905
Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap ... (Andi Marsambuana Pirzan)
VARIABEL KUALITAS AIR YANG BERPENGARUH TERHADAP KERAGAMAN PL ANKTON DI KAWASAN PERTAMBAKAN KABUPATEN MAROS PROVINSI SUL AWESI SEL ATAN Andi Marsambuana Pirzan, Utojo, dan Akhmad Mustafa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keragaman plankton termasuk jumlah genus memegang peranan penting dalam budidaya ikan dan udang di tambak sebagai penyuplai nutrea bagi organisme budidaya yang dipengaruhi oleh berbagai variabel kualitasair. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan menelaah variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap jumlah genus plankton di kawasan pertambakan di Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dan pengambilan contoh plankton dan air untuk dianalisis di laboratorium. Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian adalah jumlah genus plankton, sedangkan peubah bebas adalah berbagai variabel kualitas air, suhu, padatan terlarut total (PTT), salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrit, nitrat, amonia, fosfat, besi, padatan tersuspensi total (PTT), dan Bahan Organik Total (BOT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah genus berkisar 2-7 genera dengan ratarata 4,03 genera. kelimpahan plankton berkisar 27,0-9.830,0 ind./L dengan rata-rata 579,11 ind./L. Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa variabel kualitas air: padatan terlarut total, oksigen terlarut, besi, nitrit, dan fosfat berpengaruh terhadap jumlah genus plankton. Keragaman berkisar 0,1550-1,8086 dengan rata-rata 0,8977; keseragaman berkisar 0,1410-1,1076 dengan rata-rata 0,7025 dan dominansi plankton berkisar 0,1287-1,0775 dengan rata-rata 0,5072. Berdasarkan nilai indeks keragaman, keseragaman, dan dominansi rata-rata, maka perairan ini termasuk tidak stabil, genus plankton relatif merata dan terdapat genus plankton yang relatif mendominasi genus lainnya. KATA KUNCI:
plankton, kualitas air, tambak, Kabupaten Maros
PENDAHULUAN Secara umum permasalahan usaha pertambakan di Kabupaten Maros antara lain: memiliki pantai landai yang menyulitkan untuk pengembangan usaha budidaya tambak secara intensif, sering terjadi serangan hama yang mempengaruhi hasil panen bahkan dapat terjadi gagal panen, dan modal usaha terbatas yang membatasi pengembangan usaha budidaya tambak. Dengan demikian untuk pengembangan usaha tersebut di daerah ini terbatas pada sistem tradisional sampai semi intensif, tetapi umumnya petambak masih terbatas pada sistem tradisional yang sangat tergantung pada plankton sebagai pakan alami dengan produksi yang relatif rendah. Produksi yang dicapai tersebut masih berpeluang besar untuk ditingkatkan dengan menerapkan sistem tradisional plus dan semi intensif yang diiringi dengan perbaikan desain, tata letak, konstruksi, dan jaringan irigasi tambak, serta pengintensifan program penghijauan. Pengelolaan tambak secara tradisional dengan menggunakan plankton (fitoplankton dan zooplankton) sebagai pakan alami ikan dan udang, dapat memberikan konstribusi yang signifikan dalam keberhasilan usaha budidaya di tambak. Luas tambak di Kabupaten Maros mencapai 9.388,7 ha dengan produksi total 4.071,7 ton yang terdiri atas ikan dan udang (Diskanlut Prov. Sul-Sel, 2006). Di Kabupaten Maros perluasan areal tambaknya tidak dibarengi dengan peningkatan produksi yang proporsional. Penyebab utamanya berkaitan erat dengan pengelolaan kawasan pesisir yang tidak bertanggung jawab, di mana pembangunan tambak tanpa disertai dengan penataan jaringan irigasi yang memadai dan program penghijauan tidak lancar. Hal ini ditandai dengan banyaknya kawasan tambak yang tidak memiliki jaringan irigasi dan jalur hijau (hutan mangrove) sebagai pengaman tambak. Petambak pada satu sisi tidak merelakan sebagian kecil dari lahan tambaknya untuk pembangunan jaringan irigasi dan di
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
906
sisi lain berkeinginan memperluas tambaknya dengan membabat mangrove yang tumbuh di tepi pantai atau sungai untuk dijadikan lahan tambak. Hal ini terbukti, sebagian besar kawasan tambak berbatasan langsung dengan laut serta sungai menyempit dan mendangkal, mangrove hanya didapatkan tumbuh dengan jarak tanam yang tidak rapat di sepanjang sungai/saluran primer. Berkurangnya mangrove menjadi satu di antara penyebab terjadinya kerusakan habitat yang diperkirakan berpengaruh terhadap penurunan keragaman hayati di lingkungan perairan tambak, termasuk penurunan keragaman plankton yang merupakan satu di antara penyebab terjadinya penurunan produktivitas tambak. Berkurangnya hutan mangrove akan mengarah kepada terjadinya perusakan habitat bagi biota yang diperkirakan berpengaruh terhadap penurunan keragaman hayati di lingkungan perairan budidaya, selanjutnya berpengaruh terhadap berkurangnya keragaman plankton termasuk jumlah genus, akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas tambak. Ekosistem dengan keragaman tinggi akan lebih stabil dan kurang terpengaruh terhadap tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki keragaman rendah (Boyd, 1999). Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas. Plankton selain berfungsi dalam keseimbangan ekosistem perairan budidaya, juga berfungsi sebagai pakan alami pada budidaya di tambak sehingga studi ini penting dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menelaah variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap jumlah genus plankton di kawasan pertambakan Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada kawasan pertambakan di Kecamatan Bontoa, Lau, Maros Baru, dan Marusu, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebanyak 53 stasiun pengamatan ditetapkan posisinya dengan GPS (Global Positioning System) dan sebarannya dapat dilihat pada Gambar 1. Di setiap stasiun, contoh plankton dan air diambil pada tambak yang sedang dalam masa pemeliharaan ikan dan udang. Plankton dikoleksi dengan menyaring air sebanyak kurang lebih 50 L menjadi 30 mL menggunakan plankton net No. 25, kemudian diawetkan dengan larutan Lugol 1%. Identifikasi jenis plankton dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop yang berpedoman pada Newel & Newel (1977), Yamaji (1976), dan Botes (2003) serta kelimpahannya menggunakan Sedgwick Rafter Counter Cell (APHA, 2005). Untuk mengetahui kekayaan dan kestabilan perairan, maka dilakukan analisis kuantitatif indeks biologi plankton meliputi perhitungan keragaman, keseragaman, dan dominansi dari Shannon-Wiener (Odum, 1971; Basmi, 2000) dan formulanya sebagai berikut: Indeks keragaman jenis H' - Pi In Pi
Pi
H’ ni N Pi = ni/N
ni N
= = = =
indeks keragaman jenis jumlah individu ke-i jumlah total individ proposi spesies ke-i
Indeks keseragaman:
E
H' H' maks
907 H’ E H’ maks
Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap ... (Andi Marsambuana Pirzan) = = =
indeks keragaman jenis indeks keseragaman jenis indeks keragaman maksimum
D (Pi)2
Indeks dominansi: D = ni = N = Pi = ni / N =
indeks dominans jumlah individu ke-i jumlah total individu proporsi genus ke-i
Variabel kualitas air yang diukur terdiri atas variabel fisika dan kimia yang dianggap berpengaruh terhadap jumlah genus plankton seperti disajikan pada Tabel 1. Contoh air diambil dari lokasi yang dianggap merepresentasikan kondisi lingkungan perairan tambak dan metode analisisnya berpedoman pada Haryadi et al. (1992) dan APHA (2005). Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum (minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku) dari jumlah genus, kelimpahan, dan indeks biologi (keragaman, keseragaman, dan dominansi) plankton serta kondisi lingkungan perairan. Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian ini adalah jumlah genus plankton, sedangkan peubah bebas, yaitu berbagai variabel kualitas air. Hasil perhitungan angka korelasi antara jumlah genus plankton dan variabel kualitas air merupakan keeratan hubungan variabel tersebut.Untuk menghitung
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan pertambakan Kabupaten Maros, SulawesiSelatan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
908
Tabel 1. Variabel kualitas air yang diamati di kawasan pertambakan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Peubah Fisika
Suhu (°C)
Kimia
Total Disollved Solid (TDS) (mg/L) Salinitas (ppt) DO (mg/L) pH NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) NH3 (mg/L) PO4 (mg/L) Fe (mg/L) Total Suspeded Solid (TSS) (mg/L) Bahan Organik Total (BOT)
Alat / metode
Analisis laboratorium/lapangan
DO-meter
Lapangan
DO-meter Refraktometer DO-meter pH-meter Botol sampel, spektrofotometer Botol sampel, reduksi Cd Botol sampel, phenate Botol sampel, asam askorbik Botol sampel, phenantroline Gravimetri Titrimetri
Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Plankton net ukuran 60 µm, botol sampel, mikroskop
Laboratorium
Biologi Plankton (fitoplankton dan zooplankton)
besarnya pengaruh variabel kualitas air terhadap jumlah genus plankton digunakan angka R square. Pengujian tentang benar atau layaknya model regresi yang digunakan perlu dilakukan uji hubungan linieritas antara variabel kualitas air dan jumlah genus plankton. Seluruh data dianalisis dengan bantuan program Statistical Product Service Solution (SPSS) 15,0 (SPSS, 2006). HASIL DAN BAHASAN Genus plankton (fitoplankton dan zooplankton) yang teridentifikasi selama penelitian berlangsung ditampilkan pada Tabel 2. Hasil pengamatan ditemukan sebanyak 18 genera plankton yang terdiri atas tujuh genera fitoplankton tercakup ke dalam tiga kelas: Bacillariophyceae sebanyak tiga genera, Cyanophyceae satu genus, dan Dinophyceae tiga genera sedangkan zooplankton terdiri atas 11 genera tercakup ke dalam kelas Crustaceae sembilan genera, Rotatoria, dan Sarcodina masing-masing satugenus tertera pada Tabel 2. Penelitian ini, jumlah genus plankton relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tambak bandeng dan garam di Kabupaten Jeneponto, di mana ditemukan empat kelas fitoplankton terdiri atas 13 genera, yaitu kelas Bacillariophyceae sembilan genera, kelas Cholorophyceae dan Cyanophyceae masing-masing satu genus serta Dinophyceae dua genera. Sedangkan zooplankton ditemukan empat kelas, yaitu Crustaceae, Rotatoria, Chromonadea, dan Ciliata masing-masing satu genus (Utojo & Pirzan, 2009). Selanjutnya di kawasan pertambakan
Tabel 2. Genus plankton (fitoplankton dan zooplankton) di kawasan pertambakan Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan Fitoplankton
Zooplankton
Acartia , Aposyclops , Brachionus , Ceratium , Dinophisys , Navicula , Copepoda , Nitocra Onychocamptus , Oscillatoria , Pleurosigma , ProtoOithona , Ostracoda , Sphaerroidinella , peridinium , dan Spirogyra Temora , dan Tortanus
909
Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap ... (Andi Marsambuana Pirzan)
Kabupaten Bone, yaitu sebanyak 15 genera yang terdiri atas delapan genera fitoplankton tercakup ke dalam tiga kelas, yaitu Bacillariophyceae sebanyak enam genera, Cyanophyceae, dan Dinophyceae masing-masing satu genus, sedangkan zooplankton sebanyak tujuh genera tercakup ke dalam kelas Crustaceae enam genera dan Rotatoria satu genus (Pirzan & Utojo, 2010). Jumlah genus pada pengamatan ini relatif lebih tinggi karena di Kabupaten Jeneponto di samping tambak dangkal juga curah hujan termasuk rendah yang memicu meningkatnya salinitas terutama pada musim kemarau yang mencapai level > 100 ppt di tambak (Utojo & Pirzan, 2009). Pengamatan serupa di Kabupaten Bone, salinitas tinggi seperti yang terjadi di Kecamatan Sibulue suhu pada kisaran 31°C-37°C dengan salinitas pada kisaran 37-83 ppt dan di Kecamatan Mare suhu pada kisaran 31°C-37°C dengan salinitas pada kisaran 43-93 ppt (Pirzan & Utojo, 2010). Genus plankton di tambak Kecamatan Sibulue dan Mare, Kabupaten Bone didominasi oleh Oscillatoria seperti yang tejadi di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep (Pirzan & Utojo, 2011). Jumlah genus yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar 2-7 genera (Tabel 3) sama dengan di Mamuju pada kisaran 2-7 genera dan relatif lebih rendah dengan di Sinjai, yaitu pada kisaran 2-8 genera (Pirzan et al., 2003) dan di kawasan pertambakan Kabupaten Bone pada kisaran 2-8 genera Tabel 3. Jumlah genus dan kelimpahan plankton, serta keragaman, keseragaman dan dominansi di kawasan pertambakan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Pirzan & Utojo, 2010), lebih rendah dengan di Lakawali Luwu Timur, yaitu pada kisaran 4-8 genera (Pirzan et al., 2006), tetapi jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tambak tanah sulfat masam di Luwu Utara memperlihatkan jumlah genus yang tinggi, yaitu berkisar 2-17 genera (Pirzan & Mustafa, 2008). Di samping jumlah genus rendah pada penelitian ini, juga jumlah individu setiap genus bervariasi, karena mutu lingkungan perairan sangat bervariasi. Pengamatan di lapangan mengungkapkan bahwa plankton dari genus Oscillatoria memiliki kelimpahan lebih tinggi dibandingkan dengan genus lainnya untuk semua stasiun pengamatan, karena genus ini tahan terhadap mutu lingkungan perairan rendah seperti ditemukan di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep (Pirzan & Utojo, 2011). Menurut Anggoro (1988), genus dari Oscillatoriatermasuk indikator pencemar perairan mulai dari tingkat cemaran moderat sampai dengan cemaran ekstrim. Penyebab lainnya adalah tingkat kerusakan habitat karena tidak memperhatikan tata ruang dan tidak menyisahkan mangrove sebagai jalur hijau di sepanjang sungai, saluran utama, serta di antara hamparan tambak. Untuk mengetahui hubungan variabel kualitas air terhadap jumlah genus plankton secara serentak diperoleh dari besarnya nilai R (koefisen korelasi). Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai R sebesar 0,419 berarti hubungan antara variabel kualitas air dan jumlah genus plankton keeratannya dikategorikan sedang dengan interpretasi koefisien korelasi antara 0,40 dan 0,599. Besarnya pengaruh variabel kualitas air terhadap jumlah genus plankton ditunjukkan oleh nilai R square (koefisen diterminasi), yaitu sebesar 0,176 atau sama dengan 17,6%. Dengan kata lain, besarnya pengaruh tersebut adalah 17,6% berarti bahwa jumlah genus plankton yang dapat dijelaskan oleh variabel kualitas air adalah sebesar 17,6% dan sisanya, yaitu 82,4 % harus dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lainnya yang berasal dari luar model regresi ini. Dengan demikian model regresi tersebut dapat diprediksi jumlah genus plankton dari persamaan sebagai berikut:
Tabel 3. Jumlah genus dan kelimpahan plankton, serta keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi di kawasan pertambakan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Parameter Jumlah genus (ind.) Kelimpahan (ind./L) Indeks keragaman Indeks keseragaman Indeks dominansi
Minimal Maksimal Rataan Simpangan baku 2,0 27,0 0,1550 0,1410 0,1287
7,0 9.830,0 1,8086 1,1076 1,0775
4,03 5.791,1 0,8977 0,7025 0,5072
1,3723 1.381,81 0,3722 0,2302 0,2046
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
910
Tabel 4. Peubah kualitas air di kawasan pertambakan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Variabel Suhu (°C) Total Dissolved Solid (TDS) (mg/L) Salinitas (ppt) DO (mg/L) pH Total Suspended Solid (TSS) (mg/L) Fe (mg/L) NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) NH3 (mg/L) PO4 (mg/L) BOT (mg/L)
Minimal Maksimal 30,5 26,70 26,.3 9,34 8,10 78,0 0,0217 0,0697 0,3469 15.210 0,5880 35,22
36,9 27,32 26,8 10,34 10,03 81,0 0,0222 0,0705 0,3477 1,5225 0,6012 37,75
Rataan
Simpangan baku
32,8 11,96 11,03 5,88 8,61 26,31 0,0043 0,0115 0,0253 0,1514 0,1029 23,28
4,1 6,63 6,58 2,31 1,08 16,03 0,0032 0,0107 0,0584 0,2285 0,1206 9,33
Y = 4,155 +0,072 X1– 0,120X2+50,702 X3- 32,898X4- 2,156 X5 Y = Jumlah genus plankton; X1= TDS(mg/L); X2= DO(mg/L); X3=Fe(mg/L); X4 = NO2 (mglL); X5= PO4 (mg/L) Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS) merupakan bahan-bahan terlarut berdiameter 10-6 mm dan koloid berdiameter 10-6-10-3 mm yang berupa senyawa kimia dan bahanbahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao, 1992). Besarnya nilai TDS yang diperoleh pada pengamatan ini berkisar 26,70-27,32 mg/L dengan rata-rata 11,96 (Tabel 4), sedangkan TDS yang diperoleh di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, kisarannya lebih lebar dan rata-rata lebih tinggi, yaitu 0,36-175,9 mg/L dan rata-rata 41,49 mg/L (Pirzan & Utojo, 2011). Dengan demikian TDS yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai TDS dari pengamatan oleh penelitian lain, seperti di air laut memiliki nilai TDS 10.001-100.000 mg/L dan air payau dengan nilai TDS 1.001-30.000 mg/L serta air tawar dengan nilai TDS 0-10.000 mg/L. Rendahnya TDS yang diperoleh pada penelitian ini kemungkinan berkaitan dengan salinitas rendah karena penelitian dilaksanakan pada musim hujan bahkan bertepatan dengan musim hujan sepanjang tahun. Hal ini ditunjang oleh Effendi (2003), air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia, yang menyebabkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Nilai TDS, juga berhubungan dengan keberadaan bahan-bahan anorganik berupa ion-ion yang diperlukan oleh plankton. Dengan demikian meningkatnya nilai TDS sebesar 1 mg/L maka genus plankton akan meningkat sebanyak 0,072 genus atau nilai TDS meningkat sebesar 13,89 mg/L maka genus plankton akan meningkat sebanyak satu genus dengan ketentuan variabel lainnya tidak mengalami perubahan. ksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang penting bagi kehidupan biota perairan. Kisaran oksigen terlarut dalam penelitian ini sangat bervariasi, yaitu 1,0-10,34 mg/L dengan rata-rata 5,88 mg/L (Tabel 4). Perubahan kadar oksigen terlarut yang derastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada saat aktivitas fotosintesis optimum oleh fitoplankton pada siang hari, sebaliknya kandungan oksigen terlarut rendah pada pagi hari, di mana aktivitas fotosintesis belum optimum. Menurut Boyd (1990), jika tidak ada senyawa beracun konsentrasi oksigen minimal 2 mg/L sudah cukup untuk mendukung kehidupan jasad perairan secara normal. Perubahan kandungan oksigen sangat drastis, di mana pada dini hari sampai pagi hari sangat rendah sedangkan pada siang hari tinggi, kondisi demikian sangat tidak kondusif bagi kehidupan plankton yang sangat sensitif terhadap perubahan keadaan lingkungan perairan. Berdasarkan variasi tersebut, maka jumlah genus plankton mengalami penurunan di perairan ini.
911
Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap ... (Andi Marsambuana Pirzan)
Besi ditemukan pada perairan dengan kondisi anaerob (anoksik) dan suasana asam (Cole, 1988). Kadar besi > 1,0 mg/L dianggap membahayakan kehidupan organisme akuatik (Moore, 1991). Besi termasuk unsur esensial bagi mahluk hidup. Pada tumbuhan termasuk alga, besi berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil. Kandungan Fe di kawasan pertambakan Kabupaten Maros pada kisaran 0,0005-0,0222 mg/L dengan rata-rata 0,0043 mg/L. Secara rata-rata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perairan laut, yaitu 0,01 mg/L (Boyd, 1990), juga lebih rendah daripada tambak tanah sulfat masam di Kabupaten Luwu Timur, yaitu 0,0148 mg/L (Pirzan & Mustafa, 2010) dan di kawasan pertambakan Kabupaten Bone dengan kisaran 0,0034-0,0456 mg/L dan rata-rata 0,0114 (Pirzan & Utojo, 2010). Dengan demikian meningkatnya kandungan besi sebesar 1 mg/L maka genus plankton akan meningkat sebanyak 50,702 genera dengan ketentuan variabel lainnya tidak mengalami perubahan. Dapat dibandingkan dengan tambak percobaan di Marana, Maros dengan kandungan besi pada kisaran 0,0350-0,0810 mg/L dan rata-rata 0,0518 mg/L (Pirzan, 2011). Kandungan besi tersebut berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a, yaitu dengan meningkatnya besi sebesar 1 mg/L akan menurunkan kandungan klorofil-a sebanyak 751,158 µg/L dengan ketentuan variabel lainnya tidak mengalami perubahan. Di perairan alami, nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit yang lebih sedikit daripada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat dalam proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen dalam proses denitrifikasi yang berlangsung pada kondisi anaerob. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kandungan nitrit pada penelitian ini, pada kisaran 0,0008-0,0705 mg/L dengan rata-rata 0,0115mg/L ditampilkan pada Tabel 4. Kandungan nitrit di perairan alami sekitar 0,001 mg/L dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/L, karena konsentrasi nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sensitif (Moore, 1991). Kandungan nitrit rata-rata yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan yang didapatkan di perairan alami tetapi perlu diwaspadai karena plankton termasuk biota yang sangat sensitif, sehingga meningkatnya nitrit sebesar 1 mg/L akan menurunkan genus plankton sebanyak 32,898 genera dengan ketentuan variabel lainnya tidak berubah. Sisa pakan ikan dan bahan organik lainnya didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrien anorganik seperti fosfat, amonia, dan karbondioksida (Boyd, 1999). Kandungan fosfat pada penelitian ini pada kisaran 0,0124-0,6012 mg/L dengan rata-rata 0,1029 mg/L (Tabel 4). Menurut Choo & Tanaka (2000), bahwa kadar fosfat yang direkomendasikan supaya tidak terjadi eutrofikasi di pantai dan di laut, masing-masing 0,0045 dan 0,0015 mg/L. Secara umum menunjukkan bahwa pemupukan tambak dengan penambahan pupuk fosfat dan nitrogen akan meningkatkan produksi pakan alami termasukdi dalamnya plankton. Selain keberadaan fosfor yang relatif sedikit dan mudah mengendap, juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga akuatik dan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Jones & Bachmann, 1976 dalam Davis & Cornwell, 1991). Namun pada penelitian ini kandungan fosfat sangat bervariasi dan rata-rata mencapai 6,86 kali lebih besar dari kandungan fosfat yang ditetapkan dalam baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,015 mg/L (MENLH, 2004) yang berpengaruh terhadap jumlah genus plankton, sehingga dengan meningkatnya fosfat sebesar 1 mg/L akan menurunkan genus plankton sebanyak 2,156 genera dengan ketentuan variabel lainnya tidak berubah. Beberapa genera plankton melimpah pada tambak ke arah hilir sedangkan genera lainnya melimpah pada tambak ke arah pedalaman. Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk suhu, pH, konsentrasi nutrien, cahaya, cuaca, penyakit, pemangsaan ikan, dan zooplankton, kompetesi antara spesies, toksin alga (Boyd, 1990). Kelimpahan plankton dalam penelitian ini pada kisaran 27,0-9.830,0 mg/L dengan rata-rata 579,11 ind./L (Tabel 3). Kelimpahan plankton dalam penelitian ini, memiliki kisaran lebih lebar bila dibandingkan dengan kelimpahan plankton di Kabupaten Luwu Utara dengan jumlah individu pada kisaran 60-1.110 ind./L (Pirzan & Mustafa, 2008), Luwu Timur dengan jumlah individuberkisar 50-810 ind./L (Pirzan & Mustafa, 2010). Sinjai pada kisaran 1402.060 ind./L (Pirzan et al., 2003) serta di kawasan pertambakan di Kabupaten Bone, yaitu pada kisaran
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
912
16,0-2.525,0 dengan rata-rata 206,88 ind./L (Pirzan & Utojo, 2010). Perbedaan tersebut, di mana sebagian besar stasiun pengamatan memiliki jumlah individu tinggi untuk genus plankton tertentu yang tahan terhadap lingkungan perairan yang bermutu rendah seperti dari genus Oscillatoria. Keadaan ini relatif sama dengan di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, walaupun kisaran jumlah individu lebih lebar, yaitu 18,0-69.837,0 mg/L dengan rata-rata 2.837,3 ind./L (Pirzan & Utojo, 2011). Nilai indeks keragaman pada penelitian ini berkisar 0,1550-1,8086 dengan rata-rata 0,8977 ditampilkan pada Tabel 3, berarti secara rata-rata komunitas plankton di kawasan pertambakan Kabupaten Maros termasuk kondisi tidak stabil. Kondisi komunitas biota tidak stabil dimaksudkan adalah komonitas bersangkutan sedang mengalami gangguan faktor lingkungan. Menurut Basmi (2000), bila H’ <1 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila nilai H’ berkisar dari 1-3 maka stabilitas komunitas biota adalah moderat dan bila H’>3 berarti stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima. Nilai keragaman lebih rendah dibandingkan dengan nilai keragaman di Dolago pada kisaran 0,21-1,97 dan Malakosa pada kisaran 0,33-2,35 (Pirzan et al., 2006) walaupun tambak di Dolago tidak dapat dikeringkan secara tuntas dan di Malakosa merupakan tambak baru dibangun dan masih terdapat banyak pepohonan di pelataran tambak. Nilai keragaman yang diperoleh dalam penelitian ini relatif sama dengan kawasan pertambakan di Kabupaten Bone yaitu pada kisaran 0,10-1,87 dengan rata-rata 0,87; tetapi nilai keseragamannyarelatif lebih tinggi, yaitu berkisar 0,09-1,0dengan rata-rata 0,78 (Pitrzan & Utojo, 2010). Hal ini terjadi karena penurunan mutu lingkungan perairan di lokasi ini yang diperparah dengan jaringan irigasi yang tidak memadai, sehingga hanya genus tertentu yang dapat bertahan hidup yang mengarah kepada terjadinya dominansi genus dan akhirnya perairan menjadi tidak stabil. Nilai indeks keseragaman pada penelitian ini berkisar 0,1410-1,1076 dengan rata-rata 0,7025 (Tabel 3) berarti keberadaan genus relatif merata, perbedaannya relatif tidak menyolok (Basmi, 2000). Menurut Ali (1994), bila nilai E>0,75 maka termasuk nilai keseragamannya tinggi atau baik sedangkan bila nilai E<0,75 maka nilai keseragamannya rendah. Keseragaman yang diperoleh dalam penelitian ini, relatif lebih rendah dibandingkan dengan keseragaman yang diperoleh di kawasan pertambakan Kabupaten Bone, yaitu pada kisaran 0,09-1,0 dengan rata-rata 0,87 (Pirzan & Utojo, 2010). Rendahnya nilai keseragaman di lokasi penelitian karena jaringan irigasi tambak tidak lancar, di mana sungai menyempit dan mendangkal, keadaan pantai umumnya landai, sehingga limbah budidaya tidak tuntas terbuang ke laut, selanjutnya pada waktu pasang limbah tersebut akan terdorong kembali masuk ke kawasan pertambakan atau air buangan dari tambak sebagian besar kembali ke tambak lagi. Hal semacam ini berlansung lama tanpa adanya upaya perbaikan sehingga terjadi penurunan mutu lingkungan perairan drastis selanjutnya perairan tersebut termasuk kategori tidak stabil yang berdampak terhadap penurunan produktivitas tambak. Nilai indeks dominansi pada penelitian ini berkisar 0,1287-1,0775 dengan rata-rata 0,5072 tertera pada Tabel 3, berarti dalam struktur komunitas plankton di perairan ini terdapat genus yang relatif mendominasi genus lainnya. Nilai dominansi pada penelitian ini relatif lebih rendah (lebih baik) dengan di kawasan pertambakan Kabupaten Pangkep, yaitu pada kisaran 0,20-1,6335 dengan ratarata 0,6127 (Pirzan & Utojo, 2011), sehingga terjdi dominansi, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks dominansi di kawasan pertambakan Kabupaten Bone, yaitu pada kisaran 0,200,96 dengan rata-rata 0,49 (Pirzan & Utojo, 2010). Selanjutnya lebih tinggi daripada tambak intensif dan tradisional di Lakawali Kabupaten Luwu Timur (pemekaran Luwu Utara menjadi Luwu Utara dan Luwu Timur) dengan nilai dominansi masing-masing 0,66 dan 0,73; walaupun penggunaan pupuk anorganik dan antibiotik tidak seimbang serta konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dilakukan secara benar, Hal ini dikarenakan di lokasi ini, air segar dari laut tidak lancar masuk ke tambak. Nilai indeks dominansi dalam penelitian ini, mendekati angka satu bahkan melebihi angka satu berarti di dalam struktur komunitas biota yang diamati terdapat genus yang secara ekstrim mendominasi genus lainnya menjadikan perairan tidak stabil yang berdampak kepada penurunan produktivitas tambak. Di lokasi penelitian masih terdapat tambak yang tidak terjangkau dengan jaringan irigasi. Upaya meningkatkan produktivitas tambak, yaitu dengan jalan memperbaiki jaringan irigasi tambak yang dapat memperlancar air segar dari laut masuk ke kawasan pertambakan selama operasional budidaya. Menurut Widodo (1997), faktor utama yang mempengaruhi perubahan jumlah
913
Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap ... (Andi Marsambuana Pirzan)
organisme, keragaman, dan dominansi antara lain adanya perusakan habitat alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim. KESIMPULAN Jumlah genus berkisar 2-7 genera dengan rata-rata 4,03 genera dan kelimpahan plankton berkisar 27,0-9.830,0 ind./L dengan rata-rata 5791,1 ind./L. Variabel kualitas air yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah genus plankton adalah TDS dan besi, sedangkan variabel kualitas air yang berpengaruh tehadap penurunan jumlah genus plankton adalah oksigen terlarut, nitrit, dan fosfat. Nilai indeks biologi, yaitu keragaman berkisar 0,1550-1,8086 dengan rata-rata 0,8977; keseragaman berkisar 0,1410-1,1076 dengan rata-rata 0,7025 dan dominansi plankton berkisar 0,1287-1,0775 dengan rata-rata 0,5072. Berdasarkan nilai indeks biologi rata-rata (keragaman, keseragaman, dan dominansi) yang diperoleh, maka perairan ini termasuk tidak stabil, genus relatif merata dan terdapat genus yang relatif mendominasi genus lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Darsono dan Hakim atas bantuannya dalam pengambilan contoh air dan plankton di lapangan dan Sutrisyani, Andi Sahrijanna, dan Sitti Rohani atas bantuannya dalam analisis air di laboratorium serta Irmayani atas bantuannya dalam analisis plankton di laboratorium. DAFTAR ACUAN Ali, I.M. 1994. Struktur Komunitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan-ikan Dominan di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Tesis Sarjana. Fak. Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 130 hlm. Anggoro, S. 1988. Analisis tropik-saprobik (Trosap) untuk menilai kelayakan lokasi budidaya laut. Workshop Budidaya Laut. Universitas Diponegoro. Jepara, hlm. 66-90. APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. Twentieth edition. APHA-AWWA-WEF, Washington, D.C., hlm. 10-2—10-18. Basmi, H.J. 2000. Planktonologi: Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 60 hlm. Botes, L. 2003. Phytoplankton Identification Catalogue.Globallast Monograph Series No. 7. Programme Coordination Unit Global Ballast Water Mangement Progrmme International Marine Organization. London, 77 pp. Boyd, C.F. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Auburn University, Alabama USA, 482 hlm. Boyd, C.E. 1999. Codes of practice for responsible shrimp farming.Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, AL USA, 36 hlm. Choo, P.S. & Tanaka, K. 2000. Nutrient levels in ponds during the grow-out and harvest phase of Penaeus monodon under semi-intensive or intensive culture. JIRCAS J., 8: 13-20. Cole, G.A. 1988. Textbook of Limnology. Third edition. Waveland Press, Inc. Illinois, USA, 401 pp. Davis, M.L. & Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering.Second edition.McGrowHill, Inc., New York.822 pp. Diskanlut Prov. Sul-Sel (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan). 2006. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. SulawesiSelatan, 217 hal. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit. Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 258 hlm. Haryadi, S., Suryodiptro, I.N.N., & Widigdo, B.1992. Limnologi. Penuntun Praktikum dan Metode Analisa Air. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 57 hlm. MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.KEP-51/MENLH/ 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Lampiran III. Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water. Springer - Verlag. New York, 334 pp. Newel, G.E. & Newel, R.C. 1977. Marine Plankton. Hutchintson. London, 244 pp. Odum, E.P. 1971. Fundamental Ecology 3rd. W. B Sanders Company. Phildelphia, 574 pp.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
914
Pirzan, A.M. 2011. Hubungan antara kandungan klorofil-a dan peubah kualitas air di tambak. Dalam Taufiqurrohman, M., Winarno, A., & Hardianto, D. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Kelautan 2011. Inspiring Seafor Life: Tantangan dan Pengelolaan Sumberdaya secara Bijaksana dan Berkelanjutan. Universitas Hang Tuah. Surabaya, hlm. B2-1-B2-8. Pirzan, A.M. & Mustafa, A. 2008. Peubah kualitas air yang berpengaruh terhadap plankton di tambak tanah sulfat masam Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur, 3(3): 263-374. Pirzan, A.M. & Mustafa, A. 2010. Peubah kualitas air yang berpengaruh terhadap kelimpahan plankton di tambak tanah sulfat masam Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dalam Jumanto, Saksono, Probusunu, H., Widaningroem, N., Suadi, R., & Istiqomah, I. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2010. Jilid II: Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, hlm. 1-9. Pirzan, A.M., Gunarto, & Utojo. 2003. Plankton diversity and relationship with phosphate in brackishwater pond of South Sulawesi. International Seminar on Marine and Fisheries. Agency for Marine and Fishries Research. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Jakarta, p. 51-57. Pirzan, A.M., Gunarto, & Utojo. 2006. Kelayakan dan kestabilan tambak dan sungai berdasarkan indikator biodiversitas plankton diLakawali, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Torani, 16(3):153-161. Pirzan, A.M. & Utojo. 2010. Keragaman plankton dan kondisi lingkungan perairan kawasan pertambakan Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam Syamsuddin, S., Yulianti, H., Sihaputar, Saifurridjal. Basith, A., Nurbani, S.Z., Suharto, Siregar, A.N., Rahardjo, S., Hadi, R.S., & Sanova, B.V. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2010. Melindungi Nelayan dan Sumber Daya Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, hlm. 8-15. Pirzan, A.M. & Utojo. 2011. Hubungan antara Kelimpahan Plankton dan Peubah Kualitas Air di Kawasan PertambakanKabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 14 hlm. Rao, C.S. 1992. Environmental Pollution Control Engineering. Wiley Eastern Limited, New Delhi, 413 pp. SPSS (Statistical Product and Service Solution). 2006. SPSS 15.0 Brief Guide. SPSS Inc., Chicago, 217 pp. Utojo & Pirzan, A.M. 2009. Kondidisi plankton di tambak bandeng dan garam Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dalam Jumanto, Dwiyitno, Chasanah, E., Heruwati, E.S., Irianto, H.E., Saksono, H., Yusuf, I., B.L., Basmal, J., Murniati, Murwantoko, Probusunu, N., Perangangin, R., Rustadi, & Ustadi (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 1-8. Widodo, J. 1997. Biodiversitas sumberdaya perikanan laut peranannya dalam pengelolaan terpadu wilayah pantai, dalam Mallawa, Syam, A.R., Naamin, N., Nurhakim, S., Kartamihardja, E.S., Poernomo, A., & Rachmansyah (Eds.). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997, hlm. 136-141. Yamaji, J. 1976. Illustration of Marine Plankton. Hoikush Publishing Co. Ltd., Osaka, Japan, 369 pp.