925
Hubungan antara kualitas air dan plankton ... (Admi Athirah)
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PL ANKTON DI TAMBAK KABUPATEN KEPUL AUAN SEL AYAR, SUL AWESI SEL ATAN Admi Athirah, Erna Ratnawati, dan Andi Indrajaya Asaad Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian yang telah dilakukan di kawasan pertambakan Kabupaten Kepulauan Selayar bertujuan untuk mengetahui kesuburan tambak terutama kandungan plankton (pakan alami) dalam hubungannya dengan kualitas air untuk menunjang budidaya tambak secara tradisional. Pengambilan sampel plankton pada lokasi tambak yang representatif dengan menggunakan plankton net No. 25. Sampel plankton dipekatkan dari 100 L menjadi 100 mL kemudian diawetkan dalam larutan MAF. Identifikasi plankton menggunakan mikroskop yang berpedoman pada buku identifikasi plankton dan perhitungannya menggunakan metode counting cell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah genus/spesiesnya plankton di kawasan pertambakan Kabupaten Kepulauan Selayar berkisar antara 2-11 genus. Berdasarkan indeks keragaman plankton, kondisi perairan pertambakan Kabupaten Kepulauan Selayar cenderung stabil dengan kategori sedang dengan keseragaman antar genus/spesies termasuk rendah namun relatif seragam. Berdasarkan indeks dominansi didapatkan bahwa tidak ada jenis tertentu yang mendominasi perairan. Kondisi kualitas perairan tambak secara umum masih dalam kategori normal untuk aktivitas budidaya perikanan. Kondisi tersebut juga mendukung keberadaan plankton sebagai rantai utama makanan secara alami. Kualitas air yang berpengaruh terhadap keberadaan dan kelimpahan plankton adalah nitrat, nitrit, amonia, dan fosfat. KATA KUNCI:
kualitas air, tambak, plankton, Kabupaten Kepulauan Selayar
PENDAHULUAN Salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang berupa kabupaten kepulauan adalah Kabupaten Kepulauan Selayar. Hal tersebut berdasarkan kondisi geografisnya yang memang berupa kawasan kepulauan dan didukung oleh kebijakan pemerintah pusat, provinsi sampai kabupaten. Sejak diberlakukannya otonomi daerah maka setiap kabupaten dan kota di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kepulauan Selayar, memiliki hak seluas-luasnya untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi potensi sumberdaya yang terkandung di daerahnya. Selain itu, daerahnya juga memiliki hak penuh untuk menentukan arah dan strategi pengembangan wilayahnya, termasuk wilayah pesisir. Berbagai pendekatan dan konsep telah dilakukan oleh setiap kabupaten dan kota untuk mengembangkan wilayah pesisirnya. Akan tetapi pada umumnya konflik sektoral dan kepentingan masih mewarnai pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Untuk menjaga keselarasan dan koordinasi dengan pembangunan sektor lainnya maka pengembangan sumberdaya perikanan perlu direncanakan dengan berbasis pada perencanaan pengelolaan ruang (Prianto et al., 2006). Pemanfaatan potensi budidaya telah menjadi kebijakan perikanan nasional yaitu dengan ditetapkannya produksi budidaya sebesar 353% yaitu dari 5,26 juta ton menjadi 16,89 juta ton dalam periode 2010-2014 (Poernomo, 2009). Secara geografis, Kabupaten Kepulauan Selayar potensial bagi pengembangan tambak dan secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba di sebelah utara, Laut Flores dan Selat Makassar di sebelah barat, dan juga dibatasi oleh Laut Flores di sebelah selatan dan timur. Luas wilayah daratan Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan Perda No. 9 Tahun 2001, wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar hampir mencapai 113.928 ha yang terdiri atas beberapa wilayah pulau besar dan pulau-pulau kecil dengan jumlah keseluruhan sekitar 123 buah. Wilayah administrasi terdiri atas 10 kecamatan dan 73 kelurahan/desa. Luas potensi perikanan dan kelautan yang demikian luasnya harus dikelola secara terencana agar mampu meningkatkan produksi.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
926
Kondisi lingkungan pertambakan termasuk kualitas airnya akan berpengaruh terhadap komposisi jenis, kelimpahan dan distribusi plankton yang terkandung di dalamnya. Demikian pula halnya dengan kesuburan perairan dapat dilihat dari kandungan bahan-bahan organik yang ada di suatu perairan, seperti ada atau tidaknya plankton di dalamnya. Keberadaan plankton sangat dipengaruhi oleh kualitas air, baik yang bersifat fisika maupun kimia di tambak. Untuk mengetahui hubungan kualitas air dan plankton di kawasan pertambakan Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, telah dilakukan penelitian dengan mengambil sampel secara acak pada lokasi pertambakan yang dianggap dapat mewakili masing-masing wilayah pertambakan. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilakukan pada bulan Maret 2010 di pertambakan Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Sampling air maupun plankton dilakukan secara acak dengan menggunakan metode grab sampler (sampel sesaat). Sampel air diambil menggunakan botol sampel 1.000 mL yang terbuat dari polyeteline, kemudian dimasukkan dalam cool box dengan suhu ± 4°C (SNI 03-7016-2004), sementara sampel plankton diambil dengan cara menyaring air sebanyak 100 L menggunakan planktonet berdiameter 25 µm dan diawetkan menggunakan larutan lugol 1 mL/100 mL. Pengukuran peuibah in situ seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dan turbiditas dilakukan secara langsung di lapangan, sedangkan sampel air untuk analisis NO2, NO3, NH3, BOT, dan Fe dibawa ke laboratorium. Penghitungan plankton yang meliputi kelimpahan, keragaman, dominansi, dan keragaman jenis dilakukan menggunakan alat bantu Sedwick Rafter Counter (SRC) (APHA, 1989) yang dilihat menggunakan alat bantu mikroskop APHA tahun 1989. Kelimpahan jenis plankton dihitung berdasarkan persamaan menurut APHA (1989) sebagai berikut:
N Oi/Op x Vr/Vo x 1/Vs x n/p
di mana: N = jumlah individu per liter Oi = luas gelas penutup preparat (mm2) Op = luas satu lapangan pandang (mm2) Vr = volume air tersaring (ml) Vo = volume air yang diamati (ml) Vs = volume air yang disaring (L) n = jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang p = jumlah lapangan pandang yang teramati Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman (diversity index) jenis, indeks keseragaman, dan indeks dominansi dihitung menurut Odum (1998) dengan rumus sebagai berikut: Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener: s
H' (ni/N) In (ni/N) i 1
Indeks keseragaman :
E H'/Hmax
927
Hubungan antara kualitas air dan plankton ... (Admi Athirah)
Indeks dominansi : s
D [ni/N]2 i 1
di mana: H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener E = indeks keseragaman D = indeks dominansi simpson ni = jumlah individu genus ke-i N = jumlah total individu seluruh genera Hmax = indeks keanekaragaman maksimum (= ln S, dimana S = Jumlah jenis) Untuk mengetahui gambaran umum dari data kualitas air dan keeratan hubungan antara air dan plankton digunakan program analisis Statistical Product and Service Solution (SPSS 16,02006). Statitik deskriptif (minimum, maksimum, rata-rata, simpangan baku) digunakan untuk mendapatkan gambaran umum dari data kualitas air, jumlah individu, dan genus plankton. Sebagai peubah tidak bebas atau peubah respons dalam penelitian ini adalah jumlah individu dan jumlah genus plankton, sedangkan sebagai peubah bebas adalah kualitas air. Koefisien korelasi ditentukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara peubah kualitas air. HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air Kualitas air di mana tempat organisme hidup sangat penting untuk diketahui kualitasnya baik secara langsung (in situ) maupun secara tidak langsung (ex situ). Peubah in situ merupakan peubah yang langsung diukur di lapangan seperti suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, dan ex situ merupakan peubah yang dianalisis di laboratorium seperti nitrat (NO 3), nitrit (NO2), amonia (NH3), dan fosfat (PO4). Peubah kualitas air yang diamati pada perairan tambak Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar sebanyak 8 peubah disajikan pada Tabel 1. Suh u Hasil pengamatan suhu pada penelitian ini berkisar 28,7°C-39,18°C dengan rata-rata 34,00°C, (Tabel 1) tingginya suhu disebabkan oleh kedalaman tambak dan tinggi air tambak, semakin tinggi air tambak maka suhu air semakin stabil sedangkan air tambak yang dangkal menyebabkan perubahan Tabel 1. Nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku kualitas air tambak di Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu Kabupaten Selayar Peubah Suhu (°C) Oksigen terlarut (mg/L) Salinitas (ppt) pH NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) NH3 (mg/L) PO4 (mg/L)
Minimum Maksimum Rataan Simpangan baku 28,97 3,26 0,52 4,41 0,0003 0,00003 0,0000 0,0044
39,18 7,75 39,49 7,78 0,1204 0,2276 1,9490 0,8533
34,00 5,56 31,12 6,35 0,0133 0,0238 0,3614 0,1360
2,576 0,772 8,597 0,606 0,01875 0,04236 0,30280 0,15204
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
928
suhu yang ekstrim, namun kisaran ini menunjukkan masih dalam batas toleransi pertumbuhan plankton, ikan, dan udang sehingga masih termasuk kisaran yang layak untuk budidaya di tambak. Menurut Simon (1988), pertumbuhan organisme akuatik utamanya plankton akan lebih baik pada tambak dengan kedalaman lebih dari 70 cm karena plankton terdiri dari organ hidup yang sangat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Pada kedalaman tersebut akan tercapai suhu yang sesuai dengan kebutuhan, baik ikan dan udang maupun plankton. Menurut Poernomo (1988), persyaratan suhu yang ideal untuk tambak berkisar 26°C-32°C dan menurut Mulyanto (1992), suhu air yang ideal untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25°C-30°C. Sedangkan menurut Tiensongrusmee (1980), udang mempunyai toleransi suhu air antara 18°C-38°C. Kisaran suhu di perairan tambak ini lebih lebar dari persyaratan ideal untuk tambak sehingga dengan meningkatnya suhu 1°C, maka kelimpahan plankton akan meningkat pula. Suhu air merupakan salah satu parameter fisika air yang dapat mempengaruhi sifat kimia perairan maupun kondisi fisiologi ikan. Kenaikan suhu air dapat menurunkan kandungan O 2 dalam air (Boyd & Lichtkoppler, 1982). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran, serta kedalaman badan air. Suhu air dapat mempengaruhi sintasan, pertumbuhan, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit, dan metabolisme (Wardoyo & Djokostiyanto, 1988). Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya seprti alga dari filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh baik pada kisaran suhu berturut- turut 30°C35°C dan suhu 20°C-30°C. Filum Cyanophyta lebih toleran terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam, 1995). Menurut Mulyanto (1992), suhu air yang ideal untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25°C-30°C. Sedangkan menurut Tiensongrusmee (1980), udang mempunyai toleransi suhu air antara 18°C-38°C. Oksigen Terlarut Hasil pengukuran oksigen terlarut pada penelitian ini berkisar antara 3,26-7,75 mg/L dengan rata-rata 5,56 mg/L. Kisaran oksigen yang terukur masih dalam batas yang disarankan dan masih dalam kisaran yang dipersyaratkan dalam budidaya udang. Kandungan oksigen terlarut dalam air yang dapat mendukung kehidupan udang minimal 3 mg/L (Tiensongrusme, 1980). Sedangkan untuk pertumbuhan yang normal bagi udang, konsentrasi O2 terlarut harus dalam batas 4-7 mg/L (Poernomo, 1985). Menurut Boyd (1990), jika tidak ada senyawa beracun konsentrasi oksigen minimal 2 mg/L sudah cukup untuk mendukung kehidupan jasad perairan secara normal. Oksigen terlarut dalam air merupakan salah satu gas yang menentukan kehidupan udang dan ikan terutama dalam fungsi biologis pertumbuhan. Kedalaman air tambak juga mempengaruhi suhu, tambak yang dangkal tentu saja mempunyai volume air yang lebih sedikit sehingga mudah terpengaruh oleh sinar matahari pada siang hari, terutama pada saat terik matahari tanpa awan, semakin tinggi suhu maka oksigen terlarut akan semakin berkurang (Effendi, 2003). Oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh salinitas dan kekeruhan. Semakin tinggi salinitas menyebabkan air menjadi pekat dan oksigen menjadi sulit untuk berdifusi. Kepadatan fitoplankton mempengaruhi konsentrasi oksigen ini dijelaskan oleh Pirzan (2008) yang menjelaskan bahwa penurunan oksigen terlarut sebesar 1 mg/L akan menurunkan jumlah genus sebanyak 0,54 (penurunan 1,85 mg/L akan menurunkan sebanyak 1 genus). Salinitas Hasil pengukuran salinitas pada penelitian berkisar 0,52-39,49 ppt dengan rata-rata 31,12 ppt. (Tabel 1). Kisaran salinitas tersebut masih berada pada kisaran normal yang disarankan. Perairan payau biasanya berkonsentrasi antara 0,5-30 ppt (Effendi, 2003). Namun perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Salinitas merupakan salah satu sifat kualitas air yang sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan pertumbuhan udang (Fast & Lester, 1992). Dan menurut Boyd (1988), salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Telur
929
Hubungan antara kualitas air dan plankton ... (Admi Athirah)
udang menetas pada konsentrasi salinitas 20 sampai 30 ppt. Pada fase yuwana salinitas yang baik untuk pertumbuhan udang adalah antara 25-30 ppt, namun dapat juga bertahan sampai 34 ppt. Namun pada salinitas yang lebih tinggi dari 40 ppt udang tidak akan tumbuh lagi. Salinitas dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen di perairan, semakin tinggi salinitas maka oksigen terlarut akan semakin rendah. Plankton juga mempunyai kisaran pertumbuhan optimum pada salinitas tinggi. Pirzan (2008) mengatakan bahwa peningkatan 1 ppt akan meningkatkan jumlah genus sebanyak 0,08 (peningkatan 1,25 ppt akan meningkatkan sebanyak 1 genus). pH Hasil pengukuran pH pada penelitian ini berkisar antara 4,41-7,78 dengan rata-rata pH 6,35. Menurut Boyd (1990), bahwa kebanyakan perairan alami mempunyai nilai pH 5-10 dengan frekuensi 6,5-9,0. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selanjutnya dikatakan amonia dapat hadir dalam bentuk tidak terionisasi sehingga beracun (NH3), khususnya pada tingkat pH tinggi maupun dalam bentuk terionisasi yang tidak beracun (NH4), khususnya pada tingkat pH rendah (Chamberlain, 1988). Menurut Wardoyo (1997), nilai pH yang ideal untuk udang ialah 6,8-9, sedangkan pH di bawah 4 atau di atas 11 akan mengakibatkan kematian pada udang. Nitrit Hasil pengukuran nitrit pada penelitian ini berkisar antara 0,0003-0,1204 mg/L dengan rata-rata nilai 0,0133 mg/L. Nilai ini masih di bawah kisaran untuk budidaya ikan maupun udang. Poernomo (1992), mengemukakan bahwa batas maksimum kandungan NO2 untuk budidaya udang windu adalah 0,25 mg/L. Menurut Boyd (1990), kandungan nitrit yang aman di tambak pembesaran benur udang windu adalah 4,5 mg/L. Nitrit merupakan gas yang tidak stabil karena dipengaruhi oleh oksigen terlarut. Di perairan alami nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dan merupakan bentuk peralihan (intermediet) antara amoniak dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan nitrogen (denitrifikasi). Sumber nitrat dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kandungan nitrit rata-rata yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,008 mg/L (MENLH, 2004). Nitrat Hasil pengukuran kandungan nitrat pada penelitian ini berkisar antara 0,00003-0,2276 mg/L dengan nilai rata-rata 0,0238 mg/L. Kisaran tersebut masih dalam batas yang ditolerir oleh hewan akutik. Menurut Mackentum (1969), untuk pertumbuhan fitoplankton memerlukan konsentrasi nitrat 0,9-3,5 mg/L. Konsentrasi nitrat yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan (Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi mengemukakan bahwa nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam proses nitrogen dan berlangsung dalam kondisi aerob. Konsentrasi nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/L. Amonia Hasil pengukuran kandungan Amonia pada penelitian ini berkisar antara 0,0000-1,9490 mg/L dengan nilai rata-rata 0,3614 mg/L. Konsentrasi kandungan amonia yang terukur masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan maupun udang. Konsentrasi amonia yang rendah di suatu perairan sangat baik untuk kehidupan biota, walaupun unsur N yang terdapat pada amonia dapat menyuburkan perairan akan tetapi konsentrasi amonia lebih dari 2 mg/L akan membahayakan kehidupan biota (Murtijdo, 1992).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
930
Pirzan (2008) mengemukakan bahwa sumber amonia di alam adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota hewan akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Proses ini dikenal dengan istilah amonifikasi. Sumber lainnya adalah dari feses biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme. Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap hewan akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut, pH, dan suhu. Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia daripada ikan. Fosfat Hasil pengukuran kandungan fosfat pada penelitian ini berkisar antara 0,0044-0,8533 mg/L dengan rata-rata 0,1360 mg/L. Zottoli (1972) mengemukakan bahwa untuk pertumbuhan fitoplankton konsentrasi fosfat yang optimum berkisar antara 0,008-0,172 mg/L. Menurut Bruno et al. (1979) dalam Wijaya et al. (1994), bahwa pertumbuhan optimal fitoplankton dibutuhkan kandungan ortofosfat 0,27-5,51 mg/L. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan fosfat mendukung pertumbuhan fitoplankton pada tambak. Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Keberadaan Plankton Hubungan parameter kualitas air dengan keberadaan plankton di daerah pertambakan Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan berdasarkan analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan plankton dengan kualitas air utamanya nitrat, nitrit, amonia, dan fosfat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai simpangan baku dari hasil analisis korelasi untuk peubah kualitas air tersebut lebih kecil dari 0,5 (Tabel 1). Plankton Plankton terbagi atas fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton selain merupakan salah satu sumber pakan alami sangat penting dalam menjaga kualitas air tetap prima dan membuang senyawasenyawa yang dapat menimbulkan racun dalam tambak (Simon, 1988). Dalam penelitian ini didapatkan hasil fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun pengambilan sampel, jumlah genus/spesiesnya berkisar antara 2-11 genus (Tabel 2). Menurut Odum (1971), struktur komunitas pada suatu perairan dapat diketahui melalui indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (D). Indeks keanekaragaman menggambarkan kekayaan jenis plankton yang terdapat di suatu perairan. Indeks keragaman menggambarkan tingkat keseimbangan komposisi jenis, dan indeks dominansi merupakan gambaran ada atau tidaknya suatu jenis atau kelompok plankton yang mendominasi. Keragaman suatu daerah perairan apabila mempunyai keragaman yang tinggi maka semakin bagus karena semakin beragam genusnya. Indeks Keragaman (H’) Nilai indeks keragaman antara titik pengambilan sampel tidak sama yaitu berkisar antara 0,49381,9568 dengan rata-rata 1,1128 (Tabel 2). Menurut kriteria Shanon-Winner (1996), jika nilai indeks H’<1, maka diduga komunitas biota dalam kondisi tidak stabil. Jika nilai indeks H’ antara range 1-3, Tabel 2. Jumlah individu, genus/spesies, dan indeks biologi plankton pada tambak Peubah Individu Genus Keragaman Keseragaman Dominansi
Minimum Maksimum 59 2 0,4938 0,4046 0,1865
1.127 11 1,9568 1,0000 0,7507
Rataan
Standar deviasi
339,1163 5,0698 1,1128 0,7218 0,4179
264,1479 2,1089 0,3840 0,1385 0,1509
931
Hubungan antara kualitas air dan plankton ... (Admi Athirah)
maka dapat diartikan komunitas biota sedang dan jika nilai indeks H’>3, maka komunitas biota perairan dalam kondisi stabil. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kondisi biota pada umumnya cenderung stabil dengan kategori sedang, melihat rata-rata nilai indeks keragamannya yang 1,1128. Dikaitkan dengan pernyataan Boyd (1999) bahwa ekosistem dengan jumlah individu dan genus/spesies yang tinggi dan merata (keragaman tinggi) akan lebih stabil dan kurang terpengaruh tekanan dari luar dibandingkan ekosistem yang memiliki tingkat keragaman rendah, maka perairan tambak dalam lokasi penelitian ini jumlah individu dan genus planktonnya tergolong tinggi dan merata, sehingga layak untuk dijadikan lahan tambak. Indeks Keseragaman (E) Dari hasil pengukuran didapatkan indeks keseragaman berkisar antara 0,4046-1,0000 dengan rata-rata 0,7218 (Tabel 2). Menurut Shanon-Winner (1996), jika nilai indeks keseragaman E = 0, maka struktur keseragaman antar spesies rendah dan apabila nilai indeks keseragaman E = 1 berarti keseragaman spesies relatif seragam. Maka berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebaran biota antar genus atau spesies cenderung rendah atau keseragaman individu yang dimiliki masing-masing spesies relatif seragam melihat nilai maksimum indeks hasil pengukuran adalah 1. Dikaitkan dengan pernyataan Ali (1994) yang menyatakan bahwa nilai keseragaman E > 0,5 tergolong tinggi berarti keberadaan/kepadatan biota merata sedangkan nilai keseragaman E < 0,5 tergolong rendah menunjukkan keberadaan biota tidak merata atau ada perbedaan yang menyolok, maka perairan tambak penelitian ini tergolong memiliki biota yang merata. Indeks Dominansi (D) Dari hasil pengukuran didapatkan nilai indeks dominansi berkisar antara 0,1865-0,7507 dengan nilai rata-rata 0,4179 (Tabel 2). Menurut Odum (1996), jika kisaran nilai indeks D = 0 berarti tidak ada jenis tertentu yang mendominasi atau kondisi perairan stabil, jika nilai indeks D = 1, maka ada jenis tertentu yang mendominasi yang dapat menyebabkan jenis lain dalam tekanan dan struktur komunitas tidak stabil. Berdasarkan hasil pengukuran sampel maka dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan di daerah pengambilan sampel tergolong kurang hal ini terlihat dari hasil nilai indeks dominansi yang lebih besar dari nol, secara rata-rata masih mendukung usaha budidaya yang produktif asalkan petakan yang mengalami degradasi keseragaman dapat ditingkatkan dengan menerapkan penggunaan pupuk dan pembasmi hama seimbang sesuai dengan pernyataan Pirzan (2006). Faktor utama yang mempengaruhi perubahan jumlah organisme, keseragaman, dan dominasi antara lain adanya perusakan habitat alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim (Widodo,1997). Selain ketiga hal tersebut, faktor kualitas air juga mempengaruhi kondisi plankton di dalam perairan, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kualitas air, baik fisika maupun kimia cenderung berkorelasi dengan keberadaan plankton di lingkungan perairan. KESIMPULAN Hasil kajian yang telah dilakukan pada pertambakan Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan maka dapat disimpulkan : Berdasarkan indeks keragaman plankton, kondisi perairan cenderung stabil dengan kategori sedang dengan keseragaman antar genus/spesies termasuk rendah namun relatif seragam. Berdasarkan indeks dominansi didapatkan bahwa tidak ada jenis tertentu yang mendominasi perairan. Kondisi kualitas perairan tambak secara umum masih dalam kategori normal untuk aktivitas budidaya perikanan. Kondisi tersebut juga mendukung keberadaan plankton sebagai rantai utama makanan secara alami. Kualitas air yang berpengaruh terhadap keberadaan dan kelimpahan plankton adalah nitrat, nitrit, amonia, dan fosfat.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
932
DAFTAR ACUAN Ali, I.M. 1994. Struktur Komunitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan-ikan Dominan di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 130 hlm. APHA. 1998. Standar Method for Examination of Water and Wastewater. 20th (Ed.) New York: American Public Health Association. Amin, M. 2009. Komposisi dan Kelimpahan Jenis Plankton Pada Budidaya Udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Waktu Pemupukan Berbeda. Boyd, C.E. 1999. Codes of practice for responsible shrimp farming. Department of fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, AL USA, 36 hlm. Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. A Wiley Interscience Publ., 628 pp. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, 258 hlm. Hutapea, J.H. 1990. Komposisi, Distribusi Vertikal, dan Kelimpahan Fitoplankton di perairan Pantai Cisolok Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Karya Ilmiah Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Moore, J.W. 1991. inorganic Contaminants of Surface Water. Springerverlag, New York, 334 pp. Mulyanto. 1992. Lingkungan hidup untuk ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Jakarta, 108 hlm. Rachmawati, 2002. Pertumbuhan Dunaliella salina, Phaeodactylum tricormitum, dan Anabaenopsis circularis dalam rasio N/P yang berbeda pada skala laboratorium. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/handle/123456789/ 22094 Raynold, C.S., Tundisi, J.G., & Hino, K. 1984. Observation on a metalimnetic Phytoplankton population in a Stably Stratified Tropical Lake. Arch.Hydrobyol. Odum, Eugene, P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi Indonesia, edisi 3). Translation copyright by Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta, 697 hlm. Pirzan, A.M. 2008. Peubah Kulaitas air yang Berpengaruh Terhadap Plankton di Tambak Tanah Sulfat Masam Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, hlm. 363-373. Pirzan, A.M. & Pong-Masak, P.R. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 9: 217-221. Poernomo. 1992. Pemilihan lokasi tambak udang berwawasan lingkungan, Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. PHP/Kan/Patek/004/1992, 40 hlm. Sawyer, C.N. & McCarty, P.L. 1978. Chemistry for Enfironmental Engineering. Third edition. McGrawHill Book Company, Tokyo, 532 pp. Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7016- 2004). Tata Cara Pengambilan Contoh Dalam Rangka Pemantauan Kualitas Air Pada Suatu Daerah Pengaliran Sungai. Tiensongrusmee, B. 1980. Shrimp Culture Improvement in Indonesia. Bull. Brack. Aqua. Dev. Centre, 6: 404-412. Wardoyo, T.H. & Djokosetyanto, D. 1988. Pengelolaan Kualitas Air di Tambak Udang. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Widodo, J. 1997. Biodiversitas sumberdaya perikanan laut peranannya dalam pengelolaan terpadu wilayah pantai, dalam Mallawa, A., Syam, R., Naamin, N., Nurhakim, S., Kartamihardja, E.S., Poernomo, A., & Rachmansyah (Eds.). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997, hal. 136-141.