utama serta di antara hamparan tambak.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
920
Nilai indeks keragaman pada penelitian ini berkisar 0,0003-1,8286 dengan rata-rata 0,7413 ditampilkan pada Tabel 2, berarti secara rata-rata komunitas plankton di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep termasuk kondisi tidak stabil. Kondisi komunitas biota tidak stabil dimaksudkan adalah komunitas bersangkutan sedang mengalami gangguan faktor lingkungan. Nilai keragaman lebih rendah dibandingkan dengan nilai keragaman di Dolago pada kisaran 0,21-1,97 dan Malakosa pada kisaran 0,33-2,35 (Pirzan et al., 2006) walaupun tambak di Dolago tidak dapat dikeringkan secara tuntas, dan di Malakosa merupakan tambak baru dibangun dan masih terdapat banyak pepohonan di pelataran tambak. Lain halnya di beberapa lokasi di Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone dengan kisaran salinitas 37-83 ppt dan suhu berkisar 31°C-37°C dan di Kecamatan Mare salinitas berkisar 37-83 ppt dengan suhu berkisar 31°C-37°C, tetapi keragaman plankton lebih tinggi, yaitu pada kisaran 0,10-1,87 dengan rata-rata 0,87 (Pirzan & Utojo, 2010). Hal ini karena jaringan irigasi di kawasan pertambakan Kabupaten Bone relatif lebih baik dibandingkan dengan di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep. Menurut Basmi (2000), bila H’ <1, maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila nilai H’ berkisar dari 1-3, maka stabilitas komunitas biota adalah moderat dan bila H’>3, berarti stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima. Nilai indeks keseragaman pada penelitian ini berkisar 0,0004-1,1697 dengan rata-rata 0,5924, (Tabel 2) keberadaan genus tidak merata, perbedaannya menyolok (Basmi, 2000). Keseragaman yang diperoleh dalam penelitian ini, jauh lebih rendah dibandingkan dengan keseragaman yang diperoleh di kawasan pertambakan Kabupaten Bone pada kisaran 0,09-1,0 dengan rata-rata 0,87 (Pirzan & Utojo, 2010). Menurut Ali (1994), bila nilai E>0,75, maka termasuk nilai keseragamannya tinggi atau baik sedangkan bila nilai E<0,75, maka nilai keseragamannya rendah. Rendahnya nilai keseragaman di lokasi penelitian karena umumnya tambak tidak memiliki jaringan irigasi, sehingga pengisian air untuk mengairi petakan sebagian terbesar mengandalkan sepenuhnya pada sumur bor. Penggunaan sumur bor berkembang hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Pangkep yang mengembangkan budidaya tambak, sehingga penggantian air sangat sulit dilakukan bahkan tidak melakukan penggantian air selama siklus budidaya berlansung yang mengarah pada penurunan mutu lingkungan perairan, akhirnya terjadi penurunan produktivitas tambak. Nilai indeks dominansi pada penelitian ini berkisar 0,20-1,6335 dengan rata-rata 0,6127 tertera pada Tabel 2, berarti dalam struktur komunitas plankton di perairan ini terdapat genus yang mendominasi genus lainnya. Nilai indeks dominansi mendekati angka satu bahkan melebihi angka satu berarti di dalam struktur komunitas biota yang diamati terdapat genus yang secara ekstrim mendominasi genus lainnya. Untuk menurunkan nilai indeks dominansi menjadi baik, dengan memperbaiki tata ruang dengan membangunan jaringan irigasi karena umumnya tambak di lokasi penelitian tidak memiliki jaringan irigasi akibatnya penggantian air sangat sulit dilakukan bahkan petani tidak melakukan pergantian air selama periode pemeliharaan berlangsung. Sebelum berkembangnya penggunaan sumur bor sebagai sarana untuk pengairan tambak, maka petambak dalam melakukan pengisian air ke dalam tambak, yaitu dengan jalan mengalirkan air dari satu petak ke petak lainnya, dikenal dengan istilah pengairan berantai. Selain itu, tidak menerapkan penggunaan pupuk dan pembasmi hama yang seimbang. Hal serupa telah terungkap pada pengamatan tambak intensif dan tradisional di Lakawali Kabupaten Luwu Timur (pemekaran Luwu Utara menjadi Luwu Utara dan Luwu Timur) dengan nilai dominansi tinggi masing-masing 0,66 dan 0,73 karena penggunaan pupuk anorganik dan antibiotik tidak seimbang serta konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dilakukan secara benar (Pirzan et al., 2006). Faktor utama yang mempengaruhi perubahan jumlah organisme, keragaman, dan dominansi antara lain adanya perusakan habitat alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim (Widodo, 1997). Untuk mengetahui hubungan peubah kualitas air terhadap kelimpahan plankton secara serentak diperoleh dari besarnya nilai R (koefisien korelasi). Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai R sebesar 0,404 berarti antara peubah kualitas air dan kelimpahan plankton keeratannya dikategorikan sedang dengan interpretasi koefisien korelasi antara 0,40 dan 0,599 (Priyanto, 2008). Besarnya pengaruh peubah kualitas air terhadap kelimpahan plankton ditunjukkan oleh nilai koefisien diterminasi (R square), yaitu sebesar 0,163 atau sama dengan 16,3%. Dengan kata lain, besarnya pengaruh tersebut adalah 16,3% berarti bahwa besarnya kelimpahan plankton yang dapat dijelaskan
921
Hubungan antara kelimpahan plankton dan ... (Andi Marsambuana Pirzan)
oleh peubah kualitas air adalah sebesar 16,3% dan sisanya, yaitu 83,7% harus dijelaskan oleh faktorfaktor penyebab lainnya yang berasal dari luar model regresi ini. Dengan demikian model regresi tersebut dapat diprediksi kelimpahan plankton dari persamaan sebagai berikut: Y = -30265,869 + 1040,496 X 1 - 146,369 X2 + 349,024 X3 + 24734,504 X4 - 4720,443 X5 – 1960,634 X6 + 62,674 X7 Y X1 X2 X4 X5 X6 X7
di mana: = kelimpahan plankton (ind./L); = Suhu (°C); = Salinitas (ppt); X3 = DO (mg/L); = NO2(mg/L); = NH3 (mg/L); = PO4 (mg/L); = TSS (mg/L).
Hasil pengamatan suhu pada penelitian ini berkisar 25,7°C-36,4°C dengan rata-rata 30,7°C (Tabel 3) termasuk kisaran yang layak untuk budidaya di tambak. Lebih rendah daripada pengamatan suhu di kawasan pertambakan Kabupaten Bone dengan kisaran 31°C-37°C, karena selain pelaksanaannya dilakukan pada musim kemarau, juga dipacu oleh kondisi tambak umumnya dangkal (Pirzan & Utojo, 2010). Menurut Simon (1988), pertumbuhan organisme akuatik utamanya plankton akan lebih baik pada tambak dengan kedalaman lebih dari 70 cm karena plankton terdiri atas organ hidup yang sangat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Pada kedalaman tersebut akan tercapai suhu yang sesuai dengan kebutuhan, baik ikan, dan udang maupun plankton. Menurut Poernomo (1988), persyaratan suhu yang ideal untuk tambak berkisar 26°C-32°C. Kisaran suhu di perairan tambak ini lebih lebar dengan suhu rata-rata lebih rendah dari persyaratan ideal untuk tambak sehingga dengan meningkatnya suhu 1°C maka kelimpahan plankton akan meningkat sebesar 1.040 ind./L dengan ketentuan peubah yang lain tidak berubah. Suhu dalam penelitian ini merupakan peubah kualitas air yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan plankton. Hasil pengukuran salinitas pada seluruh stasiun penelitian berkisar 0,26-44,5 ppt dengan ratarata 13,4 ppt lihat Tabel 3. Fluktuasi salinitas tersebut termasuk lebar untuk persyaratan budidaya ikan umumnya. Kordi (1997) menyatakan bahwa umumnya organisme air payau hidup pada kisaran salinitas 8-28 ppt dengan fluktuasi di bawah 5 ppt dalam waktu singkat, tetapi sebagian plankton dapat hidup dan berkembang pada salinitas yang rendah sampai dengan salinitas >100 ppt. Tabel 3. Peubah kualitas air di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan Peubah Suhu (°C) Total Dissolved Solid (TDS) (mg/L) Salinitas (ppt) Oksigenterlarut (mg/L) pH Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) Amoniak (mg/L) Fosfat (mg/L) Besi (mg/L) Total Suspended Solid (TSS (mg/L) Bahan organik total (mg/L)
Mininmal Maksimal Kisaran 25,68 0,36 0,26 1,4 6,84 0,3071 0,8631 0,003 0,0137 0,0002 2 4,65
36,39 175,9 44,5 9,9 9,98 0,3079 0,0006 1,1731 1,8148 0,0581 131 36,55
10,71 175,54 44,24 8,5 3,14 0,0008 0,8625 1,1701 1,8011 0,0579 129 31,9
Rataan
Simpangan baku
30,7 41,49 13,43 6,14 8,8 0,0267 0,0511 0,2465 0,2365 0,0049 30,416 19,5
2,9 49,887 10,17 2,43 0,68 0,0484 0,1171 0,2446 0,326 0,009 24,0707 5,8384
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
922
Pengalaman menunjukkan bahwa plankton termasuk fitoplankton ditemukan pada salinitas > 100 ppt di tambak bandeng dan garam di Kabupaten Jeneponto (Utojo & Pirzan, 2009). Dengan adanya variasi salinitas yang sangat lebar pada penelitian ini sehingga meningkatnya salinitas 1 ppt, maka kelimpahan plankton akan turun sebesar 146 ind./L dengan ketentuan peubah lainnya tidak mengalami perubahan. Oksigen terlarut merupakan peubah kualitas air yang penting bagi kehidupan biota perairan. Kisaran oksigen terlarut dalam penelitian ini 1,4-9,9 mg/L dengan rata-rata 6,140 mg/L (Tabel 3). Penurunan kadar oksigen terlarut sampai batas tertentu dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada saat aktivitas fotosintesis optimum oleh fitoplankton pada siang hari. Selanjutnya kandungan oksigen terlarut rendah pada pagi hari, di mana aktivitas fotosintesis belum optimum. Menurut Boyd (1990), jika tidak ada senyawa beracun konsentrasi oksigen minimal 2 mg/L sudah cukup untuk mendukung kehidupan jasad perairan secara normal, tetapi pada penelitian ini kisaran kandungan oksigen sangat lebar dengan nilai minimum hanya mencapai 1,4 mg/L. Berdasarkan hal tersebut meningkatnya kandungan oksigen terlarut 1 mg/L maka kelimpahan plankton akan meningkat sebesar 349 ind./L dengan ketentuan peubah yang lain tidak berubah. Kandungan nitrit pada penelitian ini, berkisar 0,0008-0,3079 mg/L dengan rata-rata 0,2680 mg/ L ditampilkan pada Tabel 3. Menurut Boyd (1990), kandungan nitrit yang aman di tambak pembesaran benur udang windu adalah 4,5 mg/L. Kandungan nitrit rata-rata yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan pernyataan Boyd (1990) tersebut. Hasil analisis mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya nitrit sebesar 1 mg/L akan meningkatkan kelimpahan plankton sebanyak 24.734 ind./ L dengan ketentuan variabel lainnya tidak berubah. Proses metabolisme yang mengubah protein menjadi energi, maka gugus amino diputus dan langsung dibuang sebagai kotoran dalam bentuk amonia (Chamberlain, 1988). Selanjutnya dikatakan amonia dapat hadir dalam bentuk tidak terionisasi sehingga beracun (NH3), khususnya pada tingkat pH tinggi maupun dalam bentuk terionisasi yang tidak beracun (NH4), khususnya pada tingkat pH rendah. Selain itu, amonia sebagai hasil pembuangan kotoran oleh ikan di tambak maupun dekomposisi oleh bakteri, diserap sebagai bahan makanan oleh alga atau dioksidasi, mula-mula menjadi nitrit (NO2) kemudian menjadi nitrat (NO3) oleh bakteri aerobik pelaksana nitrifikasi. Data amonia yang dikumpulkan pada penelitian ini pada kisaran 0,0030-1,1371 mg/L dengan rata-rata 0,2465 mg/L (Tabel 3), Variasinya sangat lebar, sehingga berpengaruh negatif terhadap kelimpahan plankton, maka dengan meningkatnya amonia 1 mg/L akan menurunkan kelimpahan plankton sebanyak 4.720 ind./L dengan ketentuan peubah lainnya tidak berubah. Sisa pakan/feses ikan dan bahan organik lainnya didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrien anorganik seperti fosfat, amonia, dan karbondioksida (Boyd, 1999). Kandungan fosfat pada penelitian ini pada kisaran 0,0137-1,8148 mg/L dengan rata-rata 0,2365 mg/L (Tabel 3). Menurut Choo & Tanaka (2000), bahwa kadar fosfat yang direkomendasikan supaya tidak terjadi eutrofikasi di pantai dan laut, masing-masing 0,0045 dan 0,0015 mg/L. Pengalaman menunjukkan bahwa pemupukan tambak dengan penambahan pupuk fosfat dan nitrogen akan meningkatkan produksi pakan alami termasuk di dalamnya plankton. Selain keberadaan fosfor yang relatif sedikit dan mudah mengendap, juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga akuatik dan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Jones & Bachmann, 1976 dalam Davis & Cornwell, 1991). Fosfat merupakan hara kunci dalam meningkatkan produksi pakan alami untuk ikan. Kandungan fosfat dalam penelitian ini lebih tinggi 16,4 kali lipat bila dibandingkan dengan kandungan fosfat yang ditetapkan dalam baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,015 mg/L (MENLH, 2004), sehingga berpengaruh negatif terhadap kelimpahan plankton, di mana dengan meningkatnya fosfat 1 mg/L akan menurunkan kelimpahan plankton sebanyak 1.961 ind./L dengan ketentuan peubah lainnya tidak berubah. Padatan tersuspensi merupakan padatan yang tidak lolos pada kertas saring ukuran 20 µm atau tidak larut dalam air dan hanya melayang-layang (APHA, 2005). Padatan tersuspensi total di lokasi
923
Hubungan antara kelimpahan plankton dan ... (Andi Marsambuana Pirzan)
penelitian berkisar 2,0-131,0 mg/L; dengan rata-rata 30,4 mg/L (Tabel 3) relatif lebih rendah dengan yang didapatkan oleh Utojo & Pirzan (2009) dengan kisaran 4-180 mg/L. Kisaran padatan tersuspensi yang didapatkan masih dalam batas kategori baik dan mendukung kegiatan budidaya di tambak. KESIMPULAN Kelimpahan plankton pada kisaran 18,0-69.837,0 ind./L dengan rata-rata 2.837,3 ind./L. Terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan plankton dan peubah kualitas air, yaitu: suhu, oksigen terlarut, nitrit, dan TSS berbanding lurus sedangkan salinitas, amonia, dan fosfat berbanding terbalik antara kedua parameter tersebut. Jumlah genus berkisar 2-7 genera dengan rata-rata 3,7 genera, keragaman berkisar 0,0003-0,7413 dengan rata-rata 0,7413, keseragaman berkisar 0,0004-1,1697 dengan rata-rata 0,5924 dan dominansi plankton berkisar 0,20-1,6335 dengan rata-rata 0,6127. Berdasarkan nilai indeks biologi secara rata-rata, perairan ini termasuk tidak stabil, genus relatif tidak merata dan terdapat genus yang secara ekstrim mendominasi genus lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Darsono dan Hakim atas bantuannya dalam pengambilan contoh air di lapangan dan Sutrisyani, Andi Sahrijanna, dan Sitti Rohani atas bantuannya dalam analisis air di laboratorium serta Irmayani atas bantuannya dalam analisis plankton. DAFTAR ACUAN Ali, I.M. 1994. Struktur Komunitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan-ikan Dominan di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Thesis Sarjana. Fak. Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 130 hlm. Anggoro, S. 1988. Analisis tropik-saprobik (Trosap) untuk menilai kelayakan lokasi budidaya laut. Workshop Budidaya Laut. Universitas Diponegoro. Jepara, hlm. 66-90. APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. Twentieth edition. APHA-AWWA-WEF, Washington, D.C., p. 10-2-10-18. Basmi, H.J. 2000. Planktonologi: Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 60 hlm. Botes, L. 2003. Phytoplankton Identification Catalogue. Globallast Monograph Series No. 7. Programme Coordination Unit Global Ballast Water Mangement Progrmme International Marine Organization. London, 77 pp. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Auburn University, Alabama USA, 482 pp. Boyd, C.E. 1999. Codes of practice for responsible shrimp farming. Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, AL USA, 36 hlm. Chamberlain, W.G. 1988. Tinjauan kembali pengelolaan tambak udang, dalam Prinsip Pengelolaan Budi Daya Udang. Technical Bulletin, hlm. 48-64. Choo, P.S. & Tanaka, K. 2000. Nutrient levels in ponds during the grow-out and harvest phase of Penaeus monodon under semi-intensive or intensive culture. JIRCAS Journal, (8): 13-20. Davis, M.L. & Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering. Second edition. McGrow-Hill, Inc., New York, 822 pp. Diskanlut Prov. Sul-Sel (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan). 2006. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Sulawesi Selatan, 217 hlm. Haryadi, S., Suryodiptro, I.N.N., & Widigdo, B.1992. Limnologi. Penuntun Praktikum dan Metoda Analisa Air. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 57 hlm. Kordi, G.M.H. 1997. Parameter Kualitas Air. Penerbit Karya Anda Surabaya. MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.KEP-51/MENLH/ 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Lampiran III. Newel, G.E. & Newel, R.C. 1977. Marine Plankton. Hutchintson. London, 244 pp. Odum, E.P. 1971. Fundamental Ecology 3rd. W.B Sanders Company. Phildelphia, 574 pp. Pirzan, A.M. & Mustafa, A. 2008. Peubah kualitas air yang berpengaruh terhadap plankton di tambak tanah sulfat masam Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur, 3(3): 263-374.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
924
Pirzan, A.M. & Mustafa, A. 2010. Peubah kualitas air yang berpengaruh terhadap kelimpahan plankton di tambak tanah sulfat masam Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dalam Jumanto, Saksono, H., Probusunu, N., Widaningroem, R., Suadi & Istiqomah, I (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2010. Jilid II: Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, hlm. 1-9. Pirzan, A.M., Gunarto, & Utojo. 2003. Plankton diversity and relationship with phosphate in brackishwater pond of South Sulawesi. International Seminar on Marine and Fisheries. Agency for Marine and Fishries Research. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Jakarta, p. 51-57. Pirzan, A.M., Gunarto, & Utojo. 2006. Kelayakan dan kestabilan tambak dan sungai berdasarkan indikator bdiversitas plankton di Lakawali, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Torani, 16(3): 153-161. Pirzan, A.M. & Pong-Masak, P.R. 2007. Hubungan produktivitas tambak dengan keragaman fitoplankton di Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur, 2(2): 211-220. Pirzan, A.M. & Utojo. 2010. Keragaman plankton dan kondisi lingkungan perairan kawasan pertambakan Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam Syamsuddin, S., Yulianti, H., Sihaputar, Saifurridjal, Basith, A., Nurbani, S.Z., Suharto, Siregar, A N., Rahardjo, S., Hadi, R.S., & Sanova, B.V. (eds). Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2010. Melindungi Nelayan dan Sumber Daya Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, hlm. 8-15. Priyanto, D. 2008. Mandiri Belajar Statistical Product and Service Solution (SPSS) untuk Analisis Data & Uji Statistik. Media Kom. Yogyakarta, 143 hlm. Poernomo, A. 1988. Faktor lingkungan dominan pada budi daya udang intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta, 61 hlm. Simon, C.M. 1988. Cara memonitor dan mengatur kualitas air pada tambak udang intensif, dalam Prinsip Pengelolaan Budi Daya Udang. Technical Bulletin, hlm. 10-12. SPSS (Statistical Product and Service Solution). 2006. SPSS 15.0 Brief Guide. SPSS Inc., Chicago, 217 pp. Utojo & Pirzan, A.M. 2009. Kondidisi plankton di tambak bandeng dan garam Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dalam Jumanto, Dwiyitno, Chasanah, E., Heruwati, E.S., Irianto, H.E., Saksono, H., Iwan Yusuf, B.L., Basmal, J., Murniyati, Murwantoko, Probusunu, N., Peranginangin, R., Rustadi, & Ustadi (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 1-8. Wiadyana, N.N. 1997. Strfikasi klorofil-a dan kondisi fitoplankton di Perairan Sorong, Irian Jaya. Buletin Ilmu Kelautan Torani, 7: 36-44. Widodo, J. 1997. Biodiversitas sumberdaya perikanan laut peranannya dalam pengelolaan terpadu wilayah pantai, dalam Mallawa, A., Syam, R., Naamin, N., Nurhakim, S., Kartamihardja, E.S., Poernomo, A., & Rachmansyah (Eds). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997, hlm. 136-141. Yamaji, J. 1976. Illustration of Marine Plankton. Hoikush Publishing Co. Ltd., Osaka, Japan, 369 pp.